Anda di halaman 1dari 131

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

RISIKO PRODUKSI CAISIN (Brassica rapa cv. caisin)


DI DESA CITAPEN KECAMATAN CIAWI
KABUPATEN BOGOR

SKRIPSI

MEIRANTI YUDI PRATIWI


H34096061

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

i
RINGKASAN

MEIRANTI YUDI PRATIWI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Risiko Produksi Caisin (Brassica rapa cv. caisin) di Desa Citapen Kecamatan
Ciawi Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan ANNA
FARIYANTI).

Sektor pertanian merupakan sektor yang telah berperan cukup signifikan


dalam pembangunan perekonomian Indonesia, seperti, menyerap tenaga kerja,
sumber pendapatan bagi masyarakat, menyediakan bahan pangan serta
mendatangkan devisa bagi negara. Salah satu sub sektor pertanian yang telah
menghasilkan produk pertanian yang memiliki nilai komersial cukup tinggi adalah
sub sektor hortikultura. Sayuran merupakan komoditas hortikultura yang telah
mampu berkontribusi bagi pembangunan nasional. Salah satu jenis sayuran yang
memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan, yaitu caisin.
Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani caisin selalu dihadapkan
pada risiko, diantaranya risiko produksi. Indikasi adanya risiko produksi
ditunjukkan oleh fluktuasi produktivitas yang diperoleh petani caisin di Desa
Citapen yang tergabung dalam Kelompok Tani Pondok Menteng. Risiko produksi
dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor terkendali dan faktor tidak
terkendali. Faktor terkendali, yaitu penggunaan input atau faktor-faktor produksi,
sedangkan faktor tidak terkendali, yaitu hama penyakit dan cuaca yang tidak
menentu. Adanya risiko produksi akan mempengaruhi pendapatan usahatani
petani caisin. Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis pengaruh faktor-
faktor produksi terhadap risiko produksi yang dihadapi oleh petani caisin di Desa
Citapen dan (2) menganalisis pengaruh risiko produksi terhadap pendapatan
usahatani caisin di Desa Citapen.
Lokasi penelitian di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor,
yang dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2011. Sampel yang diambil
sebanyak 35 responden petani caisin dengan menggunakan teknik purposive.
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara dengan bantuan
kuesioner. Data dan informasi yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan
kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan melalui pendekatan deskriptif untuk
melihat keragaan dan gambaran usahatani caisin di daerah penelitian. Sementara
itu, data mengenai input dan output usahatani caisin dianalisis secara kuantitatif
dengan model GARCH (1,1) yang dilakukan dengan bantuan alat aplikasi, yakni
Eviews 6. Analisis pendapatan usahatani dilakukan dengan bantuan alat aplikasi
komputer, yakni Microsoft Excel.
Hasil pendugaan persamaan fungsi produksi menunjukkan bahwa variabel
benih, kapur, pupuk urea, pestisida padat, dan tenaga kerja mempunyai tanda
parameter positif, yakni masing-masing sebesar 0,332313; 0,149424; 0,001976;
0,204067; dan 0,625879. Artinya, semakin banyak penggunaan variabel benih,
kapur, pupuk urea, pestisida padat, dan tenaga kerja maka produktivitas caisin
semakin meningkat. Sedangkan, variabel pupuk kandang, pestisida cair, dan
pupuk daun mempunyai tanda parameter negatif, yakni masing-masing sebesar -
0,047610; -0,466096; dan -0.181706. Artinya, semakin banyak penggunaan
variabel pupuk kandang, pestisida cair, dan pupuk daun maka produktivitas caisin

ii
semakin menurun. Berdasarkan nilai peluangnya, variabel benih, kapur, pestisida
cair, pestisida padat, pupuk daun, dan tenaga kerja mempunyai peluang masing-
masing sebesar 0,0019; 0,1231; 0,0001; 0,0336; 0,1136; dan 0,0000. Jika taraf
nyata sebesar 20 persen maka keenam variabel tersebut berpengaruh nyata
terhadap produktivitas caisin. Sedangkan, variabel pupuk kandang dan pupuk urea
mempunyai peluang masing-masing sebesar 0,4622 dan 0,9831. Jika taraf nyata
sebesar 20 persen maka kedua variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap
produktivitas caisin.
Hasil pendugaan persamaan fungsi variance produksi menunjukkan bahwa
variabel benih, pupuk kandang, dan pestisida cair mempunyai tanda parameter
positif, yakni masing-masing sebesar 0,052855; 0,000228; dan 0,017458. Artinya,
semakin banyak penggunaan benih, pupuk kandang, dan pestisida cair maka
variasi produktivitas caisin semakin meningkat. Dengan demikian, ketiga variabel
tersebut merupakan faktor yang menimbulkan risiko produksi (risk inducing
factors). Sedangkan, variabel kapur, pupuk urea, pestisida padat, pupuk daun, dan
tenaga kerja mempunyai tanda parameter negatif, yakni masing-masing sebesar -
0,004680; -0,004024; -0,005802; -0,052801; dan -0,006754. Artinya, semakin
banyak penggunaan kapur, pupuk urea, pestisida padat, pupuk daun, dan tenaga
kerja maka variasi produktivitas caisin semakin menurun. Dengan demikian,
kelima variabel tersebut merupakan faktor yang mengurangi risiko produksi (risk
reducing factors). Berdasarkan nilai peluangnya, variabel pupuk daun mempunyai
peluang sebesar 0,1014. Jika taraf nyata sebesar 20 persen maka variabel pupuk
daun berpengaruh nyata terhadap variasi produktivitas caisin. Sedangkan,
variabel benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pestisida cair, pestisida padat,
dan tenaga kerja mempunyai peluang masing-masing sebesar 0,3147; 0,9914;
0,8734; 0,8874; 0,6869; 0,7993; dan 0,9059. Jika taraf nyata sebesar 20 persen
maka ketujuh variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap variasi
produktivitas caisin. Selain itu, variabel error kuadrat musim sebelumnya dan
variabel variance error musim sebelumnya mempunyai parameter bertanda
positif. Artinya, semakin tinggi risiko produksi caisin pada musim sebelumnya,
maka semakin tinggi risiko produksi pada musim berikutnya.
Rata-rata pendapatan usahatani caisin yang diperoleh pada musim
kemarau lebih rendah daripada musim hujan. Hal ini dikarenakan risiko produksi
pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan, sehingga mempengaruhi
jumlah hasil produksi dan biaya yang dikeluarkan petani responden. Secara bisnis,
usahatani caisin menarik untuk diusahakan karena telah mendatangkan
keuntungan yang cukup besar. Hal ini ditunjukkan dari nilai pendapatan total yang
diperoleh, yakni sebesar Rp 15.345.468,02 per hektar per periode tanam pada
musim hujan. Sedangkan pada musim kemarau menghasilkan pendapatan total
sebesar Rp 6.127.298,22 per hektar per periode tanam.
Dengan demikian adanya analisis risiko produksi ini diharapkan petani
lebih memperhatikan mengenai penggunaan input, seperti penggunaan benih
berkualitas yang tahan terhadap kekeringan dan hama serta penyakit, penggunaan
pupuk kandang yang kering, dan penggunaan pestisida cair berdasarkan Standar
Operasional Prosedur (SOP). Petani juga sebaiknya melakukan penyiraman rutin
pada musim kemarau dan cermat memperhitungkan perbedaan kebutuhan pada
musim kemarau dan musim hujan, sehingga penggunaan input sesuai dengan
kebutuhan pada musim tanam tersebut.

iii
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
RISIKO PRODUKSI CAISIN (Brassica rapa cv. caisin)
DI DESA CITAPEN KECAMATAN CIAWI
KABUPATEN BOGOR

MEIRANTI YUDI PRATIWI


H34096061

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

iv
Judul Proposal : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Risiko Produksi
Caisin (Brassica rapa cv. caisin) di Desa Citapen Kecamatan
Ciawi Kabupaten Bogor
Nama : Meiranti Yudi Pratiwi
NIM : H34096061

Menyetujui,
Pembimbing

Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi


NIP 19640921 199003 2 001

Mengetahui,
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS


NIP 19580908 198403 1 002

Tanggal Lulus :

v
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul ”Analisis Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Risiko Produksi Caisin (Brassica rapa cv. caisin) di
Desa Citapen Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor” adalah karya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

Meiranti Yudi Pratiwi


H34096061

vi
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jayapura 15 Mei 1988. Penulis adalah anak ke lima


dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Soetarsono dan Ibunda Liliek Marli.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 2 (Teladan) Rawa
Laut Bandar Lampung pada tahun 1994 hingga tahun 2000. Kemudian pada tahun
yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 4 Bandar Lampung
hingga tahun 2003. Pada tahun 2006, penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas di
SMA Negeri 10 Bandar Lampung dan pada tahun yang sama penulis diterima
sebagai Mahasiswa Program Keahlian Manajemen Agribisnis Direktorat Program
Diploma Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Selanjutnya, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Sarjana pada
Program Studi Agribisnis di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009.

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
”Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Risiko Produksi Caisin (Brassica
rapa cv. caisin) di Desa Citapen Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor”.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penggunaan faktor-
faktor produksi terhadap risiko produksi caisin. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan masukan bagi para petani dan pihak Gapoktan Rukun Tani
dalam mengatasi adanya risiko produksi yang dihadapi petani sayuran, khususnya
petani caisin serta dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Oktober 2011


Meiranti Yudi Pratiwi

viii
UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan
terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku dosen pembimbing skripsi atas waktu,
bimbingan, arahan, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama
penyusunan skripsi ini.
2. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen evaluator dalam kolokium atas waktu,
kritik dan saran dalam rangka perbaikan skripsi ini.
3. Ir. Popong Nurhayati, MM selaku dosen penguji utama dan Dra. Yusalina,
MSi selaku dosen komisi pendidikan atas waktu, kritik, saran dan arahannya
dalam rangka perbaikan skripsi ini.
4. Kedua orangtua tercinta, yakni Bapak Soetarsono dan Ibunda Liliek Marli,
keluarga K.Ryan Sanjaya, dan keluarga besar tercinta untuk setiap dukungan,
cinta kasih, dan doa yang selalu diberikan kepada penulis.
5. Seluruh pengurus Gapoktan Rukun Tani, khususnya Bapak H. Misbah dan
Bapak Jamil atas kesempatan, informasi, dan dukungan selama penulis
melakukan penelitian di Desa Citapen.
6. Para petani caisin di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor atas
waktu dan informasi yang telah diberikan.
7. Teman-teman satu bimbingan (Deby, Deti, Amri, Rezy) atas semangat dan
sharing selama penulisan skripsi ini.
8. Harry Octa Rifki dan keluarga atas kasih sayang, dukungan, perhatian dan
doa yang diberikan kepada penulis.
9. Sahabat-sahabat terkasih dan teman-teman Agribisnis angkatan 7 atas
semangat dan kebersamaan selama ini serta seluruh pihak yang tidak dapat
disebutkan satu per satu, penulis ucapkan terima kasih atas bantuannya.

Bogor, Oktober 2011


Meiranti Yudi Pratiwi

ix
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... xv
I PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................... 8
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................... 10
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................ 10
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................. 10
II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 12
2.1 Gambaran Komoditas Caisin (Brassica rapa cv. caisin) 12
2.2 Analisis Risiko dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Komoditas Pertanian ..................................................... 14
III KERANGKA PEMIKIRAN .................................................. 19
3.1 Teori Risiko Produksi ................................................... 19
3.2 Teori Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan .................... 24
3.3 Kerangka Pemikiran Operasional ................................. 27
IV METODE PENELITIAN ....................................................... 30
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................ 30
4.2 Data dan Instrumentasi .................................................. 30
4.3 Metode Penentuan Sampel ............................................ 31
4.4 Metode Pengumpulan Data ........................................... 32
4.5 Metode Pengolahan Data .............................................. 33
4.5.1 Model GARCH (1,1) ......................................... 33
4.5.2 Pengujian Hipotesa ............................................ 34
4.5.3 Analisis Pendapatan Usahatani Caisin .............. 36
4.5.4 Hipotesis ............................................................ 38
4.6 Definisi Operasional ...................................................... 40
V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...................... 43
5.1 Gambaran Umum Desa Citapen .................................... 43
5.2 Gambaran Umum Kelompok Tani Pondok Menteng ... 49
5.3 Karakteristik Petani Responden .................................... 50
5.4 Keragaan Usahatani Caisin di Desa Citapen ................. 60
VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI CAISIN ........................... 80
6.1 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Produktivitas Caisin ...................................................... 81
6.2 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Variance Produktivitas Caisin ...................................... 89
VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI CAISIN ........... 100

x
VIII KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 107
8.1 Kesimpulan ................................................................... 107
8.2 Saran .............................................................................. 108
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 109
LAMPIRAN ......................................................................................... 111

xi
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Komoditas Hortikultura
Berdasarkan Harga Berlaku di Indonesia Tahun 2006-2009 .... 1
2. Produksi Komoditas Sayuran di Indonesia Tahun 2005- 2009
(dalam ton) ............................................................................... 4
3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Sawi di Pulau Jawa
Tahun 2009 .............................................................................. 5
4. Produksi Komoditas Sawi di Jawa Barat Tahun 2009 ............. 6
5. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Caisin di Kelompok
Tani Pondok Menteng Tahun 2009 Hingga Tahun 2011 ......... 8
6. Komponen Pendapatan Usahatani Caisin ................................ 37
7. Luas Wilayah Menurut Penggunaannya di Desa Citapen
Tahun 2010 .............................................................................. 43
8. Tingkat Pendidikan Warga Desa Citapen Tahun 2010 ............ 44
9. Mata Pencaharian Pokok Warga Desa Citapen Tahun 2010 ... 45
10. Luas Penggunaan Lahan dan Produksi Komoditas Tanaman
Pangan dan Sayuran di Desa Citapen Tahun 2010 .................. 47
11. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Umur di
Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011 . 51
12. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Tingkat
Pendidikan di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen
Tahun 2011 .............................................................................. 52
13. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Pengalaman
Bertani Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa
Citapen Tahun 2011 ................................................................. 54
14. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan
Usahatani Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa
Citapen Tahun 2011 ................................................................. 55
15. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Status
Kepemilikan Lahan di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa
Citapen Tahun 2011 ................................................................. 56
16. Klasifikasi Petani Responden Berdasarkan Pola Tanam dan
Penggunaan Lahan di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa
Citapen Tahun 2011 ................................................................. 57
17. Kebutuhan Fisik Input Usahatani Caisin dan Jumlah Output
yang Dihasilkan per Hektar per Periode Tanam di Kelompok
Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011 ................... 77

xii
18. Rata-Rata Biaya Penyusutan Peralatan Usahatani Caisin per
Periode Tanam di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa
Citapen Tahun 2011 ................................................................. 79
19. Hasil Pendugaan Persamaan Fungsi Produksi pada Usahatani
Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen
Tahun 2011 .............................................................................. 81
20. Hasil Pendugaan Persamaan Fungsi Variance Produksi pada
Usahatani Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa
Citapen Tahun 2011 ................................................................. 90
21. Rata-rata Penerimaan Usahatani Caisin per Hektar per Periode
Tanam pada Musim Hujan dan Musim Kemarau di Kelompok
Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011 .................. 101
22. Rata-Rata Biaya Usahatani Caisin per Hektar per Periode
Tanam pada Musim Hujan dan Musim Kemarau di Kelompok
Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011 ................... 102
23. Analisis Rata-Rata Pendapatan Usahatani Caisin per Hektar
per Periode Tanam pada Musim Hujan dan Musim Kemarau
di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen
Tahun 2011 .............................................................................. 105

xiii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1. Perkembangan Produktivitas Komoditas Sawi di Kabupaten
Bogor Tahun 2005-2010 ........................................................... 7
2. Hubungan Keputusan Penggunaan Input dan Variasi
Pendapatan ............................................................................... 21
3. Kurva Biaya Total .................................................................... 25
4. Hubungan Biaya Total dan Hasil Penjualan Total ................... 27
5. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Risiko Produksi Caisin (Brassica rapa cv.
caisin) di Desa Citapen Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor .. 29
6. Pola Tanam Monokultur Komoditas Sayuran pada Lahan yang
Diusahakan oleh Petani Responden di Kelompok Tani Pondok
Menteng Desa Citapen Tahun 2010 .......................................... 58
7. Pola Tanam Polikultur Komoditas Sayuran pada Lahan yang
Diusahakan oleh Petani Responden di Kelompok Tani
Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2010 ............................ 59
8. Ukuran Bedengan Usahatani Caisin pada Pola Tanam
Monokultur di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen
Tahun 2011 .............................................................................. 61
9. Usahatani Caisin dengan Pola Tanam Monokultur di
Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011 . 62
10. Usahatani Caisin dengan Pola Tanam Polikultur di Kelompok
Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011 .................... 62
11. Ukuran Bedengan Usahatani Caisin pada Pola Tanam
Polikultur di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen
Tahun 2011 .............................................................................. 63
12. Hama Kutu Loncat yang Menyerang Tanaman Caisin di
Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011 . 68
13. Kerusakan (Berlubang) Daun Caisin Akibat Adanya Serangan
Ulat Daun pada Usahatani Caisin di Kelompok Tani Pondok
Menteng Desa Citapen Tahun 2011 ......................................... 68
14. Hasil Panen Usahatani Caisin di Kelompok Tani Pondok
Menteng Desa Citapen Tahun 2011 ......................................... 70
15. Pestisida Cair (Curachron) yang Digunakan Untuk
Memberantas Hama pada Tanaman Caisin di Kelompok Tani
Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011 ............................ 74
16. Pestisida Padat (Antrakol) yang Digunakan Untuk Mencegah
Hama pada Tanaman Caisin di Kelompok Tani Pondok
Menteng Desa Citapen Tahun 2011 ......................................... 75

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Fungsi Variance Produksi
Usahatani Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa
Citapen Tahun 2011 .................................................................. 112
2. Penggunaan Faktor-Faktor Produksi dan Produktivitas
Usahatani Caisin Petani Responden per Hektar pada Musim
Hujan di Kelompok Tani Pondok Menteng,Desa Citapen
Tahun 2011 ............................................................................... 113
3. Penggunaan Faktor-Faktor Produksi dan Produktivitas
Usahatani Caisin Petani Respondenper Hektar pada Musim
Kemarau di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen
Tahun 2011 ............................................................................... 114
4. Analisis Pendapatan Usahatani Caisin per Hektar per Periode
Tanam pada Musim Hujan di Kelompok Tani Pondok Menteng
Desa Citapen Tahun 2011 ......................................................... 115
5. Analisis Pendapatan Usahatani Caisin per Hektar per Periode
Tanam pada Musim Kemarau di Kelompok Tani Pondok
Menteng Desa Citapen Tahun 2011 .......................................... 116

xv
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut
mempunyai peranan yang vital bagi Indonesia. Peran sektor pertanian bagi
pembangunan perekonomian Indonesia baik secara langsung maupun tidak
langsung cukup signifikan seperti, menyerap tenaga kerja, sumber pendapatan
bagi masyarakat, menyediakan bahan pangan dan bahan baku serta mendatangkan
devisa bagi negara. Salah satu sub sektor dari sektor petanian yang telah
menempati posisi penting sebagai sub sektor yang menghasilkan produk pertanian
yang memiliki nilai komersial yang cukup tinggi, yakni sub sektor hortikultura.
Komoditas sub sektor hortikultura di Indonesia dibagi menjadi empat
kelompok besar, yaitu buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan biofarmaka.
Kontribusi sub sektor hortikultura terhadap pendapatan nasional semakin
meningkat ditunjukkan dengan adanya peningkatan nilai Produk Domestik Bruto
(PDB) dari total komoditas hortikultura dari tahun 2006 hingga tahun 2009
(Tabel 1).

Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Komoditas Hortikultur Berdasarkan


Harga Berlaku di Indonesia Tahun 2006-2009
Nilai PDB (Dalam Milyar Rupiah) Pertumbuhan
No Komoditas Rata-rata
2006 2007 2008 2009* (%)
1 Buah-buahan 35.448 42.362 42.660 50.595 12,93
2 Sayuran 24.694 25.587 27.423 29.005 5,52
3 Tanaman hias 4.734 4.741 6.091 5.348 5,48
4 Biofarmaka 3.762 4.105 4.118 4.109 3,07
Total Hortikultura 68.639 76.795 80.292 89.057 9,12

Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku


Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

Tabel 1 menunjukkan adanya kecenderungan nilai PDB yang semakin


meningkat dari setiap kelompok komoditas, termasuk peningkatan pada
1
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2010. Nilai Produk Domestik Bruto Komoditas Hortikultura
di Indonesia Tahun 2006-2009. http://www.hortikultura.deptan.go.id. [16 Maret 2011]

1
komoditas sayuran dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 5,52 persen.
Peningkatan nilai PDB tersebut menunjukkan bahwa komoditas sayuran memiliki
potensi untuk dikembangkan di Indonesia karena telah memberikan kontribusi
yang cukup besar bagi pendapatan nasional.
Sayuran merupakan komoditas hortikultura yang telah mampu
berkontribusi bagi pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, seperti pemenuhan gizi masyarakat sebagai pelengkap
makanan empat sehat lima sempurna, komoditas ini juga sangat potensial dan
prospektif untuk diusahakan karena metode pembudidayaan cenderung mudah
dan sederhana2. Kegiatan usahatani sayuran memiliki peranan yang besar dalam
rangka peningkatan pendapatan masyarakat sebagai komoditas yang memiliki
nilai komersial yang cukup tinggi.
Menurut Direktur Jenderal Hortikultura (2010), pada tahun 2007,
konsumsi sayuran masyarakat Indonesia sebesar 40,90 kilogram per kapita per
tahun meningkat pada tahun 2008 menjadi 41,32 kilogram per kapita per tahun.
Kemudian pada tahun 2009 konsumsi sayuran semakin mengalami peningkatan
hingga 43,5 kilogram per kapita per tahun. Nilai ini masih jauh dibawah standar
konsumsi sayur yang direkomendasikan Food and Agriculture Organization
(FAO), yaitu sebesar 73 kilogram per kapita per tahun, sedangkan standar
kecukupan untuk sehat sebesar 91,25 kilogram per kapita per tahun3. Namun,
peningkatan jumlah konsumsi dari tahun 2007 hingga tahun 2009 tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar akan kebutuhan sayuran sebagai
pemenuhan gizi dan kesehatan.
Selain itu, nilai ekspor sayuran Indonesia terus mengalami peningkatan.
Berdasarkan Kementerian Perdagangan, nilai ekspor sayuran pada bulan Mei
tahun 2010 mengalami kenaikan dibandingkan periode yang sama pada tahun
2009. Pada bulan Mei 2009 nilai ekspor sayuran sebesar US$ 3.345.164 kemudian
mengalami peningkatan pada bulan Mei 2010 mencapai nilai US$ 7.940.093,
Selanjutnya dibandingkan realisasi ekspor pada bulan April 2010, ekspor pada

2
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2008. Kontribusi Komoditas Sayuran.
http://agribisnis.deptan.go.id. [16 Maret 2011]
3
Tingkat Konsumsi Sayur dan Buah Masyarakat Indonesia Rendah.
http://www.perhorti.org/index. [16 Maret 2011]

2
bulan Mei juga masih tinggi, tercatat ekspor pada bulan April senilai US$
5.802.879. Selain itu, hingga tahun 2010 diketahui bahwa Indonesia berencana
meningkatkan ekspor sayuran ke Singapura, mengingat bahwa kebutuhan
Singapura terhadap sayuran sekitar 2.000-2.500 ton sayuran setiap hari, terutama
kentang dan sayuran daun seperti kubis-kubisan dan sawi-sawian. Singapura
membutuhkan pasokan sayuran dari Indonesia karena Singapura mulai melihat
harga sayur dari negara ekportir lainnya seperti China akan naik4.
Singapura dan Indonesia telah membuat kontrak kesepakatan pasokan
sayur dan buah antara Singapore Food Industry (SFI) PTE LTD dengan Asosiasi
Eksportir Sayuran dan Buah-buahan Indonesia (AESBI) dalam rangka
mendukung peningkatan produksi sayuran Indonesia. Untuk memenuhi pasokan
ini maka kuantitas dan kualitas sayuran menjadi hal utama yang harus
diperhatikan5. Meningkatnya kebutuhan sayuran di dalam negeri (domestik)
maupun permintaan ekspor yang semakin tinggi merupakan faktor pendukung
bagi peningkatan usaha budidaya sayuran di Indonesia.
Terdapat berbagai jenis sayuran yang dapat dibudidayakan di Indonesia.
Hal ini ditinjau dari aspek klimatologis Indonesia sangat tepat untuk
mengembangkan bisnis sayuran. Gambaran tentang komoditas sayuran di
Indonesia dapat dilihat berdasarkan jumlah produksi sayuran pada tahun 2005
hingga tahun 2009 (Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa jumlah
produksi komoditas sayuran di Indonesia dari tahun 2005 hingga tahun 2009 tidak
stabil atau tidak menentu. Hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal,
dimana umumnya berkaitan dengan kegiatan produksi.
Diantara tanaman yang dapat dibudidayakan di Indonesia maka tanaman
yang memiliki potensi untuk terus dikembangkan dan mudah dibudidayakan
adalah sawi. Sawi sebagai salah satu jenis sayuran daun yang memiliki nilai
komersial yang cukup tinggi karena hingga saat ini komoditas sawi masih
digemari masyarakat indonesia.

4
Indonesia akan Tingkatkan Ekspor Sayuran ke Singapura. 2010.
http://www.mediaindonesia.com. [12 April 2011]
5
Loc.cit

3
Tabel 2. Produksi Komoditas Sayuran di Indonesia Tahun 2005- 2009 (dalam
ton)
No Komoditas 2005 2006 2007 2008 2009
1 Bawang Daun 501.437 571.268 479.924 547.743 549.365
2 Bawang Merah 732.610 794.931 802.810 853.615 965.164
3 Bawang Putih 20.733 21.050 17.312 12.339 15.419
4 Bayam 123.785 149.435 155.863 16.381 173.750
5 Bunga Kol 127.320 135.518 124.252 109.497 96.038
6 Buncis 283.649 269.532 266.790 266.551 290.993
7 Cabe 1.058.023 1.185.057 1.128.793 1.153.060 1.378.727
8 Cabe Besar 661.730 736.019 676.828 695.707 787.433
9 Cabe Rawit 396.293 449.038 451.965 457.353 591.294
10 Jamur 12.136 23.559 48.247 43.047 38.465
11 Kacang Merah 132.218 125.250 112.271 115. 817 110.051
12 Kacang Panjang 466.387 461.239 488.499 455.524 483.793
13 Kangkung 229.997 292.950 335.086 323.757 360.992
14 Kentang 1.009.619 1.011.911 1.003.732 1.071.543 1.176.304
15 Ketimun 552.891 598.890 581.205 540.122 583.139
16 Kol / Kubis 1.292.984 1.267.745 1.288.738 1.323.702 1.358.113
17 Labu Siam 180.029 212.697 254.056 394.386 321.023
18 Lobak 54.226 49.344 42.076 48.376 29.759
19 Melinjo 210.836 239.209 205.728 230.654 221.097
20 Petai 125.587 148.268 178.680 213.536 183.679
21 Sawi 548.453 590.400 564.912 565.636 562.838
22 Terung 333.328 358.095 390.846 427.166 451.564
23 Tomat 647.020 629.744 635.474 725.973 853.061
24 Wortel 440.001 391.371 350.170 367.111 358.014
Total 10.141.292 10.712.520 10.584.257 10.842.895 11.940.075

Sumber : Departemen Pertanian (2010)6

Komoditas sawi menjadi komoditas yang layak dikembangkan dan


memiliki potensi usaha yang tinggi dengan melihat besarnya peluang ekspor,
salah satunya ke Negara Singapura seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Selain itu, dari sisi domestik, tingkat konsumsi per kapita masyarakat Indonesia
terhadap sawi-sawian mengalami pertumbuhan rata-rata yang positif dari tahun

6
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2010. Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2005-2009.
http://www. Deptan.go.id. [16 Maret 2011]

4
2004 hingga tahun 2008, yaitu sebesar 2,78 persen, dibandingkan komoditi
sayuran daun-daunan lainnya seperti bayam dan kangkung yang mengalami
penurunan rata-rata konsumsi, yaitu masing-masing sebesar -10,47 persen dan -
3,16 persen (BPS Indonesia 2009).
Menurut Badan Pusat Satistik Indonesia (2010), Pulau Jawa merupakan
wilayah yang paling banyak memberikan kontribusi dalam memproduksi sawi di
Indonesia dibanding kepulauan lainnya. Dari total produksi sawi di Indonesia,
yakni sebanyak 562.838 ton, Pulau Jawa telah berkontribusi sebanyak 314.382 ton
atau sebesar 55,86 persen dari total produksi tersebut (Tabel 3).

Tabel 3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Sawi di Pulau Jawa Tahun
2009
Produktivitas
No Provinsi Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)
(Ton/Ha)
1 Jawa Barat 13.485 201.233 14,92
2 Jawa Tengah 6.294 63.948 10,16
3 Jawa Timur 5.525 49.201 8,91
Total 25.304 314.382 33,99

Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia, 2010 (Diolah)

Pulau Jawa terdiri dari tiga provinsi, yaitu provinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa Jawa Barat
menjadi provinsi yang memproduksi sayuran sawi dengan jumlah produksi dan
luasan panen terbesar dibanding Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan hal
tersebut, dapat dikatakan bahwa Jawa Barat menjadi sentra utama produksi sawi-
sawian di Indonesia.
Provinsi Jawa Barat terdiri dari 17 kabupaten, 16 diantaranya merupakan
kabupaten yang memproduksi komoditas sawi Kabupaten Bogor menjadi
kabupaten kelima terbesar yang memproduksi sawi dalam jumlah yang tinggi
(Tabel 4). Kabupaten Bogor menjadi salah satu daerah yang cocok untuk
membudidayakan sawi karena klimatologis Kabupaten Bogor sesuai dengan
syarat tumbuh tanaman caisin. Kabupaten Bogor memiliki ketinggian tampat rata-
rata 15 meter hingga 2500 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar
daerahnya memiliki pH tanah 4.5 – 6.5 dengan tekstur tanah liat. Keadaan ini

5
sesuai dengan syarat tumbuh caisin dimana caisin dapat tumbuh dengan baik pada
dataran rendah maupun dataran tinggi, mulai dari ketinggian 5 meter sampai
dengan 1.200 meter di atas permukaan laut. Tanah yang cocok untuk ditanami
sawi adalah tanah gembur atau jenis latosol7.

Tabel 4. Produksi Komoditas Sawi di Jawa Barat Tahun 2009


No Kabupaten Produksi (kw)
1 Bogor 129.246
2 Sukabumi 208.310
3 Cianjur 275.081
4 Bandung 543.705
5 Garut 410.312
6 Tasikmalaya 38.010
7 Ciamis 4.466
8 Kuningan 33.642
9 Majalengka 76.805
10 Sumedang 17.853
11 Indramayu 6.801
12 Subang 10.514
13 Purwakarta 19.245
14 Karawang 16.678
15 Bekasi 74.158
16 Bandung Barat 56.354
Total 1.921.180

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat (2010)

Terdapat 17 jenis sayuran yang dihasilkan oleh para petani di Kabupaten


Bogor, salah satu diantaranya adalah komoditas sawi. Perkembangan komoditas
sawi di Kabupaten Bogor dari tahun 2005 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada
Gambar 1.

7
Margiyanto, Eko. 2008. Budidaya Tanaman Sawi.
http://zuldesains.wordpress.com/2008/01/11/budidaya-tanaman-sawi/ [27 Juni 2011]

6
12.00
10.18
10.00 9.61 9.57
8.75 8.65
8.23
Produktivitas 8.00

Produktiv itas
6.00
(Ton/Ha)

4.00

2.00

0.00
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun

Gambar 1. Perkembangan Produktivitas Komoditas Sawi di Kabupaten Bogor


Tahun 2005-2010
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2010)

Gambar 1 menunjukkan produktivitas komoditas sawi dari tahun 2005


hingga tahun 2010 mengalami fluktuasi. Fluktuasi produktivitas merupakan
indikasi risiko produksi. Fluktuasi produktivitas tersebut dapat disebabkan
berbagai hal, antara lain, perlakuan petani pada kegiatan produksi, adanya
serangan hama dan penyakit, serta cuaca yang tidak menentu. Untuk mencapai
produktivitas yang tinggi, kualitas yang baik, dan kuantitas sesuai dengan lahan
yang tersedia, hal ini tergantung dari kegiatan produksi yang dilakukan.
Terjadinya fluktuasi produktivitas juga akan mempengaruhi pendapatan yang
diperoleh petani, dimana pendapatan yang diperoleh akan berfluktuasi atau tidak
menentu.
Terdapat beberapa jenis sawi yang sudah banyak dibudidayakan di
Indonesia, yaitu sawi putih, sawi hijau, sawi huma, sawi caisin (sawi cina), sawi
keriting, dan sawi monumen. Diantara enam jenis sawi tersebut, sawi yang saat ini
banyak dipasarkan diberbagai pasar tradisional dan modern adalah sawi caisin.
Caisin merupakan komoditas yang memiliki nilai komersial dan digemari
masyarakat Indonesia diantara jenis sayuran daun lainnya8.
Berdasarkan penjelasan di atas maka penting untuk mengkaji tentang
risiko produksi pada komoditas sawi agar produktivitas sawi dapat lebih stabil.
Caisin merupakan jenis sawi yang diproduksi dan telah menjadi salah satu sumber
pendapatan bagi petani sayuran yang tergabung menjadi anggota Kelompok Tani

8
Ibid, Hlm 6

7
Pondok Menteng. Kelompok Tani Pondok Menteng merupakan salah satu
kelompok tani yang tergabung dalam satu wadah pengembangan usaha pertanian
di Desa Citapen, yakni Gapoktan Rukun Tani. Desa Citapen merupakan salah satu
desa di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor yang berpotensi dan mendukung
dalam pengembangan basis pertanian khususnya komoditas sayuran.

