PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menghadapi era globalisasi ekonomi, ancaman bahaya laten
terorisme, komunisme dan fundamentalisme merupakan sebuah
tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Disamping itu yang patut
diwaspadai adalah pengelompokan suku bangsa di Indonesia yang kini
semakin kuat. Ketika bangsa ini kembali dicoba oleh pengaruh asing untuk
dikotak kotakan tidak saja oleh konflik vertikal tetapi juga oleh pandangan
terhadap ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Di saat negara membutuhkan solidaritas dan persatuan hingga
sikap gotong royong, sebagian kecil masyarakat terutama justru yang ada
di perkotaan justru lebih mengutamakan kelompoknya, golongannya
bahkan negara lain dibandingkan kepentingan negaranya. Untuk itu
sebaiknya setiap komponen masyarakat saling berinterospeksi diri untuk
dikemudian bersatu bahu membahu membawa bangsa ini dari
keterpurukan dan krisis multidimensi.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat
berbagai macam suku bangsa, adat istiadat hingga berbagai macam
agama dan aliran kepercayaan. Dengan kondisi sosiokultur yang begitu
heterogen dibutuhkan sebuah ideologi yang netral namun dapat
mengayomi berbagai keragaman yang ada di Indonesia.
Pasca reformasi yang berlangsung pada bulan Mei Tahun 1998,
bangsa Indonesia tengah mengalami perubahan tatanan kehidupan yang
mendasar, sehingga memerlukan suatu tekad dan tujuan bersama untuk
mempertahankan eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara serta
untuk mengembangkan diri dalam mencapai cita-cita luhur para pendiri
bangsa (founding fathers) yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur secara material dan spiritual.
1
Gagasan luhur tersebut jika dicermati dengan seksama tetap
relevan dan menjadi isu penting karena bangsa Indonesia harus
menemukan nilai-nilai yang dapat memotivasi, memberi inspirasi dan
mempersatukan seluruh elemen masyarakat dalam mewujudkan cita-cita
bersama. Disadari sepenuhnya bahwa upaya mewujudkan cita-cita
tersebut tidak mudah, karena bangsa Indonesia sangat plural dan
heterogen, dengan jumlah penduduk terbesar urut ke empat dan tersebar
luas, sehingga sangat rawan konflik akibat alasan yang sulit diprediksi dan
mendadak.
Sebagai Nation (Bhinneka Tunggal Ika), Indonesia yang memiliki
penduduk besar 237 juta jiwa penduduk (sensus Tahun 2010) dan kondisi
geografis yang memiliki kandungan sumber kekayaan alam yang besar
merupakan modal perjuangan yang utama. Dalam perkembangannya,
persenyawaan antara kondisi geografis dan demografis dimaknai dan
dirumuskan sebagai sumber jati diri bangsa, dasar negara dan pandangan
hidup bersama (Yudi Latif, 2011: 2-3).
Berdasarkan modal tersebut, melalui perjuangan yang panjang dan
semangat juang serta jiwa yang luhur, para pendiri bangsa berhasil
merumuskan pemikiran besar, yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan.
Rumusan semangat, pemikiran, perjuangan, dan pengorbanan untuk
membangun negara dan bangsa yang utuh, akhirnya diterima dan
disahkan sebagai dasar negara, ideologi, falsafah bangsa Pancasila pada
tanggal 18 Agustus 1945.
Pancasila yang digali dari akar budaya dan nilai-nilai luhur
bangsa mencakup kebutuhan dasar dan hak-hak azasi manusia secara
universal, sehingga dapat dijadikan landasan dan falsafah hidup serta
menjadi tuntunan perilaku seluruh warga negara dalam mewujudkan
tujuan nasional. Kesepakatan seluruh bangsa tersebut menjadi penting
dan bermakna karena masyarakat, suku, kelompok maupun individu yang
memiliki perbedaan ideologi, budaya, agama, bahasa, karakter serta
sentimen primordial sepakat mengutamakan kepentingan umum di atas
2
kepentingan individu. Bertumpu pada nilai-nilai luhur dan ikatan sendi
kehidupan tersebut, bangsa Indonesia selayaknya mampu menghayati,
mengamalkan dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
kehidupan berbangsa dan bernegara guna mewujudkan tujuan nasional
(Kirdi Dipoyudo, 1990 : 21,27).
