Anda di halaman 1dari 13

Kementrian Agama Republik Indonesia

Diklat Peningkatan Kompetensi Penyuluh Non PNS (Honorer) Angkatan XI

Makassar 25 – 31 Juli 2017 – Pemateri: Pdt. Alius Rampalodji, MTh.

Mata Diklat:

Kerukunan Umat beragama

Standar Kompetensi: Memahami kerukunan Umat beragama.

Kompetensi Dasar: Menjelaskan fenomena, pembinaan, dan manajemen konflik umat beragama.

Indicator:

 Menjelaskan masyarakat multikultural


 Menjelaskan strategi memelihara kerukunan umat beragama/bina damai
 Menjelaskan faktor-faktor penyebab konflik
 Menjelaskan managemen konflik
 Mensimulasikan penangangan kasus-kasus konflik keagamaan.

Materi pokok:

 Masyarakat multikultural
 Strategi memelihara kerukunan umat beragama/bina damai
 Faktor-faktor penyebab konflik
 Managemen konflik

1. Masyarakat Multikultural

Bangsa dan Negara Indonesia dikandung dan dilahirkan dari Rahim mulitikulturalisme. Dalam
mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia, peserta BPUPKI dan PPKI berasal dari kalangan yang
berbeda latar belakang daerah, etnis, pendidikan, keagamaan, dan pandangan hidup.1 Jadi sejak dari
awalnya kita melihat bahwa bangsa Indonesia lahir dan bertumbuh dalam keberagaman, dalam
kepelbagaian, dalam ke”bineka”an.

Istilah multikulturalisme menunjuk pada keberadaan bersama (coexistence) sejumlah pengalaman


kultural yang berbeda di dalam sebuah kelompok atau masyarakat.2 Secara sederhana bisa disimpulkan
bahwa masyarakat multicultural adalah sekelompok orang yang tinggal bersama di satu derah tertentu.
Tetapi mereka itu terdiri dari berbagai latar belakang budaya, agama, dan atau kebiasaan yang berbeda.

1
A. Eddy Kristiyanto & William Chang (Editor), Multikulturalisme, Penerbit Obor, Jakarta, 2014, h. viii.
2
Ibid, h. x

1
Yang istimewa, bangsa Indonesia bisa duduk bersama , menggunakan bahasa Indonesia (Sumpah
pemuda 28/10/1928) dan berdiskusi bersama tentang Negara yang akan didirikan dan falsafah hidup
yang akan dianut bangsa kita.3 Sejarah membuktikan usaha dan perjuangan bangsa Indonesia untuk
bersatu sejak dari awal untuk membangun masa depan kehidupan bersama sebagai satu bangsa.

Jika kita simak dengan teliti pembicaraan-pembicaraan selama persidangan (BPUPKI & PPKI),
maka akan kita temukan titik toleransi yang sangat mendasar pada waktu mendirikan Negara
kita. Bung Karno dkk, berusaha menghargai dan menghormati setiap peserta sidang, sehingga
mereka diberi kesempatan untuk bersuara dan berpendapat tentang masa depan Republik
Indonesia. Makna kehadiran dan sumbangan pikiran setiap wakil dalam BPUPKI dan PPKI
memang dalam.4

Persidangan-persidangan persiapan menjelang kemerdekaan bangsa Indonesia menunjukkan


usaha keras dari para pendiri bangsa Ini untuk menyingkirkan segala perbedaan-perbedaan yang tidak
mendasar dibandingkan dengan tujuan besar yang mau dicapai yaitu kemerdekaan bersama sebagai
satu bangsa.

Sebagai bagian integral bangsa, multikulturalisme termasuk kondisi sosial yang khas dari Sabang
sampai Merauke. Dari satu sisi, keaneka ragaman sosial ini menjadi rahim kelahiran Negara kita,
karena Indonesia dilahirkan dalam kemajemukan sosial. Sebagai suatu keluhuran kodrati,
keanekaragaman adalah kekuatan social dalam membangun sebuah bangsa karena di dalam
keaneka ragaman ini terkandung energi-energi positif yang dapat memajukan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Namun di sisi lain.keanekaragaman mengandung perbenturan sosial
yang tak terhindarkan. Perbenturan ini meninggalkan dampak traumatis sampai sekarang. Tidak
sedikit nyawa terenggut dan sejarah hitam masih terukir dalam perjalanan bangsa.5

Dalam bahasa teologi Kristen keanekaragaman bangsa ini bisa menjadi berkat kalau dikelola
secara cerdas dan bijak. Tetapi sebaliknya keanekaragaman ini bisa menjadi “bencana” ketika
kepentingan sektarian dan kedaerahan, dll, diutamakan dan melupakan kepentingan dan kemakmuran
bersama yang adil dan merata. Dalam buku “Multikulturalisme” yang menjadi salah satu acuan dalam
materi ini memberikan contoh yang menyakitkan dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia di mana
keanekaragaman justeru memicu penderitaan bagi setiap anak bangsa tanpa kecuali. Awal tahun 1950-
an DI/TII di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Gerakan Aceh Merdeka lahir 4 Desember 1976 oleh Hasan
Tiro. RMS memproklamasikan Republik Maluku Selatan tahun 1950 dengan Presiden Johanis Manuhutu.

