Laporan Tutorial Skenario C Blok 23

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 45

Skenario C Blok 23 Tahun 2015

Tn.RS berumur 25 tahun, seorang buruh penyadap karet yang sudah berenti bekerja sejak 3
bulan yang lalu karena penyakit yang dideritanya, datang ke poliklinik dengan keluhan sembab
seluruh tubuh sejak 3 minggu yang lalu dan urin berwarna keruh. Pada mulaya sembab terjadi
pada daerah muka terutama terlihat bangun tidur lalu diikuti sembab pada tungkai dan kemudian
perut dirasakan membesar.
Sejak 6 bulan yang lalu, Tn.RS serring mengeluhkan demam yang tidak terlalu tinggi yang
hilang timbul, nyeri sendi terutama pada jari tangan-kaki, badan lemah dan mudah lelah. Tn. RS
sering berobat ke puskemas bila demam atau nyeri sendi timbul. Tn. RS juga mengeluhkan
rambut sering rontok, sariawan yang sering timbul dilangit langit mulut yang tidak nyeri, timbul
bercak kemerahan pada kedua pipi yang menjadi lebih merah bila terkena sinar matahari.
Tn. RS memiliki saudara kembar yang sudah meninggal 3 tahun yang lalu, keluhan yang
dialami saudaranya tersebut berupa bercak merah pada muka, rambut rontok, nyeri sendi dan
kejang-kejang.

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum sakit sedang, tekanan darah: 120/80mmHg sensorium kompos mentis, frekuensi
napas 20x/menit, frekuensi nadi: 92 xmenit, suhu 37,3oC.
Keadaan spesifik:
Kepala: alopecia (+), konjungtiva palpebra pucat (+), sklera sub ikterik
Muka: malar rash (+), mulut: ulserasi (+).
Jantung paru dalam batas normal.
Abdomen: asites, edema tungkai.

Pemeriksaan laboratorium
Hb: 8,3gr%, RBC 3,5jt, leukosit: 5000/mm3, trombosit 98.000, hitung jenis 0/0/2/51/36/11.
Hematokrit 22 vol%, retikulosit 3%, LED: 105 mm/jam,

Urin rutin: epitel (+), leukosit 3-5/LPB, eritrosit 2-4/LPB, silinder (++), Kristal (-), protein (++
+), glukosa (-), nitrit (-). Bilirubin (+), urobilinogen (+)

5
Kimia darah: GDS 102mg /dl, ureum 28mg/dl, creatinin 0,9mg/dl, protein total 4,5g/dL, albumin
1,5g/dL, Globulin 4,8 g/dL, kolesterol total 227mg/dL trigliserida 203 mg/dL, HDL kolesterol 23
mg/dL, LDL kolesterol 185 mg/dL, Na 147 mmol/, kalium 3,5 mmol/L, Ca 9,6 mmol/L.

Pemeriksaan tambahan
MCV 82 fl, MCH 28 pg. MCHC 34 g/dL. C3: 50mgdL, C4: 5mgdl, Anti ds-DNA: 532,5 IU/ml
(normal: 0-200 IU/ml), ANA: >1:1000. Tes combs direk (+), indirek (+). Urin esbach 3,8 g/dL,
sel LE (+), thoraks foto: normal thoraks.

6
I. Klarifikasi istilah

No. Istilah Klarifikasi

Erupsi kulit yang meliputi hidung dan daerah sekitarnya pada pipi,
1. Malar rash yang membentuk pola kupu-kupu seperti pada SLE dan dermatitis
seborroik

Kebotakan, tidak adanya rambut pada daerah kulit tempatnya biasa


2. Alopecia
tumbuh.

Luka terbuka, kondisi putusnya epitelium mukosa yang menyebabkan


3. Ulserasi
terbukanya ujung syaraf di lamina propia

Suatu kondisi merdis yang ditanda dengan akumulasi cairan di rongga


4. Asites
perut

Perubahan warna sclera karena peningkatan bilirubin dalam darah


5. Sklera Ikterik
(jaundice)

Meningkatnya volume cairan diluar sel dan diluar pembuluh darah


6. Edema
disertai dengan penimbunan di jaringan serosa

7. Urobilinogen Warna kuning; hasil dari reduksi bilirubin

8. Kreatinin Hasil pemecahan keratin fosfat di otot

7
II. Identifikasi masalah
1. Tn.Rs berumur 25 tahun, seorang buruh penyadap karet yang sudah berenti bekerja sejak
3 bulan yang lalu karena penyakit yang dideritanya.
2. Tn.RS datang ke poliklinik dengan keluhan sembab seluruh tubuh sejak 3 minggu
yang lalu dan urin berwarna keruh. Pada mulanya sembab terjadi pada daerah
muka terutama terlihat bangun tidur lalu diikuti sembab pada tungkai dan
kemudian perut dirasakan membesar. (Main Problem)
3. Sejak 6 bulan yang lalu, Tn.RS serring mengeluhkan demam yang tidak terlalu tinggi
yang hilang timbul, nyeri sendi terutama pada jari tangan-kaki, badan lemah dan mudah
lelah. Tn. RS sering berobat ke puskemas bila demam atau nyeri sendi timbul. Tn. Rs
juga mengeluhkan rambt serign rontok, sariawan yang sering timbul dilangit langit mulut
yang tida nyeri, timbul bercak kemerahan pada kedua pipi yang menjadi lebih merah bila
terkena sinar matahari.
4. Tn. RS memiliki saudara kembar yang sudah meninggal 3 tahun yang lalu, keluhan yang
dialami saudaranya tersebut berupa bercak merah pada muka, rambut rontok, neri sedi
dan kejang-kejang.
5. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum sakit sedang, tekanan darah: 120/80mmHg sensorium kompos mentis,
frekuensi napas 20x/menit, frekuensi nadi: 92 xmenit, suhu 37,3oC.
Keadaan spesifik:
Kepala: alopecia (+), konjungtiva palpebra pucat (+), sklera sub ikterik
Muka: malar rash (+), mulut: ulserasi (+).
Jantung paru dalam batas normal.
Abdomen: asites, edema tungkai.
6. Pemeriksaan Laboratorium
- Hb: 8,3gr%, RBC 3,5jt, leukosit: 5000/mm3, trombosit 98.000, hitung jenis
0/0/2/51/36/11. Hematokrit 22 vol%, retikulosit 3%, LED: 105 mm/jam,
- Urin rutin: epitel (+), leukosit 3-5/LPB, eritrosit 2-4/LPB, silinder (++), Kristal (-),
protein (+++), glukosa (-), nitrit (-). Bilirubin (+), urobilinogen (+)
- Kimia darah: GDS 102mg /dl, ureum 28mg/dl, creatinin 0,9mg/dl, protein total
4,5g/dL, albumin 1,5g/dL, Globulin 4,8 g/dL, kolesterol total 227mg/dL trigliserida

