KEPUTUSAN DIREKTUR
BLUD RUMAH SAKITUMUM KABUPATEN BOMBANA
NOMOR : 800/ 154 / X / 2017
TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN PANITIA PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI)
DIREKTUR BLUD RSU BOMBANA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Kesatu : Membentuk Tim akreditasi BLUD RSUD Bombana, dengan
susunan sebagai mana tercantum dalam lampiran keputusan
ini.
Kedua : Tim bertugas membantu direktur BLUD RSUD Bombana
dalam mempersiapkan akreditasi RS sesuai dengan
ketentuan komisi akreditasi RS.
Ketiga : Segala biaya yang timbul akibat dikeluarkan surat keputusan
ini dibebankan kepada BLUD RSUD Bombana.
Keempat
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Resiko infeksi nosokomial atau infeksi yang terkait dengan pelayanan kesehatan
(HAIs : Healthcare associated Infections) selain dapat terjadi pada pasien yang dirawat
di Rumah sakit, dapat juga terjadi pada para petugas Rumah sakit tersebut. Berbagai
prosedur penanganan pasien memungkinkan petugas terpajan dengan mikroba yang
berasal dari pasien infeksi. Infeksi yang dialami petugas juga berpengaruh pada mutu
pelayanan karena petugas menjadi sakit sehingga tidak dapat melayani pasien.
Upaya pencegahan penularan infeksi di Rumah sakit melibatkan berbagai
unsure, mulai dari peran pimpinan sampai petugas kesehatan sendiri. Peran pimpinan
adalah dalam hal penyediaan system, sarana dan pendukung lainnya. Peran petugas
adalah sebagai pelaksana langsung dalam upaya pencegahan pengendalian infeksi.
Dengan berpedoman pada perlunya peningkatan mutu pelayanan di Rumah Sakit maka
perlu dilakukan pelatihan yang menyeluruh untuk meningkatkan kemampuan petugas
dalam pencegahan infeksi di Rumah Sakit.
Salah satu strategi yang mudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi
nosokomial adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam menerapkan
Standard Precautionsatau Kewaspadaan Standar, yaitu suatu cara penanganan baru
untuk meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tampa
memperdulikan status infeksi. Komponen Kewaspadaan Standar meliputi kebersihan
tangan( Hand Hygiene), penggunaan alat pelindung diri, pengelolaan linen rumah sakit,
sterilisasi, pengendalian lingkungan, kesehatan karyawan dan pencegahan transmisi
bloodborne serta etika batuk. Untuk pasien rawat inap, diterapkan pula Kewaspadaan
Isolasi yaitu kewaspadaan tambhan untuk pasien-pasien menular secara droplet, kontak
maupun airbone.
Demikian pula halnya di BLUD RSU BOMBANA, upaya pengendalian infeksi
nosokomial terus dilakukan dengan berbagai keterbatasannya. Sangat disadari maupun
bagi rumah sakit itu sendiri. Sekalipun infeksi ini mungkin tidak mematikan, tetapi
mengakibatkan pasien lebih lama tinggal dalam kondisi non produktif dan membayar
biaya mahal untuk perpanjangan hari rawat dan pemakaian antibiotika. Bagi rumah sakit
infeksi nosokomial akan berdampak pada biaya operasional yang makin besar, dan dari
sisi medikolegal, infeksi ini dapat dianggap sebagai kelalaian rumah sakit karena tidak
mengindahkan standar pelayanan medis maupun keperawatan yang pada akhirnya
akan mengakibatkan buruknya kualitas kinerja rumah sakit.
Pemerintah telah menetapkan pengendalian infeksi nosokomial ini sebagai salah
satu standar/tolak ukur mutu pelayananrumah sakit. Upaya menurunkan infeksi yang
terkait dengan pelayanan kesehatan juga menjadi salah satu sasarn program
keselamatan pasien. Hal ini pula yang mendasari semakin dikembangkannya upaya
pengendalian infeksi di BLUD RSU BOMBANA secara menyeluruh dapat semakin
ditingkatkan dan keselamatan pasien diutamakan.
B. Tujuan Pedoman
E. Landasan Hukum
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 Tahun 2011
tentang Keselamatan Pasien Rumah sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1204/MENKES/SK/PER/VII/2004 tentang persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
NO.875/MENKES/SK/PER/XI/2004 tentang Penyusunan Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya pemantauan Lingkungan
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.876/MENKES/SK/VII/2001
tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1335/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Standar Operasional Pengambilan dan
Pengukuran sampel Kualitas Udara Ruangan Rumah sakit
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1087/MENKES/SK/VIII/2010 tentang Standar Kesehatan dan Keselamatan
kerja di Rumah sakit.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.270/MENKES/2007
tentang Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah
Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya
10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.382/MENKES/2007
tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan
fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya
11. Peraturan Daerah Kabupaten Bombana NO.27 Tahun 2013 tentang
pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis daerah Kabupaten
Bombana.
