Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


DESKRIPSIKAN JUMLAH KASUS DI REMATOID DI INDONESIA, DI
SUMSEL, DI PALEMBANG
Nyeri yang timbul akibat gejala penyakit akut atau faktor penyebab lainya
seperti gastritis (maag), asam urat, rhematik, pusing, dislokasi (keseleo), nyeri haid,
demam/masuk angin dan lain-lain, dapat membuat setiap orang yang merasakannya,
baik laki-laki maupun perempuan yang muda maupun yang tua, sebagai hal yang
tidak mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha bebas dari nyeri.
Nyeri merupakan masalah yang seriusalah satunya nyeri yang di akibatkan
oleh penyakit rematik. Tidak sedikit masyarakat pengidap penyakit rematik yang
tinggal di daerah/ desa terpencil yang jauh dari tempat pelayanan kesehatan ataupun
masyarakat yang kurang mampu sehingga tidak dapat membeli obat penghilang nyeri,
sehingga dapat mempengaruhi dan menganggu aktivitas, kreativitas dan produktivitas
manusia.Untuk mengatasi nyeri diperlukan penatalaksanaan manajemen nyeri melalui
cara farmakologi dan non farmakologi (Smeltzer & Bare, 2012). Pereda nyeri
farmakologi dapat dibedakan menjadi dua jenis yakni obat-obatan kimia dan obat-
obatan herbal. Walaupun analgesik dapat menghilangkan nyeri dengan efektif, tetapi
obat pereda nyeri/analgesik mempunyai berbagai macam efek samping yang harus
dipertimbangkan dan di antisipasi, selain itu juga harga nya mahal dan tidak
terjangkau oleh kalangan bawah. Pereda nyeri non farmakologi merupakan upaya-
upaya mengatasi atau menghilangkan nyeri dengan menggunakan pendekatan non
farmakologi. Upaya-upaya tersebut antara lain distraksi, relaksasi, massage dan lain
sebagainya.
Manajemen nyeri farmakologi menggunakan obat-obatan herbal dapat
menjadi solusi utama bagi kelompok orang menengah kebawah terutama di panti-
panti sosial untuk menghilangkan nyeri, karena jauhnya tempat pelayanan kesehatan,
keterbatasan sarana prasarana dan kurangnya kesadaran bagi penderita nyeri. Obat-
obatan herbal tidak asing lagi di masyarakat selain harganya yang terjangkau, obat
herbal cenderung tidak menimbulkan efek samping yang berarti,salah satunya adalah
Parem. Parem merupakan ramuan yang terdiri dari beras, kencur, kayu manis, jahe dll
( SUMBER ). JURNAL ATAU PENELITIAN YANG MENGGUNAKAN PAREM
SUDAH ADAKAH………………….KALAU ADA MASUKAN DATA
PENELITIAN……….. KALAU ADA SURVEY AWAL DARI PENGGUNA PREM
TAMBAHKAN MISAL : hasil survey awal dari 5 orang yang mengunakan parem
menyatakan………………….. Parem sampai saat ini masih digunakan masyarakat
terutama masyarakat di daerah atau pedesaan untuk mengobati keseleo atau dislokasi.

Apakah Parem dapat efektif menghilangkan nyeri? Maka dari itu kami
mahasiswa Program Studi D.IV Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palembang
tertarik melakukan penelitian dan eksperimen tentang efektifitas parem terhadap nyeri
yang diakibatkan oleh penyakit rematik, guna untuk membantu dan mempermudah
masyarakat dalam mengatasi nyeri yang diakibatkan oleh penyakit rematik.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah ramuan parem efektif untuk mengatasi nyeri pada penderita penyakit rematik?

1.3 Tujuan Penelitian


a. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui efektifitas parem terhadap nyeri,
komposisi, efek samping dan cara pemberian nya.
b. Tujuan Khusus
1) Mengetahui karakteristik penderita rematik ( umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan)
2) Megetahui rata – rata skala nyeri sebelum diberikan ramuan Parem pada
penderita dengan………………….
3) Mengetahui rata – rata skala nyeri sesudah diberikan ramuan Parem pada
penderita……………
4) Mengetahui perbedan rata – rata skala nyeri sebelum dan setelah diberikan parem
pada penderita…………….. ( tuliskan kasus rematoidnya).

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi masyarakat
Membantu masyarakat menemukan solusi penghilang nyeri yang terjangkau dan
aman.
2. Bagi Institusi Poltekkes Kemenkes Palembang Prodi D.IV Keperawatan
Untuk pengembangan keilmuan di bidang manajemen nyeri non farmakologi.
3. Bagi mahasiswa Poltekkes Kemenkes Palembang
Untuk Memotivasi agar mahasiswa lebih giat dalam berkarya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rematik
Reumatik dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga fungsinya dapat menurun bila
otot pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Dengan
meningkatnya usia menjadi tua fungsi otot dapat dilatih dengan baik. Namun usia lanjut
tidak selalu mengalami atau menderita reumatik. Bagaimana timbulnya kejadian
reumatik ini, sampai sekarang belum sepenuhnya dapat dimengerti. Reumatik bukan
merupakan suatu penyakit, tapi merupakan suatu sindrom dan.golongan penyakit yang
menampilkanperwujudan sindroma reumatik cukup banyak, namun semuanya
menunjukkan adanya persamaan ciri. Menurut kesepakatan para ahli di bidang
rematologi, reumatik dapat terungkap sebagai keluhan dan/atau tanda. Dari
kesepakatan,dinyatakan ada tigakeluhan utama pada sistem muskuloskeletal yaitu: nyeri,
kekakuan (rasa kaku) dan kelemahan, serta adanya tiga tanda utama yaitu:
pembengkakan sendi., kelemahan otot, dan gangguan gerak. (Soenarto, 1982).

