Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
Sistem endokrin meliputi sistem dan alat yang mengeluarkan hormone.
Yang termasuk kelenjar endokrin adalah hipotalamus, kelenjar hipofisis anterior
dan posterior, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, pulau langerhans pancreas,
korteks dan medula anak ginjal, ovarium, testis, dan sel endokrin dijalan cerna
yang disebut sel amine precursor uptake and dearboxylation (sel APUD).1
Bedah endokrin membahas pemeriksaan dan pengendalian keadaan bedah
pada kelenjar endokrin. Penyakit kelenjar endokrin mempunyai bentuk yang
terbatas. Kelenjar endokrin dapat menghasilkan hormon secara berlebihan
misalnya penyakit graves, yaitu hiperfungsi kelenjar tiroid, atau menghasilkan
terlalu sedikit hormon, misalnya pada miksudem akibat hipofungsi kelenjar
tersebut. Kelenjar endokrin dapat juga menjadi besar atau menjadi kecil. Keadaan
tersebut dapat juga terjadi bersama-sama.1
Berbagai kelainan patologi, khususnya keganasan, dapat terjadi pada satu
atau beberapa keadaan diatas. Badah endokrin mempunyai cirri khusus, yaitu
sebagai kelainannya merupakan gangguan fungsi kelenjar tanpa kelainan anatomi,
sehingga gejala yang menonjol hanya dapat dinyatakan secara umum.2
Kelainan grandula thyroidea dapat berupa gangguan fungsi seperti
tirotoksikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit
tiroid nodular. Berdasarkan patologinya, pembesaran tiroid umumnya disebut
struma.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kelenjar Tiroid
2.1 Embriologi Kelenjar Tiroid
Pada masa embrional minggu ke-4, kelenjar tiroid mulai terbentuk dari
penebalan entodermal (divertikulum tiroid) pada dasar primitif faring, dan
terhubung dengan foramen sekum oleh duktus triglosus. Kemudian pada
masa embrional minggu ke-7, kelenjar tiroid sudah turun, dan posisi
terakhirnya berada di ventral trakea, setingkat vetebra servikal C5, C6, dan
C7 serta vetebra torakal T1, sedangkan duktus triglosus rudimenter kadang
masih tersisa, yang kemudian bisa kita jumpai sebagai lobus piramidalis,
yang terletak di itshmus menuju hioid (50%). Kelenjar tiroid janin secara
fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin,
pada minggu ini, folikel tiroid pertama mulai terisi koloid.3
2.2 Antomi Kelenjar Tiroid

2
Gambar 2.1 Anatomi kelenjar tiroid

Kelenjar tiroid terletak di anterior trakhea dan di inferior kartilago


tiroid. Di dalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus. Kelenjar tiroid
melekat pada trakhea dan melingkari trakhea dua pertiga bahkan sampai tiga
perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umumnya terletak pada
permukaan belakang kelenjar tiroid. 1
Kelenjar tiroid pada dewasa memiliki berat antara 25-30 gram dan
dilapisi oleh suatu kapsula jaringan ikat. Kelenjar tiroid memiliki bentuk
khusus menyerupai kupu-kupu atau “butterfly” shape, karena terdiri atas dua
lobus (kiri dan kanan), yang dihubungkan di bagian anteriornya oleh suatu
ismus. Kedua lobus dari kelenjar tiroid berwarna kemerahan, karena kaya
akan vaskularisasi. Pembuluh darah vena pada kelenjar tiroid, juga berperan
untuk mengangkut hormon tiroid masuk ke sirkulasi.4
Kelenjar tiroid kaya vaskularisasi yang berasal dari empat sumber,
arteri karotis superior kanan dan kiri yang merupakan cabang arteri karotis
eksterna kanan dan kiri, kedua arteri tiroidea inferior kanan dan kiri dan

3
cabang arteri brakhialis. Adapun sistem venanya terdiri atas vena tiroidea
superior yang berjalan bersama arterinya, vena tiroidea media yang berada di
lateral dan berdekatan dengan arteri tiroidea inferior, dan vena tiroidea
inferior. Terdapat dua saraf yang mensarafi laring dan pita suara (plica
vocalis), yaitu nervus rekurens (cabang N. Vagus) dan cabang nervus
laringeus superior.1
2.3 Histologi Kelenjar Tiroid
Pada tingkat histologis, kelenjar tiroid terdiri dari beberapa struktur yang
disebut folikel. Dinding dari masing-masing folikel dibentuk oleh epitel
kuboid selapis atau dikenal juga dengan sel folikuler. Sel folikuler ini
mengelilingi suatu lumen sentral yang berisi cairan koloid kaya protein. Di
ruang intersisium diantara folikel terselip sel parafolikuler atau sel C yang
menghasilkan hormon kalsitonin, yang berperan dalam metabolisme kalsium
dan tidak berhubungan dengan hormon tiroid.4,5

