Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH PRAKTIKUM KEPANITERAAN

ILMU BEDAH MULUT


PENATALAKSANAAN PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTI SERTA
PEMBACAAN HASIL CRI

Disusun Oleh:
Nitya Apsari 07/250564/KG/8159
Arghi Charisma P 07/253987/KG/8221
Rifa Etika 07/250547/KG/8157
Retno Widyaningtyas 07/250380/KG/8143

BAGIAN INSTALASI BEDAH MULUT


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR.SADJITO
YOGYAKARTA
2013
A. PENDAHULUAN

Dental Medical Compromised Patient adalah penanganan pasien pada


pasien dengan keadaan medical compromised, sehingga dibutuhkan modifikasi
perawatan dental. Pada beberapa pasien dengan medical compromised juga
dibutuhkan konsultasi medis, diantaranya:
1. Pasien-pasien yang telah diketahui memiliki masalah medis, yang
dijadwalkan untuk perawatan dental (baik rawat jalan maupun rawat inap)
dan tidak memiliki gambaran yang cukup mengenai status medisnya saat
ini.
2. Pasien dengan abnormalitas yang dideteksi selama anamnesis dan
pemeriksaan fisik atau pemeriksaan laborat tetapi pasien belum pernah
menyadari sebelumnya.
3. Pasien dengan risiko tinggi, pada beberapa kasus penyakit dalam.
4. Pasien yang membutuhkan informasi medis tambahan untuk penetapan
diagnosis pada perawatan dental ataupun penyakit-penyakit orofacial.
(Greenberg dkk., 2008)
Riwayat medis penting dilakukan pada setiap pasien yang menerima
perawatan dental. Pemeriksaan pasien dalam bentuk tanya jawab, dimana dokter
menanyakan beberapa pertanyaan kepada pasien, kemudian pasien menceritakan
dalam bahasanya (anamnesis) kemudian dicatat. Penyakit-penyakit kardiovaskular
yang biasa dihadapi dalam praktek dental , antara lain:
a. Heart Failure

Heart failure bukan merupakan penyakit tetapi merupakan sekumpulan


sindrom klinis dari masalah-masalah kardiovaskuler seperti jantung koroner dan
hipertensi. Pasien-pasien dengan gagal jantung memiliki risiko yang tinggi pada
kejadian infark miokardial, aritmia, gagal jantung akut, atau kematian mendadak,
dan secara keseluruhan tidak dapat dilakukan perawatan dental. Posisi kursi gigi
akan mempengaruhi sistem napas, dan beberapa pasien tidak toleran terhadap
posisi supine. Anestesi dengan vasokosntriktor harus dihindari.

1
b. Heart Attack

Pasien-pasien dengan riwayat serangan jantung (Infark Myocardium) atau


baru saja mendapatkan serangan jantung tidak boleh dilakukan perawatan dental.
Perawatan dental dengan vasokonstriktor dapat menimbulkan interaksi dengan
medikasi yag didapatkan seperti obat-obat antiangina, antikoagulan,adrenergic
bloking agent.

c. Angina Pectoris

Nyeri singkat substernal sebagai hasil dari myocardial iskemik, yang


sering disebabkan oleh aktivitas fisik, dan stress emosional. Penggunaan
vasokonstriktor harus dihindari. Reduksi stress dan kecemasan selama perawatan
dental perlu dilakukan.

d. Tekanan darah tinggi

Pasien dengan tekanan darah diatas 140/90 mmHg harus dilakukan


penulusuran riwayat medisnya. Pasien dengan tekanan darah tinggi harus
ditanyakan apakah mengkonsumsi obat antihipertensi atau tidak. Tindakan dental
tidak boleh dilakukan sama sekali pada pasien dengan tekanan darah 180/110
dengan riwayat tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol.

e. Murmur Jantung

Murmur jantung disebabkan oleh turbulensi pada aliran darah yang


menghasilkan suara bergetar selama jantung berdegup. Turbulensi yang terjadi
dapat diakibatkan dari keadaan fisiologis normal atau keadaan patologis abnormal
dari katup jantung, pembuluh darah di jantung, atau keduanya. Pada perawatan
dental perlu diselidiki hal apa yang mendasari terjadinya murmur jantung tersebut
untuk menghindari penyakit-penyakit jantung lainnya.

B. INTERAKSI OBAT KELAINAN JANTUNG DENGAN PERAWATAN


DENTAL
Terdapat berbagai jenis obat jantung yang bereaksi dengan obat yang
sering digunakan dalam perawatan dental dan sebagian obat juga bermanifestasi

2
dalam rongga mulut sehingga perlu diperhatikan dalam perawatan dental.
Biasanya obat jantung juga digunakan secara kombinasi oleh penderita. Obat yang
digunakan untuk penderita penyakit kradiovaskuler adalah golongan alpha and
beta adrenergic blockers, calcium channel blockers, sodium channel blockers,
potassium channel blockers, diuretics, ACE inhibitors, phenytoin, anticoagulants,
angiotensin inhibitors, nitrates, platelet aggregation inhibitors, dan statins.
Penyakit jantung yang parah terdiri dari dua diuretik dan antihipertensi dan
lainnya adalah kombinasi calcium channel blockers and ACE inhibitors juga
terkadang digunakan. Pada pasien transplatasi hati juga menggunakan
imunosupresan. Maka dari itu diperlukan informasi pengobatan yang digunakan
dan berapa lama obat tersebut (Collins, 2008).
Sebagian besar pasien dengan gagal jantung kongestif menggunakan terapi
antiplatelat dan antikoagulan untuk mencegah terjadinya tromboemboli. Berikut
merupakan obat-obat yang sering digunakan pada pasien gagal jantung kongestif
serta interaksinya dengan prosedur dental :

a. Obat anti platelet


Platelet merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan alur
hemostatik pada saat terjadi injuri dan penting dalam pembentukan trombosis
pada arteri yang dapat meneyebabkan infark miokardial dan isemik stroke. Obat
antiplatelet yang sering digunakan adalah asa asetil salisilat, clopidogrel, dan
dipyridamole(Pototski dan Amenabar, 2007).

1. Asam asetil salisilat/ aspilet

Aspilet digunakan sebagai terapi alternatif untuk mencegah tromboemboli


pada pasien atrial fibrilasi yang tidak dapat menggunakan warfarin, pericarditis
yang berhubungan dengan miocardial infraksi dan trombopropilkasi pada pasien
yang menggunakan katup buatan (Anonim, 2010). Aspilet adalah NSAID untuk
mencegah tromboemboli. Mekanismenya bersifat irreversibel dengan
menghambat asam arakidonat pada aktivitas siklooksigenase pada platelet, serta
menghambat laju tromboksan A2 yang terjadi setelah aktivasi posposilat A2 serta
melepaskan asam arakidonat. Tromoxan A2 adalah agonist platelet yang kuat,

3
yang memacu sekresi granular platelet dan juga agregasi platelet. Dosis
rekomendasi adalah 75-150 mg untuk pencegahan jangka panjang (Pototski dan
Amenabar, 2007).

