Kesultanan Pasai
Samudera Darussalam
→
1267–1521
→
Ibukota Pasai
Bahasa Melayu
Agama Islam
Pemerintahan Monarki
Sejarah
- Didirikan 1267
Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian
sejarah.[1] Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan
dari Hikayat Raja-raja Pasai,[2] dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan
emas dan perak dengan tertera nama rajanya.[3]
Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan
kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn
Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai
akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Pembentukan awal
3 Pemerintahan
4 Perekonomian
6 Akhir pemerintahan
8 Warisan sejarah
9 Rujukan
10 Kepustakaan
11 Pranala luar
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah
sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser.[2] Marah Silu ini sebelumnya
berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlangakemudian setelah naik tahta bergelar Sultan
Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M.[4] Dalam Hikayat Raja-raja Pasaimaupun Sulalatus
Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, namun dalam
catatanTiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya
mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara
terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-
Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-
Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai
menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian
sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan
memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian
menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan
penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.[5]
Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir,
datang serangan dari Majapahit antara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa
melarikan diri dari ibukota kerajaan.
"Maka titah Sang Nata akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, mana kesukaan
hatinya. Itulah sebabnya maka banyak keramat di tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu".
— Gambaran penaklukan Pasai oleh Majapahit, kutipan dari Hikayat Raja-raja Pasai[2].
Kesultanan Pasai kembali bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir tahun 1383, dan
memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan
disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya
Sultanah Nahrasiyah.
Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam tahun 1405,
1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya seperti Ma
Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan memiliki batas wilayah dengan
pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru,
sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika
terus ke arah barat berjumpa dengan kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3
malam dari Pasai. Dalam kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan hadiah dari Kaisar Cina, Lonceng
Cakra Donya.[6]
Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat
di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk menyampaikan berita
tersebut.[6]
Pemerintahan[sunting sumber]
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air)
dengan Krueng Pase (Sungai Pasai),Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan waktunya sekitar
dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu, namun
telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan
inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan
menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan kapal
terbalik.[6] Sehingga penamaanLhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-
putar kemungkinan berkaitan dengan ini.
Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak sultan baik
lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai
memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi bagian dari
kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur di Samudera.
Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera sudah menjadi satu kesatuan dengan
nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-
Zahir, Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga
disebutkan memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan
mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.
Perekonomian[sunting sumber]
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan Ma Huan
disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan Kesultanan Pasai
mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang ini
disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu
17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta
memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2.5
meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang
yang disusun dengan rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.[6]
Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha juga turut
mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires,[7] telah membandingkan dan menyebutkan
bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara
kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka
dan hubungan yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka
sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang
mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin[8] menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan
kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya
runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511,
dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.
1267 -
Sultan Malik as-Saleh (Marah Silu) Hikayat Raja-raja Pasai dan makam raja
1297
1297 -
Sultan Muhammad Malik az-Zahir Koin emas telah mulai diperkenalkan
1326
1345 -
Sultan Ahmad Malik az-Zahir Diserang Majapahit
1383
1383 -
Sultan Zainal 'Abidin Ra-Ubabdar Dikunjungi Cheng Ho
1405
1405 -
Sultan Sallah ad-Din Menikahi Sultanah Nahrasiyah
1412
1412 -
Sultan Abu Zaid Malik az-Zahir Mengirim utusan ke Cina
1455
1455 -
Sultan Mahmud Malik az-Zahir II
1477
1501 -
Sultan Abd-Allah Malik az-Zahir
1513
1513 -
Sultan Zain al-Abidin III Penaklukan oleh Portugal
1521
Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696 H atau 1297 M, dirujuk oleh sejarahwan sebagai
tanda telah masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13. Walau ada pendapat bahwa
kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari itu. Hikayat Raja-raja Pasai memang penuh dengan mitos dan
legenda namun deskripsi ceritanya telah membantu dalam mengungkap sisi gelap sejarah akan keberadaan
kerajaan ini. Kejayaan masa lalu kerajaan ini telah menginspirasikan masyarakatnya untuk kembali
menggunakan nama pendiri kerajaan ini untuk Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe.
