Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Pada masa transisi setelah lahir,hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga
proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini menyebabkan
dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru lahir ini
merupakan fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi
peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga berpotensi menjadi toksik dan dapat
menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang
akan menimbukan sekuele nerologis. Dengan demikian setiap bayi yang mengalami
kuning, harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis
atau patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang
menjadi hiperbilirubinemia yang berat.1,2
Peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) sering dijumpai pada minggu
pertama kehidupan. Keadaan ini dapat merupakan kejadian sesaat yang dapat hilang
spontan. Sebaliknya, hiperbilirubinemia dapat juga merupakan hal yang serius, bahkan
mengancam jiwa. Sebagian besar bayi cukup bulan yang kembali ke rumah sakit dalam
minggu pertama kehidupan berhubungan dengan keadaan hiperbilirubinemia. Dengan
kondisi perawatan yang memulangkan neonatus secara dini, dapat meningkatkan risiko
terjadinya ikhterus pada bayi cukup bulan apabila dipulangkan dalam 48 jam setelah lahir.
Alpay dan kawan-kawan melaporkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
penurunan lama tinggal dan risiko kembali ke rumah sakit, dan penyebab utama
kembalinya ke rumah sakit selama periode awal neonatus adalah hiperbilirubinemia.
Terlepas dari penyebabnya, peningkatan kadar bilirubin serum dapat bersifat toksik
terhadap bayi baru lahir.3
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang maupun
cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Frekuensi terjadinya ikterus fisiologi pada
bayi cukup bulan dan kurang bulan berturut-turut adalah 50 - 60% dan 80%. Untuk
kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Berbagai
faktor risiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia berat. Dengan demikian
perlu dilakukan penilaian terhadap adanya risiko tersebut pada bayi yang baru lahir,
terutama bayi-bayi yang pulang lebih awal dari rumah sakit. 4

1
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit
pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat
Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi
ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3%
dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito
melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5
mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada
hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan
hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi
kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56%
bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus
yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.

2
BAB II
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD KOTA BEKASI
STATUS PASIEN KASUS II
Nama Mahasiswa : Aristya Nur Fitasari Pembimbing: dr. Mas Wishnuwardhana,Sp.A
NIM : 030.12.033 Tanda tangan :

IDENTITAS PASIEN
Nama : By. Ny. N
No. RM : 09975689
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 5 hari
Tanggal lahir : Bekasi, 28 - 12 - 2017
Agama : Islam
Pendidikan : Belum sekolah
Alamat : Jl. Lapangan Gg. Darusalam IV no. 24 RT/RW: 003/011, Kranji,
Bekasi Barat
DPJP : dr. Thomas Harry Adoe Sp. A(K)

I. ANAMNESIS
Lokasi : Ruang Perinatologi RUSD Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi
Tanggal Masuk : 30 Desember 2017
Tanggal Keluar : 06 Januari 2018
Keluhan utama : Demam sejak pagi tadi sebelum masuk rumah sakit
Keluhan tambahan : OS tampak kuning sejak satu hari SMRS
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Alloanamnesis dengan ibu pasien
Pasien datang ke IGD RUSD kota Bekasi dibawa oleh orangtuanya pada
tanggal 30 Desember 2017 dengan keluhan demam sejak pagi tadi sebelum masuk
rumah sakit. Ibu OS juga mengatakan OS tampak kuning sejak satu hari SMRS,
mula-mula mata OS tampak kuning kemudian wajah OS juga tampak kuning,
diikuti juga tubuh OS yang ikut tampak kuning. Keluhan batuk, pilek, sesak napas
3
kejang, diare, dan muntah disangkal oleh ibu pasien. Ibu OS mengatakan anaknya
diberi ASI sekitar 2-3 jam sekali dan terlihat puas sehabis minum ASI. Ibu OS
mengatakan OS BAB 3-4x/hari warna kuning dengan konsistensi lembek, BAK
dalam batas normal. Ibu OS mengatakan terdapat luka akibat jalan lahir pada kepala
bagian belakang anaknya. Ibu OS menyangkal persalinan menggunakan forcep
ataupun vakum.

b. Riwayat Penyakit yang pernah diderita


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi (-) Difteria (-) Penyakit ginjal (-)
Penyakit
Cacingan (-) Diare (-) (-)
jantung
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)

c. Riwayat kehamilan / Persalinan


Morbiditas kehamilan Tidak ada
KEHAMILAN
Perawatan antenatal 4 kali kontrol ke Bidan
Tempat persalinan Bidan
Penolong persalinan Bidan
Normal
Cara persalinan
Penyulit : -
Masa gestasi 40 minggu
Berat lahir : 3050 gr
KELAHIRAN Panjang lahir : 47 cm
Lingkar kepala : Tidak tahu
Langsung menangis (+)
Keadaan bayi
Kemerahan (+)
Kuning (-)
Nilai APGAR : Tidak tahu
Kelainan bawaan : Belum terdeteksi

4
Kesimpulan Riwayat Kehamilan/Persalinan : Kontrol kehamilan baik,
persalinan normal, cukup bulan, berat badan lahir sesuai dengan masa kehamilan,
belum terdeteksi kelainan bawaan.

d. Riwayat Makanan
Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
Kesimpulan riwayat makanan hingga saat anamnesis dilakukan pasien masih
mengkonsumsi ASI.

e. Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )
BCG - - - - -
DPT / PT - - - - -
Polio - - - - -
Campak - - - - -
Hepatitis B Saat lahir - - - -
Kesimpulan riwayat imunisasi: Untuk saat ini imunisasi dasar lengkap.

f. Riwayat Kebiasaan
Tidak ada keluarga pasien yang tinggal serumah yang merokok, suka
meminum alkohol atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

g. Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal bersama dengan ibu dan ayahnya. Rumah merupakan rumah
pribadi, satu lantai, beratap genteng, berlantai keramik, dan berdinding tembok.
Ventilasi dan pencahayaan baik. Sumber air bersih dari jet sanyo. Sumber air
minum dari air isi ulang. Sampah dibuang ke tempat sampah dan setiap hari
dikumpulkan di tempat sampah depan rumah. Saluran air lancar. Rumah pasien
terletak di kawasan padat penduduk.
Kesimpulan keadaan lingkungan: Keadaan lingkungan baik pada Ventilasi dan
Pencahayaan

5
II. STATUS GENERALISATA
KEADAAN UMUM
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : CM
Kesan Gizi : gizi cukup
Keadaan lain : Anemis (-), ikterik (+), sianosis (-)
STATUS GIZI
 Berat badan : 3500 gram
 Tinggi badan : 49 cm
 Lingkar kepala : 32 cm
 Status gizi : gizi normal
KURVA FENTON

