Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang

Infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) menimbulkan angka kesakitan dan

kematian yang tinggi serta kerugian produktivitas kerja 1. Dari hasil survei kesehatan rumah

tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bagian bawah menempati urutan

ke dua sebagai penyebab kematian 3. ISNBA dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, tersering

adalah dalam bentuk pneumonia. 1. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab

kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk

pneumonia. Di Indonesia, dari buku SEAMIC Health statistic 2001, pneumonia merupakan

penyebab kematian nomor enam 3. Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim

paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli,

serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Istilah

pneumonia lazim dipakai bila peradangan terjadi oleh proses infeksi akut, sedangkan istilah

pneumonitis sering dipakai untuk proses non infeksi.1.

Pneumonia lobaris sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada sistem

pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terjadi pada lobus paru.(2,)

Pneumonia lobaris lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal ini dikarenakan respon

imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Tercatat bakteri sebagai penyebab

tersering pneumonia lobaris pada dewasa dan anak besar adalah Streptococcus pneumoniae

dan Haemophilus influenzae.(5, 6) Insidensi pneumonia lobaris di negara-negara yang sedang

berkembang pada anak kurang dari 5 tahun diperkirakan sekitar 30% dengan angka mortalitas

yang tinggi. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok walaupun ada

berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal di atas disebabkan oleh munculnya
organisme nosokomial (didapat dari rumah sakit) yang resisten terhadap antibiotik. Adanya

organisme-organisme baru dan penyakit seperti AIDS (Acquired Immunodeficiency

Syndrome) yang semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan terjadinya

pneumonia lobaris.(2)

I. 2. Tujuan Penulisan

1.Untuk mengetahui dan memahami tentang pneumonia lobaris mengenai definisi, etiologi

dan epidemiologi, patologi dan patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis dan diagnosis

banding, penatalaksanaan, pencegahan dan prognosisnya

2.Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Program Pendidikan Profesi di bagian Ilmu

Penyakit Paru di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Pneumonia lobaris adalah peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini

menyerang lobus paru.(2,6) Pembagian atau penggolongan pneumonia berdasarkan atas dasar

anatomis kurang relevan dibanding pembagian pneumonia berdasar etiologinya. Berdasar

etiologinya, pneumonia dibagi : (1) bakteri (Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus,

S.hemolyticus, S.aureus, H.influenza,dll), (2) virus (RSV, influenza, adenovirus, CMV), (3)

Mycoplasma pneumoniae, (4) Aspirasi (makanan, kerosen, cairan amnion, benda asing), (5)

Pneumonia hipostatik, (6) Sindrom Loeffler.(3,4,5 )


II.2. Etiologi

Pneumonia lobaris lebih sering ditimbulkan oleh invasi bakteri. Golongan bakteri yang

sering menyebabkan ataupun didapatkan pada kasus pneumonia lobaris adalah(,5):

1.Bakteri gram positif

a. Pneumococcus

b. Staphylococcus aureus

2.Bakteri gram negatif

a. Haemophilus influenzae

b.Klebsiella pneumonia

II.2.1. Bakteri gram positif

A. Pneumococcus

Merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada kasus pneumonia.

Pneumokokus dengan serotipe 1 sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih

dari 80%, sedangkan pada anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9. Angka kejadian tertinggi

ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan mengurang dengan meningkatnya umur.

Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh pneumokokus, ditemukan pada dewasa dan

anak besar.(3,5)
B. Patofisiologi

Organisme ini teraspirasi ke bagian tepi paru dari saluran nafas bagian atas atau nasofaring.

Awalnya terjadi edema reaktif yang mendukung multiplikasi organisme-organisme ini serta

penyebarannya ke bagian paru lain yang berdekatan. Biasanya satu lobus atau lebih, atau

bagian-bagian dari lobus, tidak melibatkan sisa sistem bronkopulmonal. Namun, gambaran

pneumonia lobar ini sering tidak ada pada bayi, yang mungkin menderita penyakit yang tidak

lebih sempurna dan difus yang menyertai distribusi bronkus dan yang ditandai dengan banyak

daerah konsolidasi teratas di sekeliling jalan nafas yang lebih kecil. Jarang didapatkan jejas

yang permanen.(5) Umumnya bakteri ini mencapai alveoli melalui percikan mukus atau

saliva (droplet) dan tersering mengenai lobus bagian bawah paru karena adanya efek

gravitasi. Organisme ini setelah mencapai alveoli akan menimbulkan respon yang khas yang

terdiri dari 4 tahap yang berurutan, yaitu :

1)Kongesti (4 s/d 12 jam pertama) Eksudat serosa masuk ke dalam alveoli melalui pembuluh

darah yang berdilatasi dan bocor. Serta didapatkan eksudat yang jernih, bakeri dalam jumlah

yang banyak, neutrofil, dan makrofag dalam alveolus.

