Anda di halaman 1dari 43

ANALISA KASUS KEJAHATAN BISNIS YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI DALAM

PERSPEKTIF HUKUM PIDANA EKONOMI

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Perkembangan dunia usaha yang sedemikian pesat telah membuat para pelaku usaha
berlomba dan bersaing dalam rangka mengembangkan usahanya masing-masing. Hal ini
menimbulkan persaingan usaha yang demikian ketat, khususnya dalam pasar liberal atau
pasar bebas, termasuk di Indonesia saat ini. Dalam rangka memenangkan persaingan
usaha tersebut, seringkali para pelaku usaha menggunakan cara-cara dan langkah yang
melanggar aturan hukum, hal inilah yang kemudian disebut dengan kejahatan di bidang
bisnis atau kejahatan bisnis. Persaingan kadang merupakan hal yang ditakuti atau dibenci.
Padahal selayaknya persaingan tersebut harus dipandang sebagai hal positif. Dalam teori ilmu
ekonomi persaingan yang sempurna (perfect competition) adalah suatu kondisi pasar (market)
yang ideal.1 Namun, dalam kehidupan nyata sulit ditemui pasar yang didasarkan pada
persaingan yang sempurna, persaingan tetap dianggap sebagai hal yang esensial dalam
ekonomi pasar (Competition in the market system is very important for its effective and
responsive operation).”2
Secara konseptual, kejahatan bisnis merupakan bagian dari tindak pidana ekonomi.
Dalam hal ini, para pelaku kejahatan bisnis seringkali terkait dengan korporasi, karena
korporasi merupakan salah satu subjek utama pelaku bisnis atau usaha. Dengan demikian
sebuah kejahatan korporasi merupakan bagian dari kejahatan bisnis, akan tetapi sebuah
kejahatan bisnis belum tentu merupakan kejahatan korporasi. Pernyataan tersebut sangat
terkait erat dengan subjek pelaku kejahatan bisnis dan pertanggungjawaban pidananya.
Kedudukan korporasi dalam sebuah kejahatan bisnis dapat berupa pelaku dapat juga
sebagai korban. Dalam hal korporasi berkedudukan sebagai pelaku dan dapat dikenakan
pertanggung jawaban pidana inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah kejahatan
korporasi.
Kejahatan Korporasi (Corporate Crime) merupakan bagian dari White Collar Crime dan
selalu merupakan kejahatan yang sangat mengganggu masyarakat, bahkan negara dalam
artian yang sangat kompleks, sehingga dalam pendekatan mikro kejahatan korporasi ini
merupakan bagian dari tindak pidana di bidang ekonomi.3

1 Paul A. Samuelson, Economic An Introductory Analysis, Mc Graw-Hill Book Company,USA,


1984, hal. 36.
2 Hoon Hian Teck et.al, Economics: Theory an Aplication, Singapore, Mc Hill Book Co,

Singapore, 1998, hal.14.


3 Indriyanto Seno Adji, Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis dan Korpusi Perbankan, Modul Kuliah

Kejahatan Bisnis, Tanpa Tahun, hal. 4

1
Dalam prakteknya, menentukan korporasi sebagai subjek hukum pidana sangat sulit,
dan masih menjadi perdebatan karena di dalam KUHP sendiri tidak dikenal korporasi
sebagai subjek hukum pidana. Meskipun demikian, sebagai sebuah tindak pidana khusus,
dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, telah diakui bahwa korporasi
merupakan salah satu subjek hukum pidana, seperti dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam perspektif kejahatan bisnis, kedudukan dan pertanggung jawaban pidana
korporasi sebagai pelaku kejahatan bisnis, secara komprehensif dapat dijelaskan dan dianalisa
melalui hukum pidana ekonomi, hal ini mengingat bahwa kejahatan bisnis merupakan bagian
dari tindak pidana ekonomi. Tindak Pidana Ekonomi dalam arti luas menurut Mardjono
Reksodiputro adalah pelanggaran yang diancam dengan sanksi pidana dan peraturan-
peraturan di bidang keuangan, perdagangan dan perindustrian yang kesemuanya diarahkan
pada bidang bisnis terutama Big Scale Business.4
Berdasarkan definisi secara luas terhadap tindak pidana ekonomi tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa segala bentuk kejahatan bisnis merupakan sub-kategori dari tindak
pidana ekonomi, oleh karena itu penjelasan dan analisa kedudukan serta pertanggung
jawaban pidananya, dalam kaitannya dengan korporasi sebagai subjek hukum pidana,
paling komprehensif dijelaskan dan dianalisa melalui perspektif hukum pidana ekonomi.
Penjelasan dan analisa dengan menggunakan persepektif kejahatan bisnis dan tindak
pidana ekonomi akan dipaparkan dalam analisa beberapa kasus kejahatan bisnis yang
melibatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana, pada bagia selanjutnya dari tulisan ini.

2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai
berikut:
1) Bagaimana kedudukan korporasi dalam sebuah kejahatan bisnis berdasarkan
perspektif Hukum Pidana Ekonomi?
2) Bagaimana pertanggung jawaban pidana korporasi dalam sebuah kejahatan bisnis
dalam perspektif Hukum Pidana Ekonomi?

B. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Ekonomi
Hukum pidana ekonomi adalah bagian dari hukum pidana yang mempunyai ciri tersendiri
yaitu sifat ekonomisnya. Banyak para praktisi dan akademisi memberikan definisi

4 Ibid, hlm.vii

2
tentang apa itu tindak pidana ekonomi,5 namun, secara umum, tindak pidana ekonomi dibagi
menjadi dua pengertian: pengertian dalam arti sempit dan arti luas. Terlepas dari
perbedaannya, kedua pengertian itu mempunyai persamaan yaitu keduanya mempunyai
motif ekonomi dan/atau mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan
keuangan negara serta dunia usaha.6
Secara umum dapat dikatakan bahwa tindak pidana ekonomi adalah tindakan-tindakan
di bidang ekonomi yang dilarang dan dapat dipidana baik dalam arti sempit maupun dalam arti
luas.7
Tindak pidana di bidang perekonomian dalam arti sempit adalah seluruh tindakan yang
tercantum Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tindak pidana jenis ini disebut sempit karena secara
substansial memuat sebagian kecil dari kegiatan ekonomi secara menyeluruh. Undang-
Undang Darurat ini mulai berlaku pada tanggal 13 Mei tahun 1955 karena keadaan yang
mendesak yang diakibatkan oleh kesulitan ekonomi pada saat itu. Undang-undang ini
dikeluarkan dengan harapan dapat mencegah terjadinya kerugian negara pada saat itu.
Menurut Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955, yang dimaksud dengan tindak
pidana ekonomi adalah:
1) Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 1 sub 1e:
a. pelanggaran di bidang devisa;
b. pelanggaran terhadap prosedur impor, ekspor/penyelundupan;
c. pelanggaran izin;
d. pelanggaran ketentuan barang-barang yang diawasi.
2) Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 1 sub 2e:
a. Pasal 26, dengan sengaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut
berdasarkan suatu ketentuan dalam undang-undang;
b. Pasal 32, dengan sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan:
 suatu hukuman tambahan sebagai tercantum dalam pasal 7 sub s, b, dan c;
 suatu tindakan tata tertib sebagai tercantum dalam pasal 8;
 suatu peraturan termaksud dalam pasal 10;

5
Kartin S. Hulukati, Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Ekonomi Dengan Undang-undang No.
7/DRT/1955, Universitas Diponegoro, 2003, hal. 41 & 42.
6 Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Pradnya Paramita, 1993, hal. 12.
7 Para ahli menggunakan istilah lain seperti kejahatan bisnis, kejahatan kontemporer, kejahatan

kerah putih. Diskusi mengenai masing-masing istilah dapat dilihat di: Romli Atmasasmita, Hukum
Kejahatan Bisnis: Teori & Praktik di Era Globalisasi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2014, hal. 43-48;
Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan; Kumpulan Karang Buku Kesatu,
Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 1994, hal. 1 & 2.

3
 suatu tindakan tata tertib sementara atau menghindari hukuman tambahan
atau tindakan tata tertib sementara seperti tersebut diatas.
c. Pasal 33, dengan sengaja baik sendiri maupun perantara orang lain menarik
bagian-bagian kekayaan untuk dihindarkan dari: tagihan-tagihan, pelaksanaan
suatu hukuman atau tindakan tata tertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan
undang-undang.
3) Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 1 sub 3e: Pelanggaran sesuatu
ketentuan dalam undang-undang lain dan berdasarkan undang-undang lain.
Undang-Undang Darurat No. 7 tahun 1955 dalam perkembangannya telah mengalami
perubahan dan penambahan.8 Namun Undang-Undang Darurat ini tidak pernah dicabut
walaupun sudah lama mandul dan tidak diterapkan.9 Hal ini tidak terlepas dari tujuan
pembuat undang-undang yang menyatakan bahwa tindak pidana ekonomi hanya memiliki sifat
temporer atau sementara, artinya undang-undang tersebut hanya difungsikan pada saat
negara dalam keadaan kesulitan ekonomi dan sampai keadaan ekonomi pulih kembali.
Tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah semua tindak pidana di luar Undang-
Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak
pidana ekonomi. Hal ini mencakup pelbagai tindak pidana di bidang perekonomian yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang tentang Korupsi,
Undang-Undang tentang Perbankan, Undang-Undang Persaingan Perusahaan, Undang-
Undang tentang Asuransi, Undang-Undang tentang Merek, Undang-Undang tentang
Paten, Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup dan lain-lain. Banyak diantara itu undang-
undang tersebut bersifat administratif artinya mengatur hal-hal yang bersifat administratif tetapi
disertai dengan sanksi pidana. Namun, ada juga undang-undang yang khusus mengatur tindak
pidana tertentu seperti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
American Bar Association memberikan batasan mengenai economic crime:10 “any
nonvio. lent, illegal activity which principally involved deceit, m,isrepresentation,
concealment, manipulation, breach of trust, subterfuge, or illegal circumvention” (setiap
tindakan ilegal tanpa kekerasan, terutama menyangkut penipuan, perwakilan tidak sah,
penimbunan, manipulasi, pelanggaran kontrak, tindakan curang).

8 Undang-undang ini telah dirubah dengan Undang-undang No. 8 tahun 1958, LN. 1958-156

dan Perpu LB. 1960 No. 13, Perpu L. 1960 No. 74, Perpu LN 1960 No. 118, Perpu LN. 1962 No. 142,
Perpu LN 1962 No. 43; UU LN 1964 No. 101; UU LN No. 42, Perpu LN 1962 No. 43 UU LN. 1964 No.
101, UU LN 1964 No. 131, Perpu No. 15 tahun 1962, UU No. 11 tahun 1965. Diskusi lebih lanjut
dapat dilihat di: Hulukati, Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Ekonomi Dengan Undang-undang No.
7/DRT/1955, hal. 45.
9 Undang-Undang ini masih digunakan sebagai dasar hukum dalam kasus pidana No.

87/Pid.B/2014/PN.Kds.
10 Dalam Frank E. Hagan, Introduction to Criminology (Theories, Methods, and Criminal

Behavior), Nelson-Hall, Chicago, 1989, hal. 101.

