Anda di halaman 1dari 10

PENDEKATAN METAKOGNITIF DALAM

PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Agusmanto J.B. Hutauruk

Pascasarjana Pendidikan Matematika, Univ. Pendidikan Indonesia Bandung;


a7hutauruk@gmail.com

ABSTRAK

Seringkali siswa mengikuti suatu instruksi dalam memecahkan masalah matematika tanpa
menyadari apa yang mereka lakukan, mengapa mereka melakukan, dan bahkan tidak tahu
apa yang harus mereka lakukan dengan tugas tersebut. Sementara untuk menjadi seorang
pemecah masalah yang baik, seseorang harus memiliki kemampuan metakognisi yang baik.
Dengan kesadaran metakognisi, siswa terlatih untuk selalu merancang strategi terbaik dalam
memilih, mengingat, mengenali kembali, mengorganisasi informasi yang dimilikinya serta
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Siswa akan terbiasa untuk selalu memonitor,
mengontrol dan mengevaluasi hal yang telah dilakukannya. Pendekatan metakognitif dalam
pembelajaran matematika dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, salah satunya dengan
menggunakan kartu metakognisi, yang berisi pertanyaan-pertanyaan metakognitif yang dapat
disesuaikan dan disusun berdasarkan topik atau materi yang sedang dipelajari di kelas.

Kata Kunci: Metakognisi, Pembelajaran Metakognitif

A. Pendahuluan

Matematika tak dapat dipungkiri lagi merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang
sangat berperan dalam peradaban, sehingga mnguasai kecakapan matematis sangat
penting dicapai untuk dapat bersaing dan mencapai kemajuan di zaman modern
(NRC, 2002; Hudojo, 2004; dalam Hendrayana, 2015). Namun kebanyakan siswa
mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika, walaupun kadang kesulitan itu
sengaja dibuat untuk melatih dan membiasakan siswa agar terbiasa dalam aktifitas
berpikir dan aktifitas memecahkan masalah (Hendrayana, 2015).

Kesulitan dalam mempelajari dan menguasai matematika sangat beralasan karena


matematika merupakan pelajaran yang menunutut siswa untuk berpikir logis,
sistematis dan reflektif, serta membutuhkan usaha yang tekun, teliti dan sungguh-
sungguh (NRC,2002; Reys dkk, 2009, dalam Hendrayana, 2015). Sehingga untuk
menguasai matematika, diperlukan lima komponen yaitu: pemahaman konseptual,
kompetensi strategis, kelancaran dalam proses pengerjaan, penalaran adaptif dan
disposisi yang produktif (Hendrayana, 2015).

Dalam proses pembelajaran, sebagian siswa memiliki pengalaman yang kurang


menyenangkan tetapi tidak dapat dihindarkan. Setiap individu pernah mengalami
kegagalan dan masa-masa yang penuh dengan kesulitan dalam proses
pembelajarannya. Namun jika kita menginginkan kecerdasan sebagai hasil dari suatu
proses pendidikan, maka strategi instruksional yang tujuannya untuk membangun
kemampuan metakognitif anak harus disiapkan dalam metode pembelajaran,
pengembangan sumber daya manusia dan pengawasan (Costa, 1981 dalam Costa,
2001).

Metakognitif merupakan suatu bentuk kemampuan untuk melihat diri sendiri


sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Pendekatan
metakognitif menekankan pengembangan kesadaran siswa akan kemampuan dirinya
tentang pemahaman konsep, pemahaman masalah, mengembangkan hubungan
pengetahun baru dengan yang lalu, strategi penyelesaian, refleksi proses dan solusi
yang mengajarkan (Nindiasari, 2013) :
a. Bagaimana mengontrol aktifitas berpikir
b. Berpikir tentang proses berpikir khususnya dalam memahami masalah,
mempertimbangkan strategi penyelesaian masalah, melakukan refleksi pada
proses dan solusi yang telah dilakukan.

Oleh karena itu, pembelajaran metakognitif diharapkan dapat menjadi solusi


dalam membangun kemampuan matematis siswa dalam proses berpikir dan proses
pembelajarannya.

B. Pendekatan Metakognitif

Metakognisi adalah suatu kata tentang apa yang seseorang ketahui tentang dirinya
sendiri sebagai individu dan bagaimana ia mengontrol dan menyesuaikan
perilakunya. Terdapat banyak definisi yang berkaitan dengan metakognisi menurut
para ahli. Weissinger (Nindiasari, 2013) mengemukakan, metakognisi merupakan
kemampuan dalam memantau tingkat pemahaman dan menentukan kapan
pemahaman ini tidak memadai, kemampuan refleksi diri dalam pengembangan
kemampuan berpikir serta kebiasaan kecenderungan untuk menggunakannya.

