Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Artritis adalah suatu bentuk penyakit sendi yang sering dijumpai, meliputi
bermacam-macam kelainan dengan penyebab yang berbeda. Beberapa diantaranya disebabkan
oleh proses peradangan yang sebenarnya, seperti artritis reumatoid. Radang sendi atau artritis
reumatoid (AR) merupakan penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat tubuh diserang
oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan peradangan dalam waktu lama
pada sendi. Penyakit ini menyerang persendian, biasanya mengenai banyak sendi yang
ditandai dengan radang pada membran sinovial dan struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan
penipisan tulang. Peradangan sinovium dapat menyerang serta merusak tulang dan kartilago.
Sel penyebab radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan kartilago, sehingga
dapat terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi yang menghasilkan rasa sakit dan
pengurangan kemampuan bergerak. Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita,
dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1. Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita
dalam usia subur. AR dapat mengakibatkan nyeri, kemerahan, bengkok dan panas di sekitar
sendi (Corwin,2009).
Umumnya penyakit ini menyerang pada sendi-sendi bagian jari, pergelangan tangan,
bahu, lutut, dan kaki. Pada penderita stadium lanjut akan membuat penderita tidak dapat
melakukan aktivitas sehari-hari dan kualitas hidupnya menurun. Gejala yang lain berupa
demam, nafsu makan menurun, berat badan menurun, lemah dan kurang darah. Namun
kadang kala penderita tidak merasakan gejalanya.Faktor pencetus mungkin adalah suatu
bakteri, mikoplasma, virus yang menginfeksi sendi atau mirip dengan sendi secara antigenis.
AR diperkirakan terjadi karena predisposisi genetik terhadap penyakit autoimun (Corwin,
2009).
Diperkirakan kasus AR diderita pada usia di atas 18 tahun dan berkisar 0,1% sampai
dengan 0,3% dari jumlah penduduk. Di Malang, Jawa Timur, prevalensi AR pada penduduk
kota dan desa dilaporkan sebanyak 0,5-0,6%. Walaupun prevalensinya tidak tinggi, nyeri
dengan intensitas tinggi dan destruksi sendi progresif menimbulkan penderitaan berat, cacat
permanen, serta kematian premature (Nasution,dkk 2006).
Kerusakan sendi pada AR terjadi terutama dalam dua tahun pertama perjalanan
penyakit. Kerusakan ini bisa dicegah dan dikurangi dengan diagnosis dini dan terapi agresif

1
untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien AR. Pada sisi lain, diagnosis dini sering
menghadapi kendala yaitu pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik AR
karena gambaran karakteristik AR berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah
terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat. Artritis reumatid sering mengenai
penduduk usia produktif sehingga memberikan dampak sosial ekonomi yang besar
(Sumaryono dkk, 2006).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI MUSKULOSKELETAL

2
Tulang manusia saling berhubungan satu dengan yang lain dalam berbagai bentuk
untuk memperoleh fungsi sistem muskuloskeletal yang optimal. Aktivitas gerak tubuh
manusia tergantung pada efektifnya interaksi antara sendi yang normal dengan unit-unit
neuromuskular yang menggerakkannya.Elemen-elemen tersebut juga berinteraksi untuk
mendistribusikan stres mekanik ke jaringan sekitar sendi. Otot, tendon, ligamen, rawan sendi
dan tulang saling bekerjasama dibawah kendali system saraf agar fungsi tersebut dapat
berlangsung dengan sempurna (Leeson dkk, 2006).

1. Struktur Sendi

Sendi adalah semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang-tulang


tersebut dapat bergerak satu sama lain, maupun tidak dapat bergerak satu sama lain. Tempat
bertemu dua atau tiga unsur rangka, baik tulang atau tulang rawan, dikatakan sebagai sendi
atau artikulasi.Sistim muskuloskeletal pada manusia terdiri dari tulang, otot dan persendian
(dibantu oleh tendon, ligamen dan tulang rawan).Sistem ini memungkinkan anda untuk duduk,
berdiri, berjalan atau melakukan kegiatan lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Selain sebagai
penunjang dan pembentuk tubuh, tulang juga berfungsi sebagai pelindung organ dalam
(leeson dkk, 2006) .
Sendi berperan dalam mempertahankan kelenturan kerangka tubuh.Tanpa persendian,
tidak mungkin bisa melakukan berbagai gerakan.Sedang yang berfungsi menarik tulang pada
saat bergerak adalah otot, yang merupakan jaringan elastik yang kuat.Sendi mungkin temporer
atau permanen.Sendi temporer terdapat selama masa pertumbuhan; misalnya epifisis tulang
panjang menyatu dengan bagian batang tulang melalui tulang rawan hialin dari diskus epifisis.
Sendi demikian menghilang bila penumbuhan berhenti dan epifisis menyatu dengan bagian
batang (Sumaryono, dkk 2006).
Kebanyakan sendi bersifat permanen, dan dapat digolongkan berdasarkan ciri
susunannya menjadi 3 golongan utama yaitu fibrosa, kartilaginosa dan sinovial.Kedua jenis
pertama seringkali disebut sinartrosis (sin, bersama; arthron, sendi), sendi yang tidak
memungkinkan atau memungkinkan sedikit gerak. Sendi sinovial, yang memungkinkan gerak
bebas, disebut sebagai diartrosis (di, terpisah) (Sumaryono dkk,2006).

3
Gambar 1. Macam-macam tipe persendian (Sudoyo dkk, 2010)
Ada 3 jenis persendian yang dibedakan berdasarkan jangkauan gerakan yang
dimiliki:
a. Sendi fibrosa
Sendi fibrosa yaitu persendian yang tidak dapat digerakkan, dimana letak tulang-
tulangnya sangat berdekatan dan hanya dipisahkan oleh selapis jaringan ikat fibrosa,
contohnya sutura di antara tulang-tulang tengkorak.Sutura hanya terdapat pada tengkorak dan
tidak bersifat permanen karena jaringan fibrosa pengikat itu dapat diganti oleh tulang di
kemudian hari. Penyatuan tulang yang dihasilkan itu dikenal sebagai sinostosis (Sudoyo dkk,
2010).

4
Gambar 2.sutura di antara tulang-tulang tengkorak (Sudoyo, dkk 2010)
Sendi pada tulang yang dipersatukan oleh jaringan ikat fibrosa yang jauh lebih
banyak daripada yang terdapat pada sutura disebut sindesmosis.Sendi macam ini, misalnya
sendi radioulnar dan tibiofibular, memungkinkan gerak dalam batas tertentu. Jenis fibrosa
ketiga, yaitu gomfosis, merupakan sendi khusus terdapat pada gigi dalam maksila dan
mandibula; jaringan fibrosa penyatu itu membentuk membran periodontal.
b. Sendi tulang rawan
Persendian Kartilaginosa, yaitu persendian yang gerakannya terbatas, dimana tulang-
tulangnya dihubungkan oleh tulang rawan hialin, contohnya tulang iga. Sendi ini, sering
dikatakan sebagai sendi kartilaginosa sekunder untuk membedakannya dari sendi primer,
paling jelas ditunjukkan oleh sendi diantara badan-badan vertebra yang berdekatan.
Permukaan tulang yang berhadapan dilapisi lembar –lembar tulang rawan hialin, yang
secara erat dipersatukan oleh lempeng fibrokartilago. Simfisis, seperti sendi pubis dan
manubriosternal, merupakan contoh sendi kartilaginosa sekunder.Sendi demikian berbeda dari
diskus intervertebralis karena dibagian pusatnya terdapat rongga kecil.Tetapi rongga sendi ini
tidak memiliki ciri khusus suatu sendi synovial.

Gambar 3. Simfisis, contoh yaitu sendi pubis\


c. Sendi Sinovial
Persendian sinovial adalah persendian yang gerakannya bebas, merupakan bagian
terbesar dari persendian pada tubuh orang dewasa, contohnya sendi bahu dan panggul, sikut
dan lutut, sendi pada tulang-tulang jari tangan dan kaki, pergelangan tangan dan kaki. Pada
sendi sinovial, tulang-tulang ditahan menjadi satu oleh suatu simpai sendi dengan permukaan

5
yang berhadapan, dilapisi tulang rawan sendi, dipisahkan oleh celah sempit yang mengandung
cairan synovial ( Sudoyo dkk, 2010)
Tulang rawan sendi dibentuk oleh tulang rawan jenis hialin, walaupun matriksnya
mengandung banyak serat kolagen. Pada beberapa tempat, seperti tepi fosa glenoid dari sendi
bahu dan asetabulum sendi panggul, tulang rawannya bersifat fibrosa. Lapis terdalam tulang
rawan sendi mengapur dan melekat sangat erat pada tulang di bawahnya. Tulang rawan sendi
tidak memiliki serat saraf atau pembuluh darah dan tidak dibungkus oleh perikondrium.