Kesultanan Aceh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
←
1496–1903 →
←
Agama Islam
Sultan
Sejarah
-Menyerah 1903
Lihat pula:
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Tarumanagara (358–669)
Kediri (1045–1221)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Kerajaan Islam
Kerajaan Kristen
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Indonesia Merdeka
L
B
S
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di
provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh
Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1
Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903),
Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme
bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian
ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.[1]
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Sejarah
o 1.3 Kemunduran
2 Pemerintahan
3 Perekonomian
4 Kebudayaan
o 4.1 Arsitektur
o 4.2 Kesusateraan
o 4.4 Militer
5 Tradisi kesultanan
o 5.1 Gelar
6 Lihat pula
7 Referensi
o 7.1 Sumber
Sejarah[sunting sumber]
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar
Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh
menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan
penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000
tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung
Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun di tahun yang sama Aceh mendudukiKedah dan banyak
membawa penduduknya ke Aceh.[4]
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan
perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak
mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau,
dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
Kemunduran[sunting sumber]
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan
Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku,
Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor
penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Diplomat Aceh ke Penang. Duduk : Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun
1870an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa
nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat
janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya
Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus
melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh
sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat
terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka
mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara
pecah, mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman.
Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-
Sinkily melakukan berbagaireformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe.
Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada
daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh.
Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid
Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang
saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang
dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak
habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman
dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia
berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu
dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada
tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk
meyakinkan kekuasaan Aceh terhadapDeli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki
dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[5]
Presiden Perancis
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk membendung
agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali keIstanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai
vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan,
Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga
berusaha membentuk aliansi denganPerancis dengan mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I
dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius. [3]
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk
kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib
Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing
dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam
pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima
Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[5]
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan
jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian
manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu,
usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para
Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun
kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha
bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di
Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda
memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa
menandai awal invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh[sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah
melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali
berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap
bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Sultan Aceh Muhammad Daud Syah menyerah di hadapan Jenderal Van Heutsz.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah
berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda agar
merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada
masa Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van
Daalen diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.
Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah
dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud,
Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul di tahun yang sama pada bulan September.
Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau
lebih dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun. [6]
Pemerintahan[sunting sumber]
Sultan Aceh[sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sultan Aceh
Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-1903.
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya
berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di
daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibukota berada tetap di Bandar
Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di
pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi
Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (mas kawin Aceh),
yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa
gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah
Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Mesjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée,
Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.[7]
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap.
Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan. Tanpa cap tidak
ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.[8]
Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Maiikul Adil, yang beranggolakan
tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana
Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis
Mahkamah Rakyat yang diangkat.
Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang
bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang
wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira Departemen Pertahanan.
Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, yang dipimpin
oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kirakira Departemen Kehakiman.
Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara, yang
dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham;
kira-kira Departemen Keuangan.
Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang; kira-kira Menteri
Dalam Negeri.
Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan pengembangan hutan;
kira-kira Menteri Kehutanan.
Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara termasuk penulis
resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira
Sekretaris Negara. [9]
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan
lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja
kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi
nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Tiap daerah ini
dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M)
dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian
wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan
kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe) :
Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul
Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri
Negara).
Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali
menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza.
Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan
Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian
gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Mesjid untuk melakukan shalat jumat sesuai mazhab
Syafi'ie.[10] Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas [11]
.
Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah pejabat sultan
yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka adalah
merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di
pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan
mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka
sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya
[12]
kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.
Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai berikut :
Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-
masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat
setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat
Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas
yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh,
kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah
harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini
berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah
kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit
kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana
berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.
Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said
Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya hingga saat ini,
khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal ini ia boleh mengangkat
seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal
dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan
atasannya.[13] Diakhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu, melakukan
sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan mesjid dan tempat-tempat ibadah lainnya,
mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.
Perekonomian[sunting sumber]
Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah barang
mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidiemerupakan lumbung beras bagi kesultanan.[14]Namun diantara
semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi di tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta
dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang
Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat
lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh.[5]
Kebudayaan[sunting sumber]
Arsitektur[sunting sumber]
Tidak banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Dunia
terbakar pada masa perang saudara dan pula dimakan zaman. Perlu dicatat bahwa pada masa
Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu,
Mesjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah
terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang saat ini
bisa dilihat antara lain Benteng Indrapatra, Mesjid Tua Indrapuri, Pinto Khop dan Gunongan.