2)Hepatisasi merah (48 jam berikutnya) Paru-paru tampak merah dan bergranula karena sel-

sel darah merah, fibrin dan lekosit polimorfonuklear mengisi alveoli. Lobus dan lobulus yang
terkena menjadi padat dan tidak mengandung udara, warna menjadi merah dan pada perabaan

seperti hepar. Stadium ini berlangsung sangat singkat.

3)Hepatisasi kelabu (3 s/d 8 hari) Lobus paru masih tetap padat dan warna merah menjadi

tampak kelabu karena lekosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli dan

permukaan pleura yang terserang melakukan fagositosis terhadap pneumococcus. Kapiler

tidak lagi mengalami kongesti.

4)Resolusi (7 s/d 11 hari) Eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh makrofag sehingga

jaringan kembali pada strukturnya semula.(2,5) Bercak-bercak infiltrat yang terbentuk pada

pneumonia lobaris adalah bercak-bercak yang tidak teratur, berbeda dengan

bronkopneumonia dimana penyebaran bercaknya mengikuti pembagian dan penyebaran

bronkus dan ditandai dengan adanya daerah-daerah konsolidasi terbatas yang mengelilingi

saluran-saluran nafas yang lebih kecil.(2,

C. Gambaran Klinis Biasanya didahului dengan adanya infeksi saluran nafas bagian atas

selama beberapa hari. Pada bayi bisa disertai dengan hidung tersumbat, rewel serta nafsu

makan yang menurun. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39°C atau lebih. Anak

sangat gelisah, dispneu. Kesukaran bernafas yang disertai adanya sianosis di sekitar mulut

dan hidung. Tanda kesukaran bernafas ini dapat berupa bentuk nafas berbunyi (ronki dan

friction rub di atas jaringan yang terserang), pernafasan cuping hidung, retraksi-retraksi pada

daerah supraklavikuler, interkostal dan subkostal. Pada awalnya batuk jarang ditemukan, tapi

dapat dijumpai pada perjalanan penyakit lebih lanjut serta sputum yang berwarna seperti

karat (dahak berdarah). Lebih lanjut lagi bisa terjadi efusi pleura dan empiema, dimana

keadaan ini dapat menyebabkan ketinggalan gerak pada sisi yang terkena pada saat respirasi

yang dapat dilihat dengan gerakan berlebihan pada sisi yang berlawanan. Biasanya perkusi

redup pada daerah efusi dengan pengurangan fremitus dan suara pernafasan. Suara bronkial
sering ditemukan tepat di atas batas cairan dan pada sisi yang tidak terkena. Hasil

pemeriksaan fisik tergantung dari luas daerah yang terkena. Tanda- tanda klasik konsolidasi

ditemukan pada hari kedua dan ketiga penyakit. Pada perkusi bisa ditemukan adanya suara

redup, fremitus yang bertambah. Pada auskultasi mungkin ditemukan adanya suara bronkial,

ronki basah halus.(,5)

D. Diagnosis

Biasanya jumlah lekosit meningkat mencapai 15.000 – 40.000/mmk dengan jumlah sel

polimorfonuklear terbanyak, sedangkan bila didapatkan jumlah lekosit kurang dari

5.000/mmk sering berhubungan dengan prognosis penyakit yang buruk. Nilai hemoglobin

bisa normal atau sedikit menurun. (,5)

Pemeriksaan sputum harus didapatkan dari sekresi batuk dalam dan aspirasi trakea yang

dilakukan dengan hati-hati. Pada kebanyakan pasien, pneumokokus dapat diisolasi dari

sekresi nasofaring, tapi penemuan ini tidak dapat dipandang sebagai hubungan sebab-akibat,

karena 10-15% populasi mungkin merupakan pengidap S.pneumoniae yang tidak terinfeksi.

