Anda di halaman 1dari 23

I.

PENDAHULUAN

Mikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur, yang dibagi


menjadi mikosis profunda dan mikosis superfisialis. Mikosis superfisialis cukup
banyak diderita penduduk negara tropis. Mikosis superfisialis diklasifikasikan
menjadi dermatofitosis dan nondermatofitosis (Budimulja, 2015).
Dermatofitosis adalah kelompok penyakit jamur kulit superfisial akibat
jamur dermatofita yang menyerang jaringan zat tanduk, pada epidermis, rambut,
dan kuku. Golongan jamur dermatofita mempunyai sifat mencernakan keratin, yang
dibagi dalam 3 genus yaitu; Microsporum, Trichophyton dan Epidermphyton.
Empat spesies antropofilik dari ketiga genus tersebut umumnya menghasilkan
respons non inflamasi atau inflamasi ringan. Dermatofita spesies antropofilik,
antara lain adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton tonsurans, Epidermophyton
floccosum (Budimulja, 2015).
Infeksi dermatofitosis dikenal dengan nama tinea dan diklasifikasikan
berdasarkan lokasi. Pembagian dermatofitosis yang banyak dianut adalah
berdasarkan lokasi, yaitu tinea kapitis, tinea barbe, tinea kruris, tenia pedis et
manum, tinea unguium, dan tinea korporis (Budimulja, 2015). Berdasarkan urutan
kejadian dermatofitosis, tinea korporis (57%), tinea unguinum (20%), tinea
kruris (10%), tinea pedis dan tinea barbae (6%), dan sebanyak 1% tipe lainnya.
Di berbagai negara saat ini terjadi peningkatan bermakna dermatofitosis. Di
Kroasia dilaporkan prevalensi dermatofitosis 26% pada tahun 1986 dan meningkat
menjadi 73% pada tahun 2001 (Yadav, 2013).
Kejadian dermatofitosis tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah
terutama di negara berkembang. Mikosis superfisial mengenai lebih dari 20-25%
populasi sehingga menjadi bentuk infeksi yang tersering. Di Indonesia,
dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis dan tinea kruris dan
tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak (Yosella, 2015).

1
II. KASUS
A. Identitas
Nama : Ny. MN
Tempat, Tanggal Lahir : Banyumas, 03 Mei 1965
Usia : 52 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pendakwah
Pendidikan Terakhir : SLTA
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Sokaraja Wetan RT 01/05, Sokaraja
No RM : 00154576
Tanggal Pemeriksaan : 24 Agustus 2017

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh gatal pantat.
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSMS dengan keluhan
gatal pada kedua pantat. Keluhan muncul sejak 2 bulan yang lalu dan
member sejak 1 minggu yang terakhir. Pasien mengatakan pada awalnya
mucul berjak kemerahan dan terasa gatal di pantat sebelah kanan. Lama-
kelamaan berak semakin melebar pada kedua pantat dan muncul bitil-bintil
disertai sisik.

Gatal dirasakan terus-menerus sepanjang hari terutama jika


berkeringat dan duduk terlalu lama. Rasa gatal membuat pasien ingin
menggaruk pantat terus- menerus, sehingga dirasa mengganggu aktivitas.
Pasien berobat di poliklinik RSUD Margono Soekarjo sejak 2 minggu yang
lalu, namun gatal dirasa masih menetap.

3. Riwayat Penyakit Dahulu:


a. Riwayat keluhan serupa 6 bulan lalu di ketiak

2
b. Riwayat mengkonsumsi kortikosteroid atau antibiotic dalam waktu
lama disangkal
c. Riwayat mengkonsumsi KB hormonal disangkal
d. Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal
e. Riwayat penyakit hipertensi disangkal
f. Riwayat penyakit Diabetes melitus disangkal.
g. Riwayat obesitas sejak 20 tahun yang lalu
4. Riwayat Penyakit dalam Keluarga :
a. Riwayat keluhan serupa disangkal
b. Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal
c. Riwayat penyakit hipertensi (+) ayah
d. Riwayat penyakit Diabetes melitus (+) ayah
e. Riwayat obesitas (+) ayah

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama suaminya dan anak-anak pasien sudah
berumah tangga. Pasien sering bepergian baik jarak jauh maupu dekat.
Kebiasaan makan tidak diatur karena sening makan di luar rumah. Pasien
mempunyai kebiasaan mandi 2-3 kali sehari dan rutin mengganti baju
selepas mandi. Pasien menggunakan alat priadi sendiri seperti handuk
maupun pakaian. Pendapatan rumah tangga dalam sebulan berkisar Rp.
3.500.000-4.000.000.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaaan umum : baik
Kesadaran : Compos mentis
BB : 75 kg
TB : 155 cm
IMT : 31,2 (obesitas)
Vital Sig
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80x/menit