Pada konteks ide atau gagasan, keberadaan Pancasila sebagai
ideologi yang mempersatukan seluruh elemen bangsa secara de facto dan
de yure sudah final. Namun dalam perjalanan sejarah perjuangan
bangsa, sejak proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945
sampai saat ini, pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila
mengalami ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang berat dan
sulit diprediksi, yang bermuara pada ancaman disintegrasi bangsa serta
penurunan kualitas kehidupan dan martabat bangsa.
Penurunan kualitas hidup dan nasionalisme tersebut terutama
dalam kaitan dengan dinamika politik yang menyalahgunakan Pancasila
untuk tujuan kekuasaan dan kepentingan pihak-pihak tertentu (Kristiadi,
2011 : 528). Pancasila yang sarat dengan nilai-nilai luhur bangsa secara
sistematis dijadikan sarana untuk memburu kekuasaan dan kepentingan
tertentu, bahkan dipolitisir dengan mengingkari nilai-nilai Pancasila itu
sendiri, baik nilai ketaqwaan, religiositas, kemanusiaan, kebhinekaan,
kerakyatan, keadaban, kebersamaan, kesetiakawanan sosial,
kebijaksanaan, kemufakatan, keadilan sosial dan keharmonisan.
Pada konteks reformasi, perkembangan yang sedang berjalan
selama ini telah membawa berkah, sekaligus juga musibah. Masyarakat
pada satu sisi mendapat berkah dibidang kebebasan berpendapat dan
aktivitas politik, namun sebaliknya sebagian dari masyarakat
menggunakan euforia kebebasan dengan tidak mengindahkan
kepentingan orang lain, menggelar aksi anarkhi dan merusak aset
umum. Dinamika situasi ini berdampak besar bagi kehidupan
masyarakat yang tingkat kesejahteraannya terbelenggu oleh krisis
moneter yang belum pulih, terkena jebakan hambatan investasi sarana
3
dan pasarana pendukung pembangunan ekonomi, dan mengalami
keterbatasan kemampuan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam.
Situasi tersebut pada tataran makro berpengaruh bagi
kelangsungan pembangunan nasional, karena : (a) stabilitas politik
nasional terkait erat dengan ketahanan ekonomi dan ketahanan pangan;
sedangkan (b) pencapaian ketahanan pangan merupakan basis bagi
pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas; dan (c)
pemantapan ketahanan pangan berarti terpenuhinya kebutuhan pangan
bagi setiap warga, sebagai perwujudan hak azasi manusia atas pangan.
Pada tataran praktis, ketahanan pangan yang mengalami situasi
krisis karena tidak tersedianya produk domestik dengan harga yang
terjangkau oleh sebagian besar penduduk serta menipisnya cadangan
pangan mengakibatkan degradasi nilai-nilai yang tersirat dalam
mukadimah UUD 1945 dan ideologi Pancasila.
Berdasarkan pengamatan empiris yang dilakukan para ahli, era
reformasi yang telah berlangsung selama 15 tahun ini ternyata masih
menyimpan agenda permasalahan bangsa yang memerlukan pemikiran,
solusi dan kebijakan untuk menjaga kelangsungan pembangunan
nasional. Paradigma kepentingan nasional yang mencakup kepentingan
keamanan dan kepentingan kesejahteraan, terutama kebijakan nasional
penyediaan pangan harus disertai dengan pembangunan karakter yang
dilandasi oleh nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka memperbaiki tatanan
kehidupan dan menyelamatkan masa depan bangsa dan negara.
Atas dasar itu, maka isu strategis yang perlu dikedepankan dalam
menanggapi perkembangan situasi nasional yaitu melakukan redefinisi,
reposisi dan reaktualisasi Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan
falsafah bangsa. Dalam implementasinya pendidikan ideologi Pancasila
harus dilakukan dengan serius dan konsisten oleh seluruh komponen
bangsa, baik pihak eksekutif, yudikatif dan legislatif serta elemen
masyarakat. Dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila diharapkan dapat
4
dibangun karakter bangsa yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur bangsa
sehingga agenda reformasi dapat dilakukan dengan kaidah-kaidah yang
benar.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas kita dapat merumuskan pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana peran Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia?