Costa (2001) mengemukakan, metakognisi adalah kemampuan untuk merencanakan


suatu stategi untuk menghasilkan informasi yang dibutuhkan dalam mencari solusi
suatu masalah, menetapkan langkah-langkah strategi yang akan dilaksanakan, serta
merefleksi dan mengevaluasi produktivitas kemampuan berpikirnya. Dengan kata
lain, metakognisi adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang kita ketahui dan
apa yang tidak kita ketahui. Senada dengan itu, Flavell dalam Multadah (Masni,
2015) juga mengemukakan bahwa metakognisi adalah kesadaran seseorang tentang
bagaimana ia belajar, bagaimana ia menilai suatu kesukaran dalam masalah,
bagaimana ia mengamati tingkat pemahaman dirinya, bagaimana ia menggunakan
berbagai informasi yang dimilikinya untuk mencapai tujuan serta bagaimana ia
menilai kemajuan belajarnya.

Seringkali siswa mengikuti suatu instruksi dalam melakukan tugas tanpa menyadari
apa yang mereka lakukan, mengapa mereka melakukan, dan bahkan tidak tahu apa
yang harus mereka lakukan dengan tugas tersebut (Costa, 2001). Untuk menjadi
seorang pemecah masalah yang baik, seseorang harus memiliki kemampuan
metakognisi yang baik. Dengan kesadaran metakognisi, siswa terlatih untuk selalu
merancang strategi terbaik dalam memilih, mengingat, mengenali kembali,
mengorganisasi informasi yang dimilikinya serta menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Siswa akan terbiasa untuk selalu memonitor, mengontrol dan
mengevaluasi hal yang telah dilakukannya (Masni, 2015).

Menurut Costa (2001), pemecahan masalah menggunakan metakognisi dilakukan


dengan tindakan-tindakan sebagai berikut:

1. merencanakan serangkaian tindakan sebelum memulai tugas.


2. memantau diri sendiri selama pelaksanaan rencana.
3. mendukung atau menyesuaikan rencana secara sadar.
4. mengevaluasi tindakan sesudah selesai.

Sejalan dengan itu, Yoong (Murni, 2013) mengemukakan bahwa metakognisi


sebagai kemampuan untuk mengontrol proses berpikir sendiri, yang terdiri dari:

1. monitoring terhadap strategi dan proses berpikir yang digunakan dalam


mengerjakan tugas
2. pencarian alternatif penyelesaian tugas
3. pengecekan ketepatan dan kerasionalan dari jawaban.

Seseorang yang memiliki keterampilan metakognitif adalah seseorang yang memiliki


kemampuan menyusun strategi yang efektif, mengontrol stategi kognitif, memotivasi
diri, memiliki kepercayaan diri yang baik serta kemandirian belajar (Nindiasari,
2013). Heller, et al. (Nindiasari, 2013) berpendapat, kegiatan metakognitif dapat
diimpliksikan melalui :

1. Kesadaran yakni kemampuan seseorang untuk mengenali informasi eksplisit


dan implisit.
2. Pengamatan yakni bertanya pada diri sendiri serta menjelaskan dengan kata-
kata sendiri untuk menstimulasi pemahaman.
3. Pengaturan yakni membandingkan atau membedakan jawaban yang lebih
tepat dalam memecahkan masalah.

Instruksi langsung oleh guru dalam metakognisi dimana guru secara langsung
menyimpulkan strategi dari pemecahan masalah daripada digeneralisasi langsung
oleh siswa itu sendiri malah mengganggu performa siswa. Sebaliknya ketika
mengembangkan pengalaman siswa itu sendiri mengenai strategi, menginduksi
sendiri, diskusi dan berlatih sendiri, maka kemampuan metakognisi mereka akan
meningkat dan mereka akan lebih spontan (Strenberg&Wagner dalam Costa, 2001).
Menurut Blakey & Spence (Murni, 2013), untuk mengembangkan perilaku
metakognitif dapat dilakukan enam strategi:
1. Mengidentifikasi apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui.
2. Menyatakan proses berpikir.
3. Membuat catatan harian.
4. Merencanakan dan melakukan pengaturan diri.
5. Menanyakan proses berpikir.
6. Evaluasi diri.
Pendekatan metakognitif memiliki ciri utama yaitu guru menyadarkan kemampuan
metakognitif siswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan metakognitif berisi
pemahaman masalah, perencanaan penyelesaian masalah dan meriview hasil
penyelesaian masalah (Nindiasari, 2013). Pertanyaan metakognitif adalah
pertanyaan-pertanyaan yang di dalamnya terdapat tiga jenis pertanyaan yaitu
pertanyaan pemahaman, pertanyaan koneksi dan pertanyaan strategi (Krisna, dkk
dalam Masni, 2015). Dengan pengajuan pertanyaan metakognitif, siswa akan mampu
memantau proses kemampuan berpikirnya sehingga secara tidak langsung siswa
telah mampu mengembangkan pengaturan diri (self regulation).

