Anda di halaman 1dari 36

PEMERINTAH KABUPATEN BOMBANA

BADAN LAYANAN UMUM DAERAH (BLUD)


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Jl. PorosPoea. No…..Telp…….. Rumbia Tengah KodePos 93771
Email :rs bombana@gmail.com

KEPUTUSAN DIREKTUR
BLUD RUMAH SAKITUMUM KABUPATEN BOMBANA
NOMOR : 800/ 154 / X / 2017

TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN PANITIA PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI)
DIREKTUR BLUD RSU BOMBANA

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka untuk meningkatkan mutu


pelayanan kesehatan di BLUD RSUD Bombana,
perlu adanya wadah yang mendukung profesi tim PPI
dalam menjalankan aktivitasnya membentu direktur
dalam bidang perrancanaan, pemantauan dan
pembinaan tim PPI.

b. Bahwa untuk mewujutkan butir “a” diatas, perlu


adanya pengurus tim PPI, yang diatur dan ditetapkan
dengan keputusan direktur BLUD RSUD Bombana
Mengingat : 1. Undang – Undang RI No.44 tahun 2009 tentang Rumah
sakit.
2. Undang – undang RI No.44 tahun 2009 tentang
perumasakitan. Pasal 40 tentang akreditasi Rumah
sakit dan pasal 25 tentang perizinan Rumah sakit.
3. Keputusan mentri dalam negeri No.1 tahun 2002
tentang pedoman susuna organisasi dan tata kerja RS.
4. Keputusan mentri kesehatan RI
No.131/MENKES/SK/II/2004 tentang system kesehatan
nasional.
5. Struktur organisasi BLUD RSUD Bombana.

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Kesatu : Membentuk Tim akreditasi BLUD RSUD Bombana, dengan
susunan sebagai mana tercantum dalam lampiran keputusan
ini.
Kedua : Tim bertugas membantu direktur BLUD RSUD Bombana
dalam mempersiapkan akreditasi RS sesuai dengan
ketentuan komisi akreditasi RS.
Ketiga : Segala biaya yang timbul akibat dikeluarkan surat keputusan
ini dibebankan kepada BLUD RSUD Bombana.

Keempat

Ditetapkan di : Rumbia Tengah


Tanggal :30 Oktober 2017
an. Bupati Bombana
Plt. Direktur Rumah Sakit Umum Kabupaten Bombana

dr. Achmas D.N.Ramdhan Sp. Rad., M. kes


NIP. 19651223 200502 1 003
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Resiko infeksi nosokomial atau infeksi yang terkait dengan pelayanan kesehatan
(HAIs : Healthcare associated Infections) selain dapat terjadi pada pasien yang dirawat
di Rumah sakit, dapat juga terjadi pada para petugas Rumah sakit tersebut. Berbagai
prosedur penanganan pasien memungkinkan petugas terpajan dengan mikroba yang
berasal dari pasien infeksi. Infeksi yang dialami petugas juga berpengaruh pada mutu
pelayanan karena petugas menjadi sakit sehingga tidak dapat melayani pasien.
Upaya pencegahan penularan infeksi di Rumah sakit melibatkan berbagai
unsure, mulai dari peran pimpinan sampai petugas kesehatan sendiri. Peran pimpinan
adalah dalam hal penyediaan system, sarana dan pendukung lainnya. Peran petugas
adalah sebagai pelaksana langsung dalam upaya pencegahan pengendalian infeksi.
Dengan berpedoman pada perlunya peningkatan mutu pelayanan di Rumah Sakit maka
perlu dilakukan pelatihan yang menyeluruh untuk meningkatkan kemampuan petugas
dalam pencegahan infeksi di Rumah Sakit.
Salah satu strategi yang mudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi
nosokomial adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam menerapkan
Standard Precautionsatau Kewaspadaan Standar, yaitu suatu cara penanganan baru
untuk meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tampa
memperdulikan status infeksi. Komponen Kewaspadaan Standar meliputi kebersihan
tangan( Hand Hygiene), penggunaan alat pelindung diri, pengelolaan linen rumah sakit,
sterilisasi, pengendalian lingkungan, kesehatan karyawan dan pencegahan transmisi
bloodborne serta etika batuk. Untuk pasien rawat inap, diterapkan pula Kewaspadaan
Isolasi yaitu kewaspadaan tambhan untuk pasien-pasien menular secara droplet, kontak
maupun airbone.
Demikian pula halnya di BLUD RSU BOMBANA, upaya pengendalian infeksi
nosokomial terus dilakukan dengan berbagai keterbatasannya. Sangat disadari maupun
bagi rumah sakit itu sendiri. Sekalipun infeksi ini mungkin tidak mematikan, tetapi
mengakibatkan pasien lebih lama tinggal dalam kondisi non produktif dan membayar
biaya mahal untuk perpanjangan hari rawat dan pemakaian antibiotika. Bagi rumah sakit
infeksi nosokomial akan berdampak pada biaya operasional yang makin besar, dan dari
sisi medikolegal, infeksi ini dapat dianggap sebagai kelalaian rumah sakit karena tidak
mengindahkan standar pelayanan medis maupun keperawatan yang pada akhirnya
akan mengakibatkan buruknya kualitas kinerja rumah sakit.
Pemerintah telah menetapkan pengendalian infeksi nosokomial ini sebagai salah
satu standar/tolak ukur mutu pelayananrumah sakit. Upaya menurunkan infeksi yang
terkait dengan pelayanan kesehatan juga menjadi salah satu sasarn program
keselamatan pasien. Hal ini pula yang mendasari semakin dikembangkannya upaya
pengendalian infeksi di BLUD RSU BOMBANA secara menyeluruh dapat semakin
ditingkatkan dan keselamatan pasien diutamakan.

B. Tujuan Pedoman

Pedoman pelayanan ini disusun untuk digunakan sebagai acuan pelaksanaan


program pencegahan dan pengendalian infeksi di BLUD RSU BOMBANA, demi
mewujudkan keselamatan pasien dan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan.

C. Ruang Lingkup Pelayanan


Ruang lingkup pelayanan pencegahan dan pengendalian infeksi di Rumah Sakit
meliputi:
1. Penerapan Kewaspadaan Standar serta Kewaspadaan Isolasi
2. Penerapan Hand Hygiene
3. Perwatan Pasien Isolasi
4. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB
5. Pengeaturan tentang penggunaan Antibiotika termasuk Pemetaan Kuman
6. Pengaturan penggunaan Antiseptik dan Desinfektan
7. Pengelolaan Kebersihan, Sampah dan Limabah Rumah Sakit, Berkoordinasi
dengan Sanitasi Rumah Sakit
8. Pengelolaan Linen berkoordinasi dengan urusan Linen
9. Pelayanan Sterilisasi berkoordinasi dengan Instalasi Sterilisasi Sentral
10. Pelaksanaan Surveilans Infeksi Rumah Sakit
11. Pendidikan dan pelatihan SDM tentang PPI-RS berkoordinasi dengan Tim PKRS
D. Batasan Operasional
1. Kewaspadaan Standar adalah kewaspadaan yang diterapkan pada semua orang
yang dating de fasilitas pelayanan kesehatan, dengan tujuan mencegah
penularan penyakit yang ditransmisikan melalui darah atau cairan tubuh.
Komponen Kewaspdaan Standar meliputi Kebersihan Tangan (Hand Hygiene),
Alat Pelindung Diri (sarung tangan, masker, kacamata dan pelindung mata,
gaun/epron), pengelolaan linen, pengelolaan peraltan perawatan pasien,
pengendalian lingkungan, kesehatan karyawan dan pencegahan transmisi
bloodborne, etika batuk, serta pengelolaan makanan, gelas, cangkir dan
peralatan makan ( Infection Control Guidelines CDC, Australia).
2. Kewaspadaan berdasarkan transmisi/penularan (Kewaspadaan Isolasi) adalah
tambahan kewaspadaan standar yang diterapkan pada pasien yang dirawat inap
dirumah sakit terhadap resiko transmisi penyakit secara droplet, kontak dan
airborne
3. Hand Hygiene atau kebersihan tangan merupakan pilar utama dalam
pencegahan dan pengendalian infeksi dirumah sakit. Hang Hygiene meliputi
kegiatan cuci tangan, baik menggunakan air dengan sabun/antiseptic (Hang
washing) atau dengan menggunakan Handrub berbasis alcohol (Handrubbing).
4. Pencegahan dan pengendalian infeksi TB adalah upaya yang dilakukan oleh
rumah sakit untuk menurunkan resiko penularan TB melalui 3 pilar utama yaitu
pilar pengendalian administrative, pilar pengendalian lingkungan dan pilar
perlindungan perorangan.
5. Perawatan pasien isolasi adalah pengaturan terhadap perawatan pasien-pasien
yang harus dilakukan secara terpisah/tersendiri dalam ruangan isolasi, baik oleh
karena pasien tersebut menular ataupun karena kondisi pasien sangat rentan
terhadap infeksi lain. Tujuan perawatan isolasi adalah agar tidak terjadi
penularan dari pasien menular kepada pasien lain, atau untuk mencegah pasien
yang rentan (immunecompromissed) tertular oleh infeksi lain dirumah sakit.
6. Pengaturan penggunaan antibiotika adalah upaya yang dilakukan rumah sakit
untuk mengatur pemakaian antibiotika sesuai dengan pola kuman yang ada di
Rumah Sakit Umum Bombana dengan tujuan mencegah terjadinya resistensi
antibiotika.
7. Pengaturan penggunaan antiseptic dan desinfectan adalah upya yang dilakukan
rumah sakit untuk menentukan antiseptic dan desinfektan yang digunakan, agar
dapat berfungsi dengan efektif mematikan kuma/mikroorganisme yang terdapat
pada tangan petugas, peralatan/instrument serta lingkungan rumah sakit.
8. Sterilisasi adalahsuatu proses pengelolaan suatu alat atau bahan, dengan tujuan
mematikan semua mikroorganisme termasuk endospora. Sterilasasi merupakan
cara yang paling aman dan paling efektif untuk pengelolaan alat kesehatan yang
berhubungan langsung dengan darah atau jaringan dibawah kulit, yang secara
normal bersifat steril.
9. Surveilans infeksi adalah suatu kegiatan pengumpulan data infeksi, analisis,
interpretasi dan diseminasi informasi hasil interpretasi data infeksi, yang
dilaksanakan secara terus menerus dan sistematik, sehingga rumah sakit dapat
mengetahui angka infeksinya dan melakukan evaluasi untuk pengendalian
selanjutnya.

