Anda di halaman 1dari 17

Journey Journal

-- The Silent Witness of My Story --


Recording Every Sweet and Bitter Memories

Prologue (Me) / Rendezvouz / Contact / Ask me anything

1. 5 Jul

Sekali-sekali ngepost tugas kuliah (Tourism Geography)

PERKEMBANGAN TOURIST BUSINESS DISTRICT KOTA BEKASI

Adelina Chandra, 1106052184

Departemen Geografi, Universitas Indonesia

PENDAHULUAN

Kota Bekasi merupakan wilayah urban yang berkembang dalam kawasan metropolitan
yakni Jabodetabek. Secara administratif, Kota bekasi berbatasan langsung dengan Kota
Jakarta Timur di bagian barat, Kabupaten Bekasi di bagian utara dan timur, Kabupaten
Bogor di bagian selatan dan Kota Depok di bagian barat daya. Keberadaannya sebagai
bagian dari Megapolitan Jabodetabek menyebabkan banyak perkembangan yang terjadi
di kota ini. Megapolitan merupakan kesatuan wilayah fungsional yang
didalamnyaterdapat interaksi ekonomi dan kebergantungan antar wilayah. Badan Pusat
Statistik tahun 2011 mencatat jumlah penduduk Kota Bekasi tahun 2008 sebanyak
2.238.717jiwa, tahun 2009 sebanyak 2.319.518 jiwa, tahun 2010 sebanyak 2.334.871
jiwa dan tahun 2011 sebanyak 2.422.922 jiwa. Terlihat bahwa jumlah penduduk Kota
Bekasi bertambah dari tahun ketahun, hal ini merupakan salah satu perkembangan karena
interaksi yang terjadi di kawasan Jabodetabek. Berikut merupakan peta administrasi
KotaBekasi.
Peta Administrasi Kota Bekasi (Kota Bekasi Dalam Angka 2011)

Kota Bekasi lahir pada tahun 1982, dimana kota ini merupakan salah satu kecamatan di
Kabupaten Bekasi sebelum menjadi Kota. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat
menyebabkan tingginya kebutuhan lahan,hingga saat ini 90% luas Kota Bekasi
merupakan permukiman. Selain itu aktivitas perekonomian juga berkembang seiring
dengan pertumbuhan penduduk. Setyawan tahun 2002 mengemukakan bahwa pada
awalnya pusat pertokoan di Bekasi hanya berkembang di sepanjang jalan Ir. H. Juanda
yang membujur sepanjang 3 km dari alun-alun kota hingga terminal Bekasi. Di jalan ini
terdapat berbagai pusat pertokoan yang dibangun sejak tahun 1978. Selanjutnya sejak
tahun 1993, kawasan sepanjang Jl. Ahmad Yani berkembang menjadi kawasan
perdagangan seiring dengan munculnya beberapa mal serta sentra niaga. Pertumbuhan
kawasan perdagangan terus berkembang hingga jalan K. H. Noer Ali (Kalimalang),
Kranji, dan Kota Harapan Indah. Selain itu keberadaan kawasan industri di kota ini, juga
menjadi mesin pertumbuhan ekonominya, dengan menempatkan industri pengolahan
sebagai yang utama.

Perkembangan kegiatan ekonomi dalam ruang kemudian melahirkan pusat aktivitas


ekonomi atau Central Business District (CBD) di Kota Bekasi. Perubahan fungsi lahan
menjadi wilayah permukiman, wilayah komersil dan lainnya kemudian membentuk pola
spasial tertentu. Karya tulis ini akan membahas bagaimana pergeseran penggunaan lahan
yang memmbentuk sektor komersial atau CBD dan menyebabkan terbentuknya Tourism
Business District (TBD) . Terbentuknya TBD ini ditandai dengan keberadaan lokasi
tujuan wisata di wilayah tersebut sehingga terbentuk atrasi pariwisata disekitarmya.

DASAR TEORI

Atraksi Pariwisata

Sebuah fitur fisik atau budaya tempat tertentu yang wisatawan individu atau wisatawan
yang dianggap sebagai mampu memenuhi satu atau lebih dari kebutuhan spesifik yang
berhubungan dengan waktu luang mereka. Fitur tersebut mungkin berada di alam
(misalnya iklim, budaya, vegetasi atau pemandangan), atau mereka mungkin khusus
untuk lokasi, seperti pertunjukan teater, museum atau air terjun. (Harris, 1996).