3
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36.5⁰C
Status Generalis
Kepala : Mesochepal, rambut beruban terdistribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-) deformitas (-/-)
Telinga : Deformitas (-/-) sekret (-/-)
Mulut : Pucat (-/-)
Tenggorokan : T1 – T1 tenang , tidak hiperemis
Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, datar, BU (+) normal, nyeri tekan (-)

Ekstremitas :Akral hangat, edema ( ), sianosis ( )


Status Lokalis (Dermatologis)
Lokasi : Regio gluteus dextra et sinistra
Efloresensi : Makula plakat eritematosa berbatas tegas dengan tepi aktif
bentuk anuler multiple dengan skuama halus di atasnya.

Gambar 2.1 Efloresensi kelainan kulit gluteus dextra et sinistra

4
D. Pemeriksaan Penunjang
Kerokan kulit dengan KOH 10% ditemukan hifa panjang bersepta,
bercabang dan spora.

Gambar 2.2 hasil pemeriksaan KOH 10% dari kerokan kulit pasien

E. Resume
Pasien perempuan 56 tahun, datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSMS dengan keluhan gatal pada kedua pantat. Keluhan muncul sejak 2 bulan
yang lalu dan member sejak 1 minggu yang terakhir. Pasien mengatakan pada
awalnya mucul berjak kemerahan dan terasa gatal di pantat sebelah kanan.
Lama-kelamaan berak semakin melebar pada kedua pantat dan muncul bitil-
bintil disertai sisik. Gatal dirasakan terus-menerus sepanjang hari terutama jika
berkeringat dan duduk terlalu lama. Rasa gatal membuat pasien ingin
menggaruk pantat terus- menerus, sehingga dirasa mengganggu aktivitas.
Pasien berobat di poliklinik RSUD Margono Soekarjo sejak 2 minggu yang
lalu, namun gatal dirasa masih menetap.
Pasien perah mengalami keluhan yang sama diketiaknya 6 bulan yang
lalu dan sekrang sudah sembuh. Pasien mempunyai riwayat obesitas sejat 20
tahun yang lalu. Pasien mandi 2-3 kali sehari dan rutin mengganti pakaian.
Pasien menggunakan handuk dan pakaian pribadi dan tidak bersama-sama /
bertukar dengan orang lain.

5
Lokasi Lesi kulit pada regio glutealis dekstra et sinistra dengan
efloresensi berupa makula plakat eritematosa berbatas tegas dengan tepi aktif
bentuk anuler multiple dengan skuama halus di atasnya.

F. Diagnosis Banding
1. Kandidiasis
Lesi makula dan plak eritem disertai lesi satelit membentuk gambaran
korimbiformis.
2. Psoriasis
Lesi berupa plakat eritema multiple berbatas tegas disertai skuama lebih
tebal dan berlapis-lapis. Keluhan biasanya menahun dan terdapat tanda khas
psoriasis yang lain.
3. Pitiriasis versikolor
Makula hipo-/hiperpigmentasi atau eritem dengan skuama halus diatasnya.

G. Diagnosis Kerja
Tinea Kruris

H. Pemeriksaan Anjuran
1. Lampu Wood; didapatkan lesi berpendaar kuning kehijauan
2. Kultur media Saboround Dextrose Agar (SDA); didapatkan koloni jamur

I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Sistemik:
Antimikotik sitemik: Ketokonazol 1x200 mg /hari selama 1 bulan
Antihistamin : Loratadine 1x10 mg
b. Antimikotik topikal : Mikonazole krim 2% dioles 2x sehari (pagi dan
malam) selama 1 bulan
2. Edukasi
a. Menjaga kebersihan badan
b. Tidak memakai pakaian ketat dan duduk terlalu lama
c. Menggunakan pakaian yang menyerap keringat

6
d. Tidak bertukar handuk da pakaian dengan orang lain
e. Edukasi pasien supaya tidak menggaruk lesi karena dapat menyebabkan
infeksi sekunder.
f. Menurunkan berat badan dengan mengubah pola hidup
g. Edukasi penyebab penyakit, pemakaian obat baik topikal maupun oral
sesuai anjuran dokter

J. Prognosis
a. Quo ad vitam : ad bonam
b. Quo ad sanasionam : dubia ad bonam
c. Quo ad fungsionan : ad bonam
d. Quo ad cosmeticam : ad bonam

