Anda di halaman 1dari 13

6.

Penerapan wajib militer di Indonesia


PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara
kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan
hak-hak ditetapkan Undang-undang.
Negara Indonesia memiliki wilayah yang luas, berbatasan dengan
beberapa negara, berada pada posisi silang yang mempunyai nilai strategis.
Konsekuensi daripada hal tersebut adalah seluruh komponen negara harus
bersama-sama menjaga dan mempertahankan kedaulatan Negara, keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjaga segenap
bangsa Indonesia. Untuk itu dibutuhkan sistem penyelenggaraan pertahanan
Negara yang memadai di kaitkan dengan prediksi persepsi ancaman yang
dapat timbul setiap saat.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bela negara merupakan
suatu hal yang lazim dan menjadi hak maupun kewajiban bagi seluruh
elemen bangsa termasuk warga Negara. Butir ke 2,3,dan 4 sila 3 Pancasila
berturut-turut memberikan pernyataan nilai-nilai yang harus dilakukan oleh
seluruh elemen bangsa yakni; sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan
Negara, mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa, serta
mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air
Indonesia. Hal tersebut merupakan landasaan idiil yang menjadi nilai
sebagai pedoman dalam rangka menjaga dan mempertahankan kedaulatan
negara.
Nilai-nilai tersebut tertuang dalam ketentuan Pasal 30 ayat 2 UUD
NRI 1945, bahwa usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan
melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai
kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Hal ini menjadi
pertimbangan dan kajian tersendiri oleh pemerintah terkhusus mengenai
desain kebijakan pertahanan. Sebab, ketika konstitusi mengamanahkan
bahwa rakyat sebaga kekuatan pendukung dalam upaya pertahanan dan
keamanan Negara maka kewajiban negara adalah menentukan kebijakan
sebagai upaya memersiapkan dan merealisasikan. Oleh karena itu,
pemerintah melalui pengajuan RUU Komponen Cadangan Pertahanan
Negara menawarkan konsep pendidikan wajib militer bagi penduduk dalam
batasan umur tertentu dan syarat kesehatan tertentu masuk ke dalam militer
dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

ARGUMENTASI PRO

Secara filosofis, bela negara merupakan suatu naluriah dan kelaziman yang
mesti dilakukan oleh suatu bangsa terhadap negaranya. Wamil dapat
memupuk jiwa kepahlawanan dan kebangsaan untuk senantiasa cinta dan
setia terhadap tanah air. Bahkan sebagai negara yang dibangun dengan pilar
demokrasi, wamil merupakan bentuk/pola pembangunan pertahanan negara
yang melibatkan partisipasi aktif warga negara dalam upaya bela negara.
Secara yuridis warga negara memiliki hak dan kewajiban serta dalam
kedudukannya sebagai komponen pendukung upaya bela negara. Secara
sosiologis, dengan menerapkan wajib militer dapat meningkatkan kesiap-
siagaan terhadap berbagai kemungkinan ancaman terhadap kedaulatan RI
mengingat dan mempertimbangkan kondisi geografis dan sosiografis RI.
Saat dideklarasikannya kemerdekaan Indonesia, hal yang sangat
esensial adalah dasar negara dan norma dasar (konstitusi) yang menjadi
fondasi negara. Satu hal yang termaktub dalam pembukaan norma dasar
tersebut adalah tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Hal tersebut merupakan amanah sekaligus janji
kemerdekaan yang harus bersama-sama diupayakan oleh seluruh komponen
negara, termasuk warga negara.
Merupakan suatu hal yang lazim dilakukan oleh warga negara untuk
membela dan menjaga kedaulatan negaranya. Hal ini sebagai bentuk ikhtiyar
menjaga dan mempertahankan akan keberlangsungan kokohnya bangunan
kedaulatan negara dari kemungkinan berbagai ancaman. Hal ini termasuk
wujud tanggung jawab atas pengorbanan para pahlawan selama ± 360 tahun
membela negara dari belenggu dan serangan penjajah. Maka sudah sejatinya
naluri bela negara oleh warga negara merupakan suatu hal yang lazim dan
harus dilakukan pembinaan serta penyiapan. Secara ringkas Samuel
Huntington dalam
The Soldier and yhe State
Menyatakan “ bahwa tidak akan ada negara apabila tidak ada
pertahanan/bela negara, dan tidak akan ada pertahanan/bela negara apabila
tidak ada negara.

