oleh
5. Patofisiologi
Virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau
berada dalam sel limfosit. Virus ini masuk ke dalam tubuh dan terutama
menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4+. Secara imunologis, sel T
yang terdiri atas limfosit T-helper disebut limfosit CD4+ akan mengalami
perubahan secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, lapisan luar HIV
yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Secara tidak
langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24
berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor
CD4+ dan co-reseptor bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan
membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian
inti terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA polimerase
dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA polimerase
menyusun copy DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan
RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk copy DNA kedua dari
DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja,
2000 dalam Kurniawati & Nursalam, 2007:41-42).
Setelah terbentuk, kode genetik DNA berupa untai ganda akan masuk ke
inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copy dari virus disisipkan
dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+ kemudian
bereplikasi, menyebabkan sel limfosit CD4+ mengalami sitolisis. Virus HIV
yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai
macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel
hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus,
dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak
adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis. Gejala-gejala
klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien
setelah beberapa waktu lamanya karena tidak mengalami kesembuhan. Pasien
yang terinfeksi virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama
bertahun-tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut, sel CD4 + mengalami
penurunan jumlah dari 1000/µl sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/µl
setelah terinfeksi dalam kurun waktu 2-10 tahun (Stewart, 1997 dalam
Kurniawati & Nursalam, 2007:42). Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan
kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau
tahun :
a. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL
darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV jumlahnya
menurun sebanyak 40-50% dan selama masa ini penderita bisa menularkan
HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam
darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi.
b. Setelah sekitar 6 bulan kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit
CD4+ yang rendah membantu dalam menentukan orang-orang berisiko
tinggi menderita AIDS.
c. Satu sampai 2 tahun sebelum terjadinya AIDS jumlah limfosit CD4+
biasanya menurun drastis, jika kadarnya mencapai 200 sel/ml darah, maka
penderita menjadi rentan terhadap infeksi dan timbul penyakit baru yang
menyebabkan virus berproliferasi dan menjadi infeksi yang parah dimana
terjadi infeksi oportunistik yang didiagnosis sebagai AIDS yang dapat
menyerang berbagai sistem organ, seperti paru, gastrointestinal, kulit, dan
sensori saraf. Pada paru-paru dapat terjadi peradangan dan terjadi
peningkatan produksi mukus yang menimbulkan masalah bersihan jalan
nafas tidak efektif, perubahan pola nafas, gangguan pola tidur dan nyeri.
Pada peradangan dapat muncul masalah hipertermi. Pada gastrointestinal
terjadi diare dan jamur pada mulut yang memunculkan masalah diare,
kekurangan volume cairan dan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan.
Pada neuro terjadi penurunan fungsi transmitter sehingga timbul masalah
perubahan proses pikir. Di kulit terjadi lesi yang dapat memunculkan
masalah nyeri dan kerusakan integritas kulit (Price & Wilson, 2005).
6. Manifestasi Klinis
WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit klinis
dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan minor.
Seseorang yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa di
diagnosis HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium lain.
Berikut ini adalah tanda dan gejala mayor dan minor untuk mendiagnosis HIV
berdasarkan klasifikasi WHO.
1) Gejala mayor:
a) Gagal tumbuh atau penurunan berat badan
b) Diare kronis
c) Demam memanjang tanpa sebab
d) Tuberkulosis
2) Gejala minor:
a) Limfadenopati generalisata
b) Kandidiasis oral
c) Batuk menetap
d) Distres pernapasan/pneumonia
e) Infeksi berulang
f) Infeksi kulit generalisata (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012).
7. Pencegahan
Pencegahan HIV dianjurkan melalui pendekatan ABCD yaitu:
1) A atau Adstinence yaitu menunda kegiatan seksual, tidak melakukan
kegiatan seksual sebelum menikah;
2) B atau Be faithful yaitu saling setia pada pasangannya setelah menikah;
3) C atau Condom yaitu menggunakan kondom bagi orang yang melakukan
perilaku seks berisiko;
4) D atau Drugs yaitu tidak menggunakan napza suntik agar tidak
menggunakan jarum suntik bergantian dan secara bersama-sama.