7
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Mikosis superfisialis merupakan infeksi jamur pada kulit yang
disebabkan oleh kolonisasi jamur. Penyakit yang termasuk mikosis
superfisialis diantaranya dermatofitosis, pityriasis versikolor, tinea nigra, dan
piedara. Mikosis superfsialis disebabkan karena dermatofita dan non-
dermatofita (Budimulja, 2015). Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan
tubuh yang mengandung keratin atau zat tanduk, misal stratum korneum pada
epidermis, rambut, serta kuku, yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita
yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton dan diantaranya adalah
tinea corporis dan tinea cruris (James, 2011).
Tinea cruris mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch,
ringworm of the groin dan dhobie itch. Tinea kruris adalah dermatofitosis yang
ditemukan pada pangkal paha, genital, pubis, gluteus, daerah perineum,
perianal, serta perut bagian bawah. Kelainan dapat berlangsung akut, menahun,
bahkan seumur hidup (Budimulja, 2015).

B. Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan
menyerang 20-25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi
kulit tersering. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang dapat menyerang
semua ras dan kelompok umur sehingga infeksi jamur superfisial ini relatif
sering terkena pada negara tropis (iklim panas dan kelembaban yang tinggi)
dan sering terjadi eksaserbasi (Sharquie, 2013).
Berdasarkan urutan kejadian dermatofitosis, tinea korporis (57%),
tinea unguinum (20%), tinea kruris (10%), tinea pedis dan tinea barbae (6%),
dan sebanyak 1% tipe lainnya (Yadav, 2013). Di Indonesia, dermatofitosis
merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis dan tinea kruris dan tinea
korporis merupakan dermatofitosis terbanyak (Yosella, 2015).
Tinea kruris 3 kali lebih sering terjadi pada pria daripada pada wanita.
Angka kejadiannya lebih sering pada orang dewasa daripada anak-anak.

8
Namun, prevalensi beberapa faktor risiko tinea kruris, seperti obesitas dan
diabetes melitus, meningkat dengan cepat di usia remaja (Patel, 2009).

C. Etiologi
Agen etiologi yang paling umum untuk tinea kruris adalah
Trichophyton rubrum dan Epidermophyton floccosum, sedangkan
Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton verrucosum kurang umum
terlibat. Tinea kruris adalah infeksi menular yang ditularkan oleh fomites,
seperti handuk yang terkontaminasi atau seprai kamar tidur hotel, atau dengan
autoinokulation dari reservoir di tangan atau kaki (tinea manus, tinea pedis,
tinea unguium, tinea kapitis). Mikroorganisme penyebab tinea kruris
menghasilkan keratinase, yang memungkinkan invasi lapisan sel epidermis.
Respon imun inang dapat mencegah invasi lebih dalam. Faktor risiko untuk
infeksi tinea kruris awal atau reinfeksi termasuk memakai pakaian ketat atau
pakaian dalam yang lembab (Risdianto, 2013).

D. Faktor Resiko

Faktor resiko yang dapat menimbulkan penyakit tinea kruris, dapat


dibagi menjadi 2 yaitu faktor risiko internal dan faktor risiko eksternal
(Behzadi, 2014) :
1. Faktor risiko Internal
Faktor risiko internal lebih banyak pada usia remaja dan dewasa,
jenis kelamin laki-laki tapi tidak menutup kemungkinan pada wanita,
memiliki pengetahuan dan perilaku higienitas yang kurang, mengalami
keringat yang berlebihan, obesitas (BMI ≥ 25), memiliki penyakit
metabolik seperti diabetes melitus, mengalami defisiensi imunitas, riwayat
penggunaan obat-obatan seperti antibiotik, kortikosteroid, dan
imunosupresan lainnya.
2. Faktor risiko eksternal
Faktor risiko eksternal yang dapat menyebabkan infek diantara nyau
Iklim yang panas, lingkungan yang kotor dan lembab, pemakaian bahan
pakaian yang tidak menyerap keringat, lingkungan sosial budaya dan

9
ekonomi, suka bertukar handuk, pakaian dan celana dalam dengan teman
atau anggota keluarga yang menderita tinea.

