Gangguan konversi, atau dikenal juga dengan histeria atau reaksi disosiatif,
adalah gangguan pada fungsi tubuh yang ditandai dengan munculnya berbagai tanda
dan gejala yang tidak sesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi.1 Contohnya, pasien
yang datang dengan keluhan kebutaan, padahal pemeriksaan fisik dan laboratorium
menunjukkan bahwa pupil bereaksi terhadap cahaya serta tidak ditemukan kelainan
pada visual evoked potential. Contoh lainnya adalah pasien yang mengeluh mengalami
anaesthesia total, tetapi mendeskripsikan bahwa anaesthesia yang dirasakannya hanya
berada pada area tertentu yang memiliki batasan yang tegas.1,2
1. Defisit motorik volunter atau sensorik. Adanya satu atau lebih gejala atau
defisit yang melibatkan fungsi motorik volunter atau sensorik yang diperkirakan
merupakan suatu kondisi neurologis atau kondisi medik umum lainnya, seperti
kejang, tremor, dan ataxia.
2. Faktor psikologis yang berkaitan. Adanya faktor psikologis yang dinilai
berkaitan dengan gejala. Defisit atau gejala konversi muncul setelah adanya
konflik atau stressor lainnya.
3. Gejala muncul tidak disengaja. Berbeda dengan pasien yang berpura-pura
sakit, pasien dengan gejala konversi benar-benar merasakan sakit. Pasien yang
datang dengan keluhan gangguan keseimbangan tubuh benar-benar merasakan
gangguan itu layaknya gangguan keseimbangan yang dialami oleh pasien yang
menderita cerebral tumor.
4. Gejala dan defisit tidak dapat dijelaskan. Seperti gangguan somatik lainnya,
gejala atau defisit yang muncul tidak dapat dijelaskan sebagai kondisi medik
umum dan gejala yang muncul inkonsisten dengan pemahaman anatomis dan
fisiologis kedokteran.
5. Gejala tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual. Gejala atau defisit
juga tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan
bukan karena gangguan mental lainnya.
6. Gejala menyebabkan disfungsi bermakna secara klinis di bidang sosial,
pekerjaan atau fungsi lain atau menuntut evaluasi medis.
B. Gambaran Klinis
Conversion ataxia. Pada pasien dengan conversion ataxia (atau dikenal juga
dengan astasia-abasia) menunjukkan kelainan pada gait berjalannya. Meski demikian,
pemeriksaan diatas tempat tidur tidak menunjukkan adanya ataxia.
Conversion seizure and grand mal seizure. Kejang pada pasien gangguan
konversi juga dapat dibedakan dengan kejang epileptik lainnya. Onset kejang pada
pasien ini seringkali gradual dan bukan tiba-tiba seperti kejang epileptik pada
umumnya. Kejang juga berhenti secara gradual, dan bukan tiba-tiba. Setelah kejang
berakhir, pasien tidak menunjukkan tanda-tanda somnolence atau kebingungan.
1. Hadisukanto G. Gangguan Somatoform. Dalam: Buku ajar Psikiatri. Edisi ke 2. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI. 2013. p. 287-303
2. Allin M, Streeruwitz A, Curtis V. Progress in understanding conversion disorder. Neuropsychiatr
Dis Treat. 2005; 1(3): 205–9.
3. Feinstein A. Conversion disorder: advances in our understanding. CMAJ. 2011; 183(8): 915-20.
4. Marshall JC, Halligan PW, Fink GR, et al. The functional anatomy of a hysterical paralysis.
Cognition. 1997; 64:B1–8.
5. Spence SA, Crimlisk HL, Cope H, et al. Discrete neurophysiological correlates in prefrontal
cortex during hysterical and feigned disorder of movement. Lancet. 2000; 355: 1243–4.
6. Maruff P, Velakoulis D. The voluntary control of motor imagery. Imagined movements in
individuals with feigned motor impairment and conversion disorder. Neuropsychologia. 2000;
38: 1251–60.
7. Vuilleumier P, Chicherio C, Assal F, et al. Functional neuroanatomical correlates of hysterical
sensorimotor loss. Brain. 2001; 124: 1077–90.
8. Ghaffar O, Staines R, Feinstein A. Functional MRI changes in patients with sensory conversion
disorder. Neurology 2006; 67: 2036–8.
9. Van Beilen M, Vogt B, Leenders K. Increased activation in cingulate cortex in conversion
disorder: What does it mean? J Neurol Sci 2010; 289: 155–8.