Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Korupsi menjadi sebuah permasalahan besar di berbagai belahan negara di dunia,
terlebih lagi di Indonesia. Permasalahan korupsi di negeri ini sudah mencapai titik yang
sangat kompleks. Ratusan kasus korupsi seakan-akan menunjukan bahwa budaya korupsi
di Indonesia sudah mendarah daging di dalam diri para pelakunya. Korupsi merupakan
sebuah kejahatan yang dilakukan secara terkoordinir dengan sangat rapi dan baik, hal ini
menjadikan korupsi sebagai kejahatan yang sulit ditumpas dengan mudah.
Dapat kita temukan fakta bahwa mayoritas pelaku tindak korupsi adalah para pejabat
tinggi, kaum-kaum terdidik, dan orang-orang yang dipercayai oleh jutaan rakyat Indonesia
untuk membangun Indonesia. Namun kenyataannya sangat menyedihkan, orang-orang
tersebutlah yang justru merusak dan merugikan negara ini. Sebuah data menyebutkan
tentang jumlah kasus korupsi dari berbagai lembaga dan profesi di Indonesia bahwa profesi
swasta ada 164 kasus korupsi, pejabat sebanyak 148 kasus dan anggota DPR/DPRD
sebanyak 129 kasus. Kemudian disusul wali kota, bupati, dan wakil bupati diposisi
berikutnya dengan jumlah 60 kasus, kepala dinas sebanyak 25 kasus, gubernur sebanyak
17 kasus, hakim sebanyak 15 kasus, komisioner 7 kasus, duta besar 4 kasus dan lembaga
lainnya sebanyak 81 kasus. Angka-angka ini menunjukan bahwa apapun profesinya,
apapun lembaganya tetap saja melakukan tindak korupsi.

Jika kita tinjau dari instrumen-instrumen hukum di negeri ini, rasanya Indonesia sudah
memiliki instrumen hukum yang sangat lengkap, apalagi mengenai masalah korupsi. Lebih
kurang ada sekitar 40 peraturan perundang-undangan terkait tindak pidana korupsi. Mulai
dari TAP MPR No.XI tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas KKN, UU No.20
tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sampai dengan surat edaran Jaksa
Agung tentang percepatan penanganan kasus korupsi tahun 2004. Ditambah dengan
diratifikasinya United Nation Convention Against Corruption, 2003. Belum lagi ditunjang
oleh adanya lembaga Negara anti korupsi seperti KPK serta lembaga lainnya seperti BPK,
polisi, dan kejaksaan yang berperan penting dalam upaya pemberantasan korupsi.
Peraturan dan kelembagaan yang ada di Indonesia sudah sangat lengkap terkait upaya
pemberantasan korupsi. Namun, pemberantasan korupsi di Indonesia belum dapat
terlaksana dengan baik. Sekarang saatnya setiap individu mengintrospeksi diri, bagaimana

1
kita melaksanaan peraturan-peraturan yang telah ada, bagaimana kita memaksimalkan
peran dalam upaya pemberantasan korupsi dan bagaimana kaum terdidik bisa mendidik diri
mereka sendiri agar dapat terhindar dari budaya korupsi. Karena memang upaya
pemberantasan koupsi ini tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja. Korupsi tidak dapat
dimusnahkan hanya oleh satu institusi saja, melainkan semua lapisan masyarakat harus
bekerjasama dan berkomitmen dengan pemerintah untuk memeberantas korupsi.

1.2 Tujuan
 Memahami pengertian korupsi
 Memahami faktor penyebab korupsi
 Mendalami kendala dalam pemberantasan korupsi
 Menemukan upaya dalam pemberantasan korupsi

1.3 Ruang Lingkup


Dalam makalah ini kami mengangkat topik yaitu “Upaya Pemberantasan Korupsi”,
yang mana topik ini mengacu dan fokus pada pengertian, faktor-faktor korupsi, serta dalam
topik ini kita harus memahami bagaimana fenomena korupsi dan kendala-kendala yang
dihadapi dalam upaya pemberantasannya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Hal ini
ditujukan agar upaya pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan benar dan tepat
sasaran. Di sini kami menekankan upaya pemberantasan korupsi pada aspek moral, sosial,
dan hukum.
Pada aspek moral ruang lingkup masalah lebih cenderung pada alasan psikologi pelaku
kenapa ia melakukan korupsi. Ini lalu dilanjutkan dengan menelaah bagaimana karakter
yang ditanamkan selama ini dimasyarakat hingga korupsi itu membudaya dalam
pemerintahan, sampai kepada pemberian upaya berupa solusi untuk titik permasalahan
moral dan karakter yang baik minimal kepada pembaca makalah ini.
Pada aspek sosial ruang lingkup masalah yang kami angkat lebih cenderung pada
bagaiamana pola hubungan pelaku dengan masyarakat. Pola ini lalu menjelaskan
bagaimana kecenderungan tindakan sosial yang dilakukan sehingga bisa terjadi tindak
korupsi.
Pada aspek hukum, kami mengangkat permasalahan tentang bagaiamana hukum di
Indonesia memberantas korupsi. Dimana hukum yang dijatuhnkan nyatanya tidak membuat
jera para pelaku tindak korupsi.

