Anda di halaman 1dari 18

ALERGI OBAT

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas KMB


Dosen Pembimbing : SUHARTO, MN

Disusun Oleh :
1. Febrilian Puspita A. (P1337420416017)
2. Rizki Nurcahyati (P1337420416019)
3. Intan Tri Utami (P1337420416021)
4. Miftachul jannah (P1337420416023)
5. Ainun Khoiriyah R. (P1337420416025)
6. Shinta Pratiwi (P1337420416027)
7. Sri Hastuti Puji L. (P1337420416029)
8. Ummah Mujaddidah (P1337420416033)

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG


PRODI D III KEPERAWATAN BLORA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu
manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut
dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat, terutama untuk obat dengan
efek terapi sistemik.
Pemberian dengan cara sistemik di sini berarti obat tersebut masuk melalui
mulut, hidung, rektum, vagina, dan dengan suntikan atau infus. Sedangkan reaksi
alergi yang disebabkan oleh penggunaan obat dengan cara topikal, yaitu obat yang
digunakan pada permukaan tubuh mempunyai istilah sendiri yang disebut dermatitis
kontak alergi.
Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi. Hanya beberapa
golongan obat saja yang dapat menimbulkan reaksi alergi itupun tidak terjadi pada
semua orang. Golongan obat yang dapat menimbulkan reaksi alergi adalah obat anti
inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik; misalnya penisilin dan derivatnya,
sulfonamid, dan obat-obatan antikonvulsan.
Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis alergi obat yang timbul tergolong
‘serius’ karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan perawatan di
rumah sakit bahkan mengakibatkan kematian. Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan
Nekrolisis Epidermal Toksis (NET) adalah beberapa bentuk reaksi serius dari alergi
obat.
Perlu ditegakkan diagnosa yang tepat dari gangguan ini memberikan
manifestasi yang serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya. Identifikasi dan
anamnesa yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal
penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan
tujuan membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran kelainan serta pengobatan pada keadaan alergi obat.
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Dapat memberikan pengobatan pada pasien dengan kelainan alergi obat
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melaksanakan pengkajian pada pasien dengan alergi obat
b. Mampu membuat analisa data pada pasien dengan alergi obat
c. Mampu mengetahui diagnosa pada pasien dengan alergi obat
d. Mampu merencanakan pengobatan pada pasien dengan alergi obat
e. Mampu melaksanakan tindakan kefarmasian pada pasien dengan alergi obat
f. Mampu melaksanakan evaluasi pengobatan pada pasien dengan alergi obat
D. Manfaat
1. Secara umum
a. Menambah wawasan, pengetahuan penulis dan pembaca di bidang kesehatan
khususnya alergi obat
b. Memberikan informasi mengenai kelainan alergi obat dan perencanaan
pengobatan terhadap kelainan alergi obat
c. Meningkatkan ketrampilan penulis dalam melakukan tindakan kefarmasian
pada pasien alergi obat
2. Secara khusus
a. Bagi Penulis
Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan kami sebagai
mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai
penyebab serta upaya pencegahan dan pengobatannya pada keadaan alergi
obat agar terciptanya kesehatan masyarakat yang lebih baik
b. Bagi Pembaca
Diharapkan agar pembaca dapat mengetahui tentang alergi obat lebih dalam
sehingga dapat mencegah serta mengatasi kondisi alergi obat
c. Bagi Petugas Kesehatan
Diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi dalam
penanganan kelainan alergi obat sehingga dapat meningkatkan pelayanan
kefarmasian yang baik
d. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menambah informasi tentang kelainan alergi obat serta dapat
meningkatkan kewaspadaan terhadap kondisi ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Alergi adalah suatu reaksi abnormal jaringan terhadap berbagai substansi yang
secara normal tidak berbahaya bagi individu pada umumnya.
Istilah alergi berasal dari bahasa Yunani (Allos= yang lain, suatu
penyimpangan dari cara biasa; ergon= kerja). Sehingga semua keadaaan penderita
yang menyimpang dari reaksi imun biasa dinamakan alergi, seperti keadaan penderita
yang mengalami reaksi terhadap toksin, serbuk sari atau urtikaria yang disebabkan
oleh makanan tertentu.
B. Patofisiologi dan Etiologi
1. Patofisiologi
Ada dua macam mekanisme yang dikenal dalam perjalanan terjadinya reaksi
alergi obat. Pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme
non imunologis. Umumnya alergi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas
berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai
hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui
mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis,
interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolism tubuh.

