PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
a. Diabetes Mellitus
b. Sirosis Hati
c. Leukopenia (terutama yang berasosiasi dengan kanker dan pengobatan
dengan obat sitotoksik)
d. Pemasukan Alat invasif (Endotracheal tube, Kateter vaskular atau urin,
drainase, dll)
e. Penggunaan kortikosteroid.2
2
2.4 Kriteria SIRS, Sepsis dan Syok Sepsis
Sepsis ditandai dengan adanya disfungsi dari organ yang dinilai dengan
menggunakan skor SOFA(Sequential Organ Failure Assessment), adanya 2 atau
lebih poin yang positif, menandakan ada terjadinya disfngsi organ. Skor SOFA :
3
Gambar 2. Perbedaan Klasifikasi Sepsis lama(2012) dan baru(2016)
Pada pasien sepsis akan terjadi berbagai perubahan fungsi tubuh yang
disebabkan oleh bakteri patogen dan juga toxin-toxin yang dilepasnya, contoh
disreglasi yang dapat disebabkan patogen-patogen tersebut : Aktivasi platelet,
aktivasi koagulasi, dan pelepasan mediator-mediator inflamasi dalam jumlah
banyak yang dapat merusak endotel-endotel pembuluh darah dan menyebabkan
vasodilatasi.
Pasien dengan sepsis diketahui juga akan mengalami resistensi insulin dan
hiperglikemia, kondisi yang disebut dengan diabetes oleh karena stress. Kadar
gula darah yang tinggi ini akan menyebabkan pengurangan fungsi dari
polimorfonukleat neutrofils, termasuk pengurangan efek bakterisidal.4
4
Gambar 3. Kaskade Sepsis
5
2.6 Tanda dan Gejala Klinis Sepsis
a. Takikardi
b. Demam
c. Ansietas
d. Takipnea
e. Fatigue, malaise
f. Hipotensi
h. dll.5
Nyeri kepala hebat, kekakuan leher, alterasi status mental, nyeri pada
telinga, nyeri tenggorokan, nyeri / nyeri tekan sinus, limfadenopati servikal /
submandibular.
c. Infeksi jantung
Terdapatnya murmur
6
Nyeri pinggang atau pelvis, nyeri tekan adnexa atau teraba massa,
keputihan, disuria, frekuensi BAK bertambah, susah menahan kencing.
g. Infeksi Kulit
7
2.8 Penatalaksanaan Sepsis
8
2.8.2 Diagnosis
Dicari penyebab dari sepsis pada pasien, yang dapat dilakukan
dengan cara pemeriksaan lab berupa kultur darah dan pencarian source
infection. 7
c. Gunakan antibiotik yang cocok setelah hasil uji patogen dan tes
sensitivitas bakteri keluar.
9
2.8.4 Source Control
Telusuri sumber infeksi yang menyebabkan syok sepsis pada
daerah-daerah tubuh pasien dan ditangani dengan segera setelah
teridentifikasi. Lakukan pelepasan akses alat intravaskular bila
merupakan suspek source infection, tetapi setelah memasangkan jalur
lain. 7
10
2.8.7 Kortikosteroid
Penggunaan IV hydrocortisone untuk tatalaksana pasien sepsis
tidak diperlukan bila terapi cairan yang adekuat dengan bantuan
vaspresor dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik. Bila tidak bisa
dicapai stabilitas, maka digunakan hydrocortisone IV dosis 200 mg /
hari. 7
2.8.9 Immunoglobulin
Tidak direkomendasikan untuk pemberian immunoglobulin IV
pada pasien dengan sepsis dan syok sepsis. Telah dilakukan penelitan
perbandingan dengan penggunaan immunoglobulin dan tidak dan
didapatkan hanya memiliki perbedaan sedikit sampai tidak ada. 7
11
2.8.10 Purifikasi Darah
Tidak dianjurkan untuk melakukan tindakan purifikasi darah
seperti hemofiltrasi dan hemoadsorpsi yang dimana sorben digunakan
untuk menyaring endotoksin dan sitokin dari darah. Telah dilakukan
beberapa penelitian dan tidak didapatkan hasil yang memuaskan dari
penggunaan purifikasi darah. 7
2.8.11 Antikoagulan
Tidak dianjurkan pemberian antikoagulan untuk tatalaksana sepsis
dan syok sepsis dikarenakan telah dilakukan beberapa penelitian dan
tidak ditemukan adanya penurunan mortalitas dan juga ada resiko
terjadinya perdarahan terutama pada penggunaan antithrombin, dan
lebih minim pada penggunaan heparin. 7
12
f. Direkomendasikan untuk dilakukan tes bernafas spontan pada pasien
sepsis yang sudah siap. 7
13
2.8.17 Profilaksis Tromboembolisme Vena
a. Direkomendasikan untuk penggunaan profilaksis UFH(unfractioned
heparin) atau LMWH(Low Molecular Weight Heparin) pada keadaan
thromboembolisme dengan tidak adanya kontraindikasi. 7
b. Lebih direkomendasikan penggunaan LMWH daripada UFH.