Kontra indikasi hipersensitif akan NSAID, asma, rhinitis, polip hidung,


gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VII dan IX), anak usia kurang dari
16 tahun untuk infeksi virus, hamil (Anonim, 2010).

Apabila pasien akan menjalani prosedur bedah menurut ASA jika


memungkinkan sebaiknya dihindari dalam 1-2 minggu sebelum operasi mayor
untuk mengurangi risiko perdarahan, kecuali bagi pasien dengan stent jantung
yang digunakan sebagai terapi antiplatelet seperti aspirin dan clopidogrel maka
sebaiknya berdiskusi dengan kardiologis (Anonim, 2010).

Reaksi yang tidak diinginkan adalah adanya perdarahan, pada


cardiovaskular dapat menyebabkan disaritmia, edema, hipertensi, takikardi. Jika
digunakan dengan kortikosteroid sistemik dapat menyebabkan ulserasi
gastointestinal dan perdarahan. Kortikosteroid dapat menurunkan konsentrasi
serum salisilat, penarikan kortikosteroid dapat berakibat pada toksisitas salisilat.
Penggunaan bersama heparin dapat mengganggu kerja heparin. Vitamin K
Antagonists (contohnya warfarin), salisilat dapat merubah efek antikoagulan
Vitamin K Antagonists (Anonim, 2010).

Hubungan aspilet untuk penyakit kardiovaskular adalah untuk mencegah


terjadinya miokardiak infraksi sebagai pencegahan utama pada laki laki usia 45-
79 tahun dan wanita usia 55-79 tahun, serta untuk pasien usia >80 tahun
direkomendasikan untuk mencegah coronaru heart disease (CHD) serta semua
resiko perdarahan yang rendah di gastrointestianal. Aspirin juga digunakan
sebagai pencegahan sekunder digunakan pada unstable angina, mengurangi angina
berulang, miokardial infraksi non vatal, dan kematian. Aspirin mengurangi iskemi
dan infrak, stroke, kematian akibat infrak. Apabila pasien memiliki sindrom akut
korener tetapi belum meminum aspirin, dosis pertama yang digunakan adalah
dengan mengunyah cepat untuk menjaga tekanan darah (Anonim, 2010).

4
2. Clopidogrel

Clopidogrel adalah obat golongan antiagregasi trombosit atau antiplatelet


yang bekerja secara selektif menghambat ikatan Adenosine Di-Phosphate (ADP)
pada reseptor ADP di platelet, yang sekaligus dapat menghambat aktivasi
kompleks glikoprotein GPIIb/IIIa yang dimediasi oleh ADP, yang dapat
menimbulkan penghambatan terhadap agregasi platelet. Clopidogel 75 mg/hari
selama 9-12 bulan terutama setelah pemasangan drug eluting stent, serta sebagai
alternaf\tif bila terjadi kontraindikasi aspirin. Kontraindikasi obat ini ialah pada
pendarahan patologik,pendarahan intrakranial, tukak lambung (Dharma, 2009).
Aktivitas antiplatelet lebih tinggi daripada aspilet sebagai pencegahan
sekunder. Clopidrogel sangat mahal walaupun cukup populer. Digunakan hanya
pada pasien yang resisten terhadap aspilet. Reaksinya bersifat irreversibel dengan
periode antiplatelet yang lama (7-10 hari) (Pototski dan Amenabar, 2007).

3. Dypiridamole
Dypiridamole menghambat pengambilan adenosin dari eritrosit dan sel endotel.
Meningkatkan tingkat adenosin dalam plasma sehingga akan berkompetensi untuk
berikatan dengan reseptor platelet. Aktivasi antiplatelet obat ini lebih rendah dari
aspilet dan clopidrogel. Aktivasi antiplatelet bersifat reversibel dan akan kembali
normal setelah 24 jam dihentikan (Pototski dan Amenabar, 2007).

4. Tyclopidine
Obat ini diindikasikan untuk mencegah dan memperbaiki masalah fungsi
trombosit yang terjadi sebagai akibat sirkulasi ekstrakorporeak: sirkulasi
ekstrakorporeal selama pembedahan, hemodialisis kronis. Pencegahan terhadap
terjadinya iskemia arteri perifer dan serebrovaskuler pada pasien dengan
klaudikasi intermiten (kompleks gejala terdiri atas nyeri pada kaki atau tungkai
sewaktu berjalan dan sembuh sehabis istirahat) akibat aterosklerosis pada anggota
gerak bagian bawah. Kontraindikasi dari obat ini ialah hemopati dan diatesa
hemorargik dimana waktu pendarahan memanjang, serta pasien dengan riwayat
leucopenia, trombositopenia, dan agranulositosis.
(http://medicastore.com/infoobat.html)

5
b. Hubungan antiplatelet dengan tindakan dental
Aspirin berdampak pada hemostastis dan perdarahan. Aspirin dan
clopidogrel (Plavix®) dalam kombinasi obat yang digunakan sebagai pencegahan
primer terjadinya trombosis pada sten setelah pemasangan sten di arteri koroner
pasien. Apabila terlalu awal dalam penarikan kombinasi obat ini akan berakibat
pada risiko katastropik trombosis stent yang berakibat pada infraksi miokardial
atau kematian. Menurut American Heart Association yang berkombinasi dengan
American Dental Association dan ahli kesehatan lainnya pada tahun 2007
menyatakan bahwa sebaiknya dilakukan penundaan operasi apapun setelah 1
tahun pemasangan srent jika masih menggunakan obat profilaksis tromboemboli
(Anonim, 2010). Penggunaan klopidrogel dan aspilet seharusnya melakukan
prosedur dental di rumah sakit yang terdapat ahli bedah mulut. Apabila
menggunakan kombiasi klopidrogel dan dipiramidole risiko perdarah lebih rendah
dibandingkan dengan menggunakan aspilet(Pototski dan Amenabar, 2007).
Pasien dengan medikasi antiplatelet akan memiliki waktu perdarahan yang
lebih lama. Postoperatif perdarahan dapat dibagi menjadi empat kriteria
perdarahan selama 12 jam, pasien kembali ke dokter gigi dan emergensi,
hematom atau enchimosis dalam jaringan oral, dan memerlukan transfusi darah
(Pototski dan Amenabar, 2007).
Tidak dibutuhkan perawatan khusus dalam penggunaan vasokonstriktor
dan anestesi lokal. Interaksi obat dental pengunaan penggunaan dengan iburofen
akan mengganggu proses antiplatelet. Asetaminofen(parasetamol) tidak
mengganggu fungsi platelet dari asprin (Anonim, 2010). Penggunaan bersama
NSAID akan merubah fungsi antiplatelet. Meningkatkan risiko perdarahan.
Interaksi ini hanya spesifik pada aspirin tidak antipaltelet lain, apabila digunakan
dengan NSAID nonselektif seperti diklofenak dapat menurunkan aspirin di serum
darah (Anonim, 2010).

c. Obat anti koagulan

Antikoagulan berperan dalam mencegah formasi jendalan dan warfarin


adalah antikoagulan yang palin sering digunakan. Warfarin adalah antigonis dari

6
vitamin K, yang berperan penting dalam sysntesis penjedalan faktor II,VII, IX,
dan X, serta antikoagulan endogen protein C dan S. Warfarin memiliki dua efek
yaitu sebagai antikoagulan dan antitrombotik.