Reumatik dapat terjadi pada semua umur dari kanak – kanak sampai usia lanjut, atau
sebagai kelanjutan sebelum usia lanjut. Dan gangguan reumatik akan meningkat dengan
meningkatnya umur. (Felson, 1993, Soenarto dan Wardoyo, 1994)

Penyakit rematik meliputi cakupan luas dari penyakit yang dikarakteristikkan oleh
kecenderungan untuk mengefek tulang, sendi, dan jaringan lunak (Soumya, 2011).
Penyakit rematik dapat digolongkan kepada 2 bagian, yang pertama diuraikan sebagai
penyakit jaringan ikat karena ia mengefek rangka pendukung (supporting framework)
tubuh dan organ-organ internalnya. Antara penyakit yang dapat digolongkan dalam
golongan ini adalah osteoartritis, gout, dan fibromialgia. Golongan yang kedua pula
dikenali sebagai penyakit autoimun karena ia terjadi apabila sistem imun yang biasanya
memproteksi tubuh dari infeksi dan penyakit, mulai merusakkan jaringan-jaringan tubuh
yang sehat. Antara penyakit yang dapat digolongkan dalam golongan ini adalah
rheumatoid artritis, spondiloartritis, lupus eritematosus sistemik dan skleroderma.
(NIAMS, 2008)

2.2 Definisi Nyeri


Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat.
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut
International Associationfor Study of Pain (IASP), nyeri sebagai suatu sensori subjektif
dan pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya
kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

Nyeri (Pain) adalah kondisi perasaan yang tidak menyenagkan. Sifatnya sangat subjektif
karna perasaan nyeri berbeda pada setiap orang baik dalam hal skala ataupun
tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan dan mengefakuasi
rasa nyeri yang dialaminya (Hidayat, 2008).

Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang tidak menyenagkan yang
terlokalisasi pada suatu bagian tubuh ataupun sering disebut dengan istilah distruktif
dimana jaringan rasanya seperti di tusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi,
perasaan takut dan mual (Judha, 2012).

2.3 Fisiologi Nyeri


Reseptor nyeri disebut nosiseptor yang merupakan ujung-ujung saraf bebas, tidak
bermielin atau sedikit bermielin dari neuron afferen. Nosiseptor tersebar luas pada kulit
dan mukosa dan terdapat pula pada struktur yang lebih dalam seperti visera, persendian,
dinding arteri, hati dan kandung empedu. Nosiseptor memberi respon yang terpilih
terhadap stimulasi yang membahayakan seperti stimulasi kimia, thermal, listrik atau
mekanis. Yang tergolong stimulasi kimia terhadap nyeri adalah histamin, bradikinin,
prostaglandin, substansi P serta bermacam-macam asam. Sebagian bahan tersebut
dilepaskan oleh jaringan yang rusak. Jaringan yang rusak tersebut menyebabkan
terjadinya anoksia yang dapat menimbulkan persepsi nyeri. Selain jaringan yang rusak,
spasme otot juga dapat menimbulkan nyeri karena menekan pembuluh darah pada
daerahyang terjadi anoksia tersebut. Pembengkakan jaringan juga dapat menyebabkan
nyeri karena tekanan (stimulasi mekanik) kepada nociceptor yang menghubungkan
jaringan (Insaffita, 2005).

2.4 Transmisi Nyeri

2.4.1 Reseptor Nyeri ( Nosiseptor)

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi menerima rangsang nyeri. Organ
tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.
Reseptor nyeri juga disebut nosiseptor, secara anatomis nosiseptor ada yang
bermielien dan ada yang tidak bermielien dari saraf perifer. Berdasarkan letaknya,
nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit
(kutaneus), somatic dalam (deep somatic), dan pada daerah visceral. Karena
letaknya yang berbeda-beda inilah nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang
berbeda. (Smeltzer dan Bare, 2002).

2.4.2 Mediator Kimia

Sejumlah substansi yang mempengaruhi sensitivitas ujung-ujung saraf atau


reseptor nyeri dilepaskan ke jaringan ekstraseluler sebagai akibat dari kerusakan
jaringan. Zat-zat kimiawi yang dapat meningkatkan transmisi atau persepsi nyeri
meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin, substansi P,dan Prostaglandin (Smeltzer
dan Bare, 2002).Dengan adanya respon nyeri tersebut maka tubuh secara fisiologi
akan memproduksi endogen untuk menghambat impuls nyeri tersebut. Endogen
terdiri dari endorfin dan enkefalin, substansi ini seperti morfin yang berfungsi
menghambat transmisi influs nyeri. Apabila tubuh mengeluarkan substansi-
substansi ini, salah satu efeknya adalah pereda nyeri (Smeltzer dan Bare, 2002).

Lebih lanjut Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa endorfin dan enkefalin
ditemukan dalam konsentrasi yang kuat dalam sistem saraf pusat. Endorfin dan
enkefalin adalah zat kimiawi endogen (diprodukasi oleh tubuh) yang berstruktur
seperti opioid. Morfin dan obat-obatan opioid lainya menghambat transmisi yang
menyakitkan dengan meniru endorfin dan enkefalin. Serabut interneural inhibitor
yang mengandung enkefalin terutama diaktifkan melalui aktivitas serabut perifer
non-nosiseptor (serabut yang normalnya tidak mentransmisikan stimuli nyeri atau
yang menyakitkan) pada tempat reseptor yang sama dengan reseptor nyeri atau
nosiseptor dan serabut desenden, berkumpul bersama dalam suatu sistem yang
disebut descending control. Endorfin dan enkefalin juga dapat menghambat imfuls
nyeri dengan memblok transmisi impuls ini di dalam otak dan medula spinalis
(Smeltzer & Bare, 2002).