Sampai hari ini gejala multikulturalisme masih terus digumuli oleh bangsa Indonesia yang telah
merdeka selama puluhan tahun. Benturan-benturan individu dan sosial masih selalu dihubungkan
dengan latar belakang kultural warga Negara, seperti suku (etnik), agama dan keadaan sosial. Sepertinya
belum ada koordinasi nasional dalam menangani dan memadamkan api konfliktual yang bernafaskan
multikulturalisme. Setiap daerah kelabakan menghadapi realitas konfliktual ini dan banyak energi,

3
Ibid, h. viii.
4
Ibid.
5
Ibid.

2
seperti pikiran, tenaga, daya dan dana yang terkuras dan terbuang percuma dengan ketidakamanan dan
ketidaknyamanan social ini.6 (Contoh konflik Poso, di mana ada ratusan keluarga yang kehilangan masa
depan mereka, sebab rumah, usaha pertanian, perkebunan, peternakan mereka hancur berantakan, dan
yang harus ditinggal lari demi menyelamatkan nyawa sendiri bersama keluarga masing-masing).

Di samping dampak negatif dari keanekaragaman masyarakat multicultural yang dikemukakan di


atas itu, Novri Susan seorang sosiolog mengatakan bahwa:

Indonesia merupakan vulnerable society (masyarakat rentan). Ada tiga ciri mendasar dari
masyarakat rentan Indonesia: (1) tingginya tingkat segregasi sosial (pemisahan, penyindirian) berbasis
pada identitas keagamaan, etnis, dan golongan; (2) identitas kolektif menjadi mekanisme mobilisasi
kekerasan; dan (3) kelembagaan kelola konflik adat yang telah mengalami pelemahan akibat
modernisasi politik.7 Contoh di tanah Batak di mana adat masih kuat, hampir tidak pernah muncul
konflik dengan latar belakang agama, karena semuanya diselesaikan secara adat.

Bangsa Indonesia memiliki pulau-pulau kecil yang penduduknya tersegregasi (terkotak-kotak) dalam
kelompok etnis–keagamaan. Segregasi pun ditu njukkan oleh tata wilayah desa-desa, terutama di
wilayah kepulauan Maluku, Kalimantan, Papua. Kasus konflik kekerasan tahun 1999-2003 di
kepulauan Maluku seperti Tual, Seram dan Ambon cukup kuat dipengaruhi oleh fakta segregasi
sosial (kampung-kampung yang terpisah berdasarkan agama yang dianut penduduk setempat
misalnya, sekalipun ada budaya ”kebersamaan” ).8

Kondisi segregasi sosial di Maluku tidak jauh berbeda dengan kondisi di Papua. Pola segregasi yang
menjadi bagian historis pulau yang kaya tambang ini berbasis etnis (suku).9 Tetapi di samping masalah
kesukuan atau daerah, konflik yang muncul di Papua juga bernuansa agama. Sebagai daerah kaya
tambang dan daerah yang masih “baru” menjadi daya tarik penduduk dari luar Papua dengan latyar
belakang keagamaan yang berbeda misalnya, di samping berbeda budaya dan kebiasaan atau pola
hidup. Sebab sebuah pola hidup yang “baru” atau “lain” bisa mengusik sekelompok masyarakat yang
selama ini “tertutup” dari dunia luar.

Proses pendakwaan agama-agama tertentu pun ikut membangun segregasi, karena mereka
menyebar agama memasuki wilayah-wilayah etnis tertentu. Sehingga pola tersegregasi yang
pada awalnya murni etnis menjadi etnis keagamaan walaupun di Papua isu keagamaan masih
pada tingkat yang minor. Berbagai kasus konflik antar suku di Papua sering muncul dan
menyebabkan krisis sosial dari berbagai komunitas yang tempat tinggalnya kadang hanya
dibatasi oleh sungai atau bukit. 10

Di sini ternyata bahwa segregasi sosial bisa memberikan ruang dan kesempatan terjadinya
konflik kekerasan. Konflik kekerasan bisa membuat menurunnya kualitas partisipasi politik demokrasi.

6
Ibid, h. x
7
Novri Susan, Sosiologi Konflik, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, h. xviii
8
Ibid.
9
Ibid, xix
10
Ibid.

3
Sebab keinginan berpartisipasi mungkin ada, namun kapasitas melakukan pertisipasi berbasis pada
keterbukaan dan kerjasama lintas kelompok sosial rendah11 (saling curiga dan tidak percaya satu
terhadap yang lainnya).

Dunia sosial dan politik selalu sarat oleh hubungan konflik.12 Hubungan antar individu, antar
kelompok bahkan dalam masyarakat bernegara bahkan di dunia internasional sarat dengan
kepentingan. Kepentingan itu bisa dilihat dari sudut pandangan pribadi, kelompok bahkanwawasan
kenegaraan.

Filsafat Darwinisme melihat dunia sebagai proses survival of the fittest, yang paling kuat adalah
pemenangnya, yang lemah dan kalah akan tersingkir. Dalam skala makro maupun mikro, dunia konflik
merupakan kompleksitas dari mobilisasi berbagai sumber daya konflik, seperti ideologi, massa,
kekerasan, dan militer.13 [ISIS (Islamic state in Iraq and Syria) misalnya, yang tidak segan-segan
memakai jalan atau cara perang dan kekerasan untuk mewujudkan cita-citanya].