Gambar 4. Sendi Sinovial


Simpai sendi menyatukan tulang-tulang.Lapisan luar simpai adalah jaringan ikat
padat kolagen yang menyatu dengan periosteum yang membungkus tulang dan pada beberapa
tempat menebal membentuk ligamen-ligamen sendi. Lapis dalam simpai, yaitu membran
sinovial membatasi rongga sendi, kecuali di atas tulang rawan sendi, dan, bila ada, diskus
intra-artikular.
Membran sinovial merupakan membran vaskular tipis yang mengandung kapiler-
kapiler lebar dan lebih ke dalam mengandung banyak sel lemak.Satu sampai tiga lapis sel-sel
sinovial membentuk lapis permukaan.Tidak ada membran basal di bawah sel-sel ini sehingga
dengan demikian kapiler di bawahnya tidak dipisahkan sawar dari rongga sendinya. Dapat
dibedakan dua jenis sel sinovial, yang mungkin merupakan jenis sel sama dengan tahapan
perkembangan fungsional berbeda. Sel jenis A (atau sel M), yang berjumlah paling banyak,
mirip makrofag dan didalam sitoplasmanya mengandung banyak mitiokondria dan vesikel
mikropinositotik, lisosom dan suatu aparat golgi yang menonjol. Sel ini berdaya fagositsis
aktif. Dalam sel sinovial B ( atau sel F), organel-organel ini kurang berkembang tetapi
sebaliknya sistem retikulum endoplasma granular sangat luas dan biasanya mempunyai ciri-
ciri struktural menyerupai fibroblast. Membran sinovial seringkali menjulur ke dalam rongga

6
sendi berupa lipatan kasar (vili sinovia) dan dapat menonjol (evaginasi) keluar menembus
lapis luar simpai, diantara tendo dan otot berdekatan membentuk saku yang dikenal sebagai
bursa (Sudoyo dkk,2010).
Membran sinovial menghasilkan cairan sinovial. Cairan kental ini diduga terutama
terbentuk sebagai dialisat (hasil dialisis) plasma darah dan limfe. Unsur musin dari cairan
sinovial yang terdiri atas asam hialuronat dan secara kovalen terikat pada protein, dihasilkan
oleh sel-sel sinovial. Cairan ini berfungsi sebagai pelumas dan nutritif untuk sel tulang rawan
sendi.Rongga sendi kadang-kadang terbagi sebagian atau seluruhnya oleh diskus intra-
artikular yang terdiri atas fibrokartilago. Pada tepinya, diskus ini berhubungan dengan lapis
fibrosa dari simpai.
Pada sendi sinovial (diartrosis), tulang-tulang yang saling berhubungan dilapisi
rawan sendi.Rawan sendi merupakan jaringan avaskular dan juga tidak memiliki jaringan
saraf, berfungsi sebagai bantalan terhadap beban yang jatuh kedalam sendi.Rawan sendi
dibentuk oleh sel rawan sendi (kondrisit) dan matriks rawan sendi.Kondrosit berfungsi
menyintesis dan memelihara matriks rawan sehingga fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga
dengan baik.Matriks rawan sendi terutama terdiri dari air, proteoglikan, dan kolagen.
Proteoglikan merupakan molekul yang kompleks yang tersusun atas inti protein dan molekul
glikosominoglikan.
Glikosominoglikan yang menyusun proteoglikan terdiri dari keratin sulfat,
kondroitin-6-sulfat dan kondroitin-4-sulfat.Bersama-sama dengan asam hialuronat,
proteoglikan membentuk agregat yang dapat menghisap air dari sekitarnya sehingga
mengembang sedemikian rupa dan membentuk bantalan yang baik sesuai dengan fungsi
rawan sendi.Rawan sendi merupakan jaringan yang avaskuler, oleh karena itu makanan
didapatkan dengan jalan difusi. Beban yang intermiten pada rawan sendi sangat baik bagi
fungsi difusi nutrien untuk rawan sendi (Tjokroprawiro dkk, 2010).
Cairan sendi yang normal bersifat jernih, kekuningan dan viskous, hanya beberapa ml
volumenya dalam sendi yang normal.
Komponen penunjang sendi yaitu:
1) Kapsula sendi adalah lapisan berserabut yang melapisi sendi. Di bagian
dalamnya terdapat rongga.

7
2) Ligamen (ligamentum) adalah jaringan pengikat yang mengikat luar ujung
tulang yang saling membentuk persendian. Ligamentum juga berfungsi mencegah dislokasi.
3) Tulang rawan hialin (kartilago hialin) adalah jaringan tulang rawan yang
menutupi kedua ujung tulang. Berguna untuk menjaga benturan.
4) Cairan sinovial adalah cairan pelumas pada kapsula sendi.

Ada berbagai macam tipe persendian:


1) Sinartrosis
Sinartrtosis adalah persendian yang tidak memperbolehkan pergerakan. Dapat
dibedakan menjadi dua:
a) Sinartrosis sinfibrosis: sinartrosis yang tulangnya dihubungkan jaringan ikat
fibrosa. Contoh: persendian tulang tengkorak.
b) Sinartrosis sinkondrosis: sinartrosis yang dihubungkan oleh tulang rawan.
Contoh: hubungan antarsegmen pada tulang belakang.
2) Diartrosis
Diartrosis adalah persendian yang memungkinkan terjadinya gerakan. Dapat
dikelempokkan menjadi:
a) Sendi peluru: persendian yang memungkinkan pergerakan ke segala arah.
Contoh: hubungan tulang lengan atas dengan tulang belikat.
b) Sendi pelana: persendian yang memungkinkan beberapa gerakan rotasi, namun
tidak ke segala arah. Contoh: hubungan tulang telapak tangan dan jari tangan.
c) Sendi putar: persendian yang memungkinkan gerakan berputar (rotasi).
Contoh: hubungan tulang tengkorak dengan tulang belakang I (atlas).
d) Sendi luncur: persendian yang memungkinkan gerak rotasi pada satu bidang
datar. Contoh: hubungan tulang pergerlangan kaki.
e) Sendi engsel: persendian yang memungkinkan gerakan satu arah. Contoh:
sendi siku antara tulang lengan atas dan tulang hasta.
3) Amfiartosis adalah persendian yang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan
sehingga memungkinkan terjadinya sedikit gerakan
a) Sindesmosis: Tulang dihubungkan oleh jaringan ikat serabut dan ligamen.
Contoh:persendian antara fibula dan tibia.
b) Simfisis: Tulang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan yang berbentuk
seperi cakram. Contoh: hubungan antara ruas-ruas tulang belakang.

B. ARTRITIS REUMATOID
8
1. Definisi
Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui
dan ditandai oleh synovitis erosive yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan
jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit AR ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan
progresif. Sebagian besar kasus perjalanannya kronik fluktuatif yang mengakibatkan
kerusakan sendi yang progresif dan kecacatan dan bahkan kematian dini.

2. Epidemiologi

Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan
lainya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR sekitar 1%
pada kaukasia dewasa; Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8%
dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7%
dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan
Eropa Selatan hanya 9-24/100000 (Silman dkk, 2009). Di Indonesia dari hasil survey
epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi AR 0,3 %, sedang di Malang
pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi AR 0,5 % di daerah
Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten (Darmawan, 2009). Di poliklinik reumatologi RS
Hasan Sadikin didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002. Di
Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta, kasus baru AR merupakan
4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan
sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 orang (15,1%).
Rheumatoid arthritis adalah bentuk paling umum dari arthritis autoimun, yang
mempengaruhi lebih dari 1,3 juta orang Amerika. Dari jumlah tersebut, sekitar
75% adalah perempuan. Bahkan, 1-3% wanita mungkin mengalami
rheumatoid arthritis dalam hidupnya. Penyakit ini paling sering dimulai antara
dekade keempat dan keenam dari kehidupan. Namun, rheumatoid arthritis
dapat mulai pada usia berapa pun (American College of Rheumatology, 2015)..