1.2 Perumusan Masalah


Pada kegiatan usahatani caisin yang dilakukan oleh para petani di Desa
Citapen yang merupakan anggota Kelompok Tani Pondok Menteng selalu
dihadapkan pada risiko produksi. Indikasi adanya risiko produksi ditunjukkan
oleh fluktuasi produktivitas yang diperoleh petani caisin pada beberapa periode
atau musim tanam. Adanya risiko produksi menyebabkan produktivitas caisin
yang dihasilkan menjadi tidak menentu. Perkembangan komoditas caisin di Desa
Citapen dapat dilihat pada Tabel 5 yang merupakan hasil kegiatan program
pengembangan usaha agribisnis hortikultura dari Tahun 2009 hingga Tahun 2011.

Tabel 5. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Caisin di Kelompok Tani


Pondok Menteng Tahun 2009 Hingga Tahun 2011
Luas Panen Produksi Produktivitas
No Periode Tanam (Ha) (Ton) (Ton/Ha)
1 Desember 2009 – Januari 2010 5 36,03 7,21
2 April 2010 - Mei 2010 5 23,30 4,66
3 Oktober 2010 - November 2010 5 19,25 3,85
4 Januari 2011 - Februari 2011 5 33,95 6,79

Sumber : Gapoktan Rukun Tani (2011)

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan usahatani


caisin selama empat periode tanam dengan penggunaan luas lahan yang sama,
jumlah produksi yang diperoleh petani menunjukkan hasil yang berbeda-beda
sehingga produktivitas caisin mengalami fluktuasi dari tahun 2009 hingga tahun
2011. Selain itu, produktivitas caisin aktual yang terjadi di Desa Citapen lebih
rendah daripada produktivitas potensialnya. Menurut Widiyazid (2008) dan
Wahyudi (2010) produktivitas potensial caisin varietas lokal adalah sebesar 10
Ton/Ha. Adapun produktivitas aktual yang diperoleh petani caisin di Desa Citapen

8
hanya berkisar 3,8 – 7,2 Ton/Ha. Penyebab tidak tercapainya produktivitas
potensial diantaranya dikarenakan adanya risiko produksi.
Sumber utama risiko yang umumnya dirasakan oleh petani, yaitu serangan
hama dan penyakit serta ketidakpastian cuaca. Risiko produksi dan fluktuasi
produktivitas dapat dijelaskan melalui perubahan cuaca yang tidak menentu dan
tingginya serangan hama dan penyakit. Selain itu, sumber risiko produksi dan
fluktuasi produktivitas yang terjadi juga dapat disebabkan oleh perlakuan petani
terkait penggunaan input atau faktor-faktor produksi caisin. Dalam setiap kegiatan
produksi suatu komoditas, termasuk komoditas caisin, penggunaan input
seharusnya mempunyai standar jumlah yang dibutuhkan tanaman caisin dan
penggunaan input yang tepat waktu. Umumnya, penggunaan suatu input yang
berlebih akan menurunkan kualitas dan jumlah produksi yang pada akhirnya
menimbulkan risiko produksi. Beberapa fakta di lapangan bahwa para petani
caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng menggunakan beberapa input dengan
jumlah yang berlebih (overdosis) dari jumlah yang seharusnya dibutuhkan
tanaman caisin, seperti input pupuk dan obat (pestisida). Hal ini berkaitan dengan
pola pikir para petani yang menganggap bahwa semakin banyak penggunaan input
tersebut maka akan meningkatkan kualitas dan produktivitas tanaman caisin.
Adanya risiko produksi selain berpengaruh terhadap jumlah produksi juga
akan berpengaruh pada pendapatan usahatani. Fluktuasi hasil produksi akan
menyebabkan penerimaan berfluktuatif sehingga pendapatan usahatani yang akan
diperoleh petani menjadi tidak menentu dan cenderung mengalami penurunan.
Selain berkaitan dengan penerimaan, adanya risiko produksi juga berpengaruh
pada keputusan petani dalam melakukan penanaman caisin pada kondisi risiko
produksi, khususnya dalam memperhitungkan kebutuhan dan biaya usahatani.
Berdasarkan kondisi di atas maka penting untuk menilai risiko produksi
caisin yang dapat diperhitungkan melalui penggunaan input atau faktor-faktor
produksi. Dalam membudidayakan caisin, input yang umumnya digunakan, antara
lain benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pupuk daun, pestisida cair,
pestisida padat, dan tenaga kerja. Diantara faktor-faktor produksi ini, diduga ada
faktor produksi yang dapat menyebabkan risiko produksi tetapi ada pula faktor
produksi yang dapat mengurangi risiko produksi.

9
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang hendak dikaji
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh faktor-faktor produksi terhadap risiko produksi yang
dihadapi oleh petani caisin di Desa Citapen?
2. Bagaimana pengaruh risiko produksi terhadap pendapatan usahatani caisin di
Desa Citapen?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi terhadap risiko produksi yang
dihadapi oleh petani caisin di Desa Citapen.
2. Menganalisis pengaruh risiko produksi terhadap pendapatan usahatani caisin
di Desa Citapen.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang
berkepentingan, yaitu :
1. Petani caisin, penelitian ini bermanfaat sebagai informasi mengenai pengaruh
penggunaan faktor-faktor produksi yang digunakan terhadap risiko produksi
sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk perencanaan pengambilan
keputusan kegiatan produksi caisin agar para petani dapat lebih waspada
dalam menghadapi risiko produksi dan dapat mengurangi kerugian yang
dapat mempengaruhi pendapatan usahatani.
2. Penulis, penelitian ini bermanfaat untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan
yang diterima di perkuliahan terhadap permasalahan yang ada secara nyata.
3. Masyarakat umum, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana informasi dan
bahan referensi mengenai usaha produksi caisin, khususnya tentang
penggunaan faktor-faktor produksi caisin.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


1. Penetapan variabel atau faktor-faktor produksi yang akan dianalisis dalam
penelitian ini berdasarkan tinjauan penelitian terdahulu dan disesuaikan
dengan input-input yang digunakan untuk memproduksi caisin di Desa

10
Citapen. Faktor-faktor produksi yang diduga mempengaruhi risiko produksi
caisin dan ditetapkan sebagai variabel dalam penelitian ini adalah benih,
pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pestisida cair, pestisida padat, pupuk
daun, dan tenaga kerja. Sedangkan faktor produksi lain seperti air, tidak
digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini karena adanya kesulitan
untuk penaksiran jumlah penggunaan air.
2. Penelitian ini dalam pengolahan data tidak membedakan beberapa hal seperti
penggunaan benih yang didasarkan dari segi varietas dan petani responden
yang menanam caisin dengan teknik monokultur maupun teknik polikultur
(tumpangsari).
3. Data mengenai jumlah input dan jumlah output yang dihasilkan pada
usahatani caisin merupakan data selama dua periode tanam, dimana satu
periode tanam selama dua bulan. Data input dan output yang dianalisis
merupakan data pada musim kemarau di tahun 2010 dan data pada musim
hujan di tahun 2011. Adanya keterbatasan informasi dan daya ingat para
petani terhadap jumlah penggunaan input dan jumlah output yang dihasilkan
pada kedua musim tersebut memungkinkan akan berpengaruh terhadap hasil
output atau hasil olah data yang akan diperoleh penulis.

11
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Komoditas Caisin (Brassica rapa cv. caisin)


Caisin (Brassica rapa cv. caisin) merupakan tanaman yang termasuk ke
dalam suku kubis-kubisan atau sawi-sawian (Brassicaceae/Cruciferae). Caisin
dikenal oleh petani dengan sebutan sawi hijau yang sedang banyak dipasarkan
dewasa ini. Caisin memiliki kemampuan adaptasi luas baik di dataran tinggi
maupun dataran rendah. Di Pulau Jawa caisin ditanam di berbagai daerah dataran
tinggi maupun rendah dan umumnya menggunakan benih produksi lokal
(Widiyazid 1998).
Menurut Widiyazid (1998) dalam budidaya caisin, varietas benih yang
akan ditanam perlu memperhatikan beberapa faktor, yaitu (1) benih harus sesuai
dengan permintaan pasar, (2) daya tumbuh benih tinggi atau masa berlaku benih
pada label belum habis, dan (3) kebutuhan benih per hektar adalah 1,0-2,0
kilogram. Pada umumnya petani Indonesia menanam benih produksi lokal dengan
jumlah produksi sebanyak ± 10 ton per hektar dengan umur panen ± 40 hari.
Namun, untuk varietas benih impor seperti, Tosakan (Thailand) mampu
menghasilkan produksi yang lebih tinggi, yaitu sebanyak ± 25 ton per hektar
dengan rasa lebih enak dan lunak serta dengan umur panen 30-35 hari.
Menurut Wahyudi (2010), penggunaan berbagai jenis pupuk pada tahap
persemaian benih dan pengolahan lahan, yaitu pupuk kandang, pupuk Urea, pupuk
SP-36 dan pupuk KCL, sedangkan pada saat pemeliharaan diberi pupuk Urea dan
dan pupuk KCL. Hal ini berbeda menurut Widiyazid (1998), dimana budidaya
caisin diketahui hanya menggunakan pupuk kandang/kompos saat persiapan lahan
dan penanaman, sedangkan saat pemeliharaan hanya menggunakan pupuk Urea.
Namun menurut keduanya bahwa penggunaan pupuk tersebut disesuaikan dengan
jenis dan keadaan tanahnya. Sedangkan untuk penggunaan pestisida dalam
pengendalian hama dan penyakit hanya dilakukan jika benar-benar diperlukan.
Menurut Gopur (2009) dalam kegiatan produksi caisin, rendahnya
kemampuan produksi yang sering terjadi pada usahatani caisin dipengaruhi oleh
penggunaan faktor-faktor produksi dan juga hama penyakit yang sulit
dikendalikan, dimana faktor-faktor produksi tersebut adalah benih, pupuk
kandang, pupuk urea, pupuk TSP, pestisida cair, pestisida padat, dan tenaga kerja.

12
Menurut Gopur (2009) penggunaan benih dan pestisida padat tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi caisin. Adanya peningkatan penggunaan
faktor produksi benih dan pestisida padat justru akan menurunkan produksi caisin.
Hal ini dikarenakan penggunaan kedua input tersebut sudah over dosis sehingga
dalam penggunaan kedua input ini belum efisien. Sedangkan peningkatan
penggunaan pupuk kimia, pupuk kandang, pestisida cair dan tenaga kerja akan
meningkatkan produksi caisin. Sementara itu, penggunaan pestisida cair dan
tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi caisin. Kedua penggunaan
faktor produksi ini masih kurang sehingga sangat mempengaruhi turunnya
produksi caisin. Mengenai efisiensi, baik penggunaan pupuk kimia, pupuk
kandang, pestisida cair, dan tenaga kerja ternyata tidak efisien. Penggunaan
faktor-faktor produksi tersebut harus ditingkatkan untuk memperoleh produksi
caisin yang optimal.
Mengenai penggunaan pupuk kimia menunjukkan hasil yang serupa
dengan penelitian Handoyo (2010) yang meneliti tentang pengaruh penggunaan
pupuk NPK terhadap tanaman caisin. Penggunaan pupuk NPK dengan dosis yang
berbeda-beda pada beberapa tanaman contoh menunjukkan bahwa aplikasi
pemupukan NPK tidak berpengaruh nyata terhadap tanaman caisin, seperti pada
peubah tinggi tanaman, jumlah daun, warna daun, indeks luas daun, bobot basah,
dan akar serta bobot panen umbian. Penggunaan dosis pupuk kimia sebanyak 22,5
kilogram per hektar akan menghasilkan panen tertinggi, yaitu 7,26 ton per hektar.
Sedangkan, dosis optimum pupuk NPK yang harus diberikan berdasarkan hasil
panen adalah sebanyak 46,75 kilogram per hektar, sedangkan dosis optimum
yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi berdasarkan perhitungan B/C
Ratio adalah sebanyak 28,125 kilogram per hektar dan dosis minimum pada B/C
ratio 1 atau saat Break Event Point (BEP) adalah sebanyak 3,559kg/ha.
Penggunaan pupuk NPK sebagai pupuk kimia memang dapat
menghasilkan hasil panen lebih tinggi, namun penggunaan pupuk kimia yang
terlalu banyak akan menimbulkan kerugian tersendiri bagi pertanian
berkelanjutan. Oleh karena itu, saat ini pertanian lebih disarankan untuk
menggunakan pupuk organik atau pupuk kandang. Hasil produksi yang diperoleh
dengan penggunaan pupuk kandang jauh lebih baik daripada penggunaan pupuk

13
kimia. Pernyataan ini diperkuat dengan hasil penelitian Abdurohim (2008) yang
menyebutkan bahwa penggunaan pupuk kompos menghasilkan produksi tanaman
caisin yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan pupuk NPK. Pertumbuhan dan
produksi caisin pada pemberian pupuk kompos nyata lebih baik daripada
pemberian pupuk NPK. Selanjutnya, berdasarkan kadar hara tanah diketahui
bahwa tanaman caisin yg diberi perlakuan pupuk NPK masih mengalami
defisiensi kadar P dan K pada tanah. Hasil penelitian ini dapat menjadi
pertimbangan bagi petani dalam penggunaan pupuk organik dan pupuk kimia agar
menghasilkan produksi yang optimal.

2.2 Analisis Risiko dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komoditas


Pertanian

Risiko produksi adalah kejadian penurunan hasil produksi yang


ditunjukkan dengan adanya fluktuasi produksi atau produktivitas dan terjadinya
penurunan pendapatan, dimana kejadian penurunan tersebut dapat diperhitungkan.
Risiko produksi yang terjadi pada komoditas sayuran disebabkan oleh beberapa
sumber risiko, yaitu adanya serangan hama dan penyakit serta perubahan cuaca
dan iklim yang sulit diprediksi. Selain itu, risiko produksi pada komoditas sayuran
juga dapat terjadi dikarenakan kegagalan penggunaan teknologi dalam penanaman
pada lahan terbuka dan greenhouse (Tarigan 2009 dan Sembiring 2010).
Risiko produksi dapat diperhitungkan melalui dua alat perhitungan. Untuk
mengetahui tingkat risiko produksi dengan menggunakan nilai penerimaan atau
pendapatan usaha umumnya menggunakan perhitungan variance, standard
deviation, dan coefficient variation. Sedangkan untuk mengetahui risiko produksi
yang dilihat berdasarkan penggunaan input atau faktor-faktor produksi umumnya
menggunakan model risiko fungsi produksi Just dan Pope, dimana alat ukur risiko
yang digunakan, yaitu variance error produksi yang diperoleh dari penggunaan
model Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH).
Masing-masing komoditas sayuran memiliki tingkat risiko produksi yang
berbeda-beda. Menurut Tarigan (2009) dari berbagai jenis sayuran, komoditas
yang memiliki tingkat risiko tertinggi adalah bayam hijau dibanding sayuran
lainnya, yaitu brokoli, tomat, dan cabai keriting. Hal ini dikarenakan bayam hijau
sangat rentan terhadap penyakit terutama pada musim hujan. Berbeda menurut

14
Sembiring (2010) bahwa sayuran yang memiliki tingkat risiko produksi tinggi
adalah komoditas brokoli. Hal ini juga disebabkan karena brokoli sangat rentan
terhadap penyakit. Terkait dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis,
yaitu komoditas caisin, menurut Sembiring (2010) bahwa tanaman caisin
memiliki risiko produksi yang lebih rendah dibanding sayuran lainnya, seperti
brokoli, sawi putih, dan tomat.
Dalam pengusahaan komoditas yang sama, yaitu brokoli menunjukkan
tingkat risiko produksi yang dihasilkan berbeda pada masing-masing perusahaan.
Hal ini disebabkan karena berbagai hal, diantaranya kegiatan produksi yang
diterapkan perusahaan berbeda-beda, mulai dari persiapan lahan, pembibitan,
penanaman, perawatan, hingga panen. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan
penggunaan lahan penanaman, dimana penanaman sayuran pada penelitian
Sembiring (2010) dilakukan dalam green house. Penggunaan green house dapat
mengurangi risiko produksi khususnya bagi jenis sayuran daun-daunan seperti
caisin yang rentan terhadap hujan dan genangan air, karena penggunaan green
house dapat mengatur suhu, kelembaban, tekanan udara, dan menahan hujan yang
terus menerus mengguyur. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Tarigan (2009), yaitu penanaman hanya pada lahan terbuka, dimana bayam hijau
merupakan komoditas dengan risiko produksi tertinggi karena rentan terhadap
penyakit yang disebabkan turunnya hujan. Perbedaan kegiatan produksi tersebut
akan mempengaruhi bagaimana tingkat risiko produksi yang terjadi pada masing-
masing komoditas.
Terkait dengan perhitungan risiko produksi berdasarkan penggunaan
faktor-faktor produksi dan penggunaan model risiko fungsi produksi Just dan
Pope, menurut Koundouri dan Nauges (2005) dalam estimasi fungsi produksi,
mengabaikan adanya risiko dapat menyebabkan estimasi tidak efisien. Terutama
dibidang pertanian, variabilitas dalam hasil tidak hanya dijelaskan oleh faktor di
luar kendali petani seperti harga input dan output, tetapi juga oleh faktor yang
terkendali, seperti tingkat input (Just dan Pope 1978, diacu dalam Fufa dan
Hassan 2003).
Penggunaan setiap input mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap
produksi. Menurut Robison dan Barry (1987) beberapa hasil penelitian

15
menunjukkan bahwa dalam hubungannya antara pengambilan keputusan input dan
risiko produksi ternyata penggunaan pestisida dalam produksi sebagai pengurang
risiko (risk reducing factors), sedangkan faktor lain sebagai faktor yang
menyebabkan risiko (risk inducing factors) dalam produksi. Berbeda halnya
menurut Hutabarat (1985) yang diacu dalam Fariyanti (2008) bahwa input benih,
pupuk nitrogen, pupuk pospor, lahan, dan insektisida merupakan faktor yang
menyebabkan risiko produksi (risk inducing factors). Sedangkan input tenaga
kerja manusia dan ternak merupakan faktor pengurang risiko produksi (risk
reducing factors).
Pada kegiatan produksi tanaman pangan, seperti jagung dan sorgum,
menurut Fufa dan Hassan (2003) bahwa faktor produksi yang mempengaruhi
variasi (variance) hasil produksi adalah luasan lahan, benih, tenaga kerja manusia,
tenaga kerja hewan (sapi), pupuk dan waktu tanam. Penggunaan benih unggul,
luasan lahan, tenaga kerja manusia, tenaga kerja hewan, dan waktu tanam menjadi
faktor paling penting yang mempengaruhi tingkat hasil rata-rata (mean) tanaman
pangan yang tumbuh di daerah Hararghe Timur Oromiya, dimana peningkatan
luas lahan menunjukkan dampak yang besar pada hasil rata-rata tanaman pangan.
Mengenai benih, karakteristik varietas tanaman yang tumbuh di daerah tersebut
cenderung terlambat matang, sehingga memberikan efek negatif pada hasil
produksi. Oleh karena itu, pertanian dan penyuluhan harus fokus pada
pengembangan varietas tanaman yang tidak hanya memberikan tingkat hasil
tinggi tetapi juga hasil yang stabil. Kemudian alasan utama terjadinya penurunan
stabilitas hasil panen terkait dengan tingkat penggunaan pupuk yang tinggi, tidak
sesuai dengan yang waktu dan metode yang dibutuhkan, sehingga menyebabkan
tingginya tingkat variasi ouput. Penggunaan tenaga kerja sapi ternyata
mengurangi efek bagi sebagian besar tanaman pangan. Dengan demikian,
pencapaian tingkat hasil tanaman yang stabil diproduksi di daerah tersebut
membutuhkan peningkatan akses petani terhadap sapi.
Sedangkan menurut Falco et al. (2006) risiko produksi pada komoditas
gandum yang dilihat dari penggunaan faktor-faktor produksi (input) menunjukkan
pengaruh yang berbeda dari hasil penelitian menurut Fufa dan Hassan (2003)
dimana faktor produksi luasan lahan dan waktu tanam akan mempengaruhi rata-

16
rata dan variasi hasil produksi gandum. Dalam kegiatan produksi gandum, tenaga
kerja manusia, tenaga kerja lembu, penggunaan benih dan pupuk mempengaruhi
rata-rata dari hasil gandum. Untuk input benih, jika penggunaan benih
ditingkatkan maka akan meningkatkan rata-rata hasil gandum. Oleh karena itu,
penggunaan varietas baru akan meningkatkan hasil. Hal ini sama dengan hasil
penelitian Fufa dan Hassan (2003), dimana dibutuhkan pengembangan varietas
tanaman untuk memberikan tingkat hasil tinggi dan juga hasil yang stabil. Untuk
input lembu, jika penggunaan lembu ditingkatkan maka akan menurunkan rata-
rata hasil gandum atau penurunan marjinal pada hasil gandum. Sedangkan untuk
variasi hasil gandum, pada produksi gandum menunjukkan bahwa benih dan
pupuk meningkatkan risiko produksi (yang konsisten dengan temuan Just and
pope, 1979) dan menimbulkan variasi hasil gandum. Untuk penggunaan tenaga
kerja mempengaruhi variasi hasil gandum, dimana jika penggunaan tenaga kerja
ditingkatkan maka akan meningkatkan variasi hasil gandum. Sedangkan untuk
lembu terdapat hasil yang berbeda dengan penelitian Fufa dan Hassan (2003),
dimana pada penelitian ini penggunaan lembu dapat meningkatkan risiko.
Pada kegiatan usahatani komoditas sayuran, seperti kentang dan kubis,
menurut Fariyanti et.al. (2007) faktor-faktor produksi yang akan mempengaruhi
rata-rata hasil produksi dan variasi hasil produksi, yaitu luas lahan garapan, benih,
pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida, dan tenaga kerja. Analisis
mengenai risiko produksi untuk komoditas tersebut menggunakan model GARCH
(1,1), dimana hasil model tersebut diketahui persamaan fungsi produksi dan
variance error produksi. Pada komoditas kentang, pupuk TSP dan KCL memiliki
tanda negatif pada fungsi produksi, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
kedua pupuk tersebut dalam jumlah besar yang dilakukan rumah tangga petani
responden dikarenakan tingkat kesuburan lahan yang semakin menurun sehingga
penggunaan pupuk semakin meningkat dalam jumlah yang besar. Sedangkan pada
komoditas kubis, benih bertanda negatif yang menunjukkan bahwa penggunaan
benih kubis telah melebihi standar normal, sehingga akan menurunkan rata-rata
hasil produksi. Berdasarkan persamaan variance error produksi, pada komoditas
kentang penggunaan benih, luas garapan, dan pestisida merupakan faktor yang
dapat mengurangi risiko produksi, sedangkan pupuk urea, TSP, dan KCL

17
merupakan faktor yang menimbulkan risiko produksi. Berbeda halnya pada
komoditas kubis, penggunaan lahan dan pestisida menjadi faktor yang
menimbulkan risiko produksi, sedangkan penggunaan benih, pupuk urea, pupuk
NPK, dan tenaga kerja menjadi faktor pengurang risiko produksi. Berdasarkan
hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa pada komoditas yang berbeda, faktor-
faktor yang dapat menyebabkan risiko produksi pun berbeda-beda. Namun, untuk
kedua komoditas, parameter error kuadrat produksi periode (musim) sebelumnya
dan variance error produksi periode (musim) sebelumnya bertanda positif artinya
semakin tinggi risiko produksi pada musim sebelumnya, maka semakin tinggi
risiko produksi pada musim berikutnya.
Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian
terdahulu. Persamaannya alat analisis yang digunakan pada penelitian ini sama
dengan alat analisis yang digunakan pada penelitian Fariyanti et.al. (2007), yakni
menganalisis risiko produksi berdasarkan penggunaan faktor-faktor produksi
dengan menggunakan variance error produksi sebagai alat ukur risiko. Analisis
risiko produksi tersebut dengan menggunakan model risiko fungsi produksi Just
dan Pope, dimana nilai variance error produksi tersebut diperoleh melalui model
GARCH (1,1). Selain itu, terdapat persamaan variabel atau faktor-faktor produksi
yang dianalisis, diantaranya benih, pupuk urea, pestisida, dan tenaga kerja.
Sedangkan perbedaannya, meskipun sama-sama menganalisis mengenai risiko
produksi, alat analisis yang digunakan Tarigan (2009) dan Sembiring (2010),
yakni variance, standard deviation, dan coefficient variation. Hal ini disebabkan
kedua penelitian tersebut ingin mengetahui tingkat risiko produksi berdasarkan
nilai penerimaan atau pendapatan. Dalam penentuan variabel atau faktor-faktor
produksi terdapat beberapa perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu. Hal
ini dikarenakan dalam penentuan faktor produksi tersebut disesuaikan dengan
keputusan faktor apa saja yang paling mempengaruhi produksi masing-masing
komoditas. Selain itu, komoditas yang dianalisis mengenai risiko produksi
berdasarkan faktor-faktor produksi dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian
terdahulu, dimana pada penelitian ini menganlisis mengenai risiko produksi pada
komoditas caisin.

18
III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Teori Risiko Produksi


Dalam teori risiko produksi terlebih dahulu dijelaskan mengenai dasar
teori produksi. Menurut Lipsey et al. (1995) produksi adalah suatu kegiatan yang
mengubah input menjadi output. Hubungan antara input yang digunakan dalam
proses produksi dengan kuantitas output yang dihasilkan disebut sebagai fungsi
produksi. Keputusan dalam kegiatan proses produksi terbagi dalam tiga kategori,
yaitu jangka pendek, jangka panjang, dan jangka sangat panjang. Jangka pendek
dicirikan dengan semua inputnya adalah tetap, sementara jangka panjang semua
input variabel. Input tetap adalah input yang tidak berubah atau tidak dapat
ditambah, dinamakan sebagai faktor tetap. Sedangkan input variabel adalah input
yang dapat berubah dalam jangka waktu tertentu, dinamakan sebagai faktor
variabel.
Fungsi produksi terdiri dari produk total (TP), produk rata-rata (AP), dan
produk marjinal (MP). Produk total adalah jumlah total yang diproduksi selama
periode waktu tertentu. Produk total akan berubah menurut banyak sedikitnya
faktor variabel yang digunakan. Produk rata-rata adalah produk total dibagi
jumlah unit faktor variabel yang digunakan untuk memproduksinya. Sementara
produk marjinal atau produk fisik marjinal adalah perubahan dalam produk total
sebagai akibat satu unit tambahan penggunaan variabel (Lipsey et al. 1995)
Dalam kaitannya antara produk marjinal dan proses produksi, seorang
produsen dapat menambah hasil produksi dengan menambah semua input
produksi atau menambah satu atau beberapa input produksi. Penambahan input
produksi mengikuti hukum The law of diminishing marginal returns yang
merupakan dasar dalam ekonomi produksi. The law of diminishing marginal
returns terjadi jika jumlah input variabel ditambah penggunaannya, maka output
yang dihasilkan meningkat, tapi setelah mencapai satu titik tertentu penambahan
output semakin lama semakin berkurang (Debertin 1986).
Secara umum produksi dalam usahatani ditentukan oleh faktor-faktor
produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal, dan manajemen. Hubungan teknis
antara input dan output dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi produksi. Fungsi

19
produksi menerangkan hubungan teknis yang menstransformasikan input atau
sumberdaya menjadi output atau komoditas (Debertin 1986).
Dalam suatu proses produksi khususnya usahatani tidak pernah terlepas
dari risiko produksi termasuk dalam penggunaan input yang ada di dalam fungsi
produksi. Menurut Debertin (1986) risiko adalah suatu kejadian yang
kemungkinan muncul dan menyebabkan fluktuasi hasil dimana
kemungkinan/probabilitas hasil yang diterima dapat diestimasi. Sedangkan
apabila pelaku usaha tidak memiliki data yang bisa dikembangkan untuk
menyusun distribusi probabilitas maka akan muncul suatu kejadian yang disebut
ketidakpastian (uncertainty). Tidak jauh berbeda menurut Robison dan Barry
(1987) risiko adalah peluang terjadinya suatu kejadian yang dapat diukur oleh
pengambil keputusan dan pada umumnya pengambil keputusan mengalami suatu
kerugian. Risiko erat kaitannya dengan ketidakpastian, tetapi kedua hal tersebut
memiliki makna berbeda. Ketidakpastian (uncertainty) adalah peluang suatu
kejadian yang tidak dapat diukur oleh pengambil keputusan. Adanya
ketidakpastian dapat menimbulkan risiko.
Menurut Ellis (1993), risiko dibatasi oleh kemungkinan-kemungkinan
yang dihubungkan dengan kejadian dari suatu peristiwa yang mempengaruhi suatu
proses pengambilan keputusan. Sedangkan ketidakpastian mengacu pada situasi
dimana tidak memungkinkan untuk mengetahui probabilitas kejadian dari suatu
peristiwa. Terdapat beberapa pendekatan yang berbeda dalam melihat mengenai
peluang dengan risiko. Pada kegiatan produksi usahatani, risiko merupakan
peluang terjadinya suatu peristiwa yang menghasilkan pendapatan di atas atau di
bawah rata-rata dari pendapatan yang diharapkan dalam serangkaian musim
panen.
Setiap pelaku usaha melakukan pengambilan keputusan dalam
mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya untuk menghasilkan output yang
diharapkan. Namun, seringkali keputusan tersebut dihadapkan pada risiko dan
ketidakpastian. Risiko cenderung menurunkan hasil baik produksi maupun
pendapatan usaha. Implikasi risiko terhadap variasi pendapatan dapat dilihat pada
Gambar 2 yang merupakan fungsi produksi sederhana yang menunjukkan tiga
respon yang berbeda dalam output dari penggunaan input.

20
Total Value Product Y (Rp)
a
f
TVP1

g
c
E(TVP)

b
d h TC

i
e
j
TVP2

0 X2 XE X1 Input X

Keterangan :
TVP1 = Total value product in ’good’ years
TVP2 = Total value product in ’bad’ years
E(TVP) = Expected total value product

Gambar 2. Hubungan Keputusan Penggunaan Input dan Variasi Pendapatan


Sumber : Ellis (1993)

Variasi pendapatan dipengaruhi oleh keputusan pengalokasian salah satu


sumberdaya yang digunakan untuk produksi. Bentuk kurva dalam fungsi produksi
tersebut mencerminkan dampak dari kondisi yang baik dan buruk terhadap respon
output untuk berbagai tingkat penggunaan input. Total Value Product (TVP)
menggambarkan penerimaan yang didapat dari hasil produksi. Kondisi TVP yang
diperlihatkan berbeda-beda yang terdiri dari tiga kondisi, yaitu TVP pada
penggunaan sejumlah input saat kondisi baik (TVP1), pada kondisi yang
diharapkan (E(TVP)), dan pada kondisi buruk (TVP2). Penambahan kurva Total
Cost (TC) bertujuan untuk memperlihatkan biaya pembelian input yang
meningkat. Terdapat tiga alternatif penggunaan input yang ditunjukkan oleh X1,
X2, XE yang terkait risiko :
1. Input yang digunakan sebanyak X1. Hal ini menunjukkan jika kondisi TVP1
terjadi dimana pada saat tersebut dalam kondisi yang baik, maka keuntungan
terbesar yaitu sebesar ab akan diperoleh. Di sisi lain, jika TVP2 terjadi maka

21
kerugian sebesar bj akan dialami petani. Dalam kondisi ini berarti seorang
petani memilih berani terhadap risiko (risk-taking).
2. Input yang digunakan sebanyak X2. Hal ini menunjukkan jika kondisi TVP1
terjadi maka keuntungan sebesar ce akan diperoleh dan jika TVP2 terjadi
maka petani tidak akan mengalami kerugian dan tetap mendapatkan
keuntungan yang kecil sebesar de. Hal ini disebabkan pada kondisi tersebut
petani masih mampu membayar biaya pembelian input tersebut (TVP > TC).
Dalam kondisi ini berarti seorang petani memilih takut terhadap risiko (risk-
averse).
3. Input yang digunakan sebanyak XE. Nilai E(TVP) yang diperoleh merupakan
hasil rata-rata pendapatan pada kondisi baik dan buruk. Hal ini menunjukkan
jika kondisi TVP1 terjadi maka keuntungan sebesar fh akan diperoleh, tetapi
bukan merupakan kemungkinan keuntungan terbesar. Di sisi lain, jika TVP2
terjadi maka kerugian sebesar hi akan dialami petani dan bukan merupakan
kemungkinan kerugian terkecil. Dalam kondisi ini berarti seorang petani
memilih netral terhadap risiko (risk-neutral).
Dalam penentuan risiko produksi terdapat beberapa model yang
menyangkut risiko, salah satunya adalah penentuan input yang optimal pada
kondisi risiko dalam fungsi produksi. Robison dan Barry (1987) menyebutkan ada
satu model yang dikembangkan untuk menganalisis dampak risiko terkait
produksi dari penggunaan tingkat input terhadap output, yaitu model risiko fungsi
produksi Just dan Pope. Dalam fungsi produksi Just dan Pope melibatkan
masuknya kesalahan istilah (error) ke dalam fungsi produksi untuk
menggambarkan pengaruh faktor tak terkendali seperti cuaca, inefisiensi teknis,
dan lainnya dalam produksi. Kemudian, masuknya kesalahan istilah (error) ke
dalam fungsi produksi akan menunjukkan variabilitas bahwa dalam output (hasil)
juga dijelaskan oleh faktor endogen dan tingkat input yang digunakan.
Model risiko fungsi produksi Just dan Pope terdiri dari fungsi produksi
rata-rata (mean production function) dan fungsi produksi variance (variance
production function). Kedua fungsi tersebut dipengaruhi oleh penggunaan input
dalam kegiatan produksi, sehingga dapat dilakukan evaluasi mengenai input-input
yang bersifat pengurang risiko (risk reducing) atau peningkat risiko (risk

22
inducing). Secara matematis, persamaan model risiko fungsi produksi Just dan
Pope dapat ditulis sebagai berikut (Robison dan Barry 1987) :

q = f(x) + h(x)ε
dimana :
q = Hasil produksi yang dihasilkan (output)
f(x) = Fungsi produksi rata-rata
h(x) = Fungsi varian (fungsi risiko)
x = Input atau faktor-faktor produksi yang digunakan
ε = error term atau distribusi ε~(0,σ2e)
Menurut Just dan Pope pada penggunaan input produksi sebagai
pengurang risiko (risk reducing factors), misalnya penggunaan sistim irigasi,
penggunaan pestisida, biaya yang dikeluarkan untuk memprediksi kondisi pasar
yang akan datang, menyewa jasa konsultan profesional dan pemakaian
peralatan/mesin baru merupakan beberapa cara atau faktor dalam merespon
adanya risiko yang dihadapi oleh pelaku produksi. Sedangkan faktor lain seperti
benih dan pupuk sebagai faktor yang menyebabkan risiko (risk inducing factors)
dalam produksi (Robison dan Barry 1987). Pestisida sebagai faktor pengurang
risiko dapat diilustrasikan bahwa ketika tidak terdapat hama pada tanaman maka
hasil produksi akan normal, sedangkan ketika terdapat hama pada tanaman
kemudian diberikan pestisida maka hasil produksi akan normal. Berdasarkan dua
kondisi tersebut menunjukkan tidak adanya gap atau penyimpangan untuk
pembanding yang sama. Artinya, tidak ada variasi hasil produksi, sehingga bukan
merupakan faktor yang dapat menimbulkan risiko. Risiko yang dihadapi petani
akan berpengaruh pada pemilihan jenis input yang digunakan. Jika petani bersifat
risk averter, maka input yang menyebabkan variasi hasil akan dihindari oleh
petani dan petani akan memilih input lain yang diperkirakan tidak menimbulkan
variasi hasil yang besar. Variasi hasil akan berakibat pada variasi pendapatan
petani.
Risiko pada umumnya berhubungan dengan adanya perubahan dalam
setiap periode atau waktu, sehingga risiko produksi menggambarkan fluktuasi
pada produksi yang dihasilkan petani. Penilaian risiko karena adanya fluktuasi
produksi tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan variance produksi
periode tertentu. Salah satu model yang dapat menjelaskan mengenai variance

23
produksi tersebut, yaitu model Generalized Autoregressive Conditional
Heteroscedasticity (GARCH) (Verbeek 2000). Model GARCH secara khusus di
desain untuk model variance yang mana variance sebagai variabel dependent
merupakan fungsi dari variabel dependent periode sebelumnya atau variabel
independent atau eksogenus. Secara umum model GARCH dapat dirumuskan
sebagai berikut (Verbeek 2000) :

Yt Yt j e
p q
2 2 2
t j t j j t j
j 1 j 1

Model GARCH yang umumnya digunakan adalah model GARCH (1,1) yang
dapat dirumuskan sebagai berikut (Verbeek 2000) :
2 2 2
t t 1 t 1

dimana :
2
t = variance error pada periode t
2
t 1 = error kuadrat periode sebelumnya
2
t 1 = variance error pada periode sebelumnya
, , = parameter estimasi
2
Model GARCH (1,1) mempunyai arti bahwa variance error pada periode t ( t)

2
ditentukan oleh error kuadrat periode sebelumnya ( t 1) dan variance error
2
pada periode sebelumnya ( t 1 ). Variance error menunjukkan variance dari
produksi. Model GARCH (1,1) dapat menggunakan Maximum Likelihood
Estimation (MLE) untuk estimasi parameter.