Gambar 2.2 Histologi kelenjar tiroid

4
2.4 Fisiologi Kelenjar Tiroid
Sel folikuler adalah instrumen yang memproduksi hormon tiroid.
Hormon tiroid terdiri dari tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) dan triiodotironin
(T3). Bahan dasar untuk membentuk hormon tirid adalah tirosin dan iodium.
Tirosin adalah suatu asam amino yang dibentuk dalam jumlah memadai oleh
tubuh, sehingga bukan suatu zat esensial dalam makanan. Sebaliknya, iodium
harus diperoleh dari makanan. Hampir semua iodium di tubuh disimpan di
tiroid untuk membentuk hormon tiroid.5
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4).
Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar
berasal dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung
dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna
merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi
menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang
terdapat dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin
(DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang
disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid. 6
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap
didalam kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya
menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin,
globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin
pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA).1
Sekresi hormone tiroid dikendalikan oleh kadar hormone TSH yang
dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis dan terhadap sekresi hormone
pelepasan tirotropin (TRH) dari hipotalamus. Hormon tiroid mempunyai
pengaruh yang bermacam-macam terhadap jaringan tubuh yuang berhubungan
dengan metabolisme sel. Kelenjar tiroid juga mengeluarkan kalsitonin yang
menurunkan kadar kalsium serum.7

5
Pengaturan faal tiroid :
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :7
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hipothalamus. Merangsang hipofisis
mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar
tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam
sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-
TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis.
Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada
tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis
terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid

Efek metabolisme Hormon Tyroid : 6

1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot
menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga
pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada
hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.

6
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare,
gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.

Regulasi dari sekresi hormon tiroid diatur oleh sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid


:
1. Adanya suatu stimulus (seperti temperatur tubuh yang rendah, atau
penurunan kadar hormon tiroid dalam darah) menstimulasi sinyal ke
hipotalamus untuk memproduksi thyrotropin-releasing hormon (TRH).
2. TRH berjalan pada sistem portal hipotalamo-hipofiseal untuk
menstimulasi sel tirotropik di hipofisis anterior, sehingga
menyebabkan sintesis dan pelepasan thyroid-stimulatng hormon
(TSH).
3. Peningkatan kadar TSH menstimulasi sel folikuler dari kelenjar tiroid
untuk melepas hormon tiroid kedalam aliran darah.
4. Hormon tiroid menstimulasi sel target (banyak sel target di tubuh), jadi
metabolisme selular di sel tersebut meningkat. Sebagai hasil dari
stimuasinya, temperatur basal tubuh juga meningkat.
5. Produksi panas sebagai produk dari meningkatnya metabolisme yang
menaikkan temperatur tubuh, dapat menghambat pelepasan TRH oleh
hipotalamus. Selain itu hormon tiroid juga memblok reseptor TRH di
hipofisis anterior, sehingga hubungan hipotalamus-hipofisis anterior
teragnggu, dan hipofisis anterior berhenti memproduksi TSH, dan
kelenjar tiroid berhenti memproduksi hormon tiroid.1

7
Gambar 2.3 Regulasi dari sekresi hormone tiroid

B. STRUMA
2.5 Definisi Struma
Struma atau gondok atau goiter adalah pembesaran dari kelenjar tiroid.1
Kelenjar tiroid normal memiliki ukuran sebesar dua buah ibu jari tangan yang
didekatkan berdampingan membentuk huruf V.8 Pada penderita struma,
fungsi kelenjar tiroid bisa normal, mengalami overaktifitas, atau
underaktifitas.9