Tabel. Reaksi imunologis dan non imunologis


Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options.
In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3,
2007. Available at: www.aafp.org/afp

a. Mekanisme Imunologis
Berdasarkan mekanisme imunologis perjalanan terjadinya reaksi alergi obat
dibagi menjadi beberapa tipe:
1) Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Perjalanan pertama
dari obat dalam tubuh tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian
kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang
akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin,
serotonin, bradikinin, heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan
bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling
ditakutkan adalah timbulnya syok.
2) Tipe II (Reaksi Autotoksis)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel.
Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir
dengan lisis.
3) Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen
merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan
terjadi kerusakan jaringan.
4) Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi
dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam
setelah perjalanan terhadap antigen.
b. Mekanisme Non Imunologis
Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-
dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin. Teori yang
ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat; pelepasan
mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen,
atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel.
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat
menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi
anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah
kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti
hiperpigmentasi generalisata diffuse

2. Etiologi
Reaksi alergi disebabkan oleh adanya benda asing atau alergen yang masuk ke
dalam tubuh. Alergen bersifat antigenik, artinya menyebabkan pembentukan
antibodi atau mempunyai kemampuan untuk menginduksi respon imun. Jika
jaringan orang yang rentan berulang kali terpapar dengan alergen, seperti mukosa
nasal terhadap serbuk sari, maka dapat mengakibatkan jaringan ini tersensitisasi
sehingga terjadi pembentukan antibodi. Dan pada pemaparan berikutnya terjadi
reaksi antigen-antibodi.
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah:
a. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih
tinggi jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun
ahli yang mampu menjelaskan mekanisme ini.
b. Sistem imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami
penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat
sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa
10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
c. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada
anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena
perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada
orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak
dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya
onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena
reaksi yang berat.
d. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan
memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi,
dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi.
Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya
reaksi alergi pada penderita yang peka.
e. Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat
berat yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten
dengan human herpes virus (HHV)- umumnya ditemukan pada mereka yang
mengalami sindrom hipersensitifitas obat.

C. Clinical Presentation
Perlu diketahui bahwa alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan
dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya;
1. Urtikaria
Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritema disertai edema akibat
tertimbunnya serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan jaringan
subkutan mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut angioedema.
Angioedema ini biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka
waktu 1-2 jam. Pelepasan mediator inflamasi dari suatu aktifasi yang bersifat non
imunologis juga dapat menimbulkan reaksi urtikaria. Urtikaria dan angioedema
sangat berhubungan dengan Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin
maupun antibiotik lainnya. Obat lain misalnya angiotensin-converting enzyme
(ACE) inhibitor dalam jangka waktu satu jam saja sudah dapat menimbulkan
urtikaria.
Gambar. Urtikaria yang disebabkan oleh penggunaan penisilin
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume
One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p:
333-352
2. Eritema
Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan
hilang pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika besarnya
lentikuler maka disebut eritema morbiliformis, dan bila besarnya numular disebut
eritema skarlatiniformis.
3. Dermatitis medikamentosa
Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu
efloresensi yang polimorf, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit menyeluruh
dan simetris.
4. Purpura
Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang
tidak hilang bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan eritem dan
biasanya disebabkan oleh permeabilitas kapiler yang meningkat.
5. Alergi eksantematosa
Lebih dari 90% alergi obat yang ditemukan berbentuk alergi eksantematosa.
gejala yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler. Pada
mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa
didahului blister ataupun pustulasi. Alergi bermula pada daerah leher dan
menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai
pruritus. Alergi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan
dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini
ditandai dengan perubahan warna kullit dari merah terang ke warna coklat
kemerahan.
Alergi eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk penisilin,
sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa T
sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena T sel dapat menangkap jenis obat tanpa
perlu memodifikasi protein dari hapten.

Tabel. Beberapa obat yang dapat menimbulkan alergi eksantematosa.

Sumber: Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical Press. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
Gambar. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan oleh penggunaan
obat golongan sefalosporin.