Upaya pencegahan juga dilakukan dengan cara memberikan KIE
(Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai HIV/AIDS kepada
masyarakat agar tidak melakukan perilaku berisiko, khususnya pada remaja.
Ada lima tingkat pencegahan (Five level prevention) menurut Level & Clark
yaitu:
1) Promosi Kesehatan (health promotion)
2) Perlindungan khusus (spesific protection)
3) Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt
treatment)
4) Pemabatasan cacat (disability limitation)
5) Rehabilitasi (rehabilitation)
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Uji Imunologi
Uji imunologi bertujuan untuk menemukan adanya respon antibodi
terhadap HIV dan juga digunakan sebagai test skrining.
a. Test ELISA
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA), merupakan uji
penapisan infeksi HIV yaitu suatu tes untuk mendeteksi adanya antibody
yang dibentuk oleh tubuh terhadap virus HIV. ELISA memiliki sensitifitas
yang tinggi, yaitu > 99,5%. Dianjurkan agar pemeriksaan ELISA dilakukan
setelah setelah minggu ke 12 setelah seseorang dicurigai terpapar ( beresiko)
untuk tertular virus HIV,misalnya aktivitas seksual berisiko tinggi atau
tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan
dengan sampel darah vena, air liur, atau urine.
b. Radioimmunoassay (RIA)
Prinsip dasar dari RIA adalah reaksi suatu antibody dalam konsentrasi
yang terbatas dengan berbagai konsentrasi antigen.
c. Imunokromatografi/ Rapid Test
a) Reaksi langsung (Double AntibodySandwich)
b) Reaksi kompetitif (Competitive inhibition)
Prosedur pemeriksaan untuk HIV menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat
menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1)
harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk
pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi
(≥99%). Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3
bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan
dalam masa jendela menunjukkan hasil ‘negatif’, maka perlu dilakukan tes ulang,
terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.
Tabel 5. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1
d. Wastern Blot
Pemeriksaan Western Blot merupakan uji konfirmasi dari hasil reaktif ELISA
atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif.
e. Indirect Fluorescent Antibody (IFA)
IFA juga merupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Uji ini sederhana
untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal
dari uji Western blot.
2) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk
menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA atau RNA HIV-1 dan test untuk
komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24), dan PCR
test.
b. Pemeriksaan lainnya
a) Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau
adanya komplikasi lain
b) Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
c) Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
d) Biopsis
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
e) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan
paru-paru
f) Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi HIV, maka sistem imun akan bereaksi dengan
memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam
3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini
menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak
memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif,
kemampuan mendeteksi antibody HIV dalam darah memungkinkan
skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostik.
9. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV, dilakukan serangkaian layanan yang
meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis, dan penilaian
virologi. Hal tersebut untuk menentukan apakah pasien sudah memenuhi
syarat untuk terapi antiretroviral, menilai status supresi imun pasien,
menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi, dan
menentukan paduan obat ARV yang sesuai (Direktotat Jenderal PP & PL,
2011).
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang
dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur
hidupnya. Untuk ODHA yanng akan memulai terapi ARV dalam keadaan
jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm 3 maka dianjrkan untuk memberikan
Kontrimoksasol (1x960 mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi
ARV. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kepatuhan pasien untuk minum
obat, dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara
Kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV
mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol
(Direktotat Jenderal PP & PL, 2011).
Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan
penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Berikut adalah rekomendasi cara
memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis.
2. Tersedia pemeriksaan CD4
a. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya
b. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu
hamil, dan ko infeksi hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
3. Limfosit total <1000 -1200/µ dapat diganti dengan CD4 dan dijumpai
tanda-tanda HIV. Hal ini pada pasien tanpa gejala (stadium 1 menurut
WHO) hendaknya jangan dilakukan pengobatan karena belum adanya
petunjuk mengenai tingkatan penyakit.
4. Pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium III yang lanjut
termasuk kambuh luka pada mulut yang sukar sembuh dan infeksi pada
mulut yang berulang dengan tidak memperhatikan hasil pemeriksaan
CD4 dan limfosit total (Nursalam, 2007).
Tabel 5. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa
Sumber: Direktotat Jenderal PP & PL, 2011
Obat ARV bekerja untuk menghambat replikasi virus dalam tubuh pasien.
Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV sebelum pasien jatuh sakit
atau munculnya IO yang pertama. Tujuan pemberian terapi ARV adalah untuk
menurunkan HIV RNA menjadi dibawah 5000 copies/µ dan peningkatan CD4
diatas 500 cell/µl. Pemberian terapi ini akan memperlambat perkembangan
HIV dan mencegah IO.
Rekomendasi WHO dalam pemberian ARV adalah kombinasi 3 obat ARV
yaitu sebagai berikut.
1. Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI), menghambat proses
perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat
bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk zidovudine (ADX atau
AZT), lamivudine (3TC), didanosine (ddl), zalcitabine (ddC), stavudine
(d4T), dan abacavir (ABC).
2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), bekerja dengan
menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA dengan cara mengikat
reverse transcriptase sehingga tidak berfungsi.
3. Protease inhibitor (PI), menghalangi kerja enzim protease yang berfungsi
memotong DNA yang dibentuk oleh virus dengan ukuran yang benar untuk
memproduksi virus baru, contoh obat golongan ini adalah indinavir (IDV),
nelvinavir (NFV), squinavir (SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV),
dan loponavir/ritonavir (LPV/r).
4. Fusion inhibitor, mencegah masuknya HIV ke target sel dengan cara
berikatan dengan amplop protein disekitar virus, yang termasuk golongan
ini adalah enfuvirtide (T-20).
b. Non Farmakologi
Selain melalui pengobatan orang dengan HIV/AIDS juga perlu didukung
pada pola nutrisi dan olahraganya (Nursalam, 2007).
1. Pemberian Nutrisi
Pasien dengan HIV/AIDS (ODHA) sangat membutuhkan beberapa unsur
vitamin dan mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari apa yang
biasanya diperoleh dalam makanan sehari-hari. Sebagian besar ODHA akan
mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan
(New Mexico AIDS Infonet, 2004 & Falma Foundation, 2004). Dalam
beberapa hal, HIV sendiri akan perkembangan lebih cepat pada ODHA yang
mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Kondisi tersebut sangat
berbahaya bagi ODHA yang mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Vitamin dan mineral juga berfungsi untuk meningkatkan kemampuan tubuh
dalam melawan berkembangnya HIV dalam tubuh (Yayasan Kerti Praja, 2002
& William, 2004). HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan
penyerapan nutrient. Hal ini berhubungan dengan menurunnya atau habisnya
cadangan vitamin dan mineral dalam tubuh. Defisiensi vitamin dan mineral
pada ODHA dimulai sejak masih stadium dini. Walaupun jumlah makanan
ODHA sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat, tetapi akan tetap terjadi
defisiensi vitamin dan mineral (Anya, 2002).
2. Aktivitas dan Olahraga
Hampir semua organ berespon terhadap stres olahraga pada keadaan akut.
Olahraga yang dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi organ tubuh
yang berefek menyehatkan. Olah raga yang dilakukan secara teratur
menghasilkan perubahan pada jaringan, sel, dan protein pada sistem imun.