4
Clarke (1990) telah mempergunakan istilah, Business Crimes. Kedalam istilah ini
termasuk tindak pidana yang berkaitan dengan dan terjadi di dalam kegiatan perdagangan,
keuangan (termasuk kegiatan di dalam pasar bursa), perbankan dan kegiatan perpajakan.
Bahkan tindak pidana yang berkaitan dengan masalah perburuhan dan tenaga kerja. Clarke
telah memperluas pengertian Business crime yaitu suatu kegiatan yang (selalu) memiliki
konotasi legitimate business dan tidak identik sama sekali dengan kegiatan suatu sindikat
kriminal. Dengan demikian Clarke membedakan secara tegas kegiatan yang
termasuk business crime disatu pihak dengan kegiatan yang dilakukan oleh suatu sindikat
kriminal yang juga bergerak di dalam kegiatan perdagangan. Bahkan Clarke telah
mengungkapkan dan menyebutkan dua wajah khas dan suatu business crime, yaitu:
pertama, suatu keadaan legitimatif untuk melaksanakan kegiatannya yang bersifat
eksploiatif, dan kedua, suatu akibat khas ialah, sifat kontestabilitas dan kegiatannya dalam
arti kegiatan yang dipandang ilegal menurut undang-undang masih dapat “diperdebatkan” oleh
para pelakunya.11
Selanjutnya, Clarke menguraikan beberapa karakteristik dari tindak pidana ekonomi,
yaitu sebagai berikut:12
1) Privacy
2) Lack of public Order Violation
3) Internal Detection and Control
4) The Limited Role of the Law
5) The Ambiguity of Business Crime
6) Business Offences as Politics
7) Sanctions
8) Consumerism and Business Accountability
9) Private Interest versus the Public Good

2. Korporasi
Korporasi juga disebut dalam bidang hukum perdata sebagai badan hukum atau
rechtspersoon. Secara etimologis kata korporasi (Belanda: corporatie, Inggris: corporation,
Jerman: corporation) berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa latin. Seperti kata-kata
lainnya yang berakhiran dengan “tio” maka korporasi sebagai kata benda (substantium),
berasal dari kata kerja “corporare”. Corporare berasal dari kata corpus yang berarti
memberikan badan atau membadankan.Dengan demikian, corporatio adalah hasil dari
pekerjaan yang membadankan, atau dengan kata lain, badan yang dijadikan orang, badan

11 Clarke, Michael, Business Crime: Its Nature and Control, Polity Press, 1990, hal. 18-19.
12 Ibid, hal. 32.

5
yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang
terjadi menurut alam.13
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli Hukum Pidana untuk
menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya Hukum Perdata, sebagai badan
hukum atau dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.14 Menurut terminologi
Hukum Pidana, bahwa “korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri,
kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota.”15
Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan pengertian korporasi sebagai badan hukum,
yaitu:16
an entity (ussualy business) having authority under law to act a single person
distinct from the shareholder who own it and having rights to issue stock and exist
indefinitely, a group or succession of person esthabilished in accordance with
legal rules into a legal or justice person that’s the legal personality distinct from
the natural persons who make it up exist indefinetly apart from them, and has the
legal that’s constitution gives it.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Korporasi adalah:17


1) Badan usaha yang sah; badan hukum;
2) Perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan
yang dikelola dan dijalankan sebagai suatu perusahaan besar.
Berbicara mengenai pengertian korporasi, para sarjana memberikan pengertian yang
berbeda, menurut Utrecht korporasi adalah “suatu gabungan orang yang dalam pergaulan
hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu personifikasi.
Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri
terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.”18
Satjipto Rahardjo, menyatakan:19 “Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan
hukum.Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya
hukum memasukan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian.Oleh
karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum kecuali penciptaannya, kematiannya juga
ditentukan oleh hukum”.
Pengertian badan hukum itu sendiri, sebenarnya terjadi sebagai akibat dari
perkembangan masyarakat menuju modernisasi. Dahulu di alam yang masih primitif ataupun
didalam kehidupan yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan usaha dijalankan secara

13Ali Chidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1999, hlm. 66.


14Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, PT.Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 11.
15 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 34.
16 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 2.
17 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 596
18 Dalam Chidir Ali, Op.Cit, hal. 64.
19 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni 1986, hal., 110.

6
perorangan. Perkembangannya, tumbuh kebutuhan untuk menjalankan usaha secara
bekerja sama dengan beberapa orang yang mungkin atas dasar pertimbangan agar dapat
menghimpun modal yang lebih berhasil daripada dilaksanakan sendiri. Beranjak dari itu
kemudian timbul keinginan untuk membuat suatu wadah seperti badan hukum agar
kepentingan-kepentingan masing-masing lebih mudah dijalankan dan untuk membagi resiko
yang mungkin timbul dari bentuk kerjasama yang dijalankan.20
Adapun yang menjadi ciri-ciri sebuah badan hukum/korporasi adalah:21
1) Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang lain – orang yang
menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut;
2) Memiliki hak-hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban orang-
orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut;
3) Memiliki tujuan tertentu;
4) Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat
pada orang-orang tertentu, karena hak dan kewajibannya tetap tetap ada
meskipun orang yang menjalankannya berganti.
Ronald A. Anderson et. al., menggolongkan korporasi berdasarkan hubungannya
dengan publik, sumber kekuasaan dan sifat aktivitas dari korporasi itu sendiri. Dari
penggolongan tersebut maka dalam negara Anglo Saxon, jenisjenis korporasi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:22
1) Korporasi Publik, adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas administrasi di bidang urusan publik,
contohnya pemerintahan Kabupaten atau Kota;
2) Korporasi Privat, yaitu korporasi yang didirikan untuk kepentingan pribadi yang
dapat bergerak di bidang industri dan perdagangan, contohnya PT. Garuda Tbk;
3) Korporasi Publik Quasi, atau yang lebih dikenal dengan korporasi yang melayani
kepentingan umum (public service), contohnya PT. Kereta Api Indonesia,
Perusahaan Air Minum dan Perusahaan Listrik Negara.
Memperhatikan penggolongan korporasi di negara Anglo Saxon tersebut di atas, maka
di Indonesia, penggolongan badan hukum dilihat dari jenisnya dapat dibedakan menjadi dua
yakni badan hukum publik dan badan hukum privat. Badan hukum publik misalnya Negara
Republik Indonesia, Pemerintah Kota/Kabupaten dan sebagainya, sedangkan badan hukum
privat misalnya Perseroan Terbatas, Yayasan dan lain sebagainya. Kriteria untuk

20 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hal., 13.


21 Mochtar Kusumaadmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000, hal. 81.
22 Dalam Dwidja Prayitno Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi di Indonesia, Penerbit CV. Utomo, Bandung, 2004, hal. 14-15

7
menentukan suatu badan hukum dikatakan badan hukum publik atau badan hukum privat
ada dua yaitu:23
1) Dilihat dari pengelolaannya, badan hukum publik didirikan oleh
Pemerintah/Negara, sedangkan badan hukum privat didirikan orang-
perseorangan;
2) Dilihat dari kepentingannya, pada prinsipnya didirikannya badan hukum tersebut
apakah bertujuan untuk kepentingan umum atau tidak; artinya jika lapangan
pekerjaannya bertujuan untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut
merupakan badan hukum publik, akan tetapi jika tujuannya untuk kepentingan
perseorangan maka badan hukum itu merupakan badan hukum privat.

3. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi


Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga Torekenbaardheid atau
criminal responsibility, yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu
tindak pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana itu adalah diteruskannya
celaan objektif yang ada pada tindak pidana.24
Terdapat dua pandangan tentang pertanggungjawaban pidana, yaitu pandangan
monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis atau monisme dikemukakan antara lain
oleh Simon. Menurut aliran monisme, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur
perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang lazim dinamakan
unsur subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka
dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan
pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti
pelakunya dapat dipidana.25
Penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat,
bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik meliputi:26
1) Kemampuan bertanggungjawab;
2) Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan;
3) Tidak ada alasan pemaaf.
Disisi lain, dalam pandangan dualistis, untuk adanya Strafvoraussetzungen (syarat-
syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya

23Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hal. 14.


24Ibid, hal. 34.
25 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. Ke-1, Jakarta :

Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 63.


26 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 44-45

8
strafbare handlung (perbuatan pidana), lalu setelah itu dibuktikan schuld atau kesalahan
subjektif.27
Dalam Hukum Pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” merupakan konsep
sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal
dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu
perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Disini
berlaku apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld
atau geen straf zonder schuld atau nullapoena sine culpa). Dalam Hukum Pidana Inggris
asas ini dikenal dalam bahasa Latin yang berbunyi “actus non facit reum misi mens sit rea” (an
act does not make a person guilty, unless the mind is guilty).28
Terkait dengan kesalahan tersebut, terdapat beberapa pengertian kesalahan menurut
beberapa ahli yaitu sebagai berikut:29
1) Mazger mengatakan: “Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar
untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana.
2) Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “social-ethisch”, dan
mengatakan antara lain: “sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam Hukum
Pidana ia berupa keadaan psikis (jiwa) dari si pembuat, dan hubungannya
terhadap perbuatannya dan di dalam arti bahwa berdasarkan psikis (jiwa) itu
perbuatannya dicelakan kepada si pembuat.
3) Van Hamel mengatakan bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan
pengertian psikologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan
terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah
pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de verantwoordelijkheidrechtens)”.
4) Pompe mengatakan antara lain: “pada pelanggaran norma yang dilakukan karena
kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang
bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang bertalian
dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan. Kesalahan ini dapat dilihat dari dua
sudutmenurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid) dan
menurut hakikatnya ia adalah hal yang dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid)
perbuatan melawan hukum”.
Dari pendapat-pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung
unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana.Pencelaan disini
bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang

27 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 66


28 Moejiatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1987, hal. 153.
29 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hal. 88-89

9
berlaku. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sudarto bahwa untuk adanya kesalahan maka
harus ada pencelaan ethics, betapa pun kecilnya.30
Sehubungan dengan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai pelaku tindak
pidana, timbul pertanyaan kriteria apa yang digunakan untuk menentukan kemampuan
bertanggung jawab korporasi sebagai subjek Hukum Pidana mengingat bahwa korporasi
tidak mempunyai sifat kejiawaan sebagaimana halnya dengan manusia alamiah.
Menurut Rolling, sebagaimana yang dikutip oleh Mahmud Mulyadi, badan hukum
dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bilamana perbuatan yang terlarang yang
pertanggungjawabannya dibebankan kepada badan hukum (korporasi) dilakukan dalam
rangka tugas dan pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Menurutnya kriteria ini
didasarkan pada delik fungsional. Sehubungan dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan
delik fungsional adalah delik-delik yang berasal dari ruang lingkup atau suasana sosial
ekonomi dimana dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial atau ekonomi
tertentu harus dilaksanakan dan terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok
fungsionaris tertentu.31
Mencermati ajaran atau konsep pelaku fungsional, yakni perbuatan fisik seseorang
yang sebenarnya telah menghasilkan perbuatan fungsional lainnya, maka kemampuan
bertanggung jawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi dalam
Hukum Pidana. Korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan
korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Dengan demikian
kemampuan bertanggung jawab oleh orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama
korporasi dapat dialihkan menjadi kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek
tindak pidana. Diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana oleh beberapa peraturan
perUndang-undangan diluar KUHP termasuk didalam Rancangan KUHP menunjukkan
bahwa terjadi perluasan mengenai siapa yang dikatakan sebagai pelaku tindak pidana,
dimana suatu badan hukum (korporasi) apabila dituntut telah melakukan tindak pidana baik
dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan.32
Membicarakan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, Mardjono Reksodiputro,
sebagaimna yang dikutip Mahmud Mulyadi, menyatakan bahwa cara berpikir dalam hukum
perdata dapat diambil alih ke dalam hukum pidana. Sebelumnya dalam hukum perdata
terdapat perbedaan pendapat apakah suatu badan hukum dapat melakukan perbuatan
melawan hukum (onrechtmatigedaad). Namun melalui asas kepatutan dan keadilan sebagai
dasar utama, maka Ilmu Hukum Perdata menerima suatu badan hukum dapat dianggap

30 Ibid, hal. 89.


31 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 46
32 Ibid, hal. 47.

10
bersalah yang merupakan perbuatan yang melawan hukum, lebih-lebih dalam lalu lintas
perekonomian.33
Ajaran ini mendasarkan pada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh pengurus harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam bertindak
tidak melakukannya atas hak atau kewenanngannya sendiri, tetapi melainkan atas hak atau
kewenangan badan hukum yang bersangkutan. Dengan demikian bahwa badan hukum juga
tidak dapat melepaskan diri dari kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang dilakukan oleh
pengurusnya. Cara berpikir dalam Hukum Perdata ini dapat diambil alih ke dalam Hukum
Pidana.34

C. Pembahasan
1. Analisa Kasus Korupsi PT. Aditya Rezki Abadi (Putusan Nomor:
53/Pid.Sus/2012/PN.Makassar)
a. Resume Putusan
1) Terdakwa
Dalam kasus ini, yang menjadi terdakwa adalah sebagai berikut:
Nama Lengkap : Muhammad Jasmin Dawi bin Semi;
Tempat Lahir : Soppeng;
Umur/Tanggal Lahir : 37 tahun/ 27 Desember 1972;
Jenis Kelamin : Laki-laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat Tinggal : Perum Pesona Taman Dahlia Blok a/14,
RT/RW 01/01, Kelurahan Mattoangin,
Kecamatan Mariso Kota Makassar;
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Jabatan : Direktur Utama PT. Aditya Rezki Abadi
Makassar.

