Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane
Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi
surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Manifestasi
dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan
selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga
menghambat fungsi surfaktan. Surfaktan mulai diproduksi oleh janin pada usia
kehamilan 34 minggu, dan pada umur kehamilan 37 minggu jumlahnya
sudah cukup untuk pernafasan normal.

Salah satu penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi
prematur adalah Respiratory Distress Syndrome (RDS ). Respiratory distress
syndroma (RDS) didapatkan sekitar 5-10% pada bayi kurang bulan, 50%pada bayi
dengan berat 501-1500 gram. Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi
dan berat badan. Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi
pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu; 15-30% pada
bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi yang cukup bulan.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Respiratory Distress Syndrome
2. Untuk mengetahui faktor risiko Respiratory Distress Syndrome
3. Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi Respiratory Distress Syndrome
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis (gejala dan tanda) Respiratory Distress
Syndrome
5. Untuk mengetahui pemeriksaan Respiratory Distress Syndrome
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan Respiratory Distress Syndrome
7. Untuk mengetahui komplikasi Respiratory Distress Syndrome
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Respiratory distress syndrome (RDS) adalah istilah yang digunakan untuk
menunjukan disfungsi pernafasan pada neonatus. Respiratory distress syndrome
(RDS) menunjukan perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS adalah gangguan pernafasan yang
sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt),
retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-
96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai
dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting
darah melalui PDA. Gangguan ini biasanya dikenal dengan nama hyaline
membrane disease (HMD) atau penyakit membrane hialin, karena pada penyakit ini
selalu ditemukan membrane hialin yang melapisi alveoli (Tobing, 2004; Pramanik,
2015).

2.2 FAKTOR RISIKO


Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia
kehamilan 37 minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan
operasi caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi
terdahulu mengalami HMD. Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein
surfaktan, yang menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga
disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang
menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau
adanya infeksi kongenital kronik

2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan
terbentuknya trakea dari esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara yang
terminal termasuk epitel dan kapiler, serta diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak
saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga udara
masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi
pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32 – 34
minggu. (Serrano, Ryan, & Weaver, 2006 ; Pramanik, 2015)
Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu
tapi belum mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion antara 28-32
minggu. Level yang matur baru muncul setelah 35 minggu kehamilan. Surfaktan
mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi paru
dan mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah
edema paru serta berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi (Serrano, Ryan,
& Weaver, 2006 ; Pramanik, 2015).
Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine
(lecithin) – 80 %, phosphatidylglycerol – 7 %, phosphatidylethanolamine – 3 %,
apoprotein (surfactant protein A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya
usia kehamilan, bertambah pula produksi fosfolipid dan penyimpanannya pada sel
alveolar tipe II (Serrano, Ryan, & Weaver, 2006 ; Pramanik, 2015).
Surfaktan disintesa dari prekursor (1) di retikulum endoplasma (2) dan
dikirim ke aparatus Golgi (3) melalui badan multivesikular. Komponen-
komponennya tersusun dalam badan lamelar (4), yaitu penyimpanan intrasel
berbentuk granul sebelum surfaktan disekresikan. Setelah disekresikan
(eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-fosfolipid surfaktan disusun
menjadi struktur kompleks yang disebut mielin tubular (5). Mielin tubular
menciptakan fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi perbatasan cairan
dan udara (6) di alveolus, yang menurunkan tegangan permukaan. Kemudian
surfaktan dipecah, dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam
bentuk vesikel-vesikel kecil (7), melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom
(8) dan ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan lamelar (9) untuk didaur
ulang. Beberapa surfaktan juga dibawa oleh makrofag alveolar (10). Satu kali
transit dari fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya membutuhkan beberapa jam.
Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan digunakan kembali 10
kali sebelum didegradasi (Serrano, Ryan, & Weaver, 2006 ; Pramanik, 2015).
RDS terjadi karena kegagalan mengembangkan functional residual capacity
(FRC) dan kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis
berhubungan dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya
phosphatydilglycerol, phosphatydilinositol, phosphatydilserin,
phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin (Serrano, Ryan, & Weaver, 2006 ).
Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia,
hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan
stress dingin; menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru
juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan
respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan (Serrano, Ryan, &
Weaver, 2006 ; Pramanik, 2015).
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang
dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru
yang tidak efisien karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons.
Edema interstitial terjadi sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas
membran kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke rongga laveoli yang
kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat respirasi
belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah (Serrano,
Ryan, & Weaver, 2006 ; Pramanik, 2015).
Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit
respirasi yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan
atelektasis, menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh
ventilasi, yang menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance paru, tidal
volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis, bertambahnya usaha
bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia.
Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri
pulmonal dan meningkatkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus
arteriosus, dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik
pada sel yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi
materi protein ke rongga alveoli. Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan
ke kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus memperburuk hipoksemia
(Serrano, Ryan, & Weaver, 2006 ; Pramanik, 2015).
Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru
merupakan karakteristik HMD. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi
surfaktan, sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai
respon, bayi premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan
mencegah FRC semakin berkurang (Serrano, Ryan, & Weaver, 2006 ; Pramanik,
2015).