6
KURVA LUBCHENCO

BALLARD SCORE

7
Zona Bagian Tubuh yang Rata-rata Serum
Kuning Bilirubin Indirek
1 Kepala dan Leher 6 mg/dL
2 Pusar - Leher 9 mg/dL
3 Pusar – paha 12 mg/dL
4 Lengan dan Tungkai 15 mg/dL
5 Tangan dan Kaki >15 mg/dL

TANDA VITAL
 Nadi : 132 x/menit
 Pernapasan : 40x/ menit
 Suhu : 39,2o C

STATUS GENERALIS
Kulit : Pada pemeriksaan terhadap kulit didapatkan terdapat beberapa
daerah pucat dan tampak beberapa daerah yang terlihat vena.
Pada pemeriksaan punggung bayi lanugo sudah menghilang
walau masih didapatkan sedikit lanugo pada beberapa area.
Kepala : Normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tampak sebuah
luka memar pada kepala bagian belakang sisi kanan dengan
ukuran Ø 3-4 cm dan terdapat krusta yang menutupi sebagian
luka memar tersebut.
 Wajah : simetris, tidak ada jejas
 Mata : alis warna hitam, tak ada edema palpebral, bulu mata hitam ,
jkahasjhshsjh konjugtiva anemis -/-, sklera ikerik +/+, pupil bulat isokor.
 Hidung : nafas cuping hidung -, septum deviasi -, deformitas -, darah –
 Telinga : Pada pemeriksaan telinga didapatkan pinna keras dan berbentuk
dan saat dilakukan pelipatan telinga ke arah wajah kemudian lepaskan dan
terjadi recoil segera.
 Mulut : bibir simetris, jejas -, sianosis –
 Leher : KGB tidak membesar

8
Thorax :
 Pada dada didapatkan kedua puting sudah timbul, dengan diameter benjolan 4
mm.
 Paru :
o Inspeksi : Gerakan dada simetris kanan dan kiri, retraksi (-)
o Palpasi : Vocal fremitus simetris pada kedua lapang paru
o Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
o Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -, wheezing –
 Jantung :
o Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tak terlihat
o Palpasi : iktus kordis teraba di ics IV, 1 cm medial dari linea
dkfkdjfdkjfjfjffjfjmidclavicuaris sinistra, thrill –
o Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur-, gallop –
Abdomen
 Inspeksi : datar, smiling umbilicus –
 Auskultasi : Bising usus 4x/menit
 Palpasi : Supel, nyeri tekan - , hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi : Timpani pada 4 kuadran, shifting dullness –
Genitalia : Pada palpasi skrotum didapatkan testis dan terdapat ruggae
pada skrotum.
Ekstremitas : Akral hangat 4 ekstremitas, oedem –, CRT <2 detik
 Postur Tubuh : Saat bayi telentang dan bayi telah tenang, posisi bayi adalah
fleksi dan adduksi dari ekstremitas atas dan fleksi panggul dengan fleksi lutut
seperti kaki kodok.
 Square window : Saat dilakukan fleksi pada pergelangan tangan didapatkan
sudut antara telapak tangan dan lengan bawah bayi membentuk sudut 0˚.
 Arm recoil : Fleksikan kedua lengan bawah bayi selama 5 detik,
kemudian rentangkan kedua lengan bawah bayi dan dilepaskan. Saat dilepaskan
lengan tersebut kembali fleksi penuh.
 Popliteal angle : Posisi bayi telentang, dilakukan fleksi pada panggul hingga
paha menyentuh perut bayi, saat bayi tenang kaki diekstensikan sampai terasa
resistensi. Didapatkan sudut yang terbentuk antara para dan betis di daerah

9
popliteal adalah kurang lebih 90˚. Lakukan hal yang sama pada kaki sisi lainnya,
didapatkan sudut popliteal kurang lebih 90˚.
 Scarf sign : Posisi bayi telentang, kepala bayi berada di garis tengah
tubuh bayi, lalu tangan bayi didorong melalui dada bagian atas, kedua bahu tetap
menempel di permukaan meja dan kepala tetap lurus dan berada pada garis tengah,
setelah diamati posisi siku pada dada bayi didapatkan posisi siku pada garis puting
dada sisi kanan bayi. Saat dilakukan pemeriksaan yang sama pada ekstremitas atas
kiri bayi didapatkan hasil yang sama.
 Heel to ear : Posisi bayi telentang, dilakukan fleksi panggul dan dengan
mempertahankan panggul pada permukaan meja, dan kaki diatrik sedekat
mungkin dengan kepala tanpa memaksa dan didapatkan jarak antara kaki dan
kepala adalah setinggi daerah pusar. Didapatkan hasil yang sama saat dilakukan
pada pemeriksaan ekstremitas bawah kiri.
 Permukaan plantar kaki : Garis-garis pada telapak kaki memenui 2/3 anterior
telapak kedua kaki.
Ballard score : 40 minggu
Derajat ikterik : Kramer IV-V

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium tanggal 30/12/2017
Nama Test Hasil Unit Nilai Rujukan
Darah Rutin
Leukosit 14,1 ribu/ul 5-10
Hemoglobin 11,6 g/dl 12-16
Hematokrit 34,1 % 40-54
Trombosit 310 ribu/ul 150-400
Laboratorium tanggal 31/12/2017
Nama Test Hasil Unit Nilai Rujukan
Darah Rutin
Leukosit 9,5 ribu/uL 5-10
Eritrosit 3,18 Juta/uL 4-5
Hemoglobin 11,8 g/dl 12-16
Hematokrit 34,4 % 40-54

10
Trombosit 236 ribu/ul 150-400
Indeks Eritrosit
MCV 108,0 fL 75-87
MCH 37,1 pg 24-30
MCHC 34,4 % 31-37
GDS 80 mg/Dl 60-110
Fungsi Hati
Bilirubin Direk/Indirek
Billirubin total 18,70 mg/dL 1,0 – 10,0
Billirubin direk 0,30 mg/dL <0,8
Billirubin indirek 18,40 mg/dL 0,0 - 10
Laboratorium tanggal 04/01/2018
Fungsi Hati
Bilirubin Direk/Indirek
Billirubin total 12,30 mg/dL 1,0 – 10,0
Billirubin direk 0,30 mg/dL <0,8
Billirubin indirek 12,00 mg/dL 0,0 - 10