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume
One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p:
333-352
6. Eritema nodosum
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala
umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di regio ekstensor
tungkai bawah.
7. Eritroderma
Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma pada
umumnya yang biasanya disertai eritema dan skuama. Pada penderita alergi obat
terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan timbul pada
stadium penyembuhan.
8. Alergi pustuler
Ada jenis alergi pustular, pertama alergi akneiformis dan kedua Pustulosis
Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA).
9. Alergi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti iodida,
bromida, ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen, litium dan actinomisin.
Alergi timbul pada daerah-daerah yang atipikal seperti lengan dan kaki berbentuk
monomorf berbentuk akne tanpa disertai komedo.
10. Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA) memberikan gambaran
pustul miliar non folikular yang eritematosa disertai purpura dan lesi menyerupai
lesi target. Kelainan kulit timbul bila seseorang mengalami demam tinggi
(>380C). Pustul tersebut cepat menghilang dalam jangka waktu kurang dari 7 hari
kemudian diikuti oleh deskuamasi kulit. Pada pemeriksaan histopatologis didapat
pustul intraepidermal atau subcorneal yang dapat disertai edema dermis,
vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis
fokal sel-sel keratinosit. Walaupun demikian, penyakit ini sangat jarang terjadi.
11. Alergi bulosa
Alergi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus (dapat
menyebabkannya adalah golongan penisilin dan golongan thiol). fixed drug
eruption (FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ (Sindrom Stevens-
Johnson) dan NET (Nekrolisis Epidermal Toksik)
Pengelompokan alergi yang timbul berdasarkan waktu
Segera Cepat Lambat Sangat lambat
Urtikaria Urtikaria Urtikaria Anemia hemolitik
Hipotensi Erupsi morbiliform Exanthema Thrombositipenia
Asthma Edema larynx Serum siekness Granulositopenia
Edema larynx Drug fever Sindroma Steven Johnson
Payah ginjal akut
Sindroma lupus
Cholestatica jaundice

C. Diagnosis
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis
lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data
mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis
mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan
onset timbulnya gejala harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk
dievaluasi, terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu
paruh yang lama atau mengalami reaksi alergi obat yang bersifat sistemik.
Dasar diagnosis untuk kondisi alergi obat adalah:
1. Anamnesis yang teliti mengenai:
a. Obat-obatan yang dipakai
b. Kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya
obat
c. Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris.
2. Kelainan kulit yang ditemukan:
a. Distribusi : menyeluruh dan simetris
b. Bentuk kelainan yang timbul

Tabel. Rangkuman penilaian yang harus dilakukan


Karakteristik klinis Tipe lesi primer
Distribusi dan jumlah lesi
Keterlibatan membran mukosa
Tanda dan gejala yang timbul: demam, pruritus, perbesaran
limfonodus
Faktor kronologis Catat semua obat yang dipakai pasien dan waktu pertama
pemakaiannya
Waktu ketika timbulnya alergi
Interval waktu saat pemberian obat dengan munculnya alergi kulit
Respon terhadap penghentian agen yang dicurigai menjadi penyebab
Respon saat dilakukan pemaparan kembali
Literatur Data yang dikumpulkan oleh perusahaan obat
Daftar pemakaian obat dengan peringatan
Bibliografi obat
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.
Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America.
2003. p: 333-352
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab
erupsi obat alergi adalah:
1. Pemeriksaan in vivo
a. Uji tempel (patch test)
b. Uji tusuk (prick/scratch test)
c. Uji provokasi (exposure test)
2. Pemeriksaan in vitro
a. Yang diperantarai antibodi:
1) Hemaglutinasi pasif
2) Radio immunoassay
3) Degranulasi basophil
4) Tes fiksasi komplemen
b. Yang diperantarai sel:
1) Tes transformasi limfosit
2) Leucocyte migration inhibition test
Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis
yang mendasari terjadinya reaksi alergi obat.