3.2 Teori Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan


Lipsey et.al. (1995) mendefinisikan biaya total (TC atau total cost) adalah
biaya total untuk menghasilkan tingkat output tertentu. Biaya total dibagi menjadi
dua bagian, yaitu biaya tetap total (TFC atau total fixed cost) dan biaya variabel
total (TVC atau total variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah
meskipun output berubah. Sedangkan biaya yang berkaitan langsung dengan
output, yang bertambah besar dengan meningkatnya produksi dan berkurang
dengan menurunnya produksi disebut biaya variabel. Menurut Debertin (1986)

24
biaya variabel adalah biaya produksi yang bervariasi dengan tingkat output yang
dihasilkan oleh petani. Contoh biaya variabel termasuk biaya yang terkait dengan
pembelian input seperti bibit, pupuk, herbisida, insektisida, dan sebagainya.
Sedangkan biaya tetap adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh petani disaat
sedang atau tidak berproduksi. Contoh biaya tetap termasuk pembayaran untuk
pembelian tanah dan penyusutan mesin pertanian, bangunan, dan peralatan.
Secara matematis biaya total (TC) dapat dirumuskan sebagai berikut
(Lipsey et.al. 1995) :

TC = TFC + TVC
dimana :
TC = Total cost atau biaya total (Rp)
TFC = Total fixed cost atau biaya tetap total (Rp)
TVC = Total variable cost atau biaya variabel total (Rp)

Hubungan antara besarnya biaya produksi dengan tingkat produksi disebut


dengan fungsi biaya. Grafik fungsi biaya dapat dilihat pada Gambar 3.

TC

TC

TVC

TFC

Q
0

Keterangan :
TC = Total cost atau biaya total (Rp)
TFC = Total fixed cost atau biaya tetap total (Rp)
TVC = Total variable cost atau biaya variabel total (Rp)
Q = Quantity atau hasil produksi (satuan)

Gambar 3. Kurva Biaya Total


Sumber : Lipsey et.al. (1995)

25
Bentuk kurva TFC adalah horizontal karena nilainya tidak berubah
berapapun banyaknya barang yang diproduksi. Sedangkan TVC bermula dari titik
nol dan semakin lama semakin bertambah tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa
ketika tidak ada produksi TVC = 0, dan semakin besar produksi maka semakin
besar nilai biaya variabel total (TVC). Kurva TC adalah hasil dari penjumlahan
kurva TFC dan TVC. Oleh karena itu, kurva TC bermula dari pangkal TFC dan
apabila ditarik garis tegak di antara TVC dan TC panjang garis itu adalah sama
dengan jarak diantara TFC dengan sumbu datar.
Selanjutnya, menurut Debertin (1986) total penerimaan merupakan nilai
produk total yang diterima petani atau pengusaha, dimana penerimaan diperoleh
dari jumlah total produk yang dihasilkan dikalikan dengan harga jual atau harga
pasar yang konstan. Secara matematis, total penerimaan atau total pendapatan
(total revenue) dapat dirumuskan sebagai berikut (Debertin 1986) :

TR = p x y
dimana :
TR = Total pendapatan/penerimaan (Rp)
p = Harga pasar (Rp)
y = Hasil produksi (satuan)

Total penerimaan atau total pendapatan yang dikurangi dengan biaya total yang
dikeluarkan disebut sebagai pendapatan bersih atau keuntungan (profit) yang
diterima petani atau pengusaha. Pendapatan bersih atau keuntungan dapat
dirumuskan sebagai berikut (Debertin 1986) :

π = TR – TC
dimana :
π = Pendapatan bersih/keuntungan (Rp)
TR = Total pendapatan/penerimaan (Rp)
TC = Biaya total (Rp)

Untuk lebih menjelaskan mengenai pendapatan, berikut grafik yang


menggambarkan biaya total dan hasil penjualan total yang dapat dilihat pada
Gambar 4.

26
CR

TR

TC

Q
BEP

Keterangan :
CR = Cost dan revenue atau biaya dan pendapatan (Rp)
TR = Total pendapatan/penerimaan (Rp)
TC = Biaya total (Rp)
Q = Quantity atau hasil produksi (satuan)
BEP = Break event point atau titik impas

Gambar 4. Hubungan Biaya Total dan Hasil Penjualan Total


Sumber : Lipsey et.al. (1995)

Gambar 4 menunjukkan bahwa kurva TR diasumsikan berada di atas


kurva TC. Hal ini menggambarkan bahwa usaha tersebut mengalami keuntungan.
Perpotongan antara titik TR dan titik TC pada tingkat produksi statu komoditas
merupakan titik impas atau Break Event Point (BEP), dimana produksi tidak
mengalami keuntungan atau kerugian. Bila TR > TC (output yang dihasilkan lebih
besar dari BEP) maka statu usaha dikatakan menguntungkan dan bila TR< TC
maka usaha tersebut mengalami kerugian.

3.3 Kerangka Pemikiran Operasional


Perkembangan produktivitas hasil kegiatan usahatani caisin yang
dilakukan para petani di Desa Citapen yang merupakan anggota Kelompok Tani
Pondok Menteng mengalami fluktuasi atau hasil yang tidak menentu. Fluktuasi
produktivitas merupakan indikasi risiko produksi, dimana risiko yang terjadi ini
berkaitan dengan kegiatan produksi yang dilakukan para petani. Terjadinya
fluktuasi produktivitas dan risiko produksi ini dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, baik itu faktor yang tidak terkendali maupun faktor yang terkendali.

27
Faktor yang tidak terkendali merupakan sumber utama risiko produksi
yang umumnya terjadi pada usahatani caisin, yaitu serangan hama dan penyakit
serta ketidakpastian cuaca. Ketidakpastian cuaca seperti perubahan antara kondisi
hujan dan panas yang tidak menentu akan mempengaruhi pertumbuhan komoditas
caisin. Selain itu, cuaca yang tidak menentu juga akan berpengaruh pada
meningkatnya populasi hama dan tingkat kerentanan tanaman terhadap penyakit.
Sementara itu, risiko produksi yang disebabkan oleh faktor yang terkendali, yaitu
berdasarkan penggunaan input atau faktor-faktor produksi dalam menghasilkan
output atau hasil produksi. Hasil produksi sangat tergantung dengan bagaimana
input atau faktor-faktor produksi yang digunakan. Penggunaan input dalam
jumlah dan waktu yang tidak tepat umumnya akan menurunkan hasil produksi.
Risiko produksi yang terjadi dapat diperhitungkan melalui penggunaan input atau
faktor-faktor produksi yang merupakan faktor yang terkendali. Faktor-faktor
produksi yang digunakan, yaitu benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pupuk
daun, pestisida cair, pestisida padat, dan tenaga kerja.
Penggunaan input dalam kegiatan produksi caisin akan dipengaruhi oleh
harga input, sehingga besarnya kecilnya input yang digunakan akan berpengaruh
terhadap biaya yang dikeluarkan petani. Semakin besar biaya yang dikeluarkan
petani maka pendapatan usahatani akan berkurang atau menurun. Sementara itu,
besar kecilnya pendapatan usahatani caisin juga dipengaruhi oleh harga jual
output dipasaran, semakin tinggi harga output maka pendapatan usahatani caisin
akan semakin besar. Fluktuasi produktivitas dan risiko produksi yang terjadi pada
akhirnya akan berpengaruh terhadap pendapatan usahatani, dimana pendapatan
usahatani umumnya menjadi tidak menentu seiring dengan jumlah produksi yang
berfluktuatif.
Untuk itu perlu dilakukan analisis risiko produksi dan analisis pendapatan
usahatani atas kondisi yang terjadi di lapangan terkait dengan adanya risiko
produksi. Analisis risiko produksi dilakukan dengan menggunakan model
GARCH (1,1) sehingga akan diketahui faktor yang bersifat pengurang risiko (risk
reducing factor) atau faktor yang bersifat peningkat risiko (risk inducing factor).
Sementara itu, untuk mengetahui gambaran pendapatan usahatani caisin dalam

28
kondisi risiko produksi maka digunakan analisis pendapatan usahatani. Kerangka
pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 5.

Kegiatan Usahtani Caisin yang Dilakukan Para Petani di


Kelompok Tani Pondok Menteng

Terjadinya Fluktuasi Produktivitas Caisin di Kelompok Tani


Pondok Menteng

Risiko Produksi Caisin

Sumber Risiko Produksi Penggunaan Faktor-faktor


(Faktor Tidak Produksi (Faktor Terkendali) :
Terkendali) : 1. Benih
1. Hama dan 2. Pupuk kandang
Penyakit 3. Kapur
2. Ketidakpastian 4. Pupuk urea
cuaca 5. Pestisida cair
6. Pestisida padat
7. Pupuk daun
8. Tenaga kerja

Harga Input
Harga Output
Pendapatan Usahatani Caisin

Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Faktor-Faktor yang


Mempengaruhi Risiko Produksi Caisin (Brassica rapa cv. caisin)
di Desa Citapen Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor

29
IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dan pengambilan data dilaksanakan pada
bulan Mei hingga Juni 2011. Penetapan Kecamatan Ciawi sebagai daerah
penelitian karena kecamatan tersebut memiliki visi berbasis pertanian yang
ditujukan sebagai penopang utama peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam
rangka memperkuat pembangunan berbasis perdesaan9. Selain itu, berdasarkan
data UPT Pengembangan Teknologi Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan,
dan Kehutanan (PTTPHPK) VII Wilayah Ciawi, diantara tiga wilayah kerjanya,
yaitu Kecamatan Ciawi, Kecamatan Megamendung, dan Kecamatan Cisarua,
kecamatan yang memiliki lahan sawah dan lahan tegalan terluas adalah
Kecamatan Ciawi dengan luas total 1.634 Hektar, sedangkan Kecamatan
Megamendung seluas 1.193 Hektar dan Kecamatan Cisarua seluas 952 Hektar.
Pemilihan lokasi Desa Citapen sebagai lokasi penelitian dilakukan secara
sengaja (purposive) yang didasarkan pada pertimbangan lokasi tersebut
merupakan salah satu desa di Kecamatan Ciawi yang mendominasi usaha
dibidang hortikultura khususnya sayuran dibanding 12 desa lainnya, dimana
komoditas caisin termasuk komoditas unggulan dan salah satu komoditas yang
selalu diproduksi setiap waktu. Desa citapen merupakan desa kedua tertinggi
dengan jumlah petani hortikultura dan tanaman pangan sebanyak 535 orang. Salah
satu jenis sayuran yang banyak diproduksi petani di Desa Citapen adalah caisin
dengan luasan panen tertinggi, yakni seluas 21 hektar. Selain itu, kegiatan
pertanian di Desa Citapen termasuk kegiatan yang telah maju dan berjalan secara
teratur karena didukung oleh lembaga Gapoktan Rukun Tani sebagai wadah
pengembangan pertanian yang sudah dikenal maju dan terus berkembang hingga
saat ini.

4.2 Data dan Instrumentasi


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancar a langsung

9
Profil Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor. http://kecciawi.bogorkab.go.id/. [12 April 2011]

30
dengan responden yang dipilih, yaitu petani caisin di Poktan Pondok Menteng dan
juga pihak yang berkepentingan di Poktan Pondok Menteng serta Gapoktan
Rukun Tani. Untuk responden petani, wawancara dilakukan dengan panduan
kuesioner (daftar pertanyaan) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Adapun daftar
pertanyaan yang dipersiapkan antara lain mengenai identitas dan karakteristik
petani, seperti nama, umur, pendidikan, dan gambaran umum usahatani yang,
gambaran umum kegiatan usahatani caisin dari berbagai tahap kegiatan budidaya
hingga penggunaan input atau faktor-faktor produksi dalam memproduksi caisin,
jumlah produksi caisin, dan pertanyaan lainnya yang dibutuhkan untuk
mendukung penelitian.
Data mengenai penggunaan input atau faktor-faktor produksi dan data
output atau hasil produksi yang diambil adalah data dari dua musim tanam pada
tahun 2010/2011, yaitu musim kemarau tahun 2010 dan musim hujan tahun 2011.
Data yang digunakan adalah data panel, yaitu yang pertama data cross section
selama satu periode tanam, yaitu petani yang menanam caisin pada musim hujan
antara bulan Januari hingga April 2011, sedangkan data time series merupakan
data deret waktu tanam antara musim kemarau dan musim hujan.
Data sekunder diperoleh dari instansi dan dinas terkait, seperti Badan
Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Bogor, Gapoktan Rukun Tani, Kelompok Tani Pondok Menteng, Perpustakaan
LSI Institut Pertanian Bogor, Perpustakaan Pertanian Kota Bogor, penelitian
terdahulu (skripsi), buku, literatur internet, dan berbagai sumber lain yang
berkaitan dengan penelitian ini.

4.3 Metode Penentuan Sampel


Kecamatan Ciawi memiliki tiga Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)
aktif yang sudah menerima Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan (BLM PUAP). Salah satu Gapoktan yang mendominasi
usaha di bidang hortikultura khususnya usahatani sayuran adalah Gapoktan Rukun
Tani. Gapoktan Rukun Tani memiliki tujuh Kelompok Tani (Poktan), yaitu
Poktan Pondok Menteng, Poktan Silih Asih, Poktan Suka Maju, Poktan Bina
Mandiri, Poktan Jaya, Poktan Sawah Lega, dan Kelompok Wanita Tani Citapen
Berkarya.

31
Pemilihan Poktan Pondok Menteng dilakukan dengan menggunakan
sampel tidak acak (nonrandom sampling), yaitu teknik purposive karena Poktan
Pondok Menteng dianggap sebagai tempat yang paling cocok untuk tempat
penelitian. Selain itu, Poktan Pondok Menteng dipilih karena memiliki jumlah
anggota terbanyak dibandingkan dengan Poktan lainnya. Anggota Poktan Pondok
Menteng sebanyak 104 anggota dari total 232 anggota, sedangkan sisanya
sebanyak 128 anggota tersebar di enam poktan lainnya yang bertani di bidang
sayuran, ternak, dan juga usaha dagang. Sebanyak 50 persen dari 104 anggota
tersebut merupakan petani sayur-sayuran dan tanaman pangan, sehingga akan
mudah mendapatkan responden petani sayuran.
Responden dalam penelitian yang akan digunakan adalah para petani yang
mengusahakan caisin di Poktan Pondok Menteng. Pengambilan sampel dilakukan
dengan sampel tidak acak (nonrandom sampling), yaitu teknik purposive karena
adanya keterbatasan kondisi di lapangan sehingga penulis dengan dibantu
pembimbing lapang memilih responden yang mempunyai waktu dan dapat mudah
untuk diwawancarai atau berinteraksi. Pemilihan responden tersebut merupakan
pihak yang dianggap paling baik dalam memberikan informasi dan dapat
menjelaskan mengenai usahatani caisin. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak
35 orang untuk memenuhi aturan umum secara statistik yaitu ≥ 30 orang karena
sudah terdistribusi normal dan dapat digunakan untuk memprediksi populasi yang
diteliti.

4.4 Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data primer dalam penelitian ini menggunakan metode
observasi (pengamatan langsung) untuk mengamati proses terjadinya beberapa
kegiatan budidaya yang berlangsung dilokasi penelitian, metode kuesioner
(angket) yang akan diisi langsung oleh peneliti sesuai dengan hasil wawancara
diperoleh dari responden, dan wawancara mendalam untuk memperoleh informasi
lain yang dibutuhkan diluar pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Sedangkan
pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini diantaranya dengan berkunjung
langsung ke instansi dan dinas terkait kemudian melakukan wawancara kepada
pihak-pihak yang memiliki informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.

32
4.5 Metode Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif.
Analisis kualitatif dilakukan melalui pendekatan deskriptif untuk melihat
keragaan dan gambaran usahatani caisin di daerah penelitian dan untuk
mendukung data kuantitatif. Sementara itu, data mengenai input dan output
usahatani caisin dianalisis secara kuantitatif dengan model GARCH (1,1) yang
dilakukan dengan bantuan alat aplikasi, yakni Eviews 6. Sedangkan, analisis
pendapatan usahatani dilakukan dengan bantuan alat aplikasi komputer, yakni
Microsoft Excel.

4.5.1 Model GARCH (1,1)


Pengukuran risiko produksi dalam penelitian ini menggunakan nilai
variance error produksi. Salah satu model yang digunakan untuk mengetahui
variance error tersebut adalah model GARCH (1,1). Risiko produksi diperoleh
dengan melakukan pendugaan terhadap fungsi produksi dan fungsi variance error
produksi. Adapun fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb-
Douglas dalam bentuk logaritma natural (Ln).
Produktivitas caisin dipengaruhi oleh beberapa faktor produksi, yaitu
benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pestisida padat, pestisida cair, pupuk
daun, dan tenaga kerja. Sedangkan variance error produktivitas caisin
dipengaruhi oleh error kuadrat dan variance error produktivitas musim
sebelumnya, benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pestisida padat, pestisida
cair, pupuk daun, dan tenaga kerja. Penelitian ini menggunakan data cross section,
yaitu petani responden dan data time series, yaitu periode waktu dua musim tanam
atau dengan kata lain kedua data ini disebut sebagai data panel. Model GARCH
digunakan karena adanya variasi baik diantara musim tanam maupun diantara
petani responden. Adapun persamaan fungsi produksi dan fungsi variance error
produksi adalah sebagai berikut :

LnYit = β0 + β1LnX1it + β2LnX2it + β3LnX3it + β4LnX4it + β5LnX5it +


β6LnX6it + β 7LnX7it + β8LnX8it + ε
Lnσ2yit = θ0 + θ1ε2it-1+ θ2Ln σ2yit-1 + θ3LnX1it-1 + θ4LnX2it-1 + θ5LnX3it-1 +
θ6LnX4it-1 +θ7LnX5it-1 + θ8LnX 6it-1 + θ9LnX7it-1 + θ10LnX8it-1 + ε

33
Tanda dan besaran parameter yang diharapkan berdasarkan teori Just dan Pope
adalah sebagai berikut (Robison dan Barry 1987) :
β1, β2, β3, β4, β5, β6, β7, β8, θ1, θ2, θ3, θ4, θ5, θ6, θ9, θ10 > 0 ; θ7, θ8 < 0
dimana :
Y = Produktivitas caisin (kg/ha)
X1 = Jumlah benih per periode tanam (kg/ha)
X2 = Jumlah pupuk kandang per periode tanam (kg/ha)
X3 = Jumlah kapur per periode tanam (kg/ha)
X4 = Jumlah pupuk urea per periode tanam (kg/ha)
X5 = Jumlah pestisida cair per periode tanam (liter/ha)
X6 = Jumlah pestisida padat per periode tanam (kg/ha)
X7 = Jumlah pupuk daun per periode tanam (kg/ha)
X8 = Jumlah tenaga kerja per periode tanam (HOK/ha)
σ2 y = Variance error produktivitas caisin
ε = Error
t = Musim (1=musim kemarau, 2=musim hujan)
i = Petani Responden (i = 1, 2, 3, ......, 35)
β0, θ0 = Intercept
β1,β2,…,β8 = Koefisien parameter dugaan X1, X2,...,X8
θ3,θ4,…,θ10 = Koefisien parameter dugaan X1, X2,...,X8

4.5.2 Pengujian Hipotesa


Pengujian hipotesa yang dilakukan adalah untuk melihat sifat kebaikan
dan tingkat kesesuaian model dalam memprediksi variabel dependent maka
dilakukan evaluasi model dugaan. Evaluasi model dugaan yang dilakukan, yaitu
koefisien determinasi (R2) dan uji signifikansi model dugaan.
a. Koefisien determinasi (R2)
Untuk memperkuat pengujian, baik fungsi produksi rata-rata maupun
fungsi produksi variance maka dihitung besarnya koefisien determinasi (R2).
Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur goodness of fit model
dugaan dan untuk mengetahui berapa jauh keragaman produksi dapat diterangkan
oleh variabel penjelas yang telah dipilih. Nilai R2 maksimal bernilai 1 minimal
bernilai 0. nilai R2 mengukur besarnya keragaman total data yang dapat dijelaskan
oleh model, sisanya (1- R2) dijelaskan oleh komponen error atau faktor-faktor lain
di luar model. semakin tinggi nilai R2 berarti model dugaan yang diperoleh
semakin akurat untuk meramalkan variabel dependent. Menurut Gujarati (1993)
rumus dari koefisien determinasi adalah sebagai berikut :

34
Σ(Ŷ - Ῡ )2
R2 =
Σ(Y - Ῡ )2

dimana :
Σ(Ŷ - Ῡ )2 = Jumlah kuadrat regresi (SSregression)
Σ(Y - Ῡ )2 = Jumlah kuadrat total (SStotal)

b. Uji signifikansi model dugaan


Pemeriksaan akurasi model dugaan, disamping menggunakan ukuran
deskriptif melalui tersebut, juga dibutuhkan pemeriksaan melalui inferensia
statistika, yakni melalui uji signifikansi model dugaan. Uji signifikansi model
dugaan dilakukan untuk mengetahui apakah faktor-faktor produksi yang
digunakan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produktivitas caisin.
1) Pengujian untuk fungsi produksi rata-rata
Hipotesis :
H0 : βi = 0 ; i = 1,2,3,4,…,8
H1 : salah satu dari β ada ≠ 0
2) Pengujian untuk fungsi produksi variance
Hipotesis :
H0 : θi = 0 ; i = 3,4,5,…,10
H1 : salah satu dari θ ada ≠ 0
Untuk pengujian kedua fungsi produksi diatas maka uji statistik yang digunakan
adalah uji F (Gujarati 1993) :

R 2 (k 1)
F hitung
(1 R 2 ) (n k )

dimana :
R2 = Koefisien determinasi
k = Jumlah variabel (termasuk intercept)
n = Jumlah responden
Kriteria uji :
F-hitung > F-tabel (k, n-k-1) pada taraf nyata α : tolak H0
F-hitung < F-tabel (k, n-k-1) pada taraf nyata α : terima H0

35
Apabila tidak menggunakan tabel, maka dapat dilihat dari nilai P, dengan kriteria
sebagai berikut :
P < , maka tolak H0
P > , maka terima H0

4.5.3 Analisis Pendapatan Usahatani Caisin


1) Penerimaan Usahatani Caisin
Analisis penerimaan dapat dihitung dari perkalian antara jumlah total hasil
produksi dan harga jual per satuan caisin. Analisis penerimaan usahatani
merupakan penerimaan petani sebelum dikurangi biaya-biaya usahatani. Analisis
penerimaan terdiri dari analisis penerimaan tunai, penerimaan tidak tunai (yang
diperhitungkan), dan penerimaan total. Penerimaan tunai usahatani diperoleh dari
nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani, sedangkan penerimaan
tidak tunai adalah produk hasil usahatani yang tidak dijual secara tunai, melainkan
digunakan untuk konsumsi sendiri. Penerimaan total adalah penjumlahan antara
penerimaan tunai dengan penerimaan tidak tunai.

2) Biaya Usahatani Caisin


Biaya total dalam usahatani caisin terdiri dari biaya tunai dan biaya yang
diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dibayar dengan uang, seperti biaya
sarana-sarana produksi yang digunakan untuk usahatani caisin, sedangkan biaya
yang diperhitungkan adalah untuk menghitung berapa besarnya pendapatan kerja
petani dan modal. Komponen biaya tunai seperti, benih, pupuk kandang, kapur,
pupuk urea, pestisida cair, pestisida padat, pupuk daun, dan tenaga kerja luar
keluarga, sedangkan komponen biaya diperhitungkan seperti, sewa lahan milik
sendiri (ha), sewa lahan bagi hasil dan penggarap, dan penyusutan peralatan.
Komponen-komponen perhitungan biaya secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6.

3) Pendapatan Usahatani Caisin


Analisis pendapatan merupakan hasil pengurangan antara total penerimaan
dan total biaya usahatani yang dikeluarkan. Total penerimaan diperoleh dari
perkalian antara hasil produksi (output) dengan harga jual per satuan, sedangkan
total biaya usahatani merupakan penjumlahan antara biaya tunai dengan biaya
diperhitungkan. Pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan atas biaya tunai dan

36
pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai adalah selisih antara
penerimaan tunai dengan biaya tunai. Sementara itu, pendapatan atas biaya total
adalah selisih antara penerimaan total dengan biaya total.
Analisis pendapatan usahatani caisin perlu dilakukan oleh petani
responden untuk mengetahui seberapa besar pendapatan yang diperoleh dari
usahatani caisin dan mengetahui keuntungan dari kegiatan usahatani yang
diusahakan. Secara rinci, komponen pendapatan usahatani caisin dapat dilihat
pada Tabel 6.

Tabel 6. Komponen Pendapatan Usahatani Caisin


No Keterangan Componen
A Penerimaan tunai Harga x Hasil panen yang dijual (Kg)
B Penerimaan yang Harga x Hasil panen yang dikonsumsi
diperhitungkan (Kg)
C Total Penerimaan A+B
D Biaya tunai a. Biaya sarana produksi : benih, pupuk
kandang, kapur, pupuk urea, pestisida
cair, pestisida padat, pupuk daun.
b. Biaya tenaga kerja luar keluarga
(TKLK)
c. Pajak
E Biaya yang diperhitungkan a. Biaya tenaga kerja dalam keluarga
(TKDK)
b. Penyusutan peralatan
c. Lahan milik sendiri (sewa)
F Total Biaya D+E
G Pendapatan atas biaya tunai A–D
H Pendapatan atas biaya total C–F

Dalam analisis pendapatan usahatani perlu diperhitungkan biaya


penyusutan dari peralatan pertanian yang digunakan dalam kegiatan usahatani
tersebut. Biaya penyusutan peralatan pertanian diperhitungkan dengan
menggunakan metode garis lurus, yaitu membagi selisih antara nilai pembelian
dengan nilai sisa kemudian dibagi dengan umur ekonomis barang tersebut.
Terdapat asumsi nilai sisa bernilai nol (tidak ada) karena barang habis dipakai
hingga umur ekonomisnya berakhir. Biaya penyusutan dapat dirumuskan sebagai
berikut (Soekartawi et.al. 1986) :

37
Nb – Ns
Biaya Penyusutan =
n

dimana :
Nb = Nilai pembelian (Rp)
Ns = Nilai sisa (Rp)
n = Umur ekonomis (tahun)

4.5.4 Hipotesis
1. Hipotesis fungsi produksi rata-rata
Hipotesis yang digunakan sebagai dasar pertimbangan adalah bahwa
semua faktor produksi berpengaruh positif terhadap rata-rata hasil produksi caisin.
Adapun penjelasan hipotesis tersebut adalah :
a. Benih (X1)
β1 > 0 artinya semakin banyak benih yang digunakan dalam proses produksi
maka produktivitas caisin semakin meningkat.
b. Pupuk kandang (X2)
β2 > 0 artinya semakin banyak pupuk kandang yang digunakan dalam proses
produksi maka produktivitas caisin semakin meningkat..
c. Kapur (X3)
β3 > 0 artinya semakin banyak kapur yang digunakan dalam proses produksi
maka produktivitas caisin semakin meningkat.
d. Pupuk urea (X4)
β4 > 0 artinya semakin banyak pupuk urea yang digunakan dalam proses
produksi maka produktivitas caisin semakin meningkat.
e. Pestisida cair (X5)
β5 > 0 artinya semakin banyak pestisida cair yang digunakan dalam proses
produksi maka produktivitas caisin semakin meningkat.
f. Pestisida padat (X6)
β6 > 0 artinya semakin banyak pestisida padat yang digunakan dalam proses
produksi maka produktivitas caisin semakin meningkat.
g. Pupuk daun (X7)
β7 > 0 artinya semakin banyak pupuk daun yang digunakan dalam proses
produksi maka produktivitas caisin semakin meningkat.

38
h. Tenaga kerja (X8)
β8 > 0 artinya semakin banyak tenaga kerja yang digunakan dalam proses
produksi maka produktivitas caisin semakin meningkat.

2. Hipotesis fungsi produksi variance


Hipotesis yang digunakan sebagai dasar pertimbangan adalah bahwa tidak
semua faktor produksi berpengaruh positif terhadap variasi hasil produksi caisin.
Sesuai tanda dan besaran parameter yang diharapkan didasarkan pada teori Just
dan Pope (Robison dan Barry 1987). Adapun penjelasan hipotesis tersebut
adalah :
a. Benih (X1)
θ3 > 0 artinya semakin banyak benih yang digunakan dalam proses produksi
maka variasi produktivitas caisin semakin meningkat, sehingga benih sebagai
faktor yang menimbulkan risiko (risk inducing factors).
b. Pupuk kandang (X2)
θ4 > 0 artinya semakin banyak pupuk kandang yang digunakan dalam proses
produksi maka variasi produktivitas caisin semakin meningkat, sehingga
pupuk kandang sebagai faktor yang menimbulkan risiko (risk inducing
factors).
c. Kapur (X3)
θ5 > 0 artinya semakin banyak kapur yang digunakan dalam proses produksi
maka variasi produktivitas caisin semakin meningkat, sehingga kapur sebagai
faktor yang menimbulkan risiko (risk inducing factors).
d. Pupuk urea (X4)
θ6 > 0 artinya semakin banyak pupuk urea yang digunakan dalam proses
produksi maka variasi produktivitas caisin semakin meningkat, sehingga
pupuk urea sebagai faktor yang menimbulkan risiko (risk inducing factors).
e. Pestisida cair (X5)
θ7 < 0 artinya semakin banyak pestisida cair yang digunakan dalam proses
produksi maka variasi produktivitas caisin semakin menurun, sehingga
pestisida cair sebagai faktor pengurang risiko (risk reducing factors).

39
f. Pestisida padat (X6)
θ8 < 0 artinya semakin banyak pestisida padat yang digunakan dalam proses
produksi maka variasi produktivitas caisin semakin menurun, sehingga
pestisida padat sebagai faktor pengurang risiko (risk reducing factors).
g. Pupuk daun (X7)
θ9 > 0 artinya semakin banyak pupuk daun yang digunakan dalam proses
produksi maka variasi produktivitas caisin semakin meningkat, sehingga
pupuk daun sebagai faktor yang menimbulkan risiko (risk inducing factors).
h. Tenaga kerja (X8)
θ10 > 0 artinya semakin banyak tenaga kerja yang digunakan dalam proses
produksi maka variasi produktivitas caisin semakin meningkat, sehingga
tenaga kerja sebagai faktor yang menimbulkan risiko (risk inducing factors).