V. DIAGNOSIS KERJA
- Ikterus Neonatorum Patologis

VI. DIAGNOSIS BANDING


- Ikterus Neonatorum Fisiologis

VIII. TATALAKSANA
- Terapi di IGD :
o D5% 8 tpm makro
o Inj. PCT 50 mg
 IVFD PG2 12cc/jam
 Cefotaxime 2 x 152,5 mg
 Amikacin 22,87 mg/18 jam
 Fototerapi

IX. PROGNOSIS

11
- Ad Vitam : Dubia
- Ad functionam : Dubia
- Ad sanactionam : Dubia

X. RESUME
Pasien datang ke IGD RUSD kota Bekasi dibawa oleh orangtuanya pada tanggal 30
Desember 2017 dengan keluhan demam sejak pagi tadi sebelum masuk rumah sakit. Ibu
OS juga mengatakan OS tampak kuning sejak satu hari SMRS, mula-mula mata OS
tampak kuning kemudian wajah OS juga tampak kuning, diikuti juga tubuh OS yang
ikut tampak kuning. Keluhan batuk, pilek, sesak napas kejang, diare, dan muntah
disangkal oleh ibu pasien. Ibu OS mengatakan anaknya diberi ASI sekitar 2-3 jam sekali
dan terlihat puas sehabis minum ASI. Ibu OS mengatakan OS BAB 3-4x/hari warna
kuning dengan konsistensi lembek, BAK dalam batas normal. Ibu OS mengatakan
terdapat luka akibat jalan lahir pada kepala bagian belakang anaknya. Ibu OS
menyangkal persalinan menggunakan forcep ataupun vakum.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Kesan Sakit Tampak sakit sedang. Kesadaran
compos mentis, kesan gizi normal. Suhu tubuh 39,20C, Nadi 132 x/menit dan pernafasan
40x/menit. Pada pemeriksaan status generalis didapatkan pasien tampak ikterik (Kramer
4-5) serta sklera ikterik dan tampak sebuah luka memar pada kepala bagian belakang
sisi kanan dengan ukuran Ø 3-4 cm dan terdapat krusta yang menutupi sebagian luka
memar tersebut. Pada pemeriksaan skor ballard didapatkan nilai 40, yang menunjukkan
bahwa maturitas yang didapatkan pada pasien ini sesuai dengan bayi dengan usia gestasi
40 minggu. Pada pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada tanggal 30 Desember
2017 didapatkan leukosit 14,1 ribu/uL, hemoglobin 11,6 g/dL, dan pada pemeriksaan
tanggal 31 Desember 2017 diapatkan leukosit turun menjadi 9,5 ribu/uL, hemoglobin
11,8 g/dL bilirubin total 18,70 mg/dL, bilirubin direk 0,30 mg/dL dan bilirubin indirek
18,49 mg/dL. Pada pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 4 Januari 2018,
didapatkan bilirubin total 12,30 mg/dL, bilirubin direk 0,30 mg/dL dan bilirubin indirek
12,00 mg/dL.

XI. FOLLOW UP
Tanggal Keluhan Pemeriksaan Fisik Terapi
31/12/2017  Tampak o KU: TSS  Fototerapi
kuning (+) o Kes: CM
 IVFD PG2 12cc/jam
 Demam (-) o S: -
12
T: 37,5 oC  Cefotaxime 2 x 152,5
A: retraksi (-), RR : 40x/m
B: sianosis (-), HR : mg
124x/m  Amikacin 22,87
L: Billirubin total 18,7
mg/dL, B. Dir 0,30 mg/18 jam
mg/dL, B. Indir 18,40  Minum 8 x 30 cc via
mg/dL.
E: (-) OGT
01/01/2018  Tampak o KU: TSS  Fototerapi
kuning (+) o Kes: cm
 IVFD PG2 10cc/jam
 Demam (-) o S: -
T: 37,5 oC  Cefotaxime 2x140mg
A: retraksi (-), RR : 44x/m
B: sianosis (-), HR : 158x/m  Amikacin 21mg/18
L: (31/12/17) Billirubin jam
total 18,7 mg/dL, B. Dir
0,30 mg/dL, B. Indir  PCT 30 mg k/p
18,40 mg/dL.  Minum lewat OGT
E: (-)
8x30cc
02/01/2018  Tampak o KU: TSS  Fototerapi
Kuning (+) o Kes: cm
 IVFD PG2 10cc/jam
 Demam o S: -
(+) T: 40 oC  Meropenem 2 x 153
A: retraksi (-), RR : 40x/m
B: sianosis (-), HR : 140x/m mg
L: (31/12/17) Billirubin  Amikacin 21mg/18
total 18,7 mg/dL, B. Dir
0,30 mg/dL, B. Indir jam
18,40 mg/dL.  PCT 30 mg k/p
E: (-)
 Minum lewat OGT
8x30cc
03/01/2018  Tampak o KU: TSS  Fototerapi
kuning (+) o Kes: cm
 IVFD PG2 10cc/jam
 Demam (-) o S: -
T: 37 oC  Meropenem 2 x 153
A: retraksi (-), RR : 40x/m
B: sianosis (-), HR : 140x/m mg
L: (31/12/17) Billirubin  Amikacin 21mg/18 jam
total 18,7 mg/dL, B. Dir
0,30 mg/dL, B. Indir  PCT 30 mg k/p
18,40 mg/dL.  Minum lewat OGT
E: (+)
8x30cc
04/01/2018  Tampak o KU: TSS  Fototerapi
Kuning o Kes: cm

13
(+), o S: -  IVFD PG2 10cc/jam
berkurang T: 38,6 oC
 Meropenem 2 x 153
 Demam A: retraksi (-), RR : 42x/m
(+) B: sianosis (-), HR : 140x/m mg
L: (04/01/18) Billirubin
total 12,30 mg/dL, B.  Amikacin 21mg/18
Dir 0,30 mg/dL, B. Indir jam
12,00 mg/dL.
E: (+)  PCT 30 mg k/p
 Minum lewat OGT
8x30cc
05/01/2018  Tampak o KU: TSS  IVFD PG2 10cc/jam
Kuning o Kes: cm
o S: -  Meropenem 2 x 153
(+),
berkurang T: 36,7 oC mg
 Demam (-) A: retraksi (-), RR : 42x/m
B: sianosis (-), HR : 140x/m  Amikacin 21mg/18
L: (04/01/18) Billirubin jam
total 12,30 mg/dL, B.
Dir 0,30 mg/dL, B. Indir  Minum 8x40cc
12,00 mg/dL.
E: (+)