2) Kasus Posisi
Bahwa Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur PT.ARA, Pada
tahun 2005 telah mengajukan permohonan pembiayaan multiguna kendaraan bermotor
kepada PT.BTN (persero) Cabang Syariah Makassar, sehubungan dengan adanya produk
pembiayaan kendaraan bermotor yang dalam pelaksanaannya berpedoman pada Surat
Edaran Direksi PT.BTN (Persero) Nomor : 6/DIR/DSYA/2005 tanggal 05 April 2005 tentang

33 Ibid, hal. 48.


34 Ibid.

11
Petunjuk Pelaksanaan Pembiayaan Multiguna BTN Syariah dan Standar Operating Prosedur
Pembiayaan Multiguna BTN Syariah (SOP).
Bahwa untuk mengajukan permohonan pembiayaan kendaraan bermotor pada
PT.BTN (Persero) Cabang Syariah Makassar, pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2008
Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur PT.ARA, memerintahkan
Syarifuddin Ashari selaku Manajer Operasional PT.ARA dan saksi Andi Basri Esa selaku
Manajer Marketing PT.ARA, mencari pihak lain yaitu orang perorangan yang bersedia
membantu PT.ARA untuk menjadi pihak yang seolah-olah sebagai calon nasabah yang
hendak mengajukan pembiayaan mobil, selanjutnya Syarifuddin Ashari melaksanakan perintah
terdakwa Muhammad Jusmin Dawi Bin Semi dengan cara meminjam identitas calon nasabah
berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Surat Nikah dan Pas foto dengan
imbalan per-orang Rp.700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah) sampai dengan Rp.1.500.000,- (satu
juta lima ratus ribu rupiah) untuk diajukan ke PT.BTN (Persero) Cabang Syariah Makassar
bersama dengan identitas calon nasabah tersebut, PT.ARA juga melampirkan dokumen yang
seolah- olah isinya benar.
Bahwa keseluruhan dokumen yang diajukan oleh PT.ARA ke PT.BTN (Persero)
Cabang Syariah Makassar sejumlah 785 (tujuh ratus delapan puluh lima) calon nasabah, harus
dilakukan verifikasi oleh bagian Financing Service Officer (FSO) yaitu saksi Yahya Hidayat dan
saksi Muh. Afif walaupun pada kenyatannya tugas tersebut diambil alih oleh Muh. Nasir,
SE atas sepengetahuan Abdurrachman Salama (Almarhum) selaku Kepala PT. BTN (Persero)
Cabang Syariah Makassar, sehingga seluruh dokumen yang diajukan oleh Terdakwa
Muhammad Jusmin Dawi bin Semi, diloloskan seolah-olah telah dilakukan verifikasi.
Perbuatan Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi dan Syarifuddin Ashari
bersama-sama dengan Abrurachman Salama (Almarhum) dan Muh. Nasir tersebut
bertentangan dengan Standard Operating Procedures (SOP) Surat Edaran Direksi PT. Bank
Tabungan Negara BTN (Persero) Nomor : 6/DIR/DSYA/2005 tanggal 5 April 2005, yaitu
aplikasi dan persyaratan calon nasabah harus melalui tahapan verifikasi, wawancara, dan
pengecekan setempat seharusnya dilakukan oleh Finance Service Officer.
Bahwa dari 785 (tujuh ratus delapan puluh lima) calon nasabah yang diajukan oleh
terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi dengan pokok pinjaman sebesar
Rp.72.049.787.175.00 (Tujuh puluh dua miliar empat puluh sembilan juta tujuh ratus delapan
puluh tujuh ribu seratus tujuh puluh lima rupiah) ternyata diantaranya terdapat 493 (empat
ratus sembilan puluh tiga) orang adalah calon nasabah fiktif, karena selain dokumen
tersebut di atas, masih terdapat dokumen lain yang dijadikan jaminan ke Bank sebagai
syarat pencairan dana pembiayaan saja, padahal diketahui dokumen tersebut tidak sesuai
dengan kenyataannya.

12
Bahwa Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur PT.ARA
bertanggungjawab penuh atas pembayaran pembiayaan angsuran nasabah tersebut mulai dari
awal sampai dengan pembayaran pelunasan, kenyataannya angsuran yang telah disetor
melalui PT.ARA, oleh Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi tidak disetor ke PT. BTN
(Persero) Cabang Syariah Makassar melainkan digunakan untuk keperluan Terdakwa
Muhammad Jusmin Dawi bin Semi sendiri sehingga atas perbuatan Terdakwa Muhammad
Jusmin Dawi bin Semi dan Syarifuddin Ashari bersama-sama dengan Abdurachman Salama
(almarhum) dan Muh.Nasir telah memperkaya diri sendiri atau orang
lain.
Bahwa perbuatan Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi dan Syarifuddin Ashari
bersama- sama dengan Abdurachman Salama (almarhum) dan Muh. Nasir, yang dilakukan
secara terus menerus sejak Tahun 2005-2008 sehingga akibat dari perbuatan tersebut
menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp.44.199.462.000,00 (Empat puluh
empat miliar seratus sembilan puluh sembilan juta empat ratus enam puluh dua ribu rupiah)
sesuai Laporan Hasil Audit Investigatif yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor : LHAI-
1372/PW21/5/2009 tanggal 1 Desember 2009.

3) Dakwaan
1) Dakwaan Primair: Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 jo. Undang- undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP;
2) Dakwaan Subsidair : Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
jo. Undang- undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

4) Putusan
1) Menyatakan Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
bersama- sama dan berlanjut;
2) Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana penjara
selama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda sebesar Rp.300.000.000 (tiga ratus
juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka akan
diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;

13
3) Menjatuhkan pula pidana agar Terdakwa membayar uang pengganti kerugian
keuangan negara sebesar Rp.44.199.462.000,00 (Empat puluh empat miliar
seratus sembilan puluh sembilan juta empat ratus enam puluh dua ribu rupiah)
dengan ketentuan jika terpidana tidak membayar uang pengganti tersebut paling lama
1 (satu) bulan sesudah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta
benda milik terpidana akan disita dan dilelang untuk membayar uang pengganti
tersebut dan dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi
untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua)
tahun.
4) Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, kecuali waktu selama terdakwa dirawat
inap di rumah sakit luar rumah tahanan negara yang tidak ikut dikurangkan;
5) Menetapkan barang bukti yang terdiri atas :....................... DIKEMBALIKAN
KEPADA BTN SYARIAH KCS MAKASSAR;
6) Membebankan untuk membayar biaya perkara kepada Terdakwa sebesar
Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

b. Analisa
Dalam sudut pandang tindak pidana ekonomi, terdapat sebuah karakter baru tindak
pidana ekonomi yang berkembang pesat di abad-20. Karakteristik ini diketemukan ketika
aparatur penegak hukum di negara maju, bertekad dan telah melaksanakan tindakan
pencegahan dan penanggulangan atas tindak pidana ini. Dalam praktik ternyata cara-cara non-
litigasi yang biasa dikenal dengan negosiasi atau cooperation (Braithwaite, 1936) telah
mengalami perkembangan yang menyimpang dan tujuan semula dilakukannya upaya
pengendalian.35
Penyimpangan ini dikenal sebagai tndakan kolusi atau collussion sehingga persoalannya
bukanlah terletak pada kerjasama (cooperation) itu sendiri melainkan terletak pada:
bagaimana suatu “cooperation” berubah atau bergeser menjadi suatu “collusion”.
Bahkan menurut Van den Heuvel, yang (bersifat) kriminal itu bukanlah organisasi atau
industrinya melainkan, “the interplay between public and private enterprises that can be
criminogenic, with share responsibility”.36
Dalam kasus ini, penyimpangan kerjasama menjadi kolusi terwujud dalam
pemufakatan jahat yang dilakukan oleh Terdakwa selaku Direktur Utama PT. ARA bersama
dengan Abdurrachman Salama (Almarhum) selaku Kepala PT. BTN (Persero) Cabang

35 GraboskY, Peter dan Barithwate, John., Of Manners Gentie : Enforcment Strategies of

Australian Bussines Agencies. Oxford Unive Press, 1986, hal. 129.


36 Van den Heuvel dalam Ibid.

14
Syariah Makassar, untuk melakukan manipulasi pengajuan pembiayaan kredit kendaraan
bermotor sebagai kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. ARA.
Kedudukan Terdakwa selaku Direktur Utama PT. ARA yang menggunakan PT. ARA
selaku perusahaan yang berbadan hukum (korporasi) untuk melakukan tindak pidana
korupsi, menunjukan bahwa dalam kasus ini korporasi dapat juga dianggap sebagai subjek
pelaku tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada Terdakwa. Berdasarkan pasal 20
ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika tindak pidana korupsi dilakukan
oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana terhadap korporasi
bersifat kumulatif-alternatif yang berarti bahwa pertanggungjawaban pidana dapat
diberlakukan kepada : 1) pengurus ; 2) korporasi ; atau 3) pengurus dan korporasi.
Sedangkan, Muladi dan Dwidja Priyatno menggolongkan beberapa model
pertanggungjawaban pidana korporasi, yakni:37
1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;
2) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab; dan
3) Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai bertanggungjawab.
Jika mengacu kepada rangkaian peristiwa dalam kasus ini, serta berdasarkan kepada
putusan Nomor 53/Pid.Sus/2012/PN.Makassar dapat diketahui bahwa model
pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan adalah Korporasi sebagai pembuat
dan pengurus yang bertanggungjawab yakni dalam hal ini korporasi PT. Aditya Rezki Abadi
Makassar “mungkin” yang berbuat namun Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur
Utama PT.Aditya Rezki Abadi Makassar yang bertanggungjawab.
Muladi dan Dwidja Priyatno mengemukakan bahwa dalam hal korporasi sebagai
pembuat dan pengurus bertanggungjawab, maka ditegaskan bahwa korporasi ‘mungkin’
sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggungjawab; yang dipandang
dilakukan oleh korporasi adalah perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi
menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Sifat dari perbuatan yang menjadikan
tindak pidana itu adalah onpersoonlijk, yakni orang yang memimpin korporasi
bertanggungjawab pidana, terlepas dari pengetahuannya tentang perbuatan tersebut.38
Namun, berdasarkan analisa lebih lanjut terhadap perkara ini, penulis beranggapan
bahwa model pertanggungjawaban pidana yang lebih tepat diterapkan adalah model
pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus sebagai penanggungjawab, sehingga
yang patut menjadi Terdakwa dalam perkara ini adalah korporasi dan pengurus yakni PT.
Aditya Rezki Abadi Makassar (PT.ARA) dan Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku
Direktur Utama PT. ARA. Pemikiran ini berdasarkan kepada Pasal 20 ayat (2) UU