Atribut positif atau menguntungkan daerah untuk kegiatan tertentu atau serangkaian
kegiatan sebagai yang diinginkan oleh seorang pelanggan tertentu atau pasar, termasuk
iklim, pemandangan, kegiatan, budaya, meliputi (a) atraksi buatan adalah struktur fisik
(jembatan) atau kejadian. (b) objek wisata alam adalah fenomena fisik yang dianggap
tidak biasa dan / atau indah © atraksi sekunder memiliki daya tarik wisata, tetapi bukan
alasan utama untuk mengunjungi lokasi. (d) Sebuah atraksi negatif adalah atribut dari
daerah yang cenderung membuat beberapa pelanggan atau pasar memilih untuk tidak
mengunjungi seperti misalnya polusi atau kriminalitas. (Metelka, 1990)

Motivasi Wisatawan

Perjalanan wisatawan selalu dilandasi oleh motivasi, menurut Uysal dan Hagan, Compton
dan Leiper dalam Burton tahun 1995, terdapat beberapa kebutuhan wisatawan yang
dikelompokan sebagai berikut.

1. Kebutuhan fisik, meliputi kebutuhan beristirahat dari kelelahan fisik hingga


kebutuha untuk beraktivitas dan latihan.
2. Kebutuhan sosial , meliputi kebutuhan untuk memperkuat ikatan sosial hingga
kebutuhan untuk lari dari tugas dan tekanan sosial.
3. Kebutuhan status, meliputi kebutuhan kenyamanan hinggakebutuhan status sosial
untuk menjadi berbeda dari lazimnya.
4. Kebutuhan intelektual, kebutuhan istirahat dari kelelahan mental hingga
kebutuhan untuk merangsang intelektual.
5. Kebutuhan mental, kebutuhan relaksasi dari tekanan mental dan situasi konflik
hingga kebutuhan untuk lari dari keterkaitan dengan cara yang menegangkan,
beresiko dan pengalaman seru.

Model Spasial Perkembangan Kota Bersejarah

Terdapat tigaterminologi penting dalam model ini, berikut merupakan penjelasan singkat
terkait definisi dari ketiga terminologi tersebut.

Definisi Kota Bersejarah, CBD dan TBD

Model spasial ini menggambarkan hubungan sejarah dan keruangan dari sebuah kota
yang melahirkan fasilitas akomodasi di sekitarnya. Berawal dari kota sejarah kemudian
bergeser menjadi CBD dan membentuk TBD. Berikut merupakan model evolusi kota
sejarah.

Model Perkembangan Kota Bersejarah (Ashworth dan Turnbridge, 1990)

Terdapat lima tahapan perkembangan spasial dari kota wisata, diantaranya:

6. Tahap 1: daerah dimana kota awal terbentuk pada masa pra-modern


7. Tahap 2 : berkembangnya CBD di daerah kota awal
8. Tahap 3 : adanya migrasi CBD
9. Tahap 4 : terbentuknya daerah wisata di daerah antara kota asal dan CBD
10. Tahap 5 : Meluasnya kota sejarah dan CBD
Tahapan perkembangan ini diikuti dengan perkembangan fasilitas sekunder dari
pariwisata yakni fasilitas akomodasi, makan dan belanja. Fasilitas akomodasi yang
dimaksud dalam model ini adalah hotel. Ashworth dan Turnbridge tahun 1990
mengemukakan bahwa Fasilitas makan adalah layanan pariwisata yang paling sering
digunakan setelah akomodasi. Fasilitas sekunder meliputi restoran, tempat makan, public
houses, dan lainnya. Fasilitas belanja meliputi pasar, pusat perbelanjaan dan hiburan.

PEMBAHASAN

Tahapan Kota Wisata berdasarkan Model Spasial Perkembangan Kota Bersejarah

Berdasarkan catatan historis dari Kota Bekasi, kota ini memiliki tiga daerah utama yakni
kota sejarah yang terletak di kecamatan bekasi timur. Kecamatan ini merupakan
kecamatan terdekat dari pusat aktivitas sebelum terbentuknya Kota Bekasi. Kedua, CBD
di kota bekasi merupakan Ir. H. Juanda yang membujur sepanjang 3 km dari alun-alun
kota hingga terminal Bekasi. Sejak tahun 1978 dan selanjutnya sejak tahun 1993,
kawasan sepanjang Jl. Ahmad Yani berkembang menjadi kawasan perdagangan seiring
dengan munculnya beberapa mal serta sentra niaga. Pertumbuhan kawasan perdagangan
terus berkembang hingga jalan K. H. Noer Ali (Kalimalang), Kranji, dan Kota Harapan
Indah. Kota Bekasi memiliki 1 CBD yakni jalan K.H. Noer Ali, 4 sub CBD dan 7 sub
CBD dengan pelayanan tetangga (Yowaldi,2012). Kota Bekasi berkembang dalam
tahapan (Stage) 5, berikut merupakan uraian perkembanga Kota Bekasi.