06/01/2018  Tampak o KU: TSS  Meropenem 2 x 153


Kuning o Kes: cm
o S: - mg
(+),
berkurang T: 36,7 oC  Amikacin 21mg/18
 Demam (-) A: retraksi (-), RR : 42x/m
B: sianosis (-), HR : 140x/m jam
L: (04/01/18) Billirubin  Minum 8x40cc
total 12,30 mg/dL, B.
Dir 0,30 mg/dL, B. Indir
12,00 mg/dL.
E: (+)

14
BAB III
ANALISA KASUS

Dari Hasil Anamnesis, Pemeriksaan fisik, dan Penunjang didapatkan bahwa pasien
didiagnosis dengan Medulloblastoma. Hal ini didasarkan dari:
A. ANAMNESIS
1. Kasus
Pada pasien ini dari anamnesis didapatkan keluhan berupa demam sejak tadi
pagi dan kulit OS tampak kuning sejak sehari SMRS yang merupakan salah
satu manifestasi dari peningkatan bilirubin dalam darah sehingga
menyebabkan deskolorasi kuning pada kulit, membrane mukosa dan sklera.
Pada pasien ini didapatkan satu tanda yang dapat mengarahkan diagnosis
kepada ikterus neonatorum patologis adalah karena didapatkannya keluhan
demam pada pasien.
2. Teori
Berdasarkan teori ikterus yang terjadi pada neonatus dapat dikelompokkan
menjadi ikterus fisiologis dan patologis. Ikterus fisiologis ditandai keadaan
umum bayi toleransi minum baik, berat badan naik, dan kuning menghilang
pada minggu 1-2 paska kelahiran. Sedangkan ikterus patologis memiliki ciri;
(1) dimulai sebelum usia 24 jam; (2) peningkatan bilirubin serum >5 mg/dL/24
jam atau kadar bilirubin terkonjugasi >2 mg/dL (>20% bilirubin total); (3)
disertai demam atau tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum, penurunan
berat badan, asfiksia, apnea, takipnea, iritabilitas); (4) ikterus pada bayi berat
lahir rendah; (5) Ikterus berat pada neonatus preterm (telapak tangan dan kaki
bayi kuning); dan (6) menetap >2 minggu.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kasus
Pada pemeriksaan status generalis didapatkan pasien tampak ikterik
(Kramer 4-5) serta sklera ikterik dan tampak sebuah luka memar pada kepala
bagian belakang sisi kanan dengan ukuran Ø 3-4 cm dan terdapat krusta yang
menutupi sebagian luka memar tersebut. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
tanda-tanda vital suhu tubuh 39,20C, nadi 132 x/menit dan pernafasan
40x/menit. Dari hasil pemeriksaan fisik ini sudah dapat diarahkan bahwa
15
ikterus neonatorum yang terjadi pada pasien ini akibat proses patologis
mengingat memar merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya ikterus
neonatorum patologis. Selain itu pada pasien ini didapatkan adanya demam
yang dapat menunjukkan adanya proses infeksi yang mungkin mendasari
terjadinya ikterus.
2. Teori
Yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien dengan ikterus adalah
warna kuning pada kulit yang biasanya dimulai dari wajah lalu kemudian ke
abdomen dan seterusnya ke ekstremitas (sefalokaudal) seiring dengan
bertambahnya kadar bilirubin dalam darah. Untuk melakukan penilaian
terhadap ikterus dilakukan di ruang terang (jika memungkinkan dengan
penyinaran sinar matahari langsung) dan lakukan penekanan pada kulit. Untuk
melakukan penilaian derajat ikterik dapat dilakukan dengan Skor Kramer,
walaupun pemeriksaan klinis ini tidak dapat dijadikan patokan terhadap kadar
bilirubin serum. Selain itu periksa juga tanda-tanda yang dapat menunjukkan
bahwa ikterus yang terjadi adalah ikterus patologis seperti tanda-tanda
dehidrasi, letargi (sepsis), pucat (anemia hemolitik), trauma lahir, petekie,
hepatosplenomegaly ataupun massa abdomen (ductus koledukus).

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Kasus
Pada pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada tanggal 30 Desember
2017 didapatkan leukosit 14,1 ribu/uL, hemoglobin 11,6 g/dL, dan pada
pemeriksaan tanggal 31 Desember 2017 diapatkan leukosit turun menjadi 9,5
ribu/uL, hemoglobin 11,8 g/dL bilirubin total 18,70 mg/dL, bilirubin direk 0,30
mg/dL dan bilirubin indirek 18,49 mg/dL. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
tersebut didapatkan adanya tanda-tanda infeksi dari peningkatan kadar leukosit
dan adanya hyperbilirubinemia. Untuk mengetahui etiologi yang menyebabkan
adanya infeksi ataupun etiologi dari hyperbilirubinemia, perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang lainnya.
2. Teori
Untuk menegakkan hyperbilirubinemia pada pasien diperlukan
pemeriksaan laboratorium darah berupa kadar bilirubin total, direk dan indirek.
Pada neonatus tampak kuning bila kadar bilirubin serum >5 mg/dL. Selain itu
16
diperiksa juga darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk
melihat morfologi eritrosit dan ada tidaknya hemolysis, serta hitung retikulosit.
Pemeriksaan golongan darah, rhesus, direct Coomb’s test dari ibu dan bayi
untuk mencari kemungkinan adanya inkompatibilitas golongan darah atau
rhesus. Bayi dari ibu dengan rhesus negative harus menjalani pemeriksaan
golongan darah, Rhesus, dan direct Coomb’s test segera setelah lahir.
Pemeriksaan kadar enzim G6PD pada eritrosit, pada ikterus yang
berkepanjangan dapat dilakukan pemeriksaan fungsi hati dan pemeriksaan urin
terhadap galaktosemia. Bila dicurigai sepsis secara klinis, dilakukan
pemeriksaan kultur darah, kultur urin, rasio IT dan C-reactive protein.

D. TATALAKSANA
1. Kasus
Pasien mendapatkan terapi di IGD berupa D5% 8 tpm makro dan Inj. PCT
50 mg. Saat pasien di perinatology pasien mendapatkan IVFD PG2 12cc/jam,
Cefotaxime 2 x 152,5 mg, Amikacin 22,87 mg/18 jam dan Fototerapi.
2. Teori
Prinsip umum tatalakasana terhadap hyperbilirubinemia pada neonatus
berdasarkan etiologi. Terdapat beberapa strategi dalam penatalaksanaan yaitu;
pencegahan, penggunaan fototerapi, transfusi tukar dan farmakoterapi.
Pencegahan dititik beratkan pada inisiasi menyusui dini dan pemberian minum
sesegera mungkin. Secara umum fototerapi digunakan untuk mencegah supaya
bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange transfusion.
Exhange transfusion merupakan metode tercepat untuk menurunkan
konsentrasi bilirubin serum. Exchange transfusion segera direkomendasikan
untuk bayi yang menunjukkan tanda ensefalopati bilirubin akut. Antibiotik
dapat diberikan bila ada tanda-tanda infeksi mengingat ikterus pada neonatus
dapat juga disebabkan oleh infeksi.