1. Warfarin
Terapi warfarin digunakan untuk kondisi seperti atrial fibrilasi, katup
jantung mekanis dan vena thromboembolisme. Warfarin terapi mengurangi risiko
kejadian tromboemboli arteri seperti stroke sebesar 70% dan risiko berulang
tromboemboli vena sebesar 90%. Mengingat ini terapi manfaat, manajemen
pasien pada terapi antikoagulan yang membutuhkan pembedahan atau prosedur
invasif lain sehingga dokter harus mempertimbangkan risiko gangguan
tromboemboli sementara pada penggunaan terapi warfarin terhadap risiko
perdarahan perioperatif jika terapi dilanjutkan.
Dalam praktek klinis, manajemen pasien pada terapi antikoagulan yang
memerlukan perawatan gigi bervariasi. Manajemen perioperatif berkisar dari
kelanjutan dari dosis antikoagulan reguler untuk pengurangan dosis dan
menghentikan efek obat tersebut. Praktek lain adalah menghentikan efek warfarin
adalah 5 hari sebelum prosedur dan mengelola menjembatani antikoagulasi,
biasanya molekul rendah-berat heparin, untuk pasien berisiko tinggi
thromboembolism.
Apabila terapi warfarin dihentikan akan mencapai International
normalized ratio (INR) 1.5 sehingga prosedur bedah dapat dilakukan kemudian
digunakan lagi dalam waktu tiga hari INR akan mencapai 2.0, sehingga setelah
selesai prosedur operasi dapat digunakan warfarin kembali. Sehingga dua hari
setelah prosedur operasi sebaiknya dilanjutkan karena meningkatkan risiko
tromboemboli (Pototski dan Amenabar, 2007).
Dari 542 pasien yang melakukan tindakan dental, 4 persen pasien yang
yang berakibat tromboemboli fatal, 1 infark miokardial, 1 embolus tidak spesifik,
komplikasi tromboemboli. Untuk prosedur operasi minor risiko tromboemboli
0,02-1 %. Dari 950 pasien yang menggunakan terapi antikoagulan, hanya 1,3%
pasien yang mengalami perdarahan tidak terkontrol (Pototski dan Amenabar,
2007).

7
Dokter gigi perlu memperhatikan secara serius tentang paska operasi
perdarahan mungkin didasarkan pada penggunaan warfarin. Pada pengamatan
untuk pasien yang tidak menggunakan antikoagulasi, pendarahan setelah prosedur
gigi, seperti ekstraksi, dapat terjadi berlebihan, mengingat struktur pendukung gigi
banyak pembuluh vaskular. Pencegahan perdarahan oral harus dilakukan karena
dapat berdampak buruk bagi pasien. Gangguan terapi warfarin dapat
meningkatkan risiko tromboemboli, seperti stroke, yang dapat dihubungkan
dengan kematian dan morbiditas jangka panjang. Selanjutnya, pendarahan setelah
operasi gigi mudah dilihat dan dapat dikelola dengan tindakan lokal, seperti
menggigit kain kasa.
Prosedur bedah minor aman dilakukan tanpa mengubah dosis warfarin.
Seperti dalam perawatan primer yang diklasifikasikan sebagai bedah minor
misalnya ekstraksi sederhana hingga 3 gigi, bedah gingiva, mahkota dan jembatan
prosedur dan scaling gigi.
Pemeriksaan periodontal dan skaling supragingiva dianggap berisiko
rendah terjadinya perdarahan. Namun, debridement subgingiva dapat
menyebabkan perdarahan yang signifikan terutama jika gusi mengalami inflamasi.
Kontrol plak yang baik merupakan hal yang penting sebelum melakukan prosedur
periodontal pada pasien dengan obat antikoagulasi. Skaling dan root planing
awalnya harus dibatasi untuk misalnya lahan terbatas satu kuadran, untuk menilai
apakah perdarahan bermasalah.
Rencana operasi idealnya harus pada pagi hari. Hal ini memungkinkan
lebih banyak waktu untuk menangani segera masalah pendarahan berulang. Pada
awal minggu memungkinkan untuk episode pendarahan berulang tertunda yang
terjadi setelah 24-48 jam untuk ditangani selama seminggu. Anestesi lokal yang
mengandung vasokonstriktor harus dikelola oleh infiltrasi atau dengan suntikan
intraligamen. Penggunaan jarum 27-gauge singkat akan meminimalkan kerusakan
jaringan. Blok saraf daerah harus dihindari bila mungkin. Namun, jika tidak ada,
alternatif anestesi lokal harus diberikan dengan hati-hati menggunakan syringe,
aspirating, vasokonstriksi lokal dapat didorong oleh infiltrasi sejumlah kecil
anestesi lokal yang mengandung adrenalin (epinefrin) dekat lokasi operasi.
Hemostasis lokal pada soket harus lembut dikemas dengan dressing haemostatic

8
yang dapat diserap misalnya selulosa dioksidasi (Surgicel ®), kolagen spons
(Haemocollagen ®) atau resorbable gelatin spons (Spongostan ®), dan hati-hati
ketika suturing. Dressing haemostatic mempromosikan dan menstabilkan
pembentukan bekuan dengan menyediakan matriks mekanik. Ujian pada pasien
yang terus terapi antikoagulan selama periode perioperatif telah menggunakan
resorbable (catgut atau sintetis (polyglactin, Vicryl ®)) atau non-resorbable (sutra,
polyamide, polypropylene) jahitan. Jahitan resorbable lebih disukai karena mereka
kurang menarik plaque. Jika non-resorbable jahitan yang digunakan sebaiknya
diambil setelah 4-7 hari. Setelah penutupan, tekanan harus diterapkan pada socket
dengan bahwa pasien menggigit pada kasa selama 20 menit.