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
B. Distribusi Ketenagaan
1. Di Rumah sakit terdapat Panitia PPIRS yang di Ketuai oleh seorang Dokter
Umum dan beranggotakan lintas unit, diantaranya adalah dokter dengan
berbagai bidang keahlian, farmasi, gizi, kesehatan lingkungan, keperawatan,
pemeliharaan sarana
2. Ketua Panitia PPIRS dibantu oleh seorang sekretaris panitia
3. IPCN merupakan perawat yang bertugas fultimer dan melakukan control infeksi
dan surveilans diseluruh Rumah Sakit Bombana
4. Ditingkat unit pelayanan, yaitu disetiap ruang perawatan, terdapat seorang
perawat sebagai IPCLN (infection and Control Link Nurse) yang merupakan
perpanjangan tangan IPCN diruang perawatan dalam melaksanakan program
kerja Panitia PPIRS.
C. Pengaturan Jaga
Dalam menjalankan tugasnya IPCN diatur dalam gilir tugas sesuai unti
pelayanan yang terdapat di BLUD RSU BOMBANA.
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. Sarana Kesekretariatan
1. Ruangan secretariat dan tenaga secretariat
2. Komputer, printer dan internet
3. Telepon
4. Alat tulis kantor
B. Dukungan Manajemen
Dukungan yang diberikan oleh manajemen dapat berupa:
1. Penerbitan Surat Keputusan untuk Panitia dan Tim PPIRS
2. Anggaran atau dana kegiatan:
a. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)
b. Pengadaan fasilitas pelayanan penunjang untuk pelaksanaan program,
monitoring, evaluasi, laporan dan rapat rutin
9. Etika Batuk :
a. Sasaran : pasien, keluarga pasien, petugas kesehatan, dengan infeksi
saluran nafas yang dapat ditransmisikan melalui batuk atau bersin
b. Selalu menutup mulut / hidung pada saat batuk / bersin, memakai masker,
mencuci tangan setelah kontak dengan sekresi saluran nafas
c. Petugas dengan infeksi saluran nafas sebaiknya tidak melakukan kontek
langsung dengan pasie, dan mengenakan masker jika harus melakukan
perawatan.
d. Pada infeksi saluran nafas sebaiknya menggunakan masker pada saat
ditransportasikan dari satu unit ke unit lain di Rumah Sakit.
2. Kewaspadaan Isolasi
Kewaspadaan isolasi atau kewaspadaan berdasarkan transmisi diterapkan
kepada pasien rawat inap, diperuntukkan bagi pasien yang menunjjukkan gejala
atau dicurigai terinfeksi atau mengalami kolonisasi kuman yang sangat mudah
menular yang ditransmisikan secara droplet, kontak maupun airborne, dimana perlu
upaya pencegahan tambahan selain kewaspadaan standar, untuk memutuskan
rantai penyebaran infeksi. Kewaspadaan berdasarkan tranmisi perlu dilakukan
sebagai tambahan kewaspadaan standar.
Secara umum limbah rumah sakit dibedakan menjadi limbah padat / sampah dan
limbah cair. Sampah rumah sakit tersebut dibagi menjadi :
Tim PPIRS berkordinasi dengan urusan linen dalam pengelolaan linen rumah sakit
sebagai berikut :
D.pelayanan Distribusi
Pelayanan sterilisasi berkordinasi dengan instalasi sterilisasi sentral untuk
mengetahui proses perencanaan, pengadaan, dekontaminasi, sampai sterilisasi
dilakukan sesuai dengan prinsip pendalian infeksi.
E. Perawatan Pasien Isolasi
Ruang isolasi adalah ruangan perawatan khusus dirumah sakit yang digunakan
untuk merawat pasien dengan kondisi medis tertentu secara terpisah dari pasien lain
(sabra L.Katz-Wize, 2006), dengan tujuan mencegah penyebaran penyakit atau infeksi
dari pasien tersebut kepada pasien lain atau kepada petugas kesehatan, atau
sebaliknya mencegah paien tersebut tertular infeksi lain di rumah sakit karena daya
tahannya yang rendah. Dengan demikian ruang isolasi berfungsi untuk membantu
memutus siklus penularan penyakit serta melindungi pasien dan petugas kesehatan.