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

5.1 FISIOLOGI BILIRUBIN


Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang
sebanyak 75% berasal dari hb dan 25% berasal dari heme di hepar (enzim, sitokrom,
katalase, dan heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiese yang tidak efektif di sumsum
tulang belakang. Metabolisme bilirubin terjadi dari beberapa tahapan, diantaranya:

1. Transport bilirubin
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru.
Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui
reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat
dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.

Gambar 1. Metabolisme Bilirubin


18
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 6-8 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan
orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat
dan juga reabsorpsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).3

2. Pengambilan bilirubin oleh hati


Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum
ini merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi
kedalam sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan
saraf pusat dan bersifat nontoksik.3
Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat – obatan yang
bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat – obat tersebut akan menempati
tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat kompetitor serta dapat
pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.3

3. Konjugasi
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut
dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl
transferase (UDPG – T), berkonjugasi dengan asam glukoronat. Katalisa oleh enzim ini
akan merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan
dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian dieksresikan ke dalam
kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke
reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya.3

19
Gambar 2. Konjugasi bilirubin

4. Sekresi bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi , bilirubin akan dieksresikan ke dalam kandung
empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan dieksresikan melalui feses. Setelah berada
dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta – glukoronidase
yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke
hati untuk di konjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.3
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa usus
halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat
menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak
terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir,
lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi
sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi).3
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus
biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di
pihak lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin.
Selain itu, kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehingga menmbah
hiperbilirubinemia dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.3

20
5. Sirkulasi enterohepatik

Gambar 2. Ekskresi Bilirubin


Jika bilirubin terkonjugasi memasuki lumen usus, ada beberapa kemungkinan
terjadinya metabolisme lebih lanjut. Pada orang dewasa, flora normal akan
menghidrogenisasi karbon ikatan rangakap dalam bilirubin untuk menghasilkan
urobilinogen. Oksidasi atom karbon tengah menghasilkan urobilin. Karena adanya
sejumlah besar ikatan tak jenuh didalam bilirubin, maka ada banyak bentuk reduksi dan
oksidasi dari ikatan ini yang dikenal sebagai urobilinoid, diekskresikan kedalam feses.
Bakteri yang memiliki peranan penting dalam produksi urobilinoid adalah Clostridium
ramosum yang bekerja sama dengan Eschericia Coli. Konversi biliruin menjadi urobilinoid
penting untuk menghalangi sikulus enterohepatik. Neonatus hanya memiliki sedikit flora
normal usus, sehingga bilirubin yang diserap siklus enterohepatik lebih banyak. 3

5.2 DEFINISI
Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa dan sklera akibat
peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Pada orang dewasa tampak kuning bila bilirubin
> 2 mg/dl, sedangkan pada neonatus bila kadar bilirubin > 5 mg/dl atau disebut dengan
hiperbilirubinemia. Jaundice dan ikterus, keduanya menunjuk pada keadaan diskolorasi
kuning pada jaringan (kulit, sklera, dan lain-lain), yang disebabkan oleh deposisi bilirubin.
Jaundice berasal dari Bahasa Perancis, jaune yang artinya kuning. Ikterus berasal dari
bahsa Yunani, ikteros. Jaundice merupakan tanda adanya hyperbilirubinemia (misalnya

21
kadar bilirubin serum lebih dari 1,4 mg/dL setelah usia 6 bulan, paada neonatus baru akan
tampak kuning bila kadar bilirubin >5 mg/dL.3
Bilirubin ensefalopati adalah manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksis
bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu basal ganglia dan pada nuklei batang otak.
Kernikterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai dengan deposisi pigmen
bilirubin indirek pada beberapa daerah diotak terutama basal ganglia, pons, dan serebelum.
Kernikterus biasanya terjadi bila kadar bilirubin sangat tinggi (>20 mg/dL). Kern ikterus
dapat terjadi bila kadar bilirubin 20 mg/dl disertai sepsis, meningitis, hemolisis, ikterus
dalam 24 jam eprtama, dan terlambatnya diagnosis hiperbilirubinemia.4,5

5.3 FAKTOR RISIKO


Faktor risiko timbulnya hyperbilirubinemia berat pada bayi dengan usia gestasi ≥35
minggu:7

Gambar 3. Stratifikasi resiko neonatus aterm dan hampir aterm dengan kadar
bilirubin.

22
a. Faktor Risiko Mayor
1. Dipulangkan dari RS dengan kadar bilirubin total dan kadar bilirubin direk
berada di zona risiko tinggi.
2. Ikterus yang timbul pada <24 jam pertama.
3. Kelompok inkompatibilitas darah dengan test antiglobulin direct positif, atau
penyakit hemolysis lainnya ( G6PD defisiensi)
4. Usia gestasi 35-36 minggu
5. Riwayat saudara kandung yang mendapat fototerapi
6. Sefalhematom atau trauma yang signifikan
7. ASI eksklusif, terutama pada yang meyusui tidak efektif atau terdapat
penurunan berat badan yang berat
8. Ras Asia Timur
b. Faktor Risiko Minor
1. Kadar bilirubin total atau kadar bilirubin direk berada pada zona risiko
sedang-tinggi
2. Usia gestasi 37-38 minggu
3. Ditemukan jaundice sebelum pasien dipulangkan
4. Riwayat saudara kandung dengan ikterus
5. Bayi makrosomi dari ibu dengan diabetes
6. Usia ibu ≥25 tahun
7. Laki-laki

Faktor yang berhubungan dengan rendahnya risiko ikterus;


1. Kadar bilirubin total atau kadar bilirubin direk berada pada zona risiko rendah
2. Usia gestasi ≥41 minggu
3. Pemberian susu botol eksklusif
4. Ras kulit hitam
5. Dirawat jalankan setelah 72 jam perawatan