Kota ini telah melalui tahap pertama dimana kota awal yang dibangun pada masa lalu
telah memiliki fungsi perkotaan seperti pertahanan, pusat agama (Islamic Center),
perumahan dan perdagangan. Pada tahap kedua terdapat perkembangan CBD, terdapat di
Jalan K.H. Noer Ali dan sepanjang jalan Ir.H. Juanda.Kemudian peningkatan jumlah
penduduk menyebabkan tingginya permintaan akan pusat aktivitas masyarakat, sehingga
terjadi perubahan fungsi kota bersejarah yang mulai bergeser menjadi CBD. Pada gambar
dibawah (Model Spasial Perkembangan Kota Bersejarah) dapat dilihat bahwa terdapat
wilayah perpotonngan antara CBD dan Kota Bersejarah, area ini merupakan TBD dan
berkembanganya Tourist City (TC) hal ini ditandai dengan terdapatnya pusat
perbelanjaan (Bekasi Cyber Park, Mall Metropoilitan, Mega Bekasi, Bekasi Square,
Bekasi Junction dan Summarecon Mall Bekasi), jasa boga (restaurant fast food dan
lainnnya), Atraksi budaya yang digelar di GOR Bekasi dan berdirinya hotel dan fasilitas
akomodasi lainnya.

Belum selesai sampai disini, terlihat jelas bahwa titik – titik lokasi hotel yang terdapat
pada peta dibawah ini menunjukan perkembangan Kota Bekasi yang menjejaki tahapan
ke 5 dimana letak hotel dan fasilitas akomodasi terletak di CBD sehingga kota wisata ini
mengalami peningkatan atraksi, dalam kasus Kota Bekasi, pertambahan atraksi terlihat
dari berdirinya mall – mall baru seperti summarecon mall bekasi dan lainnuya.Dapat
disimpulkan bahwa Kota Bekasi telah memasuki tahap 5 dalam perkembangannya yakni
meluasnya kota sejarah dan CBD.
Model Spasial Perkembangan Kota Bekasi berdasarkan Ashworth dan Turnbridge, 1990

Unsur dan Komponen Atraksi dalam Perkembangan Pariwisata Kota Bekasi

Atraksi diartikan sebagai fasilitas yang terdapat di Kota Bekasi dalam menunjang
kegiatan pariwisata. Komponen atraksi yang dimaksud terdiri dari daya tarik, struktur
fisik atau sarana meliputi ketersediaan transportasi dan prasarana wisata meliputi
infrastruktur, objek wisata atau unsur primer, fasilitas sekunder, dan lingkungan. Unsur
primer pariwisata di Kota Bekasi terdiri dari objek wisata hiburan (Bekasi Cyber Park,
Bekasi Square, Mall Metropolitan, Mega Bekasi, Summarecon Mall Bekasi, Bekasi
Junction) selain itu juga terdapat Bumi Perkemahan Bina Bangsa di sekitar Pusat Kota.
Fasilitas sekunder yang terdapat di Kota Bekasi meliputi fasilitas akomodasi yakni hotel
(lihat Model Spasial Perkembangan Kota Bekasi) yang tersebar di sekitar CBD,
restaurant dan tempat belanja. Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi meliputi
stasiun kereta, terminal, busway, angkutan umum dengan aksesibilitas yang baik
padadaerah tersebut.

Komponen atraksi ini kemudian menjadi motor dalam perkembangan pariwisata Kota
Bekasi. Tingginya aktivitas perekonomian pada CBD menyebabkan munculnya motivasi
wisatawan untuk mengunjungi CBD. Dalam kasus ini, CBD disebut sebagai pusat
gravitasi massa, sehingga aktivitas lainnya bertumbuh memanfaatkan kondisi ramai
tersebut. Kemudian ketersediaan transportasi dan infastruktur yang baik mempermudah
mobilisasi wisatawan untuk berpindah ke pusat aktivitas pariwisata seperti hotel,
restauran dan lainnya karena adanya daya tarik dari tempat – temopat tersebut. Dengan
demikian perkembangan akan terus terjadi selamaunsur pariwisata tersedia dengan baik.

TBD berbasis CBD di Kota Bekasi

TBD berbasis CBD ditandai dengan terdapatnya multifungsi penggunaan tanah di area
pusat kota dimana aktivitas ekonomi berlangsung. Pada mulanya kawasan CBD
merupakan kawasan khusus yang diperuntukan untuk aktivitas ekonomi seperti bisnis dan
perkantoran. Kawasan ini memang didukung dengan ketersediaan fasilitas akomodasi dan
restauran sebagai penunjang kegiatan bisnis dan perkantoran di kawasan tersebut.
Namun, fasilitas ini tidak semerta – merta di fungsikan untuk kegiatan bisnis saja,
perkembangan menyebabkan fasilitas ini juga digunakan oleh wisatawan dalan
perjalanan wisatanya.

Atraksi wisata yang terjadi yang berkembang di CBD merupakan atraksi wisata berbasis
urban. Sehingga unsur primer yang tersedia merupakan objek yang termasuk dalam objek
wisata hiburan dimana tersedia sarana hiburan seperti bioskop, tempat karaoke, biliard
dan lain sebagainya. Sehingga atraksi yang terjadi lebih dominan terhadap lingkungan
sosial dibandingkan dengan alamnya. Ketersediaan transportasi dan infrastruktur yang
baik di kawasan CBD menyebabkan TBD semakin berkembang dan melahirkan pusat
wisata lainnya.