8
203 mg/dL, HDL kolesterol 23 mg/dL, LDL kolesterol 185 mg/dL, Na 147 mmol/,
kalium 3,5 mmol/L, Ca 9,6 mmol/L.
7. Pemeriksaan Tambahan
MCV 82 fl, MCH 28 pg. MCHC 34 g/dL. C3: 50mgdL, C4: 5mgdl, Anti ds-DNA: 532,5
IU/ml
(normal: 0-200 IU/ml), ANA: >1:1000. Tes combs direk (+), indirek (+). Urin esbach 3,8
g/dL, sel LE (+), thoraks foto: normal thoraks.

9
III.Analisis masalah
1. Tn.Rs berumur 25 tahun, seorang buruh penyadap karet yang sudah berenti bekerja sejak
3 bulan yang lalu karena penyakit yang dideritanya.
a. Bagaimana hubungan usia, pekerjaan, jenis kelamin pada kasus?
Usia dan jenis kelamin:
SLE sering mengenai pada usia 13-40 tahun hal ini diakibatkan pada usia tersebut,
khusunya wanita sedang mengalami peningkatan dari hormone estrogen. Terdapat
hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun. Estradiol
mampu berikatan dengan reseptor pada limfosit T dan B, sehingga mengakibatkan
peningkatan aktivasi yang kemudian mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan
pada pasien SLE. Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen
nuklear ANA dan anti-DNA. Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya
seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan
kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon
inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.
Pekerjaan:
Pekerjaan yang sering terpapar sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilangnya
toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan
pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase
induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel
imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada
inflamasi kulit.

b. Apa makna klinis dari berhenti kerja sejak 3 bulan yang lalu?
Tn. Rs berhenti sejak 3 bulan yang lalu diakibatkan manifestasi penyakitnya yang
sudah semakin parah dan menunjukkan tanda bahwa penyakitnya ini sudah
berpengaruh dalam hal aktivitas

2. Tn.Rs datang ke poliklinik dengan keluhan sembab seluruh tubuh sejak 3 minggu yang
lalu dan urin berwarna keruh. Pada mulanya sembab terjadi pada daerah muka terutama
terlihat bangun tidur lalu diikuti sembab pada tungkai dan kemudian perut dirasakan
membesar.
a. Apa etiologi dan bagaimana mekanisme sembab?
Kompleks imun  aktivasi sistem komplemen, makrofag, granulosit, trombosit 
sirkulasi kompleks imun dalam darah (lama, lambat terurai)  mengendap pada

10
glomerular  pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik, serta influks neutrofil
 fagositosis  pelepasan enzim lisosim  kerusakan glomerular  peningkatan
permeabilitas kapiler glomerulus  albumin keluar  albuminuria dan
hipoalbuminemia  penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular  cairan
transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial 
edema

b. Apa etiologi dan bagaimana mekanisme urin berwarna keruh?


Kompleks imun  aktivasi sistem komplemen, makrofag, granulosit, trombosit 
sirkulasi kompleks imun dalam darah (lama, lambat terurai)  mengendap pada
glomerular  pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik, serta influks neutrofil
 fagositosis  pelepasan enzim lisosim  kerusakan glomerular  peningkatan
permeabilitas kapiler glomerulus  protein dapat lolos dari jalur filtrasi albumin
keluar  albuminuria  urin keruh

c. Mengapa sembab awalnya terjadi pada muka?


Edema tampak pertama kali di wajah, terutama biasanya merujuk pada edema
palpebra diakibatkan oleh jaringan palpebrae sangat longgar sehingga lebih tampak
bila pasien baru bangun tidur atau terbaring lama. Sesuai dengan hukum gravitasi, bila
edema tidak menyeluruh, edema palpebra dapat hilang/berkurang setelah pasien
beraktivitas dengan posisi berdiri kerena cairan akan terkumpul di ekstremitas bawah.

d. Apakah ada keterkaitan antar gejala, bagaimana keterkaitannya?


Hal ini disebabkan karena saat 6 bulan yang lalu Tn. RS menunjukkan adanya gejala
SLE, akibat tidak diobati dan Tn.RS tetap berkerja menimbulkan manifestasi yang
lebih parah sehingga Tn. Rs memutuskan untuk berhenti kerja 3 bulan yang lalu. 3
minggu yang lalu ada kemungkinan pengendapan komplek imun sudah merusak
membrane basalis glomerulus yang berfungsi untuk filtrasi (terutama filtrasi protein).
Akibat kerusakan MBG itulah menyebabkan proteinuria, yang lama-lama
menyebabkan hipoalbuminemia sehingga terjadilah urin berwarna keruh dan edema
pada tubuh.

e. Apa dampak dari edema yang sudah lama?