9
3. Etiologi

Faktor genetik. Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti.Terdapat interaksi yang
kompleks antara faktor genetik dan lingkungan.Faktor genetik berperan penting terhadap
kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60 %. Hubungan gen
HLA-DRB1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-
HLA juga berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang
mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B(NF-κB). Gen ini berperan penting dalam
resorpsi tulang pada AR. Faktor genetik juga berperanan penting dalam terapi AR karena
aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase
untuk metabolisme methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetic (Sudoyo,
2010). Pada kembar monozigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih
dari 30% dan pada orang kulit putih dengan AR yang mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-
DR4 mempunyai angka kesesuaian sebesar 80%.
Hormon sex. Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-
laki, sehingga diduga hormon sex berperanan dalam perkembangan penyakit ini.Pada
observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala AR selama kehamilan . Perbaikan ini
diduga karena : 1. Adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR
sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. 2.
Adanya perubahan profil hormon. Placental corticotropin-releasing hormone secara langsung
menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron(DHEA), yang merupakan androgen utama pada
perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus.Androgen bersifat imunosupresi
terhadap respon imun selular dan humoral.DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis
estrogen plasenta.Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan
menghambat respon imun selular (Th1). Oleh karena pada AR respon Th1 lebih dominan
sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan
AR. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah perkembangan AR atau berhubungan
dengan penurunan insiden AR yang lebih berat (Suarjana, 2009).

10
Faktor infeksi. Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit
seperti tampak pada Tabel 1.Organisme ini diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan
merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit.Walaupun
belumditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyebab penyakit (Suarjana,
2009) .

Tabel 1. Agen infeksi yang diduga sebagai penyebab artritis rheumatoid (Suarjana, 2009)
Agen infeksi Mekanisme patogenik
Mycoplasma Infeksi sinovial langsung, superantigen
Parvovirus B19 Infeksi sinovial langsung
Retrovirus Infeksi sinovial langsung
Enteric bacteria Kemiripan molekul
Mycobacteria Kemiripan molekul
Epstein-Barr Virus Kemiripan molekul
Bacterial cell walls Aktifasi makrofag

Protein heat shock (HSP). HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada
semua spesies sebagai respon terhadap stres.Protein ini mengandung untaian (sequence) asam
amino homolog.HSP tertentu manusia dan HSP mikobakterium tuberkulosis mempunyai 65%
untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada
agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga
mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul
(molecular mimicry)(Corwin, 2009).

4. Faktor Risiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis
kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua, paparan
salisilat dan merokok. Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi
decaffeinated mungkin juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi the dan
penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan penurunan risiko. Tiga dari empat
perempuan dengan AR mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan
biasanya akan kambuh kembali setelah melahirkan.

5. Patogenesis

11
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial
setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi.Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi
neovaskularisasi.Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-
bekuan kecil atau sel-sel inflamasi.Terjadi pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial
yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan
merusak rawan sendi dan tulang.(Gambar 5) Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase
dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi
sistemik.(Gambar 6 dan 7).

Gambar 5.Destruksi sendi oleh jaringan pannus.

Peran sel T. Induksi respon sel T pada artritis reumatoid di awali oleh interaksi antara
reseptor sel T dengan share epitope dari major histocompatibility complex class II (MHCII-
SE) dan peptida pada antigen-presenting cell (APC) sinovium atau sistemik.Molekul
tambahan (accessory) yang diekspresikan oleh APC antara lain ICAM-1 (intracellular
adhesion molucle-1) (CD54), OX40L (CD252), inducible costimulator (ICOS) ligand
(CD275), B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86), berpartisipasi dalam aktivasi sel T melalui ikatan
dengan lymphocyte function-associated antigen (LFA)-1 (CD11a/CD18), OX40 (CD134),

12
ICOS (CD278), and CD28.Fibroblast-like synoviocytes (FLS) yang aktif mungkin juga
berpartisipasi dalam presentasi antigen dan mempunyai molekul tambahan seperti LFA-3
(CD58) dan ALCAM (activated leukocyte cell adhesion molecule) (CD166) yang berinteraksi
dengan sel T yang mengekspresikan CD2 dan CD6. Interleukin (IL)-6 dan transforming
growth factor-beta (TGF-β) kebanyakan berasal dari APC aktif, signal pada sel Th17
menginduksi pengeluaran Il-17.

Gambar 6.Patogenesis artritis reumatoid.

13
Gambar 7.Peran sitokin dalam patogenesis artritis reumatoid.
IL-17 mempunyai efek independen dan sinergistik dengan sitokin proinflamasi lainnya
(TNF-α dan IL-1β) pada sinovium, yang menginduksi pelepasan sitokin, produksi
metaloproteinase, ekspresi ligan RANK/RANK (CD265/CD254), dan osteoklastogenesis.
Interaksi CD40L (CD154) dengan CD40 juga mengakibatkan aktivasi monosit/makrofag
(Mo/Mac) sinovial, FLS, dan sel B. Walaupun pada kebanyakan penderita AR didapatkan
adanya sel T regulator CD4+CD25hi pada sinovium, tetapi tidak efektif dalam mengontrol
inflamasi dan mungkin di non-aktifkan oleh TNF-α sinovial.IL-10banyak didapatkan pada
cairan sinovial tetapi efeknya pada regulasi Th17 belum diketahui. Ekspresi molekul
tambahan pada sel Th17 yang tampak pada Gambar 8 adalah perkiraan berdasarkan ekspresi
yang ditemukan pada populasi sel T hewan coba.Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
menetukan struktur tersebut pada subset sel Th17 pada sinovium manusia.

14
Gambar 8. Interaksi sel Th17 patogenik dalam synovial microenvironment pada artritis
rheumatoid (Kumar dkk, 2015).

Peran sel B. Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui secara pasti,
meskipun sejumlah peneliti menduga ada beberapa mekanisme yang mendasari keterlibatan
sel B. Keterlibatan sel B dalam patogenesis AR diduga melalui mekanisme sebagai berikut:
1. Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal kostimulator yang penting
untuk clonal expansion dan fungsi efektor dari sel T CD4+.
2. Sel B dalam membran sinovial AR juga memproduksi sitokin proinflamasi seperti
TNF-α dan kemokin.
3. Membran sinovial AR mengandung banyak sel B yang memproduksi faktor reumatoid
(RF). AR dengan RF positif (seropositif) berhubungan dengan penyakit artikular yang lebih
agresif, mempunyai prevalensi manifestasi ekstraartikular yang lebih tinggi dan angka
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. RF juga bisa mencetuskan stimulus diri sendiri
untuk sel B yang mengakibatkan aktivasi dan presentasi antigen kepada sel Th, yang pada
akhirnya proses ini juga akan memproduksi RF. Selain itu kompleks imun RF juga
memperantarai aktivasi komplemen, kemudian secara bersama-sama bergabung dengan
reseptor Fcg, sehingga mencetuskan kaskade inflamasi.
4. Aktivasi sel T dianggap sebagai komponen kunci dalam patogenesis AR. Bukti terbaru
menunjukkan bahwa aktivasi ini sangat tergantung kepada adanya sel B. Berdasarkan

15
mekanisme diatas, mengindikasikan bahwa sel B berperanan penting dalam penyakit AR,
sehingga layak dijadikan target dalam terapi AR.
Gambar 9. memperlihatkan peranan potensial sel B dalam regulasi respon imun pada
AR. Sel B mature yang terpapar oleh antigen dan stimulasi TLR (Toll-like receptor ligand)
akan berdiferensiasi menjadi short-lived plasma cells atau masuk kedalam reaksi GC
(germinal centre) sehingga berubah menjadi sel B memori dan long-lived plasma cells yang
dapat memproduksi autoantibodi. Autoantibodi membentuk kompleks imun yang selanjutnya
akan mengaktivasi sistem imun melalui reseptor Fc dan reseptor komplemen yang terdapat
pada sel target. Antigen yang diproses oleh sel B mature selanjutnya disajikan kepada sel T
sehingga menginduksi diferensiasi sel T efektor untuk memproduksi sitokin proinflamasi,
dimana sitokin ini diketahui secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam destruksi
tulang dan tulang rawan. Sel B mature juga dapat berdiferensiasi menjadi sel B yang
memproduksi IL-10 yang dapat menginduksi respon autoreaktif sel T.

Gambar 9.Partisipasi sel B pada artritis reumatoid.