Motivasi Wisatawan

Wisatawan selalu memiliki motivasi dan ekspektasi terhadap tempat – tempat yang
dikunjungi. Telah dijelaskan bagaimana unsur pariwisata yang terdapat di Kota Bekasi
didominasi oleh wisata hiburan. Sehingga motivasi wisatawan domestk maupun
wisatawan asing yang dapat terapenuhi adalah kebutuhan fisik dimana tersedianya
fasilitas akomodasi seperti hotel di Kota Bekasi. Kebutuhan sosial dinilai sebagai
kebutuhan akan aspek sosial akibat kejenuhan terhadap aktivitas sehari – hari, wisata
hiburan dapat memenuhi kebutuhan sosial dari wisatawan. Kebutuhan status berdasarkan
kenyamanan dan status sosial, pemilihan lokasi wisata berdasarkan eksklusivitas objek
tersebut dapat memenuhi kenutuhan ini. Kebutuhan intelektual, dapat terpenuhi sejauh
wisatawan mengunjungi tempat yang mampu merangsang intelektualitas wisatawan.
Terakhir, kebutuhan mental, kebutuhan relaksasi dari tekanan mental dan situasi konflik
hingga kebutuhan untuk lari dari keterkaitan dengan cara yang menegangkan, beresiko
dan pengalaman seru, kebutuhan ini dapat terpenuhi maupun tidak terpeuhi, hal ini
bersifat relatif dan subyektif.

KESIMPULAN

Perkembangan kota bersejarah, Kota Bekasi telah berada pada tahap ke lima dimana
terjadi perluasan kota sejarah dan CBD yang ditandai dengan ketersediaan atraksi
pariwisata berupa fasilitas akomodasi dan lainnya di kedua kawasan tersebut.
Ketersediaan unsur atraksi pariwiata lainnya juga mendukung perkembangan yang
terjadi. Pasalnya, pariwista merupakan aspek multidimensional sehingga diperlukan
sinergisasi dari setiap aspek pendukung atraksi pariwisata. Perkembangan yang terus
terjadi harapannya dapat memenuhi ekspektasi wisatawan terhadap wisata berbasis kota
di Kota Bekasi.

DAFTAR PUSTAKA

Burgess, E. W.1925.The growth of a city: an introduction to a research project, in Robert


E. Park, Ernest W. burgess, and Rodrick D. McKenzie, The City. Chicago: University of
Chicago press. Pp. 47-62.

Burton, Rosemary. 1995. Travel Geography. London: Pitman Publishing

Dictionary of Travel & Tourism Hospitality Terms (Robert Harris & Joy Howard,
Melbourne, Hospitality Press, 1996)

The Dictionary of Hospitality, Travel and Tourism (Charles J. Metelka, 3rd ed., Delamr,
New York, 1990)

Setyawan, T.B.; Oong A. (2002). Prospek ekonomi kota Bekasi. Lembaga Pemantau
Reformasi.

Yowaldi. 2012. The Relation between Land Price and Distance to CBD in Bekasi. Thesis
: Masters Of Arts In Development Studies, The Hague, The Netherlands

Badan Pusat Statistik. 2011. Bekasi dalam Angka 2011. BPS

http://ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/barat/jabar/bekasi.pdf

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2008/perdabekasi14-2008.pdf

http://www.bekasikota.go.id/read/65/sejarah-kota-bekasi

http://www.ejournal-unisma.net/ojs/index.php/paradigma/article/view/636/570
http://www.tourism.wa.gov.au/publications%20library/growing%20your%20business/wh
at%20is%20a%20tourist%20attraction%20v3%20211005%20(final).pdf

http://www.bekasikota.go.id/readotherskpd/128/526/data-hotel-di-kota-bekasi

PARIWISATA PERKOTAAN: Teori dan Konsep

oleh Yani Adriani

1. PENDAHULUAN

Menurut Law (1996: 1), kota merupakan jenis destinasi pariwisata yang paling penting di dunia
sejak tahun 1980-an. Sebagai fenomena kepariwisataan dunia, kota dipandang sebagai suatu proses
kompleks yang terkait dengan budaya, gaya hidup, dan sekumpulan permintaan yang berbeda
terhadap liburan dan perjalanan (Page, 1995: 1).

Kota merupakan destinasi dengan multimotivasi, tidak seperti resor-resor pada umumnya (Law,
1996: 3). Orang-orang datang ke suatu kota untuk berbagai tujuan: bisnis, kegiatan hiburan dan
rekreasi, mengunjungi keluarga dan kerabat, atau urusan pribadi lainnya. Seringkali, mereka
mengunjungi kota untuk lebih dari satu alasan. Orang yang pergi ke suatu kota untuk berbisnis,
menyempatkan diri untuk mengunjungi museum atau galeri seni di kota yang dikunjunginya. Atau
mereka yang dari luar negeri (wisatawan mancanegara) mengunjungi dan berwisata di kota
tertentu sebagai pintu gerbang untuk mengunjungi daerah lain di sekitarnya. Misalkan, wisatawan
mengunjungi Kota Tarakan karena fungsinya sebagai gerbang masuk yang paling dekat dengan
Pulau Derawan di Kabupaten Berau.