Keberadaan endorfin dan enkefalin ini membantu menjelaskan bagaimana orang


yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari stimuli nyeri yang sama.
Individu dengan endorfin lebih banyaklebih sedikit merasakan sakit dibandingkan
dengan individu yang kadar endorfinnya sedikit yang akan merasakan nyeri yang
lebih besar (Smeltzer dan Bare, 2002).

2.5 Teori-Teori Nyeri

2.5.1 Teori Spesivitas ( Specivicity Theory)


Teori Spesivitas ini diperkenalkan oleh Descartes, teori ini menjelaskan bahwa
nyeri berjalan dari resepror-reseptor nyeri yang spesifik melalui jalur
neuroanatomik tertentu kepusat nyeri diotak (Andarmoyo, 2013). Teori spesivitas
ini tidak menunjukkan karakteristik multidimensi dari nyeri, teori ini hanya melihat
nyeri secara sederhana yakni paparan biologis tanpa melihat variasi dari efek
psikologis individu (Prasetyo, 2010).

2.5.2 Teori Pola (Pattern theory)

Teori Pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada tahun 1989, teori ini menjelaskan
bahwa nyeri di sebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang di rangsang oleh pola
tertentu, dimana nyeri ini merupakan akibat dari stimulasi reseprot yang
menghasilkan pola dari implus saraf (Andarmoyo, 2013).

Pada sejumlah causalgia, nyeri pantom dan neuralgia, teori pola ini bertujuan
untuk menimbulkan rangsangan yang kuat yang mengakibatkan berkembangnya
gaung secara terus menerus pada
spinal cord sehingga saraf trasamisi nyeri bersifat hypersensitif yang mana
rangsangan dengan intensitas rendah dapat mengahasilkan trasmisi nyeri (lewis,
1983 dalam Andarmoyo, 2013).

2.5.3 Teori Pengontrol Nyeri

(Theory Gate Control) Teori gate control dari Melzack dan Wall ( 1965)
menyatakan bahwa implus nyeri dapat diatur dan dihambat oleh mekanisme
pertahanan disepanjang sistem saraf pusat, dimana implus nyeri dihantarkan saat
sebuah pertahanan dibuka dan implus dihambat saat sebuah pertahanan tertutup
(Andarmoyo, 2013).

2.5.4 Endogenous Opiat Theory

Teori ini di kembangkan oleh Avron Goldstein, ia mengemukakan bahwa terdapat


substansi seperti opiet yang terjadi selama alami didalam tubuh, substansi ini
disebut endorphine (Andarmoyo, 2013). Endorphine mempengaruhi trasmisi
implus yang diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine kemugkinan bertindak
sebagai neurotrasmitter maupun neoromodulator yang menghambat trasmisi dari
pesan nyeri (Andarmoyo, 2013).
2.6 Klasifikasi Nyeri

2.6.1 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi

a. Nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau
intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang
bervariasi (ringan sampai berat), dan berlangsung untuk waktu yang singkat
(Andarmoyo, 2013). Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan
akan menghilang tanpa pengobatan setalh area yang rusak pulih kembali
(Prasetyo, 2010).

b. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap sepanjang
suatu priode waktu, Nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas yang
bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (McCaffery, 1986 dalam
Potter &Perry, 2005).

2.6.2 Klasifikasi Nyeri Berdasrkan Asal

1) Nyeri Nosiseptif

Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas atau sensivitas
nosiseptor perifer yang merupakan respetor khusus yang mengantarkan stimulus
naxious (Andarmoyo, 2013). Nyeri nosiseptor ini dapat terjadi karna adanya
adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-
lain (Andarmoyo, 2013)

2) Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas yang di dapat
pada struktur saraf perifer maupun sentral , nyeri ini lebih sulit diobati
(Andarmoyo, 2013).

2.6.3 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi

1) Supervicial atau Kutaneus

Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit. Karakteristik dari
nyeri berlangsung sebentar dan berlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai
sensasi yang tajam (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Contohnya
tertusuk jarum suntik dan luka potong kecil atau laserasi.

2) Viseral atau Dalam

Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ internal
(Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Nyeri ini bersifat difusi dan
dapat menyebar kebeberapa arah. Nyeri ini menimbulkan rasa tidak
menyenangkan dan berkaitan dengan mual dan gejala-gejala otonom.
Contohnya sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan sensasi terbakar
seperti pada ulkus lambung.

3) Nyeri Alih (Referred pain)

Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karna banyak organ
tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat terasa di bagian tubuh
yang terpisah dari sumber nyeri dan
dapat terasa dengan berbagai karakteristik (Potter dan Perry, 2006 dalam
Sulistyo, 2013). Contohnya nyeri yang terjadi pada infark
miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu,
yang mengalihkan nyeri ke selangkangan.

4) Radiasi Nyeri

Radiasi merupakan sensi nyeri yang meluas dari tempat awal cedera ke bagian
tubuh yang lain (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Karakteristik
nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang kebagian
tubuh. Contoh nyeri punggung bagian bawah akibat diskusi interavertebral yang
ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik.