37 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit, hal. 83


38 Ibid, hal. 86.

15
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur bahwa tindak pidana korupsi
dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut:
1) Dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain;
 Dalam perkara aquo, Muhammad Jusmin Dawi bin Semi melakukan
perbuatan melawan hukum berdasarkan hubungan kerja dan hubungan lain
dimana tindak pidana korupsi tersebut dilakukan secara bersama- sama
antara Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur Utama PT. ARA ,
Syarifuddin Ashari selaku Manager Operasional PT. ARA, Abdurrahman
Salama (Almarhum) selaku Kepala Cabang PT. BTN (Persero) Cabang
Syariah Makassar dan Muh. Nasir selaku Penyelia Operasional PT.BTN
(Persero) Cabang Syariah Makassar.
 Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur Utama PT. ARA bertindak
untuk dan atas nama PT. ARA melakukan perjanjian kerja sama pengadaan
kendaraan bermotor antara PT. BTN (Persero) Cabang Syariah Makassar
dengan PT. ARA No. 05/PKS/KCSMKSNI/2005 tanggal 29 Juni 2005 dan No.
257 tanggal 28 Februari 2006 yang merupakan tindak lanjut dari surat edaran
direksi BTN Syariah No. 6/DIR/DSYA/2005 tanggal 5 April 2005 tentang
petunjuk pelaksanaan pembiayaan Multiguna BTN Syariah dan Standar
Operating Procedures pembiayaan Multiguna BTN Syariah (SOP).
 Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur Utama PT. ARA secara
bersama- sama dengan Syarifuddin Ashari selaku Manager Operasional
PT.ARA, Abdurrachman Salama (Almarhum) selaku Kepala Cabang PT.BTN
(Persero) Cabang Syariah Makassar dan Muh. Nasir selaku Penyelia
Operasional PT.BTN (Persero) Cabang Syariah Makassar, berdasarkan
hubungan kerja telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melanggar
prinsip kehati-hatian yang diatur dalam pasal 8 ayat (1) dan Pasal
29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
2) Bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun secara
bersama-sama.
Muhammad Jusmin Dawi bin Semi berdasarkan tugas dan wewenang dalam
korporasi serta bertindak untuk dan atas nama PT. ARA berdasarkan anggaran
dasar, telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama- sama dengan
Syarifuddin Ashari selaku Manager Operasional PT. ARA dan telah
memerintahkan Manager Marketing Andi Basri, Manager Keuangan beserta para
staf dan staf lepas untuk mencari nasabah fiktif terkait dengan perjanjian kerja

16
sama pengadaan kendaraan bermotor pembiayaan multiguna PT. BTN (Persero)
Cabang Syariah Makassar.
Fakta-fakta hukum tersebut telah menunjukan bahwa unsur-unsur yang diperlukan
dalam Pasal 20 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah terpenuhi.
Sehingga berdasarkan teori fungsional dan agregat maka actus reus dan mens rea dari
beberapa personel fungsional digabungkan sebagai actus reus dan mens rea korporasi.
Disamping itu, menurut Sutan Remy Sjahdeini yang mengemukakan ajaran gabungan
untuk pertanggungjawaban pidana korporasi dalam bukunya serta dalam kesaksiannya
sebagai ahli pada perkara putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm yang dijadikan
pertimbangan hakim dalam membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
kasus tersebut, Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa terdapat unsur dan syarat untuk
dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, yakni:39
(1) Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun ommission)
dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang di dalam struktur
organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi;
Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan pengertian directing mind dari korporasi
adalah personel yang memiliki posisi sebagai penentu kebijakan korporasi atau
memiliki kewenangan sah untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang
mengikat korporasi tanpa harus mendapatkan persetujuan dari atasannya.40
Perbuatan tersebut dilakukan oleh Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku
Direktur Utama PT. ARA yang dapat diidentifikasikan sebagai directing mind dari PT.
ARA yang memiliki kewenangan sah untuk melakukan atau tidak melakukan
perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari
atasannya berdasarkan kewenangan yang telah diberikan dalam anggaran dasar
korporasi.
(2) Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi;
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, PT. ARA bergerak di berbagai
bidang usaha salah satunya adalah usaha penjualan kendaraan bermotor yang
lebih dikenal dengan Showroom. PT. ARA adalah korporasi yang melakukan
perjanjian kerjasama pengadaan kendaraan bermotor dengan PT. BTN (Persero)
Cabang Syariah Makassar pada tahun 2005 hingga tahun 2008, dimana PT. ARA
sebagai penyedia kendaraan bermotor dan PT. BTN (Persero) Cabang Syariah
Makassar sebagai penyedia dana (pembiayaan).

39 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006,

hal. 118-124.
40 Ibid.

17
Seluruh rangkaian perbuatan Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur
Utama PT. ARA bersama- sama dengan Syarifuddin Ashari selaku Manager
Operasional PT. ARA dalam perkara ini adalah berkaitan dengan Permohonan serta
perjanjian kerjasama yang dilakukan antara PT. ARA dan PT. BTN (Persero)
Cabang Syariah Makassar. Bahwa dalam permohonan, penandatanganan, serta
pelaksanaan perjanjian kerjasama serta SOP tersebut dilakukan oleh Muhammad
Jusmin Dawi bin Semi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi dalam
kedudukannya sebagai direktur utama PT. ARA.
Dengan demikian, pengajuan nasabah fiktif serta tidak disetornya BPKB dan faktur
tersebut juga dilakukan oleh Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur
Utama PT. ARA dalam kedudukannya sebagai directing mind korporasi bersama-
sama dengan Syarifuddin Ashari selaku Manager Operasional PT. ARA dan
memerintahkan Manager Marketing berserta staffnya tersebut, pada dasarnya juga
dilakukan berdasarkan ruang lingkup serta maksud dan tujuan korporasi dalam
melaksanakan perjanjian kerjasama pengadaan kendaraan bermotor dan
pemenuhan SOP pembiayaan multiguna PT. BTN (Persero) cabang Syariah
Makassar.
(3) Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam
rangka tugasnya dalam korporasi;
Analisis terhadap unsur dan syarat ketiga ini hampir mirip dengan analisis pada
unsur dan syarat pertama. Pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada
korporasi bilamana tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah
pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Maka berkaitan dengan
unsur dan syarat ketiga ini, Terdakwa bertindak selaku Direktur Utama PT. ARA
dalam rangka tugasnya dalam korporasi yakni sebagai pengambil kebijakan
(directing mind) dari korporasi sesuai dengan anggaran dasar, dimana Terdakwa
mempunyai kedudukan yang menentukan sehingga bisa dianggap sebagai
korporasinya itu sendiri.
(4) Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi
korporasi;
Sutan Remy Sjahdeini menegaskan bahwa unsur dan syarat ini mengandung
pengertian bahwa pertanggungjawaban atas dilakukannya tindak pidana tersebut
menjadi pertanggungjawaban korporasi hanya apabila personel yang melakukan
perbuatan tersebut sejak semula memiliki tujuan atau maksud agar tindak pidana

18
tersebut memberikan manfaat bagi korporasi baik secara finansial maupun non-
finansial.41
Sedangkan menurut Hasbullah F. Sjawie, pengertian dengan maksud untuk
memberikan manfaat bagi korporasi, bukan berarti bahwa dalam hal ini pelaku
lahiriah yang melakukan perbuatan pidana tidak boleh memperoleh keuntungan
secara langsung dari perbuatannya. Sepanjang yang dilakukannya untuk
kepentingan dan memberikan manfaat bagi korporasi, maka meskipun dalam
melakukan tindak pidana tersebut pelaku juga memperoleh keuntungan pribadi,
akan tetapi tetap saja korporasi yang bersangkutan harus bertanggungjawab secara
pidana.42
Perbuatan Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur Utama
PT. ARA yang dilakukan secara melawan hukum menunjukkan bahwa perbuatan
Terdakwa telah memberikan manfaat baik secara finansial maupun non-finansial
kepada Korporasi. Hal ini dibuktikan dari alat bukti surat daftar kendaraan PT.
ARA tahun 2005 s/d tahun 2009 yang menunjukkan terdapat 9 (sembilan) unit
mobil nasabah yang sesuai identitas yang terdapat pada BTN Syariah namun
kenyataannya kendaraan yang dimaksud dikuasi oleh PT. ARA. Selain itu, pencairan
dana sebesar Rp.72.049.787.175,00 (tujuh puluh dua milyar empat puluh
sembilan juta tujuh ratus delapan puluh tujuh ribu seratus tujuh puluh lima rupiah)
untuk fasilitas pembiayaan multiguna 785 orang nasabah dilakukan melalui
Rekening Bank PT.ARA yang ada pada Bank BTN Syariah Cabang Makassar,
dimana Muhammad Jusmin Dawi bin Semi bertindak selaku Direktur Utama PT.
ARA pada kenyataannya memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk
mengakses/melakukan transaksi perbankan dengan menggunakan nomor
rekening PT. ARA yang berada di BTN Kantor Cabang Syariah Makassar tersebut
dan selanjutnya menggunakan dana yang tertampung di dalam rekening PT. ARA
tersebut untuk membiayai kegiatan operasional dari PT. ARA.
(5) Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf
untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana;
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, Terdakwa Muhammad Jusmin
Dawi bin Semi yang diidentifikasi sebagai directing mind dari PT. ARA tidak
memiliki alasan pembenar dan alasan pemaaf untuk dibebaskan dari
pertanggungjawaban pidana. Sehingga tidak adanya alasan pembenar dan alasan
pemaaf juga dapat diterapkan terhadap korporasi.

41 Ibid, hal. 120-121.


42 Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Korupsi,
2015, hal. 195.

19
(6) Bagi tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur perbuatan (actus reus) dan
unsur kesalahan (mens rea), kedua unsur tersebut tidak harus terdapat pada satu
orang saja;
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, orang yang melakukan Actus reus tidak perlu
harus memiliki sendiri mens rea yang menjadi dasar bagi tujuan dilakukannya
actus reus tersebut, asalkan dalam hal orang itu melakukan actus reus yang
dimaksud adalah menjalankan perintah atau suruhan orang lain yang memiliki
sikap kalbu yang menghendaki dilakukannya mens rea tersebut oleh orang yang
disuruh. Dengan gabungan antara actus reus yang dilakukan oleh pelaku yang tidak
memiliki mens rea dan mens rea yang dimiliki oleh orang yang memerintahkan atau
menyuruh actus reus itu dilakukan, maka secara gabungan (agregasi) terpenuhilah
unsur actus reus dan mens rea. Korporasi tetap harus bertanggungjawab atas
tindak pidana yang dilakukan karena terpenuhi syarat adanya mens rea dan
actus reus meskipun sebagai hasil agregasi (gabungan) dari beberapa orang.43
Berdasarkan pertimbangan hakim terhadap unsur pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP
pada perkara aquo, menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap
di persidangan, telah tampak adanya hubungan kerjasama yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih yang telah mengakibatkan kerugian keuangan negara yang
tidak akan terjadi apabila tidak ada kerjasama Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi
bin Semi selaku Direktur utama PT. ARA dan Abdurrachman Salama (Almarhum)
selaku Kepala Cabang BTN Syariah, sesuai perjanjian kerjasama Nomor:
05/PKS/KCS.MKSNI/2005 sebagai sarananya dengan adanya kerjasama
melaksanakan rencana mereka dan kerjasama itu telah demikian lengkap dan
sempurna. Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur Utama
PT. ARA sesuai keterangannya di hadapan persidangan menerangkan bahwa
dirinya memiliki saham sebesar 70% pada perusahaan PT. ARA, dimana dalam
kegiatan perusahaan tersebut dibantu oleh seorang Direktur Operasional yaitu
Syarifuddin Ashari, Manager Marketing Andi Basri serta Manager Keuangan yang
dibantu oleh beberapa staf dan staf lepas.
Dengan demikian, adanya mens rea serta actus reus dari Muhammad Jusmin
Dawi bin Semi selaku Direktur Utama PT. ARA yang merupakan “directing mind” dari
korporasi tersebut, serta beberapa Manager, staf dan staf lepas PT. ARA
yang melakukan perbuatan turut serta melakukan, maka secara gabungan

43 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hal. 121-122

20
(agregasi) terpenuhilah unsur actus reus dan mens rea dari korporasi sehingga
dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.
Meskipun pemidanaan dalam perkara Nomor 53/Pid.Sus/2012/PN.Makassar sudah
sesuai dengan teori tujuan pemidanaan serta memenuhi prinsip pengembalian kerugian
keuangan negara, namun pembebanan pertanggungjawaban pidana serta pemidanaan
tetap harus dilakukan terhadap korporasi sesuai dengan analisis penulis pada pembahasan
sebelumnya. Hal ini disebabkan karena tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam lingkup
korporasi adalah extraordinary crime yang membutuhkan extra ordinary measures. Sehingga
pembebanan pertanggungjawaban hanya kepada pengurus dirasa belum cukup dalam
memberikan efek jera kepada korporasi begitupun dalam mencegah kejahatan korporasi
lainnya.
Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa di berbagai negara menganut
“bipunishment provisions” dalam menuntut dan memidana korporasi. Bipunishment
Provisions ini berarti bahwa baik pelaku (pengurus) maupun korporasi itu sendiri dapat
dijadikan subjek pemidanaan.44 Sementara itu, yang menjadi persoalan adalah tidak semua
jenis sanksi pidana yang diatur dalam pasal 10 KUHP dapat diberlakukan kepada korporasi
sebagaimana halnya manusia alamiah (naturaljik persoon), seperti pidana mati, pidana
penjara, dan pidana kurungan. Hamzah Hatrik menyatakan bahwa jika korporasi menjadi
subjek hukum pidana, maka sanksi pidana yang dapat dijatuhkan bukan pidana penjara
melainkan pidana denda atau ganti kerugian beserta pidana tambahan yang lain.45
Ketentuan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 20 ayat
(7) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa pidana pokok yang
dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana
ditambah 1/3.
Sehingga, jika korporasi dalam kasus ini dapat dibebankan pertanggungjawaban
pidana sebagaimana analisis yang dilakukan oleh Penulis pada pembahasan sebelumnya,
maka korporasi dapat diberikan sanksi pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana
denda ditambah 1/3. Namun, berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (7) UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi tersebut masih terdapat permasalahan dalam hal pidana denda yang
dijatuhkan kepada korporasi, karena jika korporasi tidak dapat membayar denda sesuai sanksi
pidana yang dijatuhkan, maka pidana denda terhadap korporasi tersebut tidak dapat disertai
dengan pidana kurungan pengganti sesuai dengan pasal 10 angka (3) KUHP yakni pidana
kurungan. Karena, pidana kurungan adalah pidana badan yang tidak mungkin
diterapkan kepada korporasi.

