Nama : Tn. A
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Pekerjaan : wiraswasta
Alamat : makassar
Agama : islam
No. RM : 696829
Tanggal masuk : 13/1/2015
I. SUBJEKTIF
a. Anamnesis : Autoanamnesis
b. Keluhan Utama : Demam
c. Anamnesis Terpimpin :
Demam dirasakan sejak kurang lebih 6 hari sebelum masuk rumah sakit
terutama saat malam hari. Demam turun jika minum paracetamol. Ada
menggigil saat demam, sakit kepala terasa kaku di tengkuk ada, muntah
saat sakit kepala tidak ada. Nyeri otot ada. Batuk pilek tidak ada, sesak
saat beraktifitas tidak ada, nyeri dada tidak ada, mual ada saat demam,
muntah tidak ada, nyeri perut ada bagian ulu hati terasa ditusuk – tusuk,
buang air besar warna kuning, , buang air kecil lancar warna kuning kesan
normal.
1
- Riwayat penyakit kuning tidak ada
- Riwayat diabetes tidak ada
- Riwayat penyakit jantung tidak ada
- Riwayat penyakit rematik dan sendi tidak ada
- Riwayat minum obat alternative ada
Status Vitalis :
TD : 170/120 mmHg
N : 96 x/menit
P : 24 x/menit
S : 38 ⁰C, axilla
2
Gerakan : ke segala arah (normal)
Kelopak Mata : edema (-), hiperemis (-), ptosis (-)
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterus (-)
Kornea : jernih
Pupil : bulat isokor, uk ϴ2,5 ODS
c. Telinga :
Pendengaran : dalam batas normal
Tophi : (-)
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-)
d. Hidung :
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
e. Mulut :
Bibir : pucat (-), kering (+)
Lidah : kotor (+), tremor (+),tepi hiperemis
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
Faring : hiperemis (-)
Gigi geligi : caries dentis (-)
Gusi : hiperemis (-)
f. Leher :
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
DVS : R-2 cmH2O
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
g. Dada :
3
Inspeksi :
Bentuk : simetris kiri = kanan, normochest
Pembuluh darah : bendungan vena sentral (-)
Sela iga : dalam batas normal
h. Paru :
Palpasi :
Fremitus raba : kesan normal
Nyeri tekan : (-)
Massa tumor : (-)
Perkusi :
Paru kiri : sonor
Paru kanan : sonor.
Batas paru-hepar : ICS VI dekstra anterior,
Batas paru belakang kanan : CV Th. IX dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. X sinistra
Auskultasi :
Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi tambahan : Rh -/-, Wh -/-
i. Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : pekak relatif
Kanan atas : ICS II linea parasternalis dexter
Kiri atas : ICS II linea midclavicularis sinistra
Kanan bawah : ICS V linea parasternalis sinistra
Kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular, bunyi
tambahan (-)
4
j. Perut :
Inspeksi : cembung, ikut gerak napas, massa tumor (-)
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal.
Palpasi : Nyeri tekan (+), massa tumor (-),
Hepar dan Lien tidak teraba pembesaran
Perkusi : timpani
k. Alat Kelamin :
Tidak dilakukan pemeriksaan
l. Anus dan Rektum :
Tidak dilakukan pemeriksaan
m. Punggung :
Palpasi : Nyeri tekan (-), Massa tumor (-)
Nyeri ketok : (-)
Auskultasi : BP: vesikuler
Gerakan : dalam batas normal
n. Ekstremitas :
Edema : -/-, hangat (+)
o. Laboratorium :
Tanggal Item Hasil Nilai rujukan Satuan