B. Pathway
Transmisi HIV ke dalam tubuh melalui darah, cairan
vagina/sperma ASI / cairan tubuh ibu yg infeksius
Mengikat molekul
CO4
Infeksi opurtunistik
Peradangan mulut
Hipertermi
Sistem Pernafasan Sistem Pencernaan Sistem integumen
Sistem Neurologi
Ketidakefektifa
n pola nafas
Peradangan pada Infeksi jamur Peradangan kulit
Infeksi di usus
jaringan paru Mennyerang SSP
Produksi ATP
Intoleransi aktivitas Kelemahan fisik menurun
b. Aktivitas seksual yang tidak aman seperti berganti pasangan tanpa
pengaman
c. Riwayat pekerjaan
d. Riwayat travelling
e. Gangguan mental
3) Riwayat kesehatan
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan
imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens.
Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum
berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang
berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia
aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan
penyakit seperti ini harus dianggap sebagai faktor penunjang saat
mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes
dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
a. Kerusakan respon imun seluler (LimfositT )
Terapiradiasi,defisiensi nutrisi, penuaan, aplasiatimik, limpoma,
kortikosteroid, globulin anti limfosit,disfungsi timik congenital.
d. B4 Brain
Ataxia, tremor, sakit kepala (toxoplasmosis), kurang kordinasi (ADC),
kehilangansensori, apasia, kehilangan konsentrasi (ADC), kehilangan
memori (ADC=AIDS Dementia Complex), apatis, depresi, penurunan
kesadaran, kejang (Toxoplasmosis), paralysis, dan koma
e. B5 Bone
Muscle Wasting
f. B6 Bladder
Inspeksi
Perubahan warna dan karakteristik urin
Palpasi
Nyeri tekan daerah suprapubik
Tabel 6. Pengelompokan Masalah Keperawatan Pasien HIV/AIDS
(Menurut Teori Adaptasi)
Masalah Fisik Masalah Psikis Masalah Sosial Masalah
Ketergantungan
1. Sistem Pernapasan : 1. Integritas Ego: Perasaan minder Perasaan membutuhkan
Dyspnea, TBC, Perasaan tak dan tak berguna di pertolongan orang lain
Pneumonia berdaya atau masyarakat
2. Sistem putus asa Interaksi sosial:
Pencernaan:Nausea- 2. Faktor stress: perasaan terisolasi
Vomiting, Diare, baru/lama atau ditolak
Dysphagia, BB turun 3. Respon
10% selama 3 bulan psikologis:
3. Sistem Persarafan: denial, marah,
letargi,nyeri sendi, cemas, iritable
encelopathy.
4. Sistem Integumen:
Edema yang
disebabkan Kapsosis
Sacroma, Lesi di kulit
atau mukosa, dan
alergi
5. Lain-lain : Demam,
resiko menularkan
2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
sekret (00031/hal. 406)
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi
(00032/hal. 243)
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan (00002/hal. 177)
4. Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal: kuman pathogen
usus atau infeksi HIV (00013/hal. 216)
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
(00027/hal. 193)
6. Hipertemia berhubungan dengan peningkatan metabolism tubuh
(00007/hal. 457)
7. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis:infeksi (00132/hal.
469)
8. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi:
lesi, ruam di kulit (00046/hal. 425)
9. Keletihan berhubungan dengan kelesuan fisiologis:penyakit (00090/hal.
239)
10. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan (00092/hal. 241)
11. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan (00146/hal.
343)
12. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan citra tubuh
(00120/hal.291)
13. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit: ruam dan lesi pada
kulit (00118/hal. 293)
14. Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan konsep diri
(00052/hal. 321)