Dampak dari edema yang lama adalah sebagai berikut:
- Nyeri
- Kesulitan berjalan

11
- Kaku otot
- Kulit meregang dan gatal
- Skar jaringan
- Infeksi
- Ulkus
- Kekakuan pembuluh darah, sendi dan otot
- Penurunan sirkulasi darah pada daerah yang edema

3. Sejak 6 bulan yang lalu, Tn.RS sering mengeluhkan demam yang tidak terlalu tinggi yang
hilang timbul, nyeri sendi terutama pada jari tangan-kaki, badan lemah dan mudah lelah.
Tn. RS sering berobat ke puskemas bila demam atau nyeri sendi timbul. Tn. Rs juga
mengeluhkan rambut sering rontok, sariawan yang sering timbul dilangit langit mulut
yang tidak nyeri, timbul bercak kemerahan pada kedua pipi yang menjadi lebih merah
bila terkena sinar matahari.
a. Bagaimana mekanisme gejala pada kasus?
1. Demam
Kompleks imun  aktivasi sistem komplemen, makrofag, granulosit, trombosit 
sirkulasi kompleks imun dalam darah (lama, lambat terurai)  mengendap pada
kapiler  pelepasan mediator inflamasi  demam.

2. Nyeri sendi (jari tangan-kaki)


Sel plasma dalam sinovium akan membentuk anti-IgG (FR berupa IgM) 
kemudian akan menggangap sinovium tersebut autoantigen  kompleks imun di
sendi  aktivasi sistem komplemen, makrofag, granulosit, trombosit  sirkulasi
kompleks imun dalam darah (lama, lambat terurai)  mengendap pada cairan sendi
 pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik, serta influks neutrofil 
fagositosis  pelepasan enzim lisosim  nyeri sendi
3. Lemah dan mudah lelah
Pada SLE dapat terjadi AIHA (ditandai dengan tes coomb positif dan Normokrom
normositer)  terjadi warm reactive autoantibodi (dimana autoantibodi bereaksi
terhadap RBC pada suhu diatas atau sama dengan 37 derajat celcius)  hal ini
menyebabkan terjadi destruksi ekstravaskular  penurunan sel darah merah 
badan lemah dan lelah
4. Rambut rontok
Kompleks imun  aktivasi sistem komplemen, makrofag, granulosit, trombosit 
sirkulasi kompleks imun dalam darah (lama, lambat terurai)  mengendap pada

12
membran basalis vaskular folikel rambut  pelepasan mediator inflamasi, bahan
kemotaktik, serta influks neutrofil  Fagositosis  Pelepasan enzim lisosim 
Nekrosis folikel rambut  gangguan pertumbuhan rambut  rambut sulit tumbuh
dan mudah patah  rambut rontok.
5. Sariawan
Kompleks imun  aktivasi sistem komplemen, makrofag, granulosit, trombosit 
sirkulasi kompleks imun dalam darah (lama, lambat terurai)  mengendap pada
mukosa mulut  pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik, serta influks
neutrofil  Fagositosis  Pelepasan enzim lisosim  nekrosis jaringan 
Ulserasi (stomatitis)  sariawan
6. Timbul bercak kemarahan terutama saat terkena sinar matahari.
Timbulnya bercak kemerahan biasanya diikuti dengan terpaparnya penderita
terhadap sinar matahari, Hal ini disebabkan sinar matahari menyebabkan
peningkatan sel T autoreaktif (hilangnya toleransi terhadap self-antigen) yang
menginduksi peningkatan autoantibodi sehingga terjadi pengikatan dengan
autoantigen di kulit (yang dianggap benda asing), hal inilah yang merangsang
kemerahan pada kulit.

b. Bagaimana reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada kasus?


Reaksi tipe III terjadi akibat pembentukan dan pengendapan kompleks imun
(kompleks antigen antibodi). Sering kali antigen dihubungkan satu sama lain melalui
imunoglobulin yang terlibat (IgM, IgG). Kompleks imun seperti ini tidak hanya
mengaktivasi sistem komplemen, tetapi juga makrofag, granulosit, dan trombosit
(melalui reseptor Fc nya). Hal ini terjadi terutama jika jumlah antigen berlebihan
dengan kompleks imun yang larut dan kecil bersirkulasi di dalam darah untuk jangka
waktu yang lama dan lambat terurai. Kompleks ini terutama mengendap di kapiler
glomerolus, tetapi dapat juga ditemukan pada sendi, kulit, dan tempat lainnya.

13
Gambar 1. Hipersensitivitas tipe III (Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi)

c. Mengapa demam dan nyeri sendinya hilang timbul?


Gejala yang timbul diakibatkan oleh adanya kompleks antigen antibodi yang
mengaktifasi sistem komplemen dan fagosit (mengeluarkan mediator inflamasi)
sehingga terjadi kerusakan jaringan. Setelah konsentrasi kompleks antigen antibodi
menurun dalam darah, maka gejala akan hilang. Jika pasien terpapar faktor-faktor
pencetus, seperti pada kasus adalah sinar UV (karena faktor pekerjaan), maka
konsentrasi antigen akan meningkat lagi dan terjadi ikatan antara antigen dan antibodi
yang kemudian akan menyebabkan munculnya gejala.

d. Mengapa sariawan yang sering timbul dilangit langit mulut tidak nyeri pada kasus?
Berdasarkan kriteria ACR 1997, ulser rongga mulut merupakan salah satu kriteria
untuk penegakan diagnosis SLE. Dalam suatu studi, prevalensi ulserasi orofaringeal
berjumlah 15% pada pasien lupus. Lesi ulser pada SLE berukuran lebih dari 1 cm,
dengan tepi ireguler, berbatas jelas, dan dikelilingi dengan eritema halo. Ulser ini

14
dapat timbul sebelum, saat ataupun setelah lesi kulit timbul. Ulser pada pasien lupus
sering ditemukan pada mukosa bukal, gingiva, palatum, serta meluas ke daerah faring.
Lesi juga dapat tidak spesifik, asimtomatik, dan bila semakin parah akan menimbulkan
rasa sakit dan tidak nyaman, namun pada pasien lupus, ulser biasanya timbul pada saat
lupus teraktifasi (flare up). Biasanya, ulser pada pasien lupus lebih lama mengalami
masa penyembuhan. Penyembuhan lesi ini cenderung membentuk jaringan parut dan
fibrosis.