2.4 MANIFESTASI KLINIS


Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi
oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan,
semakin berat gejala klinis yang ditujukan. Manifestasi dari RDS disebabkan
adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan
kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi
surfaktan. Gejala klinikal yang timbul dalam 48-96 jam pertama setelah lahir yaitu
(Effendi & Firdaus, 2010):

 Takhipneu (>60 x/menit)  Apneu dan pernafasan tidak teratur


 Pernafasan dangkal  Penurunan suhu tubuh
 Sianosis  Retraksi suprasternal, substernal dan
 Pucat intercostal
 Pernafasan cuping hidung
Pada bayi extremely premature ( berat badan lahir sangat rendah) mungkin
dapat berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Gejala dapat memburuk secara bertahap
pada 24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan
membaik dalam 60-72 jam. Dan sembuh pada akhir minggu pertama (Effendi &
Firdaus, 2010).

Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe

0 1 2

Frekuensi nafas < 60x/menit 60-80 x/menit 80 x/menit

Retraksi Tidak ditemukan Ringan Berat

Sianosis Tidak ditemukan Sianosis hilang Sianosis menetap


dengan O2 meski dg O2

Air Entry Udara masuk Penurunan ringan Penurunan berat


Merintih Tidak ditemukan Terdengar dengan Terdengar tanpa alat
stetoskop bantu

Kriteria:

Skor < 4 Gangguan pernafasan ringan

Skor 4 – 5 gangguan pernafasan sedang

Skor > 6 gangguan pernafasan berat (pemeriksaan gas darah harus dilakukan)

(Pramanik, 2015)

2.5 PEMERIKSAAN
 Foto rontgen
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
a. Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara
b. Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer
menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
c. Stadium 3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru
terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat,
bronchogram udara lebih luas.
d. Stadium 4
Seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat
dilihat (Tobing, 2004).
 Analisa gas darah
analisis gas darah arteri dengan PaO2 kurang dari 50 mmHg dan PCO2 diatas
60 mmHg
 Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah
dan derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan
menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan struktural jantung.
 pemeriksaan darah, urine, dan glukosa darah (untuk mengetahui
hipoglikemia).
 Kalsium serum (untuk mementukan hipokalsemia)
 Tes Kematangan Paru
 Tes Biokimia (Lesithin - Sfingomyelin rasio)
Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah
fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan,
sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin
dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion. lesitin/spingomielin rasio
2:1 mengindikasikan bahwa paru sudah matur
 Tes Biofisika:
Test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat
dan menjaga agar gelembung tetap stabil . Bila didapatkan ring yang utuh
dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion : ethanol) merupakan
indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan normal, mempunyai nilai
prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya
neonatal RDS (Pramanik, 2015).