Sistem Pertahanan yang dianut oleh Negara Indonesia adalah Sistem


Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Sishankamrata berfungsi untuk
memelihara dan meningkatkan ketahanan nasional dengan menanamkan
serta memupuk kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara
Indonesia, menghayati dan mengamalkan Pancasila dan UUD NRI 1945
sehingga memiliki sikap mental yang meyakini hak dan kewajiban serta
tanggung jawab sebagai warga negara yang rela berkorban untuk membela
bangsa dan negara serta kepentingannya.
3
Oleh karena itu, wajib militer merupakan sarana yang tepat untuk
ditempuh oleh negara dalam menjalankan fungsi daripada sishankamrata
tersebut. Wajib Militer atauConscription merupakan suatu peraturan yang
mewajibkan penduduk suatu negara dalam batasan umur tertentu dan syarat
kesehatan tertentu masuk ke dalam militer dalam jangka waktu yang telah
ditentukan. Hal ini sebagai upaya menjaga dan mempertahankan kedaulatan
negara. Salah satu maksud yang mendasar dari diterapkannya wamil ini
adalah upaya memperkokoh ketahanan nasional. Ketahanan nasional pada
hakikatnya adalah pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan
keamanan secara seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek
kehidupan nasional.

Oleh karena itu, menerapkan wamil sangat relevan dengan konsepsi hakikat
ketahanan nasional tersebut

Wajib militer lebih menekankan pada aspek partisipasi warga negara dan
pembentukan karakter. Pada dasarnya, wamil ini secara langsung melibatkan
warga negara untuk mengikuti pendidikan kemiliteran. Tujuan yang paling
esensial adalah membangun kesiap-siagaan seluruh komponen bangsa
(terutama warga negara) dan pembentukan karakter
soft skill
seperti, pembentukan mental keimanan, kedisiplinan, ketaatan, daya tahan
mental, profesionalisme, loyalitas, komitmen, penghormatan, tanpa pamrih,
kehormatan, serta nilai-nilai integritas. Nilai-nilai dalam institusi pertahanan
(negara) berguna agar semua kebijakan dan strategi bahkan operasional
pertahanan dapat dijaga oleh nilai-nilainya sendiri, sehingga dapat berjalan
sesuai dengan peraturan dan perundangan, norma, dan standar yang berlaku.

Sehingga dalam hal ini negara hadir untuk memberi kesempatan dan
pemenuhan terhadap warga negara untuk ikut serta disiapkan dalam
pertahanan/bela negara. Wajib militer ini dapat mendorong partisipasi aktif
warga negara dalam upaya bela negara. Hal ini akan memperkokoh sistem
demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana salah
satu prinsip dalam usaha pertahanan negara yakni berdasarkan prinsip
demokrasi.

Sebab tidak dapat dipungkiri dalam situasi darurat yang mengancam


kedaulatan mau tidak mau seluruh elemen bangsa termasuk warga negara
harus turut serta melakukan upaya bela negara. Di beberapa negara
demokrasi, wajib militer memiliki payung hukum sebagai sumber daya
pertahanan negara dalam menghadapi berbagai ancaman. Oleh karena itu,
demi terwujudnya sistem pertahanan yang optimal maka warga negara harus
dilibatkan dengan disiapkan sebagai bagian komponen pendukung upaya
menjaga dan mempertahankan kedaulatan negara

Pasal 27 ayat 3 UUD NRI 1945 mengamanahkan bahwa setiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara. Salah satu konsekuensi
yang perlu diperhatikan dengan seksama adalah setiap warga negara
memiliki hak untuk disiapkan dan dibina sebagai bekal bela negara, baik
pembekalan nilai-nilai bela negara, pendidikan nilai patriotisme dan
nasionalisme, maupun pelatihan strategi dan teknis dalam bela negara.
Memahami bahwa ikut serta bela negara merupakan hak dan kewajiban
setiap warga negara maka dalam hal ini warga negara wajib untuk mengikuti
berbagai upaya yang menjadi kebijakan negara dalam upaya pertahanan
nasional dan demikian pula negara, dalam hal ini melalui pemerintah wajib
memberikan pembekalan terhadap warga negara agar siap secara dini
apabila sewaktu-waktu negara membutuhkan kehadirannya.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang


Pertahanan Negara, disebutkan bahwa komponen kekuatan pertahanan
negara terdiri dari : komponen utama, komponen cadangan dan komponen
pendukung untuk dapat terciptanya sistem pertahanan negara yang kuat dan
tangguh. Maka harus dilaksanakan pembentukan, pembinaan dan
penggunaan ketiga komponen pertahanan negara tersebut dengan serasi,
seimbang, adil dan merata serta professional yang dipersiapkan secara dini
oleh pemerintah secara bertahap dan berlanjut sesuai dengan kemampuan
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, konsep pemberlakuan wamil merupakan
langkah yang tepat untuk menyiapkan warga negara secara dini.

Mempersiapkan warga negara sebagai komponen cadangan secara


dini merupakan wujud implementasi amanah Konstitusi Pasal 30 UUD NRI
1945. Begitupun pasal turunannya dalam UU No 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara, khususnya pada pasal 6-9 UU tersebut. Secara eksplisit
penerapan wajib militer diatur dalam pasal 9 angka 2 UU 3/2002 bahwa
keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana
dimaksud dalam angka (1), diselenggarakan melalui:

A. Pendidikan kewarganegaraan
B. Pelatihan dasar kemiliteran secara wajib
C. Pengabdian sebagai prajurit TNI secara sukarela maupun secara
wajib
D. Pengabdian sesuai profesi

Tinjauan sosiologis urgensi diterapkannya wajib militer adalah


terkait kondisi geografis dan sosiografis Negara Indonesia.
Republik Indonesia dengan luas wilayah daratan 1.910.931,32 km
(Kemendagri,Mei 2010) & luas wilayah lautan 5.800.000,00 km
(KKP,2013) dengan jumlah pulau 13.466 pulau (Kepala Badan
Informasi Geospasial,2014), serta tingkat keragaman dan
kebudayaan penduduk yang sangat plural menyebabkan peluang
kemungkinan-kemungkinan terjadinya ancaman terhadap keutuhan
negara baik secara internal dan eksternal. Ancaman secara
eksternal terkait dengan dimungkinkannya terjadi dalam aspek
geografis dan ideologis.
Sementara ancaman secara internal terkait dengan bidang sosial,
ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan. Mengutip apa yang
disampaikan Montesquieu dalam
The Spirit of Laws,
kalau suatu republik berukuran kecil, ia akan dihancurkan oleh
kekuatan asing, jika ia besar, ia akan runtuh oleh kerusakan dari
dalam negeri.

Oleh karena itu, wajib militer merupakan upaya yang sangat


tepat untuk memperkokoh ketahanan nasional dalam mengatasi
ancaman baik dari luar maupun dari dalam negeri.

Secara konkrit contoh bentuk-bentuk ancaman tersebut antara


lain, lepasnya pulau- pulau yang diklaim oleh negara lain karena
kurangnya perhatian seluruh komponen negara untuk
mempertahankan dan menjaga keberadaanya (Pulau Sipadan dan
Ligitan). Selain itu, ancaman yang sangat merusak eksistensi
keutuhan negara adalah adanya disintegrasi wilayah-wilayah yang
berada dalam bingkai NKRI (Gerakan Sparatis).