Negara bangsa hidup dalam dunia konflik yang tidak berkesudahan; seperti konflik separatisme,
konflik komunal etno religious, konflik politik, dan identitas. Konflik adalah mesin pembentuk sejarah
masyarakat manusiadan pencipta peradaban berbagai Negara bangsa.14 (Ada bangsa yang terbentuk
dari hasil peperangan seperti Amerikat serikat. Ada organisasi Gereja yang baru terbentuk seperti
Protestan sebagai hasil dari konflik dalam Gereja ketika itu, dll).

Eksistensi Negara bangsa tumbuh dan bertahan dalam narasi konflik yang menjadi hukum dan
sejarah sosial. Narasi konflik ditulis oleh abjad-abjad kepentingan dan geliat identitas sosial yang
terkontestasikan tanpa henti. Setiap konteks, ruang dan waktu, dari narasi konflik melahirkan buah
kesedihan atau kesenangan, kebersamaan atau perceraian, serta kehancuran atau pemecahan
masalah.15

Di sini kita melihat bahwa dalam masyarakat multicultural bisa saja muncul konflik. Konflik itu jika
mampu diatasi bisa menjadi keuntungan, kemajuan, kebersamaan yang lebih erat daripada sebelumnya,
jka dikelola dengan cerdas dan bijak.

Pada hakekatnya setiap masyarakat mengandung unsur multikultural dalam kepelbagian atau
perbedaan atau keragamannya. Hanya skalanya berbeda-beda dari suatu tempat dan tempat lain. Dan
berbeda pula dari waktu ke waktu dalam perkembangan zaman. Misalnya di jaman modern ini, di mana
dunia semakin terbuka satu terhadap yang lainnya, dunia semakin mengecil atau mengglobal, maka
tingkat atau kemungkinan terwujudnya suatu maysarakat multikultural tidak dapat dihindari.
Masyarakat multikultural berbicara tentang keadaan atau fakta atau realitas suatu masyarakat yang
terdiri dari berbagai keragaman. Dan keberagaman ini bukan hanya faktor agama, tetapi bisa saja faktor

11
Ibid.
12
Ibid, h. xx
13
Ibid.
14
Ibid.
15
Ibid.

4
politik, ekonomi, sosial, dll. Sedangkan pluralisme adalah paham atau pemahaman tentang
keberagaman itu dan selalu atau sering sekali dikaitkan dengan masalah agama.

(1). Tugas:Saudara-saudara diminta menggambarkan, menjelaskan situasi masyarakat multikultural


dari mana saudara-saudara berasal dan coba kemukakan ketegangan-ketegangan atau ancaman-
ancaman yang bisa muncul dari keadaan multikultural ini.

2. Strategi memelihara kerukunan umat beragama/bina damai.

Terlepas dari kerukunan dan kesejukan social, dalam sebuah masyarakat multikultural bisa saja
muncul perbenturan individual dan komunal atau kelompok bahkan masyarakat secara luas.Bagaimana
membangun kehidupan yang rukun umat beragama / bina damai di atas keragaman bukanlah hal yang
mudah. Hal ini membutuhkan kesediaan yang tulus, bersedia membuka diri dan menerima kehadiran
orang “lain”, menghargai dan menghormati hak hidup orang lain “sejajar” dengan diri sendiri dalam
kehidupan ini. Ada beberapa cara, kiat atau jalan yang bisa ditempuh.

2.1 Pemahaman Kebangsaan

Kita sebagai bangsa yang satu, tentu saja harus berjalan bersama, harus secara bersama
menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan. Ada berbagai keadaan dalam kehidupan
bangsa yang tidak dapat dihadapi secara sendiri-sendiri. Tetapi perjuangan itu membutuhkan
kebersamaan sebagai komponen bangsa yang satu. Perjuangan itu seperti penanggulangan kemiskinan,
ketidak adilan, korupsi, bencana alam, dll. Negara ini diproklamasikan bukan hanya untuk golongan
tertentu dalam masyarakat, tetapi untuk semua orang warga negara bangsa Indonesia tanpa kecuali.

Dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia, semua orang tanpa terkecuali turut
serta dan berkorban untuk mencapai kemerdekaan itu. UUD 45 dan Pancasila bisa menjadi dasar pijak
bersama yang kuat, yang mempersatukan segenap bangsa Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan
kesadaran kebangsaan dan mengusahakan dengan segenap upaya, daya dan dana untuk mencapai cita-
cita kebangsaan yang ideal itu.

Fanatisme sektarian, kesukuan, kedaerahan, dll, yang sangat kuat itu misalnya, jika mampu diangkat
ke level yang lebih tinggi seperti bangsa, akan menjadi energi dan kekuatan yang luar biasa bagi
kepentingan bersama sebagai suatu bangsa.

(2). Tugas: Tolong ceriterakan pengalaman saudara-saudara dalam merekatkan persaudaraan


sesama warga negara dalam menciptakan kerukunan satu terhadap yang lain jauh melintasi sekat-
sekat agama, suku, dll, di daerah saudara-saudara.