4. Tn. RS memiliki saudara kembar yang sudah meninggal 3 tahun yang lalu, keluhan yang
dialami saudaranya tersebut berupa bercak merah pada muka, rambut rontok, nyeri sedi
dan kejang-kejang.
a. Apa makna klinis memiliki saudara kembar dengan keluhan yang sama?
Makna klinis pasien memiliki saudara kembar dengan penyakit yang sama
menunjukan kemungkinan etiologi pada kasus ini adalah genetik. Kecenderungan
genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada
kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada
individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi
dibandingkan pada populasi umum.

5. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum sakit sedang, tekanan darah: 120/80mmHg sensorium kompos mentis,
frekuensi napas 20x/menit, frekuensi nadi: 92 x/menit, suhu 37,3C.
Keadaan spesifik:
Kepala: alopecia (+), konjungtiva palpebral pucat (+), sklera sub ikterik, muka: malar
rash (+), mulut: ulserasi (+). Jantung paru dalam batas normal. Abdomen: asites, edema
tungkai.
a. Apa interpretasi dan bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik pada
kasus?
Tabel 1. Interpretasi dan Mekanisme Abnormal Pemeriksaan Fisik
Kasus Normal Interpretasi
Keadaan umum Sakit sedang Tidak sakit Abnormal
Mekanisme: Kompleks imun  aktivasi sistem komplemen, makrofag, granulosit,

15
trombosit  sirkulasi kompleks imun dalam darah (lama, lambat terurai) 
mengendap di kapiler glomerolus, sendi, kulit  lupus nefritis, nyeri sendi, demam,
lemah, rontok, sariawan, malar rash.
Kesadaran Compos mentis Compos mentis Normal
TD 120/80 mmHg 120/80 mmHg Normal
RR 20x/menit 16-24x /menit Normal
HR 92x/menit 60-100x /menit Normal

Suhu 37,3 ᵒC 36,5-37,5 C Normal
Kepala Alopecia Tidak alopecia Abnormal
Mekanisme: Kompleks imun  aktivasi sistem komplemen, makrofag, granulosit,
trombosit  sirkulasi kompleks imun dalam darah (lama, lambat terurai) 
mengendap pada membran basalis vaskular folikel rambut  pelepasan mediator
inflamasi, bahan kemotaktik, serta influks neutrofil  Fagositosis  Pelepasan enzim
lisosim  Nekrosis folikel rambut  gangguan pertumbuhan rambut  rambut
rontok.
(Lanjutan Tabel 1)
Konjungtiva Pucat Tidak pucat Abnormal
Mekanisme: Terbentuknya kompleks imun (antigen-antibodi)  kompleks imun (Ab-
Ag) pada eritrosit  aktivasi komplemen  kerusakan RBC  pucat
Sklera Subikterik Tidak ikterik Abnormal
Mekanisme: Terbentuknya kompleks imun (antigen-antibodi)  kompleks imun (Ab-
Ag) pada eritrosit  aktivasi komplemen  kerusakan RBC  peningkatan bilirubin
 sklera subikterik
Muka Malar rash Tidak malar rash Abnormal
Mekanisme: Kompleks imun  aktivasi sistem komplemen, makrofag, granulosit,
trombosit  sirkulasi kompleks imun dalam darah (lama, lambat terurai) 
mengendap pada kulit  pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik, serta influks
neutrofil  Fagositosis  Pelepasan enzim lisosim  kerusakan kulit  malar rash.
Mulut Ulserasi Tidak ulserasi Abnormal
Mekanisme : Kompleks imun  aktivasi sistem komplemen, makrofag, granulosit,
trombosit  sirkulasi kompleks imun dalam darah (lama, lambat terurai) 
mengendap pada mukosa mulut  pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik,
serta influks neutrofil  Fagositosis  Pelepasan enzim lisosim  nekrosis jaringan
 Ulser (stomatitis).
Jantung paru Dalam batas normal Normal Normal
Abdomen dan Edema Tidak edema Abnormal
Tungkai

16
Mekanisme : Kompleks imun  aktivasi sistem komplemen, makrofag, granulosit,
trombosit  sirkulasi kompleks imun dalam darah (lama, lambat terurai) 
mengendap pada glomerular  pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik, serta
influks neutrofil  Fagositosis  Pelepasan enzim lisosim  kerusakan glomerular
 peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus  albumin keluar  albuminuria dan
hipoalbuminemia  penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular  cairan
transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial 
edema

b. Bagaimana gambaran fisik penderita pada kasus?

Gambar 2. Alopesia

Gambar 3. Konjungtiva Palpebra

Gambar 4. Ikterus

17
Gambar 5. Malar Rash

Gambar 6. Ulserasi

Gambar 7. Edema tungkai

18
Gambar 8. Ascites

6. Pemeriksaan laboratorium
- Hb: 8,3gr%, RBC 3,5jt, leukosit: 5000/mm3, trombosit 98.000, hitung jenis
0/0/2/51/36/11. Hematokrit 22 vol%, retikulosit 3%, LED: 105 mm/jam,
- Urin rutin: epitel (+), leukosit 3-5/LPB, eritrosit 2-4/LPB, silinder (++), Kristal (-),
protein (+++), glukosa (-), nitrit (-). Bilirubin (+), urobilinogen (+)
- Kimia darah: GDS 102mg /dl, ureum 28mg/dl, creatinin 0,9mg/dl, protein total
4,5g/dL, albumin 1,5g/dL, Globulin 4,8 g/dL, kolesterol total 227mg/dL trigliserida
203 mg/dL, HDL kolesterol 23 mg/dL, LDL kolesterol 185 mg/dL, Na 147 mmol/,
kalium 3,5 mmol/L, Ca 9,6 mmol/L.
a. Apa interpretasi dan bagaimana mekanisme abnormal pemeriksaan darah rutin?