Bahkan konflik-konflik secara horizontal sesama bangsa yang


dikarenakan perselisihan SARA juga dapat memicu retaknya
kesatuan dan keutuhan bangsa (Konflik Poso, konflik antar umat
beragama di Sampang Madura), serta konflik secara vertikal yang
dimungkinkan terjadi karena dipicu kesenjangan/krisis
perekonomian. Oleh karena memahami kemungkinan-
kemungkinan berbagai hal yang dapat mengancam keutuhan NKRI
baik secara internal maupun eksternal maka wamil sebagai
komponen cadangan pertahanan negara merupakan kebijakan yang
tepat untuk segera disiapkan agar dapat menyokong kekuatan
pertahanan nasional.
Berdasarkan kondisis geografis dan sosiografis Negara
Indonesia maka sudah sejatinya wamil merupakan kebijakan
strategis untuk diterapkan. Sebab, Komponen kekuatan pertahanan,
terutama kombatan yaitu yang terdiri dari TNI, dan komponen
cadangan, harus terus dibangun, dipelihara, dan dikembangkan
secara terpadu dan terarah, dengan memantapkan kemanunggalan
segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara dengan
seluruh rakyat Indonesia, yaitu yang dilaksanakan dengan
pembinaan Teritorial (Kewilayahan).
Oleh karena itu, para wamil memiliki peran yang sangat
stratgis diwilayahnya masing-masing. Hal ini terkait dengan peran
untuk mencegah maupun mengantisipasi konflik internal
(masyarakat) secara cepat, tanggap, dan solutif sehingga konflik
yang terjadi dimasing-masing wilayah tidak membara hingga
banyak merugikan negara. Sehingga dalam hal ini stabilitas
nasional akan selalu tetap terjaga. Dikarenakan para wajib militer
dapat dipastikan telah mengetahui kondisi masing-masing
daerahnya disertai dengan bekal dan pengetahuan kemiliteran
dalam mencegah dan mengatasi konflik/masalah. Dengan
demikian, satu daripada beberapa manfaat wamil dalam hal ini
adalah untuk menciptakan stabilitas nasional.

Wajib Militer juga telah diterapkan di banyak negara,


seperti di Filipina, Rusia, China, Israel, Korea Utara, Korea
Selatan, Thailand, Myanmar, Vietnam, Malaysia, Meksiko, Mesir,
Turki, Venezuela, Brazil, Syria, Taiwan, Singapura, Libya, dll.
Diberbagai Negara tersebut salah satu kegunaan dari pada wamil
adalah sebagai
preventive action
yang mana harus dipersiapkan manakala serangan dari negara
lain akan tiba, baik dari udara, laut, dan darat.Preventive action

termasuk juga pada bagian self defense setiap negara yang telah diakui didepan
hukum internasional.
ARGUMENTASI KONTRA

Diantaranya ditinjau secara filosofis bahwa bentuk bela oleh warga negara
negara tidak hanya dapat dilakukan melalui wajib militer. Bahkan wamil inipun
bukan merupakan suatu hal yang urgen jika dikaitkan dengan politik luar negeri
Indonesia yang lebih mengedepankan perdamaian dalam mengatasi konflik. Secara
yuridis, tanpa menerapkan wamil sejatinya warga negara telah menjalankan peran
dalam upaya bela negara yakni melalui pengabdian sesuai profesi dalam bidangnya
masing-masing yang semata-mata merupakan wujud pengabdian terhadap bangsa
dan negara. Selain itu, menerapkan wamil secara tidak langsung dapat mengurangi
hak asasi warga negara. Secara sosiologis, diberbagai negara yang melaksanakan
wamil cenderung pada kenyataannya tidak efektif dan menuai protes oleh kalangan
warga negaranya karena bersifat memaksa dan dirasa diera kekinian pendidikan
bela negara bagi warga negara tidak tepat jika melalui militer.

Selain itu, di Indonesia sendiri yang sebenarnya menimbulkan masuknya


ancaman adalah karena terbuka lebarnya negara asing untuk turut menguasai
negara. Oleh karena itu, solusi mengatasi ancaman tersebut bukan melalui
penerapan wamil melainkan membenahi sistem serta regulasi yang menjadi
peluang masuknya penguasaan asing yang dapat mengancam kedaulatan Negara.

Benar bahwasanya setiap warga negara wajib untuk ikut serta dalam
membela, memajukan dan mempertahankan keutuhan NKRI sebagai wujud warga
negara yang cinta terhadap tanah airnya, akan tetapi apakah hanya dengan ikut
Wajib Militer seseorang warga negara dapat menunjukkan sikap cinta terhadap
tanah airnya? Sebenarnya banyak jalan yang dapat dilakukan untuk
mengimplementasikan rasa nasionalisme/kecintaan warga negara untuk tanah air.
Cara itu antaralain dengan menekuni dan melakukan dengan sebaik mungkin hal
yang menjadi keahlian/profesi dan dengan niat untuk memajukan serta mengabdi
bagi bangsa dan negara. Selalu bersikap jujur, kooperatif, menghindari KKN, taat
hukum dan sikap yang menunjukkan sebagai warga negara yang baik. Bahkan
Mantan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dalam pengukuhun gelar
Guru Besar dalamIlmu Ketahanan Nasional di Universitas Pertahanan menyatakan,
“untuk mencapai tujuannasional, Indonesia bisa menggunakan kekuatan militer
(pertahanan), kekuatan ekonomi, serta kekuatan politik dan diplomasi secara
efektif dan terpadu. Jadi bukan semata-mata militer.