2.2. Pendekatan Budaya

Seorang budayawan dan sekaligus teolog Katolik Frans Magnis Suseno mengatakan:

Banyak budaya tradisional Indonesia bersifat inklusif dan positif. Misalnya saja budaya Jawa.
Orang Jawa membenci dogmatis, eksklusivisme, fanatisme, kepicikan agama, kesombongan.

5
Bagi orang Jawa yang penting adalah tahu diri. Dan itu juga berarti, menyadari dan
menghormati bahwa Tuhan bebas bergerak dalam hati orang. Bukan seakan-akan agama adalah
urusan pribadi, melainkan karena orang sendiri harus merasakan di mana, ke mana, Tuhan
memanggilnya. Dalam budaya Jawa otonomi orang untuk menemukan sendiri di dasar jiwanya
kordinasi Tuhan sangat dihormati. Budaya itu dapat membantu para agamawan yang belum
fanatik untuk dengan lapang hati dan tenang dan secara positif ikut dalam pembangunan.
Budaya Jawa dapat membantu agar agama-agama di bumi Indonesia dapat mengembangkan
kepositivan yang ada pada mereka, saling kerjasama dan dengan demikian memberikan
sumbangan penting dan positif pada pembangunan masyarakat Indonnesia yang adil makmur
berdasarkan Pancasila.16

Jadi pemahaman kebangsaan itu bisa diperkuat lagi dari sudut budaya, dalam rangka
mewujudkan kerukunan di bumi persada Indonesia ini. Budaya yang menghargai dan menghormati
kebebasan orang lain dalam menentukan keyakinannya dan tidak memaksakan keyakinanya terhadap
orang lain.

Hal senada dikemukakan oleh Kartono Muhammad mengutip Rihito Kimura (pakar etika dari
Jepang) yang mengatakan bahwa masyarakat Asia diasuh dalam budaya yang mengedepankan
kepentingan bersama dan membelakangkan kepentingan pribadi. Dan menurut Kartono
Muhammad pandangan semacam itu juga dianut oleh sebagian besar masyarakat tradisional
Indonesia. 17

Tetapi sayang sekali, karena seringkali budaya yang mengedepankan kepentingan umum itu tergerus
oleh perkembangan zaman yang sarat dipengaruhi oleh kepentingan kelompok dan kepentingan sesaat.
Seperti yang dikemukakan selanjutnya oleh Kartono Muhammad:

Kebersamaan ini mengalami tantangan yang cukup besar dari kemajemukan masyarakat yang
membaur dalam berbagai tradisi sehingga saling menekan budaya asli masing-masing untuk
mencari titik temu di antara budaya asalyang berbeda. Ada saatnya ketika mereka tercabut dari
akar atau mengalami keterasingan budaya terutama yang hidup di kota-kota besar dalam
persaingan hidup yang ketat, sehingga tidak mustahil pola hidup individualis akan muncul. 18

Jadi dari kajian atau pendekatan budaya, sifat atau watak asli orang atau bangsa Indonesia adalah tidak
mementingkan diri sendiri, tetapi mengutamakan kepentingan bersama yang pertama. Tetapi watak asli
yang baik ini terkontaminasi oleh perkembangan kehidupan yang seringkali sangat menekankan pada
kepemilikan benda. Bagaimana mengembalikan hal ini kembali dalam khazanah kehidupan bangsa, itu
merupakan tantangan yang menarik.

16
Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama Di Indonesia, BPK Gunung Mulya, Jakarta, 2003, h. 61.
17
Alius Rampalodji, Peranan Politik Umat Islam Selama Orde Baru dan Kecenderungan Menuju Masyarakat Sipil
Sebagai Alternatif, dalam buku: Seberkas Cahaya Di Ufuk Timur, Editor: Z.J. Ngelow, STT Intim Makassar, 2000, h.
306-307.
18
Ibid, h. 307.

6
(3). Tugas: Ceriterakanlah pengalaman saudara-saudara di daerah asal saudara-saudara tentang
budaya yang rukun dan damai ini. Budaya yang mengutamakan kepentingan umum lebih dahulu
daripada kepentingan individu (diri sendiri).

2.3. Pendekatan Adat

Ada seorang mahasiswa STT Intim Makassar dari Batak Karo yang menulis skripsi tahun 2007
tentang hubungan Kekristenan dan Adat di Tanah Batak Karo Sumatera Utara. Yang menarik dari
pemaparannya itu ialah, bahwa hampir tidak ada konflikyang berlatar belakang agama terjadi di Tanah
Batak Karo itu. Perjumpaan Islam dan Kristen di tanah Karo terjadi dalam dua periode. Periode pertama
di abad ke 19 dan periode ke dua abad 20-21. Perjumpaan itu berlangsung damai. Memang ada
gesekan-gesekan kecil yang bisa memicu konflik, tetapi hal itu bias dicegah dan diselesaikan melalui
peran adat yang masih memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Batak Karo.
Masyarakat Batak Karo menikmati dan mengalami kehidupan yang damai antar penganut agama yang
berbeda, dalam hal ini Islam dan Kristen dengan budaya “runggu”nya yang terkenal itu. Perbedaan
agama antara Islam dan Kristen tidak menghalangi mereka untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan
perayaan keagamaan. Dalam acara Natal umat Islam diundang mengahadirinya. Di kecamatan Tiga
Nderket Batak Karo – Sumatera Utara ada gedung Gereja yang dibangun di samping Mesjid tanpa pagar
pembatas.19

(4). Tugas: Saudara-saudara bisa mengemukakan pengalaman tentang kerukunan hidup di daerah
saudara yang ditunjang oleh peran Adat setempat, seperti adat Tongkonan dari Tana Toraja
misalnya.

