PENDAHULUAN
Jika kita tinjau dari instrumen-instrumen hukum di negeri ini, rasanya Indonesia sudah
memiliki instrumen hukum yang sangat lengkap, apalagi mengenai masalah korupsi. Lebih
kurang ada sekitar 40 peraturan perundang-undangan terkait tindak pidana korupsi. Mulai
dari TAP MPR No.XI tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas KKN, UU No.20
tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sampai dengan surat edaran Jaksa
Agung tentang percepatan penanganan kasus korupsi tahun 2004. Ditambah dengan
diratifikasinya United Nation Convention Against Corruption, 2003. Belum lagi ditunjang
oleh adanya lembaga Negara anti korupsi seperti KPK serta lembaga lainnya seperti BPK,
polisi, dan kejaksaan yang berperan penting dalam upaya pemberantasan korupsi.
Peraturan dan kelembagaan yang ada di Indonesia sudah sangat lengkap terkait upaya
pemberantasan korupsi. Namun, pemberantasan korupsi di Indonesia belum dapat
terlaksana dengan baik. Sekarang saatnya setiap individu mengintrospeksi diri, bagaimana
1
kita melaksanaan peraturan-peraturan yang telah ada, bagaimana kita memaksimalkan
peran dalam upaya pemberantasan korupsi dan bagaimana kaum terdidik bisa mendidik diri
mereka sendiri agar dapat terhindar dari budaya korupsi. Karena memang upaya
pemberantasan koupsi ini tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja. Korupsi tidak dapat
dimusnahkan hanya oleh satu institusi saja, melainkan semua lapisan masyarakat harus
bekerjasama dan berkomitmen dengan pemerintah untuk memeberantas korupsi.
1.2 Tujuan
Memahami pengertian korupsi
Memahami faktor penyebab korupsi
Mendalami kendala dalam pemberantasan korupsi
Menemukan upaya dalam pemberantasan korupsi
2
BAB II
PERMASALAHAN
Berdasarkan fakta yang ada di negara ini, korupsi merupakan masalah besar yang biasa
dilakukan para pelaku politik dan para pemimpin yang tidak bermoral. Meskipun mereka
berasal dari kalangan terdidik namun karena moralnya jelek, justru dari kalangan mereka
lah yang biasa melakukan korupsi.
Walaupun di Indonesia sudah terdapat berbagai peraturan yang lengkap akan tindakan
korupsi, bahkan muncul opini bahwa pelaku korupsi akan dihukum mati. Namun faktanya
hal ini tidak memiliki efek sama sekali terhadap berkurangnya tindak pidana korupsi oleh
orang-orang besar di Indonesia, bahkan semakin hari semakin banyak bermunculan berita-
berita yang menguak kasus korupsi.
Di sisi lain, Indonesia memiliki kelembagaan yang independen terhadap permasalahan
ini, lembaga tersebut dengan sigap dan teliti dalam membantu pemerintah memberantas
budaya korupsi, namun hal ini hanya memberi dampak kecil terhadap penumpasan korupsi
di Indonesia, lembaga ini sepertinya tidak memberi efek takut kepada para koruptor. Hal-
hal yang berhubungan dengan pemaparan inilah yang menjadi tanda tanya besar bagi kita
semua mengenai permasalahan pokok terjadinya tindakan korupsi yang nantinya akan
dinilai baik dari segi moral, sosial, maupun kebijakan dari hukum yang ada.
Dari segi moral, bangsa Indonesia telah memiliki berbagai pedoman dan pengajaran
mengenai hal yang diperbolehkan atau tidak. Namun, hal ini ternyata tetap tidak
menumbuhkan kesadaran diri akan hak orang lain dan kewajiban yang harus dilakukan.
Dari segi sosial pelaku cenderung beroreintasi kearah gaya hidup yang sangat mewah,
bergaul dengan golongan kelas atas, dan yang paling mendasar adalah tidak adanya rasa
puas dalam diri pelaku tindak korupsi ini. Keinginan untuk terus menambah pundi-pundi
kekayaan mereka seakan-akan tidak pernah terpenuhi. Bahkan mereka sama-sama bergelut
dalam dunia ini memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Dari segi kebijakan hukum, dapat kita lihat dengan jelas betapa tumpulnya hukum di
Indonesia untuk kalangan atas namun tajam untuk kalangan bawah. Sehingga sistem yang
ada tidak efektif dalam menangani pemberantasan korupsi. Ini menunjukkan bahwa kita
harus menemukan inti dari masalah ini, lalu bersama-sama menyesuaikan diri dengan
melakukan upaya apa yang bisa dilakukan.
3
BAB III
PEMBAHASAN
4
satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi daftar
kekayaan pejabat negara.
Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut
mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan
kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden. Usaha Paran akhirnya mengalami jalan
buntu karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena
pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan
kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan
korupsi kembali ditegakan. Lembaga ini kemudian dikenal dengan istilah “Operasi Budi”.
Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya
yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budi ternyata juga mengalami
hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi
yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan. Dalam kurun
waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan
sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu.
Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budi dihentikan.
5
C. Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen
penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era
reformasi, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Reformasi
yang bertujuan meluruskan dan melaksanakan Pancasila serta UUD 1945 secara murni dan
konsekuen nyatanya tidak pernah terjadi, karena seiring dengan berjalannya waktu
Reformasi menjadi seperti Orde Lama dan Orde Baru.