44
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., Hal. 143
45Hamzah Hatrik dalam Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002, hal. 37.

21
Meskipun demikian, dimungkinkan pula penjatuhan pidana tambahan terhadap korporasi
sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yakni:
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab- undang-
undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
a. Perampasan benda bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana
korupsi termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak- hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita
oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Dengan demikian, jika model pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan


adalah pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus dan korporasi, apabila
pemidanaan yang diberikan kepada pengurus adalah pembayaran uang pengganti sebesar
yang diperoleh oleh pengurus, maka korporasi akan dibebankan pidana tambahan
pembayaran uang pengganti sebesar yang diperoleh oleh korporasi diluar dari yang
diperoleh oleh pengurus sehingga akan saling menutupi kerugian keuangan negara dan tujuan
pengembalian kerugian keuangan negara akan tercapai
Dalam perkara aquo, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa Muhammad
Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur utama PT. ARA yang merupakan directing mind dari
korporasi menyebabkan korporasi memperoleh penambahan harta kekayaan yakni terdapat
9 (sembilan) unit mobil yang seharusnya diberikan kepada nasabah fiktif, berada dalam
penguasaan PT. ARA selaku perusahaan yang mengadakan kendaraan bermotor tersebut.
Sehingga, jika pertanggungjawaban pidana juga dibebankan kepada korporasi dalam hal
ini PT. ARA, maka sanksi pidana pokok yang dapat diterapkan adalah pidana denda ditambah
1/3 dan dapat pula dilterapkan pidana tambahan berdasarkan pasal 18 UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yakni Perampasan 9 (sembilan) unit mobil tersebut. Penjatuhan sanksi
pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian korporasi juga dimungkinkan
dapat diterapkan.

22
2. Kasus Korupsi Pendistribusian Minyak Goreng Bulog yang Melibatkan Koperasi
Distribusi Indonesia (KDI) (Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 1384
K/Pid/2005)
a. Resume Putusan
1) Tentang Terdakwa
Dalam putusan ini, yang menjadi Terdakwa adalah sebagai berikut:
Nama : Drs. H.A.M. Nurdin Halid;
Tempat Lahir : Bone;
Umur/Tanggal Lahir : 46 tahun/17 November 1958;
Jenis Kelamin : Laki-Laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat Tinggal : Bukit Raflesia Blok 2/10, Cibubur, Jawa
Barat ;
Jln. Tanjung Barat Persada
Rt.002/05,Kelurahan Tanjung Barat,
Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan ;
Agama : Islam;
Pekerjaan : Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia
(KDI).

2) Kasus Posisi
Pada tanggal 25 Agustus 1998, bertempat di Kantor Koperasi Distribusi Indonesia
Terdakwa telah menandatangani Surat Keputusan Pengurus KDI Nomor : 001/KDI/SK-
Pengurus/VIII/1998 tentang Pengangkatan Direktur Utama KDI yaitu Sdr. Fauzan Mansur
(almarhum) untuk melaksanakan usaha KDI dan mengantisipasi pengalihan peranan Badan
Urusan Logistik (Bulog) kepada KDI.
Untuk membahas pengalihan pendistribusian minyak goreng dari Bulog ke KDI, maka
pada tanggal 2 September 1998 Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri
(Menko Ekuin) melaksanakan Rapat Koordinasi Terbatas Bidang Ekonomi Keuangan
Industri yang dipimpin oleh Menko Ekuin dan dihadiri antara lain Menteri Koperasi
Pengusaha Kecil dan Menengah, Menteri Perindustrian dan Perdagangan
(Menperrindag)/Kepala Badan Urusan Logistik, Asisten IV Menko Ekuin, Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri Departeman Perindustrian dan Perdagangan serta Dirjen Pembinaan
Pengusaha Kecil Departeman Koperasi.
Untuk menindaklanjuti Rakortas Ekuin tersebut, telah ditandatangani Perjanjian
Kerjasama antara Badan Urusan Logistik yang diwakili oleh Ir. H. Mulyono, MBA dengan
Koperasi Distribusi Indonesia yang diwakili oleh Fauzan Mansur (almarhum) Nomor:

23
PKK.977A/09/1998 tanggal 17 September 1998 tentang Penyediaan dana guna pengadaan
minyak goreng bagi Koperasi Distribusi Indonesia dan Perjanjian Pengalihan Distribusi Minyak
Goreng No.PKK-977B/09/1998 tanggal 17 September 1998 kemudian di addendum dengan
perjanjian No.PKK-1130/10/1998 tanggal 30 Oktober 1998.
Seharusnya sesuai dengan ketentuan hasil Keputusan Rapat Koordinasi Terbatas
Bidang Ekuin tanggal 2 September 1998 antara lain diputuskan hasil penjualan minyak goreng
masuk rekening KDI dan dibayarkan ke Bulog paling lambat satu minggu kemudian dan sesuai
ketentuan Pasal 2 Perjanjian Kerjasama antara Bulog dengan KDI Nomor PKK.977A/09/1998
tanggal 17 September 1998.
Namun kenyataannya ketentuan-ketentuan tersebut tidak dilaksanakan Terdakwa,
karena sampai dengan tanggal 31 Desember 1998, KDI tidak menyetorkan uang hasil
penjualan minyak goreng sejumlah Rp.169.710.699.839,- (seratus enam puluh sembilan milyar
tujuh ratus sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus tiga puluh
sembilan rupiah).
Seharusnya sampai dengan tanggal 31 Desember 1998 jumlah hasil penjualan minyak
goreng oleh KDI sejumlah Rp.299.016.245.070,- (dua ratus sembilan puluh sembilan milyar
enam belas juta dua ratus empat puluh lima ribu tujuh puluh rupiah), sedangkan yang harus
disetor KDI kepada Bulog sejumlah Rp.284.485.176.490,- (dua ratus delapan puluh empat
milyar empat ratus delapan puluh lima juta seratus tujuh puluh enam ribu empat ratus
sembilan puluh rupiah) namun sampai dengan tanggal 12 November 1998 KDI hanya menyetor
ke Bulog dana hasil penjualan minyak goreng sejumlah Rp.114.774.476.651 (seratus empat
belas milyar tujuh ratus tujuh puluh empat juta empat ratus tujuh puluh enam ribu enam ratus
lima puluh satu rupiah) sehingga jumlah hasil penjualan minyak goreng yang tidak disetor ke
Bulog sejumlah Rp.169.710.699.839,- (seratus enam puluh sembilan milyar tujuh ratus
sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus tiga puluh sembilan
rupiah).
Seharusnya sesuai dengan ketentuan hasil Keputusan Rapat Koordinasi Terbatas
Bidang Ekuin tanggal 2 September 1998 dan sesuai ketentuan Pasal 2 Perjanjian
Kerjasama antara Bulog dengan KDI Nomor: PKK.977A/09/1998 tanggal 17 September
1998, uang hasil penjualan minyak goreng sejumlah Rp.169.710.699.839,- (seratus enam
puluh sembilan milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan ribu
delapan ratus tiga puluh sembilan rupiah) harus disetor oleh KDI ke rekening Bulog di Bank
Bukopin, akan tetapi Terdakwa telah mengambil kebijakan untuk tidak menyetor ke Bulog
sebagaimana kebijakan yang diambil Terdakwa selaku Ketua Umum KDI dalam Rapat
Pengurus, Pengawas dan Direksi KDI tanggal 24 Desember 1998 bertempat di Graha Induk
KUD Jl. Warung Buncit Raya No.18-20 Jakarta Selatan, dihadiri oleh Pengurus (Drs. H.A.M.
Nurdin Halid, Dewi Motik Pramono, Y.W. Kussoy, Husin Tanjung, D.P. Budiarthi Najib),

24
Pengawas (Bambang Murdjiono, Soekijatno, Amedio Mishar) dan Direksi (John Ramses,
Sigit Pramono, Joko Urip Santoso, dan Fauzan Mansur alm.) yang antara lain sesuai
Notulen Rapat butir 4 “Ketua Umum mengambil langkah kebijaksanaan agar Direksi KDI
tidak lagi melakukan penyetoran dana hasil penjualan minyak goreng kepada Bulog,
sedangkan terhadap stok minyak goreng ex Bulog yang masih bisa dijual segera bisa dijual,
sehingga uangnya bisa digunakan untuk modal kerja KDI”.
Bahwa uang hasil penjualan minyak goreng sejumlah Rp.169.710.699.839,- (seratus
enam puluh sembilan milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan
ribu delapan ratus tiga puluh sembilan rupiah) yang tidak disetor ke Bulog telah
dipergunakan Terdakwa dan pengurus lainnya yaitu Dewi Motik Pramono, Y.W. Kussoy,
D.P. Budiarthi Najib, Husin Tanjung, dan Amedio Mishar serta Direksi KDI secara menyimpang
dari penggunaannya, yaitu telah dipergunakan untuk didepositokan pada rekening KDI,
dipergunakan untuk pembelian gula pasir, disimpan pada simpanan berjangka atas nama KDI
di INKUD.

3) Dakwaan
a) Primair: Bahwa ia Terdakwa Drs. H.A.M. NURDIN HALID baik selaku pribadi
ataupun selaku Pengurus/Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) telah
melakukan atau menyuruh melakukan dengan pengurus KDI lainnya yaitu : 1.
DEWI MOTIK PRAMONO, 2. Y.W. KUSSOY, 3. HUSIN TANJUNG, 4. D.P.
BUDIARTHI NAJIB dan Direksi KDI yaitu : 5. SIGIT PRAMONO, 6. AMEDIO MISHAR,
7. JOHN RAMSES, 8. JOKO URIP SANTOSO, 9. IRSAN AMIR (nomor :
1 sampai dengan 9 masing-masing dalam perkara terpisah) dan FAUZAN MANSUR
(almarhum) pada sekitar bulan September 1998 sampai dengan bulan Agustus
1999 atau setidak-tidaknya pada waktu lain antara tahun 1998 sampai dengan tanggal
15 Agustus 1999, bertempat di Kantor Bulog Jl. Gatot Surbroto, Jakarta Selatan atau
di Kantor Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) Jl. Warung Buncit No.18-
20 Pejaten, Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya pada tempat lain dalam daerah
hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, atau setidak-tidaknya Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan mengadili telah melakukan beberapa
perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa, sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan berlanjut, secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara atau
diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara. Perbuatan Terdakwa melanggar Pasal
1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang No.3 Tahun 1971

25
jo Pasal 43 A Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun
2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
b) Subsidair: Bahwa ia Terdakwa Drs. H.A.M. NURDIN HALID baik selaku pribadi
ataupun selaku Pengurus/Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) yang
diangkat berdasarkan Rapat Pembentukan KDI tanggal 12 Agustus 1998 telah
melakukan atau turut melakukan atau menyuruh melakukan dengan Pengurus KDI
lainnya yaitu : 1. DEWI MOTIK PRAMONO, 2.Y.W. KUSSOY, 3.HUSIN TANJUNG,
4. D.P. BUDIARTHI NAJIB dan Direksi KDI yaitu : 5. SIGIT PRAMONO, 6. AMEDIO
MISHAR, 7. JOHN RAMSES, 8. JOKO URIP SANTOSO, 9. IRSAN AMIR (nomor :
1 sampai dengan 9 masing-masing dalam perkara terpisah) dan FAUZAN MANSUR
(almarhum) pada sekitar bulan September 1998 sampai dengan bulan Agustus
1999 atau setidak-tidaknya pada waktu lain antara tahun 1998 sampai dengan tanggal
15 Agustus 1999, bertempat di Kantor Bulog Jl. Gatot Subroto Jakarta Selatan atau
di Kantor Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) Jl. Warung Buncit No.18-
20 Pejaten, Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya pada tempat lain dalam daerah
hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, atau setidak-tidaknya Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan mengadili telah melakukan beberapa
perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa, sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Perbuatan
Terdakwa melanggar Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang
No.3 Tahun 1971 jo Pasal 43 A Undang-Undang No.31 Tahun
1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat
(1) KUHP.