2.4. Pendekatan Agama

Setiap agama adalah wajar untuk melakukan pendekatan dari sudut kebenaran imannya, dalam
rangka mewujudkan kehidupan yang rukun dan damai di tengah masyarakat. Walaupun harus diakui
bahwa setiap agama mempunyai keunikannya tersendiri . setiap agama merasa mempunyai keunggulan
satu terhadap lainnya. Tetapi sebagai bangsa yang satu kita wajib mencari titik temu yang ada dalam
kitab suci masing-masing sebagai dasar dialog atau percakapan bersama menuju kehidupan bersama
yang rukun dan damai.

(5). Tugas: Saudara-saudara harus mengemukakan landasan teologis dalam rangka


membangun kehiduopan bersama yang rukun dan damai sebagai sebuah bangsa yang bersatu.

2.5. Pendidikan Perdamaian

Salah satu strategi memelihara kerukunan umat beragama adalah lewat apa yang disebut
dengan Pendidikan Perdamaian. Pendidikan perdamaian merupakan proses pembelajaran di tingkat
personal dan komunitas dalam meningkatkan keahlian pengelolaan konflik. Jadi proses pembelajaran
ini bisa saja formal (bagian dari kurikulum pendidikan formal), tetapi bisa juga non formal (proses

19
Alius Rampalodji, Gereja Dan Kaum Beriman Lainnya, Orasi Ilmiah di Dies Natalis ke-66 STT Intim Makassar, 18
September 2014.

7
hubungan social dengan keluarga dan lembaga lainnya dalam lingkungan social), yaitu secara sadar atau
tidak sadar dimasukkan dalam proses kehidupan setiap hari dalam masyarakat. Lewat percakapan-
percakapan non foprmal, yang santai di warung kopi, dll. Ada beberapa unsur yang dibutuhkan dalam
proses ini, seperti kepercayaan diri (self-esteem), toleransi, kesadaran mengenai orang lain dan empati,
keahlian komunikasi dan interaksi, kesadaran personal dan sikap-sikap kebudayaan terhadap perilaku
konflik dalam suatu situasi konflik, kemampuan menganalis dan mengevaluasi konflik, dan keahlian
praktis mengelola daan mengatasi konflik. Jalur non formal dilaksanakan secara intensional dan
sitematik melalui kerja-kerja lembaga pemberdayaan masyarakat.20

Materi yang sangat penting dalam pendidikan perdamaian ini untuk menunjang kehidupan yang
rukun dalam masyarakat yaaitu demokrasi, kesetaraan jender, dan prinsip-prinsip nir-kekerasan.
Beberapa materi pendidikan perdamaian meliputi enam kategori:

 Membongkar suatu budaya perang (kekerasan) yang ada.


 Hidup dengan rasa keadilan dan kepedulian (bukan keinginan pribadi yang jadi patokan).
 Mempromosikan selalu hak asas, manusia dan tanggung jawab.
 Membangun budaya menghormati rekonsiliasi dan solidaritas.
 Hidup dalam harmoni dengan lingkungan alam (bumi).
 Terus mengembangkan inner peace.21

Pokok-pokok di atas perlu dikaji dan dipelajari lebih dalam agar bisa menjadi acuan berharga dalam
mempertahaankan dan mengembangkan pola hidup yang rukun dan damai dalam masyarakat. Dalam
hal ini memang sangat dibutuhkan kerjasama dengan unsur pemerintah maupun lembaga-lembaga non
pemerintah agar ada kerjasama dengan semua pihak termasuk masyarakat itu sendiri dalam rangka
mewujud nyatakan kehidupan yang jauh dari kekerasan.

3. Faktor-Faktor Penyebab Konflik22

Dalam analisa penyebab konflik, tidak bisa hanya dilihat dari satu sudut atau sudut tertentu saja.
Tetapi hal ini melibatkan banyak unsur kalau perlu semua unsur yang ada dalam berbagai disiplin ilmu.
Analisis konflik multidisipliner berkembang dalam konteks konflik komunal yang mengalami peningkatan
baik secara nasdional maupun di dunia internasional pasca perang dingin (di dunia) dan pasca Orde Baru
dalam konteks Indonesia. Dalam berbagai tinjauan dari disiplin ilmu sosial dan humaniora (seperti ilmu
jiwa, dll) berkembang menjadi beberapa perspektif analisis konflik komunal, yaitu analisis konflik
primordial, instrumental, dan konstruksi sosial.