- Tidak Bermoral
Orang yang tidak bermoral mudah tergoda untuk melakukan tindak korupsi.
Godaan bisa datang dari berbagai pengaruh di sekelilingnya, seperti atasan, rekan kerja,
bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan. Permasalahan ini menentukan
permasalahan yang lain, karena diri individu yang memiliki benteng moral yang kuat,
individu tersebut akan berpikir lebih jauh lagi terutama tentang bagaiamana hubungan
dia dengan tuhan dan hak orang lain yang akan dipertanggung jawabkan.
6
2.Faktor Eksternal
- Aspek sosial
Perilaku korupsi dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris
mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan
bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi
traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan
memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
- Sikap Masyarakat
Sikap masyarakat yang berpotensi memberi peluang perilaku korupsi yaitu:
1. Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk terjadinya korupsi.
Misalnya masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya.
2. Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian akibat tindak
korupsi adalah Negara. Padahal pada akhirnya kerugian terbesar dialami oleh
masyarakat sendiri. Contohnya akibat korupsi anggaran pembangunan menjadi
berkurang, pembangunan fasilitas umum menjadi terbatas. Masyarakat kurang
menyadari bila dirinya terlibat dalam perilaku korupsi. Setiap tindakan korupsi pasti
melibatkan masyarakat, namun masyarakat justru terbiasa terlibat dalam tindak
korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
3. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan diberantas bila
masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi.
- Aspek Politik
Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak
korupsi, yaitu seseorang atau golongan yang memberi sesuatu atau menyuap para
pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti
penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Terkait hal itu Terrence
Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang sebagai use of money and
material benefits in the pursuit of political influence (menggunakan uang dan keuntungan
material untuk memperoleh pengaruh politik).
- Aspek Ekonomi
7
Aspek Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi.
Pendapatan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak masalah
ekonomi membuka ruang bagi seseorang untuk melakukan jalan pintas, dan salah satunya
adalah korupsi.
8
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan
dilakukan pemecatan tidak terhormat dan tidak boleh bekerja pada institusi itu lagi dan
diberi sanksi pidana yang berat supaya pelaku jera dan tidak melakukannya lagi.
3. Upaya Edukasi kepada Masyarakat/Mahasiswa:
a) Menananmkan sifat tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol
sosial terkait dengan kepentingan publik.
b) Menghimbau agar tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c) Memberikan kesempatan masyarakat untuk mengkritisi setiap kebijakan mulai dari
pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
d) Memberikan wawasan seluas-luasnya tentang penyelenggaraan pemerintahan negara
dan aspek-aspek hukumnya.
e) Membantu masyarakat untuk memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan
berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
9
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Korupsi merupakan suatu tindak pidana dalam bentuk penggelapan dan penyuapan hak
milik rakyat/orang lain yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dengan
mengambil hak-hak tersebut.
2. Faktor utama penyebab korupsi meliputi dua hal, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal meliputi aspek perilaku individu dan aspek sosial individu
tersebut. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengaruh sikap masyarakat terhadap
korupsi, aspek ekonomi dan aspek politik. Namun kami menekankan bahwa hal yang
menjadi faktor utama adalah rusaknya moral individu tersebut, karena korupsi tidak
akan terjadi jika tidak ada niat untuk melakukannya.
3. Kendala yang dihadapi dalam fenomena korupsi justru berasal dari faktor-faktor
korupsi itu sendiri. Hal lain adalah sanksi pidana yang terbilang ringan, struktur
birokrasi yang beroreintasi keatas, tumpulnya hukum di Indonesia serta hilangnya
penanaman nilai moral yang baik.
4. Dalam permasalahan yang ada, maka upaya efektif yang harus dilakukan adalah dengan
membangun moral yang sebenarnya, menanamkan kesadaran akan besarnya dampak
korupsi bagi orang lain, serta memperkokoh hukum dan birokrasi yang ada.
4.2 Saran
Untuk mencegah dan memberantas tindakan korupsi, maka kiranya kita harus membuat
satu terobosan baru yang dapat memperbaiki moral bangsa, mendidik masyarakat untuk
bersikap jujur baik dalam pergaulan maupun pekerjaan. Karena memang kejujuran ini
adalah satu hal yang tidak dapat diperoleh oleh seseorang melalui pendidikannya. Akan
tetapi, kejujuran ini harus ditanamkan dalam diri masing-masing. Dan untuk orang-orang
yang akan menduduki suatu jabatan harus terlebih dahulu dilakukan survei terhadap
kekayaan yang dimiliki dan yang sedang menduduki suatu kekuasaan agar dilakukan
pengawasan ekstra ketat baik dari pihak penegak hukum maupun seluruh lapisan
masyarakat sehingga tidak memberikan peluang terhadap orang-orang yang ingin
melakukan korupsi.
10
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Kurniadi, Y. Et al. 2011. Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Komisi Pemberantasan Korupsi
Rangkuti, Parlaungan Adil. 2007. Membangun Kesadaran Bela Negara. Bogor: IPB Press
www.annisafujiyana.blogspot.co.id
www.dimaswarning.wordpress.com.
www.makalainet.blogspot.com
www.hukumprodeo.com
www.berkas.beritagar.id
11