4) Putusan
Dalam kasus ini, Majelis Hakim Mahkamah Agung memutuskan mengadili atas
permohonan kasasi Penuntut Umum sebagai berikut:
a) Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: JAKSA/PENUNTUT
UMUM pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tersebut;
b) Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
2111/Pid.B/2004/PN.Jkt.Sel tanggal 16 Juni 2005.
Selanjutnya mengadili terdakwa:

26
a) Menyatakan Terdakwa Drs. H.A.M. NURDIN HALID terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi”;

b) Menghukum Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2

(dua) tahun;

c) Menghukum Terdakwa dengan pidana denda sejumlah Rp.30.000.000,- (tiga

puluh juta rupiah), subsidair 6 (enam) bulan kurungan;

d) Menetapkan barang bukti berupa Foto copy yang dilegalisir dokumen-dokumen

yang disita dan dijadikan barang bukti sebagaimana tersebut dalam Daftar Barang

Bukti tetap dilampirkan dalam berkas perkara;

e) Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara dalam semua tingkat

peradilan, yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus

rupiah).

b. Analisa
Kasus korupsi pendistribusian minyak goreng yang melibatkan KDI sebagai badan
hukum yang berbentuk koperasi, pada dasarnya hampir sama dengan contoh kasus
sebelumnya, hanya saja dalam kasus KDI ini, tidak terjadi pemufakatan jahat diantara KDI
selaku pengguna dana dan pihak yang bertanggung jawab mendistribusikan minyak goreng
dengan Bulog selaku penyedia dana pengadaan minyak goreng bagi KDI. Pemufakatan
jahat terjadi di internal KDI yaitu dijajaran pengurus KDI berdasarkan arahan dan ketetapan
dari Terdakwa selaku Ketua Umum KDI.
Terdakwa selaku Ketua Umum KDI tersebut bersama-sama dengan pengurus KDI
lainnya (berkas perkara terpisah) yang melakukan tindak pidana korupsi, menunjukan bahwa
KDI sebagai korporasi juga dapat menjadi subjek hukum yang dapat dikenakan pertanggung
jawaban pidana. Berdasarkan pasal 20 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan
penjatuhan pidana terhadap korporasi bersifat kumulatif-alternatif yang berarti bahwa
pertanggungjawaban pidana dapat diberlakukan kepada : 1) pengurus ; 2) korporasi ; atau
3) pengurus dan korporasi.
Tindakan Terdakwa bersama dengan jajaran pengurus KDI, melalui Rapat Pengurus,
Pengawas dan Direksi KDI tanggal 24 Desember 1998 yang mengambil kebijakan: “Ketua
Umum mengambil langkah kebijaksanaan agar Direksi KDI tidak lagi melakukan penyetoran
dana hasil penjualan minyak goreng kepada Bulog, sedangkan terhadap stok minyak goreng

27
ex Bulog yang masih bisa dijual segera bisa dijual, sehingga uangnya bisa digunakan untuk
modal kerja KDI”; dalam hal ini merupakan kebijakan yang menjadi pokok perkara dalam kasus
ini, dimana melalui kebijakan tersebut akhirnya KDI tidak menyetorkan dana hasil penjualan
minyak goreng kepada Bulog yang merupakan kewajiban KDI, dapat dipandang sebagai
kebijakan yang melawan hukum.
Terkait dengan hal tersebut, mengutip pendapat saksi ahli yang dihadirkan dalam
persidangan Tingkat I di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Shaleh Thaher, SH, MCD,
“kebijakan tersebut adalah menjadi kebijakan organisasi dalam hal ini KDI, bukan dipandang
sebagai kebijakan Terdakwa”. Oleh karena itu, pada dasarnya dalam kasus ini korporasi
bersama-sama dengan Terdakwa dan jajaran pengurus lainnya yang terlibat dalam
pengambilan keputusan tersbeut, merupakan subjek hukum yang dapat dikenakan
pertanggung jawaban pidana.
Jika diuraikan lebih lanjut, berdasarkan kepada Pasal 20 ayat (2) UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang mengatur bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut:
1) Dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain;
Dalam perkara aquo Terdakwa selaku Ketua Umum KDI dalam Rapat Pengurus,
Pengawas dan Direksi KDI tanggal 24 Desember 1998 bertempat di Graha Induk
KUD Jl. Warung Buncit Raya No.18-20 Jakarta Selatan, dihadiri oleh Pengurus (Drs.
H.A.M. Nurdin Halid, Dewi Motik Pramono, Y.W. Kussoy, Husin Tanjung, D.P.
Budiarthi Najib), Pengawas (Bambang Murdjiono, Soekijatno, Amedio Mishar)
dan Direksi (John Ramses, Sigit Pramono, Joko Urip Santoso, dan Fauzan
Mansur alm.) yang antara lain sesuai Notulen Rapat butir 4 “Ketua Umum mengambil
langkah kebijaksanaan agar Direksi KDI tidak lagi melakukan penyetoran dana hasil
penjualan minyak goreng kepada Bulog, sedangkan terhadap stok minyak goreng
ex Bulog yang masih bisa dijual segera bisa dijual, sehingga uangnya bisa
digunakan untuk modal kerja KDI”.
2) Bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun secara
bersama-sama.
 Bahwa uang hasil penjualan minyak goreng sejumlah Rp.169.710.699.839,-
(seratus enam puluh sembilan milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus
sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus tiga puluh sembilan rupiah) yang
tidak disetor ke Bulog telah dipergunakan Terdakwa dan pengurus lainnya
yaitu Dewi Motik Pramono, Y.W. Kussoy, D.P. Budiarthi Najib, Husin Tanjung,
dan Amedio Mishar serta Direksi KDI secara menyimpang dari penggunaannya,
yaitu telah dipergunakan untuk didepositokan pada rekening

28
KDI, dipergunakan untuk pembelian gula pasir, disimpan pada simpanan
berjangka atas nama KDI di INKUD.
 Terdakwa selaku Ketua Umum KDI bersama pengurus lainnya sebagaimana
tersebut di atas telah menandatangani Surat Kuasa tanggal 7 Desember 1998
untuk membuka rekening di Bank Nusa Nasional cabang Kemang Jakarta
Selatan, selanjutnya rekening tersebut digunakan oleh Direksi KDI Fauzan
Mansur (almarhum) dan Irsan Amir untuk mentransfer dana hasil penjualan
minyak goreng sejumlah Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) pada
tanggal 3 Juni 1999 dari rekening operasional KDI di Bank Bukopin MT.
Haryono, selanjutnya dana di Bank Nusa Nasional tersebut didepositokan
sejumlah Rp.6.000.000.000,- (enam milyar rupiah) dan pada saat jatuh tempo
Direksi KDI Fauzan Mansur (almarhum) dan Irsan Amir meminta Pimpinan Bank
Nusa Nasional dengan Surat No.2085/Direk-KDI/VI/1999 tanggal 28
Juni 1999 untuk mencairkan pokok (Rp.6.000.000.000,-) di transfer ke
rekening Standard Chartered Bank Cabang Jakarta Treasury Division Att.
Bapak Hendi/Indra IBG, sedangkan bunga ditransfer ke rekening
No.101.1082.013 atas nama KDI bunga Deposito pada Bank Bukopin MT.
Haryono Jakarta.
Mengacu kepada fakta-fakta hukum tersebut, maka unsur-unsur yang diperlukan
dalam Pasal 20 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas telah terpenuhi.
Fak-fakta hukum tersebut juga dapat memenuhi unsur-unsur yang ada dalam ketentuan
Pasal 15 ayat (2) UU Tindak Pidana Ekonomi yang menyatakan:
“Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh suatu atas nama suatu badan
hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang, atau suatu yayasan, jika
tindakan dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum,
perseroan, perserikatan atau yayasan itu tidak peduli apakah orang-orang itu
masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada
mereka bersama-sama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut.”

Dalam pasal tersebut, terdapat batasan atau ukuran kapan suatu korporasi dalam
dikenakan pertanggungjawaban pidana, yakni suatu perbuatan yang dilakukan 1) berdasarkan
hubungan kerja atau hubungan lain; 2) berdasarkan bertindak dalam lingkungan
badan hukum.
Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa sistem pertanggungjawaban pidana
dimana pengurus dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang

29
harus memikul pertanggungjawaban pidana merupakan sistem pertanggung jawaban pidana
korporasi yang sangat pantas diberlakukan. Terdapat beberapa alasan, yaitu:46
1) Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka
menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena
pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi
serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau menghindarkan/mengurangi
kerugian finansial bagi korporasi;
2) Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporai sedangkan
pengurus tidak harus memikul tanggung jawabn, maka sistem ini akan dapat
memungkinkan pengurus berlindung di balik punggung korporasi dan akan
berdalih bahwa perbuatannya bukan merupakan perbuatan pribadi dan bukan
untuk kepentingan pribadi, tetapi perbuatannya dilakukan untuk dan atas nama
korporasi dan untuk kepentingan korporasi;
3) Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya mungkin dilakukan
secara vikarius, atau bukan langsung (doctrine of vicarious liability). Menurut
ajaran ini, untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi harus terlebih dahulu dapat membuktikan bahwa tindak pidana tersebut
benar dilakukan oleh pengurus dan pengurus benar bersalah, kemudian jika terbutkti
barulah pertanggungjawaban pidana itu dapat dibebankan secara vikarius kepada
korporasi. Hal ini dapat menimbulkan kemungkinan lain bahwa manusia pelakunya
(pengurus korporasi) yang harus memikul pertanggungjawaban pidana sedangkan
korporasinya bebas (tidak harus bertanggungjawab).
Dalam hal pemidanaan yang dijatuhkan kepada Terdakwa selaku Ketua Umum KDI,
penulis berpandangan bahwa pidana yang dibebankan kepada Terdakwa baik itu berdasarkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maupun putusan Mahkamah Agung RI, belum
memenuhi tujuan pemidanaan dalam hal pengembalian kerugian negara. Denda yang
dibebankan kepada Terdakwa sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) sangat jauh
dari kerugian yang dialami negara yaitu sebesar Rp.169.710.699.839,- (seratus enam puluh
sembilan milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan ribu delapan
ratus tiga puluh sembilan rupiah). Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maupun
Putusan Mahkamah Agung RI juga tidak menyatakan adanya penyitaan terhadap aset-aset
KDI, baik dalam bentuk barang maupun uang (deposito) dalam rangka mengembalikan
kerugian negara tersebut.
Oleh karena itu, dalam rangka mengembalikan kerugian negara akibat kasus ini,
sangatlah diperlukan untuk menjatuhkan pemidanaan terhadap korporasi, dalam hal ini

46 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 62

30
adalah KDI. Menurut Tim Pengkaji Bidang Hukum Pidana Badan Pembinaan Hukum
Nasional dalam Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Pidana Tahun 1980/1981
menyatakan dasar pertimbangan pemidanaan korporasi ialah:47
“jika dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi, terhadap
delik- delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi, atau bahwa
keuntungan yang didapat diterima korporasi karena delik itu cukup besar atau
kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-saingannya sangat
berarti”.