E. Patogenesis
Patogenesis infeksi dermatofit melibatkan interaksi kompleks antara
host, agen dan lingkungan. Faktor-faktor yang menjadi predisposisi infeksi
tersebut adalah penyakit yang mendasarinya seperti diabetes melitus, limfoma,
status immunocompromised, atau sindrom Cushing, usia yang lebih tua, yang
dapat menghasilkan dermatofitosis yang parah dan meluas. Beberapa area
tubuh lebih rentan terhadap perkembangan infeksi dermatofit seperti daerah
intertriginosa dimana berkeringat berlebih, maserasi, dan pH basa mendukung
pertumbuhan jamur (Sahoo, 2016).
Setelah inokulasi ke kulit inang, kondisi yang sesuai mendukung infeksi
untuk berkembang melalui penetrasi yang dimediasi oleh protease, serine-
subtilisin, dan fungolisin, yang menyebabkan pencernaan jaringan keratin
menjadi oligopeptida atau aminoacid dan juga bertindak sebagai stimuli
imunogenik yang poten. Selain itu, mannans yang diproduksi oleh T. rubrum
menyebabkan penghambatan limfosit. Gangguan fungsi sel Th17 yang
menyebabkan penurunan produksi interleukin-17 (IL-17), IL-22 (sitokin kunci
dalam membersihkan infeksi jamur mukokutan) menyebabkan infeksi
berkembang (Sahoo, 2016).
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun
penderita dan organisme itu sendiri. Pertahanan baru muncul ketika begitu
jamur mencapai lapisan terdalam epidermis, yakni terjadi reaksi
hipersensitivitas tipe IV atau reaksi hipersensitivitas tipe lambat,yang
memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Infeksi
menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan
pergantian keratinosit. Inflamasi yang terjadi menyebabkan barier epidermal
menjadi permeabel terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi
menyebabkan jamur segera berpindah ke lokasi yang baru meninggalkan lokasi
yang lama menjadi sembuh (central healing) dan membentuk tepi aktif
(Lakshmipathyet, 2010).

10
Respon imun terhadap infeksi dermatofita berasal dari imun spesifik,
nonspesifik hingga respons imun humoral dan seluler. Dermatofit mengandung
molekul karbohidrat dinding sel (β-glukan) yang dikenali oleh mekanisme
imun bawaan, seperti Dectin-1 dan Dectin-2, yang mengaktifkan reseptor
seperti tol 2 dan 4 (TLR-2 dan TLR-4). Dektin-1 memperkuat produksi tumor
necrosis factor-α dan IL-17, IL-6, dan IL-10, yang semuanya merangsang
kekebalan adaptif. Keratinosit dengan adanya antigen dermatofita, seperti
trichophytin, lepaskan IL-8, atraktan kemoterapi heproprose (Oliveira et al.,
2015).
Imunitas humoral terhadap dermatofita tidak protektif. Tingkat tinggi
IgE dan IgG spesifik terdeteksi pada pasien dengan dermatofitosis kronis yang
dibuktikan dengan hasil tes IH positif (IgE mediated) ke Trichophyton sp. Di
sisi lain, tingkat Imunoglobulin yang rendah pada pasien yang menunjukkan,
tes hipersensitivitas tipe lambat berupa (DTH) positif. Tes kulit IH untuk
Trichophyton dikaitkan dengan adanya IgE dan IgG serum melawan antigen
Trichophyton, tanda respons Th2. Di sini, IL-4 yang diproduksi oleh sel T CD4
(sel Th2) menginduksi isotipe antibodi beralih ke IgG dan IgE (Tainwala,
2011)
Beberapa percobaan telah menunjukkan bahwa resolusi dermatofitosis
dimediasi oleh DTH. Imunitas terhadap patogen dapat diatur oleh subset Th1
atau Th2 yang pada akhirnya akan menentukan hasil infeksi. Respon inflamasi
akut berkorelasi dengan tes kulit DTH positif terhadap trichophytin dan
pembersihan infeksi sedangkan infeksi kronis dikaitkan dengan IH tinggi dan
DTH rendah. Transferin tak jenuh telah ditemukan sebagai penghambatan pada
dermatofit dengan mengikat hifanya. Pityrosporum commensal membantu
lipolisis dan meningkatkan kolam asam lemak yang tersedia untuk
menghambat pertumbuhan jamur (Romero, 2015).

F. Manifestasi Klinis
Keluhan utama dan keluhan tambahan pasien biasanya adalah rasa gatal
pada badan dan daerah kruris (lipat paha), intergluteal sampai ke gluteus, dan
genitalia. Lesi dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian bawah.

11
Pasien biasanya pernah memiliki keluhan yang serupa sebelumnya. Faktor
risiko dari tinea yaitu pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab,
memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, berkeringat
banyak, dan menderita diabetes melitus (Janik, 2008).
Gambaran klinis dimulai dengan lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang
aktif dengan perkembangan kearah luar, bercak-bercak bisa melebar dan
akhirnya memberi gambaran yang polisiklik, arsinar, dan sirsinar. Pada bagian
pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai dengan eritema, adanya papul
atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang. Jika lesi
kronik akan terlihat gambaran likenifikasi dan skuama di atasnya (Siregar,
2014).