2.7 Pengukuran Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu.
Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat sabjektif dan nyeri dalam intensitas yang
sama dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda (Andarmoyo, 2013). Pengukuran
nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mugkin adalah menggunakan respon
fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri, namun pengukuran dengan pendekatan
objektif juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri,
2007 dalam Andarmoyo, 2013).
Dalam mengkaji respon nyeri yang dialami klien ada beberapa komponen yang harus
diperhatikan :

1) Karakteristik nyeri ( Metode P, Q, R, S, T)

a. Faktor pencetus ( P : Provocate)

Mengakaji tentang penyebab atau stimulus- stimulus nyeri pada klien, dalam hal
ini juga dapat melakukan observasi bagian- bagian tubuh yang mengalami cedera.
Menanyakan pada klien perasaan-perasaan apa yang dapat mencetuskan nyeri.

b. Kualitas (Q : Quality)

Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif yang diungkapkan oleh klien,
seringkali klien mendeskripsikan nyeri dengan kalimat-kalimat: tajam, tumpul,
berdenyut, berpindah-pindah, seperti tertindih, perih tertusuk dimana tiap-tiap klien
mungkin berbeda-beda dalam melaporkan kualitas nyeri yang dirasakan.

c. Lokasi (R: Region)

Untuk mengakji lokasi nyeri maka meminta klien untuk menunjukkan semua
bagian / daerah dirasakan tidak nyaman oleh klien. Untuk melokalisasi nyeri lebih
spesifik, maka perawat dapat meminta klien untuk melacak daerah nyeri dan titik
yang paling nyeri, kemungkinan hal ini akan sulit apabila nyeri yang dirasakan
bersifat difus (menyebar).

d. Keparahan (S: Severe)

Tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan karakteristik yang paling


subjektif. Pada pengkajian ini klien diminta untuk menggambarkan nyeri yang ia
rasakan sebagai nyeri ringan, nyeri sedang atau berat

e. Durasi (T: Time)

Menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan, durasi, danrangkaiian nyeri.


Menanyakan “Kapan nyeri mulai dirasakan?”, “Sudah berapa lama nyeri
dirasakan?” (Prasetyo, 2010).
Beberapa skala intensitas nyeri :

2.7.1 Skala Intensitas Nyeri Deskriftif Sederhana

(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-


Ruzz)

Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor scale, VDS) merupakan alat


pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objekti. Pendeskripsian VDS
diranking dari ” tidak nyeri” sampai ”nyeri yang tidak tertahankan”(Andarmoyo,
2013). Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk
memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Alat ini memungkinkan klien
memilih sebuah ketegori untuk mendeskripsikan nyeri (Andarmoyo, 2013).

2.7.2 Skala Intensitas Nyeri Numerik

(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-


Ruzz.)

Skala penilaian numerik (Numerical rating scale, NRS) lebih digunakan sebagai
pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
(Andarmoyo, 2013).
2.7.3 Skala Intensitas Nyeri Visual Analog Scale

(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-


Ruzz.)

Skala analog visual ( Visual Analog Scale) merupakan suatu garis lurus, yang
mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsian
verbal pada setiap ujungnya (Andarmoyo, 2013).

2.8 Manajemen Nyeri

Menurut Tamsuri (2006), menjelaskan bahwa ada beberapa tindakan untuk mengatasi
nyeri, yaitu tindakan pengobatan (farmakologis) dan tindakan non farmakologis (tanpa
pengobatan).

2.8.1 Farmakologis

Beberapa agens famakologis digunakan untuk menangani nyeri semua agens


memerlukan resep dokter, penatalaksanaan nyeri akut, perawat memberikan asuhan
keperawatan kepada klien yang menjalani pembedahan dan prosedur medis. Ada
tiga jenis analgesik, yakni : (1) non-narkotik dan obat antiinflamasi non steroid
(NSAID), (2) analgesik narkotik atau opiat, dan (3) obat tambahan atau ke
analgesik. NSAID non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri
sedang, seperti nyeri yang terkait dengan arthritis rhematoid, prosedur pengobatan
gigi dan prosedur bedah minor, episiotomi dan masalah pada punggung bagian
bawah (Potter & Perry, 2005)

2.8.2 Nonfarmakologis

a. Relaksasi Napas Dalam

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan,


yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara
melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan
bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan
intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi
paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer dan Bare, 2002).

Menurut Novarizki dan Arina M. (2009) dalam penelitian mereka tentang


pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tingkat nyeri pada
pasien pasca operasi fraktur femur di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta,
teknik relaksasi nafas dalam membantu mengekspresikan perasaan, membantu
rehabilitasi atas fisik, memberi pengaruh positif terhadap kondisi suasana hati
dan emosi meningkatakan memori, serta menyediakan kesempatan yang unik
untukberinteraksi dan membangun kedekatan
emosional.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Artini (2009)
tentang “Pengaruh pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap tingkat
nyeri pasca opeasi di RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten”. Dalam penelitian ini dilakukan uji statistik yang dapat
diambil kesimpulan bahwa ada pengaruh pemberian teknik relaksasi nafas
dalam terhadap tingkat nyeri pasca operasi di
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.

b. Distraksi

Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain sehingga dapat
menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri, bahkan meningkatkan toleransi
terhadap nyeri (Prasetyo, 2010).

Prosedur teknik distraksi berdasarkan jenisnya, antara lain

1) Distraksi visual

Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat


pemandangan, dan gambar (Prasetyo, 2010).

2) Distraksi pendengaran

Mendengarkan musik yang disukai, suara burung, atau gemercik air. Klien
dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan musik yang tenang,
seperti musik klasik. Klien diminta untuk berkosentrasi pada lirik dan
irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh
mengikuti irama lagu, seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki
(Tamsuri, 2007).
Dalam penelitian Erna Yusnita (2013) tentang Pengaruh Terapi Musik
Terhadap Manajemen Nyeri pada Pasien Post Operasi Sectio Caesarea di
Ruang DelimaRSUD Pasar Rebo didapatkan hasil penelitian, nilai rata-
ratatingkat nyeri responden sebelum dansesudah diberikan terapi standar
padakelompok intervensi mengalami penurunan.Nilai rata-rata tingkat
nyeri sebelumprosedur sebesar 8,00 dan menurunsebanyak 4,00 setelah
diberikan terapistandar menjadi 4,00.

Jenis musik terapi yang digunakanmempunyai karakteristik musik


yangbersifat terapi adalah musik yangnondramatis, dinamiknya bisa
diprediksi,memiliki nada yang lembut, harmonis dantidak berlirik,
temponya 60-80 beat perminute dan musik yang dijadikan
terapimerupakan musik pilihan klien. Musik yangbersifat sebaliknya
adalah musik yangmenimbulkan ketegangan, tempo yangcepat, irama
yang keras, ritme yangirregular, tidak harmonis atau dibunyikandengan
volume keras tidak akanmenimbulkan efek terapi. Efek yang timbuladalah
meningkatkan denyut nadi, tekanandarah, laju pernapasan dan
meningkatkanstress (Nilsson, 2009).

Waktu pelaksanaan terapi musik dalampenelitian ini dimulai setelah 5


sampai 12jam pasca operasi selama 30 menit, yangmana pasien telah
berada di ruangperawatan. Nillson (2009) menyatakanbahwa waktu
pelaksanaan terapi musikdimulai sesegera mungkin yaitu bisa dimulai2
jam post operasi. Meskipun klien masih diruang pulih sadar, terapi bisa
langsungdiberikan dan merekomendasikan intervensiterapi musik
diberikan pada hari pertamadan kedua post operasi. Hal ini
merupakanupaya untuk menstimulasi pengeluaranhormon endorphin
sesegera mungkin.Dilakukan terapi musikselama 30 menit,endorphin
terbukti akan distimulasi untukmenginhibisi persepsi nyeri.
3) Distraksi pernafasan

Cara pertama, yaitu bernafas ritmik. Anjurkan klien untuk memandang


fokus pada satu objek atau memejamkan mata, lalu lakukan inhalasi
perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai empat (dalam hati),
kemudian menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan
menghitung satu sampai empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk
berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap gambar yang memberi
ketenangan, lanjutkan teknik ini hingga terbentuk pola pernafasan ritmik.

Cara kedua, yaitu bernafas ritmik dan massase, instruksikan klien untuk
melakukan pernafasan ritmik dan pada saat yang bersamaan lakukan
massase pada bagaian tubuh yang mengalami nyeri dengan melakukan
pijatan atau gerakan memutar di area nyeri (Widyastuti, 2010).

4) Distraksi intelektual

Distraksi intelektual dapat dilakukan dengan mengisi teka-teki silang,


bermain kartu, melakukan kegemaran (ditempat tidur), seperti
mengumpulkan perangko atau menulis cerita. Pada anakanak dapat pula
digunakan teknik menghitung benda atau barang yang ada di sekeliling.

5) Teknik sentuhan

Distraksi dengan memberikan sentuhan pada lengan, mengusap, atau


menepuk-nepuk tubuh klien. Teknik sentuhan dapat dilakukan sebagai
tindakan pengalihan atau distraksi. Tindakan ini dapat mengaktifkan saraf
lainnya untuk menerima respons atauteknikgateway control.Teknik ini
memungkinkan impuls yang berasal dari saraf yang menerima input sakit
atau nyeri tidak sampai ke medula spinalis sehingga otak tidak menangkap
respons sakit atau nyeri tersebut. Impuls yang berasal dari input saraf
nyeri tersebut diblok oleh input dari saraf yang menerima rangsang
sentuhan karena saraf yang menerima sentuhan lebih besar dari saraf
nyeri. (Widyastuti, 2010).
c. Hipnosis/ Hipnoterapi

Hipnotis adalah suatu teknik yang menghasilkan suatu keadaan tidak sadar
diri yang dicapai melalui gagasan-gagasan yang disampaikan oleh
Universitas Sumatera Utarapenghipnotisan. Hipnoterapi mendefenisikan
sebagai penggunaan hipnotis untuk membuat suatu kepatuhan dan kondisi
seperti tidur dalam terapi kondisi-kondisi dengan komponen psikologis yang
besar (Mander, 2004).

Hipnotis atau hipnoterapi menjelaskan bahwa kesadaran individu terdiri dari


beberapa tingkat kesadaran yang memungkinkannya berfungsi pada tingkat
lain dari tingkat tempat nyeri diterima, yang menghasilkan laporan tidak ada
nyeri. Secara simultan ‘pengamat tersembunyi’ mempertahankan kesadaran
semua aktifitas dan memungkinkan semua pengingatan kembali dan persepsi
nyeri ketika efek seperti tidur hipnosis hilang. Salah satu contoh dalam
penghipnotisan yaitu imajinasi terbimbing yang merupakan kegiatan klien
membuat suatu bayangan yang menyenangkan dan mengko nsentrasikan diri
pada bayangan tersebut serta berangsur-angsur membebaskan diri dari
perhatian terhadap nyeri (Asmadi, 2008).

Menurut Paulus subiyanto dkk (2008) dalam penelitiannya mengenai terapi


hipnosis terhadap penurunan sensasi nyeri pascabedah ortopedi dapat
disimpulkan bahwa pemberian kombinasi terapi analgesik narkotik dan
hipnosis terbukti lebih efektif jika dibandingkan dengan pemberian terapi
analgesik sebagai terapi tunggal dalam menurunkan tingkat sensasi nyeri
pasien pascabedah ortopedi.

Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian sebelumnya (Hilgard &
Hilgard, 1983; Doody et al., 1991; Williams et al., 1994; Dahlgren et al.,
1995; Handel, 1998; Simon & Dahl, 1999, Rainville et al., 1999;
Montgomery et al., 2000 50 Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 12, No.
1, Maret 2008; hal 47-52 dalam Kihlstorm, 2000) bahwa hipnosis efektif
untuk memodulasi persepsi nyeri dengan mempengaruhi proses-proses
kognitif seseorang dibandingkan individu yang tidak mendapatkan terapi
hipnosis.
d. Kepercayaan/Keyakinan

Dalam penelitian Tri Sunaryo dan Siti L. (2014) tentang pengaruh relaksasi
benson (cara untuk mengurangi nyeri dengan mengalihkan perhatian kepada
relaksasi sehingga kesadaran klien terhadap nyerinya berkurang, relaksasi ini
dilakukan dengan cara menggabungkan relaksasi yang diberikan dengan
kepercayaan yang dimiliki) terhadap penurunan skala
nyeri dada kiri pada pasien acute myocardial infarc
di RS dr Moewardi Surakarta dapat disimpulkan bahwa relaksasi Benson
selain mendapatkan manfaat dari relaksasi juga mendapatkan kemanfaatan
dari penggunaan keyakinan seperti menambah keimanan dan kemungkinan
akan mendapatkan pengalaman transendensi. Individu yang mengalami
ketegangan dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis,
sedangkan pada waktu relaksasi yang bekerja adalah sistem saraf
parasimpatis, dengan demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang, cemas,
insomnia, dan nyeri.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan konsep dari Dr. Herbert Benson
bahwa dengan melakukan relaksasi selama 15 menit akan menyebabkan
aktifitas saraf simpatik dihambat yang mengakibatkan penurunan terhadap
konsumsi oksigen oleh tubuh dan selanjutnya otot-otot tubuh menjadi relaks
sehingga menimbulkan perasaan tenang dan nyaman (Benson, 2000). Selain
itu, Relaksasi Benson berfokus pada kata atau kalimat tertentu yang
diucapkan berulang kali dengan ritme teratur dan disertai sikap yang pasrah
pada Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai keyakinan pasien memiliki makna
menenangkan.
2.9 Kerangka Teori

Gangguan Rasa Penurunan


Penderita Rematik
Nyaman: Nyeri Intensitas Nyeri

1. Relaksasi napas dalam


(Novirizki, 2009)

2. Terapi Musik

3. Hipnoterapi (Subiyanto,
2008)

4. Relaksasi Benson
(Religi/Keyakinan)

Pemberian Parem

Pemberian treatmen pada sendi


dengan menggunakan ramuan parem
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah
pendekatan ilmiah yang memandang kejadian nyata dapat dikategorikan teramati, konkrit,
terukur, hubungan antar variabel bersifat sebab akibat dimana data penelitian berupa angka
dan analisis penelitian menggunakan statistik. Penelitian kuantitatif juga memiliki sifat
mengukur tingkat kejadian, membuktikan sesuatu (apakah ada pengaruh, hubungan dan
perbedaan faktor yang dominan) tindakan serta memprediksi suatu variabel berdasarkan
variabel yang lain (Sugiyono, 2008)

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah one group pre and posttest design.
Desain ini merupakan desain eksperimen yang hanya menggunakan satu kelompok subyek
(kasus tunggal) serta melakukan pengukuran sebelum diberikan perlakuan (pretest) dan
sesudah diberikan perlakuan (posttest), perlakuan dalam penelitian ini berupa permainan
tradisional. Perbedaan kedua hasil pengukuran tersebut dianggap sebagai efek perlakuan
(Latipun, 2008:114).

3.2 Kerangka Konsep

Pre test Post te

Skala nyeri Pemberian treatmen Skala nyeri


sebelum pada sendi dengan sesudah
perlakuan menggunakan perlakuan
ramuan parem

Kriteria inklusi
dan eksklusi
3.3 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut :


Pre test Perlakuan Post test
Kelompok Perlakuan 01 X 02

Keterangan :

O1 : nilai tes awal kelompok perlakuan

X : perlakuan berupa pemberian parem selama 15 menit

O2 : nilai tes akhir setelah diberikan perlakuan berupa Pemberian parem

3.4 Sampel dan Teknik Sampling

Sampel merupakan bagian kecil dari populasi yang akan dijadikan bahan untuk
diteliti. Sampel terdiri dari beberapa anggota yang dipilih dari populasi, sehingga beberapa
dari sebagian populasi akan dijadikan sampel tidak semuanya dari populasi. Penelitian ini
menggunakan teknik pengambilan sampel dengan teknik Accidential Sampling. Teknik

Accenditial Sampling merupakan teknik pengambilan sampel berdasarkan kebetulan


siapasaja yang bertemu peneliti secara kebetulan/insidental dapat digunakan sebagai sampel
penelitian, jika dilihat orang yang ditemui tersebut sesuai dengan sumber data (Sujarweni,
2014).

Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat yang menderita penyakit rematik. Penentuan
sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan pertimbangan tertentu oleh peneliti.
Banyaknya sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang.
Kriteria inklusi adalah sebuah subjek yang masuk dalam karakteristik penelitian.
Adapun kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dalam penelitian ini:

a. Kriteria inklusi

a) Masyarakat penderita nyeri akut pada penderita rematik

b) Masyarakat yang bersedia menjadi responden

c) Umur > 40tahun

d) Responden berada di lingkungan panti-panti social

e) Nyeri sedang (4-6) – berat (7-10)

b. Kriteria eksklusi

a) Pasien yang mengalami gangguan jiwa

b) Pasien yang mengalami gangguan pendengaran


3.5 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara ukur dan Alat Hasil ukur Skala
Operasional ukur
Variabel Independen

Skala nyeri Sebelum dilakukan  wawancara hasil ukur dapat Rasio


sebelum treatment dengan dengan klien dikategorikan 1-
diberikan menggunakan menggunakan 3,4-6,7-10 dengan
parem ramuan parem Numberic rating menggunakan skala
dilakukan scale Interval
pengukuran
Berdasarkan
rentang nyeri 0-10
Skala nyeri Sesudah dilakukan  wawancara hasil ukur dapat Rasio
sesudah treatment dengan dengan klien dikategorikan 1-3,4-
dieberikan menggunakan menggunakan 6,7-10 dengan
parem ramuan parem Numberic rating menggunakan skala
dilakukan scale Interval
pengukuran
Berdasarkan
rentang nyeri 0-10
3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk memperoleh, mengolah, serta
menginterpretasikan informasi yang diperoleh dari responden dengan menggunakan pola
ukur yang sama (Siregar, 2011). Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner yang dibuat
oleh peneliti dan kuesioner akan diisi oleh peneliti setelah melakukan observasi dan
wawancara dengan responden.

Berikut keterangan instrumen penelitian ini yaitu:

1. Rasa nyeri dapat diukur dengan numeric rating scale dengan menunjukkan skala nyeri, 0
menunjukkan tidak mengalami nyeri, angka 1-3 menunjukkan nyeri ringan, angka 4-6
menunjukkan nyeri sedang, angka 7-10 menunjukkan nyeri hebat. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik.
Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasi patokan 10 cm
(AHCPR, 1992).
Skala penilaian numerik (Numerical rating scale, NRS) lebih digunakan sebagai
pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri
sebelum dan setelah intervensi (Andarmoyo, 2013).

2. Karakteristik nyeri

Karakteristiknyeri dapat dilihat berdasarkan metode PQRST,berikut penjelasannya:

a. P : menanyakan apa penyebab bisa terjadi rasa nyeri

b. Q : menanyakan bagaimanan kualitas nyeri yang dirasakan pasien

c. R : menanyakan dimana letak rasa nyeri yang dirasakan

d. S : menanyakan berapa skala yang dirasakan

e. T : menanyakan waktu kapan terjadinya nyeri dan berapa lama nyeri tersebut muncul
(Prasetyo, 2010)
3.7 Etika Penelitian

Etika membahas penentuan tindakan yang baik bagi individu, kelompok, dan
masyarakat. Tindakan etik menggambarkan komitmen pada standar-standar yang dipenuhi
individu, profesi, dan Masyarakat (Potter, 2009). Etika dalam penelitian keperawatan
merupakan aspek yang sangat penting karena berhubungan dengan manusia dan manusia
memiliki Hak Asasi dalam pelaksanaan penelitian Etika dalam penelitian meliputi:

3.7.1Informed Concent

Informed concent merupakan lembar persetujuan yang diberikan kepada


respondenyang akan diteliti oleh peneliti yang sudah memenuhi kriteria inklusi dengan judul
penelitian

dan manfaat yang dilakukannya penelitian, bila responden menolak untuk diteliti maka
peneliti tidak memaksa responden dan tetap menghormati keputusan responden.

3.7.2 Anonimity (Tanpa nama)

Etika ini dilakukan untuk menjaga kerahasiaan peneliti yang tidak akan
mencantumkan nama subjek yang menjadi responden, tetapi lembar tersebut diberikan inisial
atau kode.

3.7.3Confidentiality (kerahasian)

Informasi dari subjek yang menjadi responden dijamin kerahasiaannya oleh peneliti
khususnya data yang berkaitan dengan data personal responden yang bersifat rahasia dan
hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.
3.8 Teknik Analisis Data

Jenis uji statistik yang digunakan untuk mengetahui pengaruh Pemberian ramuan parem pada
gejala nyeri rematik adalah :

3.8.3 Uji Univariat

Uji univariat adalah uji untuk mendiskripsikan mengenai distribusi frekuensi dan
proporsi masing-masing variabel yang diteliti, baik variabel bebas maupun variabel terikat.
Dalam penelitian ini menjelaskan distribusi frekuensi dan presentase mengenai Pemberian
Parem.

3.8.4 Uji Bivariat

Uji bivariat digunakan setelah uji univariat, uji bivariat ini digunakan terhadap dua
variabel yang diduga berhubungan atau berkolasi. Variabel dalam penelitian ini adalah
masyarakat yang menderita penyakit rematik. Uji yang digunakan pada Before – after setiap
kelompok ( dalam kelompok) menggunakan Uji paired t test.
BAB IV
BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN
4.1 BIAYA PENELITIAN

A Peralatan Penunjang
Material Justifikasi Pemakaian Kuantitas Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
Flash Disk 8 Gb Dokumen 2 buah Rp 75.000,- Rp 150.000,-
Memori Kamera Dokumentasi 1 buah Rp 100.000,- Rp 100.000,-
Kertas A4 80 gr ATK Kegiatan 5 rim Rp 50.000,- Rp 250.000,-
Catridge printer canon Perlengkapan 2 buah Rp 250.000,- Rp 500.000,-
Cetak Foto Dokumentasi 100 pcs Rp 2.500,- Rp 250.000,-
Jilid Proposal ATK Kegiatan 1 paket Rp 150.000 Rp 150.000,-
SUB TOTAL Rp 1.400.000,-
B Bahan Habis Pakai
Material Justifikasi Pemakaian kuantitas Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)