5.4 ETIOLOGI
Etiologi hiperbilirubinemia dibagi berdasarkana bilirubin tak terkonjugasi dan
terkonjugasi. Etiologi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang tersering antara lain,
inkopabilitas golongan darah dan rhesus, ikterus fisiologis, breast milk jaundice,
perdarahan organ dalam, polisitemia, dan bayi dari ibu diabetes, etiologi yang jarang antara
23
lain, defek enzim G6PD pada eritrosit, sferositosis (kelainan membran sel darah merah),
thalasemia, sindrom Crigler-Najjar, stenosis pilorus, hipotiroid, dan trombositopenia
imun.5
Etiologi hiperbilirubinemia terkonjugasi yang tersering antara lain, kolestasis, infeksi
TORCH, hepatitis pada neonatus, dan sepsis. Etiologi yang jarang antara lain, infark hepar,
kelainan metabolik bawaan (galaktosemia), fibrosis kistik, atresia bilier, kista koledokal,
penyakit Byler dan sindroma Alagille (displasia arteriohepatik). 5
Ikterus yang disebabkan terjadinya peningkatan kadar bilirubin indirek dapat
merupakan tanda pertama adanya infeksi bakteri yang serius. Salah satu infeksi yang dapat
menyebabkan ikterus adalah infeksi saluran kemih.10 Kurangnya aktivitas bakterisida
uroepitel, kadar rendah IgA local, rendahnya kapasitas keasaman dari urin dan tingginya
kolonisasi periuretral menjadikan neonatus beresiko untuk mengalami infeksi saluran
kemih.11 Namun bagaiman patofisiologi infeksi saluran kemih dapat menyebabkan
hyperbilirubinemia tidak diketahui secara pasti, secara umum infeksi dapat menyebabkan
hemolisi, kegagalan konjugasi dan penurunan sekresi dari usus. Heme oksigenasi juga
dapat diinduksi melalui stress oksidatif yang terdapat pada infeksi yang akhirnya
meningkatkan pemecahan heme menjadi bilirubin. Namun, bilirubin sendiri memiliki
kegunaan antioksidan yang berguna pada proses melawan infeksi itu sendiri.12
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi: (7)
1. Produksi yang berlebihan
2. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar
3. Defek konjugasi bilirubin
4. Gangguan dalam ekskresi
5. Campuran; peningkatan kadar bilirubin terjadi karena produksi yang berlebihan
dan sekresi yang menurun.

Ikterus yang berhubungan dengan pemberian air susu ibu


Peningkatan kadar bilirubin indirek yang signifikan terjadi pada sekitar 2% bayi yang
diberikan ASI pada bayi matur setelah hari ke7 dengan konsentrasi maksimal dapat
mencapai 10-30 mg/dL pada minggu kedua dan ketiga. Jika ASI tetap diberikan, biasanya
bilirubin akan turun secara perlahan namun dapat tetap kadarnya walau pada titik rendah
untuk tiga-sepuluh minggu. Jika pemberian ASI diberhentikan, kadar bilirubin biasanya
akan turun dengan cepat dan mencapai kadar normal dalam beberap hari. Dengan
24
kemudian dilanjutkan kembali pemberian ASI, bilirubin jarang mencapai kadar
tertingginya lagi. Walaupun sangat jrang, kernicterus dapat terjadi pada pasien dengan
breast milk jaundice. Penyebab hal ini pun masih belum jelas tapi dapat dihubungkan
dengan adanya glucoronidase pada beberapa ASI.
Ikterus yang terjadi lambat (>1 minggu pertama kehidupan) harus dibedakan dengan
ikterus yang terjadi pada awal dengan peningkatan kadar bilirubin indirek yang diketahui
sebagai breatfeeding jaundice, yang terjadi pada minggu pertama setelah kelahiran pada
pasien yang mendapat ASI, yang secara normal memang kadar bilirubin serumnya lebih
tinggi daripada bayi-bayi yang diberi susu botol. Hiperbilirubinemia (>12 mg/dL)
berkembang pada 13% bayi yang diberi ASI saat minggu pertama dan dapat terjadi akibat
kurangnya asupan susu dengan dehidrasi dan/atau intake kalori yang turun. Pemberian
suplemen air gula pada bayi yang diberikan ASI berhubungan dengan kadar bilirubin yang
lebih tinggi, berhubungan dengan berkurangnya intake ASI. Pemberian ASI yang sering
(>10x/24 jam), rooming in with night feeding dan kelompok pendukung laktasi dapat
menurunkan insidens dari breastfeeding jaundice. Walaupun terdapat ikterus yang
berhubungan dengan pemberian ASI, pemberian ASI tetap harus dilanjutkan jika
memungkinkan, jika tidak tetap berikan kalori bagi bayi dengan mengganti ASI dengan
susu formula untuk satu-dua hari. Selain itu, pemberian makan lebih sering dan
suplementasi dengan susu formula atau ASI perah diperbolehkan jika intake tidak adekuat,
penurunan berat bdan yang berat dan bayi tampak dehidrasi.7

5.5 KLASIFIKASI
 Ikterus fisiologis:5
- Ikterus yang terjadi setelah 24 jam kelahiran dan tertinggi pada hari ke 3 untuk
cukup bulan dan hari ke 5 untuk prematur
- Kadar bilirubin total serum < 12mg/dl untuk cukup bulan, dan <15mg/dl untuk
prematur
- Peningkatan bilirubin total serum < 5 mg/dl/hari
- Ikterus menghilang dalam 7-10 hari untuk cukup bulan, dan 8-14 hari untuk
prematur
 Ikterus patologis:5
- Ikterus terjadi sebelum usia 24 jam
- Kadar bilirubin total serum > 12mg/dl

25
- Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5mg/dl/jam
- Terdapat tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas menyusu,
penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, suhu yang tidak stabil)
- Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan dan 14 hari pada bayi
prematur
Tabel 1. Klasifikasi Kramer7
Derajat ikterus Daerah Ikterus Perkiraan kadar Bilirubin
I Kepala dan leher 4-8 mg/dl
II Sampai badan atas (diatas umbilicus) 5-12 mg/dl
III Sampai badan bawah (dibawah 8-16 mg/dl
umbilicus sampai tungkai atas diatas
lutut)
IV Seluruh tubuh kecuali telapak tangan 11-18 mg/dl
dan kaki
V Seluruh tubuh 15 mg/dl

5.6 PATOFISIOLOGI
Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi:
pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi
oleh hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam
empedu akibat faktor intra hepatik yang bersifat obtruksi fungsional atau mekanik.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang
pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan terkonjugasi.(3)
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah
merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang
timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu
berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan.
Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal (
hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah abnormal (sterositosis
herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun), pemberian beberapa obat-
obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan peningkatan hemolisis).
Sebagaian kasus ikterus hemolitik dapat diakibatkan oleh peningkatan destruksi sel