E. Landasan Hukum
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 Tahun 2011
tentang Keselamatan Pasien Rumah sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1204/MENKES/SK/PER/VII/2004 tentang persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
NO.875/MENKES/SK/PER/XI/2004 tentang Penyusunan Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya pemantauan Lingkungan
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.876/MENKES/SK/VII/2001
tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1335/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Standar Operasional Pengambilan dan
Pengukuran sampel Kualitas Udara Ruangan Rumah sakit
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1087/MENKES/SK/VIII/2010 tentang Standar Kesehatan dan Keselamatan
kerja di Rumah sakit.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.270/MENKES/2007
tentang Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah
Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya
10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.382/MENKES/2007
tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan
fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya
11. Peraturan Daerah Kabupaten Bombana NO.27 Tahun 2013 tentang
pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis daerah Kabupaten
Bombana.
BAB II

STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Dalam melaksanakan kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi di BLUD
RSU BOMBANA dipimpin oleh Ketua Panitia PPIRS. Distribusi ketenagaan Panitia
PPIRS disesuaikan dengan kualifikasi dan beban kerja yang ada. Untuk distribusi
ketenagaan Panitia PPIRS disebutkan dalam Tabel 2.1 sesuai dengan tugas masing-
masing panitia.
Table 2.1 Pola Ketenagaan Panitia Pencegahan Pengendalian Infeksi di BLUD
RSU BOMBANA

Nama Jabatan Kualifikasi Jumlah Kebutuhan


Formal Non Formal
Ketua Panitia Dokter Umum Pelatihan 1 orang
PPIRS
IPCN DIII Pelatihan 2 orang
keperawatan/Kebidanan
Tim DIII Keperawatan Pelatihan 1 orang perunit
PPIRS/IPCLN Dokter Umum Pelatihan

B. Distribusi Ketenagaan
1. Di Rumah sakit terdapat Panitia PPIRS yang di Ketuai oleh seorang Dokter
Umum dan beranggotakan lintas unit, diantaranya adalah dokter dengan
berbagai bidang keahlian, farmasi, gizi, kesehatan lingkungan, keperawatan,
pemeliharaan sarana
2. Ketua Panitia PPIRS dibantu oleh seorang sekretaris panitia
3. IPCN merupakan perawat yang bertugas fultimer dan melakukan control infeksi
dan surveilans diseluruh Rumah Sakit Bombana
4. Ditingkat unit pelayanan, yaitu disetiap ruang perawatan, terdapat seorang
perawat sebagai IPCLN (infection and Control Link Nurse) yang merupakan
perpanjangan tangan IPCN diruang perawatan dalam melaksanakan program
kerja Panitia PPIRS.
C. Pengaturan Jaga
Dalam menjalankan tugasnya IPCN diatur dalam gilir tugas sesuai unti
pelayanan yang terdapat di BLUD RSU BOMBANA.
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. Sarana Kesekretariatan
1. Ruangan secretariat dan tenaga secretariat
2. Komputer, printer dan internet
3. Telepon
4. Alat tulis kantor
B. Dukungan Manajemen
Dukungan yang diberikan oleh manajemen dapat berupa:
1. Penerbitan Surat Keputusan untuk Panitia dan Tim PPIRS
2. Anggaran atau dana kegiatan:
a. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)
b. Pengadaan fasilitas pelayanan penunjang untuk pelaksanaan program,
monitoring, evaluasi, laporan dan rapat rutin

C. Kebijakan Dan Standar Prosedur Operasional


Kebijakan dan SPO yang perlu dipersiapkan adalah:
1. Kebijakan Manajemen, di antaranya:
a. Kewaspadaan Standar
b. Pengembangan SDM dalam PPI
c. Pelaksanaan Surveilans
2. Kebijakan Teknis SPO tentang kewaspadaan standar, di antaranya:
a. SPO cuci tangan
b. SPO penggunaan APD
c. SPO dekontaminasi, dan sebagainya.

D. Pengembangan Dan Pendidikan


1. Tim PPI:
a. Wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI
b. Memiliki sertifikat PPI
c. Mengembangkan dengan mengikuti lokakarya, seminar dan sebagainya
d. Bimbingan teknis secara berkesinambungan
2. Staf Rumah Sakit:
a. Semua staf rumah sakit harus mengetahui prinsip PPI
b. Semua staf yang berhubungan dengan pelayanan pasien harus mengikuti
pelatihan PPI
c. Rumah Sakit secara berkala melakukan sosialisasi/simulasi PPI
d. Semua karyawan baru, mahasiswa harus mendapatkan orientasi PPI
BAB IV

TATA LAKSANA PELAYANAN

A. Penerapan Kewaspadaan Standar Serta Kewaspadaan Isolasi


1. Kewaspadaan Standar
a. Kewaspadaan Standar diterapkan pada semua klien dan pasien / orang yanng
datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. Kewaspadaan standar dirancang untuk
perawatan bagi semua orang, pasien, petugas atau pengunjung tanpa
menghiraukan apakah mereka terinfeksi dengan penyakit menular dengan cara
lain, dan belum menunjukkan gejala.
b. Kewaspadaan Standar diterapkan untuk sekret pernapasan, darah, dan semua
cairan tubuh, serta semua ekserta (kecuali keringat), kulit yang tidak utuh, dan
membrane mukosa. Penerapannya ditujukan untuk mengurangi resiko
penyebaran mikroorganisme dari sumber infeksi baik yang diketahui atau tidak,
dalam sistem pelayanan kesehatan seperti pasien, benda yang tercemar, jarum
atau spuit bekas pakai. Penggunaan pelindung (barrier) fisik, mekanik atau kimia
antara mikroorganisme dengan idividu baik untuk pasien rawat jalan, rawat inap
atau petugas kesehatan adalah cara yang sangat efektif untuk mencegah
penyebaran infeksi.

Komponen Kewaspadaan Standar Adalah :


1. Kebersihan Tangan (handwash atau handrub) :
a. Sebelum kontak dengan pasien
b. Sebelum melakukan tindakan asepsis
c. Setelah terkena cairan tubuh pasien
d. Setelah kontak dengan pasien
e. Setelah kontak dengan lingkungan pasien
2. Sarung Tangan :
a. Bila kontak dengan darah, cairan tubuh, dan barang yang tercemar
b. Bila kontak dengan membrane mukosa/selaput lendir dan kulit yang tidak
utuh
c. Sebelum melakukan tindakan invasive
3. Masker, kacamata :
a. Melindungi membrane mukosa mata, hidung dan mulut terhadap
kemungkinan percikan, ketika akan kontak dengan darah atau cairan tubuh.
4. Gaun / Apron :
a. Melindungi kulit dari kemungkinan kena percikan ketika kontak dengan
darah atau cairan tubuh
b. Mencegah kontaminasi pakaian selama melakukan tindakan yang
melibatkan kontak dengan darah atau cairan tubuh
5. Linen :
a. Tangani linen kotor dengan menjaga jangan terkena kulit atau membrane
mukosa
b. Jangan merendam / membilas linen kotor di wilayah ruang perawatan
c. Jangan meletakkan linen kotor di lantai dan mengibaskan linen kotor
d. Segera mengganti linen yang tercemar / terkena darah atau cairan tubuh
6. Perawatan Peralatan Pasien :
a. Tangani peralatan yang tercemar dengan benar untuk mencegah kontak
langsung dengan kulit atau membrane mukosa
b. Cegah terjadinya kontaminasi pada pakaian
c. Cuci dan desinfeksi peralatan bekas pakai sebelum digunakan kembali
7. Pengendalian Lingkungan :
a. Bersihkan, rawat dan desinfeksi peralatan dan perlengkapan dalam ruang
perawatan pasien secara rutin setiap hari dan bila perlu
b. Isolasi pasien yang tidak dapat menjaga kebersihan diri serta lingkungan
dan dapat mencemari lingkungan, dalam ruangan terpisah / khusus (isolasi)
8. Kesehatan Karyawan Dan Pencegahan Transmisi Bloodborne :
a. Hindari menutup kembali jarum yang sudah digunakan, bila terpaksa
lakukan dengan teknik satu tangan
b. Hindari melepas jarum yang telah digunakan dari spuit sekali pakai
c. Hindari membengkokkan, atau menghancurkan atau memanipulasi jarum
dengan tangan
d. Masukkan instrumen tajam dalam wadah yang tahan tusukan dan tahan air
e. Gunakan penghubung mulut (mouthplece goedel), ambubag, atau alat
ventilasi lain untuk resusitasi mulut ke mulut secara langsung