4.6 Definisi Operasional


1. Produktivitas (Y) adalah jumlah total panen caisin segar yang diukur dalam
satuan kilogram per periode tanam per hektar.
2. Benih (X1) adalah jumlah benih caisin yang digunakan untuk memproduksi
caisin yang diukur dalam satuan kilogram per periode tanam.
3. Pupuk kandang (X2) adalah jumlah pupuk yang berasal dari kotoran hewan
yang digunakan dalam persiapan lahan yang berguna untuk untuk
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi pada tanah. Pupuk kandang
digunakan dalam satuan kilogram per periode tanam.
4. Kapur (X3) adalah jumlah kapur yang digunakan dalam persiapan lahan yang
berguna untuk menaikkan pH tanah agar lebih subur dan gembur. Kapur
digunakan dalam satuan kilogram per periode tanam.
5. Pupuk urea (X4) adalah jumlah pupuk kimia yang digunakan dalam persiapan
lahan dan pemeliharaan yang dibutuhkan pada pertumbuhan awal tanaman
untuk mengembalikan unsur hara Nitrogen. Pupuk kimia ini digunakan dalam
satuan kilogram per periode tanam.
6. Pestisida cair (X5) adalah jumlah obat yang berjenis insektisida yang
berbentuk cair untuk memberantas hama dan penyakit tanaman caisin yang
digunakan dalam satuan liter per periode tanam

40
7. Pestisida padat (X6) adalah jumlah obat yang berjenis fungisida dan
insektisida yang berbentuk padat (bubuk) untuk mencegah hama dan penyakit
tanaman caisin yang digunakan dalam satuan kilogram per periode tanam.
8. Pupuk daun (X7) adalah jumlah pupuk yang berbentuk padat (bubuk) yang
digunakan untuk menambah dan menyegarkan warna hijau daun caisin serta
berfungsi sebagai vitamin yang baik bagi pertumbuahn caisin yang di ukur
dalam satuan kilogram per periode tanam.
9. Tenaga kerja (X8) adalah jumlah orang yang digunakan dalam proses
budidaya caisin, mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan,
hingga pemanenan, yang diukur dalam satuan hari orang kerja (HOK) per
periode tanam.
10. Biaya total adalah jumlah biaya yang dikeluarkan selama proses produksi,
yang meliputi biaya tunai dan biaya yang duperhitungkan dan diukur dalam
satuan rupiah (Rp).
11. Biaya tunai adalah besaran nilai uang tunai yang dikeluarkan petani dan
diukur dalam satuan rupiah (Rp).
12. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya faktor produksi milik sendiri yang
digunakan dalam usahatani. Biaya ini tidak dibayarkan secara tunai hanya
tetap diperhitungkan dalam analisis pendapatan usahatani untuk melihat
pendapatan petani bila faktor produksi milik sendiri tersebut dibayar dan
biaya ini dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp).
13. Biaya penyusutan adalah biaya yang dikeluarkan karena adanya penyusutan
alat-alat pertanian yang dihitung dengan metode garis lurus dan diperoleh dari
nilai pembelian dibagi umur ekonomis peralatan dan dihitung dalam satuan
rupiah (Rp).
14. Harga produk adalah harga jual rata-rata caisin yang diterima petani dan
diukur dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg).
15. Harga input adalah harga rata-rata dari setiap faktor produksi yang digunakan
petani. Input-input tersebut antara lain, benih, pupuk kandang, kapur, pupuk
urea, pupuk daun, pestisida padat (Rp/kg) dan pestisida cair (Rp/liter).
16. Penerimaan tunai adalah nilai produksi caisin yang dijual petani responden
dikalikan dengan harga jual caisin dan dihitung dalam satuan rupiah (Rp).

41
17. Penerimaan yang diperhitungkan adalah nilai produksi caisin yang digunakan
petani responden tetapi tidak dijual dikalikan dengan harga jual caisin dan
dihitung dalam satuan rupiah (Rp).
18. Pendapatan atas biaya tunai adalah selisih antara penerimaan tunai dan biaya
tunai usahatani caisin dalam satuan rupiah (Rp).
19. Pendapatan atas biaya total adalah selisih antara penerimaan total dan biaya
total usahatani caisin dalam satuan rupiah (Rp).

42
V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Desa Citapen

5.1.1 Letak Geografis dan Pembagian Administratif


Desa Citapen merupakan satu diantara 13 desa yang ada di Kecamatan
Ciawi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini terletak kurang lebih 2
Km dari pusat Kecamatan Ciawi, 30 Km dari Ibukota Kabupaten/Kota Bogor, dan
120 Km dari Ibukota Provinsi Jawa Barat. Desa Citapen memiliki batas wilayah
sebagai berikut (Desa Citapen 2010) :
Sebelah Utara : Desa Banjarsari
Sebelah Selatan : Desa Cileungsi
Sebelah Barat : Desa Cideurum
Sebelah Timur : Desa Cibedug
Secara topografi Desa Citapen termasuk daerah yang berbukit-bukit
dengan ketinggian 600 meter diatas permukaan laut dan tingkat kemiringan tanah
30 derajat. Suhu rata-rata harian di daerah ini 30oC dengan curah hujan sebesar
291,66 mm, dan jumlah bulan hujan selama enam bulan. Luas wilayah Desa
Citapen, yaitu 268,66 hektar, yang terdiri atas pemukiman, persawahan, kuburan,
pekarangan, perkantoran, dan prasarana umum lainnya. Secara rinci luas wilayah
Desa Citapen yang dilihat menurut penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Luas Wilayah Menurut Penggunaannya di Desa Citapen Tahun 2010


No Jenis Penggunaan Luas (Ha) Persentase (%)
1 Pemukiman 110,37 41,08

2 Persawahan/Pertanian 140,00 52,11


3 Kuburan 4,50 1,67
4 Pekarangan 10,15 3,78

5 Perkantoran 0,04 0,02


6 Prasarana umum lainnya 3,60 1,34
Jumlah Total 268,66 100,00

Sumber : Desa Citapen (2010)

43
Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar luas wilayah
Desa Citapen digunakan untuk lahan persawahan atau pertanian, yaitu sebesar 140
hektar atau mencapai 52,11 persen dari total luas wilayah Desa Citapen. Besarnya
luas penggunaan ini menunjukkan bahwa daerah ini sangat potensial untuk lahan
pertanian, baik itu tanaman pangan maupun hortikultura.

5.1.2 Kependudukan dan Keadaan Sosial Ekonomi


Desa Citapen terdiri dari dua dusun, 26 RT, dan 7 RW dimana terdapat
2.173 kepala keluarga (KK) dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 338
jiwa/km2. Penduduk Desa Citapen berjumlah 8.894 jiwa, yang terdiri dari laki-laki
sebanyak 4.637 jiwa dan perempuan sebanyak 4.257 jiwa.
Mayoritas penduduk Desa Citapen menganut agama Islam dan merupakan
penduduk asli daerah dengan suku sunda. Keadaan umum tingkat pendidikan di
Desa Citapen hingga tahun 2010 adalah sebanyak 2.650 penduduk Desa Citapen
telah tamat dari bangku pendidikan (Tabel 8). Kualitas pendidikan di Desa
Citapen terus berkembang untuk memperoleh kualitas sumberdaya manusia yang
baik.

Tabel 8. Tingkat Pendidikan Warga Desa Citapen Tahun 2010


No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)
1 SD/sederajat 1.312 49,51
2 SLTP/sederajat 783 29,55
3 SLTA/sederajat 493 18,60
4 D-1/D-2/D-3 29 1,09
5 S-1/S-2/S-3 33 1,25
Jumlah Total 2.650 100,00

Sumber : Desa Citapen (2010)

Hingga tahun 2010 jumlah penduduk usia 18-56 tahun yang sedang
bekerja sebanyak 2.324 orang sedangkan jumlah penduduk pada usia tersebut
yang belum bekerja sejumlah 1.459 orang. Untuk kualitas tenaga kerja tersebut
bahwa sebagian besar penduduk yang sudah bekerja merupakan tamatan SD, yaitu
sebanyak 1.899 orang. Sisanya merupakan tamatan SMP, SMA, Perguruan
Tinggi, dan yang tidak tamat SD (Desa Citapen 2010)

44
Mata pencaharian pokok yang dilakukan oleh penduduk Desa Citapen
antara lain petani, buruh tani, buruh, pegawai negeri sipil (PNS), pegawai swasta,
pedagang, peternak, tukang kayu, tukang batu, dokter, guru, TNI/POLRI, dan
mata pencaharian lainnya. Pada Tabel 9 berikut ditunjukkan mata pencaharian
pokok yang terdapat di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi pada tahun 2010.

Tabel 9. Mata Pencaharian Pokok Warga Desa Citapen Tahun 2010


No Jenis Pekerjaan Jumlah (Orang) Persentase (%)
1 Petani 710 19,81
2 Buruh tani (Petani Penggarap) 1.950 54,42
3 Buruh Swasta 250 6,98
4 Pegawai Swasta 25 0,70
5 Pegawai Negeri Sipil 76 2,12
6 Pengrajin/Penjahit/Jasa 7 0,20
7 Pedagang Kecil 76 2,12
8 Peternak 8 0,22
9 TNI/POLRI 2 0,05
10 Tukang Kayu 50 1,40
11 Tukang Batu 25 0,70
12 Guru Swasta 7 0,20
13 Buruh Industri Kerajinan 320 8,93
14 Pensiunan PNS 20 0,55
15 Dokter/Bidan/Dukun Bersalin 7 0,20
16 Supir 50 1,40
Jumlah Total 3.583 100,00

Sumber : Desa Citapen (2010)

Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Desa Citapen


memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Kedua profesi tersebut
banyak dilakoni masyarakat mengingat sebagian besar luas wilayah merupakan
lahan pertanian, dimana sektor pertanian khususnya komoditas hortikultura dan
tanaman pangan menjadi salah satu penopang kehidupan penduduk Desa Citapen.
Terkait dengan mata pencaharian atau pekerjaan maka jumlah pendapatan
per kepala keluarga adalah sebesar Rp 550.000,- sedangkan jumlah pendapatan

45
dari anggota keluarga yang bekerja adalah sebesar Rp 400.000,-. Jadi, total
pendapatan per keluarga adalah sebesar Rp 950.000,-, dimana rata-rata
pendapatan per anggota keluarga adalah sebesar Rp 350.000,-.

5.1.3 Sarana dan Prasarana


Perubahan cukup pesat telah dialami oleh Desa Citapen seiring dengan
semakin majunya pembangunan dan introduksi berbagai teknologi serta informasi.
Perubahan fisik yang terjadi di Desa Citapen adalah suatu hal yang wajar
sebagaimana yang terjadi di desa desa lainnya terutama di Pulau Jawa. Sarana
yang ada di Desa Citapen, diantaranya berupa sarana pendidikan, sarana
kesehatan, sarana keagamaan, sarana pemerintahan, sarana dan prasarana
transportasi serta air bersih.
Untuk sarana pendidikan baik formal maupun informal, yaitu sekolah Play
Group/TK/PAUD sebanyak empat sekolah dan SD sebanyak dua sekolah. Sarana
kesehatan terdiri dari 10 unit posyandu, satu klinik, dan tersedia dua dokter
umum. Kemudian untuk sarana dan prasarana transportasi terdapat satu terminal
angkutan pedesaan dan beberapa pangkalan ojek. Untuk mendukung kesehatan
dan kehidupan warga desa akan kebutuhan air bersih sudah terdapat 200 unit
sumur galian, 300 unit PAM, 42 unit sumur pompa, dan 4 buah mata air. Selain
itu, Desa Citapen juga menyediakan prasarana keagamaan seperti masjid/mushola
umum dan prasarana pemerintahan seperti gedung kantor desa dan inventaris-
inventaris kantor (Desa Citapen 2010).
Semakin terbukanya akses, baik berupa transportasi dan komunikasi juga
telah membawa dampak yang baik bagi kehidupan sosial pedesaan. Untuk menuju
Desa Citapen kini dapat dengan mudah dicapai dengan jalanan yang telah diaspal
dan banyaknya angkutan umum yang telah beroperasi. Selain itu, untuk
komunikasi dan informasi sudah terdapat prasarana wartel, warnet, dan surat
kabar seperti koran dan majalah. Sanitasi lingkungan Desa Citapen juga terjaga
dengan dibangunnya saluran drainase/saluran pembuangan air limbah dan
tersedianya lima unit MCK umum.

46
5.1.4 Keadaan Umum Pertanian Desa Citapen
Desa Citapen merupakan desa yang tergolong subur dimana sebesar 140
hektar atau mencapai 52,11 persen dari total luas wilayah Desa Citapen
merupakan lahan persawahan atau pertanian yang digunakan untuk bertani
tanaman pangan khususnya padi dan bertani tanaman hortikultura khususnya
sayur-sayuran. Kemajuan Desa Citapen pada sektor pertanian dapat dilihat dari
status kegiatan pertanian di Desa Citapen yang tidak lagi bersifat pertanian
subsisten tetapi sistem pertanian saat ini telah bersifat komersial atau dengan kata
lain telah menerapkan prinsip agribisnis. Besarnya potensi usaha pertanian di desa
ini juga didukung oleh kondisi alam yang sesuai untuk lahan pertanian khususnya
untuk tempat tumbuh berbagai jenis sayuran. Komoditas sayuran sebagai
komoditas utama yang bersifat komersial karena telah mendatangkan keuntungan
dan pendapatan bagi perekonomian masyarakat desa.
Desa Citapen telah mampu mengusahakan tanaman pangan, yaitu padi,
jagung, kacang merah, kacang tanah, talas, ubi kayu, dan ubi jalar. Sedangkan
komoditas sayuran yang sudah dihasilkan adalah cabe, tomat, sawi (caisin),
mentimun, buncis, terong, dan wortel. Luas penggunaan lahan untuk komoditas-
komoditas tanaman pangan dan sayuran dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Luas Penggunaan Lahan dan Produksi Komoditas Tanaman Pangan
dan Sayuran di Desa Citapen Tahun 2010
Produktivitas
No Jenis Komoditas Produksi (Ton) Luas Lahan (Ha) (Ton/Ha)
1 Padi Sawah 1.430 220 6,5
2 Jagung 252 21 12,0
3 Ubi Kayu 45 3 15,0
4 Uni Jalar 39 3 13,0
5 Kacang Tanah 12 3 4,0
6 Kacang Merah 315 9 35,0
7 Cabe 5 5 1,0
8 Tomat 48 8 6,0
9 Sawi 105 21 5,0
10 Mentimun 314 10 31,4

Sumber : Desa Citapen (2010)

47
Mengenai kepemilikan lahan untuk tanaman pangan dan sayur-sayuran,
yaitu masyarakat yang memiliki lahan pertanian kurang dari satu hektar adalah
sebanyak 2.739 keluarga petani dan sebanyak 183 keluarga petani memiliki satu
hingga lima hektar lahan pertanian. Mengenai sarana yang mendukung usaha
pertanian seperti tersedianya prasarana irigasi dengan panjang saluran primer
10.000 meter dengan jumlah pintu pembagi air sebanyak dua unit.
Kegiatan pertanian di Desa Citapen sudah terintegrasi cukup baik, dimana
kegiatan usahatani tersebut menerapkan pola tanam yang baik atau rotasi tanaman
antara komoditas tanaman pangan dengan komoditas sayuran sehingga keduanya
dapat ditanam setiap tahun secara bergantian dan disesuaikan dengan keadaan
cuaca yang ada. Selain itu, umumnya para petani di Desa Citapen menerapkan
teknik polikultur dengan memanfaatkan lahan secara maksimal dengan
mengusahakan beberapa jenis komoditas di lahan dan waktu yang bersamaan.
Permasalahan di sektor pertanian pada umumnya adalah adanya hama dan
penyakit yang seringkali menyerang dan menyebabkan kerusakan pada tanaman
khususnya pada komoditas sayuran, sehingga menimbulkan kerugian bagi para
petani. Selain itu, kurangnya permodalan usaha juga merupakan salah satu
permasalahan yang seringkali dihadapi petani. Namun, saat ini permasalahan
tersebut sudah dapat ditanggulangi dengan adanya kelembagaan, seperti Gapoktan
(Gabungan Kelompok Tani) Rukun Tani. Gapoktan Rukun Tani sudah terbentuk
sejak tahun 2001. Pada tanggal 29 Juni 2007, Gapoktan Rukun Tani dikukuhkan
menjadi sebuah wadah bagi petani kemudian disahkan sebagai lembaga yang
berbadan hukum pada 26 November 2008.
Gapoktan Rukun Tani merupakan wadah bagi para petani yang menjadi
anggotanya dalam membina, membantu, dan mengembangkan usaha para petani.
Bantuan dari Gapoktan berupa modal usaha bagi petani dalam bentuk saprodi
yang nantinya akan dibayarkan petani saat panen, dimana hasil panen dikirim ke
Gapoktan untuk dipasarkan ke pasar tradisional. Bantuan dari Gapoktan
merupakan bantuan dari pemerintah berupa bantuan Pengembangan Usaha
Agribisnis Pedesaan (PUAP), yang disalurkan melalui Gapoktan untuk membantu
para petani. Jadi, selain kemudahan permodalan, petani juga mendapat
kemudahan pemasaran. Petani telah mempunyai tempat pemasaran yang pasti.

48
Selain bantuan modal, petani juga mendapat pembinaan dari Gapoktan berupa
penyediaan dan pertukaran informasi antara pihak pemerintah, Gapoktan, dan
petani mengenai bidang usaha pertanian. Petani diajarkan tentang budidaya
tanaman pangan dan sayuran dengan mengikuti Standar Operasional Prosedur
budidaya yang baik dan benar. Dalam bidang pertanian selain komoditas tanaman
pangan dan hortikultura, Gapoktan Rukun Tani juga mengelola komoditas
peternakan.

5.2 Gambaran Umum Kelompok Tani Pondok Menteng


Kelompok Tani (Poktan) Pondok Menteng adalah kelompok tani yang
bergerak dibidang usaha pertanian yang mengusahakan komoditas padi, palawija,
dan hortikultura, khususnya sayur-sayuran. Awal mula terbentuknya Poktan ini
adalah adanya gagasan dan pemikiran dari H. Misbah yang hingga kini menjadi
Ketua Poktan Pondok Menteng untuk membentuk suatu kelompok yang memiliki
tujuan yang sama dalam bidang petanian sayuran dan tanaman pangan, yaitu agar
dapat berbagi informasi dan mengembangkan usaha bersama. Poktan ini sudah
terbentuk sejak tahun 2001 di wilayah Desa Citapen, namun baru dikukuhkan
pada tahun 2007 atas kesepakatan anggota dan pengurus bersama. Selain itu,
pengukuhan ini juga telah diketahui oleh Kepala UPTD Penyuluhan Pertanian dan
Kehutanan Wilayah Ciawi, Kepala Kecamatan Ciawi, dan Kepala Dinas Pertanian
dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Pada tahun 2008 Kelompok ini resmi terdaftar
menjadi salah satu Kelompok Tani di Gapoktan Rukun Tani dan telah diakui oleh
pemerintah, yaitu oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor.
Sekretariat Poktan Pondok Menteng beralamat di Kampung Pondok
Menteng RT 03/02, Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Provinsi
Jawa Barat. Anggota Poktan Pondok Menteng saat ini bukan hanya para petani
sayuran dan tanaman pangan tetapi juga para peternak, dan pengusaha olahan
makanan. Hingga tahun 2011 ini jumlah anggota Poktan Pondok Menteng adalah
sebanyak 104 anggota, dimana ± 50 persen dari total tersebut merupakan petani
sayuran dan tanaman pangan. Anggota Poktan ini bukan hanya para warga Desa
Citapen tetapi warga desa lain yang memilih untuk bergabung di Poktan ini,
seperti Desa Cileungsi dan Desa Cibedug.

49
Berdasarkan kelas kemampuannya Poktan Pondok Menteng termasuk ke
dalam kelompok tani tingkat lanjut dan sudah terdaftar di Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Bogor. Poktan Pondok Menteng sudah beberapa kali
menerima bantuan dari pemerintah yang disalurkan melalui Gapoktan Rukun
Tani, seperti bantuan Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan
(PUAP), dimana bantuan untuk para petani sayuran dan tanaman pangan berupa
penyediaan saprodi dengan harga lebih murah daripada di pasaran dan dapat
dibayarakan setelah hasil panen terjual. Selain itu, untuk upaya peningkatan
pendapatan petani, Poktan Pondok Menteng juga pernah ikut serta dalam kegiatan
pengembangan usaha agribisnis hortikultura, tanaman pangan, dan peternakan
terpadu melalui pemanfaatan dana Counterpart Fund Second Kennedy Round
(CF-SKR) pada tahun 2008.
Selain menerima bantuan-bantuan tersebut, Poktan Pondok Menteng juga
sering menerima kunjungan dari luar kota maupun luar negeri, baik dalam rangka
studi banding ataupun hanya sekedar belajar dan penelitian. Poktan Pondok
Menteng sebagai salah satu kelompok tani di Gapoktan Rukun Tani sudah dapat
menunjukkan eksistensinya dengan terus berjalannya kelompok tani ini hingga
saat ini. Sehingga Poktan Pondok Menteng bukan hanya sekedar nama tetapi
merupakan wadah bagi pengembangan usaha para petani pedesaan.

5.3 Karakteristik Petani Responden


Responden dalam penelitian ini adalah petani yang mengusahakan caisin dan
tergabung dalam Kelompok Tani Pondok Menteng. Beberapa karakteristik responden
yang dianggap penting meliputi umur, tingkat pendidikan, status usaha, luas lahan
garapan, pengalaman bertani dan status kepemilikan lahan. Karakteristik tersebut
dianggap penting karena mempengaruhi pelaksanaan usahatani caisin terutama dalam
melakukan teknik budidaya caisin yang nantinya akan berpengaruh pada produksi
yang dihasilkan oleh petani tersebut.

5.3.1 Umur
Umur petani responden di daerah penelitian ini berkisar antara 27-65
tahun. Persentase umur tertinggi, yaitu sebesar 51,43 persen berada pada
kelompok umur 30 – 40 tahun yang berjumlah 18 orang. Persentase umur

50
terendah sebesar 5,71 persen berada pada kelompok umur yang kurang dari 30
tahun dan pada kelompok umur yang lebih dari 61 tahun yang berjumlah masing-
masing dua orang. Rincian sebaran umur responden dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Umur di Kelompok Tani


Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011
Kelompok Umur Jumlah Responden Persentase
No (Tahun) (Orang) (%)
1 < 30 2 5,71
2 30 – 40 18 51,43
3 41 – 50 7 20,00
4 51 – 60 6 17,15
5 > 61 2 5,71
Total 35 100,00

Apabila ditinjau berdasarkan umur responden dapat dilihat pada Tabel 11


tersebut bahwa sebagian besar petani responden berada pada usia produktif, yaitu
umur 30-40 tahun. Umumnya, orang-orang yang masih berusia produktif
memiliki semangat yang tinggi untuk mengembangkan usahanya karena pada usia
tersebut terdapat dorongan kebutuhan yang tinggi. Selain itu, petani responden
pada usia produktif tersebut lebih memilih untuk bertani dengan tujuan untuk
mengembangkan sektor pertanian di Desa Citapen dan menjadikan profesi bertani
sebagai pekerjaan utama untuk mencari penghasilan. Untuk responden yang
berusia di atas 41 tahun hingga petani yang telah berusia lanjut (lebih dari 50
tahun) masih tetap berusahatani. Petani responden tersebut menganggap bertani
merupakan mata pencaharian pokok yang telah turun temurun. Termasuk
responden yang berumur dibawah 30 tahun tahun memilih untuk bertani caisin
karena pekerjaan tersebut merupakan profesi turun temurun dari orangtuanya yang
telah mampu mendatangkan penghasilan bagi keluarganya.

5.3.2 Tingkat Pendidikan


Tingkat pendidikan petani yang dijadikan responden akan berpengaruh
pada tingkat penyerapan teknologi dan ilmu pengetahuan. Seluruh responden yang
diwawancarai pernah mengikuti pendidikan formal. Namun tingkat pendidikan

51
yang diikuti oleh petani tersebut masih rendah. Ditinjau dari tingkat pendidikan
yang pernah diikuti oleh responden maka dapat digolongkan atas beberapa
kategori. Berdasarkan tingkat pendidikan yang diperoleh maka proporsi terbesar
adalah petani caisin yang tamat dari Sekolah Dasar (SD), yaitu sebesar 71,43
persen. Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat
dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di


Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011
Jumlah Responden Persentase
No Tingkat Pendidikan
(Orang) (%)
1 Tamat SD/sederajat 25 71,43
2 Tamat SLTP/sederajat 4 11,43
3 Tamat SLTA/sederajat 5 14,28
4 Perguruan Tinggi (D2) 1 2,86
Total 35 100,00

Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa mayoritas petani responden


merupakan tamatan dari SD, hal ini dikarenakan keluarga petani tidak memiliki
banyak biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain
itu, umumnya pada saat masih bersekolah dasar dan berusia diatas delapan tahun,
mereka sudah membantu orangtuanya bertani. Hal ini yang mendorong para
petani tamatan SD untuk tidak melanjutkan pendidikan dan memilih bekerja
membantu orangtua untuk bertani. Jadi, kemampuan petani responden yang
tamatan SD untuk bertani sebagian besar merupakan pengalaman yang telah
dilakukan langsung dilapangan. Berbeda dengan petani responden yang berasal
dari tamatan SLTA dan perguruan tinggi, dimana ilmu usahatani dan manajemen
usahatani tidak hanya berdasarkan pengalaman tetapi juga ilmu pengetahuan yang
diperoleh dibangku pendidikan tersebut.

5.3.3 Status Usaha


Responden dalam penelitian ini adalah petani yang menjadikan bertani
sebagai pekerjaan atau mata pencaharian utama,yaitu sebanyak 31 orang atau
88,57 persen dan sisanya sebanyak tiga orang atau 8,57 persen menjadikan

52
berdagang sebagai pekerjaan utama dan satu orang atau 2,86 persen menjadikan
PNS (Pegawai Negeri Sipil) sebagai pekerjaan utamanya. Adapun mata
pencaharian sampingan yang dimiliki oleh sebagian besar petani responden yang
berprofesi utama sebagai petani adalah berdagang, beternak, tukang ojek,
wirausaha, dan buruh bangunan
Petani responden yang berprofesi sebagai petani tersebut, baik berupa
pekerjaan utama ataupun sampingan dapat dikategorikan lagi ke dalam empat
kategori, yaitu petani pemilik, petani penyewa, petani pengelola, dan petani
penyakap. Pertama, petani pemilik adalah petani yang menggarap lahan miliknya
sendiri, sehingga hasil panen dan biaya usahatani sepenuhnya menjadi
tanggungannya. Kedua, petani penyewa merupakan petani yang menggarap lahan
milik orang lain dengan melakukan sewa lahan milik orang tersebut, dimana harga
sewa tergantung kesepakatan dari kedua belah pihak. Ketiga, petani pengelola
merupakan petani yang menggarap lahan milik orang lain, yaitu lahan milik Pak.
Suharto mantan presiden Indonesia yang mana lahan tersebut adalah lahan di
daerah pegunungan yang tidak dimanfaatkan oleh pemilik. Petani pengelola dapat
menggunakan lahan tersebut secara cuma-cuma tanpa dipungut bayaran sehingga
hanya mengeluarkan biaya usahatani, namun telah mendapat izin yang sah dari
keluarga pemilik dengan tujuan untuk mensejahterahkan warga Desa Citapen.
Keempat, petani penyakap merupakan petani yang menggarap lahan milik orang
lain dengan cara melakukan bagi hasil dari hasil panennya nanti. Besarnya
persentasi bagi hasil atau total penerimaan tersebut adalah sebesar 40 persen untuk
penggarap (petani) dan 60 pesen untuk pemilik lahan.

5.3.4 Pengamalan Bertani


Pengalaman bertani dapat menentukan keberhasilan usahatani caisin dan
juga dapat mempengaruhi tingkat produktivitas usahatani caisin. Petani yang telah
lama bertani umumnya lebih memiliki banyak pengalaman dalam usahatani caisin
sehingga lebih mampu dalam memperoleh produktivitas yang tinggi dibandingkan
petani yang baru bertani dan kurang pengalaman.
Pengalaman petani responden pada usahatani caisin di Poktan Pondok
Menteng berkisar antara 1-41 tahun terakhir. Pada umumya petani responden
melakukan usahatani caisin secara turun temurun, sehingga mempunyai

53
pengalaman yang cukup lama. Persentase terbesar pada pengalaman bertani caisin
antara 1-15 tahun, yaitu sebanyak 22 orang atau 62,86 persen dari total petani
responden. Karakteristik petani responden berdasarkan pengalaman bertani caisin
dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Bertani


Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011
Pengalaman Bertani Jumlah Responden Persentase
No
(Tahun) (Orang) (%)
1 1 – 15 22 62,86
2 16 – 30 8 22,85
3 31 – 45 5 14,29
Total 35 100,00

5.3.5 Luas Lahan Usahatani Caisin


Petani responden di Kelompok Tani Pondok Menteng memiliki luas total
lahan yang diusahakan untuk bertani cukup beragam, yaitu antara 0,06-5,00 hektar
dengan rata-rata luas lahan sebesar 1,57 hektar. Adapun luas lahan yang pernah
diusahakan untuk bertani caisin, yaitu antara 0,02-1,50 hektar dengan rata-rata
luas lahan sebesar 0,53 hektar. Persentase tertinggi, yaitu sebesar 68,57 persen
merupakan responden yang telah mengusahakan caisin di lahan seluas kurang dari
0,5 hektar sebanyak 24 orang. Sedangkan persentase terendah adalah petani
responden yang telah mengusahakan caisin dilahan seluas lebih dari satu hektar
sebanyak satu orang. Secara rinci karakteristik petani caisin yang dilihat
berdasarkan luasan lahan garapan dapat dilihat pada Tabel 14.
Luas lahan usahatani caisin juga dapat terkait dengan tanaman utama yang
sering ditanam. Keadaan yang terjadi di lapangan bahwa sebanyak 20 orang atau
sebesar 57,14 persen menjadikan caisin sebagai komoditas utama yang ditanam.
Sedangkan 15 orang lainnya atau sebesar 42,86 persen menjadikan caisin sebagai
komoditas sampingan, sedangkan komoditas utamanya adalah cabai, buncis, padi,
kacang panjang ataupun komoditas lainnya. Petani yang menjadikan caisin
sebagai komoditas utama disebabkan karena biaya usahatani caisin lebih rendah
daripada komoditas lainnya. Selain itu, caisin dapat ditanam secara tumpangsari

54
dimana biaya keuntungan caisin sudah dapat menutupi biaya operasional
komoditas lain yang ditanam secara bersamaan, khususnya biaya operasional
cabai yang tinggi.

Tabel 14. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan Usahatani


Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011
Luas Lahan
Jumlah Responden Persentase
No Usahatani Caisin
(Orang) (%)
(Ha)
1 ≤ 0,5 24 68,57
2 0,51-1,00 10 28,57
3 >1,00 1 2,86
Total 35 100

5.3.6 Status Kepemilikan Lahan


Status kepemilikan lahan petani responden dikategorikan menjadi tiga,
yaitu lahan milik sendiri, lahan bukan milik sendiri, dan lahan campuran, yaitu
dari seluruh total lahan yang diusahakan sebagian milik sendiri dan sebagian lagi
bukan milik sendiri. Jumlah petani responden yang memiliki status lahan milik
sendiri sebanyak 8 orang atau 22,86 persen dari total responden. Status lahan
milik sendiri ini terdiri dari lahan pembelian sendiri ataupun warisan turun
temurun milik keluarga/orangtua. Status lahan bukan milik sendiri, yaitu sebanyak
16 orang atau 45,71 persen dari total responden. Status lahan bukan milik sendiri
ini terdiri dari lahan sewa, bagi hasil, dan pengelola. Kemudian jumlah petani
responden yang memiliki status lahan campuran ada sebanyak 11 orang atau
31,43 persen dari total respoden. Status lahan campuran ini terdiri dari gabungan
antara lahan milik sendiri dan bagi hasil, lahan milik sendiri dan sewa, lahan sewa
dan pengelola, serta lahan sewa dan bagi hasil. Status kepemilikan lahan petani
responden di Kelompok Tani Pondok Menteng dapat dilihat pada Tabel 15.
Berdasarkan Tabel 15 tersebut bahwa petani responden yang menggarap
lahan bukan milik sendiri lebih tinggi daripada yang menggarap lahan milik
sendiri, khususnya penggarapan lahan sewaan paling banyak dilakukan petani
responden, yaitu sebanyak sembilan orang atau sebesar 25,71 persen.

55
Penggarapan lahan bukan milik sendiri ini disebabkan karena sebagian besar
petani responden tersebut tidak mempunyai banyak modal untuk membeli lahan
ataupun tidak memiliki lahan pribadi keluarga. Adapun biaya sewa lahan dari
berbagai kepemilikan tersebut sangat beragam. Harga sewa lahan per hektar per
tahun mulai dari Rp 4.000.000,- hingga Rp 8.000.000,-. Perbedaan harga ini
disesuaikan dengan lokasi lahan dan penentuan harga antara pemilik lahan dengan
petani responden.