26
darah merah atau prekursornya dalam sumsum tulang (thalasemia, anemia permisiosa,
porfiria, defisiensi G6PD). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif. Kadar
bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg / 100 ml pada bayi dapat
mengakibatkan Kern Ikterus. 3,5
2. Gangguan pengambilan bilirubin
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat albumin oleh sel-sel hati
dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein
penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap
pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati, asam flafas pidat (dipakai untuk mengobati
cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab
dihentikan. Dahulu ikterus Neonatorum dan beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap
oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati. Namun
pada kebanyakan kasus demikian, telah ditemukan defisiensi glukoronil tranferase
sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin. 3,5
3. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai
terjadi pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada Neonatus.
Ikterus Neonatorum yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim
glukoronil transferase. Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa
hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke dua, dan setelah itu ikterus akan
menghilang. Defisiensi enzim UDPGT (syndroma Crigler-Najjar) juga menyebabkan
peningkatan bilirubin tak terkonjugasi yang menyebabkan hiperbilirubinemia. 3,5
Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan bilirubin tak
terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di
obati maka akan terjadi kematian atau kerusakan neurologik berat tindakan
pengobatan saat ini dilakukan pada neonatus dengan hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi adalah dengan fototerapi. 3,5
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang
yang panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer
yang larut dalam air, isomer ini akan diekskresikan dengan cepat ke dalam empedu
tanpa harus dikonjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan

27
aktivitas glukororil transferase sering kali dapat menghilangkan ikterus pada penderita
ini.3,5
4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor fungsional
maupun obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Karena
bilirubin terkonjugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat diekskresi ke dalam
urine, sehingga menimbulkan bilirubin dan urine berwarna gelap. Urobilinogen feses
dan urobilinogen urine sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi dapat disertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya,
seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam serum, AST, kolesterol, dan garam-
garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-
gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi
biasanya lebih kuning di bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.
Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila
terjadi obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus
kolestatik, yang merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat
intrahepatik ( mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra hepatik
(mengenai saluran empedu di luar hati ). Pada kedua keadaan ini terdapat gangguan
biokimia yang sama.3,5

5.7 DIAGNOSIS
a. Anamnesis(4,9)
 Terdapat keluhan letargi, kejang, tidak mau menghisap, feses berwarna
seperti dempul, muntah, anoreksia, dan fatigue.
 Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal, BBLR, prematur)
 Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi
 Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya
 Riwayat inkompatibilitas darah
 Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
b. Pemeriksaan fisik
Tanda klinis yang utama adalah adanya warna kuning pada kulit, konjungtiva,
dan mukosa. Ikterus dapat dideteksi dengan cara mengobservasi warna kulit setelah

28
dilakukan penekanan pada kulit (metode Kramer). pemeriksaan ini dilakukan dalam
ruangan dengan pencahayaan yang baik. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas
secara cefalokaudal.4,9
Hal-hal yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik tergantung dari etiologi
yang mendasarinya, diantaranya;4
 Pucat, berkaitan dengan anemia hemolitik, atau kehilangan darah
ekstravaskuler
 Memar, sefalhematom, perdarahan tertutup lain yang berkaitan dengan
trauma lahir
 Pletorik akibat polisitemia
 Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, eritroblastosis
 Tanda infeksi intrauterin seperti mikrosefali, korioretinitis
 Letargi atau gejala sepsis lain
 Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik
 Omfalitis
 Tanda hipotiroid
 Terdapat massa pada abdomen kanan atas (duktus coledokus)
 Feses dempul dan urin coklat tua

5.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

29
Gambar 4. Bagan Diagnosis Ikterus
Kesan kuning pada pemeriksaan fisik dibuktikan dengan pemeriksaan bilirubin total
serum. Pemeriksaan kadar bilirubin direk dianjurkan bila ikterus menetap sampai usia >2
minggu atau dicurigai adanya kolelitiasis, selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan
darah perifer lengkap, SADT (ada tidaknya hemolisis), golongan darah dan resus
(inkompabilitas ABO maupun resus), pemeriksaan enzim G6PD pada eritrosit,
pemeriksaan fungsi hati dan tiroid, serta pemeriksaan yang mengarah ke sepsis seperti rasio
IT, CRP, kultur darah, dan kultur urin.3,4

5.9 PENATALAKSANAAN
Prinsip tatalaksana hiperbilirubinemia pada neonatus adalah berdasarkan etiologinya,
untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat dilakukan dengan cara,
fototerapi, transfusi tukar, dan medikamentosa.4
1. Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang
merupakan suatu gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik
bervariasi menurut frekuensi dan panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum
elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak ini terdiri dari sinar merah, oranye,
kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar memiliki panjang gelombang
yang berbeda beda.

30
Gambar 5. Anjuran fototerapi pada pasien ranap dengan usia gestasi >35 minggu.
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin
adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam
menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan
sinar hijau. Intensitas sinar adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat
permukaan tubuh yang terpapar. Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas
fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka semakin cepat penurunan kadar
bilirubin serum.Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai W/cm2/nm.
Panduan terapi sinar berdasarkan pada diagram yang dikeluarkan oleh
American Academy od Pediatric (AAP). AAP menganjurkan penggunakan fototerapi
intensif jika kadar bilirubin serum melewati batasan masing-masing kategori dari
tabel. Fototerapi intensif menggunakan pancaran sinar dengan panjang gelombang
430-490 nm (spektrum biru hijau) minimal 30 Q/cm2 (diukur langsung pada kulit
bayi). prinsip fototerapi adalah mengubah bilirubin tak terkonjugasi tanpa
menggunakan enzim glukoroinidase, bilirubin diubah menjadi hemibilirubin yang
nantinya akan disekresikan.
Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan
menggunakan sinar halogen. Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila
diletakkan terlalu dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan
sinar fototerapi berjarak 10 cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi

31
yaitu badan bayi, harus diposisikan di pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar
paling tinggi.4,7,9

Gambar 6. Pengobatan ikterus berdasar pada kadar bilirubin serum8


Tabel 2. Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit
(>37 minggu )
Neonatus kurang bulan sehat Neontaus kurang bulan sakit
:Kadar Total Bilirubin :Kadar Total Bilirubin Serum
Serum (mg/dl) (mg/dl)
Berat Terapi sinar Transfusi Terapi sinar Transfusi
tukar tukar
Hingga 1000 g 5-7 10 4-6 8-10
1001-1500 g 7-10 10-15 6-8 10-12
1501-2000 g 10 17 8-10 15
>2000 g 10-12 18 10 17

Komplikasi terapi sinar


Komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian terapi sinar diantaranya BAB
lembek, ruam eritema, purpura yang berhubungan dengan transient porphyrinemia,
kepanasan, dehidrasi, hipotermia, dan bronze baby syndrome. Fototerapi
dikontraindikasikan pada pasien dengan porfiria. Sebelum dilakukan terapi ini, mata
bayi ditutup dan ditutupi untuk mencegah eksposur terhadap cahaya UV yang dapat
merusak mata. Suhu tubuh dimonitor dan sebaiknya bayi dilindungi dari risiko terkena
pecahan bohlam lampu. Pada pasien dengan gangguan hemolisis hati-hati dengan
terjadinya anemia, yang mungkin butuh transfusi. Anemia dapat saja terjadi walaupun
kadar bilirubin turun.

