Anda di halaman 1dari 38

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan definisi terbaru dari Society of Critical Care Medicine, sepsis


adalah disfungsi organ yang mengancam nyawa yang disebabkan oleh disregulasi
respon penderita kepada infeksi. Sedangkan Shock sepsis adalah bagian dari
sepsis dimana terjadi gangguan sirkulasi, seluler, dan metabolik yang berasosiasi
dengan mortalitas lebih tinggi daripada sepsis sendiri karena dapat terjadinya
gagal organ multipel

Kebanyakan sepsis disebabkan oleh hospital-acquired basil gram negatif


dan coccus gram positif dan juga sering terjadi pada pasien dengan keadaan
immunocompromised atau dengan penyakit yang kronis dan melemahkan tubuh.

Sepsis umumnya diawali oleh beberapa keadaan predisposisi seperti :


penggunaan kortikosteroid jangka panjang, penggunaan obat sitotoksik, pasien
immunosupresi, dll.

Anastesi spinal adalah anastesi dengan cara menginjeksi obat anastesi


lokal ke dalam ruang intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat
local anastesi ke dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di region lumbal
antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset anastesi yang cepat
dengan derajat keberhasilan yang tinggi.

Anestesi jenis ini merupakan jenis anestesi yang menginjeksikan obat-obat


anestesia ke cairan serebro spinal, sehingga menyebabkan mati rasa/ kelumpuhan
di daerah perut dan bagian bawah tubuh. Anestesi jenis ini efektif untuk operasi di
bagian perut, pelvic, dan ekstremitas bawah.

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sepsis

Berdasarkan definisi terbaru dari Society of Critical Care Medicine, sepsis


adalah disfungsi organ yang mengancam nyawa yang disebabkan oleh disregulasi
respon penderita kepada infeksi. Sedangkan Shock sepsis adalah bagian dari
sepsis dimana terjadi gangguan sirkulasi, seluler, dan metabolik yang berasosiasi
dengan mortalitas lebih tinggi daripada sepsis sendiri karena dapat terjadinya
gagal organ multipel.1,2

2.2 Etiologi Sepsis

Kebanyakan sepsis disebabkan oleh hospital-acquired basil gram negatif


dan coccus gram positif dan juga sering terjadi pada pasien dengan keadaan
immunocompromised atau dengan penyakit yang kronis dan melemahkan tubuh.
Jarang disebabkan oleh Candida atau fungi lain. Infeksi post-operasi harus di
pertimbangkan pada pasien sepsis yang baru menjalani operasi.2

2.3 Faktor Predisoposisi Sepsis

a. Diabetes Mellitus
b. Sirosis Hati
c. Leukopenia (terutama yang berasosiasi dengan kanker dan pengobatan
dengan obat sitotoksik)
d. Pemasukan Alat invasif (Endotracheal tube, Kateter vaskular atau urin,
drainase, dll)
e. Penggunaan kortikosteroid.2

2
2.4 Kriteria SIRS, Sepsis dan Syok Sepsis

2.4.1 Kriteria Sepsis

Sepsis ditandai dengan adanya disfungsi dari organ yang dinilai dengan
menggunakan skor SOFA(Sequential Organ Failure Assessment), adanya 2 atau
lebih poin yang positif, menandakan ada terjadinya disfngsi organ. Skor SOFA :

a. Hipotensi : Tekanan darah sistol lebih rendah dari 100mmHg

b. Alterasi status mental : GCS lebih rendah dari 15

c. Takipnea : RR lebih dari 22

2.4.2 Kriteria Syok Sepsis

Syok Sepsis ditandai dengan gejala sepsis + abnormalitas sirkulasi dan


seluler/metabolik (Meskiun resusitasi yang diberikan telah adekuat, tetap teradi
hipotensi persisten dan kpadar laktat yang tinggi

a. Hipotensi Persisten memerlukan vasopressor untuk menjaga MAP >65 mmHg

b. Kadar laktat >2 mmol/L

Gambar 1. Kriteria SIRS

3
Gambar 2. Perbedaan Klasifikasi Sepsis lama(2012) dan baru(2016)

2.5 Patofisiologi Sepsis

Pada pasien sepsis akan terjadi berbagai perubahan fungsi tubuh yang
disebabkan oleh bakteri patogen dan juga toxin-toxin yang dilepasnya, contoh
disreglasi yang dapat disebabkan patogen-patogen tersebut : Aktivasi platelet,
aktivasi koagulasi, dan pelepasan mediator-mediator inflamasi dalam jumlah
banyak yang dapat merusak endotel-endotel pembuluh darah dan menyebabkan
vasodilatasi.

Pasien dengan sepsis diketahui juga akan mengalami resistensi insulin dan
hiperglikemia, kondisi yang disebut dengan diabetes oleh karena stress. Kadar
gula darah yang tinggi ini akan menyebabkan pengurangan fungsi dari
polimorfonukleat neutrofils, termasuk pengurangan efek bakterisidal.4

4
Gambar 3. Kaskade Sepsis

Gambar 4. Patofisiologi Sepsis

5
2.6 Tanda dan Gejala Klinis Sepsis

2.6.1 Secara Umum

a. Takikardi

b. Demam

c. Ansietas

d. Takipnea

e. Fatigue, malaise

f. Hipotensi

g. Disfungsi dari 1 atau lebih organ

h. dll.5

2.6.2 Berdasarkan Source of Infection

a. Infeksi pada kepala dan leher

Nyeri kepala hebat, kekakuan leher, alterasi status mental, nyeri pada
telinga, nyeri tenggorokan, nyeri / nyeri tekan sinus, limfadenopati servikal /
submandibular.