1. Setiap antibiotik harus teruji dalam diagnosis klinisnya dan telah terbukti serta dikenali
mampu memberikan efek terapi terhadap mikroorganisme.
2. Pemeriksaan kultur kuman sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotika.
3. Pemilihan antibiotika sebaiknya tidak didasarkan pada riwayat penyakit danagen pathogen
saja, namun juga mempertimbangkan pola sensivitasnya, toleransi pasien dan biaya.
4. Dokter harus memperoleh informasi tentang resisten kuman di rumah sakit secara
berkesinambungan.
5. Gunakan antibiotika yang spesifik untuk infeksi.
6. Jika mungkin, hindari penggunaaan anti biotika secara kombinsai.
7. Hindari penggunaan antibiotika selektif.
8. Gunakan dosis yanfg tepat. Dosis rendah dapat menyebabkan infektif terapi, dan memicu
strain kuman menjadi resisten. Dosis yang berlebihan dapat meningkatkan side efek, dan
tetap tidak mencegah resisten kuman.
9. Secara umum, penggunaan satu seri antibiotika berkisar antara 5 – 14 hari, tergantung jenis
infeksinya. Terdapat indikasi tertentu untuk penggunaan yang lebih lama. Apabila
pemakaian 3 hari tidak menunjukkan efektivitas, maka antibiotika harus dihentikan dan
dilakukan penilaian kembali terhadap status pasien.
Untuk mencapai tujuan diatas, maka diberlakukan kebijakan sebagai berikut;
1. Indikasi penggunaan antibiotika di rumah sakit Bombana harus mengacu pada buku
pedoman penggunaan antibiotika dan buku peta kuman dan kepekaan terhadap berbagai
antibiotika, yang diterbitkan oleh rumah sakit Bombana.
2. Buku pedoman antibiotika disusun oleh panitia farmasi dan terapi dan harus dievaluasi
ulang minimal setiap 3 tahun sekali.
3. Buku peta kuman dan kepekaan terhadap berbagai antibiotika disusun setiap tahun untuk
memantau pergeseran pola resisten yang dapat mempengaruhi terapi antibiotika.
4. Standarisasi antibiotika di rumah sakit berlaku untuk semua dokter yang merawat di Rumah
Sakit Bombana.
5. Untuk setiap jenis antibiotika maksimal disediakan 5 sediaan paten, namun tetap dianjurkan
menggunakan sediaan generik sebagai alternatif pertama.
6. Tim PPIRS turut bertanggung jawab memberika masukan kepada panitia farmasi dan terapi
dalam hal pemantauan resitensi dan pemeriksaan pemetaan kuman di Rumah Sakit
Bombana.
Pengembangan Staf
A. PENGERTIAN
Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana RS membuat asuhan pasien lebih
aman. Hal ini termasuk assesmen risiko, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya resiko.
Sedangkan insiden keselaatan pasien adalah setiap kejadian atau situasi yang dapat
mengakibatakan atau berpotensi mengakibatkan harm ( penyakit, cidera, cacat, kematian
dan lain – lain ) yang tidak seharusnya terjadi.
B. TUJUAN
Tujuan sistem ini adalah mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Selain itu sitem keselamatan pasien ini mempunyai tujuan agar terciptanya budaya
keselamatan pasien di RS, meningkatnya akuntabilitas RS terhadap pasien dan
masyarakat, menurunnya kejadian tidak diharapkan di RS dan terlaksananya program –
program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
C. TATA LAKSANA KESELAMATAN PASIEN
Dalam melaksanakan keselamatan pasien terhadap tuju langkah menuju keselamatan
pasien RS., adapun tuju langkah tersebut adalah:
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. Menciptakan kepemimpinan
dan budaya yang terbuka dan adil.
2. Memimpin dan mendukung karyawan. Membangun komitmen dan fokus yang kuat dan
jelas tentang keselamatan pasien.
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolahan resiko. Mengembangkan sistem dan proses
pengelolahan resiko, serta melakukan identifikasi dan asesmen hal potensial
bermasalah.
4. Mengembangkan sistem pelaporan. Memastikan karyawan agar dengan mudah dapat
melaporkan kejadian atau insiden, serta RS mengatur pelaporan kepada KKP – RS (
komite keselamatan pasien rumah sakit ).
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Mengembangakan cara – cara
berkomunikasi yang terbuka dengan pasien.
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamtan pasien. Mendorong karyawan
agar untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa
kejadian itu timbul.