9. Etika Batuk :
a. Sasaran : pasien, keluarga pasien, petugas kesehatan, dengan infeksi
saluran nafas yang dapat ditransmisikan melalui batuk atau bersin
b. Selalu menutup mulut / hidung pada saat batuk / bersin, memakai masker,
mencuci tangan setelah kontak dengan sekresi saluran nafas
c. Petugas dengan infeksi saluran nafas sebaiknya tidak melakukan kontek
langsung dengan pasie, dan mengenakan masker jika harus melakukan
perawatan.
d. Pada infeksi saluran nafas sebaiknya menggunakan masker pada saat
ditransportasikan dari satu unit ke unit lain di Rumah Sakit.

2. Kewaspadaan Isolasi
Kewaspadaan isolasi atau kewaspadaan berdasarkan transmisi diterapkan
kepada pasien rawat inap, diperuntukkan bagi pasien yang menunjjukkan gejala
atau dicurigai terinfeksi atau mengalami kolonisasi kuman yang sangat mudah
menular yang ditransmisikan secara droplet, kontak maupun airborne, dimana perlu
upaya pencegahan tambahan selain kewaspadaan standar, untuk memutuskan
rantai penyebaran infeksi. Kewaspadaan berdasarkan tranmisi perlu dilakukan
sebagai tambahan kewaspadaan standar.

Tiga Jenis Kewaspadaan Berdasarkan Penularan / Transmisi Adalah Sebagai


Berikut :
a. Kewaspadaan penularan melalui kontak
Kewaspadaan ini dirancang untuk mengurangi resiko transmisi organisme
pathogen melalui kontak langsung atau tidak langsung. Transmisi kontak
langsung dapat terjadi pada kontak kulit dengan kulit dan berpindahnya
organisme selama kegiatan perawatan pasien. Transmisi kontak tidak langsung
dapat terjadi apabila ada kontak seseorang yang rentan dengan objek yang
tercemar yang berada pada lingkungan pasien. Pasien dengan infeksi kulit atau
mata dapat menular misalnya herpes zoster, konjungtivitis atau infeksi luka lain
yang memerlukan penerapan tindakn pencegahan kontak.
b. Kewaspadaan penularan melalui perfcikan (droplet)
Kewaspadaan penularan melalui droplet dirancang untuk engurangi risiko
penularan melalui percikan bahan infeksius. Transmisi droplet terjadi melalui
kontak dengan konjungtiva, membrane mukosa hidung atau mulut individu yang
rentan oleh percikan partikel besar (>5µm/micron) yang mengandung
mikroorgaanisme. Berbicara, batuk, bersin dan tindakan seperti pengisapan
lendir dan bronkoskopi dapat menyebarkan mikroorganisme.
c. Kewaspadaan penularan melalui udara (airborne)
Kewaspadaan penularan melalui udara dirancang untuk mengurangi resiko
penularan melalui penyebaran partikel kecil (≤5µm) ke udara, baik secara
langsung atau melalui partikel debu yang mengandung mikroorganisme
infeksius. Partikel ini dapat tersebar dengan cara batuk, bersin, berbicara dan
tindakan seperti bronkoskopi atau pengisapan lendir. Partikel infeksius dapat
menetap di udara selama beberapa jam dan dapat disebarkan secara luas
dalam suatu ruangan atau dalam jarak yang lebih jauh. Pengelolaan udara
secara khusus dan ventilasi diperlukan untuk mencegah transmisi melalui udara.

Komponen Utama Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi dan Pencegahannya :

a. Menjaga kebersihan tangan dan pemakaian sarung tangan


1) Tujuan Penggunaan :
Melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh,
secret, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda yang
terkontaminasi
2) Jenis sarung tangan :
- Sarung tangan bersih
- Sarung tangan steril
- Sarung tangan rumah tangga
3) Indikasi pemakaian sarung tangan
Harus dipakai pada ssat melakukan tindakan yang kontak atau diperkirakan
akan terjadi kontak dengan darah, cairan tubuh, secret, kulit yang tidak utuh,
selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi
4) Hal yang harus diperhatikan pada penggunaan srung tangan
Cuci tangan dengan memperhatikan 5 moments hygiene. Menggunakan
sarung tangan berbeda untuk setiap pasien. Memahami teknik memakai dan
melepaskan sarung tangan.
b. Masker, pelindung pernapasan, pelindung mata, pelindung wajah
1) Pelindung wajah
Tujuan : melindungi selaput lendir hidung, mulut, dan mata
Jenis alat yang digunakan :
a) Masker
b) Kacamata
2) Penutup Kepala
Tujuan : mencegah jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit
kepala petugas terhadap alat – alat daerah steril dan juga sebaliknya untuk
melindungi kepala atau rambut petugas dari percikan bahan – bahan dari
pasien.
c. Gaun dan Apron
Tujuan : Melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah
atau cairan tubuh lain yang dapat mencemari baju.
Jenis :
a) Gaun pelindung tidak kedap air
b) Gaun pelindung kedap air
c) Gaun steril
d) Gaun non steril
d. Sepatu pelindung
Tujuan : melindungi kaki petugas dari tumpahan / percikan darah atau cairan
tubuh lainnya dan mencegah dari kemungkinan tusukan benda tajam atau
kejatuhan alat kesehatan.
Jenis : sepatu karet atau plastik yang menutupi seluruh ujung dan telapak kaki
e. Linen dan pakaian kotor
1) Meskipun linen tercemar oleh mikroorganisme pathogen, risiko penularan
penyakit akan minimal jika linen ditangani dengan baik, diangkut dan dicuci
dengan cara yang dapat mencegah penyebaran mikroorganisme pada
pasien, petugas dan lingkungan
2) Petugas tidak boleh memegang linen dekat tubuh atau mengibaskan linen
tersebut
3) Menjaga kebersihan, penanganan dan penyimpanan linen bersih sangat
dianjurkan
f. Makanan, gelas, dan peralatan makan
1) Bagi pasien dengan penyakit menular melalui udara dan percikan upayakan
penggunaan satu barang untuk satu pasien bila memungkinkan
2) Tidak dibenarkan orang lain menggunakan bersama – sama peralatan
makan pasien
3) Peralatan makan dapat digunakan kembali untuk pasien suspek penyakit
menular, dengan menerapkan pencegahan kewaspadaan standart
4) Piring dan peralatan makan yang akan digunakan kembali, dicuci dengan air
panas dan sabun.
5) Petugas perlu menggunakan sarung tangan ketika menangani nampan,
piring dan peralatan makan pasien.