15. Distress spiritual berhubungan dengan ancaman kematian (00066/hal.
397)
16. Risiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi (00004/hal. 405)
17. Resiko cedera berhubungan dengan difungsi imun (00035/hal. 412)
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Perencanaan
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
b. Keseimbangan cairan
Indikator 1 2 3 4 5
Tekanan darah
Serum
elektrolit
Hematokrit
Keterangan:
1 : sangat terganggu
2 : banyak terganggu
3: cukup terganggu
4 : sedikit terganggu
5 : tidak terganggu
5 Hipertermia Setelah diberikan tindakan 1. Observasi tanda – tanda vital terutama 1. Mengetahui kondisi umum
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam suhu tubuh
proses penyakit (reaksi diharapkan hipertermi dapat 2. Berikan kompres hangat pada daerah 2. Bantu menurunkan panas
antigen antibodi). teratasi. dahi dan ketiak
Kriteria Hasil : 3. Ganti pakaian yang telah basah oleh 3. Sirkulasi berlangsung baik
Suhu tubuh kembali normal keringat
antara 36,5 – 37,50C 4. Anjurkan keluarga untuk memberikan 4. Dapat mencegah terjadinya dehidrasi
minum yang banyak, kurang lebih 1500
– 2000 cc
NOC : 5. Kolaborasi dengan dokter dalam 5. Dapat menurunkan suhu tubuh pasien
Termoregulasi : pemberian obat penurun panas
Indikator 1 2 3 4 5 (antipiretik) seperti paracetamol.
Peningkatan
suhu kulit
hipertermia
dehidrasi
Keterangan:
1 : berat
2 : cukup berat
3: sedang
4 : ringan
5 : tidak ada
6 Keletihan berhubungan Setelah diberikan tindakan 1. Bantu pasien melakukan personal 1. Menjaga kebersihan tubuh pasien agar
dengan anemia, status keperawatan selama 1 x 24 jam higiene meminimalkan infeksi
penyakit, malnutrisi, diharapkan keletihan dapat 2. Ajarkan keluarga untuk 2. Memandirikan keluarga pasien
peningkatan kelelahan teratasi melakukan personal higiene
fisik Dengan kriteria hasil: 3. Motivasi pasien untuk melakukan 3. Mendorong pasien untuk melatih tubuh
Pasien dapat melakukan aktivitas sesuai kemampuan pasien. pasien
aktivitas dengan optimal
Perawat/keluarga dapat
membantu pasien dalam
melakukan aktivitas dan
pemenuhan ADL pasien
NOC:
Tingkat kelelahan
Indikator 1 2 3 4 5
Kegiatan
sehari-hari
(ADL)
Keseimbangan
antara keiatan
dan istirahat
kesadaran
hematokrit
Keterangan:
1 : sangat terganggu
2 : banyak terganggu
3: cukup terganggu
4 : sedikit terganggu
5 : tidak terganggu
7 Intoleransi aktivitas Setelah diberikan tindakan 1. Mengkaji frekuensi nadi pasien, 1. Dilakukan agar perawat mengetahui tingkat
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 24 jam peningkatan tekanan darah, ada atau kelemahan pasien, serta bisa mengambil
kelemahan umum, diharapkan pasien dapat tidaknya nyeri dada, kelelahan berat, tindakan yang tepat untuk menangani
ketidakseimbangan beraktivitas secara normal. keringat, kondisi pasien pusing atau masalah pasien
antara suplai dan Dengan kriteria : pingsan.