c. Direkomendasikan untuk kombinasi profilaksis thromboemboli
secara farmakologi dan mekanik, gunakan profilaksis mekanik bila
penggunaan farmakologi dikontraindikasikan. 7
2.8.19 Nutrisi
a. Tidak direkomendasikan administrasi nutrisi parenteral sendiri atau
parenteral kombinasi dengan enteral, tetapi inisiasikanlah nutrisi enteral
pada pasien sepsis atau syok sepsis yang masi bisa diberikan makan
secara enteral. Karena pemberian secara parenteral meningkatkan
resiko terjadinya infeksi.
b. Direkomendasikan inisiasi pemberian glukosa IV dan pemberian
makan secara enteral pada batas yang bisa ditoleransi pada 7 hari
petama pasien yang sakit berat.
c. Tidak direkomendasikan pemberian omega-3 sebagai suplemen imun
pada pasien sepsis dan syok sepsis. Karena setelah dilakukan penelitian
didapatkan malah terjadi peningkatan mortalitas pada pasien dengan
ALI(Acute Lung Injury). 7
14
2.8.20 Menetapkan Tujuan dari Perawatan
a. Tujuan dari perawatan dan prognosis untuk didiskusikan kepada
pasien dan keluarga pasien.
b. Gunakanlah terapi paliatif bila sesuai
c. Tujuan perawatan ditetapkan maksimal 72 jam dari saat admisi
pasien.7
a. Disfungsi renal
d. Hepatik ensefalopati
g. Kematian.9
15
2.11 Anastesi Spinal
16
Sebelum melakukan penyuntikan jarum spinal, langkah awal yang
harus dilakukan adalah identifikasi space atau celah antar ruas tulang
vertebrae. Ada beberapa panduan (landmark) yang dapat digunakan, antara
lain dengan berpatokan bahwa garis khayalan setinggi Krista iliaka
dianggap setinggi L4 atau L4-L5. Garis khayalan setinggi margo inferior
scapula sesuai dengan ketinggian T7 dan processus spinosus yang paling
menonjol di dasar leher sesuai dengan vertebrae C7.
Ada beberapa bagian yang perlu dilalui oleh jarum spinal sebelum ke
rongga subarachnoid, yaitu
1. Kulit :
Kulit adalah lapisan pertama yang ditembus oleh jarum spinal
2. Jaringan subkutan
Jaringan ini sangat tebal sehingga terkadang susah untuk
mengindentifikasi jarak intervertebra khususnya pada orang gemuk.
3. Ligamentum supraspinosum
Ligamentum ini bergabung dengan prosesus spinosum
4. Ligamentum interspinosum
Ligamen ini tipis yang bergabung dengan ligamen antara prosesus
spinosum
5. Ligamentum Flavum
Ligamentum ini cukup tipis yang terdiri dari jaringan elastik.
Ligamen ini berjalan secara vertikal dari lamina ke lamina, ketika jarum
melewati ligamen ini akan terasa sensasi seperti menembus sesuatu
6. Ruang Epidural
Ruang ini terdiri dari lemak dan pembuluh darah. Bila keluar darah
dari jarum dan stilet telah dikeluarkan maka pembuluh darah epidural
telah pecah dan carilah tempat yang lain
7. Dura
Setelah melewati ruang epidural maka kita menembus daerah dura.