2. Heparin
Terapi antikoagulan Heparin memiliki efek langsung pada pembekuan
darah namun hanya selama 4 sampai 6 jam, sehingga tidak ada yang spesifik
pengobatan dibutuhkan untuk membalikkan efeknya. Pengaruh heparin yang
terbaik dinilai oleh APTT. Secara umum, penggunaan heparin merupakan
tantangan ahli bedah yang dapat diatasi dengan mudah.
Untuk ekstraksi forseps rumit 1 sampai 3 gigi, biasanya tidak ada
kebutuhan untuk mengganggu pengobatan antikoagulan yang melibatkan heparin
atau LMW heparin atau obat antiplatelet. Konsultasi medis harus dicari sebelum
lebih maju operasi pada pasien dengan heparin. Penarikan heparin cukup untuk
membalikkan antikoagulasi di mana hal ini dipandang perlu, atau dalam keadaan
darurat, ini dapat dibalik dengan protamine intravena sulfat diberikan dalam dosis
1 mg per 100 IU heparin.
Protamine kurang efektif membalikkan LMW heparin. Ketika terapi
heparin dihentikan, operasi apapun dengan aman dapat dilakukan setelah 6 sampai
8 jam, ketika efek dari heparinization telah berhenti. Pada pasien dialisis ginjal,
atau pasien dengan cardiopulmonary bypass atau lainnya extracoporeal sirkulasi
dengan heparinization, operasi paling baik dilakukan pada hari setelah dialisis
karena efek dari heparinization telah kemudian berhenti dan ada maksimum
manfaat dari dialisis. Heparins LMW tampaknya memiliki sedikit efek pada
perdarahan pasca operasi, meskipun mereka sedang aktivitas (hingga 24 jam).

9
d. Hubungan antikoagulan dengan tindakan dental
Warfarin tidak harus dihentikan sebelum prosedur dental. Konsensus
menyebutkan bahwa pasien dental yang memerlukan tindakan bedah tidak harus
menghentikan warfarin jika International normalized ratio (INF) kurang dari 4.
Menghentikan warfarin secara mendadak akan menyebabkan tromboembolik,
menghentikan warfarin tidak menurunkan risiko terjadinya perdarahan.
Penghentian warfarin dalam 2 hari meningkatkan risiko terjadinya tromboemboli
pada 0,02% -1%. Perdarahan postoperatif dapat diatasi dengan menekan atau
repacking dan suturing ulang soket (UK Medicine Infromation. 2007).
Terjadinya perdarahan, risikonya tidak sama dengan risiko komplikasi
tromboemboli, pasien yang memiliki range INR yang dapat dilakukan terapetik
lebih berisiko terajadinya kematian atau cacat permanen apabila menghentikan
penggunaan warfarin selama prosedur bedah dibanding melanjutkan (UK
Medicine Infromation. 2007).
Apabila terapi warfarin dihentikan akan mencapai INR 1.5 sehingga
prosedur bedah dapat dilakukan kemudian digunakan lagi dalam waktu tiga hari
INR akan mencapai 2.0, sehingga setelah selesai prosedur operasi dapat
digunakan warfarin kembali. Sehingga dua hari setelah prosedur operasi
sebaiknya dilanjutkan karena meningkatkan risiko tromboemboli (Pototski dan
Amenabar, 2007).
Dari 542 pasien yang melakukan tindakan dental, 4 persen pasien yang
yang berakibat tromboemboli fatal, 1 infark miokardial, 1 embolus tidak spesifik,
komplikasi tromboemboli. Untuk prosedur operasi minor risiko tromboemboli
0,02-1 %. Dari 950 pasien yang menggunakan terapi antikoagulan, hanya 1,3%
pasien yang mengalami perdarahan tidak terkontrol (Pototski dan Amenabar,
2007).
Obat yang digunakan sebagai adalah antinyeri yang bersifat ringan hingga
moderat. Obat pilihan adalah parasetamol dapat juga meggunakan dihidrocodein
untuk mengontrol nyeri yaitu opiod analgesik tetapi tidak memiliki efek antiinflasi
dan terbatas dalam perawatan dental (UK Medicine Infromation. 2007).
Antibiotik amoxicillin dilaporkan meningkatkan warfarin menyebabkan
meningkatnya risiko INR dan perdarahan tetapi jarang didokumentasi. Pasien

10
yang menggunakan amoksisilin sebaiknya waspada. Clindamisin tidak
berinteraksi dengan warfarin, dapat digunakan sebagai antibiotik profilaksis.
Metronidazole berinteraksi dengan warfarin sebaiknya dihindari. Eritromisin
berinteraksi dengan warfarin yang tidak dapat diprediksi dan bersifat individual
(UK Medicine Infromation. 2007).

Tabel 1. Obat antiplatelet dan antikoagulan yang sering


digunakan pasien kelainan jantung

(Muñoz dkk., 2008)


e. Antidotum obat antiplatelet dan antikoagulan
Antidotum digunakan pada overdosis obat yang tidak disengaja maupun
disengaja atau bahan toksik. Tujuan terapi antidotum adalah mengurangi
komplikasi sistemik dari overdosis sambil memberi menopang fungsi vital.
Mendapatkan riwayat yang tepat dapat membantu menentukan agresivitas terapi,
pilihan dan dosis obat antidotum. Beberapa antidotum dirancang untuk membantu
pengeluaran agens yang beracun sebelum terjadi absorpsi sistemik, atau
mempercepat pengeluaran (arang aktif). Agens lain bersifat lebih spesifik dan
memerlukan riwayat yang lebih rinci seperti jenis dan banyak obat yang ditelan
(Deglin, 2005). Berikut Antidotum untuk obat antiplatelet dan antikoagulan
1. Anti Platelet
a. Aspirin : DDAVP (0,3 - 0,4 ug / kg)
b. Dipyridamole : aminofilin (60 - 240 mg iv) segera membalikkan efek
samping yang parah dengan menghalangi reseptor adenosin kompetitif.

11
c. Clopidogrel : Trombosit konsentrat dalam kombinasi dengan DDAVP
(0,3 - 0,4 ug / kg) (Spect, 1992).
2. Antikoagulan
a. Heparin : Protamin Sulfat
b. Warparin : Fitonadion ( Vitamin K1)
(Deglin, 2005)
f. Obat penyakit jantung lainnya

Immunosupresan digunakan pada pasien dengan transplantasi jantung


sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu ke kardiologis. NSAIDS berpengaruh
dalam tekanan darah dalam produksi prostaglandin dan prostasiklin yang berperan
dalam regulasi tekanan darah. Opioids digunakan sebagai sedasi, penyembuhan
luka, dan anestesi general berisiko pada pasien dengan obat antihipertensi yang
dapat menyebabkan hipotensi karena efek aditif (Collins, 2008).
Penggunaan vasokonstriktor akan berinteraksi dengan beta bloker,
antiadrenergik, dan glikosida digitalis. Pasien sebaiknya menurukan dosis obat
atau tidak menggunakan vasokonstriktor. Pada pasien dengan coronary heart
disease, heart failure, tachyarrhythmias, atau stroke sebaiknya tanpa
vasokonstriktor begitu juga pasien dengan adrenergik blokers. Menurut panduan
vasokonstriktor yang digunakan pada penderita penyakit kardiovaskular
sebaiknya dibatasi yaitu 2 atau 3 karpul lidokain dengan epineprin 1: 100000
(Collins, 2008).
Vasokontriktor di gunakan dalam anestasi lokal, retraksi gingiva, dan juga
hemostat. Vasokonstriktor yang digunakan sebagai anestesi lokal dapat
memperlama durasi pemakaian dan mengurangi perdarahan. Epineprine diketahui
mampu menstimulasi reseptor alfa dan beta adrenergik. Reseptor beta berperan
dalam peningkatan laju detak jantung, konduksi katub dan tekanan kontraktil
dalam sistem kardiovaskular. Sehingga menaikan atau menurunkan resistensi
pada jaringan perifer, aktivitas reseptor alfa akan menyebabkan resistensi jaringan
ferifer meningkat karena efek konstriksi. Sedangkan reseptor beta sebagai
dilatator vena dan arteri koroner. Levanodefrin meningkatkan resistensi ferifer
sehingga menurunkan output jantung dan nadi. Selama menggunakan obat

