Anda di halaman 1dari 7

Neurobiologi Gangguan Konversi

Oleh: Muhammad Hanifi (1106010641)

A. Definisi dan Diagnosis

Gangguan konversi, atau dikenal juga dengan histeria atau reaksi disosiatif,
adalah gangguan pada fungsi tubuh yang ditandai dengan munculnya berbagai tanda
dan gejala yang tidak sesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi.1 Contohnya, pasien
yang datang dengan keluhan kebutaan, padahal pemeriksaan fisik dan laboratorium
menunjukkan bahwa pupil bereaksi terhadap cahaya serta tidak ditemukan kelainan
pada visual evoked potential. Contoh lainnya adalah pasien yang mengeluh mengalami
anaesthesia total, tetapi mendeskripsikan bahwa anaesthesia yang dirasakannya hanya
berada pada area tertentu yang memiliki batasan yang tegas.1,2

Gangguan konversi merupakan gangguan khas yang ditemukan pada pasien-


pasien yang mengalami stres berat. Gejala depresi dan ansietas seringkali menyertai
gejala gangguan konversi. Berbeda dengan pasien gangguan somatisasi yang umumnya
hanya mengancam bunuh diri, pasien dengan gejala konversi berisiko tinggi mengalami
bunuh diri.

Kriteria diagnosis gangguan konversi menurut DSM-IV-TR adalah1:

1. Defisit motorik volunter atau sensorik. Adanya satu atau lebih gejala atau
defisit yang melibatkan fungsi motorik volunter atau sensorik yang diperkirakan
merupakan suatu kondisi neurologis atau kondisi medik umum lainnya, seperti
kejang, tremor, dan ataxia.
2. Faktor psikologis yang berkaitan. Adanya faktor psikologis yang dinilai
berkaitan dengan gejala. Defisit atau gejala konversi muncul setelah adanya
konflik atau stressor lainnya.
3. Gejala muncul tidak disengaja. Berbeda dengan pasien yang berpura-pura
sakit, pasien dengan gejala konversi benar-benar merasakan sakit. Pasien yang
datang dengan keluhan gangguan keseimbangan tubuh benar-benar merasakan
gangguan itu layaknya gangguan keseimbangan yang dialami oleh pasien yang
menderita cerebral tumor.
4. Gejala dan defisit tidak dapat dijelaskan. Seperti gangguan somatik lainnya,
gejala atau defisit yang muncul tidak dapat dijelaskan sebagai kondisi medik
umum dan gejala yang muncul inkonsisten dengan pemahaman anatomis dan
fisiologis kedokteran.
5. Gejala tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual. Gejala atau defisit
juga tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan
bukan karena gangguan mental lainnya.
6. Gejala menyebabkan disfungsi bermakna secara klinis di bidang sosial,
pekerjaan atau fungsi lain atau menuntut evaluasi medis.

B. Gambaran Klinis

Gambaran klinis gangguan konversi antara lain sebagai berikut3:

Conversion anaesthesia. Conversion anaesthesia dapat terjadi dimana saja,


namun paling sering ditemukan di daerah ekstrimitas. Distribusi “glove and stocking”
dapat ditemukan pada pasien-pasien gangguan konversi. Berbeda dengan distribusi
“glove and stocking” yang ditemukan pada pasien yang mengalami polyneuropathy,
pasien dengan gangguan konversi dapat menggambarkan garis batas area yang
mengalami anaeshtesia tersebut dengan sangat jelas. Disamping itu, pasien-pasien yang
melaporkan complete lack of feeling umumnya tetap dapat berjalan dengan baik dan
menunjukkan hasil negatif pada tes romberg. Deep tendon reflex test juga tidak
menunjukkan hyporeflexia yang seharusnya muncul.

Conversion paralysis. Paralisis pada pasien dengan gangguan konversi juga


manunjukkan anomali-anomali pada batasan-batasan paralisisnya. Pasien bisa
mengeluhkan paralisis pada ekstrimitas bawah mulai dari pangkal paha, namun tepat
berhenti di lutut. Pasien yang datang dengan keluhan hemiplagia juga seringkali
menunjukkan tanda “wrong way tongue”, dimana lidah yang menjulur bengkok ke arah
bagian tubuh yang mengalami hemiplagia. Padahal pada pasien yang mengalami
hemiplagia yang sesungguhnya, lidah akan menjulur ke arah bagian tubuh yang normal.
Pasien juga seringkali menunjukkan anomali cara berjalan, dimana pada pasein yang
mengeluh paralisis di salah satu ekstrimitas bawah, tidak menunjukkan circumducted
gait sebagaimana pasien dengan true paralysis. Sebagai gantinya, pasien seringkali
terlihat menyeret kaki yang paralisis.

Conversion ataxia. Pada pasien dengan conversion ataxia (atau dikenal juga
dengan astasia-abasia) menunjukkan kelainan pada gait berjalannya. Meski demikian,
pemeriksaan diatas tempat tidur tidak menunjukkan adanya ataxia.

Conversion tremor. Tremor pada pasien gangguan konversi biasanya kasar,


ireguler, dan biasanya hilang saat pasien dialihkan perhatiannya.

Conversion seizure and grand mal seizure. Kejang pada pasien gangguan
konversi juga dapat dibedakan dengan kejang epileptik lainnya. Onset kejang pada
pasien ini seringkali gradual dan bukan tiba-tiba seperti kejang epileptik pada
umumnya. Kejang juga berhenti secara gradual, dan bukan tiba-tiba. Setelah kejang
berakhir, pasien tidak menunjukkan tanda-tanda somnolence atau kebingungan.

Conversion deafness. Pada ketulian akibat gangguan konversi, pasien masih


menunjukkan refleks berkedip terhadap suara keras yang tiba-tiba , menunjukkan bahwa
batang otaknya masih intak.