kebutuhan oksigen ke Menunjukkan peningkatan 2. Mengkaji kesiapan pasien beraktivitas 2. Untuk menyeimbang-kan kondisi pasien
jaringan. yang dapat diukur dalam serta perawatan diri antara istirahat dan aktivitas
toleransi aktivitas 3. Membantu pasien melakukan aktivitas 3. Untuk melatih jantung secara perlahan,
Tekanan darah pasien normal secara bertahap meningkatkan konsumsi oksigen saat
(110-120/ 60-80 mmHg) beraktivitas secara bertahap untuk mencegah
NOC: peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung
Toleransi terhadap aktivitas 4. Mengatur dan membatasi aktivitas 4. Untuk menjaga keseimbangan suplai dan
Indikator 1 2 3 4 5 pasien kebutuhan oksigen dengan teknik
5. Tetap membantu mobilisasi dan penghematan energi
aktivitas pasien 5. Untuk mencegah kelemahan pada otot dan
Frekuensi nadi
tulang
ketika
beraktivitas
Frekuensi
pernapasan
ketika
beraktivitas
Tekanan darah
sistolik ketika
beraktivitas
Tekanan darah
diastolik
ketika
beraktivitas
Kemudahan
dalam
melakukan
ADL
Keterangan:
1 : sangat terganggu
2 : banyak terganggu
3: cukup terganggu
4 : sedikit terganggu
5 : tidak terganggu
8 Ketidakseimbangan Setelah diberikan askep selama 2 1. Kaji integritas mukosa oral dan 1. Berguna dalam mendefinisikan derajat/
nutrisi : kurang dari x 24 jam diharapkan pasien dapat timbang berat badan. Catat derajat luasnyamasalah dan pilihan intervensi yang
kebutuhan tubuh mempertahankan status nutrisi kekurangan berat badan dan tonus otot. tepat
berhubungan dengan adekuat dengan kriteria hasil : 2. Pastikan pola diet biasa pasien yang 2. Membantu dalam mengidentifikasi
ketidakmampuan Berat badan pasien disukai/ tidak disukai kebutuhan/ kekuatan khusus. Pertimbangan
menelan makanan, mengalami peningkatan keinginan individu dapat memperbaiki
ketidakmampuan untuk Mukosa bibir lembab dan 3. Dorong pasien makan sedikit dan masukan diet
mencerna makanan, tidak pucat sering dengan makanan tinggi protein 3. Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa
ketidakmampuan untuk Tonus otot meningkat dan karbohidrat kelemahan yang tak perlu/ kebutuhan energy
mengabsorpsi nutrien Hasil pemeriksaan albumin dari makan – makanan yang banyak dan
dan protein dalam batas 4. Pantau masukan/pengeluaran secara menurunkan iritasi gaster
normal (Albumin 3,40 – 4,80 periodic 4. Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi
g/dL dan protein 6,40 – 8,30 5. Dorong dan berikan periode istirahat dan dukungan cairan
d/dL ) sering 5. Membantu menghemat energy khususnya
6. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium bila kebutuhan metabolic meningkat saat
(protein dan albumin) demam
6. Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan
7. Berikan suplemen tambahan/ menunjukkan kebutuhan intervensi/
NOC : multivitamin perubahan program terapi
a. Status nutrisi 7. Memberikan nutrisi tambahan bagi tubuh
Indikator 1 2 3 4 5
Asupan
makanan
Asupan cairan
Energi
Rasio BB/TB
Keterangan:
1 : sangat menyimpang dari
rentang normal
2 : banyak menyimpang dari
rentang normal
3: cukup menyimpang dari
rentang normal
4 : sedikit menyimpang dari
rentang normal
5 : tidak menyimpang dari
rentang normal
b. Status nutrisi:
pengukuran biokimia
biokimia
Indikator 1 2 3 4 5
Serum
albumin
Hemoglobin
Hematokrit
Gula darah
Keterangan:
1 : sangat menyimpang dari
rentang normal
2 : banyak menyimpang dari
rentang normal
3: cukup menyimpang dari
rentang normal
4 : sedikit menyimpang dari
rentang normal
5 : tidak menyimpang dari
rentang normal
9 Nyeri akut Setelah diberikan tindakan 1. Kaji nyeri (skala, intensitas, waktu, 1. Untuk mengetahi tingkat nyeri
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 24 jam kualitas)