2
BAB II
PERMASALAHAN

Berdasarkan fakta yang ada di negara ini, korupsi merupakan masalah besar yang biasa
dilakukan para pelaku politik dan para pemimpin yang tidak bermoral. Meskipun mereka
berasal dari kalangan terdidik namun karena moralnya jelek, justru dari kalangan mereka
lah yang biasa melakukan korupsi.
Walaupun di Indonesia sudah terdapat berbagai peraturan yang lengkap akan tindakan
korupsi, bahkan muncul opini bahwa pelaku korupsi akan dihukum mati. Namun faktanya
hal ini tidak memiliki efek sama sekali terhadap berkurangnya tindak pidana korupsi oleh
orang-orang besar di Indonesia, bahkan semakin hari semakin banyak bermunculan berita-
berita yang menguak kasus korupsi.
Di sisi lain, Indonesia memiliki kelembagaan yang independen terhadap permasalahan
ini, lembaga tersebut dengan sigap dan teliti dalam membantu pemerintah memberantas
budaya korupsi, namun hal ini hanya memberi dampak kecil terhadap penumpasan korupsi
di Indonesia, lembaga ini sepertinya tidak memberi efek takut kepada para koruptor. Hal-
hal yang berhubungan dengan pemaparan inilah yang menjadi tanda tanya besar bagi kita
semua mengenai permasalahan pokok terjadinya tindakan korupsi yang nantinya akan
dinilai baik dari segi moral, sosial, maupun kebijakan dari hukum yang ada.
Dari segi moral, bangsa Indonesia telah memiliki berbagai pedoman dan pengajaran
mengenai hal yang diperbolehkan atau tidak. Namun, hal ini ternyata tetap tidak
menumbuhkan kesadaran diri akan hak orang lain dan kewajiban yang harus dilakukan.
Dari segi sosial pelaku cenderung beroreintasi kearah gaya hidup yang sangat mewah,
bergaul dengan golongan kelas atas, dan yang paling mendasar adalah tidak adanya rasa
puas dalam diri pelaku tindak korupsi ini. Keinginan untuk terus menambah pundi-pundi
kekayaan mereka seakan-akan tidak pernah terpenuhi. Bahkan mereka sama-sama bergelut
dalam dunia ini memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Dari segi kebijakan hukum, dapat kita lihat dengan jelas betapa tumpulnya hukum di
Indonesia untuk kalangan atas namun tajam untuk kalangan bawah. Sehingga sistem yang
ada tidak efektif dalam menangani pemberantasan korupsi. Ini menunjukkan bahwa kita
harus menemukan inti dari masalah ini, lalu bersama-sama menyesuaikan diri dengan
melakukan upaya apa yang bisa dilakukan.

3
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Korupsi


Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau
“corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa
“corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari
bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris),
“corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda).
Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Menurut Mubyarto, korupsi adalah suatu masalah politik lebih dari pada ekonomi yang
menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik
dan para pegawai pada umumnya. Akibat yang ditimbulkan dari korupsi ini ialah
berkurangnya dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan
kabupaten. Pengertian korupsi yang diungkapkan Mubyarto yaitu menyoroti korupsi dari
segi politik dan ekonomi.
Dalam UU No.31 Tahun 1999, Pengertian korupsi yaitu setiap orang yang dengan
sengaja secara melawan hukum untuk melakukan perbuatan dengan tujuan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara. Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan
permasalahan moral, politik dan ekonomi yang terjadi karena adanya kerakusan dan
peluang yang tersedia dalam sistem birokrasi. Korupsi memiliki persepsi bahwa hak orang
lain yang ada ditangannya adalah haknya sendiri dan ia memiliki wewenang besar untuk
menggunakannya karena kekuasaan yang sudah dimilikinya.