B. Pencegahan Infeksi Untuk Prosedur Yang Menimbulkan Aerosol Pada pasien


Yang Suspek Atau Probable Menderita Penyakit Menular Melalui Airborne/Udara
Tindakan yang dapat menimbulkan atau meningkatkan pengeluaran droplet nuclei ke
udara. Tindakan yang menghasilkan aerosol antara lain tindakan yang diaerolisasi
(misal Salbutamol), induksi sputum diagnostik, bronkoskopi, pengisapan jalan nafas dan
intubasi endotracheal.
1. Petugas kesehatan harus memastikan bahwa pasien sudah diobservasi terhadap
kemungkinan penyakit menular melalui udara / airborne sebelum memulai prosedur
yang menimbulkan aerosol.
2. Tindakan yang menimbulkan aerosol pada pasien dengan penyakit menular melalui
udara / airborne, hanya dilakukan bila ada indikasi medis yang penting.
3. Tindakan harus dilakukan dengan menerapkan kewaspadaan berdasarkan
penularan melalui udara.
Penerapan Hand Hygiene
Hand hygiene merupakan pilar utama pencegahan dan pengendalian infeksi di
rumah sakit. Penerapan prosedur kebersihan tangan oleh seluruh petugas rumah sakit
dilakukan dengan dua cara, yaitu cuci tangan dengan menggunakan sabun anti septic
dan air mengalir, serta cuci tangan dengan handrub.
Pengelolaan Kebersihan Sampah dan Limbah Rumah Sakit
Ruang lingkup pengelolaan kebersihan dan limbah rumah sakit meliputi pengelolaan
limbah infeksius maupun bob infeksius yang terjadi oleh karena kegiatan pelayanan
Rumah Sakit. Kegiatan pegelolaan limbah di Rumah Sakit, dibawah pengawasan
sanatarian RS dan berkoordinasi dengan Tim PPIRS.
1. Tujuan pengelolaan sampah :
a. Melindungi petugas pembuangan sampah dari perlukaan
b. Melindungi penyebaran infeksi terhadap para petugas kesehatan
c. Mencegah penularan ifeksi pada masyarakat sekitarnya
d. Membuang bahan – bahan berbahaya (toksik dan radioaktif) dengan aman

Tumpukan Sampah harus dihindari, karena :

a. Menjadi obyek pemulunng yang akan memanfaatkan sampah terkontaminasi


b. Dapat menyebabkan perlukaan
c. menimbulkan bau busuk
d. mengundang lalat dan hewan penyebar penyakit lainya.
2. Batasan Limbah Rumah Sakit

Secara umum limbah rumah sakit dibedakan menjadi limbah padat / sampah dan
limbah cair. Sampah rumah sakit tersebut dibagi menjadi :

a. Penanganan sampah infeksius


Sampah infeksius, yaitu sampah yang tercemar oleh darah atau cairan tubuh
pasien, dan dikategorikan sebagai limbah risiko tinggi serta bersifat menularkan
penyakit. Dapat berasal dari tindakan klinis, laboratorium obat sitotoksik dan
senyawa radioaktif.
Sampah infeksius berisiko tinggi untuk menularkan penyakit, rumah sakit
berkewajiban mengelolanya dengan benar untuk menghindari penularan
penyakit melalui sampah tersebut.

1) Sampah infeksius tersebut antara lain:


a) Darah atau cairan tubuh lainnya (urine, muntahan, cairan efusi, ascites,
dan sebagainya) material yang mengandung darah kering seperti perban,
kasa, dan benda-benda dari kamar bedah atau ruang tindakan.
b) Sampah organic, misalnya jaringan, potongan tubuh dan plasenta
c) benda-benda tajam bekas pakai, misalnya jarum suntik, jarum jahit, pisau
bedah, tabung darah, pipet atau jenis gelas lain yang bersifat infeksius.
2) Kantong sampah infeksius :
a) Sampah infeksius dibuang kedalam kantong sampah warna kuning yang
tersedia disetiap unit pelayanan, di pisahkan antara sampah infeksius
tajam dan tidak tajam
b) Sampah infeksius tajam dibuang dalam sampah yang kedap air dan
kedap tusukan
c) Sampah sitostatika dibuang dalam sampah warna ungu
d) Sampah infekius dan sampah sitostatika dibakar incenarator

3) Pembuangan sampah infekius


a) Tempat sampah harus terbuat dari wadah anti tusukan, dan dilapisi
kantong sampah sesuai dengan jenis kantong infeksius, serta tertutup.
Upayakan tempat sampah yang dibuka dengan injakan, sehingga
meminimalkan kontaminasi kotoran kepada petugas.
b) Tempat sampah harus ditempatkan di dekat lokasi terjadinya sampah dan
mudah dicapai oleh pemakai (mengangkat-angkat sampah kemana-mana
meningkatkan resiko infeksi bagi pembawanya). Terutama penting sekali
terhadap benda tajam yang membawa risiko kecelakaan / perlukaan bagi
petugas kesehatan dan staf.
c) Cuci semua wadah sampai setiap hari, dengan larutan pemebersih
desinfektan dan sabun, serta bilas dengan air.
d) Gunakan wadah terpisah antara sampah yang akan dibakar dengan
sampah yang akan didaur ulang/ tidak dibakar. Hal ini untuk
menghindarkan sampah dengan tangan, yang berisiko perlukaan/ infeksi.
e) Gunakan perlengkapan pelindung (APD) pada saat menangani sampah.
f) Cuci tangan atau gunakan Handrub setelah melepaskan sarung tangan
setelah menangani sampah.
g) Pembuangan sampah medis di BLUD RS Bombana dilakukan dengan
membakar pada incinerator dengan suhu tinggi.

b. Penanganan Sampah Non infeksius


Sampah non infeksius / sampah umum, yaitu sampah yang tidak tercemar oleh
darah atau cairan tubuh pasien, sehingga berisiko rendah.
1. Pembuangn sampah non infeksius dibuang ditempat pembuangan
Sementara yang tersedia, sedangkan pengelolanya bekerjasama dengan CV
ROSE TAMAN. Petugas kebersihan membuang sampah non infeksius setiap
hari.
2. Sampah non infeksius dibuang dalam kantong plastik warna hitam.
c. Penangan limbah laboatorium
Limbah laboratorium dikelola sabagai limbah infeksius, limbah padat dikelola
sebagaimana limbah infekius, sedangkan limbah cair dialirkan kesistem
pengelolaan limbah cair dari seliruh rumah sakit.

d. Penangan limbah cair


Limbah cair dirumah sakit dikelola dengan system yang mengelola seluruh
limbah cair dengan prinsip anaerob, sampai pada hasil akhir yang tidak
berbahaya/ berisiko rendah, sebelum dialirkan ke pembuangan umum. Secara
berskala, hasil akhir pengelolaan limbah cair tersebut diperiksa keamananya,
secara laboratorium.

e. Penanganan limbah farmasi


Dalam jumlah kecil, sampah farmasi (obat dan bahan obat) dapat dikumpulkan
dengan sampah medis lainya untuk kemudian dibakar di incinerator.
Jika jumlahnya banyak, metode pembuangan sampah farmasi dilakukan sebagai
berikut:
a) Sitostatika dan antibiotik dapat diisinerasi, sisanya dikubur ditempat
pemerataan tanah
b) Bahan yang larut air, campuran ringan bahan farmasi seperti larutan vitamin,
obat batuk, cairan intra vena, dan lain-lain dapat diencerkan dengan sejumlah
besar air lalu dibuang ketempat pembuangan limbah cair rumah sakit untuk
kemudian dip roses di sana.
c) Sampah sitostatika tidak boleh dibuang kesungai, kali, telaga, danau, atau
area pemerataan tanah.

f. Sarana pendukung kebersihan


Sarana pendukung pelaksanaan kegiatan kebersihan di rumah sakit meliputi :
a) Kelengkapan petugas: alat pelindung diri, diantaranya sarung tangan karet,
sepatu boot, baju kerja, topi, kacamata, masker
b) Peralatan kebersihan : sapu, mop, ember, kereta sampah infeksius, kereta
sampah non infeksius, sikat dan sebagainya.
c) Tempat penampungan sampah: tempat penampungan sementara untuk
sampah non infeksius sebelum diambil petugas dinas kesehatan, tempat
sampah diunit-unit pelayanan yang dibedakan atas tempat sampah infeksius
(kantong kuning) dan tempat sampah non infeksius (kantong hitam) sampah
sitostatika (kantong ungu), dan sampah radioaktif (kantong merah).
d) Alat pembakar sampah / incinerator

C. Pengelolaan Linen Rumah Sakit

Tim PPIRS berkordinasi dengan urusan linen dalam pengelolaan linen rumah sakit
sebagai berikut :

1. Pengelolaan linen kotor


a. Pengelolaan linen kotor, pemisahan linen kotor berdasarkan infeksius tidaknya,
proses dekontaminasi / spooling, dilanjutkan proses pencucian di bagian
pencucian, sesuai prosedur yang telaj ditetapkan.
b. Petugas yang bertanggung jawab dalam proses ini adalah petugas linen ruang
perawatan dan petugas bagian pencucian.
c. Penggunaan APD yang sesuai harus dipenuhi dalam hal mengelola linen kotor.
Wadahuntuk membawa linen kotor dan non infeksius, linen kotor infeksius,
maupun linen bersih harus terpisah dan merupakan wadah yang tertutup.
2. Distribusi dan penyimpanan linen bersih
Distribusi linen kotor / linen bersih dari ruang perawatan kepencucian atau
sebaliknya sesuai prosedur yang telah ditetapkan, dengan menggunakan buku
ekspedisi.
3. Penyediaan linen siap pakai
Linen siap pakai disimpan ditiap unit pelayanan, dengan tetap memperhatikan
standar penyimpanan, yaitu:
a. Lemari penyimpanan selalu bersih, kering, tidak lembab, dan tertutup rapat
b. Lemari penyimpanan jauh dari pelayanan pasien/ terhindar dari kontaminasi
c. Pencahayaan 200-500 Lux sesuai pedoman pencahayaan Rumah Sakit,
suhu 22-270C dan kelembaban sekitar 45-75 % RH
d. Inventarisasi linen menjadi tanggung jawab unit pelayanan penyimpanan, dan
harus dilakukan Cross Check antara jumlah linen yang terpakai dengan linen
kotor dan stok linen bersih

4. Penggunaan linen bersih


a. Linen bersih digunakan dengan prinsip FIFO (first in first out), yaitu linen
yang lebih dahulu disimpan, dipakai terlebh dahulu
b. Sebelum memegang linen bersih, petugas harus mencuci tangan terlebih
dahulu.