Tabel 15. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan


di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011
Jumah Responden
No Status Kepemilikan Lahan Persentase (%)
(orang)
1 Milik Sendiri 8 22,86
Sub Total 8 22,86
2 Bukan Milik Sendiri
a. Sewa 9 25,71
b. Bagi Hasil 3 8,57
c. Pengelola 4 11,43
Sub Total 16 45,71
3 Campuran
a. Milik Sendiri dan Bagi Hasil 2 5,71
b. Milik Sendiri dan Sewa 6 17,15
c. Sewa dan Pengelola 2 5,71
d. Sewa dan Bagi Hasil 1 2,86
Sub Total 11 31,43
Total 35 100

5.3.7 Pola Tanam Usahatani


Terkait dengan pola tanam selama satu tahun pada tahun 2010
menunjukkan bahwa petani responden mengusahakan lahannya dengan pola
tanam yang berbeda-beda tetapi masih tetap menanam komoditas caisin sebagai
salah satu komoditas unggulan. Komoditas caisin yang ditanam oleh petani
responden dapat dilakukan dengan pola tanam monokultur ataupun polikultur
(tumpangsari). Pola tanam monokultur, yaitu menanam satu jenis tanaman pada

56
lahan dan pada waktu yang sama. Petani responden yang menanam secara
monokultur sebanyak 15 orang atau sebanyak 42,86 persen dari total petani
responden. Sedangkan pola tanam polikultur, yaitu menanam lebih dari satu jenis
tanaman pada lahan dan waktu yang sama. Pola tanam polikultur yang biasa
diterapkan adalah sistem tumpangsari dengan komoditas lain, seperti cabai,
buncis, kacang panjang, jagung, ataupun tanaman lainnya. Petani responden yang
menanam secara polikultur sebanyak 20 orang atau sebanyak 57,14 persen dari
total petani responden.
Berdasarkan kategori pola tanam antara polikultur dan monokultur
tersebut dapat diklasifikasikan lagi dalam dua kategori berdasarkan penggunaan
lahan, yaitu penggunaan seluruh total lahan dan penggunaan sebagian dari total
lahan. Klasifikasi petani responden berdasarkan pola tanam dan penggunaan lahan
dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Klasifikasi Petani Responden Berdasarkan Pola Tanam dan


Penggunaan Lahan di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen
Tahun 2011

Penggunaan lahan
Sebagian dari Total Jumlah Total
Klasifikasi Seluruh Total Lahan Lahan
Pola Tanam
Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase
(orang) (%) (orang) (%) (orang) (%)
Monokultur 2 13,33 13 86,67 15 100

Polikultur 6 30 14 70 20 100

Dalam penelitian ini kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 33


orang dari total petani responden telah melakukan diversifikasi cabang usahatani,
dalam arti setiap musim diusahakan lebih dari satu tanaman sayuran, baik itu
secara polikultur (tumpangsari) pada seluruh total lahan yang dimiliki, polikultur
(tumpangsari) pada sebagian dari total lahan yang dimiliki, maupun secara
monokultur pada sebagian dari total lahan yang dimiliki, dimana sisa lahannya
ditanam jenis sayuran lainnya. Salah satu tujuan petani responden melakukan
penanaman dengan komoditas yang berbeda pada persil yang sama maupun pada
persil yang berbeda adalah untuk mengatasi adanya kegagalan, seperti risiko

57
produksi. Selain itu, diversifikasi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
mengurangi ataupun menutupi biaya operasional yang tinggi pada satu jenis
sayuran dengan keuntungan yang diperoleh jenis sayuran lainnya.
Pola tanam yang diterapkan oleh petani responden di Desa Citapen terdiri
dari beberapa jenis pola tanam. Berikut ini dua jenis pola tanam yang umumnya
diterapkan oleh petani responden pada musim tanam tahun 2010. Pertama, pola
tanam secara monokultur yang dilakukan pada lahan seluas satu hektar dari bulan
Januari hingga bulan Desember (Gambar 6).

Luas

1 Ha
Timun Caisin Cabai

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan

Gambar 6. Pola Tanam Monokultur Komoditas Sayuran pada Lahan yang


Diusahakan oleh Petani Responden di Kelompok Tani Pondok
Menteng Desa Citapen Tahun 2010

Gambar 6 menunjukan bahwa pada umumnya komoditas caisin ditanam


pada bulan April hingga Mei. Pada bulan tersebut intensitas hujan masih
tergolong tinggi. Komoditas caisin lebih baik pertumbuhannya pada saat tingkat
hujan relatif lebih tinggi atau lebih sering daripada tingkat kekeringannya. Hal ini
disebabkan tanaman caisin membutuhkan cukup banyak air bagi pertumbuhannya,
meskipun air yang terus menggenang juga tidak akan baik bagi pertumbuhan
caisin. Waktu penanaman komoditas caisin umumnya dilakukan setelah
penanaman komoditas mentimun. Hal ini dikarenakan tanaman mentimun juga
merupakan tanaman musim penghujan yang membutuhkan banyak air bagi
pertumbuhannya.
Penerapan pola tanam yang umum dilakukan oleh petani responden sudah
mengikuti prinsip teknik budidaya tanaman, yaitu lahan yang sudah ditanami satu
jenis tanaman maka untuk musim tanam berikutnya sebaiknya lahan bekas satu
jenis tanaman tersebut tidak boleh ditanami kembali oleh tanaman yang sama

58
ataupun dengan tanaman yang masuk dalam famili yang sama. Hal tersebut
didasarkan pada alasan bahwa lahan yang sudah ditanami oleh tanaman yang
sama atau dalam kelas yang sama secara berturut-turut setiap musim tanam maka
siklus hidup hama dan penyakit tidak akan terputus. Oleh karena itu, satu cara
para petani menekan serangan hama dan penyakit adalah dengan menanam
tanaman yang berbeda pada setiap musimnya.
Tanaman caisin selain dapat ditanam secara monokultur, juga dapat
ditanam dengan pola tanam polikultur. Adapun pola tanam polikultur yang
dilakukan pada lahan seluas satu hektar dari bulan Januari hingga bulan Desembar
tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 7.

Luas

1 Ha
Timun Caisin + Cabai Caisin

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan

Gambar 7. Pola Tanam Polikultur Komoditas Sayuran pada Lahan yang


Diusahakan oleh Petani Responden di Kelompok Tani Pondok
Menteng Desa Citapen Tahun 2010

Gambar 7 menunjukan bahwa komoditas caisin dapat ditanam dengan cara


tumpangsari dengan komoditas lain. Sebagian besar petani menanam caisin yang
ditumpangsarikan dengan komoditas cabai. Sistem tumpangsari tersebut
dilakukan pada saat tanaman caisin telah ditanam dan berumur 10 hingga 14 hari,
kemudian tanaman yang akan ditumpangsarikan dapat ditanam dilahan. Hal ini
dilakukan karena biaya operasional cabai yang tinggi sehingga untuk mengurangi
beban biaya tersebut akan ditutupi dengan adanya keuntungan dari penjualan
tanaman caisin yang mana biaya operasional caisin tersebut tergolong rendah.
Untuk satu musim tanam cabai sekitar 5-7 bulan hanya dapat melakukan
tumpangsari dengan caisin sebanyak satu kali meskipun masa tanam caisin hanya
selama dua bulan. Hal ini selain untuk memutus siklus hama dan penyakit juga
untuk mengistirahatkan tanah agar tidak terlalu berlebihan dalam penggunaannya.

59
5.4 Keragaan Usahatani Caisin di Desa Citapen

5.4.1 Proses Kegiatan Usahatani Caisin


Usahatani caisin yang dilakukan oleh para petani responden di Kelompok
Tani Pondok Menteng menurut hasil wawancara dan kondisi di lokasi penelitian
terdiri dari beberapa tahapan budidaya, yaitu persiapan lahan, penanaman,
pemeliharaan tanaman (penyulaman, penyiangan, penyiraman/pengairan,
pengendalian hama dan penyakit), dan panen.

1. Persiapan Lahan
Lahan untuk tanam caisin yang digunakan petani responden dapat berupa
lahan tegalan ataupun lahan sawah bekas tanaman padi. Penggunaan lahan sawah
akan lebih menguntungkan karena kandungan air dan kegemburan tanah masih
tinggi, sehingga seringkali tanaman caisin tidak membutuhkan proses penyiraman.
Persiapan lahan untuk caisin dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu:
a. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah untuk menanam caisin dapat dilakukan dengan cara
mencangkul dan mengaduk tanah dengan tujuan agar tanah menjadi gembur
sehingga dapat menjadi media tumbuh yang baik bagi tanaman caisin. Pengolahan
tanah dibarengi dengan pemberian pupuk kandang, kemudian tanah diaduk
dengan cangkul dan digemburkan dengan menggunakan garpu lalu didiamkan
atau diistirahatkan selama tujuh hari agar tanah tersebut matang. Tujuan dari
pengadukan dan pembalikan tanah adalah untuk memperbaiki sirkulasi udara
dalam tanah. Setelah tanah diistirahatkan selama tujuh hari maka selanjutnya
tahap pembuatan bedengan.
b. Pembuatan Bedengan
Setelah tanah dicampur dengan pupuk kandang dan diitirahatkan, maka
selanjutnya adalah pembuatan bedengan. Menurut Wahyudi (2010), ukuran
bedengan yang seharusnya digunakan untuk menanam caisin memiliki lebar 100-
110 centimeter, lebar selokan 40-50 centimeter, dan tinggi bedengan 17-20
centimeter. Berdasarkan wawancara dan kondisi di lapangan, rata-rata ukuran
bedengan yang digunakan petani responden adalah lebar 100-120 centimeter,
lebar selokan 40-50 centimeter, sedangkan tinggi pada musim hujan adalah 40-50

60
centimeter dan tinggi pada musim kemarau adalah 30-40 centimeter. Jika dilihat
terdapat perbedaan ukuran tinggi menurut Wahyudi (2010) dengan kondisi di
lapangan. Hal ini dikarenakan umumnya ukuran tinggi bedengan yang digunakan
petani tersebut juga akan digunakan untuk menanam tanaman lain seperti cabai,
buncis, ketimun, dan tanaman lainnya yang membutuhkan ukuran bedengan yang
lebih tinggi untuk penggunaan turus dan perakaran tanaman. Selain itu, adanya
perbedaan tinggi bedengan antara musim hujan dan kemarau tersebut adalah
untuk menghindari pengikisan tanah pada saat musim hujan, karena tanah akan
tersapu oleh air hujan. Oleh karena itu, tinggi bedengan saat musim hujan
umumnya akan lebih tinggi dibanding musim kemarau.
Namun, terdapat beberapa petani responden yang membuat tinggi
bedengan sebesar 10-20 centimeter dan lebar selokan sebesar 20-30 centimeter.
Tinggi bedengan ini biasanya digunakan oleh petani responden yang menanam
caisin secara monokultur. Ketika petani ingin menanam tanaman lain seperti
cabai, ketimun, dan buncis maka tinggi bedengan akan ditambah dengan cara
mencangkul selokan dan menimbun tanahnya ke atas permukaan bedengan
sehingga tinggi bedengan semula akan lebih tinggi. Secara lebih jelas, bentuk dan
ukuran bedengan serta pengaturan lubang tanam dengan pola tanam monokultur
dapat dilihat pada Gambar 8.

Disesuaikan luasan OOOOO OOOOO


lahan OOOOO OOOOO
OOOOO OOOOO
OOOOO OOOOO
OOOOO O O O O O Jarak antar lubang
20 x 20 cm
10-20 cm

100-120 cm
20-30 cm

Gambar 8. Ukuran Bedengan Usahatani Caisin pada Pola Tanam Monokultur di


Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011

Untuk petani responden yang menggunakan pola tanam monokultur,


setelah tahap pembuatan bedengan langsung dilanjutkan dengan proses
pengapuran terlebih dahulu sebelum proses tanam benih. Sehingga pada pola

61
tanam monokultur biasanya tidak terdapat proses pembuatan lubang tanaman
utama sehingga seluruh bedengan dapat dimanfaatkan untuk menanam caisin
(Gambar 9).

Gambar 9. Usahatani Caisin dengan Pola Tanam Monokultur di Kelompok Tani


Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011

Sedangkan, untuk petani responden yang menggunakan pola tanam


polikultur, setelah pembentukan bedengan selanjutnya pembuatan lubang tanam
bagi tanaman utama, seperti cabai, mentimun, dan buncis. Lubang utama memiliki
diameter 30 x 30 centimeter dengan kedalaman sekitar 6-10 centimeter
(Gambar 10).

Gambar 10. Usahatani Caisin dengan Pola Tanam Polikultur di Kelompok Tani
Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011

Jarak antara lubang tanaman utama sekitar 60 x 80 centimeter. Jarak tanam


antar lubang ini akan dimanfaatkan untuk menanam caisin, dimana jarak antara
lubang tanam caisin sekitar 20 x 20 centimeter. Jarak antar lubang tanam yang
berlaku bagi tanaman utama dan tanaman caisin ini berdasarkan Standar
Operasional Prosedur (SOP) yang direkomendasikan oleh Dinas Pertanian dan

62
Kehutanan Kabupaten Bogor. Namun pada pelaksanaan di lapangan petani tidak
terpaku pada jarak tanam tersebut, khususnya bagi tanaman caisin umumnya
ditanam pada jarak yang lebih rapat, yakni 10 x 20 centimeter. Secara lebih jelas,
bentuk dan ukuran bedengan serta pengaturan lubang tanam dengan pola tanam
polikultur dapat dilihat pada Gambar 11.

Disesuaikan luasan o o o o o o
o o o o o o o o o o
lahan
o o o o o o o o o o
o o o o o o
o o o o o o o o o o
o o o o o o o o o o
o o o o o o Jarak antar lubang
20 x 20 cm
30-50 cm

100-120 cm
40-45 cm

Gambar 11. Ukuran Bedengan Usahatani Caisin pada Pola Tanam Polikultur di
Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011

c. Pengapuran
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada pola polikultur setelah
pembuatan bedengan dan pembuatan lubang tanam bagi tanaman utama, maka
dilakukan proses pengapuran dengan menabur kapur pertanian pada lubang
tanam) dan menabur pada sela-sela lubang tanam (pada jarak antar lubang
tanaman) untuk media tumbuh caisin. Sedangkan pada pola monokultur
pemberian kapur disebar diseluruh luasan bedengan. Pada saat pemberian kapur
untuk area tanam caisin umumnya tanah sedikit diaduk atau dibalik untuk
memecah agregat tanah. Setelah pemberian kapur, tanah didiamkan selama 7-14
hari agar kapur tersebut meresap dan pH tanah sudah mencapai keseimbangan
sehingga siap untuk menjadi media tanam. Penggunaan kapur bertujuan untuk
meningkatkan derajat keasaman atau pH tanah yang rendah. Pemberian jumlah
kapur disesuaikan dengan kondisi tanah masing-masing responden.

2. Penanaman
Penanaman caisin dapat ditanam dengan dua cara. Pertama, penanaman
menggunakan bibit caisin yang diperoleh dari kegiatan penyemaian benih di

63
polibag yang kemudian akan dipindah ke lahan ketika bibit berumur 18-20 hari
(Wahyudi 2010). Cara kedua, penanaman caisin dilakukan dengan menanam
langsung benih caisin pada lubang tanam ataupun penebaran benih pada lahan
dengan membuat larikan (garis tebar).
Kegiatan penanaman yang dilakukan oleh para petani responden di
Kelompok Tani Pondok Menteng dilakukan melalui cara kedua, yaitu menanam
langsung benih caisin pada lahan tanpa dilakukan persemaian terlebih dahulu. Hal
ini dilakukan karena pertimbangan penghematan waktu dan penghematan biaya
tenaga kerja karena akan membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak untuk
melakukan kegiatan persemaian. Menurut hasil wawancara langsung dengan para
petani responden, sebagian besar petani responden mengatakan bahwa penanaman
menggunakan benih langsung akan menghasilkan output dengan kualitas dan
kuantitas yang sama dengan menanam benih yang disemai terlebih dahulu.
Namun, terdapat pula beberapa petani responden yang menyebutkan bahwa
penanaman menggunakan benih yang disemai terlebih dahulu pada dasarnya akan
menghasilkan output yang lebih berkualitas dengan pertumbuhan yang seragam
antar tanaman serta pengaturan jarak tanam yang baik sehingga pertumbuhan
antar tanaman tidak akan terganggu. Namun, seluruh petani responden tetap
menggunakan cara kedua menanam benih langsung dengan alasan pertimbangan
yang telah disebutkan sebelumnya.
Penanaman menggunakan benih langsung yang dilakukan oleh para petani
responden dapat dilakukan dua sistem tanam, yaitu sistem tanam tugal dan sistem
tanam larik. Sistem tanam tugal adalah menanam benih caisin pada lubang tanam
yang berukuran lebar 1-2 centimeter dan kedalaman lubang tanam 2-4 centimeter.
Pembuatan lubang tanam ini biasanya hanya menggunakan bambu atau kayu
kecil. Jarak antar lubang berkisar antara 10-20 centimeter antar tanaman. Setiap
satu lubang biasanya diisi 3-5 biji benih, dimana tidak semua benih yang ditanam
pada satu lubang tersebut dapat tumbuh menjadi tanaman. Jadi, pada saat kegiatan
penanaman, pekerja membuat lubang dengan bambu kemudian langsung
meletakkan beberapa benih pada lubang kemudian lubang langsung ditutup
menggunakan pupuk kandang dan dicampur dengan tanah.

64
Sedangkan sistem tanam larik adalah menanam benih caisin pada garis
larikan yang berukuran 90-110 centimeter atau disesuaikan dengan ukuran lebar
bedengan. Pembuatan garis larikan biasanya menggunakan cangkul dengan
kedalaman 4-5 centimeter. Jadi, pada saat kegiatan penanaman, pekerja membuat
garis larikan kemudian langsung menebar benih pada garis larikan tersebut
dengan jumlah yang tidak menentu selanjutnya larikan ditutup dengan pupuk
kandang yang dicampur dengan tanah.

3. Pemupukan Susulan
Pemupukan susulan adalah kegiatan pemberian pupuk kimia ketika
tanaman berumur 10-15 hari setelah tanam (HST). Jenis pupuk kimia yang
diberikan untuk tanaman caisin adalah pupuk urea. Pupuk Urea adalah pupuk
kimia yang mengandung Nitrogen (N) berkadar tinggi yang sangat diperlukan
tanaman jenis daun-daunan. Nitrogen termasuk unsur yang paling banyak
dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk urea merupakan jenis pupuk kimia yang
memiliki kandungan N tertinggi dibanding jenis pupuk lainnya, yaitu sebesar 46-
47% nitrogen. Tanaman caisin memerlukan kandungan unsur hara N yang lebih
banyak pada musim kemarau karena pada musim ini pertumbuhan tanaman caisin
rentan terhadap cuaca panas yang akan menimbulkan penyakit pada daun.
Pemberian pupuk urea dengan cara disebar pada setiap tanaman caisin atau di
sela-sela tempat tumbuhnya tanaman caisin.
Berdasarkan kondisi di lapangan dan hasil wawancara dengan para petani
responden alasan petani hanya menggunakan pupuk urea karena tanaman caisin
cukup hanya diberikan pupuk urea saja untuk pertumbuhan tanaman daun, jika
diberikan terlalu banyak jenis pupuk lain maka hasil yang diperoleh akan
berkualitas buruk. Contohnya, pemberian pupuk KCL pada tanaman caisin
menurut petani akan menghasilkan batang caisin yang terlalu rapuh dan renyah
sehingga kurang diminati konsumen, sedangkan pupuk TSP ataupun pupuk SP-36
tidak diberikan pada tanaman caisin karena kedua pupuk ini berfungsi besar untuk
pertumbuhan buah, sedangkan tanaman caisin tidak memiliki buah. Oleh karena
itu, bagi pertumbuhan tanaman caisin cukup dengan pemberian pupuk urea.
Fungsi pupuk urea bagi tanaman caisin, antara lain :

65
a. Membuat daun tanaman lebih hijau, rimbun, dan segar. Unsur nitrogen pada
pupuk urea juga membantu tanaman memiliki banyak zat hijau daun
(chlorophyl) sehingga tanaman akan lebih mudah melakukan proses
fotosintesis.
b. Mempercepat pertumbuhan tanaman, seperti tinggi tanaman, jumlah anakan,
dan cabang tanaman.
c. Menambah kandungan protein didalam tanaman10.
Berdasarkan fungsi urea tersebut menunjukkan bahwa pupuk urea
merupakan pupuk terbaik bagi tanaman caisin yang mengutamakan pertumbuhan
batang dan daun. Sama halnya menurut penelitian yang dilakukan oleh Widiyazid
(1998), bahwa tanaman caisin cukup diberikan pupuk urea untuk pertumbuhannya
karena unsur N sebagai unsur makro yang banyak dibutuhkan untuk tanaman
caisin, sedangkan unsur lainnya dapat dipenuhi dari unsur hara yang terdapat pada
tanah dan pupuk kandang.
Pemupukan susulan menggunakan pupuk urea dilakukan rata-rata 3-4 kali
per periode tanam dengan jeda waktu dalam setiap pemberian sekitar 15-20 hari.
Banyaknya pemberian ini disesuaikan dengan berapa hari masa panen caisin
hingga habis dalam satu periode tanam, karena masing-masing petani memiliki
perbedaan jumlah periode potong/panen tanaman caisin.

4. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman caisin dilakukan setelah tanaman caisin sudah
berumur 14-20 HST. Pemeliharaan dilakukan selama masa pertumbuhan hingga
masa panen habis. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lokasi
penelitian, pemeliharaan tanaman caisin meliputi, penyulaman, penyiangan,
penyiraman/pengairan, dan pengendalian hama dan penyakit tanaman.
a. Penyulaman
Kegiatan penyulaman dilakukan melalui pengamatan pada pertumbuhan
setiap tanaman yang rusak ataupun mati. Tidak semua benih yang ditanam pada
lubang tanam atau larikan tersebut dapat tumbuh menjadi tanaman. Sehingga

10
Mas Pary. Mengapa Petani Kita Selalu Menggunakan Urea Pada Tanaman.
http://www.gerbangpertanian.com/2010/05/mengapa-petani-kita-selalu-menggunakan.html. [26
Juli 2011]

66
terdapat kegiatan penyulaman pada tanaman yang tidak tumbuh ataupun mati
dengan memilih dan memindahkan satu pohon caisin pada lubang tanam yang
memiliki lebih dari satu pohon yang tumbuh ke lubang tanam yang kosong.
Pemindahan atau penyulaman ini dilakukan ketika tanaman caisin sudah berumur
20 HST.
b. Penyiangan
Kegiatan penyiangan dilakukan dengan membersihkan lahan sekitar
tumbuhnya tanaman caisin, yaitu dengan memotong dan mencabut rumput atau
tanaman liar yang akan menyerap unsur hara tanah dan menjadi tempat
berkembang biaknya hama ulat (Wahyudi 2010). Umumnya kegiatan penyiangan
dilakukan bersamaan dengan kegiatan penyulaman dengan tujuan agar dapat
menghemat biaya tenaga kerja. Jadi, penyiangan dapat dilakukan ketika tanaman
sudah berumur 20 HST.
c. Penyiraman/pengairan
Kegiatan penyiraman atau pengairan umumnya dilakukan para petani
responden ketika musim kemarau ataupun intensitas hujan yang jarang terjadi,
sekitar hanya 1-2 minggu sekali. Petani responden yang menanam pada lahan
sawah atau dekat dengan lahan persawahan biasanya lebih jarang melakukan
penyiraman karena adanya resapan air pada tanah sehingga tanah menjadi lebih
lembab. Sedangkan pada lahan tanam di daerah pegunungan lebih membutuhkan
kegiatan penyiraman karena letaknya yang tinggi dan keadaan tanah yang lebih
kering ketika terkena sinar matahari. Intensitas penyiraman yang dilakukan petani
responden umumnya seminggu tiga kali. Sumber air yang digunakan petani untuk
kegitan penyiraman ini berasal dari selokan air atau parit yang dialirkan
menggunakan selang ke selokan bedengan sehingga air akan mudah meresap ke
tanah.
d. Pengendalian Hama dan Penyakit
Menurut Wahyudi (2010), hama dan penyakit yang umumnya menyerang
tanaman caisin, yaitu hama ulat tanah, berbagai jenis ulat daun, penyakit busuk
daun, dan penyakit akar gada. Pengendalian hama ulat dapat dilakukan dengan
menggunakan fungisida untuk mencegah hama dan menggunakan insektisida
untuk memberantas hama. Sedangkan penyakit pada caisin dapat dicegah dengan

67
cara melakukan penyiangan secara teratur dan melakukan pergiliran tanaman
untuk memutus rantai hidup fungi. Sama halnya dengan kondisi yang terjadi di
lapangan bahwa hama yang sering menyerang tanaman caisin adalah ulat tanah,
ulat daun, dan kutu loncat.

Gambar 12. Hama Kutu Loncat yang Menyerang Tanaman Caisin di Kelompok
Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011

Sementara itu, penyakit yang sering menyerang adalah penyakit busuk


daun yang disebabkan cuaca antara hujan dan panas yang terjadi secara bergantian
dalam satu hari serta terjadinya penyakit akar gada yang ditunjukkan dengan
perakaran yang membengkak seperti benjolan sehingga menghambat
pertumbuhan tanaman. Sedangkan adanya serangan ulat daun umumnya
mengakibatkan daun menjadi berlubang (Gambar 13). Jika populasi ulat daun
semakin meningkat maka daun tidak hanya akan berlubang, tetapi akan habis dan
hanya tersisa batang caisin.

Gambar 13. Kerusakan (Berlubang) Daun Caisin Akibat Adanya Serangan Ulat
Daun pada Usahatani Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng
Desa Citapen Tahun 2011

Untuk memberantas hama ulat dan kutu loncat, para petani responden
menggunakan insektisida, seperti curachron, kardan, lanet, ataupun decis.

68
Sedangkan untuk fungisida, petani responden menggunakan jenis fungisida
antrakol. Penyemprotan pestisida ini dilakukan ketika tanaman caisin sudah
berumur 5-10 HST. Banyaknya kegiatan penyemprotan tergantung banyaknya
hama yang menyerang, namun rata-rata petani responden melakukan
penyemprotan sebanyak 4-6 kali dalam satu periode tanam dengan waktu
penyemprotan seminggu sekali. Namun, jika kondisi populasi hama tinggi maka
penyemprotan dilakukan 3-4 hari sekali. Dalam satu kali penyemprotan petani
responden menggunakan sprayer yang berukuran 14 liter, dengan takaran untuk
pestisida cair seperti curachron dan decis, yaitu satu tutup botol obat tersebut,
sedangkan untuk pestisida padat seperti antrakol, kardan, dan lanet umumnya
petani responden menggunakan takaran satu sendok makan per jenis obat tersebut.
Obat-obat yang sudah ditakar ini kemudian dicampur dengan air sebanyak 14 liter
serta ditambahkan pupuk daun, yaitu gandasil D, dengan takaran satu sendok
makan. Pupuk daun ini berfungsi untuk menambah warna hijau daun pada
tanaman sehingga daun akan lebih terlihat segar.

5. Panen
Waktu panen yang dilakukan oleh petani responden umumnya berkisar 33-
40 HST. Pada kondisi petani responden di lapangan dalam satu periode tanam,
petani akan melakukan 2-3 kali panen atau pemotongan tanaman di setiap satu
pohon tanaman caisin, dalam jeda waktu antara panen sekitar 10-14 hari. Waktu
panen biasanya dilakukan petani responden pada pagi hari, sekitar pukul 08.00.
Hasil panen rata-rata para petani responden per periode tanam per hektar pada
musim hujan adalah sebanyak 18.068,50 kilogram, sedangkan pada musim
kemarau adalah sebanyak 12.640,51 kilogram. Perbedaan jumlah panen ini
tentunya disebabkan perbedaan musim. Tanaman caisin akan lebih baik
pertumbuhannya pada musim hujan sehingga akan menghasilkan output yang
lebih tinggi, sedangkan pada musim kemarau tanaman akan mudah terserang
hama dan penyakit sehingga cenderung akan mengurangi hasil panen sekitar 10-
50 persen dari panen optimalnya. Pemanenan dilakukan dengan menggunakan
pisau atau sabit dengan memotong batang bagian bawah sekitar 3-5 centimeter
diatas batang terbawahnya, sehingga tetap meninggalkan sisa untuk pertumbuhan

69
selanjutnya. Hasil panen usahatani caisin petani responden di Desa Citapen dapat
dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Hasil Panen Usahatani Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng
Desa Citapen Tahun 2011

5.4.2 Penggunaan Sarana Produksi Caisin


Sarana produksi merupakan hal yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu
kegiatan usahatani untuk menghasilkan suatu keluaran (output). Sarana produksi
yang digunakan petani caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng terdiri dari
lahan, benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pestisida cair, pestisida padat,
pupuk daun, tenaga kerja, dan peralatan usahatani.

1. Penggunaan Lahan
Lahan merupakan sarana produksi yang harus dimiliki untuk dapat
menjalankan usahatani caisin, karena lahan adalah tempat dimana petani dapat
menjalankan kegiatan usahatani. Kepemilikan lahan yang digunakan oleh para
petani responden untuk menggarap caisin berbeda-beda, yaitu lahan milik sendiri,
lahan sewa, lahan bagi hasil, serta lahan milik orang lain dimana petani hanya
sebagai penggarap saja. Rata-rata penggunaan lahan garapan untuk caisin, yaitu
sebesar 0,528 hektar, hal ini berarti rata-rata petani responden mengelola caisin di
tanah berlahan sempit yakni dibawah atau sama dengan 0,5 hektar.

2. Penggunaan Benih
Benih yang baik adalah salah satu faktor yang sangat menentukan
produksi caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng. Benih yang digunakan petani
responden berbentuk butiran-butiran kecil berwarna coklat kehitaman. Tanaman
caisin pada dasarnya dapat ditanam langsung dari benih ataupun dapat ditanam

70
melalui bibit yang sudah berumur ± 12 hari, dimana bibit tersebut diperoleh
melalui proses penyemaian benih di media polibag. Namun, untuk menghemat
waktu dan biaya, khususnya biaya tenaga kerja maka para petani responden
memilih untuk menanam langsung benih di lahan garapan daripada harus
melakukan pembibitan terlebih dahulu.
Varietas benih caisin yang digunakan petani responden di Kelompok Tani
Pondok Menteng merupakan benih lokal yang tidak bermerek dan dijual dalam
bentuk kiloan. Harga beli benih caisin rata-rata sebesar Rp 113.428,57 per
kilogram. Umumnya para petani responden membeli benih dari Gapoktan Rukun
Tani denga harga yang lebih murah dibandingkan harga di pasaran/toko. Benih
caisin lokal yang dijual Gapoktan Rukun Tani tersebut diperoleh dari salah satu
sentra produksi benih caisin di Jawa Barat, yaitu Cipanas. Alasan para petani
menggunakan benih caisin lokal daripada benih bermerek, seperti varietas
Tosakan merek Panah Merah, karena harga benih lokal lebih terjangkau dan hasil
produksi caisin dari benih lokal lebih dapat diterima dan digemari oleh
pasar/konsumen. Varietas Tosakan kurang diminati pasar/konsumen karena
produksi bunganya berlebihan dan batangnya yang terlalu panjang dan besar
sehingga beratnya bobot caisin tersebut dikarenakan besarnya bobot batang.
Berbeda dengan benih lokal yang memiliki lebar daun yang cukup, panjang daun
yang tidak terlalu panjang, dan bunga tanaman yang tidak mudah berbunga.
Menurut Widiyazid (1998) kebutuhan benih caisin per hektar sebanyak
dua kilogram dengan jarak tanam 10 x 15 centimeter, sedangkan menurut
Wahyudi (2010) kebutuhan benih caisin per hektar hanya sebanyak 0,5 kilogram
dengan jarak tanam 25 x 25 centimeter, dimana dalam satu lubang hanya berisi
satu bibit. Pada kondisi dilapangan rata-rata penggunaan benih yang dipakai
petani responden per periode tanam setelah dikonversi per hektar adalah sebanyak
2,5 kilogram dengan jarak tanam rata-rata 10 x 20 centimeter, dimana pada satu
lubang tanam diisi dengan 3-5 biji benih.

3. Penggunaan Pupuk Kandang


Pupuk kandang digunakan oleh petani responden untuk menjaga
kesuburan tanah karena banyak mengandung bahan organik sebagai unsur hara
yang dibutuhkan tanah. Pupuk kandang berfungsi antara lain untuk memperbaiki

71
struktur tanah sehingga menyebabkan tanah menjadi ringan untuk diolah dan
mudah ditembus akar, memperbaiki kehidupan biologi tanah menjadi lebih baik
karena ketersediaan makan lebih terjamin, dan mengandung mikroba dalam
jumlah cukup yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik.
Pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang dilakukan dua kali dalam satu
periode tanam. Proses pemupukan pupuk kandang untuk tanaman caisin yang
pertama diberikan pada tanah ketika pengolahan lahan awal dengan cara disebar
kemudian diaduk dengan tanah atau tanah dibalikkan. Untuk pemberian kedua
adalah ketika proses penanaman yang digunakan untuk menutup lubang tanaman
yang hanya berdiameter 1-2 centimeter yang telah diisi dengan benih caisin.
Pupuk kandang yang digunakan adalah pupuk kandang yang berasal dari
kotoran sapi, kambing, dan ayam. Petani responden dapat memperoleh pupuk
kandang yang sudah kering dan berbentuk kompos di Gapoktan Rukun Tani.
Namun, umumnya untuk menghemat biaya usahatani, petani responden langsung
membeli kotoran kandang yang masih mentah/basah di peternakan terdekat
dengan harga yang relatif murah. Rata-rata penggunaan pupuk kandang per
periode tanam setelah dikonversi per hektar adalah sebanyak 6.662,20 kilogram.