12
antihipertensi, penggunaakn vasokonstriktor bisa mengakibatkan hipertensi,
hipotensi, bahkan memicu angina (Collins, 2008).
Statins merupakan salah satu obat yanng berpengaruh dalam penyakit
kardiovaskuler. Efek sampingnya adalah neuropati ferifer dan masalah otot dari
mialgia hingga rhabdomiolisis, yang berpotensi menyebabkan pecahnya dinding
sel otot dan isinya. Statin berinteraksi dengan eritromisin dalam perawatan dental.
Pasien dengan peresepan eritromisin dapat menyebabkan terjadinya toksisitas
organ multipel termasuk gagal ginjal akut, pankreasitis, dan rhabdomiolisis.
Antibiotik lain yang memiliki interaksi yang buruk dengan statin adalah
clarithromisin, azitromisin, dan telitromisin. Antifungal golongan Azole seperti
miconazole, fluconazole, and itraconazole, dan ketoconazole juga berinteraksi
dengan statin (Collins, 2008).
Dalam pemakaian jangka waktu lama dan pasien memiliki kondisi
kebersihan mulut yang kurang beberapa obat dapat menjadikan kondisi rongga
mulut menjadi semakin parah selain dari obat tersebut juga berefek samping.
Berikut adalah efek samping obat penyakit kelainan jantung, antara lain :
Tabel 1. Efek yang tidak Dikehendaki Obat
Kelainan Jantung Pada Rongga Mulut
Kondisi Obat kardiovaskular
Xerostomia Alpha adrenergic blockers
Beta adrenergic blocker
Lisinopril
Sodium channel blocker
Calsium channel blocker
Diuretict
Antikolesterol
Hiperplasi gingiva Calsium channel bloker
Phenytoin
cypalosporin
Gangguan dalam Calsium channel bloker
mengecap ACE Inhibitor (katopril, enalapril)
Angioderma ACE Inhibitor
Beta adrenergic blocker
Angiostesin II Antagonis
Gingivitis, glossitis, Obat anti kolesterol
stomatitis
(Collins, 2008)

13
C. CARA PEMBACAAN CARDIAC RISK INDEX
Indeks risiko jantung (Cardiac risk indeces)/ CRI) dari Goldman
merupakan prediktor outcome jantung pasca pembedahan. Sembilan faktor
independent yang mengkaji derajat derajat stress hemodinamik pada sistem
organ penting dan risiko pada jantung. Selain itu, terdapat berbagai penilaian
risiko sistem kardial antara lain :
a. ASA (Americand Society of Anestesiologist)
b. Goldman
c. Detsky
d. AHA-ACC
e. rCRI (revised cardiac risk indeces dari Lee Goldman)
f. Gupta NSQIP (terbaru) (Fisher, 2011)

Revised Cardiac Risk Index (rCRI) digunakan sebagai prediksi untuk


operasi vaskular. Analis kohort meta analisis melaporkan bahwa terdapat
hubungan pengitungan rCRI denga peristiwa kardial utama seperti kematian
jantung, infrak miokardial, dan neonatal cardial arrest di dalam rumah sakit
dan ≤ 30 hari setelah operasi. Revised Cardiac Risk Index dapat membedakan
cukup baik antara pasien dengan risiko tinggi setelah operasi campuran non-
kardial (Fisher, 2011).
Menurut penilaian rCRI yang memiliki risiko tinggi operasi adalah
penderita yang pernah memiliki riwayat congesti hearth failure, chronic heart
diseace, stroke, kreatinin > 175 mmol/L, dan diabetes dengan insulin (Fisher,
2011). Menurut Goldman, 1995, berikut ini merupakan pembagian kelas dari
kemampuan fungsi jantung yang diperoleh dari anamnesis dengan
menggunakan metode menurut Canadian Cardiovasklar Society dan Specific
Activity Scale:

14
Tabel 4. Cardiac Risk Indeces
Faktor Point
Indeks original1
Usia >70 th 5
MI sebelum 6 bulan 10
S3 distensi gallop atau vena jugalar 11
Stenosis aorta yang penting 3
Adanya ritme lain selain sinus atau PACs pada ECG preopertif 7
>5 PVCs/min yang terkodumentasi pada saat sebelum operasi 7
Po2 <60 atau Pco2 >50mmHg; K<3,0 atau HCO3 <20 mEq; 3
BUN>50 Tau Cr >3,0 mg/dL; abnormal AST, ada tanda penyakit
liver kronis, atau terdapat debriment akibat nonjantung
Operasi intraperitonial, intrathoracis, atau aorta 4
Operasi emergensi
Detsky dkk.,2
MI dalam 6 bulan 10
MI lebih dari 6 bulan 5
Canadian Cardiovasvular Society Angina
Kelas III 10
Kelas IV 20
Angina tidak stabil dalam 6 bulan 10
Alveolar pulmonary edema
Dalam 1 minggu 10
Pernah terjadi 5
Suspected stenosis aorta kritis 20
Ada ritme selain di sinus atau sinus dengan PACs pada ECG pre 5
operatif terakir
Lebih dari 5 PVCs/min pada saat operasi 5
Kondisi medis umum jelek 5
Usia >70 hari 5
Operasi emergensi 10
Larsen dkk.,3
Gagal jantung kongestif
Kongesti pulmonari presisten 12
Tidak, tetapi sebelumnya terdapat edema pulmonal 8
Tidak pernah, tetapi pernah heart failure 4
Ischemic heart disease
MI dalam 3 bulan 11
Tidak,tetapi infaksi pada usia tua dan atau angina pectoris 3
Diabetes militus 3
Kratinin > 0,13 mmol/L 2
Operasi emergensi 3
Prosedur operasi mayor