Menurut Nindiasari (2013), pertanyaan metakognitif difokuskan pada:

1. bagaimana memahami masalah


2. bagaimana membangun koneksi antara pengetahuan baru dengan
pengetahuan sebelumnya beserta alasannya
3. bagaimana penggunaaan strategi yang sesuai untuk menyelesaikan masalah
4. bagaimana bercermin pada proses dan solusi, serta
5. bagaimana membuat siswa belajar bermakna agar hasil yang diperoleh
maksimal.

Upaya menumbuhan metakognisi siswa dapat dilakukan dalam 3 tahap (NCRE


dalam Masni, 2015) yaitu:
1. Mengembangkan rencana tindakan
a. Pengetahuan apa yang menolong saya mengerjakan tugas ini.
b. Dengan cara apa saya mengarahkan pikiran saya
c. Pertama kali saya harus melakukan apa
d. Mengapa saya membaca bagian ini
e. Berapa lama saya menyelesaikan tugas ini
2. Memantau rencana tindakan
a. Bagaimana saya melakukan tindakan
b. Apakah saya di jalur yang benar
c. Bagaimana seharusnya saya melakukannya
d. Haruskah saya melakukan dengan cara yang berbeda
e. Informasi apa yang penting untuk diingat
f. Haruskah menyesuaikan langkah-langkah tindakan dengan tingkat
kesukaran.
3. Mengevaluasi rencana tindakan
a. Seberapa baik saya melakukan tindakan
b. Apakah cara berpikir saya menghasilkan lebih banyak atau kurang sesuai
harapan saya
c. Bagaimana saya menerapkan cara berpikir ini terhadap masalah yang lain
d. Apakah saya telah melakukan dengan cara yang berbeda

Proses menumbuhkan kemampuan metakognisi siswa dapat dilaksanakan dalam


pembelajaran. Pendekatan pembelajaran metakognitif meliputi beberapa komponen
(Masni, 2015; Elawar dalam Nindiasari 2013) yakni:
1. Introductory Discussion, yakni menanamkan kesadaran kepada siswa suatu
proses bagaimana merancang, memonitor dan mengevaluasi aktifitas yang
dilakukan untuk menentukan solusi dari suatu permasalahan dengan cara
memfokuskan pertanyaan pada pemahaman masalah.
2. Independent Work, yaitu pengembangan hubungan antara pengetahuan yang
lalu dan sekarang, serta penggunaan strategi penyelesaian masalah yang tepat.
3. Conclussion, yakni merefleksikan proses dan solusi untuk menyimpulkan apa
yang telah dilakukan dan pengetahuan baru apa yang diperoleh.

Menurut Nindiasari (2013), dalam pembelajaran metakognitif, guru harus melakukan


hal-hal sebagai berikut:
1. Mampu merencanakan pertanyaan-pertanyaan metakognitif berkaitan dengan
materi.
2. Membiasakan selalu mengasah keterampilan metakognitif siswa di setiap
permasalahan
3. Membiasakan diskusi kelompok yang mampu mengembangkan kemampuan
berpikir dan kemampuan metakognitif siswa
4. Merangsang siswa membuat kesimpulan sendiri sebagai pemahaman baru.