Namun, isolasi bakteri dari darah pada cairan pleura adalah diagnosa infeksi. Bakteremia

ditemukan pada sekitar 30% penderita yang menderita pneumonia pneumokokus. Jenis

pemeriksaan berupa pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan biakan.(5) Gambaran

radiologis dapat berupa konsolidasi pada satu atau beberapa lobus. Konsolidasi dapat

diperagakan dengan roentgenografi sebelum konsolidasi ini dapat diketahui dari pemeriksaan

fisik. Konsolidasi lobus pada anak yang lebih tua tidak sesering pada bayti dan anak muda.

Foto Roentgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pneumotorak, atelektasis,

abses paru, pneumatokel, pneumotoraks, pneumomediastinum, atau perikarditis.(,5)


E. Diagnosa banding

Pneumonia pnemokokus tidak dapat dibedakan dari pneumonia bakteri lain atau virus tanpa

pemeriksaan mikrobiologi yang tepat. Keadaan-keadaan yang mungkin merancukan antara

lain bronkiolitis, bronkitis alergika, gagal jantung kongestif, aspirasi benda asing, atelektasis,

abses paru dan tuberkulosis.(,5)

F. Komplikasi

Dengan penggunaan antibiotika, komplikasi pneumonia bakteria menjadi tidak lazim,

walaupun infeksinya terjadi bersamaan dengan infeksi oleh mikroorganisme lain pada

temapat yang sama. Komplikasi yang sering terjadi ialah empiema, yang terjadi sebagai

akibat dari perluasan infeksi pada permukaan flora. Empiema lebih sering terjadi pada bayi

dibanding pada anak yang lebih tua.(,5

G. Penatalaksanaan

Penisilin merupakan terapi yang spesifik karena kebanyakan pneumococcus sangat peka

terhadap obat tersebut. Pada bayi dan anak-anak, pengobatan awal dimulai dengan pemberian

penisilin G dengan dosis 50.000 unit/kgBB/hari secara intramuskular dan ditambah dengan
kloramfenikol 50- 75 mg/kgBB/hari atau diberikan antibiotika yang mempunyai spektrum

luas seperti ampisilin. Terapi ini dilanjutkan sampai 10 hari atau paling tidak sampai 2 hari

setelah suhu badan pasien normal. Bila didapatkan penderita alergi penisilin maka diberikan

sefalosporin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari. . (5)Asupan cairan per oral secara bebas dan

pemberian aspirin untuk mengatasi demam tinggi, merupakan tambahan utama untuk

pengobatan penyakit ini. Jenis cairan yang digunakan ialah campuran glkukose 5% dan NaCl

0,9% dalam perbandingan 3:1 ditambah dengan larutan KCl 10mEq/500 ml botol infus.

Pemberian oksigen segera untuk penderita dengan kesukaran bernafas sebelum menjadi

sianosis.(5

H. Prognosis

Dengan pemberian antibiotika yang memadai dan dimulai secara dini pada perjalanan

penyakit tersebut, maka mortalitas pneumonia lobaris akibat bakteri pneumokokus selama

masa bayi dan masa kanak-kanak sekarang menjadi kurang dari 1% dan selanjutnya

morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi rendah.(5)

2. Staphylococcus aureus

A. Infeksi yang disebabkan oleh organisme ini merupakan infeksi berat yang cepat menjadi

progresif dan resisten terhadap pengobatan, serta bila tidak segera diobati dengan semestinya

akan berhubungan dengan kesakitan yang berkepanjangan dan mempunyai angka mortalitas

tinggi. Penyakit bronkopneumonia akibat organisme ini jarang ditemukan.(4) Seperti pada

infeksi pneumokokus, infeksi stafilokokus ini sering didahului dengan infeksi virus pada

saluran pernafasan bagian atas. Pada umumnya terjadi pada setiap umur, 30% dari semua

penderita berumur di bawah 3 bulan dan 70% berumur di bawah 1 tahun. Epidemi penyakit

ini terjadi di dalam ruang perawatan bayi, biasanya berhubungan dengan strain- strain
organisme patologis spesifik, yang biasanya resisten terhadap berbagai antibiotika. Bayi akan

memperlihatkan penyakit dalam beberapa hari setelah dikolonisasi atau setelah beberapa

minggu kemudian. Infeksi virus pada saluran pernafasan memegang peranan penting dalam

memajukan penyebaran stafilokokus, di antara bayi-bayi dan dalam mengubah kolonisasi

menjadi penyakit.(5)