Kesusateraan[sunting sumber]
Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk hikayat.
Hikayat yang terkenal diantaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem
Dagang dalam settingan penyerbuan Malaka oleh Angkatan Laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Bhikayat
Malem Diwa, hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, hikayat Pocut Muhammad,
hikayat Perang Goempeuni, hikayat Habib Hadat, kisah Abdullah Hadat dan hikayat Prang Sabi. [12]
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (taman para raja) karya
Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Taj al-salatin (1603), Sulalat al-Salatin (1612), dan Hikayat Aceh
(1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan
karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman Segala
Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung
Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Militer[sunting sumber]
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh.
Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari
kuningan.[15]
Teungku
Tuanku
Teuku
Cut
Laksamana
Ulee balang
Meurah
Kesultanan Banten
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kerajaan banten)
Kesultanan Banten
Kasultanan Banten
←
1527–1813 →
←
Bendera
Agama Islam
Pemerintahan Kesultanan
Sultan
- 1552–1570 ¹ Maulana Hasanuddin
Sejarah
- Serangan 1527
atasKerajaan Sunda
- Aneksasi 1813
oleh Hindia-Belanda
Lihat pula:
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Tarumanagara (358–669)
Kediri (1045–1221)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Kerajaan Islam
Kerajaan Kristen
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Indonesia Merdeka
L
B
S
Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia.
Berawal sekitar tahun 1526, ketikaKerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau
Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer
serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan
tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian
hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang
diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara,
dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta
ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya.
Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan
sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para
Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Pembentukan awal
2 Puncak kejayaan
3 Perang saudara
4 Penurunan
5 Penghapusan kesultanan
6 Agama
7 Kependudukan
8 Perekonomian
9 Pemerintahan
11 Warisan sejarah
12 Rujukan
13 Perpustakaan
14 Pranala luar
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda.
Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain
untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwahIslam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama
Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan
Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana,
bersama denganFatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527,
yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[4]
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan
kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut,
selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan
Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[5]
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6] Banten yang
sebelumnyavazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana
Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan
pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan
anaknyaMaulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha
Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam
penaklukkan tersebut.[8]
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang
mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada
masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang
ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan
tahun 1629 kepada Charles I.[1]
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.[11] Di bawah
dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah
orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.[12] Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga
mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan
menaklukkannya tahun1661.[13] Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC,
yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.[12]
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan
pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranyaSultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara
tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul
Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk
mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[1] Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari
istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan
ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran
Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14
Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada
dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang
berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits
van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka
berhasil menawan Syekh Yusuf.[14] Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan
menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran
Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan
VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28
Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya
menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.[15]
Penurunan[sunting sumber]
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC
di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat
Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di
Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC
memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.[16] Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17
April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC. [17]
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan
Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral
Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun
hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan
gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun
ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya.
Konfik antara keturunan penguasa Banten[18] maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut
campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir
pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang
dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam
meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.[13]
Reruntuhan Kraton Sultan di tahun 1859 (gambar oleh C. Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau
"Sejarah Hindia Belanda")
Reruntuhan Kraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten, di tahun 1933
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan
pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.[19] Daendels
memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk
membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels,
sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana
Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan
di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqinkemudian diasingkan dan dibuang
ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah
Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.[20]
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.[21] Pada tahun itu, Sultan
Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford
Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
Agama[sunting sumber]
Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan
penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa
cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai
menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan
Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai
kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan paraulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan
masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya
masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi
oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam
penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.[22]
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun
komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah
berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.
Kependudukan[sunting sumber]
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai
dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan antara
lain Makasar, Bugis dan Bali.
Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat antara 100 000
sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat
direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat
diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673,
diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55
000 orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah
sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.[23]
Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini
akibat berkecamuknya perang di Fujianserta pada kawasan Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya
membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan
dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa
seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di
sekitar Ci Banten.
Perekonomian[sunting sumber]
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk daerah pesisir,
pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu
itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh
kegiatan perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskahsanghyang siksakanda ng karesian yang
menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga
istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya
seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk
mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga
sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan
hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk
orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an,
dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.[13]
Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan jumlah
penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada
masa tersebut.[23]
Pemerintahan[sunting sumber]
Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara
dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu,Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran
Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan
gelarMangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan.