2.6 DIAGNOSIS BANDING

 Pneumonia neonatal
Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa
dibedakan dengan HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran
rontgen dada dapat identik dengan HMD, namun ditemukan coccus gram
positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus buffy coat. Tes urin untuk
antigen streptococcus positif, serta adanya netropenia.
 Transient Tachypnea of The Newborn
Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala klinisnya pendek dan
ringan. Hiperaerasi adalah ciri khas TTN (kebalikan dari RDS – hipoaerasi).
Densitas retikulogranular bilateral akan hilang bilang diberi ventilasi,
sementara pada RDS gambaran opak menetap minimal 3 – 4 hari.
 Sindroma aspirasi mekonium
Terlihat adanya air trapping, gambaran opak noduler kasar difus, serta area
emfisema fokal. Berbeda dengan gambaran opak granuler halus pada RDS.
Paru-paru biasanya hiperaerasi.
 Lain-lain
Penyakit jantung sianotik ( anomali total aliran balik vena pulmonal), sirkulasi
fetal yang persisten, sindroma aspirasi, pneumotorax spontan, efusi pleura,
eventrasi diafragma, dan kelainan kongenital seperti malformasi kistik
adenomatoid, limfangiektasi pulmonal, hernia diafragma, atau emfisema
lobaris harus dipertimbangkan, dan untuk membedakannya diperlukan
gambaran rontgen (Pramanik, 2015).

2.7 PENATALAKSANAAN
Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat
di paru-paru, asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah manifestasi
sekunder. tujuan terapi adalah untuk meminimalkan kelainan fisiologis dan masalah
iatrogenik yang memperberat.
Resusitasi di tempat melahirkan
Resusitasi adekuat di kamar bersalin untuk semua kelahiran prematur.
Mencegah perinatal asfiksia yang dapat mengganggu produksi surfaktan.
Surfaktan Eksogen
Instilasi surfaktan eksogen multidosis ke endotrakhea pada bayi BBLR yang
membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik untuk terapi penyelamatan RDS
sudah memperbaiki angka bertahan hidup dan menurunkan insidensi kebocoran
udara dari paru sebesar 40 %, tapi tidak menurunkan insidensi bronchopulmonary
dysplasia (BPD) secara konsisten. Efek yang segera muncul meliputi perbaikan
oksigenasi dan perbedaan oksigen alveoli – arteri dalam 48 – 72 jam pertama
kehidupan, menurunkan tidal volume ventilator, meningkatkan compliance paru,
dan memperbaiki gambaran rontgen dada. Pemberian surfaktan eksogen
menurunkan insidensi BPD, namun tidak berpengaruh terhadap insidensi PDA,
perdarahan intrakranial, dan necrotizing enterocolitis (NEC). Terdapat penigkatan
insiden perdarahan paru pada pemberian surfaktan sintetik sebesar 5 %.
Surfaktan dapat diberikan segera setelah bayi lahir (terapi profilaksis) atau
beberapa jam kemudian setelah diagnosa RDS ditegakkan (terapi penyelamatan).
Terapi profilaksis lebih efektif dibandingkan bila diberi beberapa jam kemudian.
Bayi yang mendapat surfaktan eksogen sebagai terapi profilaksis membutuhkan
oksigen dan ventilasi mekanik lebih sedikit disertai angka bertahan hidup yang
lebih baik. Bayi yang lahir kurang dari 32 minggu kehamilan harus diberi surfaktan
saat lahir bila ia memerlukan intubasi. Terapi biasa dimulai 24 jam pertama
kehidupan, melalui ETT tiap 12 jam untuk total 4 dosis. Pemberian 2 dosis atau
lebih memberikan hasil lebih baik dibanding dosis tunggal. Pantau radiologi, BGA,
dan pulse oxymetri.
Ada 4 surfaktan yang memiliki lisensi di UK untuk terapi. Yang berasal dari
binatang adalah Curosurf, diekstrak dari paru-paru babi, diberikan 1,25-2,5 ml/kg,
dan Survanta, ekstrak dari paru-paru sapi dengan penambahan 3 jenis lipid
(phosphatidylcholine, asam palmitat, dan trigliserid), diberikan 4 ml/kg. Kedua
surfaktan ini mengandung apoprotein SP-B dan SP-C dengan proporsi yang
berbeda dengan yang dimiliki manusia. Apoprotein SP-A dan SP-D tidak
ditemukan. Surfaktan sintetik tidak mengandung protein. Exosurf merupakan
gabungan phospholipid dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol dan
tyloxapol, diberikan 5 ml/kg. Hexadecanol, dan tyloxapol memperbaiki penyebaran
surfaktan di antara alveolus. ALEC (artificial lung expanding compound)
merupakan gabungan DPPC and phosphatidylglycerol dengan perbandingan 7:3,
diberikan 1,2 ml berapapun beratnya.