Pariwisata perkotaan memiliki karakteristik lain yang khas, berbeda dengan pariwisata pada
umumnya yang daya tarik wisatawanya memang ditujukan hanya untuk mereka yang berwisata.
Wisatawan perkotaan menggunakan fasilitas perkotaan yang juga digunakan oleh penduduk kota
sebagai daya tarik wisatanya (Law, 1996: 4). Misalnya, pusat-pusat perbelanjaan di Kota Bandung
tidak hanya digunakan oleh penduduk sebagai fasilitas belanja, tetapi juga menjadi daya tarik
utama wisatawan mengunjungi Bandung.

Dalam konteks restrukturisasi perekonomian global dan deindustrialisasi di beberapa kota di


dunia, pariwisata dan pengembangan pariwisata berperan penting dalam memperbaiki
perekonomian kota yang mulai menurun (Law, 2000). Pariwisata menjadi motivasi penting bagi
revitalisasi kota pada masa itu. Dengan bangkitnya kembali kota-kota di dunia, masyarakat menjadi
makmur, dan muncul kelompok menengah yang memacu peningkatan permintaan akan pariwisata
dan rekreasi, baik domestik maupun antar negara. Kota besar yang memiliki berbagai daya tarik
berupa peninggalan sejarah atau berbagai proyek baru menjadi sasaran kunjungan masyarakat
negara maju, di samping kunjungan ke kawasan wisata di lokasi khusus (pantai, pegunungan).
2. SEJARAH PERKEMBANGAN PARIWISATA PERKOTAAN

Page (2003) mengemukakan bahwa pariwisata perkotaan tumbuh sebagai akibat globalisasi
perekonomian pada akhir tahun 1970an. Globalisasi yang terjadi mengubah struktur
perekonomian dunia, mengintegrasikan struktur perekonomian nasional ke dalam struktur
perekonomian internasional dalam bentuk perdagangan, investasi asing, migrasi, dan teknologi.
Hubungan antarnegara pada awal tahun 1980-an meningkat semakin interaktif, multipolar, dan
memiliki saling ketergantungan yang tinggi. Hal ini mengakibatkan pola organisasi ekonomi
terdesentralisasi pada skala global sehingga otonomi kota-kota terhadap perekonomian menjadi
menurun. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi di perkotaan yang
membangkitkan investasi di industri jasa yang sangat besar, khususnya yang terkait dengan
konsumsi, pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Kemudian, dominasi industri jasa ini lah
menjadi ciri kota-kota pada saat ini (Page, 2003: 27).

Penanaman modal yang tinggi di industri jasa (Page, 2003: 27) serta upaya revitalisasi kota-kota
pada masa post-industrialisasi (van der Berg, Van der Borg dan Van der Meer 1995: 5) ini
memotivasi pemerintah kota-kota untuk mengembangkan pariwisata sebagai stimulus utama bagi
perbaikan ekonomi lokal dan regional (Roche, 1992 dalam Page, 2003: 28). Pariwisata juga
diharapkan dapat memacu perubahan-perubahan kondisi politik kota sehingga dapat
membangkitkan kembali daya tarik lingkungan untuk investasi (Doorne, 1998 dalam Page, 2003:
28).

Pertumbuhan pariwisata perkotaan pada masa itu mengakibatkan berkembangnya tourism


urbanisation, yaitu urbanisasi yang diakibatkan oleh perkembangan pariwisata, yang fenomenya
dijelaskan oleh Mullins (1991 dalam Page, 2003: 39) sebagai berikut:

“...cities providing a great range of consumption opportunities, with the consumers being resort
tourists, people who move into these centres to reside for a short time.....in order to consume some of
the great range of goods and services on offer”.

Mullins (1991) juga mengatakan bahwa tourism urbanisation sebagai urbanisasi yang didasarkan
pada penjualan dan konsumsi kesenangan/pleasure. Dalam perkembangannya, tourism
urbanisation kemudian menumbuhkan bentuk-bentuk khusus dari pariwisata perkotaan.

3. PARIWISATA PERKOTAAN DAN KOTA WISATA

3.1 Definisi
Dua definisi penting yang harus dipahami sebelum mendefinisikan pariwisata perkotaan adalah
pemahaman terhadap istilah kota dan perkotaan. Oleh karena itu, selain definisi pariwisata
perkotaan, pada bagian ini akan dijelaskan juga definisi kota dan perkotaan.

Kota dan Perkotaan


Kota merupakan tempat konsentrasi berbagai jenis pelayanan, baik itu komersial, keuangan,
maupun industri. Kota juga merupakan pusat bisnis dan sekaligus tempat singgah karena fungsinya
sebagai pintu masuk ke wilayah yang lebih luas.