8
2.6 Epidemiologi Struma
Survey epidemiologi untuk gondok endemik sering ditemukan di daerah
pegunungan seperti pengunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan, dan
sebagainya dan juga terlihat di dataran rendah seperti Finlandia, Belanda, dan
sebagainya. Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada
wanita dibanding pria. Di Inggris, prevalensi Hypertiroidisme pada praktek
umum adalah 25 – 35 kasus dalam 10.000 wanita, sedang di rumah sakit
didapatkan 3 kasus dalam 10.000 pasien. Pada wanita ditemukan 20 – 27
kasus dalam 1.000 wanita, sedangkan pria 1 – 5 per 1.000 pria. Data dari
Whickham Survey pada pemeriksaan penyaring kesehatan dengan
menggunakan Free Thyroxine Index (FT4) menunjukkan prevalensi
Hipertiroidisme pada masyarakat sebanyak 2%. 2
2.7 Klasifikasi Struma
Secara morfologis, struma atau pembesaran kelenjar tiroid dapat
bersifat diffus yang berarti pembesaran terjadi secara merata pada seluruh
kelenjar tiroid (Struma Diffusa), atau nodosa yang berarti pembesaran kelenjar
tiroid yang diakibatkan karena terdapatnya nodul di dalam kelenjar tiroid
(Struma Nodusa). Struma nodosa dapat dibagi lagi menjadi uninodosa / soliter
bila hanya terdapat satu nodul, dan multinodular bila terdapat lebih dari satu
nodul pada kelenjar tiroid.1,9
Secara fisologis, struma dapat dibedakan menjadi :9
a. Struma Toksik, apabila pembesaran kelenjar tiroid disertai dengan
peningkatan sekresi hormon tiroid.
b. Struma Non Toksik, apabila pada pembesaran kelenjar tiroid produksi
hormon tiroid tetap dalam batas normal.
Menurut American society for Study of Goiter membagi : 9
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Struma Toxic Nodusa
4. Stuma Toxic Diffusa

9
2.7.1 STRUMA TOKSIK
2.7.1.1 STRUMA DIFUSA TOKSIK (GRAVE’S DISEASE)
2.7.1.1.1 Definisi
Grave’s disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave’s
terjadi akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang
merangsangsang aktivitas tiroid itu sendiri.1
2.7.1.1.2 Etiologi
Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti, tampaknya
terdapat peran dari suatu antibodi pada reseptor TSH yaitu TSH-R Ab (Thyroid
Stimulating Hormon-Receptor Antibodi) di kelenjar tiroid, yang menstimulasi
peningkatkan produksi hormon tiroid.1
2.7.1.1.3 Patofisiologi
Grave’s disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan
system imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai
Thyroid Stimulating Hormon-Receptor Antibodies (TSH-R Ab). Zat ini
menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara berlebiham,
sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya dan mengakibatkan kadar
hormone tiroid dalam tubuh menjadi meningkat.1

Gambar 2.4.Skema patogenesis penyakit Grave

10
2.7.1.1.4 Gambaran klinis
Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal. Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri- ciri tiroidal berupa goiter
akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid
yang berlebihan.7
Gejala klinis yang sering ditemukan pada grave’s disase adalah pembesaran
kelenjar tiroid, dan terkadang manifestasi pada mata berupa exophthalmus. Gejala
hipertiroid seperti keringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi
terhadap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan
menstruasi berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang air besar ) juga
bisa ditemukan. Penyakit grave’s ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi
yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.1
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat
jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan
seringkali asupan ( intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi
penurunan berat badan secara drastis.1
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk
peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/
cardiac output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat.
Irama nadi meningkat dan tekanan denyut bertambah; penderita akan mengalami
takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom
dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium,
dan fibrilasi ventrikel.1
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering
timbul polidefekasi dan diare. 1
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita
sulit tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan
emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang
sangat menggangu.1

11
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea
yang tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian
proksimal, biasanya cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal
ini disebabkan oleh gangguan elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroid
tersebut.1
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap
reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat
dan jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar
dan otot mata terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan
kerusakan bola mata akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan
strabismus.1

2.7.1.1.5 Diagnosis
Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi
pemeriksaan laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-
kasus subklinis dan pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang
cermat untuk membantu menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada
wanita hamil agak sulit karena perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran
tiroid serta manifestasi hipermetabolik, sama seperti tirotoksikosis. Menurut

12
Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid Stimulating
Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas subnormal dan Free T4 (FT4)
meningkat.2

2.7.1.1.6 Tatalaksana
Terapi penyakit graves ditujukan pada pengendalian keadaan
tirotoksikosis/ hipertiroidisme dengan antitiroid, seperti propiltiourasil (PTU)
atau karbimazol. Terapi definitive dapat dipilih antara pengobatan antitiroid
jangka – panjang, ablasio dengan yodium radioaktif, atau tiroidektomi.
Pembedahan terhadap tiroid pada keadaan hipertiroidisme dilakukan terutama jika
terapi medikamentosa gagal dan ukuran tiroid besar. Pembedahan yang baik
biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai
adanya hipotiroidisme dan komplikasi yang minimal.