G. Pemeriksaan Penunjang
Gejala klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium,
diantaranya:
1. Lampu Wood
Pemeriksaan lampu Wood adalah pemeriksaan yang menggunakan
sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 360 nm. Sinar ini tidak dapat
dilihat. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh jamur
dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat dengan
memberi warna (fluoresensi). Pada kasus tinea kruris, lampu Wood
digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari eritrasma yang
akan tampak sebagai efloresensi merah bata dan pitiriasis versikolor yang
akan tampak sebagai efloresensi kuning keemasan (Hidayati, 2009).
2. Pemeriksaan KOH 10%
Sediaan diambil dari lesi aktif dengan melakukan kerokan kulit.
Hasil kerokan diletakkan di atas obyek gelas kemudian ditambahkan 1-2
tetes larutan KOH 10%, kemudian ditunggu 15-20 menit. Hal ini
dibutuhkan untuk melarutkan jaringan. Setelah itu lihat sediaan di bawah
mikroskop dengan pembesaran 100x sampai dengan 1000x (Budimulia,
2015).

12
Gambar 3.1 sediaan preparat kerokan kulit dan KOH 10%
menunjukkan gambaran hifa panjang bersepta dengan spora
(John, 2015)
3. Kultur
Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud dextrose agar (SDA)
pada suhu kamar (25-30⁰C), kemudian satu minggu dilihat dan dinilai
apakah ada pertumbuhan jamur. Spesies jamur dapat ditentukan melalui
bentuk koloni, bentuk hifa dan bentuk spora. Kultur jamur merupakan
metode diagnostik yang lebih spesifik, namun membutuhkan waktu yang
lebih lama dan sensitivitas ynag rendah, harga lebih mahal dan biasanya
digunakan pada kasus yang berat dan tidak respon terhadap pengobatan
sistemik. pada medium SDA dapat ditambahkan antibiotic kloramfenikol
atau klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindari
kontminasi bakteri maupun jamur kontaminan (Wiratma, 2011).

H. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dengam
melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi dan pemeriksaan penunjang.
Gejala klinisnya berupa rasa gatal yang meningkat pada saat berkeringat.
Pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi eritematosa dan atau papulovesikel
yang multipel dengan batas tegas dan tepi yang meninggi, berbentuk polisiklik
atau bulat berbatas tegas, polimorfik dan tepi lebih aktif. Pada pemeriksaan
penunjang yaitu dilakukan pemeriksaan mikroskopis langsung dengan kerokan
dan tetes KOH serta kultur (Yossela, 2015).

13
I. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding dari tinea kruris (John, 2015) adalah:
1. Candida intertriginosa
Lesi eritem dengan konfigurasi korimbiformis atau terdapat esi
induk dengan lesi satelit disekitarnya.
2. Eritrasma
Lesi eritem atau hiperpigmrntasi dengan tepi yang tidak aktif dan
dari pemerisaan lampu Wood akan terlihat efloresensi merah lembayung.
3. Psoriasis
Lesi eritem batas tegas dengan skuama dan ditemukan tanda khas
psoriasis lain seperti auspitz sign, candle sign, fenomena koebner atau
pitting nail.
4. Dermatitis seboroik
Skuma berminyak dengan dasar eritematosa distribusi khas pada
daerah seboroik.

J. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Golongan antijamur topikal dapat digunkan pada infeksi tinea tanpa
komplikasi. Lama pengobatan umumnya sampai 1-2 minggu. Untuk
pengobatan topikal dengan antijamur dapat bersifat fungistatik maupun
fungisidal. Pengobatan fungistatik dilanjutkan 1-2 minggu setelah lesi
hilang/sembuh untuk mencegah terjadinya kekambuhan. Sedangkan untuk
pengobatan topikal dengan antijamur bersifat fungisidal seperti Terbinafin,
pengobatan cukup diberikan selama 1-2 minggu, tidak perlu diteruskan
setelah lesi hilang/ sembuh. Obat dioles di atas lesi menjadi satu lapisan
tipis yang menutupi paling sedikit sampai 3 cm ke arah luar lesi (Siswati
dan Ervianti, 2013).
Pengobatan antijamur untuk tinea dapat digolongkan dalam empat
golongan yaitu: golongan azole, golongan allilamin, benzilamin dan
golongan lainnya seperti siklopiros, tolnaftan, haloprogin. Obat secara