B. Patofisiologi

Stafilokokus menghasilkan bermacam-macam toksin dan enzim misalnya hemolisin,

lekosidin, stafilokinase dan koagulase. Permukaan pleura biasanya diselubungi oleh lapisan

eksudat fibropurulen tebal, sehingga menimbulkan abses yang mengandung koloni

stafilokokus, lekosit, eritrosit dan debris nekrosis. Bila abses ini pecah maka dapat terbentuk

trombus-trombus sepsis pada daerah-daerah yang mengalami kerusakan dan peradangan

luas.(5

C. Gambaran Klinis

Adanya riwayat lesi-lesi kulit penderita atau anggota keluarga lain yang disebabkan oleh

staphylococcus disertai gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas atau bawah

selama beberapa hari sampai 1 minggu. Penderita mengalami demam bersuhu tinggi, batuk

dan tanda kesukaran pernafasan seperti takipneu, suara pernafasan yang meningkat, retraksi

dada dan subkostal, nafas cuping hidung, sianosis dan kecemasan. Pada beberapa penderita

dapat mengalami gangguan saluran cerna yang ditandai dengan muntah-muntah, anoreksia,

diare serta distensi abdomen.(5) Pemeriksaan fisik pada awal perjalanan penyakit, suara-suara

pernafasan yang menurun, ronkhi yang tersebar dan suara-suara pernafasan bronkhial. Bila

terjadi efusi atau empiema, pada perkusi didapatkan suara redup serta getaran-getaran suara

yang berkurang pada auskultasi.(5)


D. Diagnosis

Didapatkan adanya lekositosis (AL>20.000/mmk) terutama sel-sel polimorfonuklear, pada

bayi muda angka leukosit dapat tetap dalam kisaran normal. Bila didapatkan lekopeni maka

prognosisnya buruk, sering ditemukan adanya anemia ringan sampi sedang. Biakan

didapatkan dari aspirasi trakea atau pungsi pleura, dengan pewarnaan Gram didapatkan

gambaran kokus gram positif dalam kelompok. Penemuan kuman stafilokokus dalam

nasofaring tidak bernilai diagnostik, tetapi biakan darah mungkin positif. Pada cairan pleura

menunjukkan adanya eksudat dengan jumlah se-sel polimorfonuklear berkisar dari 300 –

100.000/mmk, protein di atas 2,5 g/dl dan kadar glukosa rendah yang relatif sama dengan

kadar glukosa dalam darah. Gambaran radiologis berupa infiltrat yang menyatu dan biasanya

terbatas, atau dipadatkan dan homogen dan melibatkan seluruh lobus paru atau

hemitoraks.(5)
E. Diagnosis banding

Mengenali pneumonia stafilokokus awal pada bayi sering sukar dilakukan. Mulainya yang

mendadak dan penjelekan gejala yang cepat harus dipertimbangkan disebabkan oleh

stafilokokus sampai terbukti lain. Riwayat furunkulosis, baru masuk rumah sakit, abses

payudara ibu harus dipertimbangkan kemungkinan diagnosa ini. Pneumonia bakteri lain yang

menyebabkan empiema atau pneumatokel dapat merancukan diagnosa, termasuk pneumonia

streptokokus, klebsiella, H. influenza, pneumonia pneumokokus dan tuberkulosis dengan

kaverna. Kadang-kadang aspirasi benda asing yang tidak radioopak dapat memberikan

gambaran klinis dan radiologis yang sama.(5)

F. Komplikasi

Karena empiema, piopneumotoraks dan pneumatokel begitu sering ditemukan bersama

pneumonia ini, sehingga mereka dianggap bagian dari perjalanan alamiah penyakit dan bukan

sebagai komplikasi. Lesi septik di luar saluran pernafasan jarang terjadi, kecuali pada bayi

muda, yang padanya dapat terjadi perikarditis, meningitis, osteomielitis, dan abses metastasis

multipel stafilokokus pada jaringan lunak.(5)

G. Penatalaksanaan

Terapi terdiri atas pemberian antibiotik yang tepat, drainase kumpulan nanah, pemberian

oksigen, hidrasi dan pemberian nutrisi secara intravena. Kadang-kadang dapat

diperlukanbantuan ventilasi.(5)

H. Terapi

Pilihan yaitu dengan pemberian penisilin semi sintetik, resisten penisilase (misal : nafsilin)

200 mg/kgBB/hari secara intra vena atau seftriakson 100-150 mg/kgBB/hari secara intra vena
atau dengan ampicilin 100 mg/kgBB/hari secara intra vena selama 14 hari, pada neonatus.