3.2 Fenomena Korupsi di Indonesia


A. Era Orde Lama
Pada era orde lama tercatat sudah dua kali dibentuk badan penyelidik korupsi yaitu
Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budi. Paran, singkatan dari Panitia
Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya. Salah

4
satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi daftar
kekayaan pejabat negara.
Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut
mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan
kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden. Usaha Paran akhirnya mengalami jalan
buntu karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena
pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan
kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan
korupsi kembali ditegakan. Lembaga ini kemudian dikenal dengan istilah “Operasi Budi”.
Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya
yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budi ternyata juga mengalami
hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi
yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan. Dalam kurun
waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan
sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu.
Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budi dihentikan.

B. Era Orde Baru


Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967,
Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi
sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi
isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya.
Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi
(TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan
TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, dan Departemen Kehutanan
banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang
protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan
membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan
berwibawa. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang
dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah

5
C. Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen
penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era
reformasi, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Reformasi
yang bertujuan meluruskan dan melaksanakan Pancasila serta UUD 1945 secara murni dan
konsekuen nyatanya tidak pernah terjadi, karena seiring dengan berjalannya waktu
Reformasi menjadi seperti Orde Lama dan Orde Baru.

3.3 Faktor Penyebab Korupsi


1. Faktor Internal
- Sifat Tamak
Sifat tamak, rakus, mempunyai hasrat memperkaya diri sendiri merupakan
unsur penyebab tindak korupsi yang berasal dari dalam diri sendiri, mereka tidak
pernah merasa puas akan hasil yang mereka peroleh untuk kebutuhan hidupnya. Ini
merupakan tantangan psikologi pelaku yang harus diubah pola pikirnya dan kebiasaan
yang terbentuk. Orang yang memiliki sifat ini cenderung egois dan cenderung tidak
mau memikirkan keadaan orang lain.

- Tidak Bermoral
Orang yang tidak bermoral mudah tergoda untuk melakukan tindak korupsi.
Godaan bisa datang dari berbagai pengaruh di sekelilingnya, seperti atasan, rekan kerja,
bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan. Permasalahan ini menentukan
permasalahan yang lain, karena diri individu yang memiliki benteng moral yang kuat,
individu tersebut akan berpikir lebih jauh lagi terutama tentang bagaiamana hubungan
dia dengan tuhan dan hak orang lain yang akan dipertanggung jawabkan.

- Gaya Hidup Konsumtif


Gaya hidup di kota besar mendorong seseorang untuk berperilaku konsumtif.
Perilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang sesuai, menciptakan
peluang bagi seseorang untuk melakukan tindak korupsi.

6
2.Faktor Eksternal
- Aspek sosial
Perilaku korupsi dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris
mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan
bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi
traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan
memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.

- Sikap Masyarakat
Sikap masyarakat yang berpotensi memberi peluang perilaku korupsi yaitu:
1. Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk terjadinya korupsi.
Misalnya masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya.
2. Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian akibat tindak
korupsi adalah Negara. Padahal pada akhirnya kerugian terbesar dialami oleh
masyarakat sendiri. Contohnya akibat korupsi anggaran pembangunan menjadi
berkurang, pembangunan fasilitas umum menjadi terbatas. Masyarakat kurang
menyadari bila dirinya terlibat dalam perilaku korupsi. Setiap tindakan korupsi pasti
melibatkan masyarakat, namun masyarakat justru terbiasa terlibat dalam tindak
korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
3. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan diberantas bila
masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi.

- Aspek Politik
Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak
korupsi, yaitu seseorang atau golongan yang memberi sesuatu atau menyuap para
pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti
penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Terkait hal itu Terrence
Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang sebagai use of money and
material benefits in the pursuit of political influence (menggunakan uang dan keuntungan
material untuk memperoleh pengaruh politik).

- Aspek Ekonomi

7
Aspek Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi.
Pendapatan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak masalah
ekonomi membuka ruang bagi seseorang untuk melakukan jalan pintas, dan salah satunya
adalah korupsi.

3.4 Kendala yang Dihadapi dalam Pemberantasan Korupsi

 Sanksi hukum yang tidak membuat jera para pelaku


 Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas
 Kurang optimal nya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol
 Pelaku selalu mencari celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi

3.5 Upaya Pemberantasan Korupsi


Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi yaitu :
1.Upaya Pencegahan (Preventif)
a). Menanamkan semangat nasional yang positif melalui pendidikan moral/karakter
menanamkan sifat jujur, peduli dan berakhlak mulia dengan mengutamakan
pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan kegitan
keagamaan.
b). Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c). Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tanggung
jawab yang tinggi.
d). Para pegawai selalu diusahakan memiliki kesejahteraan yang memadai dan ada
jaminan masa tua.
e). Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
f). Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi
dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g). Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h). Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan melalui
penyederhanaan jumlah departemen beserta jabatan di bawahnya.