Mengacu kepada UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimungkinkan pula


penjatuhan pidana tambahan terhadap korporasi sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (1)
dan ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni:
(2) Selain pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab- undang-
undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
e. Perampasan benda bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana
korupsi termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
f. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
g. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
h. Pencabutan seluruh atau sebagian hak- hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
(3) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita
oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Dengan demikian, jika model pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan


adalah pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus dan korporasi, apabila
pemidanaan yang diberikan kepada pengurus adalah pembayaran uang pengganti sebesar
yang diperoleh oleh pengurus, maka korporasi akan dibebankan pidana tambahan
pembayaran uang pengganti sebesar yang diperoleh oleh korporasi diluar dari yang
diperoleh oleh pengurus sehingga akan saling menutupi kerugian keuangan negara dan
tujuan pengembalian kerugian keuangan negara akan tercapai.

47 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum
Pidana Tahun 1980/1981, BPHN, Jakarta, 1985, hlm. 36 yang dikutip dalam Muladi dan Dwidja
Priyatno, Op.Cit, hlm. 146.

31
3. Kasus Korupsi PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) dalam Pembangunan Pasar Induk
Antasari di Banjarmasin Kalimantan Selatan (Putusan MA
No:936.K/Pid.Sus/2009.MA)
a) Resume Putusan
1) Terdakwa
Terdakwa dalam kasus ini adalah korporasi yaitu PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW)
yang berkedudukan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

2) Kasus Posisi
Bahwa dalam melaksanakan pekerjaan pembangunan Pasar Sentra Antasari
Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana bekerjasama dengan PT. UE Sentosa sebagai kontraktor
pelaksana dengan surat perjanjian kerja No. 094/GJW/SPB/II/01 tanggal 1
Pebruari 2001 antara Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana dengan PT. UE Sentosa yang di
tanda tangani oleh ST. Widagdo selaku Dirut PT. Giri Jaladhi Wana dan Dominic Tan
selaku Presiden Direktur PT. UE Sentosa dengan nilai Rp.137.824.690.000,-(seratus
tiga puluh tujuh milyard delapan ratus dua puluh empat juta enam ratus sembilan puluh
ribu rupiah), dengan sistem PT UE Sentosa melaksanakan pembangunan dan
membiayai pelaksanaan pembangunan tersebut dimana setiap kemajuan fisik proyek
sudah mencapai 30% maka Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana akan membayarnya.
Bahwa Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana dalam melaksanakan Pembangunan dan
Pengelolaan Pasar Induk Sentra Antasari telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
melakukan penyimpangan-penyimpangan sebagai berikut:
 Dalam Pasal 3 Perjanjian kerjasama Nomor 664/I/548/Prog ; Nomor
003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli 1998 tentang kontrak bagi tempat usaha yang
diijinkan Pemerintah Kota Banjarmasin dalam rangka pembangunan Pasar Induk
Antasari Kotamadya Banjarmasin dan addendumnya menyatakan PT. Giri Jaladhi
Wana berkewajiban membangun Pasar Induk Antasari dan fasilitas penunjangnya
hanya sejumlah 5.145 unit tetapi Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana secara
melawan hukum yaitu tanpa persetujuan DPRD Kota Banjarmasin telah membangun
6.045 unit terdiri dari toko, kios, los, lapak dan warung, sehingga terjadi penambahan
900 unit bangunan. Penambahan 900 unit tersebut di jual dengan harga sebesar Rp.
16.691.713.166.- (enam belas milyar enam ratus sembilan puluh satu juta tujuh ratus
tiga belas ribu seratus enam puluh enam rupiah), dan hasil penjualan tersebut tidak
disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin.

32
 Berdasarkan Addendum Perjanjian Kerja sama Nomor 664/ I/548 /Prog ; Nomor
003/GJW/VII/1998, tanggal 15 Agustus 2000 Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana
mempunyai kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin untuk membayar
retribusi sebesar Rp.500.000.000,- (limaratus juta rupiah); membayar penggantian
uang sewa Rp.2.500.000.000.- (Dua milyar lima ratus juta rupiah) dan membayar
pelunasan kredit Inpres Pasar Antasari Rp.3.750.000.000.- ( tiga milyar tujuh ratus
lima puluh juta rupiah), jumlah keseluruhan yang harus dibayar
Rp.6.750.000.000.- (enam milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah), tetapi Terdakwa
PT. Giri Jaladhi Wana hanya membayar sebesar Rp.1.000.000 .000.-, (satu milyar
rupiah), sehingga masih terdapat kekurangan sebesar
 Rp. 5.750.000 .000.- (lima milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) yang
seharusnya disetor ke kas Pemerintah Kota Banjarmasin, namun Terdakwa PT.
Giri Jaladhi Wana sengaja tidak membayar uang tersebut dimana Terdakwa PT. Giri
Jaladhi Wana melalui ST.Widagdo memberikan keterangan yang tidak benar
dengan menyatakan kepada Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah
pembangunan Pasar Sentra Antasari belum selesai, padahal sesuai keterangan Ir.
Wahid Udin, MBA. Projek Manajer Pembangunan Pasar Sentra Antasari dan
laporancomplet i on report PT. Satya Graha Tara (Konsultan Pengawas Proyek
Antasari yang diminta Bank Mandiri),melaporkan per September 2004
pembangunan Pasar Sentra Antasari selesai 100% dan per Oktober 2004
mempunyai surplus Rp. 64.579.000.000.- (enam puluh empat milyar lima ratus tujuh
puluh sembilan juta rupiah ) dari hasil penjualan toko, kios dan los sertawaru.
 Selain telah mendapatkan surplus Rp. 64.579.000.000,-(enam puluh empat milyar
lima ratus tujuh puluh sembilan juta rupiah), Terdakwa PT.\Giri Jaladhi Wana
dengan menggunakan asset Pemerintah Kota Banjarmasinberupa tanah dan
bangunan pasar tersebut untuk jaminan mendapatkan Kredit Modal Kerja (KMK) dari
Bank Mandiri sebesar Rp.100.000.000.000.- (seratus milyar rupiah) dengan agunan
seluruh bangunan Pasar Sentra Antasari milik Pemerintah Kota Banjarmasin, namun
meskipun sudah mendapatkan uang sebesar Rp.164.579.000.000,- (seratus enam
puluh empat milyar lima ratus tujuh puluh sembilan juta rupiah) yang terdiri dari uang
Rp.64.579.000.000,- (enam puluh empat milyar lima ratus tujuh puluh
sembilan juta rupiah) dan Rp.100.000.000.000,-, (seratus milyar rupiah)
ternyata Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana tidak membayar sebesar Rp.
5.750.000.000.- (lima milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

33
Bahwa pembangunan Pasar Induk Sentra Antasari yang seharusnya selesai pada
bulan Desember 2002 namun prestasi fisiknya atau proyeknya sampai dengan bulan
Agustus 2002 baru mencapai 36% dan hutang Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana kepada
kontraktor pelaksana yaitu PT. UE Sentosa yang belum dibayar telah mencapai Rp.
24.000.000.000,- (dua puluh empat milyar rupiah), sehingga pihak kontraktor mendesak
kepada Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana untuk segera menyelesaikan hutangnya. Di sisi lain
pihak Pemerintah Kota Banjarmasin selaku pemilik proyek meminta Terdakwa PT. Giri
Jaladhi Wana segera menyelesaikan proyek pembangunan Pasar Induk Sentra Antasari
tersebut karena pusat perbelanjaan tersebut merupakan proyek strategis yang memiliki
dampak sosial tinggi.

3) Dakwaan
a. Primair: Bahwa Terdakwa PT.Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) selaku korporasi dalam
kerjasama kontrak bagi tempat usaha untuk pembangunan Pasar induk Antasari
berdasarkan surat perjanjian kerjasama Nomor 664/I/548/Prog;
Nomor003/GJW/VII/1998tanggal14 Juli 1998 antara Walikota madya Banjarmasin
(pihak ke satu) dengan Terdakwa PT. Giri jaladhi Wana (pihak kedua), pada waktu
antara tahun 1998 sampai dengan tahun 2008 bertempat diKantor Walikota
Banjarmasin Jalan RE Martadinata No.1 Banjarmasin dan diPasar Sentra Antasari
jalan Pangeran Antasari Banjarmasin atau setidak tidaknya disuatu tempat dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Banjarrnasin, telah melakukan beberapa perbuatan
yang masing-masing merupakan kejahatan yang ada hubungannya sedemikian rupa
sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu tempat
dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Banjarrnasin, telah melakukan beberapa
perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan yang ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18
jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
b. Subsidair: Bahwa Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) selaku korporasi
dalam kerjasama kontrak bagi tempat usaha untuk pembangunan Pasar Induk

34
Antasari berdasarkan surat perjanjian kerjasama Nomor : 664/I/548/Prog; Nomor
003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli 1998 antara Walikotamadya Banjarmasin (pihak
kesatu) dengan Terdakwa PT. Girijaladhi Wana (pihak kedua), pada waktu antara
tahun 1998 sampai dengan tahun 2008, bertempat di Kantor Walikota Banjarmasin
Jalan RE Martadinata No.1 Banjarmasin dan di Pasar Sentra Antasari jalan Pangeran
Antasari Banjarmasin atau setidak tidaknya di suatu tempat dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Banjarrnasin, telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-
masing merupakan kejahatan yang ada hubungannyasedemikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasiyang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dan di tambah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHPidana.

4) Putusan
a) Menyatakan Terdakwa PT.Giri Jaladhi Wana tersebut diatas telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI SECARA
BERLANJUT”
b) Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana dengan pidana denda
sebesar Rp.1.317.782 .129,- (satu milyar tiga ratus tujuh belas juta tujuh ratus delapan
puluh dua ribu seratus dua puluh sembilan Rupiah).
c) Menjatuhkan pidana tambahan berupa Penutupan Sementara PT.GIRI JALADHI
WANA selama 6 (enam) bulan.

b) Analisa
Dalam kasus ini, PT. GJW sebagai sebuah korporasi menjadi subjek hukum pelaku
tindak pidana. Hal ini didasarkan kepada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 mengatur secara tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana
korupsi dimaksud. Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai
berikut:
“Setiap orang yang secara melawan Hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonoman negara.”

35
Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999, menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.”

Mengacu kepada unsur-unsur dalam ketentuan Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi diatas, maka fakta-fakta dalam persidangan yang dapat memenuhi unsur-
unsur dalam ketentuan pasal tersebut adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang;
Pengertian “setiap orang” sebagaimana ketentuan pasal 1 angka 3 Undang-
Undang Nomor 31Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Tindak Pidana Korupsi adalah perorangan termasuk Korporasi, orang perorangan
adalah orang secara individu yang dalam KUHP di rumuskan dengan kata “barang
siapa‟, sedangkan Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum;
Sebagaimana pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi yaitu
dalam hal tindak pidana Korupsi di lakukan oleh atau atas nama suatu Korporasi
maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap Korporasi dan
atau Pengurusnya.
Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana merupakan badan hukum, maka terdakwa dapat
dikategorikan sebagai korporasi menurut Undang-Undang RI No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi
berdasarkan pertimbangan tersebut unsur pertama “setiap orang“ telah terpenuhi.
2) Secara melawan hukum;
Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, telah terbukti benar bahwa
seluruh rangkaian perbuatan terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana dalam perkara ini
adalah berkaitan dengan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor
664/I/548/Prog-Nomor 003/GJW/VI I/1998 tentang Kontrak Bagi Tempat Usaha
Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmasin dan surat
Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 tentang
Penunjukan Pengelolaan Sementara Sentra Antasari kepada terdakwa.
Dalam penandatanganan maupun pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor
664/ I / 548 /Prog -Nomor 003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi Tempat Usaha
Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmasin dan surat