32
Bronze baby syndrome adalah terlihatnya kulit menjadi lebih gelap, abu-abu
kecokelatan pada pasien-pasien yang menjalani fototerapi. Kebanyakan bayi dengan
sindrom ini memiliki elevasi bilirubin yang tinggi dan bukti lain yang mengarahkan
pada penyakit hepar obstruktif. Diskolorasi yang terjadi mungkin berasal dari
modifikasi porfirin akibat fototerapi, yang biasanya terlihat pada ikterus kolestatik dan
mungkin dapat bertahan hingga beberapa bulan. Fototerapi tetap dilanjutkan walau
terdapat sindrom ini.7

2. Exchange transfution
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati
bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan
isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu
mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis
lebih lanjut dan memperbaiki anemia.4,7,10
Sebagai indikasi, kadar 20mg/dL dari bilirubin indirek adalah indicator untuk
dilakukannya transfusi tukar pada bayi dengan hemolysis dengan berat badan lebih
dari 2000 gr. Bayi asimptomatik dengan ikterus fisiologis ataupun breast milk
jaundice mungkin tidak butuh transfusi tukar, kecuali jika kadar bilirubin indirek
melebihi 25 mg/dL. Biasanya bayi yang berat badannya kurang dari 1000 gr biasanya
tidak membutuhkan transfusi tukar sampai kadar bilirubinnya melebihi 10 mg/dL.5

Gambar 7. Anjuran fototerapi pada pasien ranap dengan usia gestasi >35 minggu.
33
Komplikasi trasnfusi tukar
Komplikasi yang terjadi biasanys berhubungan dengan darah (reaksi transfusi,
gangguan metabolic ataupun infeksi), kateter (perdarahan), atau prosedur sendiri
(hipotensi ataupun enterocolitis nekrosis). Komplikasi lainnya bisa berupa
trombositopenia dan graft-versus-host disease.5

3. Medikamentosa
Beberapa terapi medikamentosa yang dapat mengelola hiperbilirubinemia antara
lain;3,4
a. Imunoglobulin intravena
Digunakan pada bayi inkompabilitas rhesus berat dan inkompabilitas
ABO, untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan
transfusi tukar.
b. Fenobarbital
Penggunaan fenobarbital / difenilhidantoin dapat memberikan hasil
yang efektif, karena obat ini merangsang aktivitas UDPGT dan ligandin
sehingga bilirubin tak terkonjugasi menjadi bilirubin terkonjugasi dan di
keluarkan ke lumen usus. Penggunaan obat ini setelah lahir masih
kontroversial dan tidak direkomendasikan.
c. Metalloprotoporphyrins
Merupakan inhibitor heme oksidasi, dimana enzim ini mengubah heme
menjadi biliverdin yang nantinya akan diubah oleh biliverdin reduktasi
menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Digunakan pada bayi dengan
inkompabilitas ABO dan sindroma Crigler-Najjar tipe 1, namun obat ini
tidak digunakan rutin dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
d. Pengikat bilirubin
Kolestiramin, charcoal dan kalsium fosfat di usus dapat mengikat
bilirubin, sehingga mengurangi bilirubin yang masuk ke siklus
enterohepatik.

5.10 PENCEGAHAN
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan laju peningkatannya dengan: 4,6
- Inisiasi menyusui dini
- Pemberian minum sesegera mungkin
34
- Sering menyusui (setiap 2-3 jam) untuk menurunkan sirkulasi enterohepatik,
menunjang kestabilan bakteri flora normal, dan merangsang aktifitas usus halus.
- AAP merekomendasikan dilakukannya pemeriksaan bilirubin serum total pada
seluruh bayi yang akan pulang, terutama pada bayi yang akan pulang sebelum 72
jam. Masukkan kadar bilirubin yang didapatkan kedalam grafik stratifikasi risiko
(gambar 3).

35
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Pengurus Pusat Ikatan
Dokter Anak Indonesia: Jakarta
2. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., Damanik, Sylviati M. 2004. Hiperbilirubinemia
Pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr.
Soetomo – Surabaya
3. Martiza I. Ikterus. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I,
Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroentero-hepatologi:jilid 1. Jakarta : UKK
Gastroenterohepatologi IDAI 2012; p. 263-83.
4. Hermani B, Sastroasmoro S, ELvira SD, Umbas R, Baziad MA, Herkutanto, Widodo
D, etall. Panduan Praktis Klinis Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: RSCM
2015; 412-8
5. Maracdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behdrman RE. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Esensial edisi keenam. Indonesia: IDAI 2014; 274-8
6. Kliegman, Robert M. 2004. Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia Dalam :
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB Editors. Nelson Textbook Of Pediatrics. 17Th
Edition. Philadelphia, Pennsylvania : Saunders
7. Venita, Dewi R. Ikterus Neonatorum. In: Kapita Selekta, 3rd ed. Jakarta; Penerbit Media
Aesculapius; 2008.
8. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Jakarta; WHO-IDAI 2009; 68-9
9. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. 2004.
Management Of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 Or More Weeks Of
Gestation. Pediatrics; 114;297-316.
10. Özcan M, Sarici SÜ, Yurdugül Y, et al. Association Between Early Idiopathic
Neonatal Jaundice and Urinary Tract Infections. Clinical Medicine Insights
Pediatrics. 2017;11:1179556517701118. doi:10.1177/1179556517701118.
11. Kasap B, Soylu A, Kavuk&cu S (2014) Relation between Hyperbilirubinemia and
Urinary Tract Infections in the Neonatal Period. J Nephrol Therapeutic S11:009.
doi:10.4172/2161-0959.S11-009
12. Pashapour N, Nikibahksh AA, Golmohammadlou S. Urinary tract infection in term
neonates with prolonged jaundice. Urol J. 2007;4:91–94.

36

Anda mungkin juga menyukai