3.1. Konflik Primordial

Konflik primordial ini juga mendapat perhatian dari para pengamat etnisitas dan ras sebagai satu
kelompok identitas dan kepentingan mereka dalam struktur sosial. Pendekatan primordial yang melihat
konflik sebagai akibat dari pergesekan kepentingan kelompok identitas, seperti identitas berbasis etnis

20
Novri Susan, Op.cit, h. 166-167.
21
Ibid.
22
Ibid, h. 77-80

8
dan keagamaan. Di sini konflik dipahami sebagai akibat bertemunya berbagai budaya, ras, dan geografis
yang melahirkan identitas dan kesetiakawanan. Konflik ini bisa dan biasa terjadi di semua negara di
dunia di mana orang-orang terbagi menjadi kelompok-kelompok terpisah berbagai rasis, etnis, bangsa,
linguistik, tribal, kasta, atau lainnya. Konflik primordial menyangkal pendapat yang menyatakan bahwa
perkembangan masyarakat kea rah modern akan menghapus bentuk kesadaran primordial.

Nepotisme etnis, adalah suatu perlakuan khusus anggota etnis melebihi anggota etnis yang lain.
Anggota etnis cenderung memperlakukan dengan baik anggota, kelompok mereka melebihi yang bukan
anggota sebab mereka lebih menutup hubungan kepada kelompok mereka daripada di luar mereka
(eksklusif) susunan ini memperlakukan baik keluarga lebih dari non keluarga menjafi penting dalam
kehidupan sosial dan politik ketyika orang-orang dan kelompok harus berkompetisi (bersaing
memperebutkan) untuk sumber daya yang langkah (jabatan, materi, dll).

Pendekatan primordial melihat identitas etnis, budaya, agama, ras, bahasa, dllnya adalah kuat
atau stabil, tak bisa diubah, yang terbentuk melalui proses yang panjang sehingga hanya bisa hilang
dalam waktu yang panjang juga. Oleh karena itu penanganan konflik primordial ini juga membutuhkan
pendekatan dan penyelesaian yang panjang dan lama. Seperti ditengarai Huntington (1996), bahwa
pasca Perang dingin (blok Barat dan Timur) antar Negara adidaya, pada masa globalisasi, konflik akan
diambil alih oleh bentuk-bentuk peradaban seperti agama dan termasuk etnis.

3.2. Pendekatan Instrumental

Konflik instrumental ini disebabkan oleh adanya dorongan kuat dari kepentingan politik,
kemunculan provokator dalam masyarakat yang memiliki tujuan tertentu dalam suatu keadaan
masyarakat yang kacau (ricuh). Identitas komunal dimanfaatkan secara manipulatif untuk mencapai
tujuan politik tersembunyi. K. H. Hasyim Musadi pernah mengatakan bahwa ada orang yang memakai
agama sebagai kuda tunggangan untuk mencapai tujuan yang non agama yaitu kekuasaan
(keserakahan). Dorongan politik lokal maupun nasional mendorong masyarakat ke medan konflik
kekerasan.

Pandangan ini melihat identitas kultural merupakan hasil manipulasi dan mobilisasi para elit
politik untuk kepentingan dan tujuan politik mereka. Nilai-nilai social etnis, bentuk-bentuk kultural, dan
ciri-ciri penting etnis menjadi sumber politik bagi para elit dalam persaingan memperoleh kekuasaan
politik dan ekonomi. Para elit memanfaatkan sentiment etnis dan melakukan mobilisasi untuk mendapat
keuntungan dari situasi yang tercipta.

3.3. Konstruksi Sosial Politik

Pendekatan ini melihat konflik sebagai dialektika kenyataan dalam masyarakat. Individu dan
kelompok social menyadari bahwa konflik itu eksis (ada) dalam dunia sehari-hari mereka.sehingga
konflik menjadi proses sosial untuk perobahan atau mempertahankan tatanan sosdial (yang ada). Konflik
adalah inheren (bagian dari kehidupan) dalam struktur kesadaran masyarakat sehingga selalu ada
gambaran yang nyata tentang konflik.

9
3.4. Jenis dan Tipe Konflik23

Ada dua jenis konflik, yaitu konflik dimensi vertikal, konflik antara elit penguasa, kelompok bisnis
atau aparat militer dan massa (rakyat). Hal yang menonjol dalam konflik ini yaitu digunakannya
instrument kekerasan Negara, sehingga timbul korban di kalangan massa (rakyat).

Jenis konflik yang kedua ialah konflik horizontal yang terjadi di kalangan rakyat sendiri. Dalam kurun
waktu beberapa tahun terakhir (sejak pertengahan 90-an) dirasakan setidaknya ada dua jenis konflik
horizontal, yang tergolong besar pengaruhnya:

(1) Konflik antar agama, khususnya antar kelompok agama islam dan kelompok agama Kristen.
Konflik jenis ini mengemuka di berbagai daerah, seperti Ambon, Jakarta dan beberapa daerah
lainnya.
(2) Konflik antar suku, khususnya antara suku Jawa dan suku-suku lainnya di luar pulau Jawa. Selain
itu, muncul pula kasus seperti konflik anttara suiku Madura dan suku Melayu di Kalimantan
Barat (seperti Pontianak dan Sambas).