36
Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 tentang
Penunjukan Pengelolaan Sementara Sentra Antasari kepada terdakwa tersebut
terdakwa telah diwakili oleh STEVANUS WIDAGDO bin SURAJI SASTRODIWIRYO
Direktur Utama PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW) dan Drs. TJIPTOMO selaku
Direktur PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW), dalam kedudukannya sebagai
direktur utama dan sebagai direktur tersebut keduanya adalah directing mind pada
PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW).
Demikian juga dalam upaya untuk mendapatkan kucuran dana Kredit Modal Kerja
dari PT. Bank Mandiri, Tbk. yang diajukan oleh terdakwa. Dalam hal ini terdakwa
telah diwakili oleh STEVANUS WIDAGDO bin SURAJI SASTRODIWIRYO
Direktur Utama PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW) dan Drs. TJIPTOMO selaku
Direktur PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW), dalam kedudukannya sebagai
direktur utama dan sebagai direktur tersebut keduanya adalah directing mind pada
PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW).
Sesuai anggaran dasar perusahaan PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW)
bergerak bidang usaha : Perdagangan, Industri, Agrobisnis, Pengadaan Barang,
Jasa, Transportas, Pembangunan, Design Interior, maka Perjanjian Kerja Sama
Nomor664/I/548/Prog-Nomor 003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi Tempat
Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmain dan
surat Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004
tentang Penunjukan Pengelolaan Sementara Sentra Antasari kepada terdakwa
serta upaya terdakwa untuk mendapatkan kucuran dana Kredit Modal Kerja dari PT.
Bank Mandiri, Tbk., adalah masih dalam ruang lingkup bidang usaha terdakwa
tersebut;Bahwa benar atas kejadian tersebut STEVANUS WIDAGDO bin SURAJI
SASTRODIWIRYO selaku Direktur Utama PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW)
telah dipidana berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 908/Pid
.B/2008/PN.Bjm tanggal 18 Desember 2008 jo. Putusan Pengadilan Tinggi
Kalimantan Selatan No. 02/PID/SUS/2009/PT.Bjm. tanggal 25 Februari 2009 jo.
Putusan MahkamahAgung RI Nomor 936 K/Pid .Sus /2009 tangga l 25 Mei 2009.
Dari uraian diatas jelas bahwa Stepanus Widagdo selaku pengurus PT.Giri Jaladhi
Wana yang mewakili terdakwa PT Giri Jaladhi Wana adalah seseorang yang
memiliki posisi Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yang melakukan perbuatan
tersebut dalam rangka maksud dan tujuan korporasi dan dengan maksud
memberikan manfaat atau keuntungan bagi korporasi dan perbuatan perbuatan
terdakwa tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan “melawan hukum”
(wederechtelijke) formil dan oleh karenanya maka unsur kedua “secara melawan
hukum“ telah terpenuhi.

37
3) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, khususnya
menyangkut adanya aliran dana dalam pelaksanaan Kontrak Bagi Tempat Usaha
Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmasin yang
menggunakan dana kucuran Kredit Modal Kerja dari PT.Bank Mandiri, Tbk. yang
diajukan oleh terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dan penunjukkan terdakwa PT Giri
Jaladhi Wana untuk mengelola Pasar Sentra Antasari, telah dapat disimpulkan
adanya penambahan kekayaan terdakwa, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya
maupun orang lain (Hasil Audit Kantor Akuntan Publik Paul Hadiwinata, Hidajat &
Rekan No.A/251/PC/D/03tanggal 26 September 2003) perihal laporan hasil
pemeriksaan penerimaan dan penggunaan dana PT. Giri Jaladhi Wana (terdakwa)
untuk periode 1 Januari 2000 s.d. 30 Juni 2003 terdapat penggunaan dana yang
berasal dari kredit PT.Bank Mandiri, Tbk. telah dipergunakan untuk kepentingan
lain dari terdakwa selain untuk pembiayaan pembangunan Pasar Sentra Antasari
sebesar Rp. 39.179.924.284,00 (Tiga puluh sembilan milyar seratus tujuh puluh
sembilan juta sembilan ratus dua puluh empat ribu dua ratus delapan puluh empat
Rupiah).
Bahwa demikian pula perbuatan terdakwa yang sejak ditunjuk untuk mengelola
Pasar Sentra Antasari berdasarkan Surat Walikota Nomor500/259/Ekobang/2004
tanggal 30 Mei 2004 s.d Desember 2007 sengaja tidak membayar uang pengelolaan
Pasar Sentra Antasari kepada kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin dan
memberikan keterangan yang tidak benar dengan mengatakan kepada Pemerintah
Kota Banjarmasin bahwa seolah-olah pengelolaan merugi, padahal sesuai laporan
keuangan pengelolaan pasar Sentra Antasari Banjarmasin periode Juli 2004 s/d
Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp.7.650.143,645,- (Tujuh milyar enam
ratus limapuluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima
rupiah) dan sebelum pengelolaan Pasar Sentra Antasari tersebut dilakukan oleh
terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dan pada saat itu masih berbentuk pasar tradisional
pemerintah Kota Banjarmasin menerima hasil retribusi pasar lebih kurang Rp
800.000.000,- (Delapan ratus juta rupiah) setiap tahunnya, sehingga oleh karenanya
perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tersebut telah memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut unsur
ketiga “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain dan suatu
korporasi” telah terpenuhi.
4) Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

38
Bahwa terdakwa PT Giri Jaladhi Wana juga tidak membayar retribusi, penggantian
uang sewa dan pelunasan Kredit Inpres Pasar Antasari sebagaimana telah
diperjanjikan, yang seluruhnya adalah sebesar Rp.5.750.000.000 ,00 (Lima milyar
tujuh ratus lima puluh juta Rupiah).
Bahwa terdakwa sejak ditunjuk untuk mengelola Pasar Sentra Antasari berdasarkan
Surat Walikota Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 s.d. Desember
2007 sengaja tidak membayar uang pengelolaan Pasar Sentra Antasari kepada kas
daerah Pemerintah Kota Banjarmasin dan ST. Widagdo memberikan keterangan
yang tidak benar dengan mengatakan kepada Pemerintah Kota Banjarmasin
seolah-olah pengelolaan itu merugi, padahal sesuai laporan keuangan pengelolaan
Pasar Sentra Antasari Banjarmasin dari periode Juli 2004 s.d. Desember 2007
terkumpul dana sebesar Rp. 7.650.143 .645,00 (Tujuh milyar enam ratus lima puluh
juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima Rupiah).
Bahwa akibat perbuatan Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana tersebut telah
merugikan keuangan Negara cq. Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar
Rp.7.332.361.516,- (Tujuh milyar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga ratus enam puluh
satu ribu lima ratus enam belas Rupiah) berdasarkan perhitungan BPKP Perwakilan
Provinsi Kalimantan Selatan No.S-1911/PW.16/5/2008 tanggal 19 Mei
2008 dan PT. Bank Mandiri, Tbk. sebesar Rp.199.536.064.675,65 (Seratus sembilan
puluh sembilan milyar Iima ratus tiga puluh enam juta enam puluh empat ribu enam
ratus tujuh puluh lima koma enam puluh lima Rupiah) atau setidak- tidaknya sekitar
jumlah tersebut.
Bahwa dalam hal ini selain telah nyata-nyata merugikan keuangan Negara, karena
perbuatan terdakwa tersebut berkaitan dengan pembangunan dan pengelolaan
sebuah pasar, dan dengan terungkapnya kasus ini kondisi Pasar Sentra Antasari
sekarang ini menjadi tidak jelas lagi, siapa pengelolanya, maka perbuatan
terdakwa juga berpotensi merugikan Perekonomian Negara. Berdasarkan
pertimbangan tersebut unsur keempat “dapat merugikan keuangan Negara dan
Perekonomian Negara” telah terpenuhi.
5) Unsur perbuatan berlanjut.
Untuk adanya perbuatan berlanjut dipersyaratkan harus timbul dari satu niat atau
kehendak dan perbuatan tersebut harus sejenis dan rentang waktunya tidak boleh
terlalu lama, Dari fakta hukum yang terungkap di persidangan, telah terbukti,
bahwa penyimpangan yang dilakukan terdakwa dalam perkara ini berlangsung
dari tahun 1998 hingga perkara ini diajukan ke persidangan, adalah dalam rangkaian
kontrak bagi tempat usaha dalam rangka pembangunan pasar induk

39
Antasari Kotamadya Banjarmasin dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari.
Berdasarkan pertimbangan tersebut perbuatan terdakwa dapat dikategorikan
sebagai “perbuatan berlanjut”.
Putusan Hakim dalam menetapkan pidana bagi Terdakwa dilakukan dengan
memperhatikan asas “lex specialis derogat lex generalis”. Majelis Hakim berpendapat,
bahwa penuntut umum telah berhasil membuktikan dakwaannya dan Majelis Hakim juga
berpendapat bahwa tidak ada diperoleh suatu hal-hal apapun ataupun keadaan-keadaan yang
dapat dijadikan alasan pembenar maupun alasan pemaaf atas perbuatan terdakwa, oleh
karenanya terdakwa dinyatakan bersalah dan harus pula dijatuhi Hukuman yang setimpal
dengan kesalahannya berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 20
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Terkait dengan hal ini, jenis pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa, yaitu pidana
denda serta pidana tambahan sudah sesuai secara teori maupun berdasarkan ketentuan
hukum yang digunakan. Meskipun demikian, dalam pandangan penulis, jumlah denda yang
dibebankan kepada Terdakwa masih cukup kecil jika dibandingkan dengan kerugian yang
dialami oleh negara. Seharusnya dalam rangka mengganti kerugian negara, Hakim juga dapat
menjatuhkan pidana tambahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tindak
Pidana Korupsi yang menyatakan: “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.” Penjatuhan
pidana tambahan tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pidana tambahan
lainnya yang sudah dijatuhkan Hakim, yaitu penutupan sementara PT. GJW. Dengan demikian
upaya untuk mengganti kerugian negara dapat terpenuhi.

D. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisa kasus di atas, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1) Bahwa tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi sebagai subjek hukum
serta pihak-pihak yang ada didalamnya dan memiliki hubungan kerja sama dengan
korporasi tersebut, merupakan salah satu bagian dari tindak pidana ekonomi atau
kejahatan bisnis;
2) Kedudukan hukum korporasi dalam tindak pidana ekonomi, khususnya dalam
kasus korupsi, adalah subjek hukum yang dapat dikenakan pertanggung jawaban
pidana;

40
3) Bentuk pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada korporasi
dalam kasus-kasus korupsi sebagai bagian dari tindak pidana ekonomi adalah pidana
denda dan pidana tambahan yang meliputi perampasan aset-aset korporasi yang
digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi, pembayaran uang
pengganti sebesar harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi,
penutupan sebagian atau seluruh perusahaan, dan pencabutan seluruh atau
sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan
tertentu.

41
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ali Chidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1999.


Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Pradnya Paramita, 1993.
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2008.
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Clarke, Michael, Business Crime: Its Nature and Control, Polity Press, 1990.
Dwidja Prayitno Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
di Indonesia, Penerbit CV. Utomo, Bandung, 2004.
Frank E. Hagan, Introduction to Criminology (Theories, Methods, and Criminal Behavior),
Nelson-Hall, Chicago, 1989.
GraboskY, Peter dan Barithwate, John., Of Manners Gentie : Enforcment Strategies of
Australian Bussines Agencies. Oxford Unive Press, 1986.
Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Korupsi,
2015.
Hoon Hian Teck et.al, Economics: Theory an Aplication, Singapore, Mc Hill Book Co,
Singapore, 1998.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, PT.Sofmedia, Jakarta, 2010.
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Mochtar Kusumaadmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000.
Moejiatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1987.
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. Ke-1, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2010.
Paul A. Samuelson, Economic An Introductory Analysis, Mc Graw-Hill Book Company,USA,
1984.
Romli Atmasasmita, Hukum Kejahatan Bisnis: Teori & Praktik di Era Globalisasi, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni 1986.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006.

42
Makalah, Jurnal, dan Karya Ilmiah:
Indriyanto Seno Adji, Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis dan Korpusi Perbankan, Modul Kuliah
Kejahatan Bisnis, Tanpa Tahun.
Kartin S. Hulukati, Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Ekonomi Dengan Undang-undang
No. 7/DRT/1955, Universitas Diponegoro, 2003.

Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Putusan Pengadilan:
Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 53/Pid.Sus/2012/PN.Makassar.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor No. 1384 K/Pid/2005.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 936.K/Pid.Sus/2009.MA.

43

Anda mungkin juga menyukai