7. mencegah cedera melalui implementasi sitem keselamatan pasien. Menggunakan
informasi yang ada tentang kejadian atau malasah untuk melakukan perubahan pada
sitem pelayanan.
Dalam melaksanakan keselamtan pasien standar keselamatan pasien harus diterapkan,
standar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metode – metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program meningkatkan keselamtan pasien
5. Peran kepemimpinan dan meningkatakan keselamtan pasien
6. Mendidik karyawan tentang keselamtan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi karyawan untuk mencapai keselamatan pasien.
Langkah – langkah penerapan keselamatan pasien di rimah sakit:
1. Menetapkan unit kejra yang bertanggung jawab mengelolah program keselamatan
pasien RS.
2. Menyusun program keselamatan pasien RS jangka pendek satu sampai 2 tahun
3. Mensosialisasikan konsep dan program keselamatan pasien RS
4. Mengadakan pelatihan keselamatan pasien RS bagi jajaran manajemen dan karyawan
5. Menetapkan sitem pelaporan insiden ( peristiwa keselamatan pasien ).
6. Menetapkan tujuan langkah keselamatan pasien RS seperti tersebut diatas
7. Menerapkan standar keselamatan pasien RS ( seperti tersebut diatas ) dan melakukan
self asesmen dengan instrumen akreditasi pelayanan keselamatan pasien RS.
Program khusus keselamatan pasien Rumah Sakit
Mengevaluasi secara periodik pelaksanaan program keselamatan pasien RS dan
kejadian tidka tidak diharapkan.
D. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI DI RUMAH SAKIT DALAM UPAYA
KESELAMATAN PASIEN
Pencegahan dan pengendalian infeksi di RS terkait langsung dlam upaya keselamtan
pasien, karena salah satu sasaran keselamatan pasien adalah menurunkan resiko infeksi
terkait dengan pelayanan kesehatan ( sasaran keselamatan pasien yang kelima ).
Keberhasilan program dan pengendalian infeksi di RS., merupakan salah satu betuk
nyata pelayanan yang berfokus pada keselamatan pasien.
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
Undang – undang nomor 36 tahun 2009 pasal 164 ayat 1 menyatakan bahwa upaya
keselamatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerjaagar hidup sehat dan terbebas dari
gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Rumah sakit
adalah tempat kerja yang termasuk dalam kategori seperti disebut diatas, berarti wajib
menerapkan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Program keselamatan dan
kesehatan kerja di Tim pendidikan pasien dan keluarga bertujuan melindungi karyawan
dari kemungkinan terjadinya kecelakaan didalam dan diluar rumah sakit.
Dalam undang – undang dasar 1945 pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa “ setiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan“. Dalam
hal ini yang dimaksud pekerjaan adalah pekerjaan yang bersifat manusiawi, yang
memungkinkan pekerja berada dalam kondisi sehat dan selamat, bebas dari kecelakaan
dan penyakit akibat kerja sehingga dapat hidup layak sesuai dengan marrabat manusia.
Keselamatan dan kesehtan kerja atau (K3) merupakan bagian integral dari perlindungan
terhadap pekerja dan perlindungan terhadap RS. Pegawai adalah bagian dari integral dari
RS. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja akan meningkatkan produktifitas pegawai
dan meningkatkan produktifitas RS.
Undang – undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja dimaksudkan untuk
menjamin:
1. Agar pegawai dan setiap orang yang berada ditempat kerja selalu berada dalam
keadaan sehat dan selamat.
2. Agar fakto – faktor produksi dapat dipakai dan digunakan secara efisien.
3. Agar proses produksi dapat berjalan secara lancar tanpa hambatan.
Faktor –faktor yang meningkatkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat
digolongkan pada tiga kelompok, yaitu:
1. Kondisi dan lingkungan kerja .
2. Kesadaran dan kualitas pekerja
3. Peranan dan kualitas manajemen
Dalam kaitannya dengan kondisi dan lingkungan kerja, kecelakaan dan penyakit
akibat kerja dapat terjadi bila :
1. Peralatan tidak memenuhi standar kualitas atau bila sudah aus
2. Alat –alat produksi tidak disusun secara teratur menurut tahapan proses produksi
3. Ruangan kerja terlalu sempit, ventilasi udara kurang memadai, ruangan terlalu panas
atau terlalu dingin.
4. Tidak tersedia alat-alat pengaman
5. Kurang memperhatikan persyaratan penanggulangan bahaya kebakaran dan lain-lain.
Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah pemilihan aspek yang akan
ditingkatkan dengan menetapkan indikator, kriteria, serta standar yang akan digunakan
untuk mengukur mutu pelayanan.
DIREKTUR