Menurut Prof. Drs. R. Bintarto, seorang ahli sosiologi, kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan
manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak
kehidupan yang materialistic (http://organisasi.ord/g diunduh 26 September 2010). Dalam
pembangunan wilayah, kota didefinisikan sebagai kawasan pemukiman yang secara fisik
ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai
fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri (id.wikipedia.org diunduh 26
September 2010).

Literatur-literatur mendefinisikan kota dalam dua istilah, yaitu city dan town. City didefinisikan
sebagai permukiman perkotaan yang lebih besar dan permanen serta memiliki status administrasi,
hukum, dan sejarah tertentu. Sementara itu, town didefinisikan memiliki ukuran yang lebih kecil
dibandingkan city. (wikipedia.org).

Sementara itu, kawasan perkotaan didefinisikan sebagai kawasan yang mempunyai kegiatan
utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Pedoman
RDTR Kota). Page (1995) mengungkapkan bahwa kawasan perkotaan muncul sebagai akibat dari
proses urbanisasi.

Mengacu pada definisi kawasan perkotaan di atas, maka ’perkotaan’ memiliki pengertian yang
menunjukkan sifat kekotaan, yaitu yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, tetapi
permukiman, pusat kegiatan ekonomi dan jasa.

Pariwisata Perkotaan

Tidak banyak ahli-ahli pariwisata yang mengungkapkan definisi dari pariwisata perkotaan.
Klingner (2006: 1) mendefinisikan pariwisata perkotaan secara sederhana sebagai sekumpulan
sumber daya atau kegiatan wisata yang berlokasi di kota dan menawarkannya kepada pengunjung
dari tempat lain.

“a set of tourist resources or activities located in towns and cities and offered to visitors from
elsewhere”.

Definisi lain dikemukakan oleh Inskeep (1991: 163) yang menekankan pada peran pariwisata
dalam perkotaan sebagai berikut:

“urban tourism……..a very common form of tourism takes place in large cities where tourism may be
important but is not a primary activity of the urban area”.

tetapi juga menyebutkan adanya town resort yaitu:


“……….typically oriented to a specific attraction feature such as snow skiing, beach, lake, and marine
recreation, spa facilities, mountain scenery, a desert climate, important archaelogical and historic site,
and religions pilgrimage” (Inskeep, 1991: 162)

Mengacu pada definisi-definisi yang telah dikemukakan di atas, secara lebih luas pariwisata
perkotaan dapat didefinisikan sebagai:

bentuk umum dari pariwisata yang memanfaatkan unsur-unsur perkotaan (bukan


pertanian) dan segala hal yang terkait dengan aspek kehidupan kota (pusat
pelayanan dan kegiatan ekonomi) sebagai daya tarik wisata.
Pariwisata perkotaan tidak selalu harus berada di wilayah kota atau pusat kota. Pariwisata
perkotaan dapat berkembang di wilayah pesisir, misalnya, dengan mengembangkan hal-hal yang
terkait perkotaan sebagai daya tarik wisatanya.

Berbeda dengan kota wisata. Kota wisata adalah kota yang memang dibangun untuk pariwisata
dan wisatawan, mengandalkan pariwisata sebagai sektor utama penggerak perekonomian kota.

3.2 Arti kota bagi pariwisata


Kota memiliki arti yang penting bagi pariwisata. Page (1995: 9) mengatakan karena fungsi-
fungsinya yang khas, kota mampu menarik kunjungan wisatawan. Karakteristik dari kota yang
menarik bagi wisatawan adalah:

1. Daerah perkotaan memiliki sifat yang heterogen, artinya bahwa kota memiliki ukuran (kota
besar, kota kecil), lokasi (laut, pegunungan), fungsi (industri, jasa, perdagangan), wujud, dan
warisan budaya yang berbeda dan beragam.

2. Skala daerah perkotaan dan fungsi-fungsi berbeda yang secara terus-menerus dipertahankan
mengakibatkan kota bersifat multifungsi (pusat pemerintahan juga pusat perdagangan, juga
destinasi pariwisata utama).

3. Fungsi-fungsi yang berkembang di kota diproduksi untuk dan dikonsumsi tidak hanya oleh
wisatawan, tetapi juga oleh beragam pengguna. (Shaw dan Williams, 1994 dalam Page 1995:9)

3.3 Arti pariwisata bagi kota


Mengidentifikasi arti pariwisata bagi kota tidak semudah mengidentifikasi arti kota bagi pariwisata.
Penggunaan fasilitas perkotaan bersama antara wisatawan dan penduduk membuat perhitungan
tentang arti penting pariwisata bagi kota menjadi sulit untuk dilakukan. Walaupun demikian,
beberapa penelitian telah berhasil mengidentifikasi arti penting pariwisata bagi kota.