Tabel 2. Interpretasi dan Mekanisme Abnormal Hasil Pemeriksaan Darah Rutin


Pemeriksaan Nilai Normal Pada kasus Interpretasi dan
Mekanisme Abnormal
Hb 13 – 18 gr% 8,3 gr% Menurun

19
SLE  Autoantibodi
dapat pula menyerang
eritrosit  RBC ↓  Hb
↓  Anemia Hemolitik
3
RBC 4,5 – 5,5 3,5 juta/mm Menurun
SLE  Autoantibodi
juta/mm3
dapat pula menyerang
eritrosit  RBC ↓
3
Leukosit 5.000 – 5.000/mm Normal
10.000/mm3
Trombosit 150 – 400 x 103 98.000 Trombositopenia
Menempelnya zat anti
/mm3
pada permukaan
trombosit 
penghancuran trombosit
di limpa.
Hitung jenis Basofil: 0 – 1 Basophil: 0 Eosinofil Menurun
Eosinofil: Monosit Meningkat
Eosinofil: 1 – 3
N. Batang: 2 Reaksi kompleks imun 
N. Batang: 2 – 6 N. Segmen: 51
Makrofag terstimulasi
Limfosit: 36
N. Segmen: 50 –
Monosit: 11
70
Limfosit: 20 – 40

Monosit: 2 – 8
Hematokrit 45 – 55 % 22 vol% Menurun
SLE  Autoantibodi
dapat pula menyerang
eritrosit  RBC↓  Ht↓
(Lanjutan Tabel 2)

Retikulosit 0,5 – 1,5 % 3% Meningkat


Anemia hemolitik  sel
darah merah yang belum
matur dikeluarkan
sebelum waktunya,

20
kompensasi agar
pembentukan sel darah
merah berlangsung cepat.
LED 0 – 15 mm/jam 105 mm/jam Meningkat
Akibat proses peradangan
yang ditimbulkan dari
kompleks imun.

b. Apa interpretasi dan bagaimana mekanisme abnormal pemeriksaan urin rutin?


Tabel 3. Interpretasi dan Mekanisme Abnormal Pemeriksaan Urin Rutin
URIN RUTIN

Nilai Rujukan Nilai pada kasus Interpretasi

Epitel 5-15/Lpk (+) Normal

Leukosit 0-5/Lpb 3-5/Lpb Normal

Eritrosit 0-1/Lpb 2-4/Lpb Karna terjadi kerusakan


kapiler glomerulus

Silinder (-) (++) Kerusakan glomerulus


peningkatan
permeabilitas 
silinderuria

Kristal (-) (-) Normal

Protein (-) (+++) Deposisi kompleks imun


 peningkatan
permeabilitas kapiler 
protein keluar

Glukosa (-) (-) Normal


(Lanjutan Tabel 3)
Nitrit (-) (-) Normal

Bilirubin (-) (+) Peningkatan kadar


bilirubin direct akibat
proses hemolisis
bilirubinuria

Urobilinogen (+) (+) Normal

21
c. Apa interpretasi dan bagaimana mekanisme abnormal pemeriksaan kimia darah?
Tabel 4. Interpretasi dan Mekanisme Abnormal Kimia Darah
Kasus Normal Interpretasi
GDS 102 mg/dL 70-200 mg/dL Normal
Ureum 28 mg/dL 10-50 mg/dL Normal
Kreatinin 0,9 mg/dL 0,5-1,5 mg/dL Normal
Protein total 4,5 g/dL 6,6-8,7 g/dL Hipoproteinemia
Mekanisme: Nefritis kompleks imun  glomerulonephritis  gangguan permeabilitas
selektif pada penyaring glomerulus  proteinuria  hipoproteinemia
Albumin 1,5 g/dL 3,4-4,8 g/dL Hipoalbuminemia
Mekanisme: Nefritis kompleks imun  glomerulonephritis  gangguan permeabilitas
selektif pada penyaring glomerulus  proteinuria (sebagian besar albumin) 
hipoalbuminemia
Globulin 4,8 g/dL 3,2-3,9 g/dL Abnormal
Mekanisme: Pertahanan tubuh melawan antigen membutuhkan antibodi yang berasal
dari globulin
Kolesterol total 227 mg/dL <200 mg/dL Abnormal
Mekanisme: Hipoproteinemia  merangsang pembentukan lipoprotein di hati 
hiperkolestrolemia
Trigliserida 203 mg/dL 50-150 mg/dL Abnormal
Mekanisme: Hipoproteinemia  merangsang pembentukan lipoprotein hati 
trigliserida meningkat  hipertrigliserida
(Lanjutan Tabel 4)

HDL-C 23 mg/dL 40-60 mg/dL Abnormal


Mekanisme:
LDL-C 185 mg/dL <130 mg/dL Abnormal
Mekanisme:
Na 147 mEq/L 135-153 mEq/L Normal
Kalium 3,5 mEq/L 3,5-5,1 mEq/L Normal
Kalsium 9,6 mEq/L 8,5-10,5 mEq/L Normal

7. Pemeriksaan tambahan:
MCV 82 fl, MCH 28 pg. MCHC 34 g/dL. C3: 50mgdL, C4: 5mgdl, Anti ds-DNA: 532,5
IU/ml
(normal: 0-200 IU/ml), ANA: >1:1000. Tes combs direk (+), indirek (+). Urin esbach 3,8
g/dL, sel LE (+), thorax foto: normal thorax.

22
a. Apa interpretasi dan bagaimana mekanisme abnormal pemeriksaan tambahan?
Tabel 5. Interpretasi dan Mekanisme Abnormal Pemeriksaan Tambahan
Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi dan mekanisme abnormal

MCV 82 fl 80-95 fl Normal

MCH 28 pg 27-34 pg Normal

MCHC 34 g/dl 30-35 g/dl Normal (Normokrom Normositer)

C3 30 mg/dl 74 – 148 mg/dl menurun(akibat C3 dan C4 diendapkan dijaringan


ditambah lagi dengan tersupresi sintesos c3 dan
c4)

C4 5 mg/dl 14 – 29 mg/dl menurun(akibat C3 dan C4 diendapkan dijaringan


ditambah lagi dengan tersupresi sintesos c3 dan
c4)

Anti ds-Dna 532,5 IU/ml 0-200 IU/ml Meningkat (menandakan adanya autoantibodi
yang mengakibatkan terjadinya reaksi kompleks
imun)

- ANA >1:10.000 1:40 Meningkat (indikasi penyakit SLE)

Tes combs direk (+) Tes combs direk (-) Abnormal, menandakan adanya antibodi pada sel
darah merah
Tes combs indirek (+) Tes combs indirek (-)
Abnormal, menandakan adanya antibodi bebas

Urin esbach 3,8 g/dl Tidak ada

Abnormal (Adanya proteinuria)

Sel LE (+) Tidak ada Sel LE Abnormal (menandakan bahwa penderita terkena
SLE)

23
Thoraks foto normal Thoraks foto normal Normal

8. Analisis Aspek Klinis


a. Bagaimana cara penegakan diagnosis pada kasus?
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan
sebagai terpenuhinya minimum kriteria (de initif) atau banyak kriteria terpenuhi
(klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology
(ACR) revisi tahun 1997. Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE dan
pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus (NPSLE), maka dapat
saja kriteria tersebut belum terpenuhi.