b. Infeksi dada dan pulmonal

Batuk (terutama produktif), nyeri dada pleuritik, dispnea, redup pada


perkusi, suara nafas bronkial, rales, bukti dari adanya konsolidasi pada paru.

c. Infeksi jantung

Terdapatnya murmur

d. Infeksi abdomen dan sistem gastrointestinal

Diare, nyeri abdomen, distensi abdomen, rebound tenderness, nyer tekan


rektum dan oedema.

e. Infeksi pelvis dan genitourinari

6
Nyeri pinggang atau pelvis, nyeri tekan adnexa atau teraba massa,
keputihan, disuria, frekuensi BAK bertambah, susah menahan kencing.

f. Infeksi tulang dan jaringan lunak

Nyeri tekan / nyeri yang terlokalisir, eritema fokal, oedema.

g. Infeksi Kulit

Petekie, purpura, eritema, ulserasi, bulla.6

2.7 Diagnosis Sepsis

Diagnosis sepsis bisa didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik


dan pemeriksaan penunjang.

Pada anamnesis bisa didapatkan riwayat penyakit kronis yang dapat


menurunkan imun tubuh pasien dan bisa juga ditanyakan apakah ada
menjalani operasi beberapa hari yang lalu, karena awal sepsis kebanyakan
adalah kontaminasi bakteri pada lesi luka dari ruang operasi.2

Pada pemeriksaan fisik untuk syok sepsis paling utamanya adalah


didapatkan hipotensi yang menetap walaupun dengan pemberian cairan yang
telah adekuat, disertai juga dengan penurunan kesadaran dan gejala-gejala
disfungsi organ lain seperti : jaundice, hematuria, dll. Pada pemeriksaan fisik
juga difokuskan dalam pencarian source of infection yang telah dibahas
dalam poin 2.6.2 diatas.

Pada pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan darah


lengkap, studi koagulasi (prothrombin time (PT), activated partial
thromboplastin time (aPTT), kadar fibrinogen), kimia darah (sodium, chlor,
magnesium, kalsium, fosfat, glukosa, laktat), fungsi renal dan hepar
(kreatinin, ureum, bilirubin, alkaline fosfatase, albumin, dll), kultur darah,
gram staining atau kultur sekret dan jaringan. Bisa juga dengan pemeriksaan
radiologi seperti x-ray dada dan USG abdomen yang berfungsi terutama
untuk mencari sumber infeksi.6

7
2.8 Penatalaksanaan Sepsis

2.8.1 Resusitasi Inisial

Gambar 5. Resusitasi Inisial pada Sepsis.8

8
2.8.2 Diagnosis
Dicari penyebab dari sepsis pada pasien, yang dapat dilakukan
dengan cara pemeriksaan lab berupa kultur darah dan pencarian source
infection. 7

2.8.3 Terapi dengan Anti-Mikroba

a. Pemberian antibiotik IV secepatnya dalam 1 jam pertama

b. Terapi empiris dengan antibiotik spektrum luas

c. Gunakan antibiotik yang cocok setelah hasil uji patogen dan tes
sensitivitas bakteri keluar.

d. Pemberian antibiotik berdasarkan jenis dari patogen

e. Pada pemberian antibiotik empiris, gunakanlah minimal 2 antibiotik


dari golongan antimikroba yang berbeda

f. Pemberian antibiotik disarankan 7-10 hari untuk mendapatkan hasil


yang adekuat, dan untuk pasien yang belum dibersihkan source of
infection dan immunocompromised dapat diberikan dengan jangka
waktu yang lebih lama, untuk pasien yang menunjukkan perbaikan
cepat, maka dapat dipendekkan durasi pemberian antibiotik.

g. Hindari penggunaan antimikroba dengan jangka waktu lama, dapat


menyebabkan infeksi Clostridium difficile dan menambah resistensi
bakteri.

Contoh medikasi dan dosis : Florokuinolon (pneumonia


nosokomial) : ciprofloxacin 600 mg / 12 jam atau levofloxacin 750
mg / 24 jam, Aminoglikosida (bakteremia gram negatif, pneumonia
nosokomial) dengan dosis 5-7 mg/kgBB 1x / hari.

Pada sepsis dan syok sepsis dapat digunakan vancomycin


dengan loading dose 25-30 mg/kgBB. Penggunaan hanya 1g akan
gagal untuk mencapai level terapeutik awal pada beberapa pasien. 7

9
2.8.4 Source Control
Telusuri sumber infeksi yang menyebabkan syok sepsis pada
daerah-daerah tubuh pasien dan ditangani dengan segera setelah
teridentifikasi. Lakukan pelepasan akses alat intravaskular bila
merupakan suspek source infection, tetapi setelah memasangkan jalur
lain. 7

2.8.5 Terapi Cairan


Disarankan penggunaan kristaloid dalam resusitasi cairan untuk
pasien yang sepsis, bisa juga disertai dengan pemberian HESs
(Hydroxylethyl starches) dan albumin. Kadar klor harus diperhatikan
dalam pemberian cairan, hindari hiperkloremia. Ada dilakukan
penelitian dalam pilihan pemberian cairan, albumin dan cairan lainnya
pada pasien syok sepsis, didapatkan :
- 279 kematian terjadi pada 961 pasien yang ditatalaksana dengan
albumin (29%).
- 343 kematian terjadi pada 1016 pasien yang ditatalaksana dengan
cairan lainnya (34%).7