2. Apa saja tantangan terhadap Ideologi Pancasila?
3. Bagaimana cara memperkuat implementasi Pancasila dalam
kehidupan bangsa?
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Sejak awal pembentukan, ideologi Pancasila merupakan ideologi
dari, oleh dan untuk bangsa Indonesia. Pancasila yang merupakan
falsafah dan pandangan hidup bangsa secara operasional dijadikan
ideologi bangsa Indonesia. Pancasila merupakan konsensus politik yang
menjanjikan suatu komitmen untuk bersatu dalam sikap dan pandangan
guna mewujudkan tujuan nasional (Paulus Wahana, Op.cit. 91-92).
Nilai-nilai yang telah disepakati bersama tersebut mewajibkan
bangsa Indonesia dengan segala daya dan upaya untuk mewujudkan
sesuai dengan situasi dan kondisi nyata serta menghindari pemikiran dan
perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar. Selanjutnya sebagai
ideologi terbuka, Pancasila memiliki keterbukaan, keluwesan yang harus
diterima dan dilaksanakan oleh seluruh golongan yang ada di Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi nasional harus mampu memberikan
wawasan, azas dan pedoman normatif bagi seluruh aspek kehidupan, baik
ekonomi, politik, sosial dan pertahanan keamanan serta dijabarkan
menjadi norma moral dan norma hukum. Sebagai konsekuensi dari fungsi
ideologi, diharapkan dapat mewujudkan sistem ekonomi Pancasila,
khususnya bidang ketahanan pangan sebagai salah satu pilar utama bagi
kelanjutan pembangunan nasional.
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional berisi nilai dan
gagasan atau ide dasar. Sebagai dasar negara, nilai-nilai Pancasila
menjadi pijakan normatif dan orientasi dalam memecahkan masalah
kebangsaan dan kenegaraan, sehingga isi gagasan mengenai Pancasila
dapat dijadikan jawaban tentang persoalan kebangsaan, kemanusiaan,
demokrasi, kesejahteraan dan Ketuhanan. Lima prinsip dasar ini
dipahami tetap relevan sebagai acuan normatif dan orientasi ketika
bangsa dan negara Indonesia menghadapi persoalan serupa, meskipun
dalam konteks zaman yang berbeda.
7
Berdasarkan rumusan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945,
Pancasila memiliki kedudukan sebagai dasar negara karena memuat azas-
azas yang dijadikan dasar bagi berdirinya negara Indonesia. Sebagai
dasar filsafat negara, rumusan Pancasila merupakan satu kesatuan
rumusan yang sistematis, yang sila-silanya tidak boleh bertentangan,
melainkan harus saling mendukung satu dengan yang lain. Pancasila
harus dipahami secara menyeluruh sebagai satu kesatuan, dan dalam
pelaksanaannya tidak tidak boleh hanya menekankan satu sila atau
beberapa sila dengan mengabaikan sila lainnya.
Pancasila yang memiliki rumusan abstrak, umum, universal justru
bertumpu pada realitas yang dapat dipahami bersama oleh seluruh
bangsa Indonesia, yang tidak menimbulkan pengertian pro dan kontra.
Dengan demikian Pancasila dapat dijadikan sebagai azas persatuan,
kesatuan dan kerjasama bagi seluruh bangsa Indonesia.
8
strategis bidang pangan untuk membangun ketahanan pangan sebagai
langkah yang tepat.
9
memandang hal tersebut (Suara Merdeka, 2 Juni 2011). Tidak hanya itu,
sila-sila yang ada dalam Pancasila juga sudah mulai tidak dipahami.
Contohnya, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Banyak umat
manusia yang masih mempersoalkan dan memperdebatkan agama.
Mestinya, hal itu tidak perlu terjadi karena semua itu sudah tercakup
dalam Pancasila. Belum lagi soal lainnya. misalnya sila Persatuan
Indonesia dengan ditandai masih ada yang mempersoalkan suku dan ras
dalam menjalankan hubungan sosial masyarakat.