Konsep wajib militer merupakan konsep yang dibangun dalam rangka upaya
pertahanan negara. Pertahanan Negara ini dilaksanakan dengan menanamkan dan
melakukan upaya bela negara. Namun, bela negara yang perlu kita pahami tidak
hanya melalui militer/angkat senjata, akan tetapi bela negara oleh seluruh
komponen negara terkhusus masyarakat sipil (yang merupakan target wamil)
dengan mengoptimalkan peran sebaik mungkin sesuai keahlian/profesinya masing-
masing guna membangun dan mempertahankan negara yang berdaulat.

Apabila tiap-tiap warga negara konsisten dan setia dengan


keahlian/profesinya masing-masing maka penulis yakin berbagai ancaman dapat
diatasi dan ditanggulangi dalam rangka membela dan mempertahankan keutuhan
dan kedaulatan RI. Asumsi ini dapat dipahami menggunakan logika sederhana
yang mana ketika kemungkinan terjadi ancaman baik eksternal maupun internal
maka setidaknya dapat ditanggulangi oleh warga negara yang memiliki suatu
keahlian. Misal, terjadi penyadapan terhadap sistem jaringan/teknologi pertahanan
negara maka bagi warga negara yang memiliki keahlian dalam hal tersebut harus
dan wajib untuk menanggulanginya. Contoh yang lain, ketika terjadi ancaman
berupa bencana alam maka bagi warga negara yang berprofesi sebagai personil
penanggulangan bencana harus optimal menjalankan tugasnya. Memahami
beberapa contoh itulah yang kemudian mengindikasikan penulis yakin bahwa bela
negara tidak sekedar hanya dilakukan melalui wajib militer. Dalam konteks
keindonesiaan, kita pahami bersama bahwa politik luar negeri Indonesia lebih
mengutamakan ketertiban, perdamaian dan keadilan sosial. Sesuai esensi
pembukaan UUD NRI 1945

bahwa salah satu tujuan negara ialah ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam hal
ini, nilai filosofis yang dapat dipetik adalah dalam pergaulan dunia Negara
Indonesia lebih mengedepankan ketertiban, perdamaian, serta keadilan. Sehingga
jika memang hal buruk terjadi (serangan/konflik) Indonesia lebih mengedepankan
proses diplomasi/konsolidasi untuk mengambil jalan tengah. Logika sederhananya,
penyelesaian konflik dengan jalan perang/fisik sangat menelan banyak kerugian.
Contoh konkrit adalah negara Israel, dalam sebuah pemberitaan saluran TV Israel
pada hari Selasa (15/7/2014) menyebutkan bahwa Israel menanggung beban
perang terhadap Jalur Gaza sebanyak 110 juta shekel Israel perharinya (sekitar 32
juta dolar AS atau 377 miliar rupiah). Sejak memulai perang, Pemerintah Israel
telah menghabiskan sekitar 1 miliar shekel atau sekitar 29 miliar dolar AS (1
shekel Israel = 0,29 dolar AS). Selain itu disebutkan, penurunan tajam nilai
perdagangan di wilayah selatan Israel terjadi mencapai 60-70%, penurunan
aktivitas transportasi 20%, dan penurunan jumlah kunjungan wisatawan hingga
50%, yang tentunya mengganggu perekonomian Israel secara makro. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa solusi penyelesaian konflik melalui jalan
militer bukan merupakan langkah yang tepat dan urgen dalam tertib hidup
masyarakat dunia yang saling menjunjung tinggi perdamaian.