Pada bayi dan anak-anak antibiotika yang diberikan ialah sefuroksim 80-160 mg/kgBB/hari

secara intra vena dengan lama pemberian selama 10 hari. Uji resistensi pada pneumonia

stafilokokus sangatlah penting karena telah banyak yang resisten terhadap beberapa

antibiotika, namun mengingat cepatnya perjalanan penyakit maka dianjurkan untuk

memberikan antibiotika spektrum luas yang kiranya belum resisten. Untuk infeksi

stafilokokus yang membuat penisilinase dapat diberikan linkomisin 10-20 mg/kgBB/hari

secara intra vena.(5,9) Selain itu bisa pula dilakukan drainase pus yang terkumpul, pemberian

oksigen disertai posisi penderita setengah miring untuk mengurangi sianosis dan kecemasan.

Bila paru sudah mulai mengembang, maka pipa- pipa drainase bisa dilepaskan. Hal ini

dikarenakan pipa-pipa tersebut tidak boleh berada di dalam rongga toraks lebih dari 5 – 7

hari.(5

I. Prognosis

Angka kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan penatalaksanaan sekarang,

angka mortalitas berkisar dari 10 – 30% dan bervariasi dengan lamanya sakit yang dialami

sebelum penderita dirawat, umur penderita, pengobatan yang memadai serta adanya penyakit

yang menyertai. Semua penderita dengan hasil biakan staphylococcus yang positif sebaiknya

harus diuji terhadap kemungkinan fibrosis kistik dan terhadap penyakit defisiensi

imunologis.(5

II.2.2. Bakteri gram negatif

1. Haemophilus influenzae

A. Infeksi yang serius akibat bakteri patogen ini lebih banyak ditemukan pada bayi dan anak-

anak, teriutama yang belum mendapatkan vaksinasi hemofilus dan sangat berhubungan
dengan adanya riwayat meningitis, otitis media, infeksi traktus respiratorius dan

epiglotitis.(5)

B. Patofisiologi

Pneumonia H. influenza penyebarannya biasanya lobar, tetapi tidak ada tanda roentgenogram

dada yang khas. Terjadi infiltrat segmental, keterlibatan lobus tunggal atau multipel, efusi

pleura dan pneumatokel. Penyebaran dari infeksi di tempat lain adalah secara hematogen.

Daerah yang terinfeksi memperlihatkan adanya reaksi peradangan dengan sel-sel lekosit

polimorfonuklear ataupun sel-sel limfosit disertai dengan penghancuran sel-sel epitel

bronkiolus secara meluas. Peradangan ini selanjutnya menimbulkan edema yang disertai

dengan perdarahan.(5,6)

C. Gambaran Klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan tidak jauh berbeda dengan gambaran klinis yang diakibatkan

oleh pneumokokus, pneumonia H. influenza lebih sering mulai secara tersembunyi dan

biasanya perjalanannya lama selama beberapa minggu. Batuk hampir selalu dijumpai tapi

mungkin tidak produktif. Pada penderita di sini juga dijumpai adanya demam serta tanda

kesukaran bernafas, takipnea dan pernafasan cuping hidung.(5) Pada pemeriksaan fisik bisa

didapatkan suara redup yang terlokalisasi saat perkusi serta adanya suara pernafasan bronkial;

cairan pleural sering ada pada roentgen dada pada bayi muda.(5,6,

D. Diagnosis

Adanya biakan bakteri ini yang memberikan arti positif. Kultur didapatkan dari darah, cairan

pleura maupun dari aspirasi paru yang memperlihatkan adanya lekositosis sedang disertai