4. Penggunaan Kapur
Kapur pertanian atau dolomit berguna untuk menaikkan pH tanah atau
meningkatkan derajat keasaman tanah. Penggunaan kapur bagi tiap petani
responden beragam, disesuaikan dengan keadaan tanahnya. Kondisi tanah petani
responden di Desa Citapen memiliki pH 4,5-7,0, sedangkan kondisi pH tanah
yang optimum untuk tanaman caisin menurut Wahyudi (2010) adalah pH 6,0-6,8.
Oleh karena itu, bagi petani yang memiliki tanah dengan pH rendah, maka
penggunaan kapur akan lebih banyak. Menurut Wahyudi (2010), untuk menaikkan
satu point pH tanah diperlukan dua ton kapur pertanian (dolomit). Kebutuhan
kapur pertanian menurutnya pada lahan seluas satu hektar adalah sebanyak 1.000
kg. Pada kondisi di lapangan, rata-rata penggunaan kapur untuk luasan lahan satu
hektar baik pada musim kemaru ataupun musim hujan adalah sebanyak 963,17 kg.
Aplikasi penggunaan kapur dilakukan saat penyiapan lahan awal sekitar 7-14 hari
sebelum benih ditanam di lahan garapan. Adanya senggang waktu antara

72
pemberian kapur dengan penanaman benih dilakukan agar tanah yang diberi kapur
tersebut matang terlebih dahulu dan tanah sudah mencapai pH yang sesuai.

5. Penggunaan Pupuk Urea


Pupuk urea merupakan jenis pupuk kima yang mengandung Nitrogen (N)
berkadar tinggi yang sangat diperlukan tanaman jenis daun-daunan. Dari sejumlah
35 petani responden tersebut, seluruh petani menggunakan jenis pupuk urea ini
untuk menanam caisin. Menurut para petani responden, penggunaan pupuk urea
sudah mencukupi untuk kebutuhan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman caisin.
Penggunaan jenis pupuk kimia lain seperti TSP dan KCL tidak akan menambah
pertumbuhan caisin menjadi lebih baik. Berdasarkan pengalaman-pengalaman
para petani responden jika terlalu banyak menggunakan jenis pupuk kimia, seperti
pemberian pupuk KCL pada tanaman caisin menurut petani akan menghasilkan
batang caisin yang terlalu rapuh dan renyah sehingga kurang diminati konsumen,
sedangkan pupuk TSP ataupun pupuk SP-36 tidak diberikan pada tanaman caisin
karena kedua pupuk ini berfungsi besar untuk pertumbuhan buah, sedangkan
tanaman caisin tidak memiliki buah.
Rata-rata kebutuhan pupuk urea pada musim hujan per periode tanam setelah
dikonversi per hektar adalah sebanyak 533,95 kilogram, sedangkan pada musim
kemarau kebutuhannya sebanyak 563,24 kilogram. Perbedaan jumlah penggunaan
pupuk urea ini menurut beberapa petani responden dikarenakan tanaman caisin
memerlukan kandungan unsur hara N yang lebih banyak pada musim kemarau,
karena pada musim ini pertumbuhan tanaman caisin rentan terhadap cuaca panas
yang akan menimbulkan penyakit pada daun. Menurut Wahyudi (2010),
kebutuhan pupuk urea untuk luas lahan satu hektar adalah sebanyak 300 kg.
Selain pupuk urea, budidaya tanaman caisin menurutnya juga membutuhkan
pupuk lainnya seperti pupuk SP-36 dengan kebutuhan per hektar sebanyak 150 kg
dan pupuk KCL dengan kebutuhan per hektar sebanyak 150 kg.

6. Penggunaan Pestisida Cair


Pestisida cair yang digunakan adalah jenis insektisida. Terdapat dua jenis
pestisida cair yang sering digunakan petani responden, yaitu curachron dan decis,
yang kedunya ini berfungsi untuk memberantas adanya hama kutu loncat. Masing-

73
masing petani responden menggunakan pestisida cair dengan jenis yang berbeda-
beda sesuai kebutuhan dan keinginan petani untuk membeli, namun diketahui
bahwa sebanyak 34 petani responden memilih untuk menggunakan curachron
daripada decis. Pestisida cair dijual dalam bentuk cairan dalam botolan yang
bermerek. Perbedaan penggunaan input antara musim kemarau dan musim hujan
sebagian besar terletak pada perbedaan jumlah penggunaan pestisida. Rata-rata
pada musim kemarau kebutuhan akan pestisida akan meningkat, hal ini
dikarenakan pada musim kemarau populasi hama akan meningkat dan penyakit
pada tanaman pun akan mudah menyerang. Kebutuhan rata-rata pestisida cair
pada musim hujan per periode tanam setelah dikonversi per hektar adalah
sebanyak 3,66 liter, yang terdiri dari curachron sebanyak 2,91 liter, sedangkan
decis sebanyak 0,75 liter. Sedangkan pada musim kemarau kebutuhan rata-rata
pestisida cair setelah dikonversi per hektar adalah sebanyak 4,64 liter, yang
terdiri dari curachron sebanyak 3,39 liter dan decis 1,25 sebanyak liter. Pestisida
cair jenis curachron yang umumnya digunakan oleh petani responden adalah
curachron yang berukuran 500 mililiter (Gambar 15).

Gambar 15. Pestisida Cair (Curachron) yang Digunakan Untuk Memberantas


Hama pada Tanaman Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng
Desa Citapen Tahun 2011

7. Penggunaan Pestisida Padat


Pestisida padat yang digunakan adalah jenis fungisida dan percampuran
antara insektisida dan fungisida. Terdapat tiga jenis pestisida padat yang sering
digunakan petani responden, yaitu kardan dan lanet yang berfungsi sebagai
fungisida dan insektisida pemberantas hama, sedangkan antrakol sebagai

74
fungisida pencegah hama dan mengandung vitamin bagi pertumbuhan caisin.
Pestisida padat jenis antrakol yang umumnya digunakan oleh petani responden
adalah antrakol yang berukuran 500 mililiter (Gambar 16).

Gambar 16. Pestisida Padat (Antrakol) yang Digunakan Untuk Mencegah Hama
pada Tanaman Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa
Citapen Tahun 2011

Masing-masing petani responden menggunakan pestisida dengan jenis


yang berbeda-beda sesuai kebutuhan dan keinginan petani untuk membeli.
Pestisida padat umumnya berfungsi untuk mencegah dan memberantas adanya
hama ulat daun dan ulat tanah. Pestisida padat dijual dalam bentuk bubuk dan
bungkusan yang bermerek. Sama halnya seperti pestisida cair, kebutuhan pestisida
padat pada musim kemarau juga lebih banyak daripada musim hujan. Hal ini
dikarenakan pada musim kemarau populasi hama akan meningkat dan penyakit
pada tanaman pun akan mudah menyerang. Kebutuhan rata-rata pestisida padat
pada musim hujan per periode tanam setelah dikonversi per hektar adalah
sebanyak 6,95 kilogram, yang terdiri dari kardan sebanyak 1,20 kilogram, lanet
sebanyak 1,78 kilogram, dan antrakol sebanyak 3,97 kilogram. Sedangkan rata-
rata kebutuhan pestisida padat ada musim kemarau per periode tanam setelah
dikonversi per hektar adalah sebanyak 8,33 kilogram, yang terdiri dari kardan
sebanyak 1,38 kilogram, lanet sebanyak 2,07 kilogram, dan antrakol sebanyak
4,88 kilogram.

8. Penggunaan Pupuk Daun


Kandungan unsur hara pada pupuk daun identik dengan kandungan unsur
hara pada pupuk majemuk. Bahkan pupuk daun sering lebih lengkap karena

75
ditambah oleh beberapa unsur mikro. Pupuk daun berguna untuk menambah
warna hijau daun caisin sehingga konsumen akan lebih tertarik untuk membeli
karena terlihat terlihat lebih segar. Selain untuk menambah warna hijau daun,
pupuk daun juga memiliki manfaat untuk menambah zat-zat yang dibutuhkan
tanaman sehingga pertumbuhan tanaman lebih subur. Pupuk daun yang biasa
digunakan untuk tanaman caisin adalah Gandasil D atau Gandasil Daun yang
berbentuk bubuk (padat). Pemberian pupuk daun ini dilakukan dengan cara
dicampur dengan air, dimana perbandingan antara pupuk daun dan air, yaitu 1
sendok makan pupuk daun berbanding 14 liter air (ukuran sprayer). Sebagian
besar petani responden melakukan penyemprotan pupuk daun dibarengi dengan
penyemprotan pestisida cair ataupun padat dengan cara dicampur dalam satu
sprayer. Rata-rata kebutuhan pupuk daun per periode tanam setelah dikonversi per
hektar adalah sebanyak 2,51 kilogram.

9. Penggunaan Tenaga Kerja


Proses produksi caisin yang dilakukan petani responden meliputi persiapan
lahan, penanaman, pemupukan susulan, penyemprotan pestisida dan pupuk daun,
dan pemanenan. Penggunaan tenaga kerja pada setiap proses kegiatan produksi
berbeda-beda, disesuaikan dengan jenis pekerjaannya. Tenaga kerja yang
digunakan dalam usahatani caisin adalah tenaga kerja orang/manusia, yang terdiri
dari tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita. Penggunaan tenaga kerja dapat
berasal dari dalam keluarga (TKDK) maupun tenaga kerja luar keluarga (TKLK).
Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani caisin ini menggunakan satuan
Hari Orang Kerja (HOK), dimana tenaga kerja laki-laki melakukan aktivitas
selama delapan jam per hari, sedangkan tenaga kerja wanita melakukan aktivitas
selama enam jam per hari. Pembayaran upah tenaga kerja dibedakan berdasarkan
jenis kelamin karena adanya perbedaan kapasitas pekerjaan yang dibebankan.
Upah yang diberikan setiap satu hari kerja, yaitu sebesar Rp 20.000 untuk pria dan
Rp 15.000 untuk wanita atau Rp 20.000 setara Hari Kerja Pria (HKP). Tenaga
kerja wanita disetarakan dengan tenaga kerja laki-laki berdasarkan perbandingan
jam kerjanya, yaitu enam jam berbanding delapan jam sehingga wanita setara 0,75
HKP. Penggunaan rata-rata tenaga kerja yang dibutuhkan oleh petani responden

76
dalam satu periode tanam yang dikonversi per hektar adalah sebanyak 324,75
HOK yang terdiri dari 223,70 HOK TKLK dan 101,05 HOK TKDK.

Berdasarkan penggunaan input usahatani caisin yang telah dijelaskan


diatas, jumlah kebutuhan input fisik usahatani caisin dan jumlah produksi (output)
caisin pada saat musim hujan dan musim kemarau secara lebih terperinci dapat
dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Kebutuhan Fisik Input Usahatani Caisin dan Jumlah Output yang
Dihasilkan per Hektar per Periode Tanam di Kelompok Tani Pondok
Menteng Desa Citapen Tahun 2011
Komponen Satuan Musim Hujan Musim Kemarau
Jumlah Produksi Kg 18.068,498 12.640,513
1. Benih Kg 2,50 2,50
2. Pupuk kandang Kg 6.662,20 6.662,20
3. Kapur Kg 963,17 963,17
4. Pupuk urea Kg 533,95 563,24
5. Pestisida cair Lit er 3,66 4,64
6. Pestisida padat Kg 6,95 8,33
7. Pupuk Daun Kg 2,51 2,51
8. Tenaga Kerja HOK 324,75 324,75

Pada musim hujan kebutuhan pupuk urea sebanyak 533,95 kilogram,


sedangkan pada musim kemarau kebutuhan urea sebanyak 563,24 kilogram,
sehingga terdapat peningkatan kebutuhan sebesar 5,48 persen. Peningkatan
kebutuhan ini disebabkan karena saat musim kemarau tanaman lebih rentan
terhadap hama dan penyakit sehingga tanaman membutuhkan unsur N yang lebih
tinggi untuk menjaga ketahahan fisik tanaman agar tanaman tetap dapat tumbuh
dengan baik.
Selain itu, pada musim kemarau umumnya petani responden menggunakan
pestisida baik cair maupun padat dalam jumlah yang lebih banyak daripada
penggunaan saat musim hujan. Hal ini dikarenakan pada musim kemarau tersebut
tanaman caisin lebih rentan terhadap penyakit, seperti penyakit akar gada. Gejala
penyakit ini berupa tanaman yang layu pada siang hari dalam cuaca yang selalu

77
panas, namun pada pagi harinya tanaman dapat terlihat segar, dengan kondisi ini
pertumbuhan tanaman akan terhambat karena dapat menyerang perakaran
tanaman. Kemudian, pada musim kemarau populasi hama akan meningkat karena
hama mudah berkembang biak dan mudah untuk berpindah dari satu tanaman ke
tanaman lainnya, sebaliknya pada musim hujan populasi hama cenderung
berkurang karena air hujan akan menyulitkan hama seperti kutu loncat dan ulat
daun untuk hidup dan berkembang biak. Oleh karena itu, saat musim kemarau
kebutuhan pestisida cair dan pestisida padat akan lebih banyak. Pada musim hujan
kebutuhan total pestisida cair sebanyak 3,66 liter, sedangkan pada musim kemarau
sebanyak 4,64 liter, sehingga terdapat peningkatan kebutuhan sebesar 26,65
persen. Untuk pestisida padat, kebutuhan pada musim hujan sebanyak 6,95
kilogram, sedangkan pada musim kemarau sebanyak 8,34 kilogram, sehingga
terdapat peningkatan kebutuhan sebesar 20,03 persen.
Kondisi cuaca yang panas dan kering saat musim kemarau pada akhirnya
sangat mempengaruhi jumlah produksi yang dihasilkan petani. Meningkatnya
populasi hama saat musim kemarau menjadi sumber risiko produksi. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pada musim kemarau risiko produksi yang ada lebih tinggi
daripada musim hujan karena telah mempengaruhi atau menurunkan jumlah
produksi.

10. Penggunaan Peralatan Usahatani


Dalam usahatani caisin diperlukan beberapa peralatan yang digunakan
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan usahatani tersebut. Peralatan yang
digunakan antara lain, cangkul, garpu, sprayer, sabit, dan drum plastik. Cangkul
dan garpu digunakan dalam kegiatan pengolahan tanah untuk membalikkan dan
menggemburkan tanah. Sprayer merupakan alat penyemprot pestisida yang
berukuran 14 liter. Sabit digunakan untuk kegiatan penyiangan dan panen. Drum
plastik digunakan untuk media percampuran pestisida, pupuk daun, dan air,
kemudian hasil percampuran ini dimasukkan dalam sprayer dan siap dilakukan
penyemprotan pada tanaman caisin.
Dalam analisis usahatani, biaya alat-alat pertanian ini dihitung sebagai
biaya penyusutan peralatan dibebankan ke dalam biaya yang diperhitungkan.
Biaya penyusutan peralatan para petani responden pada usahatani caisin per

78
periode tanam adalah sebesar Rp 22.954,72, dimana satu periode adalah dua bulan
masa tanam. Secara rinci nilai penyusutan peralatan usahatani caisin dapat dilihat
pada Tabel 18.

Tabel 18. Rata-Rata Biaya Penyusutan Peralatan Usahatani Caisin per Periode
Tanam di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun
2011
Biaya
Umur Total Biaya Penyusutan
Jenis Jumlah Harga
No Ekonomis Biaya Penyusutan (Rp/periode
Peralatan (Unit) (Rp/unit)
(Tahun) (Rp) (Rp/tahun) tanam)
1 Cangkul 3 2 54.571.43 90.432,65 27.052,50 4.508,75
2 Garpu 4 2 50.142,86 78.795,92 19.421,53 3.236,92
3 Sprayer 5 1 222.857,14 248.326,53 52.358,00 8.726,33
4 Sabit 3 2 28.285,71 58.187,76 22.379,91 3.729,98
Drum
5 3 1 57.571,43 57.571,43 16.516,39 2.752,73
plastic
Jumlah 143.313,19 22.954,72

79
VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI CAISIN

Penilaian risiko produksi pada caisin dianalisis melalui penggunaan input


atau faktor-faktor produksi terhadap produktivitas caisin. Analisis risiko produksi
menggunakan model GARCH (1,1) untuk mengetahui nilai variance produksi
yang menunjukkan risiko produksi. Model tersebut akan menghasilkan nilai
variance produksi yang diperoleh dari hasil pendugaan persamaan produksi dan
persamaan variance produksi. Untuk melihat permodelan yang telah diperoleh
maka terlebih dahulu dilakukan evaluasi model dugaan berdasarkan hasil output
program Eviews 6 yang telah diperoleh. Hasil pendugaan model GARCH terhadap
persamaan fungsi produksi rata-rata dan variance produksi pada komoditas caisin
secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 1.
Berdasarkan Lampiran 1 menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi
(R2) sebesar 61,54 persen. Nilai koefisien determinasi (R2) tersebut memiliki arti
bahwa sebear 61,54 persen dari keragaman atau variasi produksi dapat dijelaskan
secara bersama-sama oleh model, sedangkan sisanya sebesar 38,46 persen dapat
dijelaskan oleh komponen error atau faktor-faktor lain yang ada diluar model.
Faktor-faktor lain tersebut seperti, adanya hama dan penyakit serta ketidakpastian
cuaca. Dengan nilai R2 sebesar 61,54 persen artinya model tersebut sudah mampu
menjelaskan pengaruh penggunaan input terhadap produksi dan pengaruh risiko
produksi musim sebelumnya terhadap risiko produksi musim tertentu. Risiko
produksi musim sebelumnya ditunjukkan oleh error kuadrat musim sebelumnya
(ε2t-1) dan variance error musim sebelumnya (σ2t-1). Sedangkan risiko produksi
musim tertentu ditunjukkan oleh variance error musim tertentu (σ2t).
Evaluasi model dugaan selain berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2)
juga dilakukan uji signifikansi model dugaan menggunakan uji F untuk
mengetahui apakah faktor-faktor produksi yang digunakan secara bersama-sama
berpengaruh nyata terhadap produktivitas caisin. Berdasarkan uji F menghasilkan
nilai F-hitung sebesar 4,21, maka nilai tersebut lebih besar dari nilai F-tabel yakni
sebesar 2,04, dimana nilai F-tabel berasal dari F(9, 70-9-1 = 8, 60). Selain itu, nilai P(F-
statistic) sebesar 0.000023 lebih kecil dari α lima persen. Oleh karena nilai F-
hitung lebih besar dari F-tabel dan nilai P(F-statistic) lebih kecil dari nilai α, maka
kondisi ini menjelaskan bahwa semua faktor produksi yang digunakan dalam

80
usahatani caisin secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi dan
variance produksi caisin pada taraf nyata lima persen.

6.1 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Caisin


Analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas caisin
dapat dijelaskan berdasarkan hasil pendugaan persamaan fungsi produksi rata-rata
(mean production function). Hasil pendugaan persamaan fungsi produksi dapat
dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Hasil Pendugaan Persamaan Fungsi Produksi pada Usahatani Caisin di
Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011
Variabel Koefisien Std. Error z-Statistic Peluang
Konstanta 5,552390 0,805757 6,890902 0,0000
Benih (X1) 0,332313 0,106897 3,108718 0,0019
Pupuk Kandang (X2) -0,047610 0,064749 -0,735304 0,4622
Kapur (X3) 0,149424 0,096905 1,541972 0,1231
Pupuk Urea (X4) 0,001976 0,093313 0,021175 0,9831
Pestisida Cair (X5) -0,466096 0,116448 -4,002602 0,0001
Pestisida Padat (X6) 0,204067 0,096062 2,124338 0,0336
Pupuk Daun (X7) -0,181706 0,114853 -1,582073 0,1136
Tenaga Kerja (X8) 0,625879 0,152155 4,113431 0,0000

Tabel 19 menunjukkan bahwa masing-masing variabel atau faktor


produksi memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap produktivitas caisin.
Pengaruh tersebut dapat dilihat berdasarkan peluang dan tanda parameter
koefisien hasil pendugaan persamaan fungsi produksi. Secara rinci, pengaruh
masing-masing variabel atau faktor produksi terhadap produktivitas caisin adalah
sebagai berikut :

1. Benih (X1)
Hasil pendugaan parameter persamaan fungsi produksi menunjukkan
bahwa variabel benih memiliki tanda positif, artinya semakin banyak benih yang
digunakan dalam proses produksi caisin maka produktivitas caisin semakin
meningkat. Nilai koefisien parameter penggunaan benih bernilai positif sebesar
0,332313, artinya jika terjadi penambahan benih sebesar satu persen maka akan

81
meningkatkan produktivitas caisin sebesar 0,332313 persen, dengan asumsi semua
variabel lain tetap (cateris paribus). Berdasarkan nilai peluangnya, variabel benih
mempunyai nilai peluang sebesar 0,0019. Jika taraf nyata sebesar 20 persen maka
variabel benih berpengaruh nyata terhadap produktivitas caisin.
Pada kondisi di lapangan, jumlah penggunaan benih tidak selalu
disesuaikan dengan luasan lahan atau jarak tanam yang telah dibuat. Sebagian
besar petani menanam dengan jarak tanam yang rapat dan penggunaan benih yang
berlebih agar hasil produksi lebih tinggi. Sebagian petani respoden yang
menggunakan benih caisin lebih banyak, yakni sebanyak dua kilogram namun
dengan jarak tanam yang lebih rapat, yaitu sekitar 10 x 10 centimeter atau 10 x 20
centimeter antara lubang tanam sehingga hasil produksi yang akan diperoleh akan
lebih banyak. Berbeda dengan petani yang menggunakan benih caisin dalam
jumlah yang lebih sedikit, yakni sebanyak satu kilogram namun dengan jarak
tanam yang lebih renggang, yaitu 20 x 20 centimeter, sehingga hasil produksi
yang akan diperoleh akan lebih sedikit.
Selain itu, beberapa responden melakukan penanaman dengan hanya
dibuat larik ataupun ditebar, sehingga kebutuhan benih akan semakin banyak,
yakni sekitar tiga kilogram. Menurut petani responden yang menggunakan jarak
tanam rapat ataupun sistem tebar, hasil produksi akan semakin meningkat karena
tanaman caisin dapat tetap tumbuh dalam jarak tanam yang rapat, meskipun
pertumbuhannya tidak sebaik pada tanaman yang tumbuh pada jarak yang lebih
renggang.
Rata-rata penggunaan benih para petani respoden per hektar sebanyak 2,5
kilogram dengan jarak tanam rata-rata 10 x 10 centimeter atau 10 x 20 centimeter,
dimana pada satu lubang tanam diisi dengan 3-5 biji benih. Dengan rata-rata
penggunaan benih dan jarak tanam tersebut jumlah produksi yang dihasilkan rata-
rata sekitar 18 ton per hektar. Berbeda halnya dengan Widiyazid (2008) dimana
kebutuhan benih caisin sebanyak 2,0 kilogram dengan jarak tanam 10 x 15
centimeter, sehingga jumlah produksi yang dihasilkan rata-rata sekitar 10 ton per
hektar.

82
2. Pupuk kandang (X2)
Pupuk kandang sudah banyak dikenal sebagai pupuk yang aman untuk
digunakan dan baik untuk tanaman dibandingkan penggunaan pupuk kimia.
Namun, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan pupuk
kandang untuk komoditas pertanian khususnya sayuran. Umumnya petani
responden di Desa Citapen menggunakan pupuk kandang yang masih mentah atau
kotoran hewan basah tanpa dikeringkan terlebih dahulu sehingga masih
mengandung urine yang tinggi, khususnya kotoran sapi. Pupuk kandang memang
lebih memberikan dampak positif dibanding penggunaan pupuk kimia karena
pupuk kandang mengandung unsur N yang cukup tinggi pada urine nya, yakni
sekitar 75 – 90 persen11. Namun, penggunaan pupuk kandang yang masih basah
tanpa proses pengeringan atau fermentasi akan mengganggu pertumbuhan
tanaman karena pada kotoran kandang tersebut masih mengandung banyak urine,
dimana dalam urine tersebut mengandung gas amoniak yang akan mengganggu
pertumbuhan tanaman caisin. Proses pengolahan atau fermentasi pupuk kandang
bertujuan untuk menangkap N dari udara dan menghilangkan gas amoniak12.
Kondisi di atas sesuai dengan hasil pendugaan parameter pada persamaan
fungsi produksi yang menunjukkan bahwa variabel pupuk kandang mempunyai
tanda negatif. Hal ini berarti, semakin banyak pupuk kandang yang digunakan
dalam proses produksi maka produktivitas caisin semakin menurun. Nilai
koefisien parameter penggunaan pupuk kandang bernilai negatif sebesar -
0,047610, artinya jika terjadi penambahan pupuk kandang sebesar satu persen
maka akan menurunkan produktivitas caisin sebesar 0,047610 persen, dengan
asumsi semua variabel lain tetap (cateris paribus). Variabel pupuk kandang
mempunyai nilai peluang sebesar 0,4622. Jika taraf nyata sebesar 20 persen maka
variabel pupuk kandang tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas caisin.
Rata-rata penggunaan pupuk kandang para petani respoden per hektar
sebanyak 6.662,2 kilogram per hektar, yang diberikan saat pengolahan lahan dan
saat penanaman benih untuk menutup lubang tanam. Volume penggunaan pupuk

11
Biourine atau Urin Sebagai Pupuk Organik Cair Memilih Alternatif yang Lebih Baik.
http://roilbilad.wordpress.com/2011/02/22/biourine-atau-urin-sebagai-pupuk-organik-cair-
memilih-alternatif-yang-lebih-baik/. [01 September 2011]
12
BPTP Sulawesi Selatan. 2011. Pemanfaatan Kencing Sapi Menjadi Pupuk Organik Cair.
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/inovasi/kl1106-ek69.pdf [01 September 2011]

83
kandang tersebut tergolong tinggi. Hal ini diduga karena penggunaan yang
berlebih dan pupuk kandang yang memiliki bobot tinggi karena masih
mengandung urine yang tinggi. Sedangkan menurut Wahyudi (2010), kebutuhan
pupuk kandang per hektar cukup sebanyak 3.000 kilogram yang digunakan untuk
pengolahan lahan. Penggunaan pupuk kandang cukup digunakan pada tanah saat
pengolahan lahan, sehingga tidak terdapat penggunaan yang berlebihan yang
nantinya akan menurunkan produksi caisin.

3. Kapur (X3)
Penggunaan kapur dalam usahatani caisin menunjukkan bahwa semakin
banyak kapur yang digunakan dalam proses produksi caisin maka produktivitas
caisin semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh tanda parameter dari hasil
pendugaan persamaan fungsi produki, dimana nilai koefisien parameter
penggunaan kapur bernilai positif sebesar 0,149424. Artinya jika terjadi
penambahan kapur sebesar satu persen maka akan meningkatkan produktivitas
caisin sebesar 0,149424 persen, dengan asumsi semua variabel lain tetap (cateris
paribus). Sementara itu, berdasarkan hasil pendugaan persamaan fungsi produksi
tersebut menunjukkan variabel kapur mempunyai nilai peluang sebesar 0,1231.
Jika taraf nyata sebesar 20 persen maka variabel kapur mempunyai pengaruh yang
nyata terhadap produktivitas caisin.
Petani responden di Desa Citapen menggunakan kapur pertanian untuk
meningkatkan meningkatan pH tanah menjadi netral. Rata-rata petani responden
di Desa Citapen memiliki tanah dengan pH 4,5-7,0, sedangkan kondisi pH tanah
yang optimum untuk tanaman caisin menurut Wahyudi (2010) adalah pH 6,0-6,8.
Oleh karena itu, bagi petani yang memiliki tanah dengan pH rendah, maka
penggunaan kapur akan lebih banyak. Rata-rata penggunaan kapur petani
responden di Desa Citapen per hektar sebanyak 963,17 kilogram. Kebutuhan ini
sesuai dengan kebutuhun budidaya caisin menurut Wahyudi (2010) dimana
kebutuhan kapur per hektar sebanyak 1.000 kilogram.
Pada kondisi di lapangan, penggunaan kapur dalam setiap periode tanam
dilakukan oleh petani responden karena tingkat kesuburan tanah yang semakin
menurun. Menurunnya tingkat kesuburan tanah ini disebabkan karena intensitas
penggunaan lahan yang tinggi atau lahan yang tidak henti-hentinya digunakan

84
untuk bertani, sehingga membutuhkan kapur sebagai penetral pH tanah dan
meningkatkan unsur hara tanah selain dari penggunaan pupuk kandang. Selain itu,
kapur berfungsi juga dalam meningkatkan ketersedian unsur hara dalam tanah
sehingga mudah diserap tanaman, menetralisir senyawa-senyawa beracun, baik
organik maupun an-organik, dan meningkatkan populasi serta aktivitas mikro
organisme tanah yang sangat menguntungkan terhadap ketersediaan hara tanah.
Hal ini menjadi alasan bagi seluruh petani respoden yang selalu menggunakan
kapur dalam kegiatan usahatani caisin.

4. Pupuk urea (X4)


Hasil pendugaan parameter pada persamaan fungsi produksi menunjukkan
bahwa variabel pupuk urea mempunyai tanda parameter positif. Hal ini berarti,
semakin banyak pupuk urea yang digunakan dalam proses produksi maka
produktivitas caisin semakin meningkat. Nilai koefisien parameter penggunaan
pupuk urea bernilai positif sebesar 0,001976, artinya jika terjadi penambahan
pupuk urea sebesar satu persen maka akan meningkatkan produktivitas caisin
sebesar 0,001976 persen, dengan asumsi semua variabel lain tetap (cateris
paribus). Berdasarkan nilai peluangnya, variabel pupuk urea mempunyai nilai
peluang sebesar 0,9831. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pupuk urea
mempunyai pengaruh yang tidak nyata terhadap produktivitas caisin pada taraf
nyata sebesar 20 persen.
Pada kondisi di lapangan, petani responden hanya menggunakan pupuk
urea saja untuk pertumbuhan tanaman caisin dan tidak menggunakan jenis pupuk
kimia lainnya. Hal inilah yang menyebabkan petani responden menggunakan
pupuk urea dalam jumlah yang banyak. Pupuk urea dianggap sebagai pupuk
terbaik yang dibutuhkan untuk tanaman caisin, yaitu untuk pertumbuhan batang,
jumlah daun, dan warna hijau daun.
Rata-rata penggunaan pupuk urea para petani respoden per hektar
sebanyak 533,95 kilogram pada musim hujan dan sebanyak 563,24 kilogram pada
musim kemarau. Penggunaan pupuk urea dalam jumlah yang lebih banyak pada
musim kemarau tersebut dikarenakan menurut beberapa petani bahwa saat musim
kemarau, tanaman caisin lebih membutuhkan asupan pupuk urea yang lebih
banyak agar ketahanan pertumbuhan tanaman terjaga karena pada musim kemarau

85
serangan hama dan penyakit cenderung meningkat. Menurut Wahyudi (2010),
budidaya caisin membutuhkan pupuk urea hanya sebanyak 300 kilogram. Namun
selain pupuk urea, ada penggunaan pupuk kimia lainnya, yaitu pupuk SP-36
sebanyak 150 kilogram dan pupuk KCL sebanyak 150 kilogram. Untuk
menyeimbangkan penggunaan pupuk kimia tersebut, petani responden di Desa
Citapen menggunakan pupuk urea dalam jumlah yang lebih banyak.

5. Pestisida cair (X5)


Nilai koefisien parameter penggunaan pestisida cair bernilai negatif
sebesar -0,466096, artinya jika terjadi penambahan pestisida cair sebesar satu
persen maka akan menurunkan produktivitas caisin sebesar 0,466096 persen,
dengan asumsi semua variabel lain tetap (cateris paribus). Tanda paramater
variabel pestisida cair menunjukkan tanda negatif, artinya semakin banyak
pestisida cair yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas caisin
semakin menurun. Jika taraf nyata sebesar 20 persen maka penggunaan variabel
pestisida cair berpengaruh nyata terhadap produktivitas caisin. Berdasarkan hasil
pendugaan persamaan fungsi produksi menunjukkan bahwa variabel pestisida cair
memiliki nilai peluang sebesar 0,0001.
Pestisida cair yang digunakan petani responden terdiri dari dua jenis, yaitu
curachron dan decis, dimana keduanya merupakan jenis insektisida. Semua petani
responden menggunakan curachron sebagai pembasmi hama, tetapi sebagian kecil
petani juga menggunakan decis untuk membasmi hama. Penggunaan pestisida cair
yang terlalu banyak akan menurunkan produktivitas caisin karena penggunaan
pestisida ini lebih dibutuhkan jika memang terdapat hama penyakit, karena
fungsinya tersebut sebagai insektisida pembasmi hama, bukan pencegah hama.
Kondisi yang terjadi di lapangan, petani tetap menggunakan pestisida cair disaat
kondisi apapun, baik itu ketika tanaman dalam kondisi terserang hama ataupun
tidak terserang hama. Kemudian pemberian pestisida ini juga diberikan pada
seluruh tanaman. Akibatnya, akan terjadi overdosis insektisida pada tanaman.
Rata-rata penggunaan pestisida cair para petani respoden per hektar
sebanyak 3,66 liter saat musim hujan dan sebanyak 4,64 liter saat musim kemarau.
Jumlah penggunaan ini jauh lebih tinggi dibandingkan penggunaan insektisida

86
menurut Wahyudi (2010) dimana kebutuhan akan insektisida pada tanaman caisin
hanya sebanyak dua liter per hektar.