15
Operasi aorta 5
Intraperitonial lainnya/operasi pleural 3
Keterangan:
MI = myocardial infarction; PAC = premature atrial contraction; ECG =
electrocardiogram; PVC = premature ventricular contraction; K =
potassium;
BUN = blood urea nitrogen; Cr = creatinine; AST = aspartate
aminotransferase.
1
Sumber dari 1001 pasien yang dirawat tanpa dipilih yang berusia lebih
dari 40 tahun ketika dilakukan operasi nonjantung dengan analisis multi
variabel
2
Indeks original yang dimodifikasi oleh penulis berdasarkan keputusan
klinis penulis.
3
Sumber dari 20609 pasien yang usianya lebih dari 40 tahun ketika
dilakukan operasi nonjantung dengan analisis multi variabel
(Goldman,1995)

Berikut merupakan tabel Goldman dkk., 1977:

Tabel 5. Cardiac Risk Indeces (1977)

16
Gambar 1. Perbandingan akurasi dari berbagai indeks original
multifaktorial di berbagai penelitian. Kurva receiver operating
characteristics (ROC) plot dari rerata true-positive (sensitivity) sebagai
ordinat dan rerata false-positive (specificity) pada axis dari kemampuan
indeks original multifaktorial pada pasien dengan atau tanpa komplikasi
jantung. Kurva yang naik menunjukkan tes yang lebih baik. Pada semua
penelitian, indeks menunjukan secara signifikan lebih baik dari uji statistik
formal, dan dalam 2 konstrusksi penelitian yang lebih besar, pasien tidak
terpilih juga menunjukkan hasil yang sama (Goldman,1995).

Gambar 2. Berbagai penilaian risiko sistem kardial dan rentang kurva Receiver
Operating Characteristics (ROC) (Fisher, 2011).

17
Tabel 6. Penggunaan Potensial dari Original Multifactorial Cardiac Risk
Index untuk Mengestimasi Kemungkinan Komplikasi Jantung Pada
Berbagai Tipe Pasien
Perkiraan Perkiraan risiko komplikasi jantung mayor
risiko sebagai keputusan menggunakan ideks
dasar dari multifaktorial (%)1
Tipe pasien
komplikasi
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
jantung
Poin 0-5 Poin 6-12 Poin13-25 Poin ≥26
mayor (%)
Operasi mayor 1 0,3 1 3 19
Pasien dengan usai
>40 tahun yang
3 1 3,5 10 45
menjalani operasi
mayor non jantung
Pasien dengan
risiko tinggi pada
10 3 10 30 75
operasi abdominal
aortik neurysm
Keterangan :
Update dari Goldman L. J Cardiothoracic Anesth 1987;1:237-44 (42).
1
menggunakan kalkulasi dari 5 penelitian dan lebih dari 4300 pasien
menggunakan original multifactorial cardiac risk index pada berbagai tipe pasien.
(Goldman,1995)

Tabel 7. Risiko Terjadi Infraksi Kembali Atau Kematian Jantung dari


Operasi Pada Pasien Post Miocardiac Infraction.
Bulan setelah Data pada Rao dkk., Shah dkk., River dkk.,
miokardiak awal 1976 1983 1990 1990 (pada
infraksi operasi
jantung)
0-3 31% 6 % (3/52) 4% (1/23) 17%(5/30)
4-6 15% 2% (2/86) 0% (0/18)
>6 5% 1,5%(9/595) 6%(10/174)
(Fisher, 2011)
Tabel 8. Faktor Risiko dan Estimasi Risiko
Faktor risiko Estimasi risiko
yang ada Derivasi Validasi
Tidak ada 0,5 0,4
1 1,3 0,9
2 4 7
≥3 9 11

18
Tabel 9. Bagaimana memprediksi nilai positif dan negatif dari tes yang
sama yang bergantung pada probabilitas utama dari suatu penyakit

Cara penghitungan rCRI adalah sebagai berikut:


a. Langkah pertama adalah menilai faktor risiko
Tabel 10. Faktor Risiko dan Poin dalam rCRI
Faktor risiko Poin
Usia ≥ 80 tahun 4
Usia 70-79 tahun 3
Usia 60-69 tahun 2
CAD 2
CHF 2
COPD 2
Kreatinin > 1,8 2
Merokok 1
Diabetes bergantung insulin 1
Pengguna beta bloker jangka 1
panjang
Riwayat CABG atau PCI -1

b. Menggunakan penilaian VSG-CRI untuk memprediksi risiko hasil kadial


yang tidak diinginkan

19
c. Misalnya seorang pasien berusia 80 tahun merokok dengan riwayat CAD
dan CABG maka nilainya adalah 6 (4+1+2-11), sehingga risikonya adalah
5 %.
(Fisher, 2011)

D. GAGAL JANTUNG KONGESTI


1. Pengertian
Gagal Jantung (Heart failure (HF) biasa sering disebut Gagal Jantung
Kongestif (Congestive heart failure (CHF) didefinisikan sebagai suatu
kondisi jantung yang tidak mampu untuk menyuplai aliran darah yang
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Kegagalan jantung dapat
menyebabkan berbagai gejala penyakit seperti sesak nafas, pembengkakan
pada siku dan paha, kesulitan dalam melakukan latihan serta rasa lelah.
Kebanyakan cairan merupakan masalah yang kebanyakan dihadapi oleh
orang-orang dengan kondisi gagal jantung. Hal ini lebih sering terjadi
karena faktor usia, tetapi beberapa kasus menyerang orang-orang yang
lebih muda juga.
Ada beberapa cara untuk mengkategorikan gagal jantung ini, tetapi
satu klasifikasi yang umum biasanya adalah disfungsi sistolik dan
disfungsi diastolik:

20
1) Disfungsi sistolik adalah suatu kontraksi yang tidak normal pada saat
bilik-bilik jantung sedang memompa

2) Disfungsi diastolik terjadi jika bilik-bilik jantung memompa dengan


benar, akan tetapi tidak dapat relaks dengan benar (misalnya karena
mereka tegang).

Penanganannya dapat berbeda tergantung dari jenisnya. Dengan


tiap-tiap siklus yang berlangsung, kemampuan jantung untuk memompa
darah menjadi lebih berkurang dan yang bersangkutan menjadi lebih
berhati-hati dengan larangan-larangan yang semakin banyak pada saat
yang sama ia harus melakukan kegiatan yang normal seperti biasanya

2. Faktor Penyebab/Predesposisi

Ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab gagal jantung ini,
yang mungkin akan terjadi dalam hitungan bulan atau tahunan. Faktor-
faktor tersebut meliputi:

1) Coronary Heart Disease

Penyakit jantung koroner dapat menjadi faktor resiko terbesar dari


CHF. Penyakit jantung koroner menyerang arteri pada jantung yang
bertugas memompakan darah ke jantung sebagai suplai oksigen ke otot-
otot jantung (myocardium). Adanya gangguan pada suplai oksigen
tersebut akan menimbulkan ketidakmampuan otot jantung
memompakan darah, akibat dari kekurangan suplai oksigen.