2.8.6 Medikasi Vasoaktif


Untuk pemberian vasoaktif, pilihan utamanya adalah norepinefrin,
yang berfungsi untuk menaikkan MAP, gunakan dobutamine pada
pasien yang menunjukkan gejala hipoperfusi persisten meskipun
dengan pemberian cairan yang sudah adekuat dan sudah digunakan
medikasi vasopresor lainnya. Dobutamine sebagai agent vasopresor
jarang digunakan karena dapat menyebabkan takikardi dan aritmia dan
juga efek imunosupresan melalui respon endokrin pada aksis
hipotalamus dan pituitari. Norepinephrine dengan dosis 0,01 – 3
mcg/kg/menit Infus IV. 7

10
2.8.7 Kortikosteroid
Penggunaan IV hydrocortisone untuk tatalaksana pasien sepsis
tidak diperlukan bila terapi cairan yang adekuat dengan bantuan
vaspresor dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik. Bila tidak bisa
dicapai stabilitas, maka digunakan hydrocortisone IV dosis 200 mg /
hari. 7

2.8.8 Transfusi Darah


a. Direkomendasikan pemberian transfusi RBC hanya bila konsentrasi
Hb berkurang menjadi <7,0 g/dL. Pada orang dewasa dengan tidak
adanya penyakit penyerta seperti myokard iskemik, hipoksemia berat,
perdarahan akut.
b. Penggungaan erithropoeitin untuk tatalaksana anemia tidak
dianjurkan pada sepsis, karena setelah dilakukan penelitan,
menunjukkan hasil minim pada pasien sepsis dan meningkatkan resiko
terjadinya trombus pada pembuluh darah.
c. Tidak dianjurkan pemberian FFP(Fresh Frozen Plasma) untuk
mengkoreksi abnormalitas pembekuan darah pada keadaan tidak ada
perdarahan atau prosedur invasif yang akan dilakukan.
d. Pemberian transfusi platelet profilaktik siguestikan saat nilai
trombosit <10.000/mm3 (10 x 109/L). <20.000/mm3 (20 x 109/L) bila
pasien mempunyai resiko untuk terjadi perdarahan. <50.000/mm3 (50 x
109/L) untuk pasien yang sedang mengalami perdarahan aktif, operasi,
atau prosedur invasif. 7

2.8.9 Immunoglobulin
Tidak direkomendasikan untuk pemberian immunoglobulin IV
pada pasien dengan sepsis dan syok sepsis. Telah dilakukan penelitan
perbandingan dengan penggunaan immunoglobulin dan tidak dan
didapatkan hanya memiliki perbedaan sedikit sampai tidak ada. 7

11
2.8.10 Purifikasi Darah
Tidak dianjurkan untuk melakukan tindakan purifikasi darah
seperti hemofiltrasi dan hemoadsorpsi yang dimana sorben digunakan
untuk menyaring endotoksin dan sitokin dari darah. Telah dilakukan
beberapa penelitian dan tidak didapatkan hasil yang memuaskan dari
penggunaan purifikasi darah. 7

2.8.11 Antikoagulan
Tidak dianjurkan pemberian antikoagulan untuk tatalaksana sepsis
dan syok sepsis dikarenakan telah dilakukan beberapa penelitian dan
tidak ditemukan adanya penurunan mortalitas dan juga ada resiko
terjadinya perdarahan terutama pada penggunaan antithrombin, dan
lebih minim pada penggunaan heparin. 7

2.8.12 Ventilasi Mekanik


a. Direkomendasikan untuk menggunakan tidal volume 6mL/kgBB
pada pasien sepsis dengan ARDS(Acute Respiratory Distress
Syndrome)
b. Direkomendasikan untuk menggunakan posisi pronasi daripada
supinasi karena dapat meningkatkan oksigenasi ke jaringan, tetapi
meningkatkan kemungkinan terjadinya dekubitus.
c. Disugestikan penggunaan medikasi muscle relaksan <48 jam pada
pasien sepsis dengan ARDS dan rasio PaO2/FiO2 <150 mmhg
d.Tidak direkomendasikan penggunaan β-2 Agonis pada tatalaksana
pasien ARDS tanpa bronkospasme yang diinduksi sepsis karena
didapatkan penurunan mortalitas sedikit dan dapat terjadi efek samping
berupa takikardi and aritmia.
e. Bed pasien yang menggunakan ventilasi mekanik untuk dinaikkan
30o-45o untuk mengurangi resiko aspirasi.

12
f. Direkomendasikan untuk dilakukan tes bernafas spontan pada pasien
sepsis yang sudah siap. 7

2.8.13 Sedasi dan Analgesik

Direkomendasikan untuk meminimalisir penggunaan sedasi pada pasien


yang menggunakan ventilasi mekanik, berfungsi untuk memendekkan durasi
ventilasi mekanik. 7

2.8.14 Kontrol Glukosa


a. Direkomendasikan untuk dilakukan pengontrolan hiperglikemi bila
kadar gula darah > 180 mg/dL. Ditargetkan kadar gula darah <180
mg/dL
b. Kadar gula darah dipantau setiap 1-2 jam sampai dosis insulin sudah
stabil dan dipantau setiap 4 jam pada pemberian insulin infusi.
c. Direkomendasikan untuk pengecekan kadar gula darah diambil dari
darah arteri daripada dari kapiler. 7