14
topikal yang digunakan dalam tinea antara lain (Siswati dan Ervianti,
2013):
a. Golongan Azole
1) Clotrimazole
Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam
pengobatan tinea kruris karena bersifat menghambat pertumbuhan
ragi dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel
jamur mati. Pengobatan dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi
setelah 4 minggu jika tanpa ada perbaikan klinis. Penggunaan pada
anak-anak sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk
cream 1%, solution, dan lotion. Pemberian teratur 2 kali sehari
selama 4 minggu. Tidak ada kontraindikasi obat ini, namun tidak
dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas,
peradangan akibat infeksi yang luas dan hindari kontak mata.
2) Mikonazole
Mekanisme kerjanya merusak selaput dinding sel jamur
dengan menghambat biosintesis dari ergosterol sehingga
permeabilitas membran sel jamur meningkat menyebabkan sel
jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution, lotion dan
bedak. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada
anak sama dengan dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas dan hindari kontak dengan mata.
3) Ketokonazole
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole
yang bersifat menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen
sel jamur meningkat dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan
dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tidak
dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari
kontak dengan mata.
b. Golongan allilamin
Naftifine

15
Bersifat antijamur dan merupakan derivat sintetik dari
allilamin yang mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari
ergosterol sehingga menyebabkan pertumbuhan sel jamur
terhambat. Pengobatan dengan naftitine dievaluasi setelah 4 minggu
jika tidak ada perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan
lotion. Penggunaan pada anak sama dengan dewasa yaitu dioleskan
4 kali sehari selama 2-4 minggu.
c. Golongan Benzilamin
Butenafine
Anti jamur poten yang berhubungan dengan allilamin.
Kerusakan membrane sel jamur menyebabkan sel jamur terhambat
pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%, diberikan
selama 2-4 minggu. Penggunaan pada anak tidak dianjurkan,
sedangkan pada orang dewasa dioleskan sebanyak 4 kali sehari.
d. Golongan lainnya
1) Siklopiroks
Memiliki sifat antijamur yang bekerjan dengan menghambat sintesis
DNA fungi.
2) Haloprogin
Tersedia dalam bentuk solution atau sprai dan cream 1%. Digunakan
selama 2-4 minggu dan dioleskan sebanyak 3 kali sehari.

Menurut Haber (2007), pengobatan sistemik yang dapat diberikan


pada lesi yang luas dan meradang, sering kambuh dan tidak sembuh dengan
obat topikal yang sudah adekuat. Berikut adalah obat sistemik yang dapat
digunakan dalam pengobatan tinea:
a. Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Obat ini
bersifat fungistatik. Dosis untuk anak-anak 10-25 mg/kgBB/hari,
sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari.
b. Ketokonazol

16
Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea kruris yang resisten
terhadap griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah 200 mg/hari
selama 2-3 minggu.
c. Itrakonazol
Itrakonazol cukup baik dalam pengobatan tinea kruris. Itrakonazol
diberikan dengan dosis 400 mg/hari diberikan sebagai dua dosis harian
200 mg untuk satu minggu.
2. Non-medikamentosa
Beberapa edukasi dapat diberikan kepada pasien antara lain (El-
Gohary, 2012) :
a. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun mandi dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh
b. Bila gatal, diusahakan jangan digaruk karena garukan dapat
menyebabkan luka dan infeksi sekunder
c. Jaga kebersihan kulit dan kaki. Bila berkeringat keringkan dengan
handuk dan mengganti pakaian yang lembab
d. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap
keringat seperti katun, tidak ketat, dan diganti setiap hari
e. Tidak menggunakan pakaian, handuk, dan peralatan mandi secara
bersama-sama dengan orang lain

K. Prognosis
Terapi yang benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan
lingkungan. Prognosis tinea korporis dan kruris adalah baik. Penting juga untuk
menghilangkan sumber penularan untuk mencegah reinfeksi dan penyebaran
lebih lanjut (El-Gohary, 2014).

L. Komplikasi
Penderita tinea kruris dapat terjadi komplikasi infeksi sekunder oleh
mikroorganisme candida atau bakteri. Pemberian obat steroid topikal dapat
mengakibatkan eksaserbasi jamur sehingga menyebabkan penyakit menyebar
dan bertambah parah (Budimulja, 2015).

17
IV. PEMBAHASAN
A. Penegakan Diagnosis
Kelainan kulit yag terjadi pada kasus adalah tinea kruris. Tinea kruris adalah
dermatofitosis (infeksi jamur dermatofita) yang ditemukan pada pangkal paha,
genital, pubis, gluteus, daerah perineum, perianal, serta perut bagian bawah
(Budimulja, 2015). Alasan penegakan diagnosis yaitu:
1. Anamnesis
a. Keluhan gatal pada kedua pantat
b. Awalnya mucul bercak kemerahan dan terasa gatal di pantat sebelah
kanan. Lama-kelamaan berak semakin melebar pada kedua pantat dan
muncul bitil-bintil disertai sisik.
c. Gatal terus-menerus sepanjang hari terutama jika berkeringat dan
duduk terlalu lama
d. Pasien perah mengalami keluhan yang sama diketiaknya 6 bulan yang
lalu dan sekrang sudah sembuh.
e. Pasien mempunyai riwayat obesitas sejat 20 tahun yang lalu
f. Pasien sering bepergian sehingga duduk dalam waktu lama selama
perjalanan
2. Pemeriksaan
a. Lokasi lesi kulit pada regio glutealis dekstra et sinistra
b. Efloresensi berupa makula plakat eritematosa berbatas tegas dengan
tepi aktif bentuk anuler multiple dengan skuama halus di atasnya.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% didapatkan hifa
panjang bersepta dengan spora.
B. Diagnosis Banding
1. Psoriasis
Psoriasis merupakan penyakit kronik residif yang memiliki wujud
kelainan kulit serupa dermatofitosis. Pasien umumnya mengeluhkan
muncul bercak yang bersisik disertai rasa gatal. Efloresensi kulit yang
muncul berupa maukla eritem anular multipel dengan sisik putih tebal
seperti mika. Sedangkan pada pasien ini tidak terdapat skuama tebal