2) Hipertensi (tekanan darah tinggi)

Terdapat 75% kasus CHF terjadi pada pasien dengan riwayat hipertensi.

3) Terdapat gangguan dengan katup-katup jantungnya (misalnya: katup


aorta (aortic valve), katup mitral (mitral valve).

4) Penyakit pada otot jantung (cardiomyopathies)

Sebagian besar pasien yang pernah mengalami myocardial infarction


berkembang ke arah cardiomyopathies. Cardiomyopathies pada usia
muda dapat disebabkan karena konsumsi minuman beralkohol yang

21
berlebihan, cardiomyopathies herediter, adriamycin dan terapi radiasi,
dan infesi virus.

Pasien-pasien dengan CHF (Congestive Heart Failure) memiliki


tanda-tanda klinis sebagai berikut :
1. Nafas yang cepat, pendek,
2. Pernafasan Cheyne-Stokes (Hyperventilation alternating with apnea)
3. Inspiratory rales
4. Heart murmur
5. Ritme Gallop
6. Peningkatan tekanan pembuluh vena
7. Cardiac enlargement pada pemeriksaan radograf dada
8. Pembengkakan dan tenderness pada hati
9. Jaundice
10. Peripheral Edema
11. Axietas
12. Cyanosis
13. Berat badan naik
14. Clubbing pada jari-jari

Adapun gejala-gejala yang dirasakan oleh pasien-pasien CHF, yakni :


1. Rasa lemah atau lelah
2. Dyspnea
3. Ortopnea (Dyspnea pada postural tertentu, biasanya pada posisi supin)
4. Paroxymal nocturnal dyspnea (Dyspnea saat bangun dari tidur)
5. Hiperventilasi diikuti dengan Apnea
6. Jantung berdebar, rasa tidak nyaman di dada.
7. Rasa pening atau kepala terasa ringan.
(Miller, 2008)
Pasien CHF dapat dikenali dari manifestasi oral, yakni akibat dari
pemakaian obat hal ini dapat diamati, misalnya ACEs (katopril, enalapril)
dapat menyebabkan reaksi linkeloid, sensasi mulut terbakar, dan kehilangan

22
indera pengecap, sementara diuretik (furosemid) dapat menyebabkan
xerostomia (Pamlona dkk., 2011)

3. Perawatan Kongesti Gagal Jantung Kongesti


a. Medikasi
b. Alat bantu/stent

E. PENATALAKSAAAN PASIEN DENTAL DENGAN GAGAL JANTUNG


KONGESTIF
New York Heart Association (NYHA) telah menentukan klasifikasi-
klasifikasi fungsional dari penyakit jantung yang mengkelaskan tingkat keparahan
dari CHF:
1. Kelas I
Tidak ada keterbatasan pada aktivitas fisik, tidak ada gejala dyspnea, lelah,
atau jantung berdebar pada aktivitas fisik biasa.
2. Kelas II
Terdapat sedikit keterbatasan aktivitas fisik. Pada pasien ini mengalami
kelelahan, jantung berdebar, dan dyspnea pada aktivitas fisik biasa, dan
akan kembali normal pada saat istirahat.
3. Kelas III
Terdapat keterbatasan aktivitas fisik yang berarti. Sedikit aktivitas akan
menimbulkan gejala-gejala kelelahan, jantung berdebar, dan dyspnea,
tetapi pasien akan kembali normal saat beristirahat.
4. Kelas IV
Pada pasien ini, gejala kelelahan, jantung berdebar, dan dyspnea terjadi
saat pasien istirahat, terlebih saat melakukan sedikit aktivitas.
5. Evaluasi Keadaan Pasien
a. Pada pasien CHF yang tidak diobati atau pada CHF yang tidak
terkontrol, hindari prosedur dental. Pada pasien ini, dibutuhkan
penanganan segera oleh dokter spesialis. Setelah CHF tertangani oleh
medis, selanjutnya pasien dapat dirujuk untuk melakukan perawatan
dental.

23
b. Untuk pasien yang mendapatkan medikasi CHF dapat dilakukan ;
1. Konfirmasi status keadaan pasien dengan dokter umum spesialis
yang menangani. Untuk pasien CHF kelas I dan II, dapat dilakukan
perawatan dental biasa (outpatient) tanpa memerlukan rawat inap
atau tanpa dilakukan di Rumah Sakit.
2. Untuk NYHA kelas III, dibutuhkan konfirmasi status keadaan
pasien dengan dokter umum spesialis yang menangani dapat
dilakukan perawatan dental biasa atas persetujuan dengan dokter
umun spesialis yang menangani.
3. Untuk beberapa pasien kelas III dan pasien kelas IV, dibutuhkan
konsultasi medis dengan dokter spesialis, dan memerlukan fasilitas
dental khusus seperti rawat inap dan fasilitas-fasilitas emergency
lain yang hanya didapat di Rumah Sakit (bukan praktek rumahan).
(Miller, 2008)
Medikasi terakhir yang dilakukan oleh dokter umum spesialis, harus
diketahui oleh dokter gigi yang akan melakukan perawatan dental. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui sebab terjadinya CHF (seperti penyakit rheumatoid
jantung, hypertensi, infark myocardium) perlu diperhatikan juga peresepan
terhadap pasien CHF(Miller, 2008).
Pasien dengan kontrol yang baik tanpa komplikasi data menerima
prosedur perawatan dental rutin. Perawatan yang singkat, dan hindari stressor
berlebih kepada pasien sangat dianjurkan. Pasien CHF kelas II sampai IV
mungkin saja tidak dapat mentolerir pada posisi supin dental chair, dikarenakan
kondisi edema pulmoner, dan akan dapat mentolerir apabila posisinya diubah
menjadi semi supine atau posisi dental chair tegak (Miller, 2008).
Pada pasien dengan jantung kongesti hati-hati dalam penggunaan obat
sedatif. Hindari menggunakan barbiturat atau opium karena dapat menyebabkan
hipotensi orthostatik yang disebabkan oleh thiazid dan deuretik lain dan
pengaturan posisi yang baik dengan duduk setengah berbaring (Pedersen, 1996).
Pasien yang menerima medikasi dygoxin, dapat diberikan epinephrine dan
levonordefrin dengan dosis yang sangat hati-hati karena dapat memicu arythmias.
Dosis maksimum 0,036 epinephrine (2 ampul lidocaine dengan perbandingan