6. Manifestasi Klinis

16
Awitan (onset).Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara perlahan, artritis
simetris terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit.
Kurang lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang lebih cepat yaitu antara
beberapa hari sampai beberapa minggu.Sebanyak 10 – 15% penderita mempunyai awitan
fulminant berupa artritis poliartikular, sehingga diagnosis AR lebih mudah ditegakkan.Pada 8
– 15% penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi). Artritis
sering kali diikuti oleh kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama satu jam atau
lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan,
anoreksia dan demam ringan (SIGN, 2011).
Manifestasi artikular. Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan
kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu
atau beberapa sendi saja.Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri,bengkak, kemerahan dan
teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan (flare),
namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada AR yang kronik
(Corwin,2009).
Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran
sinovial yang membungkus sendi.Pada umumnya sendi yang terkena adalah persendian
tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa
terkena.Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, meskipun pada presentasi awal bisa tidak
simetris. Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan
kehilangan fungsi. Ankilosis tulang (destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang
yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pada pergelangan tangan dan
kaki. Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga sendi interfalang
proksimal dan metakarpofalangeal.Sendi interfalang distal dan sakroiliaka tidak pernah
terlibat. Distribusi sendi yang terlibat pada AR tampak pada Tabel 2.

Tabel 2. Sendi yang terlibat pada artritis reumatoid

Sendi yang terlibat Frekuensi keterlibatan (%)


Metacarpophalangeal (MCP) 85
Pergelangan tangan 80
Proximal interphalangeal (PIP) 75
Lutut 75

17
Metatarsophalangeal (MTP) 75
Pergelangan kaki (tibiotalar + subtalar) 75
Bahu 60
Midfoot (tarsus) 60
Panggul (Hip) 50
Siku 50
Acromioclavicular 50
Vertebra servikal 40
Temporomandibular 30
Sternoclavicular 30

Manifestasi ekstraartikular. Walaupun artritis merupakan manifestasi klinis utama,


tetapi AR merupakan penyakit sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai
manifestasi ekastraartikular. Manifestasi ekastraartikular pada umumnya didapatkan pada
penderita yang mempunyai titer faktor reumatoid (RF) serum tinggi. Nodul reumatoid
merupakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan
intervensi khusus. Nodul reumatoid umumnya ditemukan didaerah ulna, olekranon, jari
tangan, tendon achilles atau bursa olekranon. Nodul reumatoid hanya ditemukan pada
penderita AR dengan faktor reumatoid positif (sering titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan
dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau nodul yang berhubungan dengan
demam reumatik, lepra, MCTD, atau multicentric reticulohistiocytosis. Manifestasi paru juga
bisa didapatkan, tetapi beberapa perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi. Beberapa
manifestasi ekstraartikuler seperti vaskulitis dan Feltysyndrome jarang dijumpai, tetapi sering
memerlukan terapi spesifik (Corwin, 2009). Manifestasi ekstraartikular AR dirangkum dalam
Tabel 3.

Tabel 3.Manifestasi ekastraartikular dari artritis reumatoid.


Sistem organ Manifestasi

Konstitusional Demam, anoreksia, kelelahan (fatigue), kelemahan, limfadenopati


Kulit Nodul rematoid, accelerated rheumatoid nodulosis, rheumatoid
vasculitis, pyoderma gangrenosum, interstitial granulomatosus
dermatitis with arthritis, palisaded neutrophilic dan

18
granulomatosis dermatitis, rheumatoid neutrophilic dermatitis, dan
adult-onset Still disease.
Mata Sjögren syndrome (keratoconjunctivits sicca), scleritis, episcleritis,
scleromalacia.
Kardiovaskular Pericarditis, efusi perikardial, edokarditis, valvulitis.
Paru-paru Pleuritis, efusi pleura, interstitial fibrosis, nodul reumatoid pada
paru, Caplan's syndrome (infiltrat nodular pada paru dengan
pneumoconiosis).
Hematologi Anemia penyakit kronik, trombositosis, eosinofilia, Felty
syndrome( AR dengan neutropenia dan splenomegali).
Gastrointestinal Sjögren syndrome (xerostomia), amyloidosis, vaskulitis.
Neurologi Entrapment neuropathy, myelopathy/myositis.
Ginjal Amyloidosis, renal tubular acidosis, interstitial nephritis.
Metabolik Osteoporosis.

Deformitas. Kerusakan struktur artikular dan periartikular (tendon dan ligamentum)


menyebabkan terjadinya deformitas. Bentuk-bentuk deformitas yang bisa ditemukan pada
penderita AR dirangkum dalam Tabel 4.

Tabel 4.Bentuk-bentuk deformitas pada artritis reumatoid.


Bentuk deformitas* Keterangan

Deformitas leher angsa (swan-neck) Hiperekstensi PIP dan fleksi DIP.


Deformitas boutonnière Fleksi PIP dan hiperekstensi DIP.
Deviasi ulna Deviasi MCP dan jari-jari tangan kearah ulna.
Deformitas kunci piano (piano-key) Dengan penekanan manual akan terjadi
pergerakan naik dan turun dari ulnar styloid,
yang disebabkan oleh rusaknya sendi radioulnar.
Deformitas Z-thumb Fleksi dan subluksasi sendi MCP I dan
hiperekstensi dari sendi interfalang.
Arthritis mutilans Sendi MCP, PIP, tulang carpal dan kapsul sendi
mengalami kerusakan sehingga terjadi
instabilitas sendi dan tangan tampak mengecil
(operetta glass hand).
Hallux valgus MTP I terdesak kearah medial dan jempol kaki
mengalami deviasi kearah luar yang terjadi

19
secara bilateral.
*Lihat foto artritis reumatoid

7. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik

Tidak ada tes diagnostik tunggal yang definitif untuk konfirmasi diagnosis AR.The
American College of Rheumatology Subcommittee on Rheumatoid Arthritis (ACRSRA)
merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar untuk evaluasi antara lain : darah perifer
lengkap (complete blood cell count), faktor reumatoid (RF), laju endap darah atau C-reactive
protein (CRP). Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga direkomendasikan karena akan
membantu dalam pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan RF dan anti-CCP negatif bisa
dilanjutkan dengan pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita AR yang
mempunyai risiko tinggi mengalami prognosis buruk.
Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang bisa digunakan untuk menilai penderita AR
antara lain foto polos (plain radiograph) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada awal
perjalanan penyakit mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak atau efusi sendi
pada pemeriksaan foto polos, tetapi dengan berlanjutnya penyakit mungkin akan lebih banyak
ditemukan kelainan. Osteopenia juxtaarticular adalah karakteristik untuk AR dan chronic
inflammatory arthritides lainnya. Hilangnya tulang rawan artikular dan erosi tulang mungkin
timbul setelah beberapa bulan dari aktivitas penyakit. Kurang lebih 70% penderita AR akan
mengalami erosi tulang dalam 2 tahun pertama penyakit, dimana hal ini menandakan penyakit
berjalan secara progresif. Erosi tulang bisa tampak pada semua sendi, tetapi paling sering
ditemukan pada sendi metacarpophalangeal, metatarsophalangeal dan pergelangan tangan.
Foto polos bermanfaat dalam membantu menentukan prognosis, menilai kerusakan sendi
secara longitudinal, dan bila diperlukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI mampu
mendeteksi adanya erosi lebih awal bila dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi
konvensional dan mampu menampilkan struktur sendi secara rinci, tetapi membutuhkan biaya
yang lebih tinggi. Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk AR dirangkum pada Tabel 5 dan
perbandingan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan autoantibodi pada AR tampak pada
Tabel 6.
Tabel 5. Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk artritis rheumatoid (American College of Rheumatology, 2015)