Conversion blindness. Kebutaan akibat gangguan konversi juga dapat


dibedakan dengan kebutaan pada kondisi medis lain. Meskipun mengeluh kehilangan
penglihatan, pasien biasanya dapat berjalan dengan normal tanpa menabrak dinding atau
barang-barang disekitarnya. Selain itu, pasien biasanya datang dengan kaluhan kebutaan
yang tiba-tiba. Pemeriksaan refleks pupil juga tidak menunjukkan hasil negatif. Selain
itu, uji visually evoked potential pada area oksipital juga tidak menunjukkan adanya
kelainan jaras pengelihatan pasien.

Conversion aphonia. Pasien dengan conversion aphonia dapat


mendemonstrasikan batuk dengan suara keras pada pemeriksaan aulkustasi paru-paru,
tidak seperti pasien dengan true aphonia.
C. Neurobiologi Gangguan Konversi

Dengan berkembangnya teknik functional neuroimaging, para ilmuwan telah


mencoba menginvestigasi aspek neurobiologis dari kelainan konversi. Dengan
menggunakan positron emission tomography (PET), Marshall et al (1997) menunjukkan
peningkatan aliran darah serebral pada korteks orbitofrontal kanan dan anterior
cingulate kanan pada pasien dengan keluhan hemiparesis konversi kiri.4 Spence et al
(2000) juga menunjukkan adanya deaktivasi dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC)
kiri pada pasien hemiparesis yang tidak bergantung pada sisi hemiparesisnya. 5 Maruff
dan Velakoulis (2000) juga menemukan bahwa, tidak seperti pasein dengan paralisis
pada umumnya, pasien dengan paralisis konversi mampu melakukan “imaginary
movement” (membayangkan sedang melakukan gerakan motorik).6 Dalam
penelitiannya, mereka menyimpulkan bahwa paralisis konversi bisa jadi muncul akibat
adanya kehendak pasien untuk menginhibisi gerakan motorik.

Gambar 1. Bagian-bagian otak5

Menggunakan single photon emission computed tomography (SPECT scan),


Vuilleumier et al (2001) mempelajari 7 pasien yang mengalami unilateral sensory loss
akibat gangguan konversi.7 Studi ini menunjukkan adanya penurunan aliran darah pada
thalamus dan basal ganglia pada posisi kontralateral dari gangguan sensoriknya.
Uniknya, penurunan aliran darah ini hanya terjadi selama gejala sensory loss muncul
pada pasien.
Gambar 2. Bagian korteks dorsolateral prefrontal kiri

Menggunakan functional MRI, Ghaffar et al (2006) mempelajari pasien-pasien yang


mengalami keluhan anaesthesia.8 Penelitian tersebut menyimpulkan, bahwa aktivasi
somatosensorik kontralateral muncul ketika pasien diberi stimulus pada daerah yang
normal, namun tidak muncul pada daerah yang kehilangan kemampuan sensoriknya.
Stimulus yang diberikan pada daerah anaesthetic justru mengaktivasi regio orbitofrontal
dan anterior cingulate pada pasien. Penelitian ini memberikan informasi berharga,
karena, sebagaimana diketahui regio orbitofrontal dan anterior cingulate merupakan
komponen jaringan neural yang berperan meregulasi emosi dan ekspresinya (dengan
kata lain perasaan seseorang).
Gambar 3. Stimulasi pada tangan kanan gagal menunjukkan adanya aktivasi
somatosensorik kontralateral (tanda panah)

Beilen et al (2010) juga menemukan bahwa pasien dengan gangguan konversi


menunjukkan pola aktivasi serebral abnormal yang mirip dengan yang ditemukan oleh
Ghaffar et al. Mekanisme kejadian ini masih belum jelas, namun terdapat sebuah teori
yang menyatakan bahwa beberapa bagian otak memiliki mekanisme reciprocal
inhibition. Teori ini menyatakan bahwa bagian otak yang mengatur gerakan-gerakan
motorik volunter terinhibisi atau tersupresi ketika bagian anterior cingulate cortex
memproses informasi dalam jumlah besar (dengan kata lain kondisi stres berat).9
Daftar Pustaka

1. Hadisukanto G. Gangguan Somatoform. Dalam: Buku ajar Psikiatri. Edisi ke 2. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI. 2013. p. 287-303
2. Allin M, Streeruwitz A, Curtis V. Progress in understanding conversion disorder. Neuropsychiatr
Dis Treat. 2005; 1(3): 205–9.
3. Feinstein A. Conversion disorder: advances in our understanding. CMAJ. 2011; 183(8): 915-20.
4. Marshall JC, Halligan PW, Fink GR, et al. The functional anatomy of a hysterical paralysis.
Cognition. 1997; 64:B1–8.
5. Spence SA, Crimlisk HL, Cope H, et al. Discrete neurophysiological correlates in prefrontal
cortex during hysterical and feigned disorder of movement. Lancet. 2000; 355: 1243–4.
6. Maruff P, Velakoulis D. The voluntary control of motor imagery. Imagined movements in
individuals with feigned motor impairment and conversion disorder. Neuropsychologia. 2000;
38: 1251–60.
7. Vuilleumier P, Chicherio C, Assal F, et al. Functional neuroanatomical correlates of hysterical
sensorimotor loss. Brain. 2001; 124: 1077–90.
8. Ghaffar O, Staines R, Feinstein A. Functional MRI changes in patients with sensory conversion
disorder. Neurology 2006; 67: 2036–8.
9. Van Beilen M, Vogt B, Leenders K. Increased activation in cingulate cortex in conversion
disorder: What does it mean? J Neurol Sci 2010; 289: 155–8.

Anda mungkin juga menyukai