dengan limfopenia relatif. Bila tidak ada biakan positif, uji aglutinasi lateks urin yang positif
dapat dipakai untuk mendukung diagnosis ini. Selain itu bisa pula dengan pemeriksaan

elektroforesis imunologis berlawanan (counter immunoelectrophoresis) pada sekresi-sekresi

trakea, darah, air kemih dancairan pleura untuk menegakkan diagnosis lebih dini. Bila

ditemukan adanya atelektasis, bronkoskopi mungkin terindikasi untuk mengesampingkan

adanya benda asing.(5,6,

E. Komplikasi

Sering dijumpai adanya komplikasi, terutama pada bayi muda, dan termasuk bakteremia,

perikarditis, selulitis, empiema, meningitis dan piartrosis. Meningitis terjadi pada 15%

penderita yang lebih muda pada satu penelitian.(5)

F. Penatalaksanaan

Terapi simtomatik dan suportif sama dengan terapi pada pneumonia pneumokokus dan

stafilokokus. Obat antibiotika pilihan adalah kloramfenikol dengan dosis 100 mg/kgBB/hari

dan ampisilin 100 mg/kgBB/hari atau seftriakson 100 mg/kgBB/hari secara intra vena harus

dimasukkan sebagai terapi antibiotika inisial sampai diketahui apakah organisme penghasil

penisilinase; jika strain tersebut sensitif, cukup diberikan ampisilin 100 mg/kgBB/hari saja.

Uji kepekaan dan resistensi sangat penting.(5) Tindakan drainase diindikasikan bila terdapat

efusi pleura dan piartrosis.(5)

2. Klebsiella pneumoniae

A. Organisme ini termasuk gram negatif yang ditemukan pada traktus respiratorius dan

traktus gastrointestinal pada beberapa anak sehat. Organisme ini jarang menimbulkan infeksi

pada anak-anak. Infeksi akibat Klebsiella pneumoniae ini bisa timbul sebagai kasus sporadis

pada neonatus. Banyak bayi mengandung organisme ini dalam nasofaring mereka tanpa
memperlihatkan adanya tanda-tanda sakit klinis hanya sesekali saja seorang bayi mengalami

sakit berat. Bahan-bahan yang menyebarkan infeksi sehingga menularkan adalah peralatan

yang dipakai di dalam ruang pemeliharaan bayi dan alat pelembab udara sebagai sumber-

sumber utama infeksi nosokomial dengan organisme tersebut.(

B. Patofisiologi

Infeksi nosokomial yang timbul dari aspirasi orofaringeal. Bakteri ini memasuki alveoli

melalui peralatan yang dipakai dengan kecenderungan merusak dinding alveolar. Daerah

yang terinfeksi benar-benar mengalami nekrosis disertai dengan adanya sejumlah pus yang

banyak dan bahkan jaringan setempat sudah fibrosis.(7)

E. Penatalaksanaan

Penggunaan antibiotik baru berupa sefalosporin generasi ketiga sangat dianjurkan karena obat

ini terbukti efektif dalam melawan bakteri ini. Kanamisin merupakan obat pilihan yang

digunakan pada neonatus. Dosis yang digunakan 15–20 mg/kgBB/hari secara intramuskuler

setiap 8 jam selama minimal 10 – 14 hari atau dengan gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari secara

iv/im. Terapi yang diperpanjang diindikasikan untuk penyebaran infeksi pada kavitas paru.

Bila sudah terdapat empiema, drainase perlu dilakukan untuk fungsi pengembangan parunya.

F. Prognosis

Adanya penyakit penyerta seperti bakteremia, empiema dan kerusakan parenkim sisa bisa

memperburuk keadaan dan meningkatkan angka kematian.


DAFTAR PUSTAKA

1. Dahlan, Z. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi. Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

2. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6,

Volume 2: Penerbit EGC. Jakarta.

3. Soedarsono. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR.

Surabaya

5.Behrman RE, Vaughan VC, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Bagian II, Edisi 12, Penerbit

EGC, Jakarta, 1992, hal: 617-628.

6.Kumala P, dkk (ed), Kamus Saku Kedokteran Dorland, Edisi 25, Penerbit EGC, Jakarta,

1998, hal: 167.

10. Isselbacher, et al, Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 13, Vol. 2,

Penerbit EGC, Jakarta, 1995, hal. 906-909.

Anda mungkin juga menyukai