2.8.15 Terapi Renal Replacement


a. Direkomendasikan untuk dilakukan RRT(Renal Replacement
Therapy) pada pasien sepsis dengan gagal ginjal akut
b. Direkomendasikan penggunaan CRRT(Continuous Renal
Replacement Therapy) untuk fasilitasi manajemen ketidakstabilan
cairan pada pasien sepsis
c. Tidak direkomendasikan untuk dilakukan RRT pada pasien sepsis
dengan gagal ginjal akut dengan peninggian kreatinin dan oliguria tanpa
indikasi untuk dialisis lainnya. 7

2.8.16 Terapi Bikarbonat


Tidak direkomendasikan penggunaan sodium bikarbonat untuk
memperbaiki hemodinamik atau mengurangi keperluan vasopresor pada
pasien hipoperfusi yang diinduksi asidemia laktat dengan pH > 7.15. 7

13
2.8.17 Profilaksis Tromboembolisme Vena
a. Direkomendasikan untuk penggunaan profilaksis UFH(unfractioned
heparin) atau LMWH(Low Molecular Weight Heparin) pada keadaan
thromboembolisme dengan tidak adanya kontraindikasi. 7
b. Lebih direkomendasikan penggunaan LMWH daripada UFH.
c. Direkomendasikan untuk kombinasi profilaksis thromboemboli
secara farmakologi dan mekanik, gunakan profilaksis mekanik bila
penggunaan farmakologi dikontraindikasikan. 7

2.8.18 Profilaksis Stress Ulcer


a. Profilaksis stress ulcer diberikan pada pasien sepsis atau syok sepsis
dengan resiko terjadinya perdarahan gastrointestinal
b. Direkomendasikan penggunaan PPI(Proton Pump Inhibitor) atau H-
2RA(Histamine-2 Receptor Antagonists) saat profilaksi stress ulcer
diindikasikan.
c. Tidak direkomendasikan penggunaan profilaksis pada pasien tanpa
resiko perdarahan gastrointestinal. 7

2.8.19 Nutrisi
a. Tidak direkomendasikan administrasi nutrisi parenteral sendiri atau
parenteral kombinasi dengan enteral, tetapi inisiasikanlah nutrisi enteral
pada pasien sepsis atau syok sepsis yang masi bisa diberikan makan
secara enteral. Karena pemberian secara parenteral meningkatkan
resiko terjadinya infeksi.
b. Direkomendasikan inisiasi pemberian glukosa IV dan pemberian
makan secara enteral pada batas yang bisa ditoleransi pada 7 hari
petama pasien yang sakit berat.
c. Tidak direkomendasikan pemberian omega-3 sebagai suplemen imun
pada pasien sepsis dan syok sepsis. Karena setelah dilakukan penelitian
didapatkan malah terjadi peningkatan mortalitas pada pasien dengan
ALI(Acute Lung Injury). 7

14
2.8.20 Menetapkan Tujuan dari Perawatan
a. Tujuan dari perawatan dan prognosis untuk didiskusikan kepada
pasien dan keluarga pasien.
b. Gunakanlah terapi paliatif bila sesuai
c. Tujuan perawatan ditetapkan maksimal 72 jam dari saat admisi
pasien.7

2.9 Komplikasi Sepsis

a. Disfungsi renal

b. Acute Respiratory Distress Syndrome

c. Disfungsi dan gagal miokard

d. Hepatik ensefalopati

e. Disseminated Intravascular Coagulation

f. Gagal sistem organ multipel

g. Kematian.9

2.10 Prognosis Sepsis dan Syok Sepsis

Mortalitas pada pasien sepsis berdasarkan beberapa studi adalah diantara


28-50%, dari laporan SSC didapatkan sebesar 31%. Pasien sepsis yang dirawat di
ruangan ICU didapatkan mortalitas 27-32%, dan 50-70% pada syok sepsis,
dibandingkan penyakit laen sebesar 14%. Kecepatan pemberian antibiotik untuk
etiologi sepsis menentukan mortalitas dari pasien. Semakin lama onset pemberian
maka semakin tinggi mortalitas yang akan terjadi.10,11

15
2.11 Anastesi Spinal

2.11.1 Defenisi Anastesi Spinal

Anastesi spinal adalah injeksi obat anastesi lokal ke dalam ruang


intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat local anastesi ke
dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di region lumbal antara
vertebra L2-3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset anastesi yang cepat
dengan derajat keberhasilan yang tinggi. Walaupun tehnik ini sederhana,
dengan adanya pengetahuan anatomi. Efek fisiologi dari anastesi dari
anastesi spinal dan factor-faktor yang mempengaruhi distribusi anastesi
local di ruang intratekal serta komplikasi anastesi spinal akan
mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anastesi spinal.

Anestesi jenis ini merupakan jenis anestesi yang menginjeksikan obat-


obat anestesia ke cairan serebro spinal, sehingga menyebabkan mati rasa/
kelumpuhan di daerah perut dan bagian bawah tubuh. Anestesi jenis ini
efektif untuk operasi di bagian perut, pelvic, dan ekstremitas bawah.
Bergantung pada obat-obatan anestesi yang digunakan, anestesia spinal
yang sering juga disebut dengan anestesia subarachnoid block bekerja
sekitar 1-6 jam. Anestesi spinal biasanya sangat aman tetapi bisa
berhubungan dengan penurunan tekanan darah. Komplikasi yang serius
seperti perdarahan, infeksi, dan kerusakan sistem saraf sangat jarang
ditemukan.
Anesthesia spinal membutuhkan jumlah obat yang lebih sedikit
dengan efek blok yang lebih nyata dalam jangka waktu singkat. Potensi
toksisitas lebih kecil pada anesthesia spinal dikarenakan jumlah obat yang
lebih sedikit.

2.11.2 Prosedur Anastesi Spinal

16
Sebelum melakukan penyuntikan jarum spinal, langkah awal yang
harus dilakukan adalah identifikasi space atau celah antar ruas tulang
vertebrae. Ada beberapa panduan (landmark) yang dapat digunakan, antara
lain dengan berpatokan bahwa garis khayalan setinggi Krista iliaka
dianggap setinggi L4 atau L4-L5. Garis khayalan setinggi margo inferior
scapula sesuai dengan ketinggian T7 dan processus spinosus yang paling
menonjol di dasar leher sesuai dengan vertebrae C7.
Ada beberapa bagian yang perlu dilalui oleh jarum spinal sebelum ke
rongga subarachnoid, yaitu

1. Kulit :
Kulit adalah lapisan pertama yang ditembus oleh jarum spinal
2. Jaringan subkutan
Jaringan ini sangat tebal sehingga terkadang susah untuk
mengindentifikasi jarak intervertebra khususnya pada orang gemuk.
3. Ligamentum supraspinosum
Ligamentum ini bergabung dengan prosesus spinosum
4. Ligamentum interspinosum
Ligamen ini tipis yang bergabung dengan ligamen antara prosesus
spinosum
5. Ligamentum Flavum
Ligamentum ini cukup tipis yang terdiri dari jaringan elastik.
Ligamen ini berjalan secara vertikal dari lamina ke lamina, ketika jarum
melewati ligamen ini akan terasa sensasi seperti menembus sesuatu
6. Ruang Epidural
Ruang ini terdiri dari lemak dan pembuluh darah. Bila keluar darah
dari jarum dan stilet telah dikeluarkan maka pembuluh darah epidural
telah pecah dan carilah tempat yang lain
7. Dura
Setelah melewati ruang epidural maka kita menembus daerah dura.
8. Daerah subarachnoid
Daerah ini terdiri dari saraf-saraf medulla spinalis yang di
berisikan CSF. Memasukkan lokal anestesia kedalam ruang subarachnoid

17
akan membuat lokal anestesia bergabung dengan CSF dan langsung akan
memblok saraf disekelilingnya

Gambar 3.1 Tulang belakang secara longitudinal dan transversal

2.11.3 Teknik Spinal Anastesi

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada


anesthesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal dibawah ini :

1. Informed consent (izin dari pasien)


Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
dan lain-lainnya.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan PTT (partial
thromboplastine time)
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan

18
di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 3o menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus
lateral. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar
prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

Gambar 3.2 Posisi duduk

Gambar 3.3 Posisi lateral dekubitus

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista


iliakadengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat

19
tusukan misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2atau
diatasnya beresiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan
lidokain1-2% 2-3 ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22
G, 23 G, atau 25 G, dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk
yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum
(introducer), yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc. tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang
jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam, irisan jarum harus
sejajar dengan serat durameter, yaitu pada posisi tidur miring bevel
mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-
pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk
meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin ujung jarum spinal
pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90◦,
biasanya likuor keluar.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-
ligamentum flavum dewasa ± 6 cm

2.11.4 Jenis dan sifat obat anastesi spinal

Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain5%


sudah ditinggalkan karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga
bupivakain menjadi pilihan utama untuk anestesi spinal saat ini. Anestesi
lokal dapat dibuat isobarik, hiperbarik atau hipobarik terhadap cairan
serebrospinal. Barisitas anestesi lokal mempengaruhi penyebaran obat
tergantung dari posisi pasien. Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi,
larutan hipobarik menyebar berlawanan arah dengan gravitasi dan isobarik
menyebar lokal pada tempat injeksi. Setelah disuntikkan ke dalam ruang

20
intratekal, penyebaran zat anestesi lokal akan dipengaruhi oleh berbagai
faktor terutama yang berhubungan dengan hukum fisika dinamika dari zat
yang disuntikkan, antara lain Barbotase (tindakan menyuntikkan sebagian
zat anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal, kemudian dilakukan
aspirasi bersama cairan serebrospinal dan penyuntikan kembali zat anestesi
lokal yang telah bercampur dengan cairan serebrospinal), volume, berat
jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah
penyuntikan.

Larutan bupivakain hidroklorida hiperbarik bupivakain adalah


larutan anestesi lokal bupivakain yang mempunyai berat jenis lebih besar
dari berat jenis cairan serebrospinal (1,003-1,008). Cara pembuatannya
adalah dengan menambahkan larutan glukosa kedalam larutan isobarik
bupivakain. Cara kerja larutan hiperbarik bupivakain adalah melalui
mekanisme hukum gravitasi, yaitu suatu zat/larutan yang mempunyai berat
jenis yang lebih besar dari larutan sekitarnya akan bergerak ke suatu tempat
yang lebih rendah. Dengan demikian larutan bupivakain hiperbarik yang
mempunyai barisitas lebih besar akan cepat ke daerah yang lebih rendah
dibandingkan dengan larutan bupivakain yang isobarik, sehingga
mempercepat penyebaran larutan bupivakain hiperbarik tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain


hiperbarik pada Anestesi spinal:

1. Gravitasi: Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ


1,003-1,008. Jika larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan
serebrospinal akan bergerak oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih
rendah, sedangkan larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah
dengan gravitasi seperti menggantung dan jika larutan isobarik akan
tetap dan sesuai dengan tempat injeksi.

2. Postur tubuh : Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula


spinalisnya dan volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin
banyak sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis yang
lebih banyak dari pada yang pendek.

21
3. Tekanan intra abdomen: Peningkatan tekanan intra abdomen
menyebabkan bendungan saluran pembuluh darah vena abdomen
dan juga pelebaran saluran-saluran vena di ruang epidural bawah,
sehingga ruang epidural akan menyempit dan akhirnya akan
menyebabkan penekanan ke ruang subarakhnoid sehingga cepat
terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke kranial. Perlu pengurangan
dosis pada keadaan seperti ini.

4. Anatomi kolumna vertebralis :Anatomi kolumna vertebralis akan


mempengaruhi lekukan-lekukan saluran serebrospinal, yang
akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada
penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik.

5. Tempat penyuntikan : Makin tinggi tempat penyuntikan, maka


analgesia yang dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah
L2-3 lebih memudahkan penyebaran obat ke kranial dari pada
penyuntikan pada L4-5.

6. Manuver valsava : Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan


lebih besar jika tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu
dengan cara mengedan.

7. Volume obat : Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu


percobaan yang dilakukan oleh Anellson (1984), dikatakan bahwa
penyebaran maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang
lebih 20 menit pada semua jenis volume obat (1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan
4 cc). Mula kerja untuk tercapainya blok motorik akan bertambah
pendek waktunya dengan bertambahnya volume. Makin besar
volume obat makin tinggi level blok sensoriknya.

8. Konsentrasi obat : Dengan volume obat yang sama ternyata


bupivakain 0,75% hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat
kearah sefalad lebih tinggi beberapa segmen dibandingkan dengan
bupivakain 0,5% hiperbarik. Lama kerja obat akan lebih panjang
secara bermakna pada penambahan volume obat bupivakain 0,75%.

22
Demikian pula perubahan kardiovaskuler akan berbeda bermakna
pada bupivakain 0,75% hiperbarik.

9. Posisi tubuh : Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith


dikatakan tidak ada pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan
isobarik pada tubuh, sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan
dipengaruhi posisi tubuh. Pada larutan hiperbarik posisi terlentang
bisa mencapai level blok T4 pada posisi duduk hanya mencapai T8.

10. Lateralisasi : Lateralisasi pada larutan dengan posisi berbaring


miring (lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith
disimpulkan bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat, penyebaran
obat pada sisi bawah mencapai T6,sedangkan pada sisi atas
mencapai T7.

Sebagian besar pasien merasakan awitan blok spinal dalam beberapa


menit setelah injeksi obat, apapun anestetika local yang digunakan.
Perbedaannya bermakna terjadi pada waktu ibat mencapai tinggi blok
puncak. Lidokain mencapai tinggi blok puncak dalam 10-15 menit,
sementara bupivacain membutuhkan lebih dari 20 menit.
Blockade spinal tidak berhenti serta merta setelah periode waktu
tertentu. Blockade ini akan hilang secara bertahap mulai dari dermatom
paling sefalad sampai paling kaudal. Anesthesia spinal untuk pembedahan
bertahan lebih lama di tingkat sacral dibandingkan di tingkat toraks. Durasi
anesthesia pada lokasi pembedahan sangat berbeda dengan durasi yang
dibutuhkan blok sampai hilang sepenuhnya. Durasi pertama penting untuk
mengukur anesthesia pembedahan sementara durasi kedua penting untuk
mengetahui waktu pemulihan. Pengetahuan mengenai kedua hal ini penting
untuk diketahui agar seorang dokter anestesiologi mampu menjelaskan baik
kepada ahli bedah maupun kepada pasien mengenai durasi kerja anesthesia
spinal.
Penentu durasi utama ialah anestetika local yang digunakan.
Anestetika local dengan durasi paling singkat ialah prokain, lidokain dan

23
mepivakain adalah agen intermedier, sementara bupivacain dan tetrakain
adalah agen durasi panjang.
Penentu selanjutnya adalah dosis obat dan tinggi blockade. Dosis
anestetika local bila ditingkatkan jumlahnya akan meningkatkan durasi blok
spinal. Apabila dosis obat dibuat konstan, blok yang lebih tinggi akan
beregresi lebih cepat dibandingkan blok yang lebih rendah. Larutan
anestetik local isobaric akan menghasilkan blok lebih panjang daripada
larutan hiperbarik dengan dosis yang sama. Penyebaran sefalad yang jauh
lebih akan menyebabkan konsentrasi obat yang lebih rendah dalam CSS dan
spinal nerve root. Hal ini menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk
konsentrasi anestetika local untuk turun dibawah konsentrasi efektif minimal
menjadi lebih singkat.

2.11.5 Kontraindikasi Anastesi Spinal


Kontraindikasi absolut anastesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi
di daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan tekanan
intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan
kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan
neuropati seperti penyakit demielinisasi sistem syaraf pusat, lesi pada katup
jantung serta kelainan bentuk anatomi spinal yang berat. Ada juga
menyebutkan kontraindikasi kontroversi yang meliputi operasi tulang
belakang pada tempat penusukan, ketidakmampuan komunikasi dengan
pasien serta komplikasi operasi yang meliputi operasi lama dan kehilangan
darah yang banyak.

2.11.6 Tahapan Tindakan Anestesi Spinal


a. Penilaian dan Persiapan Pra anestesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah
pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk

24
mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Penilaian pra bedah


1. Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anastesi spinal
2. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan
obat yang menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan
digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu
tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga
jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari
sebelumnya.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa

25
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
5. Kebugaraan untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito
penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

6. Klasifikasi status fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA) :
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, aktivitas rutin
terbatas
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi. Premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia,
diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesi diantaranya:
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anestesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia

26
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi refleks yang membahayakan

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat
darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat
dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi.
Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian
premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat
premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit
hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan
pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.1 Obat-obat yang sering
digunakan, untuk premedikasi :
1. Analgesik narkotik
- Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
- Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
- Fentanyl (fl 10cc = 500 µg), dosis 1-3µgr/kgBB
2. Analgesik non narkotik
- Ponstan
- Tramol
- Toradon
3. Hipnotik
- Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
- Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
- Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
- Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
- Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
- Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1

2.11.7 Ruang Pemulihan


Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room

27
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang
pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal
atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien
pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan
karena operasi atau pengaruh anestesinya.4
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan anestesi umum, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery
Room (RR).

Tabel 1. Aldrette Score (Dewasa)


- Merah muda 2
Nilai warna
- Pucat 1
kulit
- Sianosis 0
- Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Pernafasan - Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1
- Apnoe atau obstruksi 0
- Tekanan darah menyimpang < 20% dari 2
normal 1
- Tekanan darah menyimpang 20-50% dari 0
Sirkulasi
normal
- Tekanan darah menyimpang > 50% dari
normal
- Sadar, siaga dan orientasi 2
Kesadaran - Bangun namun cepat kembali tertidur 1
- Tidak berespons 0
- Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
Aktivitas - Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
- Tidak bergerak 0
Ket : Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

28
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama :JS
Jenis Kelamin : Laki-laki
No.RM : 053756
Usia : 80 Tahun
Berat Badan : 50 Kg
Diagnosa : DM Tipe II + Anemia + Hipoalbuminemia +
Abses Perineal + Ulkus Diabetikum
Tindakan : Debridement

3.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 11 Agustus 2017 pukul 13.00 Wib,
saat kunjungan pra anesthesia. Informasi diberikan oleh anak pasien :
Keluan utama : Nyeri di bagian paha kanan atas dan daerah
genital pasien.
Telaah : Pasien datang ke RS Royal Prima dibawa
keluarga dengan keluhan nyeri dibagian
paha kanan atas dan daerah genital.
RPT : Diabetes Melitus Tipe II
RPO : Metformin 500mg 2x1
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada

3.3. Pemeriksaan Fisik

29
B1 : Aiway Clear, Nafas spontan, RR = 22 x/menit, Suara
nafas tambahan (-), Tanda obstuksi jalan nafas (-),
Mallampati = 1, Bukaan mulut = 3 jari pasien, Jarak
Tiromental = 3 jari pasien
B2 : Akral hangat/ merah/ kering, HR = 82 x/menit,
regular, Tidak ditemukan Gallop dan Murmur
B3 : Kompos mentis, Defisit neurologis (-), Pupil = Iskor,
Refleks cahaya (+)
B4 : BAK (+), Kateter urin (-)
B5 : Palpasi = Soepel, Distensi abdomen (-), Peristaltik (+)
Normal
B6 : Fraktur (-), Penyakit tulang (-).

3.4. Hasil Lab


a. Pemeriksaan Darah Lengkap

30
b. X-ray Thorax

31
c. Hasil Gula Darah

32
Albumin = 1,1 g/dL

3.5. Status Lokalisata


Ulkus femur dekstra dan abses perineal.

3.6. Kesimpulan Status Fisik ASA


ASA 3 dengan Sepsis Berat dan Diabetes Melitus tipeII yang tidak
terkontrol.

3.7. Laporan Anestesi


Diagnosa : DM Tipe II + Anemia + Hipoalbuminemia + Abses
Perineal + Ulkus Diabetikum
Jenis tindakan : Debridement
Jenis anestesi : Spinal Anastesi
Masuk ruang OT : Pukul 12.00 WIB
Posisi : Terlentang
Premedikasi : Mulai jam 12.10 WIB selesai 12.15 WIB
- Ranitidin 1 ampul

33
Induksi : Mulai jam 12.30 WIB selesai 12.35 WIB
- Bupivakain 0,5 % 10 mg
Vital sign : Setelah induksi
TD = 98/57 mmHg
HR = 84 x/menit
RR = 22 x/menit
SpO2 = 100 %
Operasi : Mulai pukul 12.50 WIB, selesai 14.00 WIB
Cairan : Pre operatif = NaCl 250 ml
PRC = 525 cc
Recovery room : Masuk ruang pemulihan 14.05 WIB
(Aldrete Score) Warna Kulit : 2 (kemerahan/normal)
Aktifitas Motorik : 1 (gerak 2 anggota tubuh)
Pernafasan : 2 (nafas dalam)
TD : 2 (± 20 mmHg dari pre
operasi)
Kesadaran : 02 (sadar penuh,mudah
dipanggil)
TOTAL :9

Pasien kembali ke ruangan pada pukul 14.30 WIB, 12 Agustus 2017

Terapi pasca bedah : Instruksi yang diberikan pasca bedah


- Bila kesakitan diberikan Pronalges supp II
- Bila mual/muntah diberikan ondansetron 4mg/
8jam
- Infus NaCl 20 gtt / i
- Makan dan minum bisa langsung diberikan.