Pada dasarnya jika ditinjau secara yuridis, tanpa menerapkan wajib


militerpun upaya pertahanan nasional di Indonesia telah sesuai dengan amanah
konstitusi Pasal 27 dan Pasal 30 UUD NRI 1945 mengenai hak dan kewajiban
warga negara (sebagai komponen pendukung) dalam upaya bela negara. Sebab,
konsep bela negara yang dipahami dalam arti luas pada

status quo
-nya sekarang masyarakat sipil telah menjalankan peran sesuai
keahlian/profesinya masing-masing dalam rangka bela negara. Dan hal tersebut
telah disiapkan sejak dini sejak pendidikan dasar, menengah, lanjut dan pendidikan
profesi sesuai bidang keahlian masing-masing. Namun dalam hal ini perlu
dorongan/motivasi dari pemerintah terhadap warga negara agar berperan
semaksimalnya dan setia mengabdi kepada bangsa dan negara. Oleh karena itu, hal
ini selaras dengan argumentasi pada tataran filosofis bahwa upaya bela negara
tidak hanya dapat dilakukan melalui wajib militer. Dalam suatu sistem pertahanan
nasional, warga negara yang berprofesi sebagai TNI/POLRI berperan sebagai
komponen utama dalam sistem pertahanan. TNI/POLRI wajib berperan dan
bertugas dengan optimal dengan diperkuat oleh seluruh warga negara sebagai
komponen pendukung yang berprofesi sesuai bidang keahliannya masing-masing.
Maka Negara Indonesia sejatinya sedang membangun Ketahanan Nasional dalam
upaya menjaga keutuhan dan kedaulatan RI. Oleh karena itu, berdasar uraian
tersebut menerapkan wamil bukan merupakan hal yang urgen. Sebab masih
terdapat alternatif konsep bela negara lain dengan tanpa menerapkan wamil
sekalipun.

Menerapkan wamil justru akan menghambat proses alami bela negara yang
telah berjalan, bahkan secara tidak langsung terdapat hak asasi warga negara yang
terkurangi/terlanggar. Menerapkan wajib militer, sejatinya negara menerapkan
hukum wajib terhadap warga negara. Suatu kewajiban apabila tidak dilaksanakan
pasti ada sanksi bagi pelanggarnya. Secara umum, sanksi daripada hal ini tidak
main-main yaitu pidana penjara. Lantas, dalam keadaan semacam ini bagaimana
dengan warga negara yang hati nuraninya tidak sesuai dengan profesi kemiliteran
sementara dipaksa wajib mengikuti pendidikan militer?. Sehingga, pada dasarnya
kebijakan ini telah melanggar hak kebebasan warga negara. Contoh yang terjadi
adalah di Korea Selatan sebagai salah satu negara yang menerapkan wamil, secara
tidak langsung Korea Selatan melanggar hak dari 388 orang yang menolak dinas
militer, semuanya Saksi Yehuwa. Menurut Butir Pasal 18 ICCPR,

”hak orang untuk menolak dinas militer atas dasar hati nurani sama dengan
hak untuk

memiliki kebebasan berpikir, berhati nurani, dan beragama. Pemerintah


Korea Selatan terus melanggar hak warga negara untuk memiliki kebebasan
berpikir, berhati nurani, dan beragama dari ratusan pemuda yang dipenjarakan,
dan itu melanggar peraturan yang ditetapkan ICCPR.

sangat bertentangan dengan Pasal 28E ayat 2 UUD NRI 1945

bahwa ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,menyatakan


pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya ”

jo Pasal 18 ICCPR yang telah diratifikasi dalam UU No 12 Tahun 2005.


Sebab, bagi warga negara yang secara hati nurani dan passion-nya bukan militer
maka secara tidak langsung wajib militer merupakan kebijakan yang sifatnya
memaksa hati nurani warga negara.

Selain itu secara sosiologis, wajib militer dapat menimbulkan dampak-


dampak negatif di dalam masyarakat jika penerapan tidak dengan mekanisme yang
jelas. Seperti yang terjadi di Korea Selatan pada bulan juli 2014 lalu dilansir dari
BBC.UK anggota dari wajib militernya tewas bunuh diri karena tekanan mental
secara psikologi, kasus lain juga terjadi di Korea Selatan dua orang wamilnya
melepaskan tembakan kepada kelima anggota lainnya karena konflik yang sepele.
Bahkan rata-rata kebijakan wamil diberbagai negara mengalami reaksi penolakan
oleh warga negaranya. Sekitar 50 orang pemuda Israel telah mengirimkan petitsi
kepada perdana menteri Israel berisi penolakan masuk wajib militer sebagai protes
atas pendudukan Israel di wilayah Palestina. Penolakan mereka dirancang untuk
memprotes penjajahan berkelanjutan dan intrusi militer ke dalam kehidupan sipil,
sesuatu yang berarti menetapkan chauvinisme, militerisme, kekerasan,
ketidakadilan, dan rasisme lebih lanjut.