Hematolo WBC 3,9 4.00-10.00 10^3/uL
gi Rutin RBC 5,53 4.00-6.00 10^6/uL
13/1/2015 HGB 14,6 12.0-16.0 gr/dL
HCT 43,4 37.0-48.0 %
PLT 31 150-400 10^3/uL
NEUTH 70 52.0-75.0 10^3/uL
LYMPH 19,7 20.0-40.0 %
MONO 8,3 2.00-8.00 10^3/uL
EO 0,8 1.00-3.00 10^3/uL
5
BASO 1,3 0.00-0.10 10^3/uL
Ureum 18 10-50 mg/dl
Kreatinin 0,7 L(<1.3); mg/dl
P(<1.1)
GOT 42 <38 U/L
GPT 58 <41 U/L
IgM Salmonella +6 - ---
(TF semikuantitatif)
Dengue NS1 Negatif Negatif
6
IV. ASSESSMENT
Diagnosa :
1. Demam tifoid
2. HT grade 2
Diagnosis banding :
1. Demam dengue
2. Malaria
V. PLANNING
Pengobatan:
Tirah Baring
Diet Lunak dan diet rendah garam
IVFD NaCl 0,9% 24 tetes/menit
Ceftriaxone 3 gr/24 jam/IV, drips dalam NaCl 0,9% 100 cc habis
dalam 30 menit
Ranitidin 1 amp / 12 jam / intravena
Paracetamol 500 mg 3x1(bila suhu > 37,50C)
Amlodipine 10 gr / 24 jam / oral
Captopril 12, 5 / 12 jam / oral
Rencana Pemeriksaan :
Darah rutin kontrol, tes widal, profil lipid, foto thorax, ekg, echo cardiographi
VI. PROGNOSIS
7
VII. FOLLOW UP
8
normal
Nyeri Tekan: ada
Hepar dan lien tidak
teraba
Ext : Edema pada
tungkai tidak ada
IgM Salmonella (+)
Lab:
WBC = 3,9 x 103/uL,
RBC = 5,53 x 106/uL,
HGB = 14,6 g/dL,
HCT 43,4 %,
NEUT 70 x 103/UL,
ureum = 18 mg/dL,
kreatinin = 0,7 mg/dL,
GOT = 42 U/L,
GPT = 58 U/L,
IgM Salomonella = +6.
A:
Demam typhoid
HT grade 2
14/1/2015 S: P:
(Perawatan hari ke-2)
Demam ada, sakit Tirah baring
T: 190/120 mmhg kepala. Diet Lunak dan rendah
N: 100 x/m
O: garam
P: 22 x/m
S:37,8 ⁰C Sakit Sedang / Gizi NaCl 0,9% 24
Cukup / tetes/menit
Composmentis GCS Ceftriaxone 3 gr/ 24
15 jam /drips (dalam
Anemis tidak ada, piggy bag) habis dalam
9
ikterus tidak ada, 30 menit (hari ke2)
Mulut: bibir kering Paracetamol 500 mg
ada, lidah kotor ada, 3x1 (bila suhu >37,5
o
tremor tidak ada, tepi C)
hiperemis Amlodipine 10 mg /24
jam/ oral
Massa tumor tidak
ada, Nyeri tekan tidak Captopril 12,5 mg / 12
ada, DVS R-2 cmH2O jam / oral
BP : vesikuler,
BT : Rhonki tidak ada,
Wheezing tidak ada
BJ : I/II murni regular
BT : murmur tidak ada
Peristaltik ada kesan
normal
Nyeri tekan: ada
Hepar dan lien tidak
teraba
Ext : Edema tungkai
tidak ada
IgM Salmonella (+)
Foto thoraks:
Kesan kardiomegali
Ekg:
Sinus, Reguler, HR 120
A:
Demam typhoid
HT grade 2
10
15/1/2015 S: P:
(Perawatan Hari ke-3)
Demam ada, mual Tirah baring
T: 170/80 mmhg berkurang Diet Lunak dan rendah
N: 110 x/m
O: garam
P: 22 x/m
S:38,1 ⁰C Sakit Sedang / Gizi NaCl 0,9% 24
Cukup / tetes/menit
Composmentis GCS Ceftriaxone 3 gr/ 24
15 jam /drips (dalam
Anemis tidak ada, piggy bag) habis dalam
ikterus tidak ada, 30 menit (hari ke-3)
Mulut: bibir kering Paracetamol 500 mg
tidak ada, lidah kotor 3x1 (bila suhu >37,5
o
tidak ada, tremor tidak C)
ada, tepi hiperemis Amlodipine 10 mg /24
Massa tumor tidak jam/ oral
ada, Nyeri tekan tidak Captopril 12,5 mg / 12
ada, DVS R-2 cmH2O jam / oral
BP : vesikuler,
BT : Rhonki tidak ada,
Wheezing tidak ada
BJ : I/II murni regular
BT : murmur tidak ada
Peristaltik ada kesan
normal
Nyeri tekan: ada
Hepar dan lien tidak
teraba
Ext : Edema tungkai
tidak ada
IgM Salmonella (+)
Salmonella typhii O +
1/160
11
Lab:
Tes widal:
Salmonella typhi (+),