Selain jenis konflik, kita perlu mengenal istilah tipe konflik yang menggambarkan persoalan sikap,
perilaku, dan situasi yang ada. Tipe konflik terdiri dari:

- Tanpa konflik
- Konflik laten
- Konflik di permukaan.
(1) Tipe tanpa konflik; menggambarkan situasi yang relatif stabil, hubungan antar kelompok bisa
saling memenuhi dan damai. Tipe ini bukan berarti tidak ada konflik berarti dalam masyarakat,
akan tetapi ada beberapa kemungkinan atas situasi ini. Pertama, masyarakat mampu
menciptakan struktur social yang bersifat mencegah kea rah konflik kekerasan. Kedua, sifat
budaya yang memungkinkan anggota masyarakat menjauhi permusuhan dan kekerasan. Pada
masyarakat yang bercirikan individual, seperti di Thailand kemungkinan permusuhan pada skala
besar dan akan menimbulkan kekerasan komunal sangat rendah.
(2) Konflik laten adalah suatu keadaan yang di dalamnya tersembunyi banyak persoalan, sifatnya
tersembunyi, dan perlu diangkat ke permukaan agar bias ditangani. Kehidupan masyarakat yang
tampak stabil dan harmonis belum merupakan jaminan bahwa di dalam masyarakat tidak
terdapat permusuhan dan pertentangan. Kenyataan ini bias ditemukan dalam masyarakat
Indonesia masa Orba (Soeharto). Masyarakat masa Orba tampak harmonis, damai, dan kecilnya
tingkat pertentangan di antara anggota masyarakat, baik dalam dimensi ekonomi, , etnis,
maupun agama. Akan tetapi di balik stabilitas, keharmonisan, dan perdamaian itu ternyata
terdapat konflik terdapt konflik laten yang begitu besar. Hal ini dibuktikan ketika Orba dan
struktur kekuasaannya runtuh, berbagai konflik laten dalam dimensi etnis, keagamaan, dan
separatisme merebak seperti jamur di musim hujan.
(3) Konflik terbuka adalah situasi di mana konflik social telah muncul ke permukaan yang berakar
dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakanuntuk mengatasi akarpenyebab dan

23
Ibid, h. 85-87

10
berbagai efeknya. Kasus konflik di Ambon pada awal 1999, di Kalimantan barat tahun 1999, dan
di Poso (mulai akhir 1998). Pada situasi konflik terbuka muncul berbagaipihak-pihak berkonflik
yang semakin banyak dan aspirasiyang berkembang cepat bagaikan epidemic (penyakit
menular).

(6). Tugas: coba saudara-saaudara mengungkapkan ke tiga tipe konflik di atas yang saudara-
saudara lihat, temukan atau alami di daerah saudara-saudara.

4. Managemen ( Tata kelola ) Konflik24

Konflik sosial yang melanda beberapa daerah di I ndonesia di waktu lampau maupun saat ini patut
mendapat perhatian dan penanganan yang serius. Agar kesejukan social bisa dialami oleh mereka yang
berdiam daerah itu. Setiap kita terpanggil untuk mengusahakan dan mewujudkan zone kedamaian dan
kesejukan social yang didambakan oleh setiap manusia yang waras. Salah satu kajian penting untuk
menciptakan perdamaian, baik positif maupun negatif, yaitu pengelolaan konflik (conflict management).
Tata kelola konflik (managemen konflik) bertujuan pada pencegahan bentuk-bentuk kekerasan dari
konflik, baik langsung maupun struktural. Terutama sekali pada bentuk kekerasan langsung.

Managemen (“seni untuk menangani masalah dalam suatu system kerjasama”) ini biasanya
dilukiskan sebagai suatu rangkaian usaha untuk menyelesaikan pertikaian antara kedua belah pihak atau
lebih, supaya dapat menormalisasikan keadaan hidup seperti sediakala sebelum adanya konflik.
Managemen ini menawarkan berbagai cara untuk menangani masalah-masalah menuju penyelesaian
yang menyeluruh dan membangun (komprehensif dan konstruktif).

Pepatah (adagium) klasik “lebih baik mencegah daripada mengobati” sangat tepat dan relevan
dalam mengupas masalah konflik dan managemen konflik dalam suatu masyarakat multikultural. Semua
kemungkinan yang mungkin menimbulkan konflik (sosial) dan kerusuhan social perlu diantisipasi sedini
mungkin. Penanganan gejala-gejala konflik harus dilakukan secara cepat, adil dan transparan serhingga
tidak menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dalam masyarakat. Keterbukaan dalam penanganan kasus
harus dijamin oleh penegak hukum, sehingga masyarakat bersedia menyerahkan penanganan kasus
kepada yang berwajib.

Managemen konflik berusaha mengidentifikasi dan menangani konflik dengan cara yang peka, adil
dan efisien. Konflik bisa ditangani dengan menerapkan sistem komunikasi yang efektif, penyelesaian
masalah dengan baik dan perundingan dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan pihak yang
terlibat konflik. Berbagai cara tanpa kekerasan dapat ditempuh untuk menghadapi dan memecahkan
konflik.

Langkah antisipatif perlu diambil dalam proses mencegah peningkatan suhu konflik yang bisa kian
menghangat dari waktu ke waktu. Kawasan-kawasan yang rentan konflik perlu selalu diwaspadai.
Daerah yang kesenjangan social, ekonomi dan politik sangat terasa biasanya cepat menyulut munculnya
konflik sosdial. Suasana hidup penuh persaingan social, ekonomi, politik dan agama umumnya dapat

24
Ibid, h. 122 -133.

11
mengundang konflik. Suasana persaudaraan dan kerjasama yang sehat digalang terus dalam proses
mencairkan ketegangan-ketegangan sosial.