24
1:100.000 epinephrine). Pada pasien CHF kelas III dan IV penggunaan
vasokontriktor harus dihindari, penggunaan nitrous oxide dengan oksigen dapat
dipakai sebagai sedative agent dengan proporsi oksigen yang cukup (minimal
30%) (Miller, 2008).
Pasien yang memerlukan antibiotik profilaksis menurut American Heart
Assosiation Guidelines yang telah direvisi tahun 2007 adalah pasien dengan katub
jantung buatan, sebelumnya telah menderita endokarditis, dan penyakit jantung
congenital (Jacobsen, 2011).
Meminimalkan stres dengan cara teknik yang meminimalisir nyeri dengan
menggunakan obat sedatif dan analgesik (dalam dosis normal) merupakan hal
yang penting. Sebaiknya melakukan janjian di awal dan di pagi hari atau sore.
Pasien dengan penyakit katub, transplantasi jantung, katub buatan, bakterial
endokarditis, pace maker, atau implan defibrilator sebaiknya menggunakan
antibiotik profilaksis untuk mencegah bakterial endokarditis pada kondisi
jantungnya (Collins, 2008).
Antibiotik oral standar yang digunakan menurut American Heart
Assosiation Guidelines adalah Amoksisilin 500 mg 4 tablet (2000mg) 1 jam
sebelum prosedur. Untuk anak anak 50 mg/kg dosis tambahan ke dua tidak
dibutuhan untuk dewasa ataupun anak-anak. Apabila alergi terhadap amoksisilin/
penisilin dapat menggunakan clindamysin 150 mg 4 tablet (600 mg) 1 jam
sebelum prosedur. Alternatif antibiotik lain yang adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Alternatif Antibiotik Profilaksis
Obat Dosis untuk dewasa Dosis untuk
anak-anak
Obat Oral digunakan 1 jam sebelum prosedur
Azytromisin 250 mg 2 tablet 15 mg/kg
Clarithromycin 250 mg 2 tablet 15 mg/kg
Chepalexin 500 mg 4 tablet 50 mg/kg
Cefadroxil 500 mg 4 tablet 50 mg/kg
Tidak mampu secara oral dalam 30 menit sebelum tindakan
Ampisillin IV atau IM 2 gr 50 mg/kg
Alergi ampisilin, amoksisilin, dan penisilin serta tidak mampu secara
oral dalam 30 menit sebelum tindakan
Clindamisin IV 600 mg 20 mg/kg
cefasolin IV atau IM 1 gr 25 mg/kg
Catatan :

25
Cephalosporin sebaiknya tidak digunakan pada individu yang hipersensitif
(utikaria, angiodema, dan anaphylasis) terhadap penisilin

Bakterial endokarditis adalah suatu infeksi di endokardium yang


melibatkan katub jantung, cacat septum atai mural endokardium. Endokarditis
akut disebabkan oleh Staphilococcus Aureus dan sub akut oleh Streptococcus
viridans. Infeksi mulut dan prosedur bedah mulut yang invasif merupakan rute
masuknya bakteri, khususnya Streptococcus viridans (Pedersen, 1996). Apabila
terjadi bakterial endokarditis ditandai dengan flu like symtoms dalam waktu 2 hari,
dan berlangsung dalam 2 minggu, jarang berlangsung lebih dari 4 minggu.
Sebaiknya segera menghubungi kardiologis untuk mencegak. Pasien harus
menjaga kebersihan mulut dengan menggunakan clorhexidine untuk menngurangi
risiko bakterimia (Jacobsen, 2011).

Penanganan risiko perdarahan yang perlu diperhatikan dalam penanganan


risiko perdarahan adalah mengenai
a. Timing, sebaiknya gunakan waktu di pagi hari pada minggu pertama
b. Anestesi lokal, sebaiknya diberikan infiltrasi atau intraligamen
c. Lokal homeostasis dapat menggunakan dressing anssorbsable, resorable
suture, dan non-resorable suture, dan menggunakan tekanan menggunakan
kasa selama 20 menit dengan cara pasien menekan kasa, serta gunakan
prosedur atraumatik.
d. Manajemen posoperatif pasien diintruksikan untuk mencegah terjadinya
lepasnya jendalan darah
(UK Medicine Infromation. 2007)

26
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Aspirin: Drug Information Provided by Lexi-Comp: Merck
Manual Profesional. diakses di http://www.merck.com/
mmpe/lexicomp/aspirin.html diunduh 13/3/1013.
Collins FM. 2008. Cardiovascular Disease and the Dental Office. Ohaio: The
Academy of Dental Teuraphetics and Stomatology.
Coopers K.H. 1988. Controlling Cholesterol. NewYork: Bantam Books.
Cruikhshank JM, Prichard BNC. 1987. Hypertension, Beta Blockers in Clinical
Practice. NewYork: Churchill Livingstone.
Deglin, JH. 2005. Pedoman Obat Untuk Perawat. Jakarta : EGC
Dharma, Surya dr, SpJP. 2009. Sistematika Interpretasi EKG. Pedoman Praktis.
ECG: Jakarta.
Drugs-About.com, Drugs.com
Fisher BW. 2011. Peri-operative Cardiac Risk Assessment CSIM Halifax 2011.
Workshop CSIM 2011. University of Alberta.
Goldman L, Caldera DL, Nussbaum SR, et. al. Multifactorial index of cardiac risk
in noncardiac surgical procedures. N. Engl J Med. 297:845, 1977
Goldman L. 1995. Cardiac Risk in Noncardiac Surgery: An Update. International
Anesthesia Research Society (80): 810-820.
Greenberg, dkk. 2008. Burket’s Oral Medicine 11th edition. Ontario: BC decker.
Jacobsen. 2011. Protocol for the Dental Management of Medically Complex
Patients. San Frasisco : University of the Pacific, School of Dentistry.
Jakson G. 1984. Cadiovasculer Update, Insight in to Heart Disease. England:
Update Publications.
Kannel W.B. 1980. The Framingham study. Am. J. Cardiol.
Kwiterovich . 1989. Beyond Cholesterol. London: John Hopkins.
Miller CS, Rhodus NL. 2008. Little and Falace’s Dental Management of the
Medically Compromised Patient. Kentucky: Mostby.
Muñoz MM, Soriano YJ, Roda PV,Sarrión G. 2008. Cardiovascular diseases in
dental practice. Practical considerations.Med Oral Patol Oral Cir Bucal.
May1;13(5):E296-302.
NIH Publications, juni 1989.
Pamlona MC, Soriano YJ, Perez MG. 2011. Dental Considerations in Patiens with
Heart Disease. J Clin Exp Dent 3(2):97-105.
Pedersen GW. 1996. Oral Surgery. Jakarta: EGC.
Pototski M, Amenabar JM. 2007. Dental Management of Patient Receiving
Anticoagulan or Antiplatelet Treatment. Journal Of Oral Sience
49(4):253:257.

27
Spect pet, MRI. 1992. What’s New in Cardiac Imaging ?. Kluwer Academic
Publisher. Netherland
Sukaman.1986. Kelainan Jantung Pada Penderita Hipertensi. Pendekatan Praktis
dan Penatalaksanaan.
UK Medicine Infromation. 2007.Surgical Management of Primary Care Dental
Patient on Warfarin. Liverpool: North Wesr Medicines Information Centre.
US Departement of Health & Human Services: So you Have High Blood
Cholesterol.

28

Anda mungkin juga menyukai