D.pelayanan Distribusi
Pelayanan sterilisasi berkordinasi dengan instalasi sterilisasi sentral untuk
mengetahui proses perencanaan, pengadaan, dekontaminasi, sampai sterilisasi
dilakukan sesuai dengan prinsip pendalian infeksi.
E. Perawatan Pasien Isolasi
Ruang isolasi adalah ruangan perawatan khusus dirumah sakit yang digunakan
untuk merawat pasien dengan kondisi medis tertentu secara terpisah dari pasien lain
(sabra L.Katz-Wize, 2006), dengan tujuan mencegah penyebaran penyakit atau infeksi
dari pasien tersebut kepada pasien lain atau kepada petugas kesehatan, atau
sebaliknya mencegah paien tersebut tertular infeksi lain di rumah sakit karena daya
tahannya yang rendah. Dengan demikian ruang isolasi berfungsi untuk membantu
memutus siklus penularan penyakit serta melindungi pasien dan petugas kesehatan.

1. Fasilitas perawatan isolasi BLUD RS Bombana


a. Ruang isolasi yang terdapat dirumah sakit BLUD RS Bombana adalah ruang
isolasi bertekanan standar atau bertekanan normal. Ruang isolasi ini dapat
digunakan oleh pasien-pasien yang menular secara droplet ataupun kontak.
b. Ruang isolasi dirumah sakit BLUD RS Bombana dilengkapi dengan kamar mandi
didalam dan sarana cuci tangan serta exhaust fan.
c. Sedangkan untuk pasien yang kritis yang memerlukan perawatan intensif
sekaligus memerlukan perawatan isolasi, intensive care unit (ICU) menyediakan
sebuah ruang perawatan isolasi yang dilengkapi dengan pengaturan udara dan
heap filter, sehingga dapat diatur untuk ruang isolasi bertekanan negative, bagi
pasien-pasien menular, ataupun diatur sebagai ruang isolasi bertekanan positif
untuk pasien Immuno Compromised yang rentan tertular oleh infeksi lain.

2. Indikasi perawatan isolasi di BLUD RS Bombana


a. Ruang isolasi di BLUD RS Bombana diindikasikan untuk pasien menular
secara droplet (chiken pox, tuberculusis, mumps, rubella, bacterial
maningitis,dan sebagainya) atau kontak (seperti: impertigo, warts, syphilis, dan
sebagainya).
b. Penularan secara droplet adalah penularan melalui percikan ludah saat bicara,
bersin atau batuk. Biasanya sifat patogen mikroorganisme penyebabnya tidak
cukup infeksius dalam jarak yang lebih jauh, maka pengaturan udara dan
ventilasi secara khusus tidak terlalu diperlukan untuk penyegahan penularanya.
c. Penularan secara kontak
d. Droplet precaution dan contack precautionditujukan untuk pencegahan
transmisi patogen yang disebar melalui secret udara nafas atau kontak dengan
selaput lendir pernafasan, misalnya dengan penerapan hand hygine,
penggunaan APD yang tepat, serta prosedur penempatan pasien yang tepat.
e. Ruang isolasi BLUD RS Bombanatidak cukup memadai untuk perawatan
pasien dengan airbone infection. Kasus airbone yang dapat dirawat diruang
isolasi di rumah sakit misalnya : Varicella / chickenpox, meales, tuberculosis.
f. Pasien dengan kasus airbone yang fatal : seperti SARS, flu burung / avian
influenza, yang munkin ditemukan dirumah sakit, akan dirujuk kerumah sakit
yang memiliki fasilitas yang lebih seperti RSUD Bahteramas Kendari, dengan
tetap melakukan kewaspadaan transmisi.
g. Untuk kasus HIV / AIDS yang ditemukan di BLUD RS Bombana ditetapkan
untuk dirujuk ke rumah sakit yang sudah ditunjuk oleh kementrian kesehatan
sebagai klinis VCT, yaitu rumah sakit bahteramas.

3. Pelaksanaan kewaspadaan standad dan kewaspadaan isolasi pada pasien


isolasi
Petugas kesehatan harus melaksanakan kewaspadaan standard an
kewaspadaan isolasi secara tepat dan disiplin dalam melaksanakan pasien isolasi:
a. Petugas harus melakukan prosedur cuci tangan setiap kali sebelum dan
sesudah memasuki ruangan isolasi
b. Petugas harus menggunakan APD paada saat melakukan tindakan perawatan
/ tindakan kedokteran kepada ppasien –pasien isolasi (misalnya masker,
sarung tangan skort)
c. Pasien menular secara droplet / airbone yang harus ditransfer keunit pelayanan
lain harus menggunakan masker selama proses transfer

4. Prosesdur pembersihan kamar isolasi setelah digunakan


a. Kamar isolasi wajib dibersihkan secara rutin dua kali sehari sesuai dengan
prosedur ruangan isolasi.
b. Pembersihan kamar isolasi dilakukan terakhir kali setelah semua ruang
perawatan lain dibersihkan.
c. Petugas yang membersihkan kamar isolasi harus menggunakan APD lengkap.
d. Pembongkaran kamar isolasi harus dilakukan setiap kali kamar isolasi selesai
digunakan, sebelum digunakan oleh pasien lain, sesuai prosedur yang telah
ditetapkan.
e. Setelah pembongkaran, sterilisasi ruang dengan lampu ultraviolet dapat
digunakan dikamar isolasi untuk mengurangi transmisi patogen melalui
kemampuan lampu ultraviolet melakukan surface sterilisasi.

5. Pengaturan penempatan pasien


a. Pengaturan penempatan pasien adalah komponen penting dalam
kewaspadaan isolasi. Ruagan khusus penting penting untuk mencegah
transimisi direk –indirek kontak khususnya jika pasien memiliki kebiasaan
kebersihan yang buruk, potensial mengkontaminasi lingkungan, atau tidak
dapat diharapkan dapat mendukung upaya pengendalian infeksi dalam rangka
transmisi mikroorganisme (misalnya pasien bayi, anak-anak, pasien dengan
perubahan status mental).
b. Pasien yang potensial mentransmisikan mikroorganisme patogen secara
droplet / kontak diletakkan diruang perawatan khusus / isolasi yang dilengkapi
dengan fasilitas cuci tangan dan kamar mandi, untuk mengurangi kemungkinan
transmisi mikroorganime.
c. Jika ruang perawatan khusus tidak tersedia, pasien infeksi hendaknya
ditempatkan dengan pasien yang sejenis (kohorting). Pasien yang terinfeksi
oleh mikroba yang sama, dapat ditempatkan dalam ruang perawatan yang
sama, untuk mencegah agar mereka tidak terinfeksi oleh mirroorganisme yang
lain, dan kemungkinan terjadi infeksi oleh mikroorganisme yang sama menjadi
minimal.
d. Alternative lain adalah dengan melakukan pengumpulan pasien-pasien yang
sejenis. Ini sangat membantu pada keadaan KLB atau keterbatasan ruang
perawatn khusus. Apabila keduanya tidak memungkinkan dilaksanakan
(isolasi/kohorting), sangat penting untuk mendiskusikan epidemiologi penyakit
dan metode transmisi penyakit dengan para ahli pengendalian infeksi, atau
setidaknya dengan tim PPIRS.