Dengan demikian mengindikasikan bahwa sebenarnya masyarakat dunia


tidak sepakat dengan konsep bela negara melalui militer yang justru akan
berdampak negatif

Di Korea Selatan pun kebijakan wamil ini ditentang oleh warga negaranya.
Dalam 4 kasus yang melibatkan sebanyak 501 orang yang menolak dinas militer,
Komite Hak Asasi Manusia PBB (CCPR) menetapkan bahwa Republik Korea
telah melanggar hak orang-orang ini sebab telah menghukum dan memenjarakan
mereka. Komite itu

menyatakan bahwa ”hak orang untuk menolak dinas militer atas dasar hati n

urani sama dengan hak untuk memiliki kebebasan berpikir, berhati nurani,
dan beragama. Hak ini memberikan kepada setiap individu pengecualian dari wajib
militer, jika itu tidak selaras dengan agama dan kepercayaan sang individu.
Sejumlah negara memprotes pemerintah Korea Selatan yang tidak mengakui hak
asasi manusia untuk melakukan penolakan atas dasar hati nurani. Pada pertemuan
Tinjauan Periodik Universal PBB belum lama ini, delapan negara Hungaria,
Prancis, Jerman, Polandia, Slovakia, Spanyol, Amerika Serikat, dan Australia
mendesak Korea Selatan untuk mengakhiri penindasan orang yang menolak dinas
militer atas dasar hati nurani dan untuk menerapkan dinas sipil non-militer bagi
mereka.

Pada 1998 PBB mengeluarkan resolusi ke-88 yang berisi penolakan terhadap
wajib militer. Istilah yang diberikan PBB yaitu:
Conscientious Objectors Harafiahnya berarti penolakan hati nurani. PBB
mencoba mengakui hak asasi manusia yang mempunyai keyakinan agamanya,
bahwa penyelesaian konflik tidak harus dengan senjata. Beberapa negara sudah
menerapkan dan mencabut wajib militer. Republik Ceko mencabut wajib militer
sejak Desember 2004. Hongaria turut membekukan wajib militer pada November
2004. Kemudian Bosnia juga mencabut wajib militer pada Januari 2006. Jerman
baru mencabut wajib militer tahun 2011.

Bagi negara yang belum menerapkan Conscientious Objectors tetapi tetap


menjalankan wajib militer, PBB menyarankan pemberian kewajiban pengganti
yang tidak menyalahi Conscientious Objectors

. Di Amerika serikat bagi yang menolak wajib militer maka dapat mengganti
dengan kerja sosial. Beberapa yang menerapkan seperti Perancis yang memberikan
tugas kedinasan lain bagi yang menolak wajib militer. Oleh karena itu, menimbang
berbagai argumentasi tersebut penulis mengajukan konsep bela negara tanpa
dengan menerapkan wamil antara lain menanamkan nilai nasionalisme dan
patriotisme secara dini pada tiap-tiap pembinaan (pendidikan formal/non formal,
pendidikan profesi, pendidikan/pelatihan teknis, dll.), membangun peran
pemerintah dalam mendorong/mengoptimalisasikan para abdi negara (Warga
Negara selaku Komponen Pendukung) yang memiliki peran sesuai profesinya
masing-masing untuk setia bekerja dalam rangka membangun negara sebagai salah
satu upaya membela dan menjaga keutuhan serta kedaulatan bangsa, serta
membenahi sistem serta regulasi yang dapat menjadi peluang dapat mengancam
kedaulatan Negara. Hal tersebut sebagai antisipasi atas neo-kolonialisme yang
mengancam kedaulatan. Dengan demikian tanpa menerapkan wamil pun bela
negara dapat dibangun dan dioptimalkan dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai