Anda di halaman 1dari 21

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Diabetes Melitus
A. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010,
Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolit dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya (Magfirah dkk., 2014).
B. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis umum yang timbul pada penderita diabetes
diantaranya sering buang air kecil (poliuria) dan terdapat gula pada air
seninya (glukosuria) yang merupakan efek langsung kadar glukosa darah
yang tinggi. Poliuria mengakibatkan penderita merasakan haus yang
berlebihan sehingga banyak minum (polidipsia). Poliuria juga
mengakibatkan terjadinya polifagi (sering lapar), kadar glukosa darah
yang tinggi pada penderita diabetes tidak diserap sepenuhnya oleh sel-sel
jaringan tubuh. Penderita akan kekurangan energi, mudah lelah, dan berat
badan terus menurun (Utami, 2003; Price et al., 2014).
C. Klasifikasi
Menurut World Health Organization (WHO) :
1) Diabetes Mellitus Tipe 1, yang dahulu disebut sebagai diabetes
melitus dependen insulin atau diabetes onset juvenilis, membentuk
5% hingga 10% kasus diabetes. Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa terdapat dua subkelompok diabetes melitus tipe 1. Bentuk
tersering adalah tipe 1A, yang disebabkan oleh destruksi autoimun
sel beta; tipe 1B berkaitan dengan defisiensi berat insulin, tetapi
tidak ditemukan autoimunitas (Kumar et al., 2012).
2) Diabetes Melitus Tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe
onset maturitas dan tipe non-dependen insulin. Obesitas sering
dikaitkan dengan penyakit ini (Price et al., 2014).
3) Gestational Diabetic Mellitus (GDM) dikenali pertama kali selama
kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor
resiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas,
7

riwayat keluarga, dan riwayat diabetes gestasional terdahulu. Karena


terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek
metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu
keadaan diabetogenik (Price et al., 2014).
4) Tipe diabetes spesifik lainnya adalah (a) kelainan genetik dalam sel
beta seperti yang dikenali pada Maturity-Onset Diabetes of the
Young (MODY), (b) kelainan genetik pada kerja insulin
menyebabkan sindrom resistensi insulin berat dan akantosis
negrikans, (c) penyakit pada eksokrin pankreas menyebabkan
pankreatitis kronik, (d) obat-obat yang bersifat toksik pada sel-sel
beta dan (f) infeksi (Price et al., 2014).
D. Diagnosis
1) Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa darah
sewaktu lebih dari atau sama dengan 200mg/dL sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis diabetes melitus (Probosuseno, 2013).
2) Pasien dikatakan menderita diabetes melitus bila kadar glukosa darah
2 jam pada TTGO lebih dari atau sama dengan 200mg/dL. Meskipun
TTGO dengan beban glukosa 75 gram glukosa lebih sensitif dan
spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa darah puasa, namun
memiliki keterbatasan tersendiri (Probosuseno, 2013).
3) Dengan pemeriksaan glukosa darah puasa yang lebih mudah
dilakukan, pasien dikatakan diabetes melitus bila kadar glukosa darah
puasa lebih dari atau sama dengan 126 mg/dL (Probosuseno, 2013).
4) Pemeriksaan hemoglobin-glikosilat A1c (HbA1c). Pemeriksaan
HbA1c merupakan pemeriksaan yang menjadi tolak ukur paling tepat
dalam pengendalian diabetes melitus. Pemeriksaan HbA1c
merupakan gold standard dalam pengukuran kadar glikemik. Kontrol
gula darah merupakan dasar dari pengelolaan diabetes (Meloh dkk.,
2015).
E. Komplikasi
Komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 kategori :
1) Komplikasi metabolik akut, disebabkan oleh perubahan yang relatif
akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang
paling serius pada diabetes tipe 1 adalah Diabetic Ketoacidosis
(DKA). Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK)
8