Cardelle (Masni, 2015) juga mengemukakan tahapan proses pembelajaran dengan


pendekatan metakognitif sebagai berikut:
1. Tahap 1: Diskusi awal
a. Guru menjelaskan topik
b. Guru membentuk pemahaman konsep dasar
c. Siswa menanamkan keyakinan dan kesadaran dengan bertanya kepada
diri sendiri saat menjawab pertanyaan sehingga siswa yakin dan memiliki
intuisi bahwa permasalahan dapat diselesaikan
2. Tahap 2: Siswa bekerja mandiri
a. Siswa bekerja mandiri mengajarkan soal
b. Guru memberikan feedback, memandu siswa dengan memberi stimulus
pertanyaan-pertanyaan metakognitif, menuntun siswa mengoreksi diri
sendiri, dapat mengontrol dan memonitor proses berpikir sendiri serta
dapat menyimpan dan mempergunakan kembali ide-ide yang ditemukan
untuk menyelesaikan soal
3. Tahap 3: Refleksi dan rangkuman
a. Refleksi guru lebih mengarah pada pemantaan dan aplikasi yang lebih
luas sehingga siswa mendapatkan pembelajaran yang lebih bermakna
b. Refleksi siswa mengarah pada apa yang telah ia pahami dari
pembelajaran serta kemungkinan aplikasi dalam masalah yang lebih luas
c. Membuat rangkuman.

C. Pendekatan Metakognitif dalam Pembelajaran Matematika

Dalam pembelajaran matematika, tipe pengetahuan kognitif yang berhubungan


dengan pemecahan masalah matematika dapat diuraikan sebagai berikut (Garofalo
dan Lester dalam Murni, 2013) :
1. Pengetahuan individual berupa penilaian seseorang tentang potensi dan
keterbatasannya di bidang matematika
2. Pengetahuan tugas berupa keyakinan seseorang tentang materi matematika
sebaik keyakinannya pada sifat dari tugas matematika
3. Pengetahuan startegi matematika mencakup kesadaran seseorang terhadap
strategi yang membantu untuk memahami masalah, mengorganisasi
informasi, merencanakan solusi, mengeksekusi rencana dan mengecek hasil,
meliputi pengetahuan algoritma dan heurstik.

Menurut Murni (2013), kegiatan guru dalam menumbuhkan metakognisi siswa


dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan dalam hal-hal berikut ini:
1. Guru sebagai fasilitator yang mendukung dan membantu siswa suapay dapat
mengontrol proses dan aktivitas berpikirnya, emilih strategi pemecahan
masalah, melakukan evaluasi diri, melakukan refleksi diri, dan tidah mudah
menyerah.
2. Guru bersama siswa mengecek kebenaran jawaban siswa
3. Guru memberi penghargaan
4. Guru meminta siswa menuliskan catatan harian tentang pengalamannya
mengikuti pembelajaran
5. Guru memodelkan perilaku metakognitif dalam pembelajaran
Selanjutnya kegiatan siswa dapat dilakukan dengan hal-hal berikut:
1. Mengontrol proses berpikir sendiri tentang pengetahuan dan strategi
pemecahan masalah
2. Menyatakan proses berpikir dalam diskusi atau representasi diri dari masalah
yang dihadapi
3. Membuat rencana kegiatan belajar seperti mengatur waktu, bahan ajar,
prosedur pemecahan masalah dan sebagainya.
4. Membuat catatan harian
5. Mengevaluasi keberhasilan aktifitas pembelajaran

Pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika dapat dilaksanakan dengan


berbagai cara, selama yang menjadi inti pembelajarannya adalah untuk mengevaluasi
metakognisi siswa melalui pemberian-pemberian pertanyaan-pertanyaan
metakognitif. Salah satu cara yang diusulkan oleh penulis adalah dengan
menggunakan kartu metakognisi, yang berisi pertanyaan-pertanyaan metakognitif
yang dapat disesuaikan dan disusun berdasarkan topik atau materi yang sedang
dipelajari di kelas (Fior, 2015).

Tujuan dari penggunaan kartu metakognisi tersebut adalah untuk membantu siswa
untuk berpikir metakognitif (Schoenfeld, dalam Nindiasari, 2013), yakni mereka
mengetahui kemampuan mereka sendiri dalam hal :

1. proses berpikir yang meninjau seberapa akurat dia dalam menggambarkan


pengetahuannya.
2. Mengontrol kemandirian belajar:
a. mengukur pemahaman masalah
b. merencanakan startegi jawaban
c. memonitor dan mengontrol rumus jawaban yang dipakai
d. mengukur apakah jawaban tersebut benar atau salah
e. keyakinan diri dan intuisi.
Kartu metakognisi tersebut dapat dimodifikasi oleh para guru maupun yang
berkepentingan sesuai dengan kebutuhanya. Modifikasi kartu metakognisi tersebut
dapat dilakukan secara luas asalkan sesuai dengan tujuan inti dari pendekatan
metakognitif yaitu untuk membuat siswa mengetahui apa yang mereka pikirkan dan
apa yang mereka butuhkan ketika menghadapi masalah matematis. Salah satu bentuk
modifikasi yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Metacognition Cards