European Commission, Tourism Unit (2002) mengungkapkan bahwa pariwisata menjadi landasan
kebijakan pengembangan perkotaan yang mengkombinasikan sediaan/supply yang kompetitif
sesuai dengan harapan pengunjung dengan kontribusi positif terhadap terhadap pembangunan
kota dan kesejahteraan penduduknya.
Manente (2005) dan Page (2003) memperkuat pernyataan European Commission di atas dengan
mengatakan bahwa:

1. Pariwisata menempatkan dirinya pada struktur perekonomian yang kuat.

2. Pariwisata mendorong pembangunan perkotaan dan transportasi daerah.

3. Pariwisata dapat merevitalisasi perekonomian lokal.

4. Pariwisata perkotaan dapat mempengaruhi moral lokal dan citra kota yang positif sehingga
meningkatkan investasi dan produktivitas tenaga kerja lokal.

3.4 Tipologi pariwisata perkotaan


Seperti yang sudah dijelaskan di bagian pendahuluan, akibat dari perkembangan tourism
urbanization, Page (1995: 16) mengidentifikasikan tipologi bagi pariwisata perkotaan sebagai
berikut:

1. Ibu kota (Paris, London, New York, Jakarta, Bandung) dan kota budaya (Roma, Yogyakarta).

2. Pusat metropolitan (Jakarta), kota sejarah (Rengasdengklok), dan kota-kota pertahanan.

3. Kota-kota sejarah yang besar (Oxford, Cambridge, Venice, Jakarta)

4. Daerah dalam kota (Manchester)

5. Daerah waterfront yang direvitalisasi (London Dockland, Taman Impian Jaya Ancol)

6. Kota-kota industri (Bradford, Bekasi, Karawang)

7. Resor tepi laut (Pangandaran) dan resor olahraga musim dingin (Lillehamer)

8. Kawasan wisata hiburan (Disneyland, Las Vegas, Taman Impian Jaya Ancol).

9. Pusat pelayanan wisata khusus (destinasi ziarah, spa: Lourdes, Cirebon, Demak).

10. Kota seni/budaya (Florence, kota-kota di Bali, Bandung).

Tipologi yang dikemukakan oleh Page memungkinkan suatu kawasan perkotaan memiliki dua
tipologi pariwisata perkotaan. Misalnya Bandung, selain daya tariknya sebagai ibu kota provinsi,
Bandung juga merupakan kota seni dan budaya.

Tipologi lain dikemukakan oleh Law (1996: 2-3) yang mengelompokkan pariwisata perkotaan ke
dalam empat kategori, yaitu:

1. Ibu kota: memiliki peran administratif dan bisnis yang dapat menarik wisatawan. Biasanya
memiliki museum nasional, bangunan, dan monumen memiliki nilai sejarah nasional.

2. Kota-kota industri: karakter dan citra industrial menjadi daya tarik bagi wisatawan.
3. Kota dengan high-amenities: memiliki beragam fasilitas dari mulai pemandangan alam, hiburan,
sampai bisnis yang dapat menarik wisatawan.

4. Kota-kota daya tarik utama: kota yang fokus pada wisatawan dari luar daerah/negara, biasanya
kota dengan multifungsi.

Tipologi yang dikemukakan oleh Law terlihat lebih sederhana dan jelas kategorisasinya.

4. KONSEP PARIWISATA PERKOTAAN


Konsep pariwisata perkotaan berkembang seiring dengan perkembangan pariwisata perkotaan di
seluruh dunia. Konsep pariwisata perkotaan yang saat ini berkembang di dunia sedikitnya ada
enam konsep, yaitu tourist-historic city, cultural city, resort city, fantasy city, creative city, dan urban
ecotourism.

4.1 Tourist-historic city (kota wisata sejarah)


Kota sejarah sebenarnya sudah mulai berkembang sejak abad ke-16 (Ashworth dan Tunbridge,
1990: 9), sedangkan konsep kota sejarah sebagai sumber daya pariwisata berkembang seiring
dengan perkembangan pariwisata perkotaan (Ashworth dan Tunbridge, 1990: 57).

Konsep kota wisata sejarah merupakan konsep pariwisata perkotaan yang menjadikan sejarah
sebagai daya tarik wisatanya. Komponen-komponen dari kota wisata sejarah ini antara lain
lingkungan dengan arsitektur sejarah dan morfologi perkotaan, even sejarah dan akumulasi artefak
budaya, keberhasilan artistik yang merupakan bahan baku dari konsep ini (Ashworth dan
Tunbridge, 1990: 72).

Konsep pariwisata perkotaan ini harus memperhatikan upaya-upaya konservasi terhadap


peninggalan sejarah di kota. Penentuan jenis kegiatan wisata sejarah dan segmen pasar wisatawan
yang akan dituju harus disesuaikan dengan karakteristik dan sifat peninggalan sejarah yang
dijadikan daya tarik wisata (Ashworth dan Tunbridge, 1990: 72).