Gambaran 0,5 jam sesudah lahir : diffuse ground glass appearance akibat
atelektasis, disertai air bronkogram. Gambaran 3 jam sesudah lahir, setelah terapi
dengan surfaktan eksogen : perbaikan aerasi (Pramanik, 2015; Masmonteil, 2007).
Oksigenasi dan monitoring analisa gas darah
Oksigen lembab hangat diberikan untuk menjaga agar kadar O2 arteri antara 55 –
70 mmHg dengan tanda vital yang stabil untuk mempertahankan oksigenasi
jaringan yang normal, sementara meminimalkan resiko intoksikasi oksigen. Bila
oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg saat inspirasi oksigen
dengan konsentrasi 70%, merupakan indikasi menggunakan continuous positive
airway pressure (CPAP).
Monitor frekuensi jantung dan nafas, PO2, PCO2, pH arteri, bikarbonat, elektrolit,
gula darah, hematokrit, tekanan darah dan suhu tubuh, kadang diperlukan
kateterisasi arteri umbilikalis. PaO2 harus dijaga antara 50 – 80 mmHg, dan Sa O2
antara 90 – 94 %. Hiperoksia berkepanjangan harus dihindarkan karena merupakan
faktor resiko retinopathy of prematurity (ROP) (Effendi & Firdaus, 2010).
Fluid and Nutrition
Kalori dan cairan diberikan secara intravena. Dalam 24 jam pertama berikan
infus glukosa 10% dan cairan melalui vena perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam.
Kemudian tambahkan elektrolit, volume cairan ditingkatkan bertahap sampai 120-
150 ml/kg/24 jam. Cairan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya Patent
Ductus Arteriosus (PDA). Pemberian nutrisi oral dapat dimulai segera setelah bayi
secara klinis stabil dan distres nafas mereda. ASI adalah pilihan terbaik untuk
nutrisi enteral yang minimal, serta dapt menurunkan insidensi NEC (Effendi &
Firdaus, 2010).
Ventilasi Mekanik
Continuous Positive Airway Pressure (CPAP
CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional residual
capacity (FRC) melalui perbaikan alveoli yang kolaps, menstabilkan rongga udara,
mencegahnya kolaps selama ekspirasi. CPAP diindikasikan untuk bayi dengan
RDS PaO2 < 50%. Pemakaian secara nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak
cukup untuk bayi kecil, harus diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak
dapat dipertahankan.
CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs. Hal ini
menyebabkan tekanan oksigen arteri meningkat dengan cepat. Meski penyebabnya
belum hilang, jumlah tekanan yang dibutuhkan biasanya berkurang sekitar usia 72
jam, dan penggunaan CPAP pada bayi dapat dikurangi secara bertahap segera
sesudahnya. Bila dengan CPAP tekanan oksigen arteri tak dapat dipertahankan di
atas 50 mmHg (sudah menghirup oksigen 100 %), diperlukan ventilasi buatan
(Eichenwald, 2008).
Ventilasi Mekanik
Bayi dengan HMD berat atau disertai komplikasi, yang berakibat timbulnya
apnea persisten membutuhkan ventilasi mekanik buatan. Indikasi penggunaannya
antara lain :
1 Analisa gas darah menunjukan hasil buruk
· pCO2 arteri > 60 mmHg
· pO2 arteri < 50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 – 100 %
2 Kolaps cardiorespirasi
3 apnea persisten dan bradikardi
Tujuan ventilasi mekanik adalah memperbaiki oksigenasi dan eliminasi
karbondioksida tanpa menimbulkan barotrauma paru yang berat atau intoksikasi
O2. Untuk menyeimbangkan resiko hipoksia dan asidosis terhadap ventilasi