18
berlapis seperti mika maupun auspitz, candle sign sebagai tanda
patognomonis pada psoriasis. Pemeriksaan KOH pada kasus psoriasis
tidak ditemukan hifa panjang, sedangkan pada pasien ini ditemukan hifa
panjang bersepta pada pemeriksaan KOH (Siregar, 2014).
2. Kandidiasis
Kandidiasis memiliki kesamaan keluhan berupa gatal yang
memberat bila berkeringat. Rasa gatal dirasakan pada lesi kulit yang
muncul pada area-area yang berkeringat, seperrti lipatan, atau area yang
lembab. Efloresensi pada kandidiasis adalah makula dan papul eritem
numular hingga plakat dengan papul eritem disekitarnya sebagai lesi satelit
yang tidak ditemukan pada lesi kulit pasien (Budimulja, 2015).
3. Pitiriasis Versikolor
Pitiriasis versikolor mempunyai kesamaan gejala berupa keluhan
gatal terutama jika berkeringat. Lesi kulit yang muncul berupa macula
hipopigmentasi, hiperpigmentasi atau eritem dengan skuama halus
diatasnya. Namun pada pemeriksaan KOH akan ditemukan hifa pendek
dengan spora bergerombol, hal ini tida sesuai dengan hasil pemeriksaan
KOH pada lesi yang diambil dari pasien (Siregar, 2014).
C. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis
a. Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari berkeringat yang
berlebihan
b. Menggunakan baju dari bahan yang menyerap keringat
c. Tidak bertukar handuk dan dengan orang lain
d. Memberitahukan untuk tidak menggaruk luka atau daerah kulit yang
gatal karena akan memperluas lesi dan menimbulkan infeksi sekunder.
2. Farmakologis
a. Loratadin tablet; 1 x 10 mg/ hari
Loratadine adalah antihistamin kerja panjang yang mempunyai
selektivitas tinggi terhadap reseptor histamin-H1 perifer dan afinitas
yang rendah terhadap reseptor-H1 di susunan saraf pusat, sehingga tidak
menimbulkan efek sedasi atau antikolinergik gatal dan terbakar pada

19
mata. Selain itu loratadine juga mengobati gejala-gejala seperti urtikaria
kronik dan gangguan alergi pada kulit lainnya.Pada kasus ini digunakan
untuk mengatasi keluhan gatal yang dirasakan oleh pasien (Katzung,
2004).
b. Ketokonazol tablet; 2 x 200 mg/ hari.
Ketokonazol merupakan fungistatik yang bekerja melalui inhibisi
sintesis ergosterol dependen-sitokrom p450 yang berperang dalam
pembentukan membran sel. Ketokonazol memiliki hepatotksik sehigga
tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama (El-Gohary, 2014).
c. Krim Mikonazol 2%
Obat topikal dala sediaan krim diberikan pada pasien untuk
dioleskan tipis pada area yang gatal secara teratur sebanyak 2 kali sehari.
Mikonazol merupakan obat antifungal bekerja secara fungistatik dengan
mengubah permebilitas membran sel fungi sehingga merusak sistem
barier selektif yang berdampak pada ketidaksimbangan komponen sel
(Budimulja, 2015).

20
V. KESIMPULAN

A. Tinea kruris adalah dermatofitosis (infeksi jamur dermatofita) yang ditemukan


pada pangkal paha, genital, pubis, gluteus, daerah perineum, perianal, serta
perut bagian bawah.
B. Etiologi terbanyak berupa Trichophyton rubrum dan Epidermophyton
floccosum.
C. Gejala klinis yaitu berupa rasa gatal yang berambah saat berkeringat pada lokasi
tempat lesi kulit berada..
D. Pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi makula plakat eritematosa yang
multipel dengan batas tegas dan tepi yang lebih aktifdari pada tengahnya dan
skuama halus.
E. Pada pemeriksaan penunjang yang dapat dilkaukan adalah kerokan kulit
dengan KOH 10 %, kultur, dan lampu wood untuk menyingkirkan diagnosis.
F. Pengobatannya dapat secara sistemik dan topikal dilakukan sesuai dengan luas
lesi. Pengobatan harus dilakukan selama 2-4 minggu tanpa putus obat.
G. Secara umum prognosis tinea kruris baik, selama patuh terhadap pengobatan
dan perbaikan higenitas diri.