adalah komplikasi metabolik akut lain dari diabetes tipe 2 yang lebih
tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif
hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Komplikasi metabolik lain yang
sering dari diabetes adalah hipoglikemia (reaksi insulin, syok
insulin), terutama komplikasi terapi insulin (Price et al., 2014).
2) Komplikasi kronik jangka panjang dari diabetes melibatkan
pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-
pembuluh sedang dan besar (makroangiopati) (Price et al., 2014).
a. Mikroangiopati
Hiperglikemia ada kaitan yang kuat dengan insiden dan
berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa
mikroaneurisma (pelebaran sakular yang kecil) dari arteriola
retina. Akibatnya, perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut
retina dapat mengakibatkan kebutaan (Price et al., 2014).
Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan hipertensi.
Jika hilangnya fungsi nefron terus berlanjut, pasien akan
menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Neuropati dan katarak
disebabkan oleh gangguan jalur poliol akibat kekurangan insulin.
Terdapat penimbunan sorbitol dalam lensa sehingga
mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan. Pada jaringan
saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan
kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati (Price et al.,
2014).
b. Makroangiopati
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran
histopatologis berupa aterosklerosis. Gangguan-gangguan ini
berupa : penimbunan sorbitol dalam intima vaskular,
hiperlipoproteinemia, dan kelainan pembekuan darah. Pada
akhirnya, makroangiopati ini akan mengakibatkan penyumbatan
vaskular. Jika mengenai arteri perifer, maka dapat mengakibatkan
insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten
dan ganggren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan
stroke. Komplikasi neuropati yang tersering dan paling penting
adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko
9

tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering
dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa
sakit di malam hari (Pekumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011;
Price et al., 2014).

2. Ulkus Kaki Diabetik


A. Definisi
Ulkus diabetik atau ulkus kaki diabetik merupakan komplikasi
kronik yang diakibatkan oleh penyakit diabetes melitus. Penggunaan
istilah ulkus kaki diabetik digunakan untuk kelainan kaki mulai dari
ulkus sampai gangren yang terjadi pada pasien diabetes akibat neuropati
atau iskemik perifer atau keduanya (Pierce et al., 2007; Lesmana, 2010).
B. Etiologi
Kebanyakan kejadian ulkus kaki terjadi akibat trauma minor dalam
neuropati sensorik. Gambaran yang paling jelas dalam trias penyebab
paling sering terlihat pada pasien ulkus kaki diabetik dengan : neuropati
sensorik perifer, deformitas, dan trauma. Ketiga faktor risiko tersebut
terdapat dalam 65% kasus ulkus kaki diabetik. Kalus, edema, dan
penyakit pembuluh darah perifer juga telah diidentifikasi sebagai faktor
etiologi dalam perkembangan ulkus kaki diabetik (Kruse et al., 2006).
C. Patofisiologi
Ulkus diabetikum diawali dengan adanya hiperglikemia pada pasien
dengan diabetes melitus yang menyebabkan kelainan neuropati dan
kelainan pada pembuluh darah. Neuropati sensorik maupun motorik dan
automik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot,
kemudian akan menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan
pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus,
dengan adanya kerentanan terhadap infeksi dapat menyebabkan infeksi
mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang
kurang juga akan lebih lanjut menambah kesulitan dalam pengelolaan
ulkus diabetikum (Unang, 2002).
D. Klasifikasi
a. Klasifikasi Pedis International Consensus on the Diabetic Foot 2013 :
Tabel 2.1 Tabel Klasifikasi
Skor
10

Gangguan perfusi 1=tidak ada


2=penyakit arteri perifer tetapi tidak parah
3=iskemi parah pada kaki
Ukuran (extend) dalam 1=permukaan kaki, hanya sampai dermis
mm dan dalamnya 2=luka pada kaki sampai di bawah dermis
(depth) meliputi fasia, otot dan tendon
3=sudah mencapai tulang dan sendi
Infeksi 1=tidak ada gejala
2=hanya infeksi pada kulit dan jaringan
3=eritema lebih dari >2cm atau infeksi
meliputi subkutan tetapi tidak ada tanda
inflamasi
4=infeksi dengan manefestasi demam,
leukositosis, hipotensi dan azotemia
Hilangnya sensasi 0=tidak ada
1=ada

(Chadwick, dkk., 2013)

b. Klasifikasi ulkus kaki diabetik menurut Wagner, terdiri dari :


1) Wagner 0: tidak ada luka terbuka, kulit utuh
2) Wagner 1: Tukak neuropatik/superfisial: telapak kaki, dikelilingi
kalus, hiperemia
3) Wagner 2: Tukak superfisial dorsum dan lateral kaki; tukak
neuroiskemik; meluas ke subkutan, selulitis sekitarnya, gangren di
pinggir dan tanpa disertai osteomyelitis.
4) Wagner 3: Tukak dalam (neuroiskemik) sampai ke tumit,
osteomyelitis
5) Wagner 4: Iskemia, gangren dua jari dan sebagian kaki depan,
hiperemia dan meliputi semua kematian jaringan.
6) Wagner 5: gangren yang membesar meliputi kematian semua
jaringan kaki (Chadwick, dkk., 2013).
11

Gambar 2.1 Klasifikasi Wagner


(Chadwick dkk., 2013)
E. Diagnosis
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2011) :
I. Anamnesis
a. Anamnesis umum
1. Lama menderita DM
2. Kontrol glukosa darah
3. Gejala komplikasi jantung, ginjal, dan penglihatan
4. Adanya penyakit penyerta lainnya
5. Status gizi
6. Riwayat merokok, minum alcohol, konsumsi obat-obatan
tertentu
7. Riwayat alergi
8. Pengobatan saat ini
9. Riwayat pembedahan dan perawatan di rumah sakit
sebelumnya
b. Anamnesis terarah
1. Aktivitas sehari-hari
2. Pemakaian sepatu
3. Riwayat pajanan bahan kimia
4. Riwayat infeksi atau pembedahan pada kaki
5. Gejala-gejala neuropati
c. Anamesis riwayat luka
1. Lokasi luka
2. Lamanya timbul luka
3. Riwayat trauma sebelumnya
4. Kekambuhan
5. Ada tidaknya infeksi
6. Perhatian keluarga (orang terdekat di rumah) terhadap luka
7. Adanya edema, uni atau bilateral
12

II. Pemeriksaan Fisik


a. Pemeriksaan vascular
1. Palpasi pulsasi arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis
posterior
2. Perubahan warna kulit
3. Adanya edema
4. Perubahan suhu
5. Kelainan lokal di ekstremitas : kelainan pertumbuhan kaki,
rambut dan atrofi kulit
b. Pemeriksaan Neuropati
Neuropati perifer berhubungan dengan neurosensorik,
motorik atau atonom. Tanda klasik neuropati motorik adalah
ditemukkanya longitudinal kaki yang meninggi sehinggakepala
metatarsal menjadi menonjol dan mengalami penekanan yang
berlebihan. Neuropati otonom yang khas adalah kulit kering
disertai fisura dan distensi vena di daerah punggung kaki atau
pergelangan. Terdapat sistem skoring neuropati untuk
mendeteksi dini yaitu Modified Diabetik Examination yaitu :
1. Pemeriksaan kekuatan otot (otot Gastroknemius dan Otot
Tibialis anterior)
2. Pemeriksaan refleks patella dan Achilles
3. Pemeriksaan sensorik pada ibu jari kaki (sensasi terhadap
tusukan jarum, sensasi perabaan, sensasi vibrasi dan sensasi
terhadap gerak posisi)
F. Pengelolaan
Menurut Waspadji (2014) :
1) Pencegahan Primer
Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetik sangat penting
untuk pencegahan kaki diabetik, dilaksanakan pada setiap kesempatan
pertemuan dengan penyandang diabetes melitus. Menurut Fryberg
keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan berdasarkan risiko
terjadinya dan risiko besarnya masalah yang akan timbul, yaitu: 1)
sensasi normal tanpa deformitas; 2) sensasi normal dengan deformitas
atau tekanan plantar tinggi; 3) Intesitivitas tanpa deformitas; 4)iskemia
tanpa deformitas, 5) Kombinasi/complicated: (a) kombinasi
intensivitas, iskemia dan atau deformitas, (b) riwayat adanya tukak,
deformitas Charcot.
13

2) Pencegahan Sekunder
a) Kontrol Metabolik
Konsentrasi glukosa darah diusahakan agar selalu senormal
mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait
hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka.
Nutrisi yang baik membantu penyembuhan luka. Albumin,
serum, konsentrasi Hb dan derajat oksigenasi jaringan juga
harus diperhatikan dan diperbaiki, begitu juga untuk fungsi
ginjalnya agar tidak menghambat kesembuhan luka.
b) Kontrol Vaskular
Kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui cara
sederhana seperti: warna dan suhu kulit, perabaan pembuluh
darah kaki, dan pengukuran tekanan darah dan beberapa cara
lain yang lain, yang lebih mutakhir seperti pemeriksaan ankle
brachial index, ankle preassure, toe pressure, TcPO2, dan
pemeriksaan arteriografi. Setelah dilakukan diagnosis vaskular,
dilakukan pengelolaan untuk pemeriksaan arteriografi. Setelah
dilakukan diagnosis vaskular, dilakukan pengelolaan untuk
kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vaskular, yaitu:
i. Modifikasi Faktor Risiko
Berhenti merokok, memperbaiki berbagai faktor risiko
terkait aterosklerosis (hiperglikemia, hipertensi,
dislipidemia), dan walking program, merupakan usaha yang
dominan oleh jajaran rehabilitasi medik.
ii. Terapi Farmakologis
Untuk mengatasi infeksi pada ulkus diabetik digunakan
antibiotik, namun penggunaan antibiotik untuk mengobati
infeksi diberikan setelah dilakukan kultur antibiotik karena
penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dapat
meningkatkan nilai resistensi terhadap antibiotik. Berikut
ini tabel yang menjelaskan penggunaan antibiotik secara
empirik
14

Tabel 2.2 Pemilihan Antibiotik Untuk Kaki Diabetik


Kasus Pilihan obat Alternatif
Ringan sampai Dicloxacillin Cephalexin ;
sedang, selulitis lokal (Pathocil) amoxicillin/clavulanate
(rawat jalan) potassium ; oral clindamycin
Selulitis Sedang Nafcillin atau Cefazolin (Ancef);
sampai berat (rawat oxacillin ampicillin/sulbactam (Unasyn);
inap) clindamycin IV; vancomycin
Selulitis Sedang Ampicillin/sulbactam Ticarcillin/clavulanate ;
sampai berat dengan clindamycin ditambah
iskemia atau nekrosis ciprofloxacin; ceftazidime atau
lokal cefepime atau cefotaxime atau
ceftriaxone ditambah
metronidazole ; cefazolin
(untuk Staphylococcus aureus);
nafcillin
Infeksi yang Ticarcillin/clavulanate Clindamycin ditambah
mengancam dengan atau tanpa ciprofloxacin atau
ekstremitas aminoglikosida tobramycin ; clindamycin
ditambah ceftazidime atau
cefepime atau cefotaxime atau
ceftriaxone; imipenem/cilastin
atau meropenem ;
vancomycin ditambah
aztreonam
Ditambah metronidazole;
vancomycin ditambah
cefepime; ceftazidime
ditambah metronidazole
(Frykberg, 2006)
15

G. Manajemen
Manajemen ulkus kaki diabetik menurut Cahyono (2007), yaitu:
1) Debridemen
Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya pembersihan
benda asing dan jaringan nekrotik pada luka. Ada beberapa pilihan
dalam tindakan debridemen, yaitu debridemen mekanik, enzimatik,
autolitik, biologik, debridemen bedah. Debridemen mekanik
dilakukan menggunakan irigasi luka cairan fisiologis, ultrasonik
laser, dan sebagainya, dalam rangka untuk membersihkan jaringan
nekrotik.
Debridemen bedah merupakan jenis debridemen yang paling
cepat dan efisien. Tujuan debridemen bedah adalah untuk (1)
mengevakuasi bakteri kontaminasi, (2) mengangkat jaringan
nekrotik sehingga dapat mempercepat penyembuhan, (3)
menghilangkan jaringan kalus, (4) mengurangi risiko infeksi lokal.
2) Mengurangi beban tekanan (off loading)
Pada penderita DM yang mengalami neuropati permukaan
plantar kaki mudah mengalami luka atau luka menjadi sulit sembuh
akibat tekanan beban tubuh maupun iritasi kronis sepatu yang
digunakan. Salah satu hal yang sangat penting namun sampai kini
tidak mendapatkan perhatian dalam perawatan kaki diabetik adalah
mengurangi atau menghilangkan beban pada kaki (off loading).
Upaya off loading berdasarkan penelitian terbukti dapat
mempercepat kesembuhan ulkus.
Metode off loading yangsering digunakan adalah: mengurangi
kecepatan saat berjalankaki, istirahat (bed rest), kursi roda, alas kaki,
removable cast walker, total contact cast, walker, sepatu boot
ambulatory. Total contact cast merupakan metode off loading yang
paling efektif dibandingkan metode yang lain.
3) Perawatan luka
Perawatan luka modern menekankan metode moist wound
healing atau menjaga agar luka dalam keadaan lembab. Luka akan
menjadi cepat sembuh apabila eksudat dapat dikontrol, menjaga agar
16

luka dalam keadaan lembab, luka tidak lengket dengan bahan


kompres, terhindar dari infeksi dan permeabel terhadap gas.
Tindakan dressing merupakan salah satu komponen penting dalam
mempercepat penyembuhan lesi. Prinsip dressing adalah bagaimana
menciptakan suasana dalam keadaan lembab sehingga dapat
meminimalisasi trauma dan risiko operasi.

3. Bakteri
A. Definisi
Bakteri adalah salah satu golongan organisme prokariotik (tidak
mempunyai selubung inti). Bakteri sebagai makhluk hidup tentu
memiliki informasi genetik berupa DNA, tapi tidak terlokalisasi dalam
tempat khusus (nukleus) dan tidak ada membran inti (Jawetz et al.,
2007).
B. Klasifikasi Bakteri
Terdapat beberapa cara penggolongan bakteri diantaranya
berdasarkan dinding sel bakteri dan morfologi bakteri (Gani, 2008).
1) Dinding sel
Dinding sel bakteri relatif kuat, sehingga dapat mempertahankan
bentuk bakteri itu sendiri, walaupun tekanan osmotiknya tinggi, sel
bakteri tidak pecah. Dalam garis besarnya didnding sel bakteri
dikelompokkan kedalam 2 jenis yaitu:
a) Dinding sel gram positif
Lapisan peptidoglikan sangat tebal yang terdiri dari rantai
polisakarida biasanya N-acetyl-D-glucosamine (NAG) dan N-acetyl
–D- Muramic Acid (NAM). Komponen lain dari dinding sel gram
positif adalah teochoic acid dan lipoteichoic acid, dimana kedua
komponen ini merupakan hal yang unik bagi dinding sel gram
positif. Misalnya bakteri Micrococcus, Staphylococcus,
Leuconostoc, Pediococcus dan Aerococcus (Gani, 2008).

b) Dinding sel gram negatif


Terdiri dari 2 lapisan, bagian dalam adalah lapisan peptidoglikan
yang lebih tipis dari dinding sel gram positif, bagian dalam
17

sebelum murein terdapat periplasmic space yang tidak dimiliki


oleh bakteri gram positif, sedangkan lapisan bagian luar terdiri dari
protein dan lipopolisakarida. Misalnya bakteri Escherichia,
Citrobacter, Salmonella, Shigella, Enterobacter, Vibrio,
Aeromonas, Photobacterium, Chromabacterium, Flavobacterium
(Gani, 2008).
2) Morfologi bakteri
a) Kokus (coccus)
Ada coccus yang berdiri sendiri (Micrococcus), ada yang duduk
berdua berpasangan dan berbentuk biji kopi atau diplococcus (N.
Gonorrhoeae), ada yang berbentuk seperti rantai (streptococcus)
dan ada pula yang bergerombol seperti buah anggur
(Staphylococcus) (Gani, 2008).
b. Basil (batang)
Bakteri yang berbentuk batang bermacam-macam, mulai dari yang
paling pendek/ coccobacilli (Gardnerella), sel bakteri basil
tunggal (Eschericcia coli), bentuk batang dengan bermacam-
macam bentuk dan ukuran (Salmonella, Shigella), batang dengan
ujung yang lancip (Fusiformis) (Gani, 2008).
c) Spirokhaeta (spiral)
Berbentuk spiral halus, elastis dan fleksibel sehingga dapat
bergerak dengan aksial filamen. Bentuk sel bergelombang,
misalnya Thiospirillopsis floridina. Bentuk sel seperti tanda baca
koma, misalnya Vibrio cholera. Bentuk sel seperti sekrup, misalnya
Treponema pallidum (Gani, 2008).
C. Identifikasi bakteri
Dalam laboratorium, bakteri dikembangkan melalui dua metode,
solid dan liquid. Media pertumbuhan solid seperti piring agar digunakan
untuk mengisolasi kultur murni dari bakteri yang diinginkan. Jika kita
menginginkan biakan dalam jumlah yang besar, maka kita bisa
menggunakan metode liquid. Dalam media pertumbuhan ini, sel biakan
dapat dengan mudah berkembang biak (membelah diri) dibandingkan
dengan media solid, meskipun cukup sulit (Sacher, 2004). Adapun
metode dalam melakukan identifikasi bakteri adalah:
18

1) Pewarnaan
Menurut Sacher (2004), teknik pewarnaan dikelompokkan menjadi
beberapa tipe, berdasarkan respon sel bakteri terhadap zat pewarna
dan sistem pewarnaan yang digunakan.
a) Untuk pemisahan kelompok bakteri berdasarkan bentuk dan sifat
terhadap pengecatan gram, yang berwarna merah termasuk
kelompok bakteri gram negatif, sedangkan yang berwarna ungu
adalah kelompok bakteri yang bersifat gram positif. Pewarnaan
“acid-fast” (tahan asam) untuk genus Mycobacterium.
b) Untuk melihat struktur digunakan pewarnaan flagela, pewarnaan
kapsul, pewarnaan spora, dan pewarnaan nukleus. Pewarnaan
Neisser atau Albert digunakan untuk melihat granula metakromatik
(volutin bodies) pada Corynebacterium diphtheriae. Untuk semua
prosedur pewarnaan mikrobiologi dibutuhkan pembuatan apusan
lebih dahulu sebelum melaksanakan beberapa teknik pewarnaan
yang spesifik.
2) Media untuk pertumbuhan bakteri
Media atau perbenihan adalah bahan yang digunakan untuk
perkembangbiakan bakteri di laboratorium secara invitro. Adapun
perbenihan yang digunakan dilaboratorium adalah: (Gani, 2008)
a) Nutrient media
Adalah perbenihan yang lebih kompleks karena telah ditambahkan
ekstrak daging atau bahan tertentu kedalamnya, misalnya Nutrient
broth dan Trypticase soy broth
b) Ecriched media (Supported media)
Perbenihan ini telah ditambahkan faktor-faktor pertumbuhan
seperti darah, vitamin, ekstrak ragi dll, sehingga bakteri yang sulit
ditumbuhakan dapat dibiak pada perbenihan ini, misalnya: agar
darah dan agar coklat.
c) Selective media
Pada Perbenihan ini hanya bakteri tertentu yang dapat tumbuh
dengan baik, sedangkan bakteri lainnya dapat terhambat
pertumbuhannya, karena telah ditambahkan zat/bahan tertentu yang
19

bersifat menghambat, misalnya: Mac Conkey agar, Salmonella


Shigella agar.
d) Differential agar
Yaitu media yang dapat memperlihatkan perbedaan hasil metabolik
sebagai akibat pertumbuhan bakteri pada perbenihan tersebut,
sehingga dapat dibedakan kelompok atau spesies dari bakteri yang
bersangkutan, misalnya: KIA, MR-VP medium, dan LIA medium.
e) Transport media
Untuk mencegah agar bakteri yang ada dalam spesimen tidak mati
dan tidak mengadakan multipikasi, digunakanlah transport media;
misalnya Stuart medium, Amies medium dan Cary-Blair transport
medium.

4. Sensitivitas Antibiotik
Antibibiotik adalah zat biokimia yang diproduksi oleh mikroorganisme,
yang dalam jumlah kecil dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh
mikroorganisme lain. Sesuai sifatnya antibiotik harus memiliki toksisitas
selektif karena kelompok obat ini diproduksi oleh satu mikroorganisme dan
mempunyai derajat toksisitas yang berbeda-beda terhadap mikroorganisme
lain. Penetapan kerentanan patogen terhadap antimikroba penting untuk
menyelidiki antibiotik yang sesuai. Metode cakram Kirby-bauer merupakan
salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui nilai sensitivitas suatu
antibiotik terhadap suatu bakteri (Harmita dkk, 2008).
Pemeriksaan uji sensitivitas menggunakan metode agar difusi cakram
dan dilakukan cara Kirby-bauer (standard single disk method). Adapun
prosedur pemeriksaannya yaitu:
a. Biakan bakteri yang berumur 24 jam pada agar miring dengan
menggunakan sengkelit ditanam pada suhu 370C, atau bila jumlah
bakteri cukup, dapat langsung disuspensikan sampai McFarland 0,5
kaldu Muller Hinton.
b. Suspensi biakan bakteri kemudian disesuaikan kekeruhan dengan
standar kekeruhan / nephelometer McFarland 0,5.
20

c. Dengan menggunakan swab kapas steril, swab kapas ini di celupkan


dalam suspensi biakan bakteri setelah diperas dengan cara menekan dan
memutar swab kapas pada dinding tabung di luar cairan sebanyak 2
kali, lalu pada lempeng agar Muller Hinton dengan cara garis
menggaris, rapat, sejajar, lalu diputar 600 dan lakukan garisan serupa
dengan lidi kapas yang sama, sampai 3X, sehingga terjadi penyebaran
biakan bakteri secara merata keseluruhan permukaan agar.
d. Biakan bakteri pada lempeng agar ini dibiarkan mengering selama 4-5
menit (tidak boleh lebih dari 15 menit).
e. Kemudian meletakan cakram antibiotika pada lempeng agar tersebut
yang berdiameter 6 cm sebanyak 2-3 cakram antibiotika dengan
menggunakan pinset atau dispenser disc.
f. Selanjutnya lempeng agar di inkubasi pada suhu 37 0C selama 18-24
jam.
g. Keesokan harinya dilihat ada tidaknya zona hambatan yang terbentuk
disekitar cakram antibiotika.
h. Penulisan dan intepretasi hasil.
i. Pengukuran diameter zona hambatan dengan menggunakan alat ukur
jangka sorong pada zona yang jernih, kemudian dicatat pada uji
kepekaan.
j. Pembacaan dan evaluasi kepekaan mengikuti petunjuk standar
interpretasi yang ada di Laboratorium Kesehatan Daerah Kota Palu
dengan interpretasi sebagai berikut :

Tabel 2.3 : Interpretasi Sensitivitas Antibiotik

No Obat Sensitif (S) Intermediet (I) Resisten (R)


1 Amikacin 17 mm 15-16 mm 14 mm
2 Amox + Clav Acid 18 mm 14-17 mm 13 mm
3 Amoxicillin 21 mm 14-20 mm 14 mm
4 Ampicillin 15 mm 12-14 mm 11 mm
5 Bacitracin 13 mm 9-12 mm 8 mm
6 Cefaclor 18 mm 15-17 mm 14 mm
7 Cefadroxil 18 mm 15-17 mm 14 mm
8 Cefhalothin 18 mm 15-17 mm 14 mm
9 Cefoperazone 21 mm 16-20 mm 15 mm
10 Cefotaxime 23 mm 15-22 mm 14 mm
21

11 Ceftazidime 18 mm 15-17 mm 14 mm
12 Ceftriaxone 21 mm 14-20 mm 13 mm
13 Cephalexin 18 mm 15-17 mm 14 mm
14 Chloramphenicol 18 mm 13-17 mm 12 mm
15 Ciprofloxacin 21 mm 16-20 mm 15 mm
16 Cloxacillin 13 mm 11-12 mm 10 mm
17 Cotrimoxazole 16 mm 11-15 mm 10 mm
18 Doxycycline 16 mm 13-15 mm 12 mm
19 Erythromycin 23 mm 14-22 mm 13 mm
20 Fosfomycin 16 mm 13-15 mm 12 mm
21 Gentamicin 15 mm 13-14 mm 12 mm
22 Kanamicin 18 mm 14-17 mm 13 mm
23 Levofloxacin 17 mm 14-16 mm 13 mm
24 Meropenem 16 mm 14-15 mm 13 mm
25 Methicillin 14 mm 10-13 mm 9 mm
26 Nalidixic Acid 19 mm 14-18 mm 13 mm
27 Neomycin 17 mm 13-16 mm 12 mm
28 Nitrofurantoin 17 mm 15-16 mm 14 mm
29 Norfloxacin 17 mm 13-16 mm 12 mm
30 Novobiocin 22 mm 18-21 mm 17 mm
31 Ofloxacin 16 mm 13-15 mm 12 mm
32 Oxacillin 13 mm 11-12 mm 10 mm
33 Pefloxacin 22 mm 16-21 mm 15 mm
34 Penicillin G 29 mm 21-28 mm 19 mm
35 Streptomicin 15 mm 12-14 mm 11 mm
36 Sulfonamides 17 mm 13-16 mm 12 mm
37 Tetracycline 19 mm 15-18 mm 14 mm
38 Vancomycin 17 mm 15-16 mm 14 mm
(Labkesda, 2016)
5. Sistem Informasi Geografis (SIG)
A. Definisi
Sistem informasi georgrafis pada dasarnya memiliki pengertian, yaitu
sistem informasi berbasis komputer dengan memakai data digital yang
berhubungan pada letak geografis di muka bumi dan terdiri dari 3 unsur
pokok yaitu sistem, informasi dan geografi (Krisna dkk, 2014).
Istilah informasi geografi mengandung pengertian informasi mengenai
tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai
posisi suatu objek dan informasi mengenai keterangan-keterangan
(atribut) yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diketahui.
22

Sistem informasi geografis yang terdiri dari sistem komputer, data


geospatial, dan user (Krisna dkk, 2014).
B. Fungsi
SIG mempresentasikan real world (dunia nyata) di atas monitor
komputer seperti lembaran peta yang dapat mempresentasikan dunia
nyata diatas kertas, akan tetapi mempunyai kekuatan lebih dan
fleksibilitas dari pada lembaran kertas (Krisna dkk, 2014).
SIG dapat melihat peta yang berbasis sistem informasi, yang dapat
menjelaskan lebih terperinci dan mempermudah pemahaman dari peta
tersebut (An Ni’mah, 2014).
C. Subsistem
Menurut Prahasta (2009), SIG dapat diuraikan menjadi beberapa
subsistem sebagai berikut :
1. Data Input
Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan, mempersiapkan, dan
menyimpan data spasial dan atributnya dari berbagai sumber.
Subsistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengonversikan
atau mentransformasikan format-format data aslinya ke dalam format
yang dapat digunakan oleh perangkat SIG yang bersangkutan.
2. Data Output
Sub-sistem ini bertugas untuk menampilkan atau menghasilkan
keluaran (termasuk mengekspornya ke format yang dikehendaki)
seluruh atau sebagian basis data (spasial) baik dalam bentuk softcopy
maupun hardcopy seperti halnya tabel, grafik, report, peta, dan lain
sebagainya.
3. Data Manajemen
Sub-sistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun tabel-
tabel atribut terkait ke dalam sebuah sistem basis data sedemikian
rupa hingga mudah dipanggil kembali atau di-retrieve, di-update,
dan di-edit.
4. Data Manipulasi dan Analisis
23

Sub-sistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat


dihasilkan oleh SIG. Selain itu sub-sistem ini juga melakukan
Diabetes Mellitus
manipulasi (evaluasi dan penggunaan fungsi-fungsi dan operator
matematis & logika) dan pemodelan data untuk menghasilkan
informasi yang diharapkan.

Gambar 2.2 Ilustrasi Uraian Sub-sistem SIG


(Prahasta, 2009)

B. Kerangka Teori

Komplikasi Akut Komplikasi Kronis

Makroangiopati Mikroangiopati
24

Pembuluh Darah Pembuluh Darah Pembuluh Darah


Jantung Perifer Otak

Sensitivitas Antibiotik

Sistem Informasi
Ulkus Kaki Diabetik
Geografis

Sensitivitas
Bakteri
Antibiotik

Keterangan:

: Diteliti

: Tidak Diteliti

Gambar 2.3 Kerangka Teori

C. Kerangka Konsep

Jenis dan Sifat Bakteri


Ulkus Kaki Diabetik

Sistem Informasi Geografis

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

D. Landasan Teori
25

Salah satu komplikasi penyakit diabetes melitus yang sering dijumpai adalah
kaki diabetes, yang dapat bermanifestasikan sebagai ulkus, infeksi dan gangren
dan artropati Charcot. Sekitar 15% penderita DM dalam perjalanan penyakitnya
akan mengalami kompikasi ulkus diabetik terutama ulkus di kaki. Infeksi
merupakan ancaman utama amputasi pada penderita ulkus kaki diabetik. Infeksi
superficial di kulit apabila tidak segera diatasi dapat berkembang menembus
jaringan di bawah kulit, seperti otot, tendon, sendi dan tulang atau bahkan menjadi
infeksi sistemik (Cahyono, 2007).
Pada ulkus kaki diabetik yang terinfeksi harus dilakukan kultur dan
sensitivitas kuman. Metode yang dipilih dalam melakukan kultur adalah aspirasi
pus atau cairan. Namun standar kultur adalah dari debridemen jaringan nekrotik.
Kuman pada infeksi kaki diabetik bersifat polimikrobial. Staphylococcus dan
Streptococcus merupakan patogen dominan (Cahyono, 2007).
Leicher dkk, pada tahun 1988 melaporkan penyebab terbanyak adalah bakteri
gram positif (Staphylococcus Auerius dan Streptococcus sp) dan gram negatif
(Proteus sp dan Pseudomonas sp). Manchester UK pada tahun 1999 menjumpai
infeksi terbanyak adalah bakteri gram positif (Staphylococcus sp dan
Streptococcus sp) (Fitrah, 2008).
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Gerben Hutabarat pada tahun 1897
dan Leo dkk pada tahun 2001 di Medan, di Rumah Sakit dr.Wahidin
Sudirohusodo Makassar pada tahun 2010, Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar 2009-2010, dan di Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran kota Kediri di
dapatkan bakteri yang terbanyak pada ulkus kaki diabetik adalah bakteri gram
negatif. Akan tetapi, pola bakteri pada ulkus kaki diabetik berbeda pada tiap
daerah bahkan rumah sakit. Secara garis besar tidak ada penelitian yang pada hasil
kultur bakterinya hanya didapatkan bakteri gram negatif saja. (Fitrah, 2008; Akbar
dkk, 2014).
Menurut data dari Riskesdas tahun 2013, angka terdiagnosisnya penyakit
diabetes mellitus di Sulawesi Tengah tertinggi ketiga dengan 29.776 penduduk,
tertinggi pertama dan kedua yakni Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara, masing-
masing 91.823 penduduk dan 40.772 penduduk. Kemudian untuk komplikasi yang
ditimbulkan oleh diabetes mellitus itu sendiri, dimana untuk neuropati atau
26

kerusakan saraf di kaki yang meningkatkan kejadia ulkus kaki, infeksi dan bahkan
amputasi merupakan komplikasi tertinggi, yakni sebesar 54%.

Anda mungkin juga menyukai