mekanik, harus didapatkan cakupan nilai gas darah yaitu PaO2 55 – 70 mmHg,
PCO2 35 – 55 mmHg, dan pH 7,25 – 7,45 (Eichenwald, 2008).
Keseimbangan asam basa
Asidosis respiratoar mungkin membutuhkan ventilasi buatan jangka pendek
atau jangka panjang. Pada asidosis respiratoar yang berat dengan disertai hipoksia,
terapi dengan sodium karbonat dapat menimbulkan hiperkarbia. Asidosis metabolik
harus dicegah karena dapat menggangu produksi surfaktan, meningkatkan
resistensi pembuluh darah paru, dan memberi pengaruh buruk pada sistem
cardiovaskular. Meski demikian infus cepat sodium bikarbonat harus dihindari
karena meningkatkan insidensi perdarahan intraventrikula (Pramanik, 2015).
Asidosis metabolik pada HMD bisa merupakan hasil asfiksia perinatal,
sepsis, perdarahan intraventrikular dan hipotensi (kegagalan sirkulasi), dan
biasanya muncul saat bayi telah membutuhkan resusitasi. Sodium bicarbonat 1 – 2
mEq/kg dapat diberikan untuk terapi selama 10 – 15 menit melalui vena perifer,
dengan pengulangan kadar asam – basa dalam 30 menit atau dapat pula diberikan
selama beberapa jam (Pramanik, 2015).
Tekanan darah dan Cairan
Monitor tekanan darah aorta melalui kateter vena umbilikalis atau
oscillometric dapat berguna dalam menangani keadaan yang menyerupai syok yang
dapat muncul selama 1 jam atau lebih setelah kelahiran prematur dari bayi yang
telah mengalami asfiksia atau mengalami distres nafas (Pramanik, 2015).
Pemberian cairan berlebih harus dihindari, masukan cairan biasa dimulai
dengan 60 – 80 ml/kg/hari kemudian ditingkatkan secara bertahap. Asupan cairan
lebih tinggi diperlukan untuk bayi dengnan berat lahir sangat rendah dengan
insensible water loss tinggi. Asupan cairan harus selalu dikoreksi bila terdapat
perubahan pada berat badan, output urin, dan kadar elektrolir serum (Pramanik,
2015).
Antibiotik
Karena sulit untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi streptokokus grup
B atau infeksi lain dari HMD, diindikasikan untuk memberikan antibakteri sampai
hasil kultur darah selesai. Penisilin atau ampisilin dengan kanamisin atau
gentamisin dapat diberikan, tergantung pola sensitivitas bakteri di rumah sakit
tempat perawatan. Hal –hal yang diasosiasikan dengan peningkatan insidensi
infeksi pada bayi prematur antara lain ketuban pecah untuk waktu yang lama, ibu
demam selama persalinan, fetus mengalami takikardi, leukositosis / leukopeni,
hipotensi dan asidosis.
Nitrit Oxide
Pada kasus HMD berat dapat diberikan nitrit oxide per inhalasi (iNO). Nitrit
oxide dapat memperbaiki oksigenasi dengan cepat namun tidak memperbaiki hasil
akhir pada bayi dengan HMD. iNO merupakan vasodilator pulmonal yang poten
dan selektif (ekivalen dengan faktor relaksasi dari endotel). Dosis inisial 6 -20 ppm
dapat memperbaiki oksigenasi dan menurunkan kebutuhan akan ECMO. Meski
pemberian 40-80 ppm dikatakan aman, namun pemberian jangka panjang dapat
memberikan efek samping.
Extracorporeal Membrane Oxygenation
Merupakan alat yang menghubungkan langsung darah vena pada alat
paru-paru buatan (membrane oxygenator), dimana oksigen ditambahkan dan CO2
dikeluarkan, kemudian darah dipompa balik pada atrium kanan pasien
(Venovenosis ECMO) atau aorta (venoarterial) (Khambekar, Nichani, & Luyt,
2016).