Tabel 6. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik berdasarkan Kriteria ARA


No. Kriteria Definisi

1. Bercak malar Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi,
(butterfly rash) cenderung menyebar ke lipatan nasolabial

2. Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic


scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi
parut atrofi.

3. Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada
anamnesis atau pemeriksaan fisik

4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri

5. Artritis Artritis nonerosif pada dua atua lebih persendian perifer,


ditandai dengan nyeri tekan, bengkak, atau efusi

6. Serositif a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub
atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik
atau
b. Perikarditis

24
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction
rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik

7. Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten .0,5g/hr atau pemeriksaan +3 jika


pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan
atau
b. Celluar cast: eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran
8. Gangguan saraf Kejang

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia,


ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

atau

Psikosis

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia,


ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

9. Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah

Anemia hemolitik →dengan retikulositosis

Leukopenia→ <4000/mm3 pada ≥1 pemeriksaan

Limfopenia → <1500/mm3 pada ≥2 pemeriksaan

Trombositopenia→ <100.000/mm3 tanpa adanya intervensi


obat

10. Gangguan Kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal
imunologi antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar tes
sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi
treponema

11. Antibodi Tes ANA (+)


antinuklear

25
Sumber : Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang
diperlukan

b. Apa DD pada kasus?


Tabel 7. Diagnosis Banding Lupus Eritematosus Sistemik
Kasus SLE komplikasi Poliarteritis Nodosa Anemia hemolitik
SN
Sembab (edem) pada + + -
tubuh
Urin warna keruh + + +
demam + + -
Nyeri sendi + - -
Malar rash + - -
Rambut rontok (alopesia) + - -
Sariawan + - -
Lemah dan lelah + + +
Riwayat keturunan + + +
Konjungtiva palpebral + + +
pucat
Sklera subikterik + - +
RBC menurun + + +
Proteinuria + + -
Hematuria + + +
Peningkatan lipid + + -
Hipoalbuminemia + + -
MCV, MCH, MCHC + + +/-
normal
Ada anti ds-dna + - -
Ada sel LE + - -

c. Apa WD dan defisini pada kasus?


Sindroma nefrotik et cause SLE

26
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibodi patogen dan kompleks
imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang bermanifestasi sebagai “lesi
kulit seperti kupu-kupu” di wajah, perikarditis, kelainan ginjal, artritis, anemia dan
gejala-gejala susunan saraf pusat.

d. Apa etiologi pada kasus?


SLE memiliki etiologi yang beragam. Salah satunya yaitu genetik. Kecenderungan
genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada
kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada
individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi
dibandingkan pada populasi umum.
Kemungkinan etiologi yang mengakibatkan munculnya penyakit ini pada kasus adalah
genetik yang ditandai dengan adanya keluhan serupa pada saudara kembar pasien.
Selain itu, faktor pekerjaan sebagai penyadap karet yang rentan terpapar sinar UV juga
dapat berperan dalam munculnya penyakit ini pada pasien.

e. Apa epidemiologi pada kasus?


Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara
prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio
jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang
mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291
Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi
selama tahun 2010.

f. Apa faktor resiko pada kasus?


- Wanita. Frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering dari pada pria dewasa.
-Umur. Lebih sering pada usia 20-40 tahun
-Etnik
-Faktor keturunan. Frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga dimana terdapat anggota
dengan penyakit tersebut.
-Faktor resiko hormone. Estrogen menambah resiko LES, sedangkan endrogen mengurangi
resiko ini.

27
-Sinar ultra violet. Mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga
LES kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi ditempat tersebut sehingga secara sistemik melalui
pererdaran dipembuluh darah.
-Imunitas, pada pasien LES terdapat hiperaktivitas sel B atau toleransi terhadap sel T.
-Obat. Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan dimana dalam
jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus
atau DILE). Jenis obat yang menyebabkan lupus adalah : klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
-Infeksi. Pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakitnya
kambuh setelah infeksi.
-Stress, stres berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan.

g. Bagaimana patofisiologi pada kasus?

Skema 1. Patofisiologi Lupus Eritematosus Sistemik

Peningkatan sel T autorekatif (hilang Faktor pekerjaan (terkena


Faktor keturunan sinar matahari)
toleransi terhadap self antigen)

Overproduksi sel B

Peningkatan autoantibodi yg hilang toleransi

Ikatan Kompleks imun (autoAb-auto Ag) di endotel pembuluh darah

Kompleks imun mengendap di jaringan Rangsang aktivitas makrofag

Berikatan dengan komplemen Pelepasan IL-1

Aktivasi komplemen Demam


Nyeri sendi Opsonisasi, kemotaksis, dan lisis
Ikatan kompleks imun di sendi
Perdarahan disertai nekrosis jaringan Manifes ke kulit:

1.Malar rash
SLE
2.Sariawan

3.Rambut rontok
28
Adanya kompleks imun di MBG
Reaksi warm-Reactive antibodi
Kerusakan pada MBG Hematuria
Hasil pem. Lab:

AIHA Peningkatan permeabilitas  Hb rendah


terhadap protein  Ht rendah
 RBC rendah
 Tes Comb direk dan  Trombosit rendah
indirek positif Proteinuria  LED meningkat
 Sklera subikterik  MCV,MCH,MCHC
 Konjungtiva palpebral Hipoalbuminemia normal
pucat  C3 dan C4 menurun
Urin keruh
 Badan lemah dan  Anti ds-dna meningkat
Edema Anasarka
lemas  Ana meningkat
 Peningkatan  Sel LE
retikulosit Sindrom nefrotik et
h. Bagaimana manifestasi klinis causa
pada kasus?
SLE
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi,
darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun.
Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun,
manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar
31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan
demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis
4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%..

Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:


a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
1. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal,susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:


1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor

Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:

29
1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark
paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis
vena atau arteri.

i. Apa komplikasi pada kasus?


Tabel 8. Komplikasi Lupus Eritematosus Sistemik
No. Organ Komplikasi
1. Ginjal - Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
- Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
- Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui
urin)
2. Jantung dan - Pleuritis
Paru - Pericarditis
- Efusi pleura
- Efusi pericard
- Radang otot jantung atau Miocarditis
- Gagal jantung
- Perdarahan paru (batuk darah)
3. Sistem Saraf a. Sistem Saraf Pusat
- Cognitive dysfunction
- Sakit kepala pada lupus
- Sindrom anti-phospholipid
- Sindrom otak
- Fibromyalgia
b. Sistem Saraf Perifer
- Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki

30
c. Sistem saraf otonom
- Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan
kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan kematian
sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen
(stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf
otonom
4. Kulit a. Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena
langsung cahaya disebut lesi discoid
Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam
pada akhir 70-an:
- Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk
koin sangat sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi
ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute.
Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut
berbentuk koin.
- Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau
dapat mencakup area yang luas di bagian tubuh
b. Lesi non spesifik
- Rambut rontok (alopecia)
- Vaskullitis: berupa garis kecil warna merah pada ujung
lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa
benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok
- Fotosensitivitas: pipi menjadi kemerahan jika terkena
matahari dan kadang di sertai pusing.
5. Sendi dan - Radang sendi pada lupus
Otot - Radang otot pada lupus
6. Darah - Anemia
- Trombositopenia
- Gangguan pembekuan
- Limfositopenia

31
j. Bagaimana tatalaksana dan KIE pada kasus?
1. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan
perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan
masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain
melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir
surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan
berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan
pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit
ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Berikut hal yang perlu disampaikan saat
memberikan konseling:

2. Medikamentosa

32
Bagan 1. Algoritme penatalaksanaan lupus eritematosus sistemik. Terapi SLE sesuai
dengan keparahan manifestasinya.
TR tidak respon, RS respon sebagian, RP respon penuh
KS adalah kortikosteroid setara prednison, MP metilprednisolon, AZA azatioprin,
OAINS obat anti in lamasi steroid, CYC siklofosfamid, NPSLE neuropsikiatri SLE.
Sumber : Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

Tabel 9. Medikamentosa pada SLE

33
34
Sumber : Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap
merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.
Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi
dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah :
Dosis rendah : < 7.5 mg prednison atau setara perhari
Dosis sedang : >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari
Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari
Dosis sangat tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau
beberapa hari
Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus. Dosis rendah
sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi
berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk
krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.

35
Tabel 10. Dosis glukokortikosteroid

Sumber : Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan


Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

Tabel 11. Klasifikasi lupus nefritis menurut WHO

Sumber : Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan


Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

h. Apa prognosis pada kasus?


Dubia ad bonam. Prognosis dapat baik bila ditatalaksana dengan rutin dan baik.

i. Apa SKDI pada kasus?


Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk
3A. Bukan gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan

36
dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.

37
IV. Learning Issue

1. Lupus Eritematosus Sistemik

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai


dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam
tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun,
sehingga mengakibatan kerusakan jaringan.
1.1. Epidemiologi
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,10
dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data
epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di
RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam12, sementara di RS
Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang
berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.
1.2. Etiopatogenesis
Etiopatologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga melibatkan
interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor
lingkungan. Interaksi antara jenis kelamin, status hormonal, dan aksi Hipotalamus-
Hipofisis-Adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis LES. Adanya
gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel
apoptosis dan kompleks imun merupakan konstributor yang penting dalam
perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatknya beban
antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan
respon imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktifitas sel B dan
memproduksi autoantibodi patogenik. Respon imun yang terpapar faktor
eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet atau infeksi virus dalam periode yang
cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun. Terdapat banyak bukti
bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor
lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik memegang
peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara

38
kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen
yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga
berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas
mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen
yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan
C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode
reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin. Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu
studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung
konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi
autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak
pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga
membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit
gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan
respon imun. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada
selfimmunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan
memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA,
serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan
terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan
merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus,
berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik
aromatik.Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus.
Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor
lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada
penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel
permukaan dan apoptosis. Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu
faktor hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa 9
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon
estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktifasi sel B poliklonal sehingga

39
mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES. Autoantibodi pada
lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA).
Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit
dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti
oleh aktifasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan,
termasuk kulit dan ginjal.
1.3. Faktor resiko
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex)
kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan
dengan timbulnya SLE.
2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell)
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali.
Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan
salah mengenali perintah dari sel T.

b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B


Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal. Kelainan antibodi Ada beberapa kelainan

40
antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu
banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan
produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di
jaringan.
c. Faktor Hormonal Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat
estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen
yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen
yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan
tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat
berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein
Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan klebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat.
Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran
pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.

1.4. Manifestasi klinis

41
 Muskuloskeletal: mialgia, atralgia, poliartritis yang simetris dan non-erosif,
deformitas tangan, miopati/miositis.
 Kulit: Butterfly rash, raynaud phenomenon ( gangguan vasospasme pembuluh
darah perifer), purpura, urtikaria, alopesia, fotosensivitas, lesi membran mukosa
dan vaskulitis.
 Paru: Pleuritis, lupus pneumositis, efusi pleura, emboli paru, fibrosis interstisial,
hipertensi pulmonal, acute respiratory distress syndrome (ARDS).
 Kardiologi: Perikarditis, efusi perikardium, infark miokardm gagal jantung
kongestif, valvulitis.
 Ginjal: gagal ginjal, sindrom nefrotik.
 GI tract: Dispepsia, irritable bowel syndrome, pankreatis, vaskulitis mesentrika.
 Neurologi: Gangguan kognitif, nyeri kepala, kejang, TIA, epilepsi, hemiparesis,
meningitis aseptik, mielitis transversal, neuropati perifer.
 Hematologi-limfatik: Limfadenopat generalisata, splenomegali, hepatomegali,
anemia aplastik, anemia penyakit kronis, anemia perniosa, leukopenia, limfopenia,
trombositopenia, anemia hemolitik dan trombosis.
 Gejala konstitusional: Malaise, penurunan BB, demam.