20
Pemeriksaan penunjang Penemuan yang berhubungan

C-reactive protein (CRP)* Umumnya meningkat sampai > 0,7 picogram/mL, bisa
digunakan untuk monitor perjalanan penyakit.
Laju endap darah (LED)* Sering meningkat > 30 mm/jam, bisa digunakan untuk
monitor perjalanan penyakit.
Hemoglobin/hematokrit* Sedikit menurun, Hb rata-rata sekitar 10 g/dL, anemia
normokromik, mungkin juga normositik atau mikrositik
Jumlah lekosit* Mungkin meningkat.
Jumlah trombosit* Biasanya meningkat.
Fungsi hati* Normal atau fosfatase alkali sedikit meningkat.
Faktor reumatoid (RF)* Hasilnya negatif pada 30% penderita AR stadium dini. Jika
pemeriksaan awal negatif dapat diulang setelah 6 – 12 bulan
dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil positif pada
beberapa penyakit seperti SLE, skleroderma, sindrom
Sjögren’s, penyakit keganasan, sarkoidosis, infeksi (virus,
parasit atau bakteri). Tidak akurat untuk penilaian perburukan
penyakit.
Foto polos sendi* Mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau erosi
dekat celah sendi pada stadium dini penyakit. Foto
pergelangan tangan dan pergelangan kaki penting untuk data
dasar, sebagai pembanding dalam penelitian selanjutnya.
MRI Mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal
dibandingkan dengan foto polos, tampilan struktur sendi lebih
rinci.
Anticyclic citrullinated Berkorelasi dengan perburukan penyakit, sensitivitasnya
peptide antibody (anti-CCP) meningkat bila dikombinasi dengan pemeriksaan RF. Lebih
spesifik dibandingkan dengan RF. Tidak semua laboratorium
mempunyai fasilitas pemeriksaan anti-CCP.
Anti-RA33 Merupakan pemeriksaan lanjutan bila RF dan anti-CCP
negatif.
Antinuclear antibody (ANA) Tidak terlalu bermakna untuk penilaian AR.
Konsentrasi komplemen Normal atau meningkat.
Imunoglobulin (Ig) Ig α-1 dan α-2 mungkin meningkat.
Pemeriksaan cairan sendi Diperlukan bila diagnosis meragukan. Pada AR tidak
ditemukan kristal, kultur negatif dan kadar glukosa rendah.

21
Fungsi ginjal Tidak ada hubungan langsung dengan AR, diperlukan untuk
memonitor efek samping terapi.
Urinalisis Hematuria mikroskopik atau proteinuria bisa ditemukan pada
kebanyakan penyakit jaringan ikat.
* Direkomendasikan untuk evaluasi awal AR

Tabel 6.Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan autoantibodi pada artritis reumatoid.


Autoantibodi Sensitivitas (%) Spesifisitas (%) PPV* (%)
RF titer > 20 U/ml 55 89 84
RF titer tinggi (≥ 50 U/ml) 45 96 92
Anti-CCP 41 98 96
Anti-RA33 28 90 74
*PPV = positive predictive value

8. Kriteria Diagnostik

Pada penelitian klinis, AR didiagnosis secara resmi dengan menggunakan tujuh kriteria
dari American College of Rheumatology seperti tampak pada Tabel 9.Pada penderita AR
stadium awal (early) mungkin sulit menegakkan diagnosis definitif dengan menggunakan
kriteria ini.Pada kunjungan awal, penderita harus ditanyakan tentang derajat nyeri, durasi dari
kekakuan dan kelemahan serta keterbatasan fungsional.Pemeriksaan sendi dilakukan secara
teliti untuk mengamati adanya ciri-ciri seperti yang disebutkan diatas. Liao dkk melakukan
modifikasi terhadap kriteria ACR dengan memasukkan pemeriksaan anti-CCP dan membuang
kriteria nodul reumatoid dan perubahan radiologis, sehingga jumlah kriteria menjadi
enam.Diagnosis AR ditegakkan bila terpenuhi 3 dari 6 kriteria. Kriteria diagnosis ini ternyata
memperbaiki sensitivitas dari kriteria ACR (74% : 51%), tetapi spesifisitasnya lebih rendah
dari kriteria ACR (81% : 91%).

Tabel 7.Kriteria diagnosis artritis reumatoid menurut ACR.


Gejala dan tanda Definisi Persentase penderita
AR jika gejala atau
tanda* :
Ada Tidak ada

22
Kaku pagi hari (morning Kekakuan pada sendi dan sekitarnya yang 39 14
stiffness) berlangsung paling sedikit selama 1 jam
sebelum perbaikan maksimal.
Artritis pada 3 persendian Paling sedikit 3 sendi secara bersamaan 32 13
atau lebih menunjukkan pembengkakan jaringan
lunak atau efusi (bukan hanya
pertumbuhan tulang saja) yang
diobservasi oleh seorang dokter. Ada 14
daerah persendian yang mungkin terlibat
yaitu : PIP, MCP, pergelangan tangan,
siku, lutut, pergelangan kaki dan MTP
kanan atau kiri.
Artritis pada persendian Paling sedikit ada satu pembengkakan 33 12
tangan (seperti yang disebutkan diatas) pada
sendi : pergelangan tangan, MCP atau
PIP.
Artritis yang simetrik Keterlibatan sendi yang sama pada kedua 29 17
sisi tubuh secara bersamaan (keterlibatan
bilateral sendi PIP, MCP atau MTP dapat
diterima walaupun tidak mutlak bersifat
simetris).
Nodul rheumatoid Adanya nodul subkutan pada daerah 50 25
tonjolan tulang, permukaan ekstensor
atau daerah juxtaartikular yang
diobservasi oleh seorang dokter.
Faktor reumatoid serum Adanya titer abnormal faktor reumatoid 74 13
positif serum yang diperiksa dengan metode
apapun, yang memberikan hasil positif <
5% pada kontrol subyek normal.
Perubahan gambaran Terdapat gambaran radiologis yang khas 79 21
radiologis untuk artritis reumatoid pada foto
posterioanterior tangan dan pergelangan
tangan, berupa erosi atau dekalsifikasi

23
tulang yang terdapat pada sendi atau
daerah yang berdekatan dengan sendi
(perubahan akibat osteoartritis saja tidak
memenuhi persyaratan).
* Diasumsikan bahwa probabilitas keseluruhan (overall probability) untuk AR adalah 30%
- Diagnosis ditegakkan bila memenuhi 4 atau lebih dari kriteria diatas, kriteria 1 – 4 sudah
berlangsungminimal selama 6 minggu.
Algoritma Rheumatoid Arthritis menurut EULAR 2016

24
Algoritma Rheumatoid Arthritis menurut ACR 2015

25
26
Algoritma Rheumatoid Arthritis menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk
Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Reumatoid 2014

9. Diagnostik Banding

AR harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artropati reaktif yang
berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat lainnya
seperti lupus eritematosus sistemik (LES), yang mungkin mempunyai gejala menyerupai AR.

27
Adanya kelainan endokrin juga harus disingkirkan. Artritis gout jarang bersama-sama dengan
AR, bila dicurigai ada artritis gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan.

10. Terapi

Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya gejala, terapi
sedini mungkin akan menurunkan angka perburukan penyakit.Oleh karena itu sangat penting
untuk melakukan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin.ACRSRA mekomendasikan
bahwa penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3 bulan sejak timbulnya gejala
untuk konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs (Disease-modifying antirheumatic
drugs). Modalitas terapi untuk AR meliputi terapi non farmakologik dan farmakologik.
Tujuan terapi pada penderita AR adalah :
1. Mengurangi nyeri
2. Mempertahankan status fungsional
3. Mengurangi inflamasi
4. Mengendalikan keterlibatan sistemik
5. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
6. Mengendalikan progresivitas penyakit
7. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

TERAPI NON FARMAKOLOGIK


Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. Terapi puasa,
suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang baik.
Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing
agents pada penderita AR.Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam perawatan
penderita, bisa memberikan manfaat jangka pendek. Penggunaan terapi herbal, acupuncture
dan splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan. Pembedahan harus dipertimbangkan
bila : 1. Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif, 2.
Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat, 3. Ada ruptur tendon.