2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
1. Ruptur alveoli
Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum,
pneumopericardium, emfisema intersisiel Pulmonary intertistitial dysplasia ), pada
bayi dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea,
atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2. Infeksi sekunder
Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul
karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat
respirasi.
3. Perdarahan intraventrikuler dan periventricular leukomalacia
4. Patent ductus arterious (PDA)
PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi
bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya
5. Pulmonary hemorrhage
6. Necrotizing enterocolitis (NEC) atau gastrointestinal (GI) perforation
7. Apnea of prematurity (Pramanik, 2015)
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi
dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume
dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik,
adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat
dengan menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy prematur
3. Gangguan neurologi (Pramanik, 2015)
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan
dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi

2.9 PROGNOSIS
Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir beresiko
tinggi dengan segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat HMD dan
penyakit neonatus akut lainnya. Hasil yang baik bergantung pada kemampuan dan
pengalaman personel yang menangani, unit rumah sakit yang dibentuk khusus,
peralatan yang memadai, dan kurangnya kmplikasi seperti asfiksia fetus atau bayi
yang berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital. Terapi surfaktan
telah mengurangi mortalitas 40 % (Effendi & Firdaus, 2010).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Respiratory Distress Syndrome (penyakit membran hialin) merupakan
penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Hal ini
disebabkan adanya defisiensi surfaktan yang menjaga agar kantong alveoli
tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan
masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan
bayi akan mengalami sesak napas. Pemberian surfaktan merupakan salah satu
terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS.
3.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari referat ini, baik dari segi
diskusi, penulisan dan sebagainya, untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran
dari dosen-dosen yang mengajar, dari rekan-rekan sesama dokter muda dan dari
berbagai pihak demi kesempurnaan referat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Tobing, R. (2004). Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas . Sari Pediatri, Vol.
6, No. 1, Juni 2004.

Pramanik, A. K. (2015). Respiratory Distress Syndrome. Retrieved from


http://emedicine.medscape.com/article/976034-overview

Serrano, A., Ryan, M., & Weaver, T. (2006 ). Serrano AG, Ryan M, Weaver TE, et al.
Critical structure-function determinants within the N-terminal region of
pulmonary surfactant protein SP-B. Biophys J, 90(1):238-49. [Medline].

Effendi, S. H., & Firdaus, A. (2010). IAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KEGAGALAN


NAFAS PADA NEONATUS. BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN.

Masmonteil, T. (2007). Expanded use of surfactant therapy in newborns. Clin


Perinatolology, 34:179-89.

Eichenwald, E. (2008). Mechanical ventilation. Edisi 6. Philadelphia: Lippincott Williams


& Wilkins, h. 331-42.

Khambekar, K., Nichani, S., & Luyt, D. (2016). Developmental outcome in newborn
infants treated for acute respiratory failure with extracorporeal membrane
oxygenation: present. Arch Dis Child Fetal Neonatal, 91:21-5.

Anda mungkin juga menyukai