6. Transportasi pasien isolasi


Batasi perpindahan dan pergeseran pasien infeksius, kususnya pasien terinfeksi
mikroorganisme yang virulen dan penting secara epidemilogi. Pastikan bahwa
pasien meninggalkan ruang perawatannya hanya oleh karena indikasi yang kuat
dan esensial, untuk mengurangi kemungkinan transmisi penyakit.
Dalam melakukan transportasi pasien, penting untuk diperhatikan:
a. APD yang lengkap sesuai indikasi (masker,gaun/apron) dikenakan pada pasien
untuk menurunkan kemungkinan transmisi kepada pasien lain, petugas
kesehatan, pengunjung rumah sakit, serta kontaminasi terhadap lingkungan.
b. Petugas kesehatan diunit yang dituju harus mendapatkan informasi terhadap
kedatangan pasien infeksius tersebut, dan langkah pencegahan yang harus
dilakukan sehubungan dengan transmisi penyakitnya.
c. Kepada pasien harus diinformasikan langkah / atau tindakan apa yang dapat
dilakukan untuk membantu mencegah transmisi penyakit yang dideritanya
kepada orang lain.
F. Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis
Pencegahan dan pengendalian infeksi TB dilakukan melalui 3 pilar pengendalian,
yaitu secara administratif, pengendalian lingkungan dan perlindungan perorangan. Pilar
pengendalian administrative, meliputi:

1. Rencana pengendalian infeksi


a. Memastikan penegakan diagnosis secara dini pada pasien dan petugas yang
di duga TB
b. Memberikan edukasi/ informasi pasien mengenai etika batuk
c. Membatasi aktivitas pasien. Dokter konsultan sebaiknnya dating keruangan
pasien, dan jika pasien harus keluar keruangan, pasien harus menggunakan
masker.
d. Pasien TB harus dipisahkan dengan pasien lain (terutama pasien immune
compromised) di unit rawat rawat jalan dan rawat inap, sesuai ketentuan yang
ada di rumah sakit.
e. Ruangan pasien TB harus memiliki ventilasi yang baik, dan terpisah dari pasien
lain, jika tidak memungkinkan satu kamar untuk satu pasien, lakukan
pengelompokan dengan jarak antar pasien minimal 2 meter.
f. Membatasi jumlah pengunjung
g. Memulai OAT secara tepat pada pasien.

2. Pendidikan pelatihan petugas untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan


keterampilan dalam pengendalian infeksi TB/TB MDR
3. Penyuluhan kepada pasien, pengunjung dan masyarakat tentang pentingnya
pencegahan dan pengendalian infeksi TB.
a. Pilar pengendalian lingkungan
1). Pengendalian lingkungan yang bisa dilakukan dirumah sakit
meliputi pengaturan ventilasi diruangan isolasi, dengan
menggunakan ventilasi campuran yaitu exhaust fan dan ventilasi
alami.
2). Radiasi sinar ultraviolet digunakan untuk memperoleh surface
sterilisasi, pada ruangan yang digunakan oleh pasien TB di
polikklinik.
b. Pilar perlindungan perorangan
1. Perlindungan perorangan yang digunakan mengacu pada kewaspadaan
standar, yaitu sarung tangan, masker, kaca mata, topi, apron / baju dan
sepatu boot.
2. Masker bedah bagi pasien TB MDR untuk mengurangi kemungkinan
pajanan kepada orang lain dan lingkungan sekitarnya.
3. Menggunakan APD yang mengacu kepada kewaspadaan.
a) Respilator partikulat untuk petugas yang berhubungan langsung dengan
pasien (N95 atau FFP-2) sebelum digunakan, lakukan fit tes dulu untuk
memastikan respirator pas digunakan untuk tidak bocor, sehingga
memberikan perlindungan optimal.
b) Masker bedah bagi pasien TB MDR untuk mengurangi kemungkinan
pajanan kepada orang lain dan lingkungan sekitarya
c) Pelaksanaan edukasi etika batuk dengan benar, baik bagi pasien TB
maupun pasien batuk lainnya. Hindari batuk ditempat banyak orang,
hindari menyentuh muka setelah batuk / bersin, dan jangan bertukar
sapu tangan kepada orang lain.
d) Penanganan sputum jika terjadi kecelakaan: jika terjadi tumpahan
sputum gunakan handuk / kain yang telah dibasahi desinfektan untuk
menutup tumpahan tersebut hingga terserap kemudian lantai
dibersihkan dengan desinfektan direkomendasikan untuk menuutup
ruangan tersebur selama 1 jam sebelum digunakan kembali. Petugas
hendaknya menggunakan APD yang sesuai saat membersihkan sputum
tersebut.
e) Menyediakan cuci tangan diarea pasien / pengunjung
f) Perlindungan transportasi pasien.

c. Penangan TB MDR di BLUD RS Bombana


Pasien TB MDR (multidrugs resisten tuberkulosis) tidak dapat ditangani oleh
BLUD RS Bombana, jika ditemukan pasien TB MDR, pasien di rujuk ke RSU
Bahteramas untuk mendapatkan pengobatan sesuai dengan kebijakan
pengobatan TB yang dilaksanakan oleh dinas kesehatan kabupaten bombana.

G. Pengaturan Penggunaan Antibiotika, Termasuk Pemetaan Kuman


Resistensi kuman dapat terjadi oleh karena penanganan antibiotika yang tidak
bijaksana, yanga antara lain meliputi: pemberian yang berlebihan, pemebrian dibawah
dosis optimal, lama pemberian antibiotika tidak tepat, atau mis diagnosis yang
menyebabkan pilihan antibiotika tidak tepat. Maka diperlukan pengaturandalam hal
penggunaan antibiotika, agar diperoleh penggunaan antibiotika yang bijaksana.

Tujuan penggunaan kebjiakan ini adalah mencapai peresepan / penggunaan antibiotika


yang efektif dan ekonomis, untuk meminimalkan resistensi kuman, tanpa meninggalkan efek
terapi yang diharapkan. Kriteria penggunaan antibiotika yang bijaksana meliputi:

1. Setiap antibiotik harus teruji dalam diagnosis klinisnya dan telah terbukti serta dikenali
mampu memberikan efek terapi terhadap mikroorganisme.
2. Pemeriksaan kultur kuman sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotika.
3. Pemilihan antibiotika sebaiknya tidak didasarkan pada riwayat penyakit danagen pathogen
saja, namun juga mempertimbangkan pola sensivitasnya, toleransi pasien dan biaya.
4. Dokter harus memperoleh informasi tentang resisten kuman di rumah sakit secara
berkesinambungan.
5. Gunakan antibiotika yang spesifik untuk infeksi.
6. Jika mungkin, hindari penggunaaan anti biotika secara kombinsai.
7. Hindari penggunaan antibiotika selektif.
8. Gunakan dosis yanfg tepat. Dosis rendah dapat menyebabkan infektif terapi, dan memicu
strain kuman menjadi resisten. Dosis yang berlebihan dapat meningkatkan side efek, dan
tetap tidak mencegah resisten kuman.
9. Secara umum, penggunaan satu seri antibiotika berkisar antara 5 – 14 hari, tergantung jenis
infeksinya. Terdapat indikasi tertentu untuk penggunaan yang lebih lama. Apabila
pemakaian 3 hari tidak menunjukkan efektivitas, maka antibiotika harus dihentikan dan
dilakukan penilaian kembali terhadap status pasien.
Untuk mencapai tujuan diatas, maka diberlakukan kebijakan sebagai berikut;

1. Indikasi penggunaan antibiotika di rumah sakit Bombana harus mengacu pada buku
pedoman penggunaan antibiotika dan buku peta kuman dan kepekaan terhadap berbagai
antibiotika, yang diterbitkan oleh rumah sakit Bombana.
2. Buku pedoman antibiotika disusun oleh panitia farmasi dan terapi dan harus dievaluasi
ulang minimal setiap 3 tahun sekali.
3. Buku peta kuman dan kepekaan terhadap berbagai antibiotika disusun setiap tahun untuk
memantau pergeseran pola resisten yang dapat mempengaruhi terapi antibiotika.
4. Standarisasi antibiotika di rumah sakit berlaku untuk semua dokter yang merawat di Rumah
Sakit Bombana.
5. Untuk setiap jenis antibiotika maksimal disediakan 5 sediaan paten, namun tetap dianjurkan
menggunakan sediaan generik sebagai alternatif pertama.
6. Tim PPIRS turut bertanggung jawab memberika masukan kepada panitia farmasi dan terapi
dalam hal pemantauan resitensi dan pemeriksaan pemetaan kuman di Rumah Sakit
Bombana.