1.5. Diagnosis SLE

42
Tabel 12. Kriteria diagnosis SLE
Sumber: Tanto, chris et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran EDISI IV. Jakarta: FKUI

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitiitas 85%
dan spesiisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif,
maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila

43
hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif
dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka
panjang diperlukan.

1.6. Tatalaksana
Jenis Obat Dosis
Kortikosteroid Tergantung derajat SLE
Klorokuin 250 mg/hari (3,5-4 mg/KgBB/hari)
Azatriopin 50-150 mg/hari, dibagi menjadi 1-3 dosis.
Siklofosfamid 50-150 mg/ hari (per oral)
500 - 750 mg dalam dekstrosa 250 ml. IV selama
1 jam
Metotreksat 7,5-20 mg/minggu. Dosis tunggal atau terbagi
menjadi tiga
Siklosporin A 2,5-5 mg/KgBB atau 100-400 mg/hari dalam 2
dosis (tergantung berat badan)
Mofetil mikofenolat 1000-2000 mg/hari terbagi dalam 2 dosis.
Tabel 13. Tatalaksana SLE
Sumber: Tanto, chris et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran EDISI IV. Jakarta: FKUI
Berdasarkan dosisnya, pemberian kortikosteroid dibedakan menjadi empat derajat.
1. Dosis rendah setara ≤ 7,5 mg prednison/hari (diberikan pada LES ringan)
2. Dosis sedang setara > 7,5 mg. Dosis ≤ 30 mg prednison/hari juga dapat diberikan
pada LES ringan atau aktif.
3. Dosis tinggi setara >30 mg. Pada LES aktif prednison diberikan ≤100mg/hari.
4. Dosis sangat tinggi setara >100 mg prednison/hari. Dosis ini diberikan pada LES
dengan krisis akut (Vaskulitis luas, nefritis lupus, lupus serebral).
5. Terapi pulse setara ≥250 mg prednison/hari. Dosis ini diberikan LES dengan krisis
akut.
6. Pada kasus LES derajat berat/mengancam nyawa, kortikosteroid diberikan dosis
tinggi 1mg/KgBB/hari prednison atau yang setara selama 4-6 minggu. Pemberian
kortikosteroid didahului oleh injeksi metilprednisolom IV 500 mg - 1 g selama 3 hari
berturut-turut.

2. Reaksi Hipersensitivitas

Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik
dan imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel
limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE)

44
dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu
dengan antigen lalu mengadakan diferensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang
mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut. Bilamana suatu alergen
masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur,
maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun.
Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi
hipersensitivitas atau alergi.

Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:

Tipe I : Reaksi Anafilatik

Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini
IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin.
Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.

Tipe II : reaksi sitotoksik

Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM
dengan adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat
mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat menurut
Smolin (1986), reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis ini.

Tipe III : reaksi imun kompleks

Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks


imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan
terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah
kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks, keratitis
karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada
keratitis Herpes simpleks.

Tipe IV : Reaksi tipe lambat

45
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi
(imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal
sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan
antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi
penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan
keratitis diskiformis.

46
V. Kerangka Konsep

Peningkatan sel T autorekatif (hilang Faktor pekerjaan (terkena


Faktor keturunan toleransi terhadap self antigen) sinar matahari)

Overproduksi sel B

Peningkatan autoantibodi yg hilang toleransi

Ikatan Kompleks imun (autoAb-auto Ag) di endotel pembuluh darah

Kompleks imun mengendap di jaringan Rangsang aktivitas makrofag

Berikatan dengan komplemen Pelepasan IL-1

Aktivasi komplemen Demam


Nyeri sendi Opsonisasi, kemotaksis, dan lisis
Ikatan kompleks imun di sendi
Perdarahan disertai nekrosis jaringan Manifes ke kulit:

4.Malar rash
SLE
5.Sariawan
Adanya kompleks imun di MBG
6.Rambut rontok
Reaksi warm-Reactive antibodi
Kerusakan pada MBG Hematuria
Hasil pem. Lab:

AIHA Peningkatan permeabilitas  Hb rendah


terhadap protein  Ht rendah
 RBC rendah
 Tes Comb direk dan  Trombosit rendah
indirek positif Proteinuria  LED meningkat
 Sklera subikterik  MCV,MCH,MCHC
 Konjungtiva palpebral Hipoalbuminemia normal
pucat  C3 dan C4 menurun
Urin keruh
 Badan lemah dan  Anti ds-dna meningkat
Edema Anasarka
lemas  Ana meningkat
 Peningkatan  Sel LE
VI. Kesimpulan
retikulosit Sindrom nefrotik et
causa SLE
Tn. RS, 25 tahun, seorang buruh penyadap karet, mengeluhkan sembab dan urin berwarna
keruh karena Sindroma Nefrotik dan Anemia Penyakit Kronik et causa SLE (Systemic
Lupus Erythematosus).

47
48
DAFTAR PUSTAKA

Kasjmir YI, Handono K, Wijaya LK, et al. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik. 2011. Perhimpunan Reumatologi Indonesi
Chang, Esther, dkk. 2009. Patofisiologi Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Mrdikal-Bedah Volume 2. Jakarta:


EGC.

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses

Proses Penyakit Buku 2 Edisi 4. Jakarta: EGC.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius.

Tanto, chris et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran EDISI IV. Jakarta: FKUI

49

Anda mungkin juga menyukai