salmonella part A (+)
Salmonella part B (-)
Salmonella part C (+)
WBC: 8,8
RBC: 4,3
HGB: 11,2
HCT: 33,6
PLT: 90.000
A:
Demam typhoid
HT grade 2
16/1/2015 S: P:
(Perawatan Hari ke-4)
Demam ada Tirah baring
T: 170/120 mmhg O: Diet Lunak dan rendah
N: 94 x/m
Sakit Sedang / Gizi garam
P: 20 x/m
S:37,5 ⁰C Cukup / NaCl 0,9 % 16 tpm
Composmentis GCS Ceftriaxone 3 gr/ 24
15 jam /drips (dalam
Anemis tidak ada, piggy bag) habis dalam
ikterus tidak ada, 30 menit (hari ke 4)
Mulut: bibir kering Paracetamol 500 mg
tidak ada, lidah kotor 3x1 (bila suhu >37,5
o
tidak ada, tremor tidak C)
ada, tepi hiperemis Amlodipine 10 mg /24
Massa tumor tidak jam/ oral
ada, Nyeri tekan tidak Captopril 12,5 mg / 12
ada, DVS R-2 cmH2O jam / oral
12
BP : vesikuler,
BT : Rhonki tidak ada,
Wheezing tidak ada
BJ : I/II murni regular
BT : murmur tidak ada
Peristaltik ada kesan
normal
Nyeri tekan: tidak ada
Hepar dan lien tidak
teraba
Ext : Edema tungkai
tidak ada
IgM Salmonella (+)
Salmonella typhii O +
1/160
A:
Demam typhoid
HT grade 2
17/1/2015 S: P:
(Perawatan hari ke-5)
Demam tidak ada Tirah baring
T: 160/100 mmhg O: Makanan padat dan
N: 94 x/m
Sakit Sedang / Gizi diet rendah garam
P: 20 x/m
S:36,7 ⁰C Cukup / NaCl 0,9 % 16 tpm
Composmentis GCS Ceftriaxone 3 gr/24
15 jam /drips (dalam
Anemis tidak ada, piggy bag) habis dalam
ikterus tidak ada, 30 menit (Hari ke 5)
Mulut: bibir kering Paracetamol 500 mg
tidak ada, lidah kotor 3x1 (bila suhu >37,5
o
tidak ada, tremor tidak C)
13
ada, tepi hiperemis Amlodipine 10 mg /24
Massa tumor tidak jam/ oral
ada, Nyeri tekan tidak Captopril 12,5 mg / 12
ada, DVS R-2 cmH2O jam / oral
BP : vesikuler,
BT : Rhonki tidak ada,
Wheezing tidak ada
BJ : I/II murni regular
BT : murmur tidak ada
Peristaltik ada kesan
normal
Nyeri tekan: tidak ada
Hepar dan lien tidak
teraba
Ext : Edema tungkai
tidak adaIgM
Salmonella (+)
Salmonella typhii O +
1/160
A:
Demam typhoid
HT grade 2
14
VIII. RESUME
Seorang Laki – laki umur 56 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan febris.
Demam dialami ± 1 minggu SMRS, bersifat intermiten, demam meningkat pada saat
malam hari, menggigil (+). Demam menghilang dengan obat penurun panas
(paracetamol). Cefalgia, dirasakan hilang timbul. Nausea (+), vomiting (-) 1 hari yang
lalu frekuensi lebih 2 x isi air dan sisa makanan, nyeri epigastrium (+). Lemah badan
(+), penurunan nafsu makan (+), penurunan berat badan (-). Buang air besar belum
hari ini ada . Buang air kecil kesan lancar, volume kesan normal , warna kuning
jernih.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital yakni tekanan darah 170/120
mmHg, nadi 96x per menit, pernapasan 24 x per menit, suhu axilla 38 oC. pada
pemeriksaan lidah didapatkan lidah kotor (+), tremor (+), hiperemis (+). Pada
pemeriksaan palpasi abdomen didapatkan nyeri tekan (+) pada regio epigastrium,
hepar dan lien tidak teraba pembesaran. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan IgM
Salmonella +6. WBC = 3,9 x 103/uL, RBC = 5,53 x 106/uL, HGB = 14,6 g/dL, HCT
43,4 %, NEUT 70 x 103/UL, ureum = 18 mg/dL, kreatinin = 0,7 mg/dL, GOT = 42
U/L, GPT = 58 U/L, gr/dL, IgM Salomonella = +6.