4.2 Cultural city (kota budaya)


Konsep kota budaya seringkali diidentikkan dengan kota sejarah atau kota heritage. Konsep kota
budaya jauh lebih luas dibandingkan dengan kota sejarah atau heritage. Komponen-komponen kota
yang menjadi daya tarik wisata utama bagi kota-kota budaya adalah: 1) museum dan wisata
heritage, 2) distrik-distrik budaya (pecinan, kampong arab), 3) masyarakat etnis, 4) kawasan
hiburan, 5) wisata ziarah, 6) trail sastra (Evans dalam Richards dan Wilson, 2007: 61).

Sama dengan konsep tourist-historic city, pengembangan konsep cultural city juga sarat dengan
upaya konservasi asset budaya, tangible maupun intangible. Pada konsep kota budaya ini,
wisatawan memiliki kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat budaya di kota.
4.3 Fantasy city (Page, 2003)
Konsep kota fantasi muncul pada akhir abad ke-19 di Amerika (Page, 2003: 44) di Amerika. Konsep
yang paling terkenal adalah Hannigan Fantasy City. Hannigan (1998 dalam Page, 2003: 44-45))
mengidentifkasi enam karakteristik Fantasy City:

1. Fokus pada themocentricity, didasarkan pada tema yang ditentukan.

2. The city is aggressively branded, tercermin dari strategi pemasaran dan produk-produknya.

3. Day and night operation is a common feature, tidak seperti pusat perbelanjaan yang operasi waktu
siangnya besar.

4. Modularisation of products, di mana keberagaman komponen dirangkai untuk menghasilkan


berbagai pengalaman yang lebih luas.

5. Solipsisicity, dimana kota secara ekonomi, budaya, dan fisik terpisah dan terisolasi dari
lingkungan sekitarnya dalam suatu ‘kota ilusi’.

6. Postmodernity, di mana kota dibangun dengan teknologi simulasi, realitas virtual, dan sensasi
pertunjukan. Kota menarik sumber inspirasi utama dari model Disney, yang secara luas ditiru.
Model Disney memunculkan konsep gambar-gambar bergerak dan taman hiburan ke dalam dunia
fantasi menggunakan teknologi yang menciptakan kondisi hiperrealitas.

4.4 Creative city (new urban tourism) (Richard and Wilson, 2008),
Konsep kota kreatif mulai dikembangkan pada tahun 1990 di Inggris dan selalu dikaitkan dengan
pariwisata budaya. Kota kreatif merupakan bentuk generasi baru dari pariwisata perkotaan.
UNESCO telah menetapkan kota-kota kreatif di dunia pada tahun 2001. Kota kreatif ditetapkan
berdasarkan kriteria tertentu untuk masing-masing spectrum industri kreatif. Spektrum kota
kreatif yang ditetapkan oleh UNESCO dan kota-kota kreatifnya dapat dilihat pada table di bawah ini.

SPEKTRUM KOTA
Literature  Edinburgh

 Iowa City

 Melbourne

 Dublin
Crafts and Folk Art  Aswan

 Kanazawa

 Santa Fe
SPEKTRUM KOTA
 Icheon
Film  Bradford
Design  Berlin

 Buenos Aires

 Kobe

 Montreal

 Nagoya

 Shenzhen

 Seoul

 Shanghai
Music  Bologna

 Ghent

 Glasgow

 Seville
Media Arts  Lyon
Gastronomy  Popayan

 Chengdu

 Östersund
Sumber: www.unesco.org

4.5 Urban ecotourism


Urban ecotourism merupakan konsep pariwisata perkotaan yang berwawasan lingkungan.
Konferensi Internasional tentang Urban Ecotourism pada tahun 2004 menghasilkan deklarasi
tentang urban ecotourism. Isi deklarasi tersebut menyatakan bahwa urban ecotourism
dikembangkan untuk tujuan:

 Memulihkan dan mengkonservasi warisan alam dan budaya, termasuk lanskap alam dan
keanekaragaman hayati dan juga budaya asli.
 Memaksimalkan manfaat lokal dan melibatkan masyarakat kota sebagai pemilik, investor, tamu,
dan pemandu.

 Memberikan pembelajaran kepada pengunjung dan penduduk tentang lingkungan, sumber daya
heritage, serta keberlanjutan.

 Mengurangi jejak ekologis.

Urban ecotourism sudah berkembang di Amerika (Bicycle City dan Kenya-Taman Nasional).

DAFTAR PUSTAKA

Ashworth G.J. dan Tunbridge, J.E. (1990): The Tourist-Historic City , John Wiley&Sons, England.

Inskeep, Edward, (1991): Tourism Planning- An Integrated Sustainable Approach, Van Nostrand Reinhold,
New York.

Law, Christopher M. (1996): Tourism in Major Cities, International Thomson Business Press, London.

Page, Stephen, (1995): Urban Tourism, Routledge, London.

Richard, Greg dan Wilson, Julie (2007): Tourism, Creativity, and Development, Routledge, Oxon.

Page, Stephen J. dan Hall, Michael C., (2003). Managing Urban Tourism, Pearson Education Limited, Harlow.

Anda mungkin juga menyukai