Sementara pada masyarakat Banten terdapat kelompokbangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu
Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas
kaumulama, pamong praja, serta kaum jawara.
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan
tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun danIstana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta
parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara
berbentukmercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat
kedatangan kapal di Banten.
Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung Banten dan Ci
Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun
terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada
rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep
Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan namamandala.[13] Selain itu pada kawasan kota terdapat
beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini
dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar
yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.
Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu 1596 - 1647
Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar 1683 - 1687
Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada
masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah
tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan
masyarakatnya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi
pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang kemudian
ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.
Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan
antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah
menjadikan masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara
Kesultanan Demak
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Demak
Kesultanan Demak
←
1475–1548 →
Mesjid Agung Demak, yang dibangun dengan arsitektur tradisional
Jawa.
Bahasa Jawa
Agama Islam
Pemerintahan Kerajaan
-1521-1548 Trenggana
Sejarah
Lihat pula:
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Tarumanagara (358–669)
Kediri (1045–1221)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Kerajaan Islam
Kerajaan Kristen
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Indonesia Merdeka
L
B
S
Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai
utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari
kerajaan Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit. [1]
Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya.
Walau tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di
antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan
oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang
menurut tradisi didirikan oleh Walisongo.
Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara (dibaca "Bintoro"
dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada periode
ketika beribukota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 ibukota dipindahkan ke
Prawata (dibaca "Prawoto") dan untuk periode ini kerajaan disebut Demak Prawata.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Masa awal
2 Masa keemasan
3 Kemunduran
4 Catatan
5 Lihat pula
6 Pranala luar
Menjelang akhir abad ke-15, seiring dengan kemuduran Majapahit, secara praktis beberapa wilayah
kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling
serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.
Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai kawasan yang mandiri. Dalam
tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung dari Majapahit, sementara Raja
Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh
kemungkinan besar seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po.[2] Kemungkinan besar puteranya adalah
orang yang olehTomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin dimaksudkan
"Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adik Rodim, yang
bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun 1521 sampai 1546. Di antara
kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara pada
masa Trenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan Demak berhasil menundukan Majapahit.[1]
Pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau Jawa, tidak satu pun
kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam memperluas kekuasaannya dengan
menundukan beberapa kawasan pelabuhan dan pedalaman di nusantara.
Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan
Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan
pendudukan Portugis di Malaka. Kemudian beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya untuk menyerang
Portugis di Malaka.[3]
Kemunduran[sunting sumber]
Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Penunjukannya sebagai sunan ditentang oleh
adik Trenggana, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Dalam penumpasan pemberontakan, Pangeran Sekar
Seda Lepen akhirnya terbunuh. Akan tetapi, pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya dihabisi
oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian menjadi
penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri, adipati Jepara, dan hal
ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak memusuhi Arya Penangsang, salah satunya adalah Adipati
Pengging.
Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir.
Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kerajaan Pajang.
Catatan[sunting sumber]
1. ^ a b c Ricklefs, M., (2002), A History of Modern Indonesia Since c. 1200, Stanford University Press, ISBN
9780804744805.
3. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
4. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-
12-X.
Kerajaan Pajang
Walisongo
Semarang
Pranala luar[sunting sumber]
M. Faliqul Isbah, Menyingkap Sejarah Hindu-Jawa, Resensi buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan
Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, karangan Slamet Muljana.
[sembunyikan]
L
B
S
Kerajaan di Jawa
0-600 (Hindu-Buddha pra-Mataram) Salakanagara · Tarumanagara · Sunda-Galuh · Kalingga · Kanjuruhan
600-1500 (Hindu-Buddha) Mataram Hindu · Kahuripan · Janggala · Kadiri · Singasari · Majapahit · Pajajaran · Blambangan
1500-sekarang (Islam) Demak · Kalinyamat · Pajang · Banten · Cirebon · Sumedang Larang · Mataram Islam (Kartasura · Surakarta · Yogya
Kategori:
Bekas negara di Asia Tenggara
Kerajaan Demak
Kerajaan di Nusantara