agen cedera fisik (lesi diharapkan nyeri yang dirasakan 2. Ajarkan tehnik relaksasi 2. Teknik relaksasi dapat mengurangi rasa
pada mulut, berkurang nyeri
esophagus, dan Dengan kriteria 3. Kolaborasi pemberian analgesik 3. Dapat mengurangi rasa nyeri
lambung) Menyatakan nyeri yang
dirasakan hilang
Skala nyeri < 7
Tanda-tanda vital dalam
batas normal ((RR= 16-24
x/mnt, TD= 110-120/ 60-80
mmHg, S= 36,5-37,20C, N=
60-80 x/mnt)
NOC:
a. Tingkat nyeri
Indikator 1 2 3 4 5
Nyeri yang
dilaporkan
Panjang
episode nyeri
Mengerang
dan menangis
Ekspresi nyeri
wajah
Kehilangan
nafsu makan
Intoleransi
makanan
Keterangan:
1 : berat
2 : cukup berat
3: sedang
4 : ringan
5 : tidak ada
b. Kontrol nyeri
Indikator 1 2 3 4 5
Mengenali
kapan terjadi
nyeri
Menggambark
an faktor
penyebab
Melaporkan
perubahan
terhadap
gejala nyeri
Melaporkan
nyeri
terkontrol
Menggunakan
tindakan
pengurangan
nyeri tanpa
analgesik
Keterangan:
1 : tidak pernah menunjukkan
2 : jarang menunjukkan
3: kadang-kadang
menunjukkan
4 : sering menunjukkan
5 : secara konsisten
menunjukkan
10 Risiko infeksi Setelah diberikan tindakan 1. Monitor tanda-tanda infeksi baru. 1. Untuk pengobatan dini
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam 2. Gunakan teknik aseptik pada 2. Mencegah pasien terpapar oleh kuman
penyakit kronis, diharapkan pasien akan bebas setiap tindakan invasif. Cuci tangan patogen yang diperoleh di rumah sakit.
pertahanan tubuh infeksi oportunistik dan sebelum meberikan tindakan.
sekunder yang tidak komplikasinya. 3. Anjurkan pasien metoda 3. Mencegah bertambahnya infeksi
adekuat Dengan kriteria hasil : mencegah terpapar terhadap
(mis.penurunan Tidak ada tanda-tanda lingkungan yang patogen.
hemoglobin, infeksi baru 4. Kumpulkan spesimen untuk tes 4. Meyakinkan diagnosis akurat dan
leukopenia, Hasil Lab tidak lab sesuai indikasi. pengobatan
supresi/penurunan menunjukan adanya 5. Atur pemberian antiinfeksi sesuai 5. Mempertahankan kadar darah yang
respon inflamasi), infeksi oportunis, kadar indikasi. terapeutik
prosedur invasif, leukosit dalam batas
malnutrisi, kerusakan normal(5-10 x 109/liter)
jaringan kulit Tanda vital dalam batas
normal, (TD: 110-
120/60-80mmHg, RR:
16-24x/mnt, N: 60-
80x/mnt, S: 36,5-37,20C)
Tidak ada luka atau
eksudat
NOC:
Status imunitas
Indikator 1 2 3 4 5
Fungsi
gastrointestinal
Skrining untuk
infeksi saat ini
Titer antibodi
Tingkat sel T4
Tingkat sel T8
Keterangan:
1 : sangat terganggu
2 : banyak terganggu
3: cukup terganggu
4 : sedikit terganggu
5 : tidak terganggu
4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi
keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP dimana:
S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi
D. Discharge Planning
Discharge planning pada pasien dengan HIV/AIDS adalah:
1. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuksegera menghubungi tim
kesehatan atau segera menuju ke pelayanan kesehatan apabila terjadi
tanda – tanda dan gejala infeksi.
2. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuk mengamati respon
terhadap pengobatan dan memberitahu dokter tentang adanya efek
samping.
3. Memberitahukan pada pasien dan keluarga tentang penjadwalan
pemeriksaan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Family Health International. 2004. VCT Toolkit: HIV Voluntary Counseling and
Testing: A Reference Guide for Counselors and Trainers. Arlington: USAID.
Kurniawati, Ninuk Dian, dan Nursalam. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien
Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.
Moorhead, S., Johnson, M., Meridean L. Maas., & Swanson, E. 2013. Nursing
Outcome Classification. Oxford: Elcevier.
Murni, Green, Djauzi, Setiyanto, Okta. 2009. Hidup dengan HIV/AIDS. Jakarta:
Spiritia.