2. Upaya Penindakan (Kuratif)

8
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan
dilakukan pemecatan tidak terhormat dan tidak boleh bekerja pada institusi itu lagi dan
diberi sanksi pidana yang berat supaya pelaku jera dan tidak melakukannya lagi.
3. Upaya Edukasi kepada Masyarakat/Mahasiswa:
a) Menananmkan sifat tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol
sosial terkait dengan kepentingan publik.
b) Menghimbau agar tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c) Memberikan kesempatan masyarakat untuk mengkritisi setiap kebijakan mulai dari
pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
d) Memberikan wawasan seluas-luasnya tentang penyelenggaraan pemerintahan negara
dan aspek-aspek hukumnya.
e) Membantu masyarakat untuk memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan
berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.

4. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):


a) Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang mengawasi
dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari
sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha
pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW lahir di Jakarta pada
21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang meng-hendaki pemerintahan pasca
Soeharto yang bebas korupsi.
b) Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan
memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba sekarang
menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik.
Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI
Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2004 menyatakan
bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang
dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, Indonesia berada diposisi keenam negara
terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia,
Irak, Libya dan Usbekistan, serta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan,
Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti, dan Myanmar. Sedangkan Islandia
adalah negara terbebas dari korupsi.

9
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Korupsi merupakan suatu tindak pidana dalam bentuk penggelapan dan penyuapan hak
milik rakyat/orang lain yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dengan
mengambil hak-hak tersebut.
2. Faktor utama penyebab korupsi meliputi dua hal, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal meliputi aspek perilaku individu dan aspek sosial individu
tersebut. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengaruh sikap masyarakat terhadap
korupsi, aspek ekonomi dan aspek politik. Namun kami menekankan bahwa hal yang
menjadi faktor utama adalah rusaknya moral individu tersebut, karena korupsi tidak
akan terjadi jika tidak ada niat untuk melakukannya.
3. Kendala yang dihadapi dalam fenomena korupsi justru berasal dari faktor-faktor
korupsi itu sendiri. Hal lain adalah sanksi pidana yang terbilang ringan, struktur
birokrasi yang beroreintasi keatas, tumpulnya hukum di Indonesia serta hilangnya
penanaman nilai moral yang baik.
4. Dalam permasalahan yang ada, maka upaya efektif yang harus dilakukan adalah dengan
membangun moral yang sebenarnya, menanamkan kesadaran akan besarnya dampak
korupsi bagi orang lain, serta memperkokoh hukum dan birokrasi yang ada.

4.2 Saran
Untuk mencegah dan memberantas tindakan korupsi, maka kiranya kita harus membuat
satu terobosan baru yang dapat memperbaiki moral bangsa, mendidik masyarakat untuk
bersikap jujur baik dalam pergaulan maupun pekerjaan. Karena memang kejujuran ini
adalah satu hal yang tidak dapat diperoleh oleh seseorang melalui pendidikannya. Akan
tetapi, kejujuran ini harus ditanamkan dalam diri masing-masing. Dan untuk orang-orang
yang akan menduduki suatu jabatan harus terlebih dahulu dilakukan survei terhadap
kekayaan yang dimiliki dan yang sedang menduduki suatu kekuasaan agar dilakukan
pengawasan ekstra ketat baik dari pihak penegak hukum maupun seluruh lapisan
masyarakat sehingga tidak memberikan peluang terhadap orang-orang yang ingin
melakukan korupsi.

10
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Agustino, L. 2017. Korupsi:Akar, Aktor, Dan Locus. Jakarta: PUSTAKA PELAJAR

Kurniadi, Y. Et al. 2011. Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Komisi Pemberantasan Korupsi

Mubyarto. 1995. Ekonomi dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Aditya Media

Rangkuti, Parlaungan Adil. 2007. Membangun Kesadaran Bela Negara. Bogor: IPB Press

www.annisafujiyana.blogspot.co.id

www.dimaswarning.wordpress.com.

www.makalainet.blogspot.com

www.hukumprodeo.com

www.berkas.beritagar.id

11

Anda mungkin juga menyukai