21
DAFTAR PUSTAKA

Behzadi, P. 2014. Dermatophyte fungi: Infections, Diagnosis and Treatment.


Sikkim Manipal University Medical Journal; 1(2): 53-54
Budimulja U. Mikosis. Dalam Sri Luniwih, Menaldi,Hamzah M, dan Aisah,
Kusmarinah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.
El-Gohary, M., J. Zuuren, Z. Fedorowics, H. Burgess, dan L. Doney. 2014. Topical
Antifungal Treatment for Tinea Cruris and Tinea Corporis. Cochrane
Databse System Review.
Haber, M. 2007. Dermatological fungal infections.Canadian Journal of
Diagnosis University of Calgary’s; Vol 3, No 4.
Hidayati, N.A., S. Suyoso, D. Hinda, dan E. Sandra. 2009. Mikosis superfisialis di
divisi mikologi unit rawat jalan penyakit kulit dan kelamin RSUD dr.
Soetomo surabaya tahun 2003–2005. Department Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 21(1)1-8
James, W., Berger, dan D. Elston. 2011. Andrews’ Disease of the Skin, Clinical
Dermatology 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Janik, M., dan Heffernan, P. 2008. Superficial Fungal Infection: Dermathopytosis,
Onycomycosis, Tinea nigra, Piedra: in Fitzpatrick Dermatology in General
Medicine. McGraw-Hill: USA. 807-812.
Jhon, E.W., Rosenfeld, dan M.I. Seabury. 2014. Diagnosis and management of
tinea infections. Am Fam Physician; 90(10):702-10.
Lakshmipayeth, D.T., dan K. Krishnan. 2010. Review on dermatomycosis:
pathogenesis and treatment. Natural Science 2; 726-731.
Oliveira, C.B., Vasconcellos C., Sakai-Valente N.Y., Sotto M.N., Luiz F.G., B.
Júnior, et al. 2015. Toll-like receptors (TLR) 2 and 4 expression of
keratinocytes from patients with localized and disseminated dermatophytosis.
Rev Inst Med Trop Sao Paulo;57:57–61.
Patel, G.A., M. Wiederkehr dan R.A. Schwartz. 2009. Tinea cruris in children.
Cutis; 84(3):133-7
Risdianto, A., D. Kadir, dan S. Amin. 2013. Tinea Corporis and Tinea Cruriscaused
by Trichophyton Mentagrophytestypegranularin Asthma Bronchiale Patient.
Dermatovenereology; Vol 20, No. 13.
Romero, M.T., dan R. Arenas. 2015. New insights into genes, immunity, and the
occurrence of dermatophytosis. J Invest Dermatol;135:655–7.
Sahoo, A.K. dan R. Mahajan. 2016. Management of tinea corporis, tinea cruris, and
tinea pedis: A comprehensive review. Indian Dermatol Online J.; 7(2): 77–
86.

22
Sharquie, M., dan A. Garg. 2013. Fungal Disease: Superficial Fungal Infection. In:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Edition Volume 2. New
York: McGraw-Hill. p.2277-97
Siregar, R. 2014. Atlas Berwarna Saripati Kulit dan Kelamin. Jakarta: EGC.
Siswati, S. dan E. Ervianti. 2013.Tinea Korporis dan Tinea Kruris. Dalam
Bramono, Kusmarinah, dkk. (Editor).Dermatomikosis Superfisialis Edisi ke-
2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tainwala R, dan Y. Sharma. 2011. Pathogenesis of dermatophytoses. Indian J
Dermatol;56:259–61.
Wiratma, M.K. 2011. Laporan kasus tinea kruris pada penderita diabetes mellitus.
Denpasar : Fakultas Kedokteran Udayana
Yadav A, Urhekar AD, Mane V, Danu MS, Goel N, Ajit KG. 2013 Optimization
and isolation of dermatophytes from clinical samples and in vitro
antifungal susceptibility testing by disc diffusion method. Journal of
Microbiology and Biotechnology;2(3)19-34.
Yossela, T. 2015. Diagnosis and Treatment of Tinea Cruris. J. Majority; Volume 4
Nomor 2.

23

Anda mungkin juga menyukai