8. Daerah subarachnoid
Daerah ini terdiri dari saraf-saraf medulla spinalis yang di
berisikan CSF. Memasukkan lokal anestesia kedalam ruang subarachnoid
17
akan membuat lokal anestesia bergabung dengan CSF dan langsung akan
memblok saraf disekelilingnya
18
di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 3o menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus
lateral. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar
prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
19
tusukan misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2atau
diatasnya beresiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan
lidokain1-2% 2-3 ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22
G, 23 G, atau 25 G, dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk
yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum
(introducer), yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc. tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang
jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam, irisan jarum harus
sejajar dengan serat durameter, yaitu pada posisi tidur miring bevel
mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-
pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk
meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin ujung jarum spinal
pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90◦,
biasanya likuor keluar.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-
ligamentum flavum dewasa ± 6 cm
20
intratekal, penyebaran zat anestesi lokal akan dipengaruhi oleh berbagai
faktor terutama yang berhubungan dengan hukum fisika dinamika dari zat
yang disuntikkan, antara lain Barbotase (tindakan menyuntikkan sebagian
zat anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal, kemudian dilakukan
aspirasi bersama cairan serebrospinal dan penyuntikan kembali zat anestesi
lokal yang telah bercampur dengan cairan serebrospinal), volume, berat
jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah
penyuntikan.
21
3. Tekanan intra abdomen: Peningkatan tekanan intra abdomen
menyebabkan bendungan saluran pembuluh darah vena abdomen
dan juga pelebaran saluran-saluran vena di ruang epidural bawah,
sehingga ruang epidural akan menyempit dan akhirnya akan
menyebabkan penekanan ke ruang subarakhnoid sehingga cepat
terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke kranial. Perlu pengurangan
dosis pada keadaan seperti ini.
22
Demikian pula perubahan kardiovaskuler akan berbeda bermakna
pada bupivakain 0,75% hiperbarik.
23
mepivakain adalah agen intermedier, sementara bupivacain dan tetrakain
adalah agen durasi panjang.
Penentu selanjutnya adalah dosis obat dan tinggi blockade. Dosis
anestetika local bila ditingkatkan jumlahnya akan meningkatkan durasi blok
spinal. Apabila dosis obat dibuat konstan, blok yang lebih tinggi akan
beregresi lebih cepat dibandingkan blok yang lebih rendah. Larutan
anestetik local isobaric akan menghasilkan blok lebih panjang daripada
larutan hiperbarik dengan dosis yang sama. Penyebaran sefalad yang jauh
lebih akan menyebabkan konsentrasi obat yang lebih rendah dalam CSS dan
spinal nerve root. Hal ini menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk
konsentrasi anestetika local untuk turun dibawah konsentrasi efektif minimal
menjadi lebih singkat.
24
mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
25
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
5. Kebugaraan untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito
penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi. Premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia,
diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesi diantaranya:
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anestesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
26
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi refleks yang membahayakan
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat
darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat
dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi.
Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian
premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat
premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit
hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan
pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.1 Obat-obat yang sering
digunakan, untuk premedikasi :
1. Analgesik narkotik
- Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
- Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
- Fentanyl (fl 10cc = 500 µg), dosis 1-3µgr/kgBB
2. Analgesik non narkotik
- Ponstan
- Tramol
- Toradon
3. Hipnotik
- Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
- Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
- Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
- Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
- Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
- Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1
27
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang
pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal
atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien
pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan
karena operasi atau pengaruh anestesinya.4
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan anestesi umum, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery
Room (RR).
28
BAB 3
LAPORAN KASUS
Nama :JS
Jenis Kelamin : Laki-laki
No.RM : 053756
Usia : 80 Tahun
Berat Badan : 50 Kg
Diagnosa : DM Tipe II + Anemia + Hipoalbuminemia +
Abses Perineal + Ulkus Diabetikum
Tindakan : Debridement
3.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 11 Agustus 2017 pukul 13.00 Wib,
saat kunjungan pra anesthesia. Informasi diberikan oleh anak pasien :
Keluan utama : Nyeri di bagian paha kanan atas dan daerah
genital pasien.
Telaah : Pasien datang ke RS Royal Prima dibawa
keluarga dengan keluhan nyeri dibagian
paha kanan atas dan daerah genital.
RPT : Diabetes Melitus Tipe II
RPO : Metformin 500mg 2x1
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
29
B1 : Aiway Clear, Nafas spontan, RR = 22 x/menit, Suara
nafas tambahan (-), Tanda obstuksi jalan nafas (-),
Mallampati = 1, Bukaan mulut = 3 jari pasien, Jarak
Tiromental = 3 jari pasien
B2 : Akral hangat/ merah/ kering, HR = 82 x/menit,
regular, Tidak ditemukan Gallop dan Murmur
B3 : Kompos mentis, Defisit neurologis (-), Pupil = Iskor,
Refleks cahaya (+)
B4 : BAK (+), Kateter urin (-)
B5 : Palpasi = Soepel, Distensi abdomen (-), Peristaltik (+)
Normal
B6 : Fraktur (-), Penyakit tulang (-).
30
b. X-ray Thorax
31
c. Hasil Gula Darah
32
Albumin = 1,1 g/dL
33
Induksi : Mulai jam 12.30 WIB selesai 12.35 WIB
- Bupivakain 0,5 % 10 mg
Vital sign : Setelah induksi
TD = 98/57 mmHg
HR = 84 x/menit
RR = 22 x/menit
SpO2 = 100 %
Operasi : Mulai pukul 12.50 WIB, selesai 14.00 WIB
Cairan : Pre operatif = NaCl 250 ml
PRC = 525 cc
Recovery room : Masuk ruang pemulihan 14.05 WIB
(Aldrete Score) Warna Kulit : 2 (kemerahan/normal)
Aktifitas Motorik : 1 (gerak 2 anggota tubuh)
Pernafasan : 2 (nafas dalam)
TD : 2 (± 20 mmHg dari pre
operasi)
Kesadaran : 02 (sadar penuh,mudah
dipanggil)
TOTAL :9
34
BAB 4
DISKUSI KASUS
Pasien berinisial J.S. umur 80 tahun datang ke IGD RS Royal Prima pada
tanggal 11 Agustus 2017 dengan keluhan nyeri pada paha kanan dan juga pada
bawah genital, pasien mempunyai riwayat DM yang dikontrol dengan
menggunakan obat metformin 2x1 500mg.
35
Operasi siap pada pukul 14:00, pasien dipindahkan ke PACU dan
diobservasi, pasien dipindahkan ke ruangan pada pukul 14:30 dengan nilai
Aldrete Score = 9.
BAB 5
KESIMPULAN
36
DAFTAR PUSTAKA
37
7. Society of Critical Care Medicine. 2016. Surviving Sepsis Campaign:
International Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock 2016.
Diakses dari alamat web :
http://www.survivingsepsis.org/Guidelines/Pages/default.aspx pada tanggal
13 Agustus 2017.
8. SJM Health System. 2013. Suriving Sepsis Campagin Bundle. Diakses dari
alamat web :
http://www.survivingsepsis.org/SiteCollectionDocuments/Protocols-Pocket-
Card-StJoseph.pdf pada tanggal 13 Agustus 2017.
9. British Medical Journal. 2017. Sepsis in Adults Complications. Diakses dari
alamat web : http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/245/follow-up/complications.html pada tanggal 14
Agustus 2017.
10. British Medical Jounral. 2017. Sepsis in Adults Prognosis. Diakses dari
alamat web : http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/245/follow-up/prognosis.html pada tanggal 14 Agustus
2017.
11. Sterling A.S, Miller R.W, Pryor J. 2015. The Impact of Timing of Antibiotics
on Outcomes in Severe Sepsis and Septic Shock: A Systematic Review and
Meta Analysis. Diakses dari alamat web :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4597314/ pada tanggal 14
Agustus 2017.
12. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2001. Petunjuk Praktis Anastesiologi
Ed 2. Jakarta. Bagian anastesiologi dan terapi intensif FKUI
13. Dobson MB. 2009. Penuntun Praktis Anastesi. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
38