Snack responden Konsumsi 30 orang Rp 15.000,- Rp 450.000,-


Snack peneliti Konsumsi 4 orang Rp 15.000,- Rp 60.000,-
Snack pembimbing Konsumsi 1 orang Rp 15.000,- Rp 15.000,-
Souvenir Cinderamata 1 paket Rp 1.000.000,- Rp 1.000.000,-

Tinta Printer ATK Kegiatan 1 paket Rp 150.000,- Rp 150.000,-


Fotocopy angket Kuesioner Responden 500 lembar Rp 150,- Rp 75.000,-
Bahan Parem Bahan Penelitian 1 paket Rp 350.000,- Rp 350,000,-
SUB TOTAL Rp 2.100.000,-
C Perjalanan
Material Justifikasi Pemakaian Kuantitas Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
Seminar proposal &
Perjalanan hasil 4 orang Rp 200.000,- Rp 800.000,-
SUB TOTAL Rp 800.000,-
D Lain-lain
Material Justifikasi Pemakaian Kuantitas Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
Koneksi internet dan Informasi dan
dakomunikasi via telpon Komunikasi 6 bulan Rp 100.000,- Rp 600.000,-
Publikasi Ilmiah Publikasi 1 kali Rp 550.000,- Rp 550.000,-
SUB TOTAL Rp 700.000,-
Total Anggaran Dana Rp 5.000.000,-

4.2 JADWAL PENELITIAN


Bulan / tahun

Bln Ke-1 Bln Ke-2 Bln-3 Bln-4 Bln-5 Bln-6

No Kegiatan Februari Maret April Mei Juni Juli


Penyerahan proposal dan
1 seleksi administrasi
2 Seleksi dan review

3 Pengumuman hasil seleksi

4 Penyerahan Protokol penelitian

5 Pembuatan Kontrak Penelitian

6 Pelaksanaan Uji etik penelitian

7 Pelaksanaan Penelitian

8 Monitoring dan evaluasi

9 Penyerahan draf laporan penelitian

10 Penilaian laporan penelitian


Penyerahan laporan akhir
11 penelitian

12 Publikasi hasil penelitian


DAFTAR PUSTAKA

Hidayat. A. A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Salemba
Medika. Jakarta

Andarmoyo, S. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri, Ar-Ruzz, Yogyakarta.

Smeltzer, Suzanne C . 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart. Edisi 8, Vol
2. Jakarta : Buku kedokteran

Tamsuri Anas. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC

Ayudiyaningsih, Novirizki G. dan Arina Maliya. 2009. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas
Dalam terhadap Penurunan Tingkat Nyeri pada Pasien Pasca Operasi Fraktur
Femur di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/3607/NOVA%20RIZKY%
20-%20ARINA%20MALIYA%20FIX.pdf?sequence=1&isAllowed=y. Diunduh
tanggal 22 Januari 2017.

Yusnita, Erna. 2013. Pengaruh Terapi Musik Terhadap Manajemen Nyeri pada Pasien Post
Operasi Sectio Caesarea di Ruang DelimaRSUD Pasar Rebo.
https://ayurvedamedistra.files.wordpress.com/2015/08/pengaruh-terapi-musik-
terhadap-manajemen-nyeri-pada-pasien-post-operasi-sectio-caesaria.pdf. Di uduh
tanggal 23Januari 2017.

Subiyanto, P. dkk. 2008. Terapi Hipnosis Terhadap Penurunan Sensasi Nyeri Pascabedah
Ortopedi. http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/199. Diunduh tanggal 23
Januari 2017.

Sunaryo, Tri & Siti Lestari. 2014. Pengaruh Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Skala
Nyeri Dada Kiri pada Pasien Acute Myocardial Infarc
di Rs Dr Moewardi Surakarta. http://jurnal.poltekkes-
solo.ac.id/index.php/Int/article/viewFile/138/128. Diakses tanggal 24 Januari 2017.
Lampiran.
STANDAR OPERSIONAL PROSEDUR PEMBERIAN PAREM

No Aspek Yang Dilakukan Keterangan


1. Fase Pra Interaksi
Persiapan Alat :
1. Pisau
2. Blender/ cobek (untuk menghaluskan)
Persiapan Bahan : masing – masing …… jumlah nya
berapa
1. Beras …… jumlah nya berapa Alat dan bahan disesuaikan
2. Kencur
3. Kayu manis
4. Asam kandis
5. Lengkuas
6. Jahe
7. Daun jeruk/ mint
8. Air panas
2. Fase Orientasi
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Menjelaskan tujuan pemberian parem
3. Menjelaskan prosedur pemberian parem
4. Mengukur skala nyeri penderita
5. Menyiapkan lingkungan
3. Fase Kerja
1. Mencuci tangan.
2. Kupas dan bersihkan semua bahan yang sudah
disediakan.
3. Haluskan seluruh bahan dan dicampur dengan
air panas dengan menggunakan Blender/
cobek.
4. Oleskan atau lumuri bahan yang sudah di
haluskan secara merata kebagian yang terasa
nyeri sambil memijat secara perlahan.
5. Diamkan selama 15-20 menit
6. Lalu bersihkan parem dengan menggunakan
air bersih.
7. Mencuci tangan.
4. Fase Terminasi
1. Evaluasi respon pasien.
2. Mengukur skala nyeri sesudah di berikan
parem.
3. Menyimpulkan hasil prosedur yang dilakukan.
4. Mengucapkan salam.
5. Pendokumentasian.

Anda mungkin juga menyukai