Pada kolom paling atas, siswa akan menuliskan identitas dirinya sebagai pembelajar.
Pada kolom di sebelah kiri, siswa akan menuliskan tentang materi soal, sub materi
dan indikator soal yang akan dihadapinya. Dengan mengetahui hal tersbeut, siswa
akan mulai proses berpikir metakognitifnya dengan mengetahui dan mengenal ruang
permasalahan yang akan dihadapinya. Pada kolom di tengah, terdapat kolom soal,
yang akan diisi oleh guru dengan soal matematis yang akan dipecahkan oleh siswa.
Selanjutnya terdapat kolom metakognisi yang terdiri dari beberapa isian untuk diisi
oleh siswa, yakni:
1. Yang diketahui pada soal; dengan mengisi bagian ini, siswa akan berpikir
metakognitif untuk mengetahui apa yang diketahui dan dibutuhkan untuk
menyelesaikan soal tersebut.
2. Yang ditanya pada soal; pada bagian ini siswa akan dituntut untuk mengenal
dan mengetahui permasalahan yang dihadapinya.
3. Topik/Sub Topik yang dipakai; pada bagian ini, siswa dituntut untuk
mengetahui pengetahuan apa yang telah dia miliki, pengetahuan apa yang
belum dia miliki, pengetahuan apa yang diperlukan untuk memecahkan
permasalahan serta pengetahuan apa yang masih harus diperoleh terlenih
dahulu sebelum memecahkan permasalahan.
4. Rencana strategi/ langkah penyelesaian; pada bagian ini, siswa akan berpikir
dalam menyusun strategi dan langkah apa yang harus dilakukan untuk
menyelesaikan soal tersebut, termasuk berpikir tentang berbagai
kemungkinan cara lain yang dapat dipergunakan untuk memmpermudah
pemecahan masalahnya.
Pada kolom selanjutnya terdapat kolom penyelesaian, pada kolom ini, siswa akan
menyusun penyelesaian masalah/ soal yang dihadapinya sesuai dengan pengetahuan
yang dia miliki dan strategi yang dia rencanakan sebelumnya. Siswa akan berpikir
tentang proses berpikirnya untuk menyelesaikan soal tersebut sesuai dengan apa
yang telah dia pikirkan sebelumnya. Kemudian pada kolom paling bawah terdapat
kolom untuk mengukur diri sendiri mengenai seberapa yakin siswa tersebut terhadap
jawaan pemecahan masalah yang telah disusunnya tersebut. Hal itu masuk dalam
kategori evaluasi diri sendiri pada pendekatan pembelajaran metakognitif.

Dengan mempergunakan pendekatan metakognitif melalui penggunaan kartu


metakognitif tersebut, siswa akan terlatih dan terbiasa untuk berpikir metakognitif
dalam menyelesaikan permasalahan, khususnya dalam pembelajaran matematika.
Dengan demikian, pendekatan metakognitif yang diterapkan tersebut dapat
meningkatkan kemampuan matematis siswa dan meningkatkan kemampuan berpikir
matematis yang dia miliki.

Implikasi pembelajaran metakognitif menurut Nindiasari (2013) adalah siswa


terbiasa mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri; mengontrol dan mengatur diri
sendiri dalam proses pemecahan masalah; merencanakan, memantau dan merevisi
pekerjaan mereka sendiri; sadar apa yang diketahui dan tahu apa yang dapat
dilakukan ketika gagal memahami. Sementara menurut Costa (2001), perkembangan
kemampuan metakognitif siswa dapat dilihat dari beberapa hal berikut ini:

1. Siswa sadar akan pikiran mereka sendiri, tampak dalam kemampuan mereka
mengetahui apa yang mereka ketahui ketika berpikir.
2. Siswa dapat menjabarkan dan mengurutkan langkah apa saja yang akan
mereka lakukan dalam pemecahan masalah. Mereka dapat mengetahui dari
mana akan memulai dan mengakhiri langkah tersebut. Mereka juga
mengetahui pengetahuan atau data apa yang diperlukan untuk memecahkan
masalah dan dapat menentukan tindakan yang harus dilakukan untuk
mendapatkan data tersebut.
3. Mereka menguasai metode secara sistematis dalam menganalisis suatu
masalah, tahu menentukan langkah awal, tahu menentukan langkah
penyelesaian dan dapat mengevaluasi apakah hasilnya akurat atau error.
4. Siswa dapat dengan percaya diri mengevaluasi diri, bekerja mandiri dengan
hasil yang akurat serta kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik.