6. Pestisida padat (X6)


Pestisida padat yang digunakan petani responden terdiri dari tiga jenis,
yaitu kardan, lanet, dan antrakol, dimana antrakol merupakan jenis fungisida
sedangkan kardan dan lanet mengandung fungsisida dan insektisida. Masing-
masing petani responden menggunakan jenis pestisida padat yang berbeda-beda,
ada yang menggunakan ketiga jenis pestisida padat sekaligus ataupun hanya
menggunakan satu jenis.
Hasil pendugaan persamaan fungsi produksi menunjukkan bahwa variabel
pestisida padat mempunyai tanda parameter positif, artinya semakin banyak
pestisida padat yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas caisin
semakin meningkat. Nilai koefisien parameter penggunaan pestisida padat bernilai
positif sebesar 0,204067, artinya jika terjadi penambahan pestisida padat sebesar
satu persen maka akan meningkatkan produktivitas caisin sebesar 0,204067
persen, dengan asumsi semua variabel lain tetap (cateris paribus). Penggunaan
ketiga jenis pestisida padat tersebut mempunyai pengaruh yang nyata terhadap
produktivitas caisin pada taraf nyata sebesar 20 persen, dimana variabel pestisida
padat mempunyai nilai peluang sebesar 0,0336.
Kondisi yang terjadi di lapangan bahwa penggunaan ketiga jenis pestisida
padat tidak menurunkan produktivitas caisin, karena ketiga pestisida padat ini
mengandung zat-zat yang berfungsi untuk mencegah hama atau bersifat fungi.
Sehingga sebaliknya, penggunaan pestisida padat dapat meningkatkan
produktivitas caisin. Hal ini dikarenakan pestisida jenis fungi mengandung
vitamin yang berfungsi untuk memperkuat tanaman sebagai usaha pencegahan
munculnya hama, sehingga penggunaan pestisida padat tidak mengganggu
pertumbuhan tanaman.
Rata-rata penggunaan pestisida padat para petani respoden per hektar
sebanyak 6,95 kilogram saat musim hujan dan sebanyak 8,34 kilogram saat
musim kemarau. Penggunaan saat musim kemarau akan lebih ditingkatkan karena
petani segera mengantisipasi akan datangnya serangan hama dan penyakit yang
meningkat dengan pemberian yang lebih banyak.

87
7. Pupuk daun (X7)
Variabel pupuk daun mempunyai tanda parameter negatif, artinya semakin
banyak pupuk daun yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas
caisin semakin menurun. Nilai koefisien parameter penggunaan pupuk daun
bernilai negatif sebesar -0,181706, artinya jika terjadi penambahan pupuk daun
sebesar satu persen maka akan menurunkan produktivitas caisin sebesar 0,181706
persen, dengan asumsi semua variabel lain tetap (cateris paribus). Berdasarkan
hasil pendugaan persamaan fungsi produksi menunjukkan bahwa variabel pupuk
daun mempunyai nilai peluang sebesar 0,1136. Jika taraf nyata sebesar 20 persen
maka variabel pupuk daun berpengaruh nyata terhadap produktivitas caisin.
Pupuk daun berfungsi utama untuk meningkatkan warna hijau daun
sehingga lebih menarik dan juga mengandung zat-zat penambah subur tanaman
caisin. Menurut salah satu petani responden yang juga merupakan ketua Gapoktan
Rukun Tani, penggunaan pupuk daun sebaiknya hanya pada waktu-waktu tertentu,
yaitu sekitar 10 hari sebelum tanaman dipanen, informasi ini sesuai dengan hasil
penyuluhan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Hal ini
dilakukan untuk menyiapkan hasil panen dengan warna daun yang menarik dan
zat-zat yang dibutuhkan caisin cukup sehingga tidak berlebih. Namun, kondisi
yang terjadi di lapangan bahwa, penggunaan pupuk daun diberikan dalam
intensitas yang sering sehingga jumlah pupuk daun yang diberikanpun akan lebih
banyak, yakni sekitar 80 persen petani responden menggunakan pupuk daun yang
dibarengi kegiatan penyemprotan pestisida. Akibatnya, warna hijau daun yang
dihasilkan akan terlalu tua sehingga kurang menarik serta daun cenderung akan
terlihat kering dan mengecil karena kelebihan zat tumbuh pada daun. Semakin
banyak pupuk daun yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas
caisin akan semakin menurun. Oleh karena itu, pengaturan waktu pemberian
pupuk daun pada tanaman caisin harus tetap diatur sesuai kebutuhan tanaman
tersebut. Rata-rata penggunaan pupuk daun para petani respoden per hektar
sebanyak 2,51 kilogram, baik pada musim kemarau ataupun musim hujan.

8. Tenaga kerja (X8)


Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang cukup penting bagi
usahatani caisin. Variabel tenaga kerja mempunyai tanda parameter positif,

88
artinya semakin banyak tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi maka
produktivitas caisin semakin meningkat. Nilai koefisien parameter penggunaan
tenaga kerja bernilai positif sebesar 0,625879, artinya jika terjadi penambahan
tenaga kerja sebesar satu persen maka akan meningkatkan produktivitas caisin
sebesar 0,625879 persen, dengan asumsi semua variabel lain tetap (cateris
paribus). Sementara itu, jika taraf nyata sebesar 20 persen maka variabel tenaga
kerja berpengaruh nyata terhadap produktivitas caisin. Berdasarkan hasil
pendugaan persamaan fungsi produksi menunjukkan bahwa variabel tenaga kerja
mempunyai nilai peluang sebesar 0,0000.
Pada kondisi di lapangan, usahatani caisin membutuhkan tenaga kerja
yang tidak sedikit, khususnya untuk kegiatan penyulaman, penyiangan, dan
panen. Semakin sedikit penggunaan tenaga kerja maka akan mempengaruhi
jumlah hasil produksi caisin. Contohnya, pada saat panen, jika tenaga kerja yang
digunakan sedikit sedangkan lahan yang digunakan luas, maka hasil panen yang
akan diperoleh tidak maksimal karena panen tidak dapat dilakukan dalam sehari,
sehingga panen harus dilakukan beberapa hari. Akibatnya, kualitas caisin yang
dihasilkan akan menurun dan kuantitas hasil produksi dapat berkurang terlebih
pada intensitas hujan yang tinggi, dimana panen seharusnya dilakukan dengan
cepat agar tanaman tidak terlalu lama tergenang air. Tanaman yang tergenang air
akan mudah layu dan busuk.
Rata-rata penggunaan tenaga kerja para kegiatan usahatani caisin per
hektar sebanyak 324,75 HOK, baik itu tenaga kerja luar keluarga maupun tenaga
kerja dalam keluarga, baik pada musim kemarau ataupun musim hujan. Sesuai
kondisi di lapangan bahwa tenaga kerja sangat dibutuhkan untuk kelancaran dan
kemudahan kegiatan produksi caisin. Sehingga penambahan tenaga kerja akan
dibarengi dengan peningkatan produktivitas caisin tersebut.

6.2 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Variance Produktivitas


Caisin

Analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi variance


produktivitas caisin dapat dijelaskan berdasarkan hasil pendugaan persamaan
fungsi variance produksi (variance production function). Hasil pendugaan
persamaan fungsi variance produksi dapat dilihat pada Tabel 20.

89
Tabel 20. Hasil Pendugaan Persamaan Fungsi Variance Produksi pada Usahatani
Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011
Variabel Koefisien Std. Error z-Statistic Peluang
Konstanta 0,126633 0,249383 0,507786 0,6116
Error kuadrat musim
sebelumnya (ε2t-1) 0,024194 0,117357 0,206157 0,8367
Variance error musim
sebelumnya (σ2t-1) 0,661408 0,376663 1,755968 0,0791
Benih (X1) 0,052855 0,052575 1,005332 0,3147
Pupuk Kandang (X2) 0,000228 0,021248 0,010717 0,9914
Kapur (X3) -0,004680 0,029584 -0,158203 0,8743
Pupuk Urea (X4) -0,004024 0,028420 -0,141609 0,8874
Pestisida Cair (X5) 0,017458 0,043315 0,403058 0,6869
Pestisida Padat (X6) -0,005802 0,022820 -0,254260 0,7993
Pupuk Daun (X7) -0,052801 0,032238 -1,637883 0,1014
Tenaga Kerja (X8) -0,006754 0,057128 -0,118221 0,9059

Tabel 20 menunjukkan bahwa masing-masing variabel atau faktor


produksi memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap variance produktivitas
caisin. Pengaruh tersebut dapat dilihat berdasarkan peluang dan tanda parameter
koefisien hasil pendugaan persamaan variance produksi. Secara rinci, pengaruh
masing-masing variabel atau faktor produksi terhadap variance produksi caisin
adalah sebagai berikut :

1. Benih (X1)
Hasil pendugaan persamaan fungsi variance produksi caisin menunjukkan
bahwa variabel benih mempunyai tanda parameter positif. Artinya, semakin
banyak benih yang digunakan dalam proses produksi maka variasi produktivitas
caisin semakin meningkat, sehingga variabel benih merupakan faktor yang
menimbulkan risiko (risk inducing factors). Nilai koefisien parameter penggunaan
benih bernilai positif sebesar 0,052855. Artinya, jika terjadi penambahan benih
sebesar satu persen maka akan meningkatkan variasi produktivitas caisin sebesar
0,052855 persen, dengan asumsi semua variabel lain tetap (cateris paribus). Jika
taraf nyata sebesar 20 persen maka variabel benih tidak berpengaruh nyata

90
terhadap variasi produktivitas caisin, dimana variabel benih mempunyai nilai
peluang sebesar 0,3147.
Pada penelitian ini variabel benih sebagai faktor yang menimbulkan risiko
(risk inducing factors). Hasil ini konsisten dengan temuan Just dan Pope dimana
faktor produksi selain pestisida merupakan faktor yang menimbulkan risiko
produksi. Selain itu, sesuai dengan hasil penelitian Hutabarat (1985), diacu dalam
Fariyanti (2008), dimana benih menjadi faktor yang menimbulkan risiko produksi.
Jika dikaitkan dengan hasil pendugaan persamaan fungsi produksi bahwa
semakin banyak penggunaan benih akan semakin meningkatkan rata-rata
produktivitas caisin, maka ketika rata-rata produktivitas caisin meningkat, variasi
produktivitas caisin tersebut juga akan semakin meningkat. Dengan demikian,
variabel benih menjadi faktor yang dapat menimbulkan risiko produksi. Kondisi
yang terjadi dilapangan ketika penggunaan varietas benih berkualitas baik
ditingkatkan maka akan dapat meningkatkan rata-rata produktivitas caisin.
Namun, ketika varietas benih yang digunakan berkualitas buruk maka jika
penggunaan ditingkatkan petani akan mengalami kegagalan karena hasil produksi
tersebut menurun yang disebabkan varietas yang buruk. Kondisi yang terjadi di
lapangan bahwa varietas benih lokal yang digunakan petani tidak memiliki
standar kualitas, sehingga benih yang digunakan terkadang berkualitas baik, tak
jarang pula berkualitas buruk.
Penggunaan benih dalam jumlah yang berlebih dengan jarak tanam yang
rapat, misalnya penggunaan 2 kilogram benih untuk jarak tanam 10 x 10
centimeter kelak akan menghasilkan jumlah produksi yang tinggi. Namun, ketika
penggunaan benih yang banyak diikuti serangan hama dan penyakit yang tinggi
maka hasil produksi akan semakin bervariasi dan petani cenderung mengalami
kerugian karena jumlah produksi yang menurun.

2. Pupuk kandang (X2)


Pada usahatani caisin di Desa Citapen, semakin banyak penggunaan pupuk
kandang dalam proses produksi maka variasi produktivitas caisin semakin
meningkat. Hal tersebut ditunjukkan dari tanda koefisien variabel pupuk kandang
yang bertanda positif. Nilai koefisien parameter penggunaan pupuk kandang
bernilai positif sebesar 0,000228, artinya jika terjadi penambahan pupuk kandang

91
sebesar satu persen maka akan meningkatkan variasi produktivitas caisin sebesar
0,000228 persen, dengan asumsi semua variabel lain tetap (cateris paribus). Hasil
pendugaan persamaan fungsi variance produksi menunjukkan bahwa variabel
pupuk kandang mempunyai nilai peluang sebesar 0,9914. Jika taraf nyata sebesar
20 persen maka variabel pupuk kandang tidak berpengaruh nyata terhadap variasi
produktivitas caisin.
Pupuk kandang yang banyak digunakan oleh para petani responden di
Desa Citapen merupakan pupuk kandang yang masih basah dan belum melalui
proses pengolahan limbah terlebih dahulu. Sehingga kandungan urine pada
kotoran hewan tersebut masih tinggi, dimana dalam urine tersebut terdapat gas
amoniak yang akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Sehingga semakin
banyak pupuk kandang yang digunakan pada produksi caisin di Desa Citapen
maka variasi produktivitas caisin akan semakin meningkat. Pupuk kandang yang
baik merupakan pupuk kandang yang telah diolah atau melalui tahap fermentasi
terlebih dahulu.
Selain itu, penggunaan pupuk kandang tersebut sudah overdosis, yaitu
sebanyak 6.662,2 kilogram per hektar. Volume penggunaan pupuk kandang
tersebut tergolong tinggi. Hal ini diduga karena penggunaan yang berlebih dan
pupuk kandang yang memiliki bobot tinggi karena masih mengandung urine yang
tinggi. Sedangkan menurut Wahyudi (2010), kebutuhan pupuk kandang per hektar
cukup sebanyak 3.000 kilogram. Dengan adanya kondisi di atas menunjukkan
bahwa dalam usahatani caisin, variabel pupuk kandang merupakan faktor yang
menimbulkan risiko (risk inducing factors). Hasil ini konsisten dengan temuan
Just dan Pope dimana faktor produksi selain pestisida merupakan faktor yang
menimbulkan risiko produksi.

3. Kapur (X3)
Penggunaan kapur umumnya dilakukan jika pH tanah dibawah standar
yang seharusnya, sehingga kapur wajib diberikan untuk menetralkan atau
meningkatkan pH tanah agar layak digunakan untuk kegiatan usahatani.
Berdasarkan hasil pendugaan persamaan fungsi variance produksi menunjukkan
bahwa variabel kapur mempunyai tanda parameter positif. Artinya, semakin
banyak kapur yang digunakan dalam proses produksi maka variasi produktivitas

92
caisin semakin menurun. Nilai koefisien parameter penggunaan kapur bernilai
negatif sebesar -0,004680, artinya jika terjadi penambahan kapur sebesar satu
persen maka akan menurunkan variasi produktivitas caisin sebesar 0,004680
persen, dengan asumsi semua variabel lain tetap (cateris paribus). Dalam
usahatani caisin di Desa Citapen, jika taraf nyata sebesar 20 persen maka variabel
kapur tidak berpengaruh nyata terhadap variasi produktivitas caisin, dimana nilai
peluang variabel kapur sebesar 0,8743.
Petani responden di Desa citapen menggunakan kapur dalam setiap
periode tanam dikarenakan tingkat kesuburan tanah yang semakin menurun.
Menurunnya tingkat kesuburan tanah ini disebabkan karena intensitas penggunaan
lahan yang tinggi atau lahan yang tidak henti-hentinya digunakan untuk bertani,
sehingga membutuhkan kapur sebagai penetral pH tanah, meningkatkan unsur
hara tanah selain dari penggunaan pupuk kandang, dan meremajakan tanah
sehingga siap untuk digunakan kembali.
Dengan adanya kondisi diatas maka semakin banyak kapur yang
digunakan dalam proses produksi maka variasi produktivitas caisin semakin
menurun. Jika variasi produktivitas semakin menurun, artinya variabel kapur
merupakan faktor pengurang risiko (risk reducing factors). Hasil ini tidak sesuai
dengan temuan Just dan Pope dimana faktor pengurang risiko produksi hanya
pestisida. Belum ada penelitian lain yang menggunakan faktor produksi kapur
sehingga tidak ada tolak ukur atau perbandingan untuk mengetahui pengaruh
kapur terhadap produktivitas suatu komoditas.

4. Pupuk urea (X4)


Hasil pendugaan parameter persamaan fungsi variance produksi
menunjukkan bahwa variabel pupuk urea memiliki tanda negatif. Artinya,
semakin banyak pupuk urea yang digunakan dalam proses produksi maka variasi
produktivitas caisin semakin menurun. Jika dilihat dari nilai koefisien parameter
penggunaan pupuk urea bernilai negatif sebesar -0,004024, artinya jika terjadi
penambahan pupuk urea sebesar satu persen maka akan menurunkan variasi
produktivitas caisin sebesar 0,004024 persen, dengan asumsi semua variabel lain
tetap (cateris paribus). Jika taraf nyata sebesar 20 persen maka variabel pupuk
urea tidak berpengaruh nyata terhadap variasi produktivitas caisin. Berdasarkan

93
hasil pendugaan persamaan variance produksi tersebut menunjukkan bahwa
variabel pupuk urea mempunyai peluang sebesar 0,8874.
Sesuai kondisi di lapangan bahwa pupuk urea sebagai satu-satunya jenis
pupuk kimia paling digunakan dan dibutuhkan untuk pertumbuhan caisin di Desa
Citapen. Dalam pertanian, penggunaan pupuk urea seperti halnya nasi yang
merupakan makanan pokok manusia. Artinya, pupuk urea memiliki peran besar
bagi pertumbuhan caisin, dimana kandungan Nitrogen yang paling tinggi terdapat
pada pupuk urea yang berfungsi untuk memacu pertumbuhan daun, batang, dan
membantu proses fotosintesis pada tanaman caisin. Jadi, unsur N yang sangat
dibutuhkan tanaman caisin hanya diperoleh dari pupuk urea sehingga tidak
menggunakan jenis pupuk kimia yang lain, seperti pupuk KCL dan pupuk TSP.
Oleh karena itu, penggunaan pupuk urea dalam usahatani caisin di Desa Citapen
berperan cukup besar dalam menurukan variasi produktivitas caisin.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel pupuk urea merupakan faktor
pengurang risiko (risk reducing factors). Hasil ini tidak sesuai dengan yang
diharapkan, dimana tanda parameter yang diharapkan adalah positif, sehingga
hasil yang diperoleh ini tidak sesuai dengan temuan Just dan Pope dimana faktor
pengurang risiko produksi hanya pestisida. Namun, hasil yang diperoleh ini sesuai
dengan hasil penelitian Fariyanti et.al (2007) dimana pupuk urea sebagai faktor
pengurang risiko produksi kubis.

5. Pestisida cair (X5)


Berdasarkan temuan Just dan Pope bahwa pestisida sebagai faktor
pengurang risiko produksi. Namun, temuan ini tidak sejalan dengan hasil
penelitian penulis bahwa ternyata variabel pestisida cair merupakan faktor yang
menimbulkan risiko (risk inducing factors). Hasil pendugaan persamaan fungsi
variance produksi menunjukkan bahwa variabel pestisida cair mempunyai tanda
parameter positif. Artinya, Semakin banyak pestisida cair yang digunakan dalam
proses produksi maka variasi produktivitas caisin semakin meningkat. Nilai
koefisien parameter penggunaan pestisida cair bernilai positif sebesar 0,017458,
artinya jika terjadi penambahan pestisida cair sebesar satu persen maka akan
meningkatkan variasi produktivitas caisin sebesar 0,017458 persen, dengan
asumsi semua variabel lain tetap (cateris paribus). Sementara itu, nilai peluang

94
variabel pestisida cair yakni sebesar 0,6869. Jika taraf nyata sebesar 20 persen
maka variabel pestisida cair tidak berpengaruh nyata terhadap variasi
produktivitas caisin.
Kondisi yang terjadi di lapangan bahwa petani responden menggunakan
pestisida cair dalam jumlah yang berlebih (overdosis), yakni sebanyak 3,66 liter
saat musim hujan dan sebanyak 4,64 liter saat musim kemarau. Jumlah
penggunaan ini jauh lebih tinggi dibandingkan penggunaan insektisida menurut
Wahyudi (2010) dimana kebutuhan akan insektisida pada tanaman caisin hanya
sebanyak dua liter per hektar. Penggunaan pestisida cair yang berlebihan juga
akan berpengaruh terhadap pendapatan usahatani, dimana biaya yang dikeluarkan
untuk pestisida cair akan lebih tinggi khususnya pada musim kemarau. Sementara
itu, jumlah produksi yang diperoleh akan menurun karena penggunaan bahan-
bahan kimia yang berlebihan dan aplikasi pestisida tidak tepat pada waktunya.
Selain itu, aplikasi penggunaan pestisida cair di Desa Citapen tidak tepat pada
waktunya, dimana penyemprotan terhadap pestisida cair dilakukan setiap waktu
atau dalam kondisi apapun, baik itu ketika tanaman dalam kondisi terserang hama
ataupun tidak terserang hama. Penggunaan pestisida berjenis insektisida yang
berlebihan dan pemberian dalam waktu yang tidak tepat justru akan menyebabkan
risiko produksi.
Oleh karena itu, dalam usahatani caisin penggunaan variabel pestisida
caisin sebagai faktor yang menimbulkan risiko. Hasil yang diperoleh ini sesuai
dengan hasil penelitian Hutabarat (1985), diacu dalam Fariyanti (2008) dimana
pestisida cair yang berjenis insektisida sebagai faktor yang menimbulkan risiko
produksi. Dengan demikian, variabel pestisida cair memiliki ilustrasi yang
berbeda dari ilustrasi teori Just dan Pope. Pada penelitian ini, ketika tidak terdapat
hama pada tanaman, petani respoden tetap memberikan pestisida cair secara
kontinyu, dimulai saat tanaman baru berumur lima hari setelah tanam. Tanaman
caisin yang berumur muda akan lebih rentan terhadap penggunaan bahan kimia
yang berlebihan sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu. Saat
tanaman caisin sudah tumbuh besar, daun tanaman akan berwarna kekuningan dan
hasil penyemprotan pestisida akan melekat pada daun. Kondisi ini menyebabkan
hasil produksi menjadi tidak normal. Sementara itu, ketika terdapat hama pada

95
waktu-waktu tertentu kemudian diberikan pestisida cair maka hasil produksi akan
normal. Berdasarkan dua kondisi tersebut menunjukkan adanya gap atau
penyimpangan untuk pembanding yang sama. Artinya, ada variasi hasil produksi,
sehingga pestisida cair merupakan faktor yang dapat menimbulkan risiko.

6. Pestisida padat (X6)


Hasil pendugaan persamaan fungsi variance produksi menunjukkan bahwa
variabel pestisida padat mempunyai tanda parameter negatif. Artinya, semakin
banyak pestisida padat yang digunakan dalam proses produksi maka variasi
produktivitas caisin semakin menurun. Nilai koefisien parameter penggunaan
pestisida padat bernilai negatif sebesar -0,005802, artinya jika terjadi penambahan
pestisida padat sebesar satu persen maka akan menurunkan variasi produktivitas
caisin sebesar 0,005802 persen, dengan asumsi semua variabel lain tetap (cateris
paribus). Jika taraf nyata sebesar 20 persen maka variabel pestisida padat tidak
berpengaruh nyata terhadap variasi produktivitas caisin, dimana nilai peluang
variabel pestisida padat yakni sebesar 0,7993.
Pestisida padat yang digunakan petani responden terdiri dari jenis
fungisida dan insektisida. Jenis fungisida selain sebagai pencegah hama penyakit,
fungisida juga banyak mengandung vitamin dan zat-zat yang dibutuhkan untuk
memacu pertumbuhan caisin. Pada usahatani caisin di Desa Citapen menunjukkan
bahwa semakin banyak pestisida padat yang digunakan dalam proses produksi
maka variasi produktivitas caisin akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan
jenis pestisida padat yang digunakan petani responden mengandung zat-zat yang
berfungsi untuk mencegah hama atau bersifat fungi. Bagi pestisida yang
mengandung fungi maka akan ada kandungan vitamin yang berfungsi untuk
memperkuat tanaman sebagai usaha pencegahan munculnya hama, sehingga
penggunaan pestisida padat tidak mengganggu pertumbuhan tanaman.
Oleh karena itu, penggunaan pestisida padat dapat dikatakan sebagai
faktor pengurang risiko produksi (risk reducing factors). Hasil analisis ini
konsisten dengan temuan Just dan Pope dimana pestisida merupakan faktor
pengurang risiko. Selain itu, hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian Fariyanti
et.al (2007) dimana pestisida sebagai faktor pengurang risiko produksi kentang.

96
Berkaitan dengan analisis pendapatan usahatani, penggunaan pestisida
padat pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan musim hujan, yakni sebesar
8,33 kilogram. Hal ini dikarenakan pada musim kemarau populasi hama dan
penyakit meningkat sehingga penggunaan pestisida padat akan sangat membantu
dalam mencegah dan menjaga ketahan tumbuh tanaman. Besarnya penggunaan
pestisida padat pada musim kemarau ini menyebabkan biaya yang dikeluarkan
menjadi lebih besar, namun petani akan mendapatkan imbalan berupa manfaat
yang besar dari penggunaan pestisida padat untuk mengurangi risiko produksi
yang terjadi.

7. Pupuk daun (X7)


Pada usahatani caisin di Desa Citapen, semakin banyak pupuk daun yang
digunakan dalam proses produksi maka variasi produktivitas caisin semakin
menurun. Hal tersebut ditunjukkan dari parameter variabel pupuk daun yang
bertanda negatif. Nilai koefisien parameter penggunaan pupuk daun bernilai
negatif sebesar -0,052801, artinya jika terjadi penambahan pupuk daun sebesar
satu persen maka akan menurunkan variasi produktivitas caisin sebesar 0,052801
persen, dengan asumsi semua variabel lain tetap (cateris paribus). Hasil
pendugaan persamaan fungsi variance produksi caisin menunjukkan bahwa
variabel pupuk daun mempunyai peluang bernilai 0,1014. Jika taraf nyata sebesar
20 persen maka variabel pupuk daun berpengaruh nyata terhadap variasi
produktivitas caisin.
Penggunaan pupuk daun berfungsi sebagai penambah warna hijau daun
dan mengandung zat-zat yang dibutuhkan bagi pertumbuhan caisin sehingga dapat
disebut juga sebagai vitamin daun. Jika penggunaan pupuk daun digunakan dalam
jumlah dan waktu yang tepat maka pupuk daun tersebut dapat menurunkan variasi
produktivitas caisin sehingga pupuk daun sebagai faktor pengurang risiko
produksi. Tanpa bantuan pupuk daun, warna daun yang dihasilkan akan kurang
menarik dan perkembangan daun cenderung tidak mudah berkembang. Petani
responden yang menggunakan pupuk daun hanya pada waktu-waktu tertentu,
yakni pada akhir-akhir panen sekitar 20 persen dari total seluruh responden.
Jika penggunaan pupuk daun dapat menurunkan variasi produktivitas
caisin maka variabel pupuk daun merupakan faktor pengurang risiko (risk

97
reducing factors). Hasil ini tidak sesuai dengan yang diharapkan, dimana tanda
parameter yang diharapkan adalah positif, sehingga hasil yang diperoleh tidak
sesuai dengan temuan Just dan Pope dimana hanya pestisida yang merupakan
faktor pengurang risiko. Namun, hasil yang diperoleh ini sesuai dengan hasil
penelitian Fariyanti et.al (2007) dimana pupuk daun yang termasuk jenis pupuk
kimia sebagai faktor pengurang risiko produksi.

8. Tenaga kerja (X8)


Tenaga kerja pada usahatani caisin dibutuhkan dalam jumlah yang cukup
banyak khususnya pada saat kegiatan penyulaman, penyiangan, dan panen, karena
pada kegiatan tersebut pekerjaan lebih banyak dan harus dilakukan dengan lebih
teliti. Jika terjadi kekurangan tenaga kerja khususnya pada kegiatan-kegiatan
tersebut akan mengganggu kegiatan usahatani caisin.
Berdasarkan hasil pendugaan persamaan fungsi variance produksi
menunjukkan bahwa variabel tenaga kerja mempunyai tanda paramater negatif.
Artinya, semakin banyak penggunaan tenaga kerja dalam proses produksi caisin
maka variasi produktivitas caisin semakin menurun. Nilai koefisien parameter
penggunaan tenaga kerja bernilai negatif sebesar -0,006754, artinya jika terjadi
penambahan tenaga kerja sebesar satu persen maka akan menurunkan variasi
produktivitas caisin sebesar 0,006754 persen, dengan asumsi semua variabel lain
tetap (cateris paribus). Sementara itu, jika taraf nyata sebesar 20 persen maka
variabel tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap variasi produktivitas
caisin. Hasil pendugaan persamaan fungsi variance produksi menunjukkan bahwa
variabel tenaga kerja mempunyai peluang sebesar 0,9059.
Fakta yang terjadi di lapangan mengenai penggunaan tenaga kerja bahwa
tenaga kerja yang dibutuhkan pada saat kegiatan penyulaman dan penyiangan di
lahan seluas satu hektar, yakni beberapa petani responden menggunakan sebanyak
10 – 15 tenaga kerja wanita yang dikerjakan selama dua hari, sehingga kebutuhan
tenaga kerja tersebut sebanyak 20 – 30 HKW (Hari Kerja Wanita) atau setara
dengan 15 – 22,5 HKP (Hari Kerja Pria). Sama halnya menurut Wahyudi (2010)
dimana jumlah kebutuhan tenaga kerja pada saat penyiangan adalah sebesar 20
HKW. Kebutuhan tenaga kerja tersebut juga harus disesuaikan dengan luasan

98
lahan garapan, jika lahan garapan usahatani luas sementara tenaga kerja yang
digunakan terbatas maka akan mempengaruhi kegiatan usahatani caisin.
Kondisi di atas mengambarkan bahwa semakin banyak penggunaan tenaga
kerja dalam proses produksi caisin maka variasi produktivitas caisin semakin
menurun. Artinya, variabel tenaga kerja sebagai faktor pengurang risiko produksi
(risk reducing factors). Jika dilihat dari kondisi di lapangan yang telah
digambarkan di atas maka tenaga kerja memang menjadi faktor yang dapat
mengurangi risiko produksi. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan hasil
penelitian Fariyanti (2008) dan Hutabarat (1985), diacu dalam Fariyanti et.al
(2007) dimana tenaga kerja sebagai faktor pengurang risiko produksi. Namun,
hasil tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan, dimana tanda parameter yang
diharapkan adalah positif, sehingga hasil analisis ini tidak sesuai dengan temuan
Just dan Pope dimana hanya pestisida yang merupakan faktor pengurang risiko.

Hasil pendugaan parameter variance error produksi periode tertentu pada


persamaan variance produksi caisin menunjukkan bahwa error kuadrat musim
sebelumnya mempunyai nilai peluang sebesar 0,8367. Jika taraf nyata sebesar 20
persen maka error kuadrat musim sebelumnya tidak berpengaruh nyata terhadap
variance produksi caisin. Sedangkan variance error musim sebelumnya
mempunyai nilai peluang sebesar 0,0791. Jika taraf nyata sebesar 20 persen maka
variance error musim sebelumnya tidak berpengaruh nyata terhadap variance
produksi caisin. Oleh karena kedua parameter error kuadrat musim sebelumnya
dan variance error musim sebelumnya bertanda positif, maka hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi risiko produksi caisin pada musim
sebelumnya, maka semakin tinggi risiko produksi pada musim berikutnya.

99
VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI CAISIN

Pendapatan yang diperoleh petani responden merupakan kriteria untuk


menentukan keberhasilan usahatani dalam menjalankan kegiatan usahatani.
Tujuan dari kegiatan usahatani caisin adalah untuk memperoleh pendapatan yang
optimal sebagai imbalan atas usaha dan kerja yang telah dijalankan oleh para
petani. Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan biaya yang
dikeluarkan. Pendapatan usahatani caisin dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Untuk menghitung
pendapatan usahatani maka terlebih dahulu perlu diperhitungkan penerimaan dan
biaya usahatani. Pendapatan usahatani yang akan diperhitungkan terdiri dari
pendapatan usahatani pada musim hujan dan pendapatan usahatani pada musim
kemarau, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat adanya perbedaan analisis
pendapatan antara kedua musim tersebut yang terkait dengan adanya risiko
produksi.

1) Penerimaan Usahatani Caisin


Penerimaan usahatani caisin dihitung berdasarkan rata-rata luasan lahan
para petani responden yang dikonversi per hektar dalam satu periode tanam. Satu
periode tanam dalam usahatani caisin rata-rata selama dua bulan dengan waktu
pemanenan 2-3 kali panen dalam satu periode tanam. Penerimaan usahatani yang
diperhitungkan terdiri dari penerimaan pada saat musim hujan dan musim
kemarau. Harga jual caisin yang digunakan merupakan harga jual rata-rata dari 35
petani responden. Perbedaan harga ini disebabkan karena harga jual caisin di
pasaran dapat berubah setiap harinya. Jadi, harga jual rata-rata caisin adalah
sebesar Rp 1.627,86 per kilogram.
Perhitungan penerimaan usahatani caisin terdiri dari penerimaan tunai dan
penerimaan yang diperhitungkan. Penerimaan tunai merupakan penerimaan atas
hasil produksi yang dijual ke pasaran, sedangkan penerimaan yang diperhitungkan
merupakan penerimaan atas hasil produksi yang dikonsumsi sendiri, dengan rata-
rata konsumsi sebesar 0,5 persen dari total hasil produksi selama satu periode
tanam. Hasil penerimaan usahatani caisin dapat dilihat pada Tabel 21.

100
Tabel 21. Rata-rata Penerimaan Usahatani Caisin per Hektar per Periode Tanam
pada Musim Hujan dan Musim Kemarau di Kelompok Tani Pondok
Menteng Desa Citapen Tahun 2011
Musim Hujan Musim Kemarau
Komponen
(Rp) (Rp)
Penerimaan Tunai 29.265.869,14 20.474.064,34
Penerimaan yang
147.064,67 102.884,75
Diperhitungkan
Penerimaan Total 29.412.933,80 20.576.949,08

Pada musim hujan, jumlah total hasil produksi yang dihasilkan petani
responden rata-rata sebanyak 18.068,50 kilogram, sedangkan pada musim
kemarau, jumlah total hasil produksi yang dihasilkan petani responden rata-rata
sebanyak 12.640,51 kilogram. Sehingga penerimaan total usahatani yang
diperoleh dengan mengalikan antara jumlah total hasil produksi dengan harga jual
rata-rata, yaitu pada musim hujan sebesar Rp 29.412.933,80, sedangkan pada
musim kemarau sebesar Rp 20.576.949,08. Adanya perbedaan jumlah total hasil
produksi antara musim hujan dan kemarau ini dikarenakan pada musim kemarau
tanaman caisin lebih rentan terhadap penyakit dan populasi hama meningkat
karena cuaca yang panas dan kering. Risiko produksi pada musim kemarau
tergolong lebih tinggi karena dapat menurunkan jumlah produksi caisin.
Rendahnya jumlah produksi yang dihasilkan menyebabkan penerimaan total
usahatani menjadi lebih rendah pada musim kemarau.