Kerusuhan sosial yang lahir dari konflik sosial bisa diibaratkan dengan gelas yang retak atau pecah.
Setelah retak atau pecah gelas itu sulit dipulihkan kembali seperti semula. Kalaupun bisa dibentuk
kembali, bekas-bekas retakan masih kelihatan. Betapapun, sebuah konflik tetap meninggalkan bekas
yang tak terhapuskan, bukan hanya dari segi pisik – material, tetapi membekas dalam hati dan
kehidupan dalam masyarakat. Bekas-bekas ini dianggap sebagai trauma yang melukai dan mencederai
hidup manusia.

Merajut Konflik

Berbagai kemungkinan dan tawaran merajut managemen konflik seperti berikut ini:

1. Pemetaan masalah.

Pemetaan masalah menunjukkan kedalaman kasus, pencarian sebab-musabab, pihak-pihak yang terkait,
dan jejaring konfliktual. Dalam hal ini dibutuhkan orang yang sanggup menelusuri masalah-masalah
dengan obyektif, netral dan kritis. Pandangan-pandangan apriori (prasangka) harus disingkirkan supaya
tidak mengurangi obyektivitas masalah.

2. Pengumpulan Informasi

Informasi yang lengkap sangat membantu proses penyelesaian konflik. Sebab denga n informasi
yang memadai, kita dapat menggali akar konflik sesungguhnya. Informasi yang lengkap akan kembali
krpada latar belakang masalah, factor pemicu, penyebab dan pihak-pihak yang tersembunyi di balik
konflik social. Masalah utama dalam mengumpul informasi adalah nilai kebenaran dan kejujuran dalam
informasi yang diperoleh. Lengkapnya informasi juga ditentukan oleh nilai-nilai kedamaian yang
terkandung di dalamnya.

3. Penegakan Keadilan

Kecepatan, keadilan dan proporsionalitas penegakan hokum positif akan menentukan seluruh
proses penangan konflik. Sebagai sebuah Negara hokum, kepastian penegakkan hokum harus terjamin.
Penegakan hukum yang adik dan normative tak bisa dihindari sedikitpun dalam proses penanganan
konflik. Jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, maka suhu konflik akan terus meningkat dan
masyarakat akan menerapkan hukum rimba di tempat kerusuhan.

4. Win-win Solution

Tidak semua pihak akan menerima penyelesaian masalah konflik dengan lapang dada. Cukup sering
terjadi bahwa ada pihak-pihak yang ingin mempertahankan posisi dan pandangan mereka, sehingga
perundingan tidak membawa hasil yang diharapkan. Pihak-pihak yang bertikai menganggap diri benar
dan mempertahankan argumentasi mereka. Sikap mengalah hampir tidak pernah muncul selama
perundingan. Dalam keadaan tegang perundingan tidak wajib diteruskan. Penyejukan suasana dirasa

12
penting untuk mendapatkan jalan keluar yang lebih baik. Perundingan ini mengacu pada prinsip keadilan
yang tidak berat sebelah. Jika masih ada pihak yang belum bisa menerima keadaan ini, maka
perundingan lebih lanjut masih dibutuhkan.

5. Hindari Kata-Kata Panas

Sangat penting dalam proses pencapaian suasana damai, pihak-pihak yang bertikai berusaha
menghindari pemakaian kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dapat menyulut konfliktual. Kata-kata
yang panas untuk kuping, pikiran dan hati perlu dipertimbangkan dengan arif, supaya tidak
mendatangkan amarah yang lebih besar di tengah-tengah suasana konfliktual.

Kata-kata yang bernada sejuk, merendah, memaafkan dan saling pengertian dinantikan dalam
seluruh proses pencapaian damai. Kata-kata semacam ini akan menurunkan suhu perundingan yang
panas dan tidak bersaudara. Isi pembicaraan yang merangkul semua pihak yang bertikai memang
sedang dinantikan oleh mereka yang duduk dalam perundingan. Sikap arogan dan sombong,
meremehkan dan merendahkan orang lain dalam perundingan perlu dikendalikan dengan arif.

6. Membangun Jembatan Komunikasi

Jembatan komunikasi ini dapat dibangun berdasarkan keterbukaan hati, kejujuran dari pihak yang
bertikai untuk menyelesaikan masalah konfliktual dalam suasana kekeluargaan, persaudaraan dan
kerjasama yang baik. Jembatan ini akan bertahan dalam sebuah dialog yang sejati kalau pihak-pihak
yang bertikai memiliki ketulusan hati untuk menyelesaikan konflik dengan baik-baik.

7. Kerja Sama

Dalam sebuah masyarakat majemuk, dimensi saling ketergantungan menjadi semacam perekat
pemersatu anggota masyarakat yang berwarna-warni. Setiap anasir sosial dalam masyarakat merasa
saling tergantung dan memerlukan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Saling ketergantungan ini
menjadi tanda kerjasama yang menguatkan strata sosial. Kekokohan dan kekuatan sosial justeru terbina
karena sistem atau jejaring kerja sama antar-anggota masyarakat.

13

Anda mungkin juga menyukai