D. Penutup

Pendekatan metakognitif merupakan pendekatan pembelajaran yang mendorong


siswa untuk mengetahui apa yang ia pikirkan, apa yang ia miliki dan apa yang ia
harus dapatkan supaya pembelajaran yang dialaminya dapat menghasilkan
pengetahuan baru yang lebih baik dan lebih kompleks. Pendekatan metakognitif yang
memuat pertanyaan-pertanyaan metakognitif dapat dibentuk dalam bentuk kartu
metakognisi yang akan membantu proses pembelajaran sesuai tujuan pendekatan
metakognitif tersebut. Dengan demikian diharapkan kemampuan dan pemahaman
matematis siswa dapat terbentuk lebih baik.
Daftar Pustaka

Azhar, Ervin. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemahaman, Penaralan dan


Komunikasi Matematis Siswa Madrasah Alliyah Dengan Pendekatan RME.
Disertasi UPI. Tidak Diterbitkan.

Boekarts, Monique; Pintrick, Paul; Zeidner, Moshe. (2000). Handbook of Self-


Regulation. California: Elseiver Academic Press

Costa, A. (Ed). (2000) Developing Minds: A Resource Book of Teaching Thinking.


Alexandria, VA: ASDC

Fior, Norina Megan. (2015). Investigating and Foresting Metacognition in Early


Math Learners. Doctoral Thesis of University of Calgary.

Gondall, Janet., Johnston-Wilder, S. (2015). Overcoming Mathematical Helpessness


and Developing Mathematical Resilience in Parents: An Illustrative Case
Study. Creative Education, 6, 526-535

Hendrayana, Aan. (2015). Pengaruh Pembelajaran RMT Terhadap Pemahaman


Konseptual, Kompetensi Strategis dan Beban Kognitif Matematis Siswa SMP
Boarding School (Sekolah Berasrama). Disertasi UPI. Tidak Ditebitkan

Johnson-Wilder,S., Lee,C. (2010). Mathematical Resilience. Mathematics Teaching:


218,38-41

Johnson-Wilder,S., Lee,C. (2010) Developing Mathematical Rsilience. BERA


Annual Conference 2010. University of Marwick.

Johnson-Wilder,S., Lee,C. (2011) The Pupil’s Voice Creating Mathematically


Resilient Community of Learners. Congress of European Society for Research
in Mathematics Education 2011.

Johnson-Wilder,S., Lee,C. (2014) Developing Coaches for Mathematical Reilience.


Seville: ICERI 2014.

Johnson-Wilder,S., Lee,C. (2015) Developing Peer Coaching for Mathematical


Reilience in Post-16 Students Who Are Encountering Mathematics in Other
Subject. Seville: ICERI 2015

Johnson-Wilder,S., Lee,C. (2015) Developing Mathematical Resilience in School-


Students Who Have Experienced Repeated Failure. Seville: ICERI 2015

Livingston, Jennifer A (1997) Metacognition: An Overview [Online] Tersedia:


http://www.gse_buffalo.edu/
Masni, Dwika. (2015). Pendekatan Pembelajaran Metakognitif Advance Organizer
dan Scientific Discovery Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika dan Kebiasaan Berpikir Matematik Siswa Kelas VIII.
Tesis UPI. Tidak Diterbitkan.

Murni, Atma. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan


Representasi Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Metakognitif
Berbasis Softskills. Disertasi UPI. Tidak Diterbitkan

National Council of Teacher of Mathematics (2000) Principles and Strandard for


School Mathematics. Reston, VA. NTCM

Nindiasari, Hepsi (2013) Meningkatkan Kemampuan Dan Disposisi Berpikir


Reflektif Matematis Serta Kemadirian Belajar Siswa SMA Melalui
Pembelajaran Dengan Pendekatan Metakognitif. Disertasi UPI. Tidak
Diterbitkan

Peatfield, Nick. (2015). Affective Aspect of Mathematical Resilience. Adams G.(Ed.)


Proceedings of the British Society for Research into Learning Mathematics
35(2)

Ruseffendi, H.E.T (2010) Dasar-dasar Penelitian Penelitian Pendidian dan Bidang


Non Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito

Sumarmo, U (2013) Berpikir dan Disposisi Matematis serta Pembelajarannya.


FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia Bandung

Anda mungkin juga menyukai