H. Pengaturan Penggunaan antiseptik dan Desinfektan


1. Pengertian
Antiseptik adalah desinfektan yang digunakan untuk kulit dan tubuh bagian luar lainnya.
Sedangkan desinfektan sendiri digunakan untuk peralatan, perabot, lingkungan dan
sebagainya.
Desinfektan adalah senyawa kimia yang dapat mematikan / menghancurkan
pertumbuhan mikroorganisme, namun tidak termasuk spora. Proses ini tidak mematikan
semua mikroorganisme, namun mampu menurunkannya sampai tingkat yang tidak
membahayakan kesehatan.
Perbedaan desinfeksi dengan sterilisasi adalah proses sterilisasi mampu mematikan
semua mikroorganisme termasuk spora.
2. Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi penentuan desinfektan
a. Telah diketahui bahwa berbagai mikroorganisme mempunyai tingkat sensivitas yang
berbeda terhadap zat kimia tertentu. Lebih mudah mematikan bakteri gram positif dari
pada gram negatif, disebabkan perbedaan pembentukan dinding sel. Kuman TBC lebih
resiten terhadap desinfektan dan spora jauh lebih resiten lagi terhadap desinfektan.
b. Tingkat terhadap sensivitas terhadap desinfektan tergantung dari tingkat keasaman, jadi
susunan virus yang asam akan lebih peka daripada yang tidak asam.
c. Bahan kimia yang dipakai biasanya tidak bersifat stabil dalam waktu lama, sehingga
harus selalu diganti dan dibuat yang baru sesuai dengan spesifikasi masing – masing
desinfektan.
d. Beberapa jenis desinfektan dapat menimbulkan karat / korosif, sehingga harus dilakukan
pembilasan untuk melindungi pemakai dan proses berkarat.
3. Peranan instalasi farmasi dalam penyiapan dan penggunaan antiseptik dan
desinfaktan
a. Antiseptik dan desinfektan yang digunakan di BLUD RS Bomana disiapkan oleh unit
farmasi.
b. Unit farmasi bertanggung jawab terhadap pembuatan, pengenceran, pengemasan, serta
pendistribusian larutan antiseptik dan desinfektan tersebut, termasuk persiapan,
pencucian dan pengeringan wadah yang akan digunakan.
c. Unit farmasi bertanggung jawab atas pelebelan larutan secara jelas, serta sosialisasi
kegunaan masing – masing larutan, serta pengamanannya.
d. Unit pemakai tidak diperkenankan melakukan pengenceran sendiri, ataupun
mencampurkan desinfektan baru kedalam wadah desinfektan sisa, untuk mencegah
berubahnya konsentrasi dan efektifitas bahan.

I. Pelaksanaan Surveilans Nosokomial


1. Pengertian surveilans
Surveilans adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus dan
sistematik dalam bentuk pengumpulan data, analisis data, interpretasi data, dan diseminasi
informasi hasil interpretasi data bagi mereka yang membutuhkan. Surveilans infeksi
nosocomial adalah suatu proses yang dinamis, sistematis, terus menerus dalam
pengumpulan, identifikasi, analisis dan interpretasi dari data kesehatan yang penting pada
suatu populasi spesifik, untuk digunakan dalam perencanaan, penerapan, dan evaluasi
suatu tindakan yang berhubungan dengan kesehatan yang didiseminasikan secara berkala
kepada pihak – pihak yang memerlukan.
2. Tujuan surveilans
a. Memperoleh data dasar infeksi rumah sakit
b. Untuk kewaspadaan dini dalam mengidentifikasi kejadian luar biasa
c. Menilai standar mutu asuahan keperawatan dan pelayanan medis
d. Sebagai saran mengidentifikasi malpraktek
e. Menilai keberhasilan suatu program pengendalian infeksi nosocomial
f. Meyakinkan para klinisi tentang adanya masalah yang memerlukan penaggulangan.
g. Sebagai tolak ukur akreditas.
3. Metode surveilans
a. Surveilans yang dilakukan di BLUD RS Bombana adalah targeted surveillance, dengan
target survei meliputi infeksi khusus yaitu infeksi luka operasi ( ILO ), infeksi saluran
kemih ( ISK ), ventilator associated pneumonia ( VAP ), decubitus, sepsis, dam infeksi /
penyulit transfusi.
b. Definisi surveilans untuk masing – masing jenis infeksi mengacu pada petunjuk praktis
surveilans infeksi rumah sakit, kementrian kesehatan Republik Indonesia, direktorat
jendral bina pelayanan medik, tahun 2010.
c. Format pelaksanaan surveilans terdiri dari format sensus harian ditiap ruang perawatan,
daftar titik, dan formulir data harian infeksi Rumah Sakit.
4. Pelaksanaan surveilans
Surveilans infeksi nosokomial di Rumah Sakit Bombana dilaksanakan oleh IPCN, dan
dibantu oleh IPCLN di masing – masing ruang perawatan.
5. Pelaporan
Laporan surveilans direkap setiap bulan untuk kemudian dilaporkan kepada direktur
Rumah Sakit bersama laporan kegiatan Tim PPIRS selam bulan yang bersangkutan dalam
bentuk laporan bulanan panitia PPI di RS.
Laporan suveilans infeksi merupakan laporan kejadian keselamatan pasien, sehingga
laporan ini ditindak lanjuti bersama antara panitia keselamatan pasien dan panitia PPIRS.

J. Pendidikan dan pelatihan SDM tentang PPIRS


Pengembangan staf dan pengembangan pendidikan tentang pengendalian infeksi di
Rumah Sakit, termasuk kegiatan orientasi bagi karyawan baru, merupakan slah satu upaya
penting dlam meningkatkan pemahaman terhadap infeksi, yang selanjutnya diharapan mampu
diaplikasikan dalam tugas sehari – hari. System pengembangan dan pendidikan staf harus
tercakup dalam program kerja panitia PPIRS.

Pengembangan Staf

1. Direktur Rumah Sakait memiliki tanggung jawab untuk menetapkan kebijkan


pengembangan staf dan program pendidikan tenaga pengendalian infeksi nosocomial di
BLUD RS Bombana.
2. Panitia PPIRS bertanggung jawab dalam perencanaan, pengusulan, dan tindak lanjut,
pengembangan stafnya kepada pimpinan RS, dan ikut serta secara aktif dlam mendapatkan
informasi pendidikan, pelatihan ataupun lokakarya bidang – bidang terkait, baik dari luar RS
( eksternal ), maupun materi – materi in house training.
3. Program pengembangan staf ini harus tercantum dalam tiap penyusunan program kerja
PPIRS, dan dalam pelaksanaannya, selalu bekerjasama dengan bagian diklat RS lain.
4. Sasarn program pengembangan staf diutamakan bagi ketua, IPCN dan seluruh anggota
Tim PPIRS, serta tidak menutup kemungkinan bagi setiap karyawan RS yang terkait
dengan programkerja PPIRS.
5. Setiap orang yang telah mengikuti pendidikan atau pelatihan, wajib meneruskan dengan
melakukan sosialisai bagi staf PPI lainnya, dan membuat laporan tertulis untuk diklat RS
dan arsip PPI.
6. Evaluasi program pengembangan staf dilakukan setiap akhir tahun program, namun tidak
menutup kemungkinan dilakukan sementara program berjalan, untuk memperoleh target
antara dan peningkatan kualitas pengembangan staf yang lebih baik.
BAB V
LOGISTIK

Tim pencegahandan pengendalian infeksi di BLUD RS Bombana dalam menjalankan


tugasnya memiliki tanggung jawab terhadap ketersediaan sarana dan fasilitas penunjang
program diseluruh RS. Saran dan fasilitas tersebut diantaranya meliputi:

1. Pemantauan ketersediaan handrub dan sarana cuci tangan dan pemanfaatannya.


2. Pemantauan ketersediaaan pamflet / sarana edukasi PPI untuk pengunjung dan pasien dan
pemanfaatannya.
3. Pemantauan ketersediaan desinfektan di unit – unit pelayanan pasien.
Ketersediaan sarana dan fasilitas tersebut diatas berada dibawah tangung jawab subbagian
logistik, baik pengadaan maupun sistem logistiknya secara umum. Namun demikian Tim PPIRS
ikut bertanggung jawab dalam melakukan monitoring ketersediaan di unit – unit pelayanan
sehingga program pencegahan dan pengendalian infeksi ini dapat berjalan dengan baik.
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