TERAPI FARMAKOLOGIK

28
Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi obat anti-inflamasi non
steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau intraartikular
dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin digunakan seperti acetaminophen, opiat,
diproqualone dan lidokain topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik untuk AR
menggunakan pendekatan piramid yaitu : pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai
saat diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau penambahan terapi hanya diberikan bila
terjadi perburukan gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) lebih
disukai, yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit.
Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat dari beberapa penelitian yaitu : 1.
kerusakan sendi sudah terjadi sejak awal penyakit; 2. DMARD memberikan manfaat yang
bermakna bila diberikan sedini mungkin; 3. Manfaat DMARD bertambah bila diberikan
secara kombinasi; 4. Sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia dan terbukti memberikan
efek menguntungkan.
Penderita dengan penyakit ringan dan hasil pemeriksaan radiologis normal, bisa dimulai
dengan terapi hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat, sulfasalazin atau minosiklin, meskipun
methotrexate (MTX) juga menjadi pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih berat atau
ada perubahan radiologis harus dimulai dengan terapi MTX. Jika gejala tidak bisa
dikendalikan secara adekuat, maka pemberian leflunomide, azathioprine atau terapi kombinasi
(MTX ditambah satu DMARD yang terbaru) bisa dipertimbangkan. Kategori obat secara
individual akan dibahas dibawah ini.
OAINS. OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan
pembengkakan. Oleh karena obat-obat ini tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak
boleh digunakan secara tunggal. Penderita AR mempunyai risiko dua kali lebih sering
mengalami komplikasi serius akibat penggunaan OAINS dibandingkan dengan penderita
osteoartritis, oleh karena itu perlu pemantauan secara ketat terhadap gejala efek samping
gastrointestinal.
GLUKOKORTIKOID. Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang dari
10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan
sendi. Dosis steroid harus diberikan dalam dosis minimal karena risiko tinggi mengalami efek
samping seperti osteoporosis, katarak, gejala Cushingoid, dan gangguan kadar gula darah.
ACR merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi glukokortikoid harus disertai

29
dengan pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400 – 800 IU per hari. Bila artritis hanya
mengenai satu sendi dan mengakibatkan disabilitas yang bermakna, maka injeksi steroid
cukup aman dan efektif, walaupun efeknya bersifat sementara. Adanya artritis infeksi harus
disingkirkan sebelum melakukan injeksi. Gejala mungkin akan kambuh kembali bila steroid
dihentikan, terutama bila menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga kebanyakan
Rheumatologist menghentikan steroid secara perlahan dalam satu bulan atau lebih, untuk
menghindari rebound effect.Steroid sistemik sering digunakan sebagai bridging therapy
selama periode inisiasi DMARD sampai timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi
DMARD terbaru saat ini mempunyai mula kerja relatif cepat.
DMARD. Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua penderita AR.
Pemilihan jenis DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit,
pengalaman dokter dan adanya penyakit penyerta. DMARD yang paling umum digunakan
adalah MTX, hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infliximab
dan etanercept.Sulfasalazin atau hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan
sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin
digunakan sebagai terapi lini pertama.Banyak bukti menunjukkan bahwa kombinasi DMARD
lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal. Perempuan pasangan usia subur
(childbearing) harus menggunakan alat kontrasepsi yang adekuat bila sedang dalam terapi
DMARD, oleh kerena DMARD membahayakan fetus.
Leflunomide bekerja secara kompetitif inhibitor terhadap enzim intraselular yang
diperlukan untuk sintesis pirimidin dalam limfosit yang teraktivasi.Leflunomide
memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur secara radiologis dan juga mencegah
erosi sendi yang baru pada 80% penderita dalam periode 2 tahun.Antagonis TNF menurunkan
konsentrasi TNF-α, yang konsentrasinya ditemukan meningkat pada cairan sendi penderita
AR. Etanercept adalah suatu soluble TNF-receptor fusion protein, dimana efek jangka
panjangnya sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat dalam memperbaiki gejala, sering
dalam 2 minggu terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab, yang merupakan chimeric
IgG1 anti-TNF-α antibody. Penderita AR dengan respon buruk terhadap MTX, mempunyai
respon yang lebih baik dengan pemberian infliximab dibandingkan plasebo. Adalimumab uga
merupakan rekombinan human IgG1 antibody, yang mempunyai efek aditif bila dikombinasi

30
dengan MTX. Pemberian antagonis TNF berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
infeksi, khususnya reaktivasi tuberkulosis.
Anakinra adalah rekombinan antagonis reseptor interleukin-1. Beberapa uji klinis
tersamar ganda mendapatkan bahwa anakinra lebih efektif dibandingkan dengan plasebo, baik
diberikan secara tunggal maupun dikombinasi dengan MTX. Efek sampingnya antara lain
iritasi kulit pada tempat suntikan, peningkatan risiko infeksi dan leukopenia. Rituximab
merupakan antibodi terhadap reseptor permukaan sel B (anti-CD20) menunjukkan efek cukup
baik. Antibodi terhadap reseptor interleukin-6 juga sedang dalam evaluasi. Jenis-jenis
DMARD yang digunakan dalam terapi AR dirangkum dalam Tabel 12.

Tabel 8. Jenis-jenis DMARD yang digunakan dalam terapi artritis reumatoid.

31
TERAPI KOMBINASI. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa efikasi terapi
kombinasi lebih superior dibandingkan dengan terapi tunggal, tanpa memperbesar toksisitas.
Regimen terapi kombinasi yang efektif dan aman digunakan untuk penderita AR aktif yang
tidak terkontrol adalah salah satu dari kombinasi berikut : MTX + hidroksiklorokuin, MTX +
hidroksiklorokuin + sulfasalazine, MTX + sulfasalazine + prednisolone, MTX + leflunomide,
MTX + infliximab, MTX + etanercept, MTX + adalimumab, MTX + anakinra, atau MTX +
rituximab.
Penderita AR yang memberikan respon suboptimal dengan terapi MTX saja, akan
memberikan respon yang lebih baik bila diberikan regimen terapi kombinasi. Terapi
kombinasi juga efektif dalam menghambat progresivitas penyakit dan kerusakan radiografi,
terutama untuk regimen terapi kombinasi MTX + inhibitor TNF, tetapi harganya jauh lebih
mahal bila dibandingkan dengan regimen kombinasi MTX + hidroksiklorokuin atau
sulfasalazine.

32
33
34
PEMANTAUAN KEAMANAN TERAPI DMARD
Sebelum pemberian DMARD perlu dilakukan evaluasi dasar terhadap keamanan
pemberian DMARD tersebut. ACR merekomendasikan evaluasi dasar yang harus dilakukan
sebelum memberikan terapi DMARD antara lain : darah perifer lengkap (complete blood
counts), kreatinin serum dan transaminase hati. Untuk pemberian hidroksiklorokuin atau
klorokuin fosfat perlu dilakukan pemeriksaan oftalmologik berupa pemeriksaan retina dan

35
lapangan pandang. Sedangkan penderita yang mendapat methotrexate dan leflunomide perlu
pemeriksaan tambahan yaitu screening terhadap hepatitis B dan C. (Tabel 9) Setelah DMARD
diberikan perlu dilakukan pemantauan secara berkala untuk mengidentifikasi sedini mungkin
adanya toksisitas.

Tabel 9.Evaluasi dasar yang harus dilakukan sebelum pemberian terapi DMARD.
Jenis DMARD Pemeriksaan
CBC* Transaminase Kreatinin Hepatitis B Oftalmologik
hati serum dan C
Non biologic
Hidroksiklorokuin/ X X X - X
Klorokuin fosfat
Leflunomide X X X X
Methotrexate X X X X
Minocycline X X X
Sulfasalazine X X X
Biologik
Semua agen biologic X X X
*CBC = complete blood counts

REKOMENDASI KLINIK
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh dokter dalam penanganan penderita AR
dalam praktek klinik sehari-hari tampak dalam Tabel 10.

Tabel 10. Rekomendasi untuk praktek klinik.


Rekomendasi klinik Tingkat bukti
(evidence
rating)
 Penderita AR harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD untuk A
mengontrol gejala dan menghambat perburukan penyakit.
 Penderita dengan inflamasi sendi persisten ( lebih dari 6 – 8 C
minggu) yang sudah mendapat terapi analgetik atau OAINS harus dirujuk
ke insitusi rujukan reumatologi, lebih baik sebelum 12 minggu.

36
 Melakukan edukasi satu per satu untuk penderita AR setelah C
diagnosis ditegakkan.
 OAINS untuk meredakan gejala harus diberikan dengan dosis A
rendah dan harus diturunkan setelah DMARD mencapai respon yang baik.
 Gastroproteksi harus diberikan pada penderita usia> 65 tahun atau B
ada riwayat ulkus peptikum.
 Injeksi kortikosteroid intra-artikular bermanfaat, tetapi tidak C
diberikan lebih dari 3 kali dalam setahun.
 Kortikosteroid dosis rendah efektif mengurangi gejala tetapi A
mempunyai risiko tinggi terjadinya toksisitas, oleh kerena itu berikan dosis
paling rendah dengan periode pemberian yang pendek.
 Kombinasi terapi lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal. A
 Efikasi terapi harus dimonitor, perubahan hemoglobin, LED dan C
CRP merupakan indikator respon terapi dan penggunaan instrumen kriteria
respon dari European League Against Rheumatism bermanfaat untuk
menilai perburukan penyakit.
 Pendekatan secara multidisiplin bermanfaat, paling tidak dalam C
jangka pendek, oleh karena itu penderita harus bisa mendapatkan
perawatan profesional secara luas, yang meliputi dokter pelayanan primer,
ahli reumatologi, perawat khusus, ahli terapi fisik, ahli occupational, ahli
gizi, ahli perawatan kaki (podiatrists), ahli farmasi dan pekerja sosial.
 Latihan bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas aerobik dan C
kekuatan otot tanpa memperburuk aktivitas penyakit atau derajat nyeri.