E. Desired Outcome
1. Menghentikan segera pemberian obat yang diduga menjadi penyebab alergi.
2. Mencegah pelepasan mediator sel mast secara langsung,seperti histamin,
bradikinin, serotonin, heparin dll
3. Mengatur metabolisme enzim asam arachidonat sel
4. Mencegah pembentukan komplek antigen-antibodi, jika sudah terbentuk
diharapkan obat yang mampu mencegah pengendapan komplek tersebut
F. Algoritma Treatment
Penanganan terhadap reaksi alergi obat dapat dilakukan secara Farmakologi
dan non farmakologi.
1. Farmakologi
a. Sistemik
1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik.
Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan
urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum,
eksantema fikstum, dan PEGA karena reaksi alergi obat. Dosis standar untuk
orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.. Penggunaan
glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan TEN masih kontroversial. Pertama
kali dilakukan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat
menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk
selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 hari pertama.
2) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat
rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan
kortikosteroid.
b. Topikal
1) Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2%
ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi
rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya
larutan asam salisilat 1%.
2) Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan
topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan
krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 ½%.
3) Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan
mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10%.
4) Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk
lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin
perak.
2. Non Farmakologi
a. Melindungi kulit khususnya, dengan tidak memberikan atau menghentikan
penggunaan obat yang diduga menjadi penyebab alergi
b. Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk
mendeteksi kemungkinan timbulnya alergi yang lebih parah atau relaps setelah
berada pada fase pemulihan.
c. Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya.
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien
sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok.
d. Pengobatan erythema multiforme major, SSJ dan NET pertama kali adalah
menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat
suportif seperti perawatan luka dan perawatan gizi penderita
e. Bila diperlukan dapat menggunakan jenis sabun khusus dn sunscrem

Algotritme dalam mendiagnosis dan menatalaksana reaksi alergi obat


Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:
American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007.
Available at: www.aafp.org/afp

G. Evaluation of Therapeutic
Evaluasi dari pengobatan yang sudah diberikan dapat dikontrol meliputi:
Jumlah dan ukuran Lesi, pruritus, perbesaran limfonodus, kondisi membran mukosa
dan demam
BAB III
KESIMPULAN

1. Reaksi alergi obat atau allergic drug reaction ialah reaksi alergi pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik.
2. Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya reaksi obat adalah jenis kelamin,
sistem imunitas, usia, dosis obat, infeksi dan keganasan.
3. Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme
imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis.
4. Mekanisme imunologis sesuai dengan konsep imunologis yang dikemukakan oleh
Commbs dan Gell yaitu; Tipe I (Reaksi anafilaksis), Tipe II (Reaksi Autotoksis), Tipe
III (Reaksi Kompleks Imun), Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat).
5. Mekanisme Non Imunologis dapat disebabkan pelepasan mediator sel mast secara
langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada
metabolisme enzim asam arachidonat sel. Penggunaan obat-obatan tertentu yang
secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan
mengakibatkan hiperpigmentasi generalisata diffuse.
6. Morfologi alergi obat mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada
umumnya, gangguan itu diantaranya; urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa,
purpura, alergi eksantematosa, eritroderma, reaksi alergi pustuler, dan alergi bulosa.
7. Pemeriksaan penunjang alergi obat ini dapat dilakukan dengan teknik in vivo. Belum
ditemukan uji fisik maupun laboratorium maupun teknik in-vitro yang cukup reliabel
untuk digunakan secara rutin.
8. Penatalaksanaan penyakit ini terdiri dari penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan
khusus. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian terapi yang bersifat suportif
sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul
terutama pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin.
9. Evaluasi terapi alergi obat sangat tergantung pada luas permukaan kulit yang terkena.
DAFTAR PUSTAKA

ERUPSI ALERGI OBAT,Oleh: Harry Wahyudhy Utama, S.Ked, Dedy Kurniawan, S.Ked
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA. PALEMBANG. 2007

Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352

Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical
Press. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf

Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:
American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007.
Available at: www.aafp.org/afp

Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner. Volume 15.
Department of Dermatology University of Wales College of Medicine. Cardiff CF4 4XN.
U.K.. 1993. Access on: June 3, 2007. Available at:
http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf

Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976. Accessed on:
June 3, 2007. Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files-07AlergiObat006_pdf-
07AlergiObat006.mht

Docrat ME. Fixed Drug Eruption.In: Current Allergy & Clinical Immunology. No.1. Volume
18. Wale Street Chambers. Cape Town. 2005. Access on : June 3, 2007. Available at:
www.allergysa.org/journals/2005/march/skin_focus.pdf

Anda mungkin juga menyukai