34
BAB 4
DISKUSI KASUS

Pasien berinisial J.S. umur 80 tahun datang ke IGD RS Royal Prima pada
tanggal 11 Agustus 2017 dengan keluhan nyeri pada paha kanan dan juga pada
bawah genital, pasien mempunyai riwayat DM yang dikontrol dengan
menggunakan obat metformin 2x1 500mg.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya ulkus pada daerah


perineum dan juga femur dextra, skala nyeri 4, dan dari pemeriksaan lab
didapatkan leukopenia dengan WBC = 4100/mm3, anemia dengan Hb = 6 mg/dl.
dan hematokrit rendah (17,7%). Didapatkan nilai ASA III karena adanya penyakit
sistemik sepsis berat dan DM yang tidak terkontrol.

Pasien direncanakan operasi debridement pada tanggal 12 Agustus 2017


jam 12.00, maka untuk persiapan operasi, dikoreksi hemodinamik pasien dengan
cara diberikan transfusi PRC 3 bag, dan koreksi albumin 4 Fls.

Pasien masuk ke ruang OT pada tanggal 12 Agustus 2017 jam 12.00,


diberikan premed ranitidin untuk mencegah terjadinya iritasi lambung oleh karena
produksi asam lambung berlebihan yang disebabkan oleh stress fisik. Setelah itu
dilakukan induksi dengan bupivakain 0,5% 10 mg sebab operasi yang dijalani
berada dibawah pinggang dan singkat. Maka penggunaan anastesi spinal lebih
efektif pada kasus ini.

35
Operasi siap pada pukul 14:00, pasien dipindahkan ke PACU dan
diobservasi, pasien dipindahkan ke ruangan pada pukul 14:30 dengan nilai
Aldrete Score = 9.

BAB 5
KESIMPULAN

Kriteria untuk menentukan sepsis dapat ditetapkan berdasarkan


SOFA(Sequential Organ Failure Assesment), tanda SOFA ≥ 2 dan adanya source
of infection menandakan sedang berlangsungnya sepsis. Dilakukan penelusuran
source of infection dan pemeriksaan lab untuk melihat fungsi-fungsi dari organ.
Untuk tatalaksana sepsis, digunakan guideline terbaru dari SSC(Sepsis
Survival Campaign) 2016. Yang terdiri dari : terapi inisial, diagnosa, pemberian
antimikroba, source control, vasopressor, kontrol glukosa darah, dll.
Anastesi Spinal sangat efektif untuk operasi di bagian perut, pelvis dan
ekstremitas bawah. Disertai dengan efek sistemiknya yang lebih kecil dari GA dan
juga kemungkinan komplikasi yang lebih kecil. Anastesi spinal memerlukan
jumlah obat yang lebih sedikit dengan efek blok yang lebih nyata dalam jangka
waktu singkat, sehingga potensi toksisitas lebih kecil pada anastesi spinal.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Society of Critical Care Medicine. 2016. The Third International Consensus


Definitions for Sepsis and Septic Shock. Diakses dari alamat web :
https://www.sccm.org/SiteCollectionDocuments/Quality-Sepsis-Definitions-
SCCM-ESICM-Joint-Session-Critical-Care-Congress.pdf pada tanggal 12
Agustus 2017.
2. Maggio M.P. 2016. Sepsis and Septic Shock. Diakses dari alamat web :
http://www.merckmanuals.com/professional/critical-care-medicine/sepsis-
and-septic-shock/sepsis-and-septic-shock pada tanggal 12 Agustus 2017.
3. LIFTL. 2017. Sepsis Definitions and Diagnosis. Diakses dari alamat web :
https://lifeinthefastlane.com/ccc/sepsis-definitions/ pada tanggal 13 Agustus
2017.
4. Remik G.D. 2007. Pathophysiology of Sepsis. Diakses dari alamat web :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1854939/ pada tanggal 13
Agustus 2017.
5. Davis P.C. 2017. Sepsis (Blood Poisoning). Diakses dari alamat web :
http://www.medicinenet.com/sepsis/article.htm pada tanggal 13 Agustus
2017.
6. Kalil A. 2016. Septic Shock. Diakses dari alamat web :
http://emedicine.medscape.com/article/168402-overview pada tanggal 13
Agustus 2017.

37
7. Society of Critical Care Medicine. 2016. Surviving Sepsis Campaign:
International Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock 2016.
Diakses dari alamat web :
http://www.survivingsepsis.org/Guidelines/Pages/default.aspx pada tanggal
13 Agustus 2017.
8. SJM Health System. 2013. Suriving Sepsis Campagin Bundle. Diakses dari
alamat web :
http://www.survivingsepsis.org/SiteCollectionDocuments/Protocols-Pocket-
Card-StJoseph.pdf pada tanggal 13 Agustus 2017.
9. British Medical Journal. 2017. Sepsis in Adults Complications. Diakses dari
alamat web : http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/245/follow-up/complications.html pada tanggal 14
Agustus 2017.
10. British Medical Jounral. 2017. Sepsis in Adults Prognosis. Diakses dari
alamat web : http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/245/follow-up/prognosis.html pada tanggal 14 Agustus
2017.
11. Sterling A.S, Miller R.W, Pryor J. 2015. The Impact of Timing of Antibiotics
on Outcomes in Severe Sepsis and Septic Shock: A Systematic Review and
Meta Analysis. Diakses dari alamat web :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4597314/ pada tanggal 14
Agustus 2017.
12. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2001. Petunjuk Praktis Anastesiologi
Ed 2. Jakarta. Bagian anastesiologi dan terapi intensif FKUI
13. Dobson MB. 2009. Penuntun Praktis Anastesi. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

38

Anda mungkin juga menyukai