A. PENGERTIAN
Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana RS membuat asuhan pasien lebih
aman. Hal ini termasuk assesmen risiko, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya resiko.
Sedangkan insiden keselaatan pasien adalah setiap kejadian atau situasi yang dapat
mengakibatakan atau berpotensi mengakibatkan harm ( penyakit, cidera, cacat, kematian
dan lain – lain ) yang tidak seharusnya terjadi.
B. TUJUAN
Tujuan sistem ini adalah mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Selain itu sitem keselamatan pasien ini mempunyai tujuan agar terciptanya budaya
keselamatan pasien di RS, meningkatnya akuntabilitas RS terhadap pasien dan
masyarakat, menurunnya kejadian tidak diharapkan di RS dan terlaksananya program –
program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
C. TATA LAKSANA KESELAMATAN PASIEN
Dalam melaksanakan keselamatan pasien terhadap tuju langkah menuju keselamatan
pasien RS., adapun tuju langkah tersebut adalah:
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. Menciptakan kepemimpinan
dan budaya yang terbuka dan adil.
2. Memimpin dan mendukung karyawan. Membangun komitmen dan fokus yang kuat dan
jelas tentang keselamatan pasien.
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolahan resiko. Mengembangkan sistem dan proses
pengelolahan resiko, serta melakukan identifikasi dan asesmen hal potensial
bermasalah.
4. Mengembangkan sistem pelaporan. Memastikan karyawan agar dengan mudah dapat
melaporkan kejadian atau insiden, serta RS mengatur pelaporan kepada KKP – RS (
komite keselamatan pasien rumah sakit ).
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Mengembangakan cara – cara
berkomunikasi yang terbuka dengan pasien.
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamtan pasien. Mendorong karyawan
agar untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa
kejadian itu timbul.
7. mencegah cedera melalui implementasi sitem keselamatan pasien. Menggunakan
informasi yang ada tentang kejadian atau malasah untuk melakukan perubahan pada
sitem pelayanan.
Dalam melaksanakan keselamtan pasien standar keselamatan pasien harus diterapkan,
standar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metode – metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program meningkatkan keselamtan pasien
5. Peran kepemimpinan dan meningkatakan keselamtan pasien
6. Mendidik karyawan tentang keselamtan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi karyawan untuk mencapai keselamatan pasien.
Langkah – langkah penerapan keselamatan pasien di rimah sakit:
1. Menetapkan unit kejra yang bertanggung jawab mengelolah program keselamatan
pasien RS.
2. Menyusun program keselamatan pasien RS jangka pendek satu sampai 2 tahun
3. Mensosialisasikan konsep dan program keselamatan pasien RS
4. Mengadakan pelatihan keselamatan pasien RS bagi jajaran manajemen dan karyawan
5. Menetapkan sitem pelaporan insiden ( peristiwa keselamatan pasien ).
6. Menetapkan tujuan langkah keselamatan pasien RS seperti tersebut diatas
7. Menerapkan standar keselamatan pasien RS ( seperti tersebut diatas ) dan melakukan
self asesmen dengan instrumen akreditasi pelayanan keselamatan pasien RS.
Program khusus keselamatan pasien Rumah Sakit
Mengevaluasi secara periodik pelaksanaan program keselamatan pasien RS dan
kejadian tidka tidak diharapkan.
D. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI DI RUMAH SAKIT DALAM UPAYA
KESELAMATAN PASIEN
Pencegahan dan pengendalian infeksi di RS terkait langsung dlam upaya keselamtan
pasien, karena salah satu sasaran keselamatan pasien adalah menurunkan resiko infeksi
terkait dengan pelayanan kesehatan ( sasaran keselamatan pasien yang kelima ).
Keberhasilan program dan pengendalian infeksi di RS., merupakan salah satu betuk
nyata pelayanan yang berfokus pada keselamatan pasien.
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
Undang – undang nomor 36 tahun 2009 pasal 164 ayat 1 menyatakan bahwa upaya
keselamatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerjaagar hidup sehat dan terbebas dari
gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Rumah sakit
adalah tempat kerja yang termasuk dalam kategori seperti disebut diatas, berarti wajib
menerapkan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Program keselamatan dan
kesehatan kerja di Tim pendidikan pasien dan keluarga bertujuan melindungi karyawan
dari kemungkinan terjadinya kecelakaan didalam dan diluar rumah sakit.
Dalam undang – undang dasar 1945 pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa “ setiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan“. Dalam
hal ini yang dimaksud pekerjaan adalah pekerjaan yang bersifat manusiawi, yang
memungkinkan pekerja berada dalam kondisi sehat dan selamat, bebas dari kecelakaan
dan penyakit akibat kerja sehingga dapat hidup layak sesuai dengan marrabat manusia.
Keselamatan dan kesehtan kerja atau (K3) merupakan bagian integral dari perlindungan
terhadap pekerja dan perlindungan terhadap RS. Pegawai adalah bagian dari integral dari
RS. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja akan meningkatkan produktifitas pegawai
dan meningkatkan produktifitas RS.
Undang – undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja dimaksudkan untuk
menjamin:
1. Agar pegawai dan setiap orang yang berada ditempat kerja selalu berada dalam
keadaan sehat dan selamat.
2. Agar fakto – faktor produksi dapat dipakai dan digunakan secara efisien.
3. Agar proses produksi dapat berjalan secara lancar tanpa hambatan.

Faktor –faktor yang meningkatkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat
digolongkan pada tiga kelompok, yaitu:
1. Kondisi dan lingkungan kerja .
2. Kesadaran dan kualitas pekerja
3. Peranan dan kualitas manajemen

Dalam kaitannya dengan kondisi dan lingkungan kerja, kecelakaan dan penyakit
akibat kerja dapat terjadi bila :
1. Peralatan tidak memenuhi standar kualitas atau bila sudah aus
2. Alat –alat produksi tidak disusun secara teratur menurut tahapan proses produksi
3. Ruangan kerja terlalu sempit, ventilasi udara kurang memadai, ruangan terlalu panas
atau terlalu dingin.
4. Tidak tersedia alat-alat pengaman
5. Kurang memperhatikan persyaratan penanggulangan bahaya kebakaran dan lain-lain.

Perlindungan kesehatan da keselamatan kerja petugas kesehatan:


1. Petugas kesehatan yang merawat pasien menular harus mendapatkan pelatihan
mengenai cara penularan dan penyebaran penyakit, tindakan pencegahan dan
pengendalian infeksi yang sesuai dengan protokol jika terpajam.
2. Petugas yang tidak terlibat langsung dengan pasien harus diberikan penjelasan umum
mengenai penyakit tersebut.
3. Petugas kesehatan yang kontak dengan pasien penyakit menular melalui udara harus
menjaga fungsi saluran pernapasan (tidak merokok, tidak merokok dingin) dengan
baik dan menjaga kebersihan tangan setiap saat dan :
a. Memeriksa suhu untuk dua kali sehari dan mewaspadai munculnya gejala
pernapasan terutama batuk.
b. Memiliki catatan pribadi mengenai kontak yang dialami. Catatan tidak boleh
dibawa kedalam area isolasi.
c. Bila timbul demam, segera batasi interaksi dan isolasi diri di area umum. Segera
lapor kepada tim PPIRS, tim kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dan dokter
poli klinik rumah sakit, adanya kemungkinan terinfeksi penyakit menular yang
sedang ditangani.
Petunjuk pencegahan infeksi untuk petugas kesehatan:

1. Untuk mencegah transmisi penyakit menular dalam tatananan pelayanan kesehatan,


petugas harus menggunakan APD yang sesuai kewaspadaan standar dan kewaspadaan
isolasi (berdasarkan penularan secara kontak, droplet / udara) sesuai dengan penyebaran
penyakit.
2. Semua petugas kesehatan harus mendapatkan pelatihan tentang gejala penyakit
menular yang sedang dihadapi.
3. Semua petugas kesehatan dengan penyakit seperti flu harus dievaluasi untuk
memastikan agen penyebab, dan ditentukan apakah perlu dipindah tugaskan dari kontak
langsung dengan pasien terutama mereka yang bertugas di instalasi perawatan intensiv
(IPPI), ruang rawat anak dan ruang bayi.
4. Jika petugas kesehatan mengalami gejala demam atau gangguan pernapasan dalam
jangka waktu 10 hari setela terpajan penyakit menular melalui udara, maka ia perlu dirawat
di ruang isolasi.
5. Petugas terpajan yang tidak memiliki gejala demam atau ganggguan pernapasan tidak
perlu dibebas tugaskan namun harus melaporkan pajanan yang dialami segera kepada tim
PPIRS.
6. Surveilans aktif perlu dilakukan terhadap gejala demam dan gangguan pernapasan
setiap hari kepada petugas kesehatan yang terpajan. Petugas diinstruksikan untuk
mewaspadai timbulnya demam, gangguan pernapasan dan suatu peeradangan konjungtifa
selama 10 hari setelah terpajan dengan penyakit menular melalui udara.
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah pemilihan aspek yang akan
ditingkatkan dengan menetapkan indikator, kriteria, serta standar yang akan digunakan
untuk mengukur mutu pelayanan.

Adapun indikator pengendalian mutu pada tim PPIRS meliputi :


Pencegahan dan pengendalian infeksi, surveilans dan pelaporan
1. Infeksi jarum infus
2. Angak infeksi saluran kemih (ISK)
3. Angak infeksi luka oprasi (ILO)
4. Angka infeksi pneumoni akibat pemasangan ventilator
5. Angka sepsis
6. Angka penyulit / infeksi transfusi darah
7. Angka komplikasi pasca oprasi
8. Angak kepatuhan cuci tangan
BAB IX
PENUTUP

Pedoman pelayana pencegahan dan pengendalian di BLUD RSU Bombana


disusun, sebagai upaya panduan pencegahan dan pengendalian infeksi sehari-hari.
Diharapkan melalui pedoman pelayanan ini dapat tercipta keseragaman pehaman
dan persepsi, dalam mewujudkan pelayanan BLUD RSU Bombana yang berkualitas,
dengan pengendalian infeksi nosokomial secara nyata.

Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran,


maka tidak menutup kemungkinan, pedoman saat ini berlaku, akan semakin di
sempurnakan. Oleh karenanya, terhadap pedoman ini pun akan tetap dilakukan
evaluasi secara berkala, agar diperoleh perkembangan yang terbaru, demi upaya
pengendalian infeksi di BLUD RSU Bombana.

DIREKTUR

Anda mungkin juga menyukai