IX. DISKUSI
Pasien masuk dengan keluhan utama demam. Banyak penyakit yang dapat
menimbulkan demam, antara lain demam tifoid, demam berdarah, malaria,
tuberkulosis, dan masih banyak lagi. Pada kasus ini, demam disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Berdasarkan hasil anamnesis, pasien mengalami keluhan demam
yang dialami sejak 1 minggu SMRS, bersifat intermitten di mana demam meningkat
saat malam hari, dan ada menggigil. Demam menurun ketika mengonsumsi obat
penurun demam (paracetamol) dan naik kembali setelah reaksi obat habis. Ada sakit
15
kepala yang dirasakan hilang timbul. Tidak ada perdarahan spontan. Ada nausea
tetapi tidak ada vomiting. Ada nyeri epigastrium. Lemah badan, ada penurunan nafsu
makan, tidak ada penurunan berat badan. Buang air besar belum hari ini namun ada
dan buang air kecil kesan normal. Pada pemeriksaan fisis didapatkan sakit sedang,
gizi normal, composmentis. Tekanan darah = 170/120 mmHg, nadi = 96 x/menit,
regular, pernapasan = 24 x/menit, vesikuler, suhu axilla = 38 0C. tidak ada anemis,
ada nyeri epigastrium, hepar dan lien tidak teraba. Hasil pemeriksaan laboratorium:
WBC = 3,9 x 103/uL, RBC = 5,53 x 106/uL, HGB = 14,6 g/dL, HCT 43,4 %, NEUT
70 x 103/UL, ureum = 18 mg/dL, kreatinin = 0,7 mg/dL, GOT = 42 U/L, GPT = 58
U/L, gr/dL, IgM Salomonella = +6.
16
Ceftriaxone umumnya aktif terhadap kuman gram positif dan negatif termasuk
Salmonella typhi.5 Efek samping yang paling sering adalah rasa hangat di sekitar
tempat injeksi, sakit kepala, berkeringat, dan diare.6 Ceftriaxone memiliki waktu
paruh berkisar 6 hingga 8 jam di dalam tubuh dan sangat cocok untuk pemberian
dosis dalam sehari. Selain itu, Ceftriaxone dapat mengurangi waktu terapi hingga 5
hari di rumah sakit sehingga lebih menghemat biaya perawatan. Penggunaan
Kloramfenikol dapat menekan sumsum tulang belakang. Dengan menggunakan
Ceftriaxone, pencegahan relaps setelah dinyatakan sembuh terhadap pasien lebih baik
daripada Kloramfenikol.3
Captopril diberikan sebagai anti hipertensi golongan ACE inhibitor yang dapat
menghambat perubahan angiotensin 1 menjadi angiotensin 2 yang disebabkan oleh
ACE dan Amlodipin diberikan sebagai anti hipertensi yaitu dapat menurunkan
resistensi perifer6
17
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh Samonella typhi atau
Salmonella paratyphi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa
demam, malaise, nyeri perut, dan konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera
ditangani akan memberat dan mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal,
perforasi usus, dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan.4
II. EPIDEMIOLOGI
Insiden demam tifoid bervariasi ditiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan. Didaerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan didaerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan
insidens diperkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadahi serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1
Case fatality rate (CFR) demam tifoid ditahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh
kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil survey kesehatan rumah
tangga departemen kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak
termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1
18
III. ETIOLOGI
Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus
Salmonella. Basil ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif.
Ukuran antara 2 – 4 x 0,6 mikrometer. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37°C
dengan pH antara 6 – 8.1
IV. PATOGENESIS
19
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyer ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus toracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi
darah sehingga mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik dan menyebar
keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Diorgan-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya disertai tanda-tanda dan gejala penyakit sistemik.1
Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu dieksresikan secara intermitten kedalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag
telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagosit kuman Salmonella terjadi pelepasan
berbagai mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.1
20
V. GAMBARAN KLINIS
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi
yang tepat dan meminimalkan terjadinya komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis
penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada
kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan
diagnosis.1
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga
gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.1
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu badan
yang meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore
hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardi relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut
nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput (Kotor ditengah, tepid an ujung merah
serta tremor), Hepatosplenomegally, meteorismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pada
orang Indonesia.1
21
hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap
darah (LED) pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT sering kali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT
dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.1
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan kultur bakteri.
Sampai sekarang, kultur menjadi standar baku dalam penegakan diagnostik.
Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat
dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas
lebih baik dari antara uji TUBEX, Typhidot dan dipstick.1
b. Uji Widal
22
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu pengobatan dini dengan
antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, waktu
pengambilan darah, daerah endemik atau non endemik, riwayat vaksinasi, reaksi
anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, faktor teknik pemeriksaan antar
laboratorium.1
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna
diagnostic untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan
saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda diberbagai
laboratorium setempat.1
c. Uji tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit)
dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-Salmonella typhi O9
pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang
terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida Salmonella
typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Hasil positif ujin tubex ini
menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjuk pada Salmonella typhi. Infeksi oleh Salmonella paratyphi akan
memberikan hasil negatif.1
23
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen meliputi :
tabung berbentuk V yang berfungsi meningkatkan sensitivitas, reagen A yang
mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen O9, reagen B yang
mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi
monoklonal spesifik dengan antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini,
satu tetes serum (25 µL) dicampurkan kedalam tabung dengan satu tetes (25 µL)
reagen A. setelah itu dua tetes reagen B (50 µL) ditambahkan kedalam tabung. Hal
tersebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian
diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit
dengan kecepatan 250 rpm. Interretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan
campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna
inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut :
Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
pengujian apabila masih meragukan lakukan
pengulangan beberapa hari kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid
Tabel 2. Interpretasi hasil uji Tubex (dikutip dari kepustakaan 1)
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak
mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. ketika
diletakkan pada daerah yang mengandung medan magnet (magnet rak), komponen
magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa
serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. sebagai akibatnya, terlihat warna merah
pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya,
bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan
24
reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan
warna biru pada larutan.1
d. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG
terhadap antigen Salmonella typhi. Seberat 50 kD, yang terdapat dalam strip
nitroselulosa.1
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesay 76,6% dan
efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk
(2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain yang
dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan spesifisitas uji ini hampir sama
dengan uji tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%.1
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder IgG teraktivasi secara berlebihan
sehingga igM sulit terdeteksi. IgM dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga
pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut
dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi
masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan mengaktivasi total IgG pada
sampel serum. Uji ini yang dikenal dengan nama uji typhidot-M, memungkinkan
ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi
yang dilakukan oleh Khoo Ke dkk pada tahun 1997 terhadap uji typhidot-M
menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan
lebih cepat (3jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur.1
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap Salmonella typhi
pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) Salmonella typhi dan antigen IgM
25
(sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati
dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum inkubasi dengan reagen dan
serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil disimpan selama 2 tahun
pada suhu 4-25 C ditempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai
dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam
pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan.
Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan
membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna dengan
baik.1
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai penggunaan uji
ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia dan melaporkan
sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah
dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi
hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan selama 1 minggu setelah timbulnya
gejala.1
f. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil yang
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut: telah mendapatkan terapi dengan antibiotik, volume
darah yang kurang, riwayat vaksinasi, saat pengambilan darah setelah minggu
pertama pada saat aglutinin semakin meningkat.1
VII. PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid sebagai berikut
Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif) dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal, pemberian
antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.1,4
26
a. Istirahat dan perawatan
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan
gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhannya akan semakin lama.1,3
Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet
tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
tersebut bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
jperforasi usus. Hal ini disebabkan karena ada pendapat bahwa usus harus d;
iistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini
yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang
berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien dengan demam tifoid.1-3
Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah
sebagai berikut:
27
Tabel 2. Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid1
28
VIII. KOMPLIKASI
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir sama organ utama tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang
dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:
Komplikasi intestinal :
perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis
Komplikasi ekstraintestinal
Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis
Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia
Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolestitis
Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis
Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis
Komplikasi neuropsikiatri / tifoid toksik.1
IX. PROGNOSIS
Prognosis dari demam tifoid adalah berdasarkan dari cepat atau lambatnya
penanganan serta penggunaan antibiotik yang tepat. Bila penyakit berat, pengobatan
terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat maka prognosis buruk.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Aru WS, Bambang S, Idrus A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna
Publishing. Edisi 5. Jakarta, 2009. Hal 2797-2805.
2. Aziz R, Sidartawan S, Anna UZ, dkk. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 2. Jakarta,
2006. Hal 139-141.
3. Islam, Butler, Kabir, Alam. Treatment of Typhoid Fever with Ceftriaxone for 5
Days or Chloramphenicol for 14 Days: a Randomized Clinical Trial.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Vol. 37. No. 8. Hal 1572-1575.
Bangladesh: 1993.
6. Sulistia GG, Rianto S, Frans D, dkk. Farmakologi dan Terapi. Penerbit Gaya Baru.
Edisi 5. Jakarta, 2007. Hal 238, 524, 643, 864.
30
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Tgl:
ABSEN PEMBACAAN
31
32