11. Komplikasi

Dokter harus melakukan pemantauan terhadap adanya komplikasi yang terjadi pada
penderita AR. Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita AR dirangkum dalam Tabel 11 dan
Tabel 12.

37
Tabel 11. Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita artritis reumatoid.

Komplikasi Keterangan

Anemia Berkorelasi dengan LED dan aktivitas penyakit; 75% penderita


AR mengalami anemia karena penyakit kronik dan 25% penderita
tersebut memberikan respon terhadap terapi besi.
Kanker Mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan; kejadian
limfoma dan leukemia 2 – 3 kali lebih sering terjadi pada
penderita AR; peningkatan risiko terjadinya berbagai tumor solid;
penurunan risiko terjadinya kanker genitourinaria, diperkirakan
karena penggunaan OAINS.
Komplikasi kardiak 1/3 penderita AR mungkin mengalami efusi perikardial
asimptomatik saat diagnosis ditegakkan; miokarditis bisa terjadi,
baik dengan atau tanpa gejala; blok atrioventrikular jarang
ditemukan.
Penyakit tulang belakang Tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa menyebabkan
leher (cervical spine instabilitas sumbu atlas, hati-hati bila melakukan intubasi
disease) endotrakeal; mungkin ditemukan hilangnya lordosis servikal dan
berkurangnya lingkup gerak leher, subluksasi C4-C5 dan C5-C6,
penyempitan celah sendi pada foto sevikal lateral. Myelopati bisa
terjadi yang ditandai oleh kelemahan bertahap pada ekstremitas
atas dan parestesia.
Gangguan mata Episkleritis jarang terjadi.
Pembentukan fistula Terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang terkena,
terhubungnya bursa dengan kulit.
Peningkatan infeksi Umumnya merupakan efek dari terapi AR.
Deformitas sendi tangan Deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal; deformitas
boutonniere (fleksi PIP dan hiperekstensi DIP); deformitas swan
neck (kebalikan dari deformitas boutonniere); hiperekstensi dari
ibu jari; peningkatan risiko ruptur tendon
Deformitas sendi lainnya Beberapa kelainan yang bisa ditemukan antara lain :frozen
shoulder, kista popliteal, sindrom terowongan karpal dan tarsal.
Komplikasi pernafasan Nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan pembentukan
lesi kavitas; Bisa ditemukan inflamasi pada sendi cricoarytenoid

38
dengan gejala suara serak dan nyeri pada laring; pleuritis
ditemukan pada 20% penderita; fibrosis interstitial bisa ditandai
dengan adanya ronki pada pemeriksaan fisik (selengkapnya lihat
Tabel 6).
Nodul rheumatoid Ditemukan pada 20 – 35% penderita AR, biasanya ditemukan pada
permukaan ekstensor ekstremitas atau daerah penekanan lainnya,
tetapi bisa juga ditemukan pada daerah sklera, pita suara, sakrum
atau vertebra.
Vaskulitis Bentuk kelainannya antara lain : arteritis distal, perikarditis,
neuropati perifer, lesi kutaneus, arteritis organ viscera dan arteritis
koroner; terjadi peningkatan risiko pada : penderita perempuan,
titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat
beberapa macam DMARD; berhubungan dengan peningkatan
risiko terjadinya infark miokard.
PIP = proximal interphalangeal; DIP = distal interphalangeal; RF = rheumatoid factor

Tabel 12. Komplikasi pleuroparenkimal primer dan sekunder dari artritis heumatoid.

Pleural disease
 Pleural effusions, Pleural fibrosis
Interstitial lung disease
 Usual interstitial pneumonia, Nonspecific interstitial pneumonia, Organizing
pneumonia, Lymphocytic interstitial pneumonia, Diffuse alveolar damage, Acute eosinophilic
pneumonia, Apical fibrobullous disease, Amyloid, Rheumatoid nodules
Pulmonary vascular disease
 Pulmonary hypertension, Vasculitis, Diffuse alveolar hemorrhage with capillaritis
Secondary pulmonary complications
Opportunistic infections
 Pulmonary tuberculosis, Atypical mycobacterial infections, Nocardiosis, Aspergillosis,
Pneumocystis jeroveci pneumonia, Cytomegalovirus pneumonitis
Drug toxicity
 Methotrexate, Gold, D-penicillamin, Sulfasalazin

39
12. Prognosis

Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain : skor fungsional yang
rendah, status social ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat
menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit,
RF atau anti-CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada nodul
reumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya. Sebanyak 30% penderita AR dengan
manifestasi penyakit berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun sudah
mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan penderita dengan penyakit lebih ringan
memberikan respon yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Lindqvist dkk
pada penderita AR yang mulai tahun 1980-an, memperlihatkan tidak adanya peningkatan
angka mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan
penyebab kematian pada penderita AR dibandingkan dengan populasi umum adalah 1,6.
Tetapi hasil ini mungkin akan menurun setelah penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.

13. Penilaian Aktifitas Penyakit

Setiap kunjungan penderita AR, dokter harus menilai apakah penyakitnya aktif atau
tidak aktif (Tabel 13).Gejala penyakit inflamasi sendi seperti kaku pagi hari, lamanya
kelelahan (fatigue) dan adanya sinovitis aktif pada pemeriksaan sendi, mengindikasikan
bahwa penyakit dalam kondisi aktif sehingga perubahan program terapi perlu
dipertimbangkan. Kadang-kadang penemuan pada pemeriksaan sendi saja mungkin tidak
adekuat dalam penilaian aktivitas penyakit dan kerusakan struktur, sehingga pemeriksaan
LED atau CRP, demikian juga radiologis harus dilakukan secara rutin. Status fungsional bisa
dinilai dengan kuesioner, seperti Arthritis Impact Measurement Scale atau Health Assessment
Questionnaire. Perlu ditentukan apakah penurunan status fungsional akibat inflamasi,
kerusakan mekanik atau keduanya, karena strategi terapinya berbeda.

40
Tabel 13.Penilaian aktivitas penyakit pada artritis reumatoid.

Setiap kunjungan, evaluasi bukti subyektif and obyektif untuk penyakit aktif :
⁻ Derajat nyeri sendi (diukur dengan visual analog scale (VAS)
⁻ Durasi kaku pagi hari
⁻ Durasi kelelahan
⁻ Adanya inflamasi sendi aktif pada pemeriksaan fisik (jumlah nyeri tekan dan bengkak
pada sendi)
⁻ Keterbatasan fungsi
Evaluasi secara rutin terhadap aktivitas atau progresivitas penyakit
⁻ Bukti progresivitas penyakit pada pemeriksaan fisik (keterbatasan gerak, instabilitas,
malalignment, dan/atau deformitas)
⁻ Peningkatan LED atau CRP
⁻ Perburukan kerusakan radiologis pada sendi yang terlibat
Parameter lain untuk menilai respon terapi
⁻ Physician’s global assessment of disease activity
⁻ Patient’s global assessment of disease activity
⁻ Penilaian status fungsional atau kualitas hidup dengan menggunakan kuesioner standar

Ada beberapa instumen yang digunakan untuk mengukur aktivitas penyakit AR antara
lain : Disease Activity Index including an 28-joint count (DAS28),Simplified Disease Activity
Index(SDAI), European League Against Rheumatism Response Criteria (EULARC),
Modified Health Assessment Questionnaire(M-HAQ) dan Clinical Disease Activity
Index(CDAI). Parameter-parameter yang diukur dalam instrumen tersebut antara lain :
1. Tender Joint Count (TJC) : penilaian adanya nyeri tekan pada 28 sendi.
2. Swollen Joint Count (SJC) : penilaian pembengkakan pada 28 sendi.
3. Penilaian derajat nyeri oleh pasien : diukur dengan Visual Analogue Scale (VAS, skala 0 –
10 cm).
4. Patient globalassessment of disease activity (PGA) : penilaian umum oleh pasien terhadap
aktifitas penyakit,diukur dengan Visual Analogue Scale (VAS, skala 0 – 10 cm).
5. Physician global assessment of disease activity (MDGA) :penilaian umum oleh dokter
terhadap aktifitas penyakit, diukur dengan Visual Analogue Scale (VAS, skala 0 – 10 cm).
6. Penilaian fungsi fisik oleh pasien : instrumen yang sering digunakan adalah HAQ (Health
Assessment Questionnaire) atau M-HAQ (Modified Health Assessment Questionnaire).