Dalam ranah ke Indonesiaan Pancasila mendapat tantangan dari
internal seperti konflik Ambon kedua dan terakhir bom bunuh diri di kota
Solo hari Minggu 25 September 2011 serta konflik-konflik yang telah
terjadi sebelumnya antar suku, antar kampung, antar pelajar, dan antar
mahasiswa dan diperparah dengan isu munculnya Negara Islam Indonesia
(NII) menunjukkan bahwa usaha membangun kebersamaan dalam
kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia berdasarkan ideologi Pancasila
selama ini belum berhasil sepenuhnya. Menghadapi permasalahan
ideologis dan fenomena-fenomena paham patologis lainnya yang
mengancam kebersamaan bangsa Indonesia, khususnya menghadapi
adanya gerakan sektarian Islam radikal, terorisme, dan NII, dalam pidato
Bung Karno sebetulnya sudah diantisipasi ketika membicarakan prinsip ke
tiga versi pidato atau sila ke empat versi UUD 1945, yaitu prinsip
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan” khusus untuk golongan Islam dengan
menyebutkan:
”Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan
satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita
mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat
satu”. Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia
ialah permusyawaratan perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang
terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, —
maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, — tetapi
10
kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya
punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan
hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam
permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga
keselamatan agama, ……”( Herbert, Feith dan Castle, Lance, 1996, 20-21)
Potret NII adalah potret tentang disintegrasi dan rekonsolidasi.
Karena terjadi penyimpangan faham dan ajaran Islam yang dipraktekkan
organisasi NII. Pergerakan NII jelas-jelas hanya sebuah kelompok yang
mengklaim memperjuangkan Negara Islam, tapi nyata bertentangan
dengan Islam. Hal ini tentunya bertentangan dengan beberapa sila dalam
Pancasila seperti sila pertama, sila ke tiga dan penjelasan butir-butirnya
dalam Pancasila.
11
4. Bhineka Tunggal Ika dan konsep Wawasan Nusantara bersumber dari
Pancasila harus terus dikembangkan dan ditanamkan di masyarakat
yang majemuk sebagai upaya untuk selalu menjaga persatuan bangsa
dan kesatuan wilayah serta moralitas yang loyal, utuh dan bangga
terhadap bangsa dan negara. Di samping itu perlu dituntut sikap yang
wajar dari anggota masyarakat dan pemerintah terhadap adanya
keanekaragaman. Untuk itu setiap anggota masyarakat dan
pemerintah memberikan penghormatan dan penghargaan yang wajar
terhadap kebhinekaan.
5. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik
Indonesia harus dihayati dan diamalkan secara nyata untuk menjaga
kelestarian dan keampuhannya demi terwujudnya tujuan nasional
serta cita-cita bangsa Indonesia, khususnya oleh setiap penyelenggara
negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan serta setiap warga negara Indonesia. Dalam hal ini
teladan para pemimpin penyelenggara negara dan tokoh-
tokoh masyarakat merupakan hal yang sangat mendasar.
6. Pembangunan sebagai pengamalan Pancasila harus menunjukkan
keseimbangan fisik material dengan pembangunan mental spiritual
untuk menghindari tumbuhnya materialisme dan sekulerisme. Dengan
memperhatikan kondisi geografi Indonesia, maka strategi
pembangunan harus adil dan merata di seluruh wilayah untuk
memupuk rasa persatuan bangsa dan kesatuan wilayah.
7. Pendidikan Moral Pancasila ditanamkan pada diri anak didik dengan
cara mengintegrasikannya dalam mata pelajaran. Selain itu,
pendidikan moral Pancasila juga perlu diberikan kepada masyarakat.
8. Pancasila sebagai pedoman memiliki peran penting dalam upaya
meningkatkan ketahanan nasional, sehingga perlu adanya pembinaan
dan pelatihan yang dapat menumbuhkan ketahanan di berbagai
kalangan masyarakat terutama pada generasi penerus bangsa.
12
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
13
Dipoyudo, Kirdi, 1990, Membangun Atas Dasar Pancasila, Jakarta : CSIS.
Herbert, Feith dan Castle, Lance, 1996. Pemikiran Politik Indonesia 1945-
1965. Jakarta: LP3ES. hal. 20-21.
Sumber Internet :
Id.wikipedia.org/wiki(31Maret2012);
lppkb.wordpress.com/2011/03/16/pedoman-umum-implementasi-
pancasila (21 April 2012)
14