2) Biaya Usahatani Caisin


Biaya usahatani caisin terdiri dari dua komponen, yaitu biaya tunai dan
biaya yang diperhitungkan. Dalam usahatani caisin, biaya tunai terdiri dari biaya
pembelian benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pestisida cair, pestisida
padat, pupuk daun, tenaga kerja luas keluarga (TKLK), sewa lahan bagi petani
responden yang menyewa lahan, dan pajak dari lahan milik sendiri. Sedangkan
biaya yang diperhitungkan terdiri dari biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK),
biaya sewa lahan untuk lahan bagi hasil dan lahan penggarap (pengelola), dan
biaya penyusutan peralatan. Perhitungan biaya usahatani caisin dapat dilihat pada
Tabel 22.

101
Tabel 22. Rata-Rata Biaya Usahatani Caisin per Hektar per Periode Tanam pada
Musim Hujan dan Musim Kemarau di Kelompok Tani Pondok
Menteng Desa Citapen Tahun 2011
Musim Hujan Musim Kemarau
No Komponen (Rp) (Rp)
A. Biaya Tunai
1. Benih 283.947,45 283.947,45
2. Pupuk kandang 1.322.922,14 1.322.922,14
3. Kapur 291.702,46 291.702,46
4. Pupuk urea 911.383,56 961.370,09
5. Pestisida cair 442.854,99 583.160,96
6. Pestisida padat 734.331,99 1.210.490,02
7. Pupuk daun 255.049,50 255.049,50
8. Tenaga Kerja Luar Keluarga
(TKLK) 4.473.984,43 4.473.984,43

9. Sewa Lahan 1.144.531,25 1.144.531,25


10. Pajak lahan 90.277,78 90.277,78
Total Biaya Tunai 10.235.250,99 10.617.436,07
B. Biaya yang Diperhitungkan
1. Tenaga Kerja Dalam
Keluarga (TKDK) 2.020.926,74 2.020.926,74

2. Sewa Lahan Diperhitungkan 1.788.333,33 1.788.333,33


3. Penyusutan Peralatan 22.954,72 22.954,72
Total Biaya yang Diperhitungkan 3.832.214,80 3.832.214,80
Jumlah Total Biaya 14.067.465,79 14.449.650,87

Biaya usahatani caisin petani respoden di Kelompok Tani Pondok


Menteng terdiri dari perhitungan biaya usahatani caisin pada musim hujan dan
biaya usahatani caisin pada musim kemarau. Hal ini untuk melihat adanya
perbedaan biaya yang dikeluarkan petani respoden terkait perbedaan musim
tanam, yakni kegiatan usahatani caisin pada musim hujan dan pada musim
kemarau. Tabel 22 menunjukkan bahwa total biaya usahatani yang dikeluarkan
petani pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan biaya usahatani pada
musim hujan. Perbedaan jumlah biaya total yang dikeluarkan petani tersebut

102
terletak pada biaya tunai, dimana penggunaan beberapa input atau sarana
produksi, yaitu pupuk urea, pestisida cair, dan pestisida padat pada musim
kemarau lebih banyak daripada musim hujan sehingga biaya yang dikeluarkan
petani menjadi lebih besar. Kondisi kemarau yang kering dan cuaca panas yang
terik menyebabkan populasi hama dan penyakit meningkat, sehingga kebutuhan
akan pupuk urea, pestisida cair, dan pestisida padat menjadi lebih tinggi. Pada
akhirnya petani harus rela mengeluarkan biaya usahatani yang lebih tinggi untuk
dapat memenuhi kebutuhan ketiga input tersebut sesuai kebutuhannya.
Biaya pupuk urea yang dikeluarkan petani pada musim kemarau sebesar
Rp 961.370,09, sedangkan pada musim hujan biaya pupuk urea sebesar Rp
911.383,56. Selisih kedua biaya ini tidak terlalu signifikan, yakni hanya sebesar
Rp 49.986,53 dibandingkan perbedaan biaya pada komponen pestisida cair dan
pestisida padat. Biaya pestisida cair yang dikeluarkan pada musim kemarau
sebesar Rp 583.160,96, sedangkan pada musim hujan sebesar Rp 442.854,99,
sehingga selisih antara kedua biaya ini sebesar Rp 140.305,97. Sementara itu,
untuk biaya pestisida padat yang dikeluarkan pada musim kemarau sebesar Rp
1.210.490,02, sedangkan pada musim hujan sebesar Rp 734.331,99, sehingga
selisih antara kedua biaya ini sebesar Rp 476.158,03. Berdasarkan perhitungan
selisih biaya ketiga input tersebut, kebutuhan pestisida padat menjadi input yang
sangat dipengaruhi oleh musim tanam karena pada musim kemarau biaya yang
dikeluarkan akan jauh lebih tinggi. Pestisida padat ini berfungsi untuk mencegah
dan memberantas hama dan penyakit yang meningkat pada musim kemarau.
Pada komponen biaya tunai, biaya sewa lahan merupakan biaya yang
dikeluarkan oleh petani karena telah menyewa tanah milik oranglain untuk
digunakan sebagai lahan usahanya. Terdapat 16 orang petani responden dengan
status lahan sewa dan besarnya sewa lahan masing-masing petani responden
berbeda-beda sehingga setelah dirata-ratakan menghasilkan biaya sewa sebesar
Rp 1.144.531,25 per hektar per periode tanam. Kemudian biaya pajak merupakan
pajak yang dikenakan oleh petani responden yang menggunakan lahan milik
sendiri, besarnya biaya pajak tersebut antar petani respoden berbeda-beda
tergantung berapa lama masa tanam caisin petani tersebut dalam satu periode

103
tanam, sehingga setelah dirata-ratakan menghasilkan pajak sebesar Rp 90.277,78
per hektar per periode tanam.
Pada komponen biaya yang diperhitungkan, biaya sewa lahan
diperhitungkan terdiri dari biaya sewa lahan sendiri dan biaya sewa lahan dari
lahan bagi hasil dan lahan petani penggarap. Lahan milik sendiri tetap
diperhitungkan sebagai sewa lahan sehingga dilakukan penaksiran biaya
penggunaan tanah sebesar nilai sewa tanah rata-rata yang berlaku di Desa Citapen,
sehingga rata-rata sewa lahan milik sendiri tersebut sebesar Rp 1.083.333,33 per
hektar per periode tanam. Sedangkan biaya sewa lahan dari lahan bagi hasil dan
lahan petani penggarap memiliki asumsi diperhitungkan sebagai lahan sewaan,
meskipun pada kenyatannya petani responden tersebut tidak membayar biaya
sewa lahan kepada pemilik lahan. Asumsi yang digunakan adalah petani dengan
sistem bagi hasil memperhitungkan biaya sewa lahan sebesar 40 persen dari total
biaya sewa lahan, sedangkan petani penggarap memperhitungkan biaya sewa
lahan utuh sama halnya seperti petani yang menggunakan lahan sewaan. Rata-rata
biaya sewa lahan bagi petani bagi hasil dan petani penggarap adalah sebesar Rp
705.000,00 per hektar per periode tanam. Sehingga total biaya sewa lahan
diperhitungkan adalah sebesar Rp 1.788.333,33, baik pada musim hujan maupun
musim kemarau. Secara rinci, analisis biaya usahatani caisin petani responden di
Kelompok Tani Pondok Menteng pada musim hujan dapat dilihat pada Lampiran
4 dan pada musim kemarau dapat dilihat pada Lampiran 5.

3) Pendapatan Usahatani Caisin


Pendapatan usahatani caisin diperoleh dari hasil selisih antara penerimaan
dengan biaya usahatani. Pendapatan usahatani caisin dibedakan menjadi dua, yaitu
pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pada musim hujan,
pendapatan atas biaya tunai adalah sebesar Rp 19.030.618,15 per hektar per
periode tanam dan pendapatan atas biaya total adalah sebesar Rp 15.345.468,02
per hektar per periode tanam. Sedangkan pada musim kemarau menghasilkan
pendapatan yang lebih rendah, yaitu untuk pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp
9.856.628,27 per hektar per periode tanam dan pendapatan atas biaya total sebesar
Rp 6.127.298,22 per hektar per periode tanam. Secara rinci, analisis pendapatan

104
usahatani caisin pada musim hujan dan pada musim kemarau dapat dilihat pada
Tabel 23.

Tabel 23. Analisis Rata-Rata Pendapatan Usahatani Caisin per Hektar per
Periode Tanam pada Musim Hujan dan Musim Kemarau di Kelompok
Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011
Musim Hujan Musim Kemarau
No Komponen
(Rp) (Rp)
A Penerimaan tunai 29.265.869,14 20.474.064,34
B Penerimaan yang diperhitungkan 147.064,67 102.884,75
C Total Penerimaan (A+B) 29.412.933,80 20.576.949,08
D Biaya tunai 10.235.250,99 10.617.436,07
E Biaya yang diperhitungkan 3.832.214,80 3.832.214,80
F Total Biaya (D+E) 14.067.465,79 14.449.650,87
G Pendapatan atas biaya tunai (A-D) 19.030.618,15 9.856.628,27
H Pendapatan atas biaya total (C-F) 15.345.468,02 6.127.298,22

Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwa pendapatan yang diterima oleh


petani responden saat melakukan usahatani pada musim hujan lebih
menguntungkan karena akan memperoleh pendapatan atau keuntungan yang lebih
besar. Perbedaan pendapatan yang diperoleh ini berkaitan dengan adanya risiko
produksi. Kondisi cuaca yang panas dan kering menyebabkan risiko produksi
pada musim kemarau cenderung lebih tinggi dibanding saat musim hujan.
Perbedaan pendapatan yang diperoleh petani tersebut disebabkan oleh dua
komponen dalam analisis pendapatan, yaitu komponen penerimaan usahatani dan
komponen biaya tunai usahatani. Pada komponen penerimaan, hasil produksi
yang diperoleh pada musim kemarau akan lebih rendah dibanding musim hujan.
Sedangkan pada komponen biaya tunai usahatani, biaya yang dikeluarkan pada
musim kemarau akan lebih tinggi dibanding saat musim hujan. Hal ini
dikarenakan saat musim kemarau, populasi hama dan penyakit akan meningkat
serta tanaman akan lebih sensitif terhadap kekeringan, sehingga pada musim
kemarau biaya pestisida dan pupuk urea lebih tinggi dibanding pada musim hujan.
Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan petani responden dilapangan bahwa

105
menanam caisin saat musim kemarau akan memiliki risiko yang lebih besar
karena adanya sumber risiko khususnya dalam kegiatan produksi, yaitu serangan
hama yang meningkat dan cuaca yang panas yang menimbulkan penyakit pada
tanaman caisin. Oleh karena itu, dapat diketahui pengaruh risiko produksi
terhadap pendapatan usahatani caisin, yakni risiko produksi yang lebih tinggi pada
musim kemarau menyebabkan pendapatan usahatani caisin lebih rendah daripada
musim hujan.
Sementara itu, dilihat dari sisi bisnis, baik pada musim hujan maupun
musim kemarau usahatani caisin dapat mendatangkan keuntungan bagi petani dan
menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga. Berdasarkan pendapatan yang
diperoleh tersebut menunjukkan bahwa usahatani caisin merupakan jenis usaha
yang menarik untuk diusahakan. Biaya operasional usahatani caisin yang
tergolong lebih rendah daripada tanaman lain namun memberikan keuntungan
yang cukup besar adalah salah satu alasan para petani tetap mengusahakan
tanaman caisin. Adanya risiko produksi sebaiknya diminimalisasi agar tidak
menurunkan pendapatan usahatani yang akan diperoleh.

106
VIII KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan
1. a. Penggunaan benih, kapur, pupuk urea, pestisida padat dan tenaga kerja
merupakan faktor yang dapat meningkatkan produktivitas caisin.
Penggunaan pupuk kandang, pestisida cair, dan pupuk daun merupakan
faktor yang dapat menurunkan produktivitas caisin.
b. Penggunaan benih, pupuk kandang, dan pestisida cair merupakan faktor
yang dapat meningkatkan variasi produktivitas caisin, sehingga ketiga
faktor produksi ini merupakan faktor yang dapat menimbulkan risiko
produksi (risk inducing factors). Penggunaan kapur, pupuk urea, pestisida
padat, pupuk daun, dan tenaga kerja merupakan faktor yang dapat
menurunkan variasi produktivitas caisin, sehingga kelima faktor produksi
ini merupakan faktor yang dapat mengurangi risiko produksi (risk
reducing factors). Semakin tinggi risiko produksi caisin pada musim
sebelumnya, maka semakin tinggi risiko produksi pada musim berikutnya
2. Rata-rata pendapatan usahatani caisin yang diperoleh petani responden
pada musim kemarau lebih rendah dibandingkan pada musim hujan. Hal
ini dikarenakan pada musim kemarau risiko produksi lebih tinggi daripada
musim hujan. Sumber risiko produksi yang tinggi pada musim kemarau
tersebut disebabkan meningkatnya populasi hama dan penyakit serta
kondisi cuaca yang panas dan kering. Hal ini menyebabkan jumlah hasil
produksi pada musim kemarau lebih rendah daripada musim hujan,
sementara itu biaya yang dikeluarkan petani responden pada musim
kemarau lebih tinggi daripada musim hujan. Secara bisnis, usahatani caisin
menjadi usaha yang menarik untuk diusahakan karena dapat memberikan
keuntungan yang cukup besar bagi petani responden. Hal ini ditunjukkan
dari nilai pendapatan total yang diperoleh, yakni sebesar Rp 15.345.468,02
per hektar per periode tanam pada musim hujan. Sedangkan pada musim
kemarau menghasilkan pendapatan total sebesar Rp 6.127.298,22 per
hektar per periode tanam.

107
8.2 Saran
1. Petani sebaiknya memperhatikan mengenai penggunaan input, seperti
penggunaan benih yang tahan terhadap kekeringan dan hama penyakit
serta dibeli pada satu sumber yang sudah terpercaya kualitasnya,
penggunaan pupuk kandang yang sudah dikeringkan atau berbentuk
kompos sehingga aman diaplikasikan pada tanaman, penggunaan pestisida
cair sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur) dari hasil penyuluhan
yang sudah diperoleh dari Gapoktan Rukun Tani, sehingga jumlah dan
waktu pemberian sesuai dengan kebutuhan.
2. Petani sebaiknya dapat mencermati tentang waktu dan kondisi lingkungan
sebelum memutuskan untuk menanam caisin. Ketika musim kemarau,
petani sebaiknya melakukan penyiraman lebih rutin. Selain itu, petani
harus cermat memperhitungkan perbedaan kebutuhan pada musim
kemarau dan musim hujan, sehingga penggunaan input sesuai dengan
kebutuhan pada musim tanam tersebut.

108
DAFTAR PUSTAKA

Abdurohim O. 2008. Pengaruh Kompos Terhadap Ketersediaan Hara dan


Produksi Tanaman Caisin pada Latosol dari Gunung Sindur [skripsi].
Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2009. Statistik Indonesia dalam Angka
2009. Jakarta : Badan Pusat Statistik Indonesia.

. 2010. Statistik Indonesia dalam Angka


2010. Jakarta : Badan Pusat Statistik Indonesia.

[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2010. Jawa Barat dalam
Angka 2010. Bogor : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat.

Debertin, DL. 1986. Agricultural Production Economics. New York : Macmillan


Publishing Company.

Desa Citapen. 2010. Potensi Desa Citapen Kecamatan Ciawi Kabupaen Bogor
Tahun 2010. Bogor : Desa Citapen.

Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2010. Kabupaten Bogor


Dalam Angka 2010. Bogor : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Bogor.

Ellis F. 1993. Peasant Economics : Farm Housholds and Agrarian Development.


Ed ke-2. New York : Cambridge University Press.

Falco SD, Chavas JP, Smale M. 2006. Farmer Management of Production Risk
on Degraded Lands: The Role of Wheat Genetic Diversity in Tigray
Region, Ethiopia. EPT Discussion Paper 153. Washington, DC :
International Food Policy Research Institute (IFPRI).

Fariyanti A. 2008. Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Sayuran Dalam


Menghadapi Risiko Produksi dan Harga Produk di Kecamatan
Pangalengan Kabupaten Bandung [disertasi]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Fariyanti A, Kuntjoro, Hartoyo S, Daryanto A. 2007. Perilaku Ekonomi Rumah


Tangga Petani Sayuran Pada Kondisi Risiko Produksi dan Harga di
Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Jurnal Agro Ekonomi,
Volume 25 No.2, Oktober 2007 : 178 – 206.

Fufa B, Hassan RM. 2003. Stochastic Technology and Crop Production Risk: The
Case of Small-Scale Farmers in East Hararghe Zone of Oromiya Regional
State in Ethiopia. Agrekon : Agricultural Economics Research, Policy and
Practice in Southern Africa.

109
Gapoktan Rukun Tani. 2011. Laporan Perkembangan Kegiatan CF-SKR
(Counterpart Fund Second Kennedy Round). Bogor : Gapoktan Rukun
Tani.

Gopur UM. 2009. Analisis Efisiensi Produksi Caisin (Studi Kasus : Kecamatan
Nagrak, Kabupaten Sukabumi) [skripsi]. Bogor. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Gujarati D. 1993. Ekonometrika Dasar. Alih Bahasa S. Zain. Jakarta : Airlangga.

Handoyo GC. 2010. Respon Tanaman Caisin (Brassica Chinensis) Terhadap


Pupuk NPK (16-20-29) di Dataran Tinggi [skripsi]. Bogor. Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Koundouri P, Nauges C. 2005. On Production Function Estimation with


Selectivity and Risk Considerations. Journal of Agricultura1 and
Resource Economics 30 (3):597-608.

Lipsey RG, Courant PN, Purvis DD, Steiner PO. 1995. Pengantar Mikroekonomi.
Ed ke-10. Jakarta : Binarupa Aksara.

Robison LJ, Barry PJ. 1987. The Competitive Firm’s Respon To Risk. New
York : Macmillan Publishing Company.

Sembiring L. 2010. Analisis Risiko Produksi Sayuran Organik pada The


Pinewood Organic Farm di Kabupaten Bogor, Jawa Barat [skripsi].
Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Soekartawi, Soeharjo A, Dillon JL, Hardaker JB. 1986. Ilmu Usahatani dan
Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecili. Jakarta : UI-Press

Tarigan PESBR. 2009. Analisis Risiko Produksi Sayuran Organik pada Permata
Hati Organic Farm di Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Verbeek M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. England : John Wiley &


Sons, Ltd.

Wahyudi. 2010. Petunjuk Praktis Bertanam Sayuran. Jakarta : AgroMedia


Pustaka.

Widiyazid S. 1998. Budidaya Caisin dengan Aplikasi CM dan Tress di Daerah


Urban IP2TP, Denpasar. Bali : Instalasi Penelitian dan Pengkajian
Teknologi Pertanian Denpasar.

110
LAMPIRAN

111
Lampiran 1. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Fungsi Variance Produksi
Usahatani Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa
Citapen Tahun 2011

Dependent Variable: LNY


Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution
Date: 08/03/11 Time: 02:47
Sample: 1 70
Included observations: 70
Convergence achieved after 26 iterations
Bollerslev-Wooldridge robust standard errors & covariance

Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.

LNX1 0.332313 0.106897 3.108718 0.0019


LNX2 -0.047610 0.064749 -0.735304 0.4622
LNX3 0.149424 0.096905 1.541972 0.1231
LNX4 0.001976 0.093313 0.021175 0.9831
LNX5 -0.466096 0.116448 -4.002602 0.0001
LNX6 0.204067 0.096062 2.124338 0.0336
LNX7 -0.181706 0.114853 -1.582073 0.1136
LNX8 0.625879 0.152155 4.113431 0.0000
C 5.552390 0.805757 6.890902 0.0000

Variance Equation

C 0.126633 0.249383 0.507786 0.6116


RESID(-1)^2 0.024194 0.117357 0.206157 0.8367
GARCH(-1) 0.661408 0.376663 1.755968 0.0791
LNX1 0.052855 0.052575 1.005332 0.3147
LNX2 0.000228 0.021248 0.010717 0.9914
LNX3 -0.004680 0.029584 -0.158203 0.8743
LNX4 -0.004024 0.028420 -0.141609 0.8874
LNX5 0.017458 0.043315 0.403058 0.6869
LNX6 -0.005802 0.022820 -0.254260 0.7993
LNX7 -0.052801 0.032238 -1.637883 0.1014
LNX8 -0.006754 0.057128 -0.118221 0.9059

R-squared 0.615442 Mean dependent var 9.378222


Adjusted R-squared 0.469310 S.D. dependent var 0.669341
S.E. of regression 0.487604 Akaike info criterion 1.512228
Sum squared resid 11.88791 Schwarz criterion 2.154655
Log likelihood -32.92798 Hannan-Quinn criter. 1.767408
F-statistic 4.211550 Durbin-Watson stat 1.592687
Prob(F-statistic) 0.000023

112
Lampiran 2. Penggunaan Faktor-Faktor Produksi dan Hasil Produktivitas
Usahatani Caisin petani Responden per Hektar pada Musim Hujan
di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun 2011
Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8
Pupuk Pupuk Pestisida Pestisida Pupuk Tenaga
No Produktivitas Benih Kapur
Kandang Urea Cair Padat Daun Kerja
(Kg/Ha) (Kg) (Kg) (Kg) (Kg) (Liter) (Kg) (Kg) (HOK)
1 5.000,00 0,38 1.250,00 625,00 187,50 1,25 0,63 1,25 107,81
2 15.000,00 1,00 1.000,00 200,00 275,00 1,00 1,00 1,00 131,75
3 4.000,00 1,00 10.000,00 500,00 300,00 1,50 0,80 1,00 184,00
4 6.666,67 0,67 10.000,00 666,67 166,67 1,33 0,67 1,00 71,67
5 20.000,00 2,00 10.000,00 500,00 200,00 2,00 2,80 0,50 224,50
6 50.000,00 4,00 50.000,00 5.000,00 1.200,00 10,00 4,00 5,00 510,00
7 10.000,00 2,00 10.000,00 1.000,00 200,00 1,00 1,00 0,75 62,25
8 6.000,00 1,00 3.000,00 500,00 200,00 2,00 0,60 1,50 160,50
9 10.000,00 4,00 5.000,00 600,00 220,00 1,00 1,00 1,00 212,50
10 9.230,77 2,31 3.076,92 769,23 169,23 3,85 1,54 3,85 284,62
11 8.000,00 5,00 12.500,00 2.500,00 2.500,00 5,00 3,00 5,00 285,00
12 10.000,00 0,50 500,00 400,00 60,00 0,50 0,30 0,50 72,00
13 12.000,00 1,00 1.200,00 200,00 250,00 1,50 3,00 3,00 165,00
14 8.000,00 1,00 800,00 800,00 240,00 4,00 2,00 4,00 276,00
15 20.000,00 2,00 6.000,00 1.500,00 500,00 5,00 5,00 2,50 430,00
16 20.000,00 1,50 2.000,00 500,00 250,00 1,00 2,00 1,00 165,00
17 100.000,00 10,00 12.500,00 5.000,00 1.000,00 12,50 22,50 12,50 2.100,00
18 12.000,00 2,00 5.000,00 200,00 350,00 2,00 0,60 2,00 199,50
19 10.000,00 1,00 1.000,00 500,00 350,00 1,00 1,00 1,00 215,00
20 10.000,00 2,00 2.000,00 200,00 400,00 3,00 1,00 1,00 167,00
21 30.000,00 1,50 5.000,00 500,00 1.000,00 1,00 0,70 1,00 231,50
22 25.000,00 3,00 5.000,00 750,00 275,00 1,00 1,00 2,00 304,50
23 5.000,00 1,67 2.500,00 833,33 1.500,00 3,33 1,00 1,67 195,00
24 20.833,33 4,17 833,33 833,33 500,00 2,08 3,33 2,08 166,67
25 20.000,00 3,33 8.333,33 1.000,00 833,33 3,33 4,67 3,33 663,33
26 16.000,00 1,00 1.000,00 500,00 600,00 1,00 0,40 1,00 243,00
27 16.000,00 1,60 2.000,00 1.000,00 420,00 1,50 1,00 2,00 255,00
28 66.666,67 8,33 33.333,33 1.666,67 2.500,00 8,33 8,33 8,33 1.683,33
29 6.000,00 1,00 850,00 200,00 250,00 1,00 1,00 0,50 96,50
30 23.333,33 3,33 2.500,00 500,00 416,67 1,67 1,00 1,67 216,67
31 4.000,00 1,00 2.000,00 400,00 200,00 1,00 1,00 2,00 139,00
32 15.000,00 1,00 1.000,00 200,00 275,00 0,50 0,50 1,00 159,50
33 14.000,00 1,50 1.000,00 500,00 200,00 1,00 1,00 1,00 138,00
34 8.000,00 2,50 6.000,00 1.000,00 200,00 5,00 2,50 2,50 225,00
35 16.666,67 8,33 15.000,00 1.666,67 500,00 8,33 6,67 8,33 625,00

113
Lampiran 3. Penggunaan Faktor-Faktor Produksi dan Produktivitas
Usahatani Caisin petani Responden per Hektar pada Musim
Kemarau di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen Tahun
2011
Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8
Pupuk Pupuk Pestisida Pestisida Pupuk Tenaga
No Produktivitas Benih Kapur
Kandang Urea Cair Padat Daun Kerja
(Kg/Ha) (Kg) (Kg) (Kg) (Kg) (Liter) (Kg) (Kg) (HOK)
1 5.000,00 0,38 1.250,00 625,00 187,50 1,25 0,63 1,25 107,81
2 10.500,00 1,00 1.000,00 200,00 320,00 2,00 2,00 1,00 131,75
3 4.000,00 1,00 10.000,00 500,00 300,00 1,50 0,80 1,00 184,00
4 6.666,67 0,67 10.000,00 666,67 166,67 1,33 0,67 1,00 71,67
5 13.000,00 2,00 10.000,00 500,00 200,00 2,00 2,80 0,50 224,50
6 25.000,00 4,00 50.000,00 5.000,00 1.200,00 10,00 4,00 5,00 510,00
7 10.000,00 2,00 10.000,00 1.000,00 200,00 1,00 1,00 0,75 62,25
8 6.000,00 1,00 3.000,00 500,00 200,00 2,00 0,60 1,50 160,50
9 10.000,00 4,00 5.000,00 600,00 220,00 1,00 1,00 1,00 212,50
10 7.384,62 2,31 3.076,92 769,23 169,23 7,69 3,85 3,85 284,62
11 8.000,00 5,00 12.500,00 2.500,00 2.500,00 5,00 3,00 5,00 285,00
12 7.500,00 0,50 500,00 400,00 40,00 0,50 0,30 0,50 72,00
13 12.000,00 1,00 1.200,00 200,00 250,00 1,50 3,00 3,00 165,00
14 8.000,00 1,00 800,00 800,00 240,00 4,00 2,00 4,00 276,00
15 14.000,00 2,00 6.000,00 1.500,00 500,00 10,00 10,00 2,50 430,00
16 14.000,00 1,50 2.000,00 500,00 250,00 1,50 3,00 1,00 165,00
17 50.000,00 10,00 12.500,00 5.000,00 2.000,00 12,50 22,50 12,50 2.100,00
18 12.000,00 2,00 5.000,00 200,00 350,00 2,00 0,60 2,00 199,50
19 10.000,00 1,00 1.000,00 500,00 350,00 1,00 1,00 1,00 215,00
20 7.500,00 2,00 2.000,00 200,00 400,00 4,00 2,00 1,00 167,00
21 15.000,00 1,50 5.000,00 500,00 1.000,00 0,50 0,40 1,00 231,50
22 12.500,00 3,00 5.000,00 750,00 275,00 3,00 3,00 2,00 304,50
23 4.500,00 1,67 2.500,00 833,33 1.500,00 5,00 1,67 1,67 195,00
24 20.833,33 4,17 833,33 833,33 500,00 2,08 3,33 2,08 166,67
25 14.000,00 3,33 8.333,33 1.000,00 833,33 5,00 8,33 3,33 663,33
26 16.000,00 1,00 1.000,00 500,00 600,00 1,00 0,40 1,00 243,00
27 11.200,00 1,60 2.000,00 1.000,00 420,00 1,00 0,60 2,00 255,00
28 33.333,33 8,33 33.333,33 1.666,67 2.500,00 8,33 8,33 8,33 1.683,33
29 4.500,00 1,00 850,00 200,00 250,00 2,00 1,50 0,50 96,50
30 23.333,33 3,33 2.500,00 500,00 416,67 1,67 1,00 1,67 216,67
31 4.000,00 1,00 2.000,00 400,00 200,00 1,00 1,00 2,00 139,00
32 9.000,00 1,00 1.000,00 200,00 275,00 1,00 1,00 1,00 159,50
33 14.000,00 1,50 1.000,00 500,00 200,00 1,00 1,00 1,00 138,00
34 8.000,00 2,50 6.000,00 1.000,00 200,00 5,00 2,50 2,50 225,00
35 11.666,67 8,33 15.000,00 1.666,67 500,00 8,33 6,67 8,33 625,00

114
Lampiran 4. Analisis Pendapatan Usahatani Caisin per Hektar per Periode
Tanam pada Musim Hujan di Kelompok Tani Pondok Menteng
Desa Citapen Tahun 2011
Harga Nilai
No Komponen Jumlah Satuan
(Rp) (Rp)
A. Penerimaan Tunai 17.978,16 Kg 1.627,86 29.265.869,14
B. Penerimaan Diperhitungkan 90,34249084 Kg 1.627,86 147.064,67
C. Total Penerimaan 18068,498 Kg 1.627,86 29.412.933,80
D. Biaya Tunai
1. Benih 2,50 Kg 113.428,57 283.947,45
2. Pupuk kandang 6.662,20 Kg 198,57 1.322.922,14
3. Kapur 963,17 Kg 302,86 291.702,46
4. Pupuk Urea 533,95 Kg 1.706,86 911.383,56
5. Pestisida cair :
*Curachron 2,91 liter 105.714,29 307.854,99
*Decis 0,75 liter 180.000,00 135.000,00
6 Pestisida padat :
*Kardan 1,20 Kg 238.000,00 284.550,00
*Lanet 1,78 Kg 177.714,29 316.980,77
*Antrakol 3,97 Kg 105.142,86 417.066,67
7. Pupuk Daun 2,51 Kg 101.714,29 255.049,50
Tenaga Kerja Luar Keluarga
8 223,70 HOK 20.000,00 4.473.984,43
(TKLK)
9 Sewa Lahan 1.144.531,25
10 Pajak Lahan 90.277,78
Total Biaya Tunai 10.235.250,99
E. Biaya Diperhitungkan
Tenaga Kerja Dalam Keluarga
1. 101,05 HOK 20.000,00 2.020.926,74
(TKDK)
2. Sewa Lahan Diperhitungkan :
*Lahan milik sendiri 1.083.333,33
*Lahan bagi hasil dan
705.000,00
penggarap
3. Penyusutan Peralatan 22.954,72
Total Biaya Diperhitungkan 3.832.214,80
F. Jumlah Total Biaya 14.067.465,79
E. Pendapatan Atas Biaya Tunai 19.030.618,15
F. Pendapatan Atas Biaya Total 15.345.468,02

115
Lampiran 5. Analisis Pendapatan Usahatani Caisin per Hektar per Periode
Tanam pada Musim Kemarau di Kelompok Tani Pondok Menteng
Desa Citapen Tahun 2011
Harga Nilai
No Komponen Jumlah Satuan
(Rp) (Rp)
A. Penerimaan Tunai 12577,31026 Kg 1.627,86 20.474.064,34
B. Penerimaan Diperhitungkan 63,2025641 Kg 1.627,86 102.884,75
C. Total Penerimaan 12640,513 Kg 1.627,86 20.576.949,08
D. Biaya Tunai
1. Benih 2,50 Kg 113.428,57 283.947,45
2. Pupuk kandang 6.662,20 Kg 198,57 1.322.922,14
3. Kapur 963,17 Kg 302,86 291.702,46
4. Pupuk Urea 563,24 Kg 1.706,86 961.370,09
5. Pestisida cair :
*Curachron 3,39 liter 105.714,29 358.160,96
*Decis 1,25 liter 180.000,00 225.000,00
6 Pestisida padat :
*Kardan 1,38 Kg 238.000,00 328.883,33
*Lanet 2,07 Kg 177.714,29 368.159,07
*Antrakol 4,88 Kg 105.142,86 513.447,62
7. Pupuk Daun 2,51 101.714,29 255.049,50
Tenaga Kerja Luar Keluarga
8 223,70 HOK 20.000,00 4.473.984,43
(TKLK)
9 Sewa Lahan 1.144.531,25
10 Pajak Lahan 90.277,78
Total Biaya Tunai 10.617.436,07
E. Biaya Diperhitungkan
Tenaga Kerja Dalam Keluarga
1. 101,05 HOK 20.000,00 2.020.926,74
(TKDK)
2. Sewa Lahan Diperhitungkan :
*Lahan milik sendiri 1.083.333,33
*Lahan bagi hasil dan penggarap 705.000,00
3. Penyusutan Peralatan 22.954,72
Total Biaya Diperhitungkan 3.832.214,80
F. Jumlah Total Biaya 14.449.650,87
E. Pendapatan Atas Biaya Tunai 9.856.628,27
F. Pendapatan Atas Biaya Total 6.127.298,22

116

Anda mungkin juga menyukai