41
7. Nilai acute-phase reactants : yaitu kadar C-reactive protein (CRP) atau nilai laju endap
darah (LED)

DAS28 cukup praktis digunakan dalam praktek sehari-hari.Perhitungan DAS 28 (DAS28-


LED) menghasilkan skala 0 – 9,84 yang menunjukkan aktivitas penyakit seorang penderita
AR pada saat tertentu. Nilaiambang batas aktivitas penyakit berdasarkan skor DAS28-LED
dan DAS28-CRP tampak pada Tabel 14.

Tabel 14.Nilai ambang batas aktivitas penyakit artritis reumatoid berdasarkan nilai DAS28-
LED dan DAS28-CRP.
Aktivitas penyakit Nilai DAS28-LED Nilai DAS28-CRP
Remisi ≤ 2,6 ≤ 2,3
Rendah ≤ 3,2 ≤ 2,7
Sedang > 3,2 s/d ≤ 5,1 > 2,7 s/d ≤ 4,1
Tinggi > 5,1 >4,1

Kelebihan DAS28 adalah selain dapat digunakan dalam praktek sehari-hari, juga
bermanfaat untuk melakukan titrasi pengobatan.Keputusan pengobatan dapat diambil
berdasarkan nilai DAS28 saat itu atau perubahan nilai DAS28 dibandingkan dengan nilai
sebelum pengobatan dimulai.Terdapat korelasi yang jelas antara nilai rata-rata DAS28 dengan
jumlah kerusakan radiologis yang terjadi selama periode waktu tertentu. DAS28 dan penilaian
aktivitas penyakit (tinggi atau rendah) telah divalidasiDalam praktek sehari-hari pengukuran
DAS28 dapat dilakukan dengan menggunakan rumus :

DAS28 = 0.56√(tender28) + 0.28 x √(swollen28) + 0.70 x ln(ESR) + 0.014 x GH.

Keterangan :Tender28 = nyeri tekan pada 28 sendi, Swollen28 = pembengkakan pada 28


sendi, ESR= laju endap darah dalam 1 jam pertama, GH = Patient’s assessment of general
health diukur dengan VAS

Kriteria perbaikan.
American College Of Rheumatology (ACR) membuat kriteria perbaikan untuk AR,
tetapi kriteia ini lebih banyak dipakai untuk menilai outcome dalam uji klinik dan tidak

42
dipakai dalam praktek klinik sehari-hari. Kriteria perbaikan ACR 20% (ACR20) didefinisikan
sebagai perbaikan 20% jumlah nyeri tekan dan bengkak sendi disertai perbaikan 20%
terhadap 3 dari 5 parameter yaitu : patient’s global assessment, physician’s global assessment,
penilaian nyeri oleh pasien, penilaian disabilitas oleh pasien dan nilai reaktan fase akut.
Kriteria ini juga diperluas menjadi kriteria perbaikan 50% dan 70% (ACR50 dan ACR70)

Kriteria remisi.
Menurut kriteria ACR, AR dikatakan mengalami remisi bila memenuhi 5 atau lebih dari
kriteria dibawah ini dan berlangsung paling sedikit selama 2 bulan berturut-turut :
1. Kaku pagi hari berlangsung tidak lebih dari 15 menit
2. Tidak ada kelelahan
3. Tidak ada nyeri sendi (melalui anamnesis)
4. Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak pada sendi
5. Tidak ada pembengkakan jaringan lunak atau sarung tendon
6. LED < 30 mm/jam untuk perempuan atau < 20 mm/jam untuk laki-laki (dengan
metode Westergren)

43
FOTO ARTRITIS REUMATOID

Foto 1.Pembengkakan PIP

44
Foto 2. Erosi sendi

Foto 3. Deformitas leher angsa (swan neck)

45
Foto 4.Deformitas boutonnière dengan
nodul reumatoid multipel

Foto 5.Deviasi ulna

Foto 6.Deformitas Z-thumb

46
Foto 7.Artritis mutilansFoto 8.Nodul reumatoid

Foto 9.Accelerated rheumatoid nodulosisFoto 10. Hallux valgus

47
Foto 11.Vaskulitis reumatoidFoto 12.Episcleritis pada AR

Foto 13.Scleritis pada ARFoto 14.Scleromalacia perforans pada AR

48
BAB III
KESIMPULAN
Artritis reumatoid adalah suatu bentuk penyakit sendi yang sering dijumpai, meliputi
bermacam-macam kelainan dengan penyebab yang berbeda. Merupakan penyakit autoimun
(penyakit yang terjadi pada saat tubuh diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang
mengakibatkan peradangan dalam waktu lama pada sendi. Penyakit ini menyerang persendian,
biasanya mengenai banyak sendi, yang ditandai dengan radang pada membran sinovial dan
struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan penipisan tulang.
Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan kartilago. Untuk
menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang, seperti gambaran radiologi pada
arthritis reuathoid di dapatkan gambaran Osteopenia/ Penurunan densitas(demineralisasi
tulang) yang merupakan hasil dari peningkatakan aliran darah, yang disebabkan peradangan,
sehingga terjadi “whases out the calcium” sehingga yang Pada tahap awal tidak ditemukan
kelainan radiologi kecuali pembengkakkan jaringan. Bila sendi rusak lebih berat akan terjadi
penyempitan ruang sendi karena hilangnya tulang rawan sendi. Di awal proses peradangan,
hanya bagian periartikular tulang yang terkena. Seiring perjalanan penyakit akan terjadi
osteopenia umum tulang secara keseluruhan. Erosi tulang di tepi sendi/ Marjinal erosi,

49
Subluksasi Karena kelemahan ligamen atau kapsuler perubahan-perubahan di atas biasanya
irreversible.
Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya gejala,
terapi sedini mungkin akan menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu sangat
penting untuk melakukan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin. ACRSRA
mekomendasikan bahwa penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3 bulan sejak
timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs (Disease-modifying
antirheumatic drugs). Modalitas terapi untuk AR meliputi terapi non farmakologik dan
farmakologik. Tujuan terapi pada penderita AR adalah, mengurangi nyeri, mempertahankan
status fungsional, mengurangi inflamasi, mengendalikan keterlibatan sistemik, proteksi sendi
dan struktur ekstraartikular, mengendalikan progresivitas penyakit, menghindari komplikasi
yang berhubungan dengan terapi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi
9. Singapura: Elsevier Saunders.
2. Tjkroprawiro A., Setiawan P.B., Santoso D., Soegianto G. 2010. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Airlangga University Press. pp: 255-6
3. Nasution A.R. dan Sumariyono. 2006. Introduksi Reumatologi dalam Sudoyo dkk.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat. Cetakan Pertama. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p: 1083
4. Sumariyono dan Wijaya L.K. 2006. Struktur Sendi, Otot, Saraf dan Endotel
Vaskular dalam Sudoyo dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat.
Cetakan Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p: 1083
5. Sudoyo,D Arua, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. 2010.
6. Suarjana, I Wayan. Artritis Reumatoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V,
Jilid III. Interna Publishing. Jakarta. 2009. Hal: 2495-2503.

7. Silman, Alan J., Pearson, Jacqueline E. Supplement Review Epidemiology and


genetics of rheumatoid arthritis. Arthritis Research. ARC Epidemiology Unit,
School of Epidemiology & Health Sciences, University of Manchester,
Manchester, UK. Vol 4 Suppl 3. 2009.

50
8. Corwin, E, j. Buku Saku Patofisiologi, jakarta : EGC. 2009

9. SIGN. Management of Early Rheumatoid Arhtritis A National Clinical Guideline.


SIGN (Scottish Intercollegiate Guidelines Network). Edinburgh. 2011.

10. Smolen, Josef et al. EULAR recommendation for the management of Rheumatoid
Arthritis with synthetic and Biological disease-modifying antirheumatic drug: 2016
update

11. Signh, Jasvinder . American College of Rheumatology Guideline for the Treatment
of Rheumatoid Arthtritis. 2015

12. Kalim, dkk. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis


dan Pengelolaan Artritis Rheumatoid: 2014

51

Anda mungkin juga menyukai