Tabel 2.1 Pembedahan Tiroid


Jenis Contoh indikasi
Biopsi insisi Struma difus pradiagnosis
Biopsi eksisi Tumor (nodul) terbatas pradiagnosis
Tiroidektomi Hipertiroid (graves)
Subtotal Struma nodusa benigna
Hemitiroidektomi Kelainan unilateral ( adenoma)
Tiroidektomi total Keganasan terbatas tanpa kelainan kelenjar limfe
Tiroidektomi radikal Keganasan tiroid dengan kemungkinan metastasis ke
kelenjar limfe regional

13
2.7.1.2 STRUMA NODUSA TOKSIK
2.7.1.2.1 Definisi
Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer’s disease. Paling sering
ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik. 2

2.7.1.2.2 Etiologi
Penyebab pasti dari Plummer’s disease belum diketahui. Namun dikatakan
Plummer’s disease dapat berasal dari simple goiter atau struma non toksik yang
sudah ada sebelumnya tanpa gejala hipertiroid. 11

2.7.1.2.3 Manifestasi klinis


Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten
terhadap terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti
penurunan berat badan, lemah, dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter
multi nodular pada pasien-pasien tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid
difus pada pasien penyakit Graves. Penderita goiter nodular toksik mungkin
memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan
mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian,
tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat seperti yang terlihat pada
penyakit Graves. Gejala disfagia dan sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa
goiter terletak di retrosternal.7

2.7.1.2.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung
oleh tingkat TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat.
Antibodi antitiroid biasanya tidak ditemukan. 12

14
2.7.2 STRUMA NON TOKSIK
2.7.2.1 Definisi
Struma non toksik adalah pembesaran pada kelenjar tiroid tanpa disertai
dengan gangguan fungsional. Struma non toksik dapat bersifat diffus yang berarti
pembesaran terjadi secara merata pada seluruh kelenjar tiroid, atau nodosa yang
berarti pembesaran kelenjar tiroid yang diakibatkan karena terdapatnya nodul di
dalam kelenjar tiroid. Struma nodosa dapat dibagi lagi menjadi uninodosa / soliter
bila hanya terdapat satu nodul, dan multinodular bila terdapat lebih dari satu nodul
pada kelenjar tiroid.1
2.7.2.2 Etiologi
Struma non toksik biasanya merupakan dampak dari defisiensi yodium pada
seseorang. Struma jenis ini terutama ditemukan didaerah pegunungan yang airnya
kurang mengandung yodium. 1
2.7.2.3 Manifestasi Klinis
Biasanya penderita struma non toksik tidak mempunyai keluhan karena tidak
mengalami gangguan fungsi kelenjar tiroid. Pertumbuhan struma terjadi secara
perlahan, sehingga struma dapat membesar tanpa memberikan gejala. Keluhan
utama pasien pada penyakit ini adalah karena alasan kosmetik sehubungan dengan
benjolan di leher penderita.
Pada struma nodosa, nodul dapat tunggal, tetapi kebanyakan berkembang
menjadi multinoduler. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia
lanjut.
Secara umum, walaupun ukuran benjolan di leher penderita besar, struma
nodosa benigna tidak menyebabkan gangguan. Keluhan yang sering timbul adalah
rasa berat di leher, adanya benjolan yang bergerak naik turun waktu menelan, dan
alasan kosmetik. Penderita biasanya tenang, tidak sakit dan tidak sesak napas.
Sebagian besar struma nodosa tumbuh ke arah lateral dan anterior, sehingga
tidak mengganggu pernafasan. Namun, pembesaran bilateral dapat menyebabkan
penyempitan pada trakhea. Penyempitan yang hebat dapat menyebabkan

15
gangguan pernafasan dengan gejala stridor inspiratoar. Struma nodosa unilateral
dapat menyebabkan pendorongan trakhea ke arah kontralateral tanpa
menimbulkan gangguan obstruksi pernafasan.
Struma dapat meluas sampai ke mediastinum anterior superior, terutama pada
bentuk nodulus yang disebut struma retrosternum. Umumnya struma retrosternum
ini tidak turun naik pada gerakan menelan karena apertura toraks terlalu sempit.
Seringkali struma ini berlangsung lama dan asimptomatik, sampai terjadi
penekanan pada organ atau struktur disekitarnya. Penekanan ini akan memberikan
tanda dan gejala penekanan esofagus atau trakhea. Diagnosis ditentukan dengan
pemeriksaan foto rontgent polos toraks. 1
2.8 Langkah-Langkah Penegakan Diagnosis Struma
a. Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa
benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala
hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di
leher, maka harus digali lebih jauh dibagian mana leher tepatnya benjolan itu
berada, berapa jumlah benjolannya, apakah benjolan yang terasa bagi pasien
keras atau lunak, apakah benjolan terasa nyeri atau tidak, apakah benjolan ikut
bergerak pada saat pasien menelan atau menjulurkan lidah, apakah
pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan
menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan
ada tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Yang
termasuk gejala hipertiroid seperti : keringat berlebihan, tremor pada tangan,
menurunnya toleransi terhadap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan
emosi, gangguan menstruasi berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering
buang air besar ). Sedangkan yang termasuk gejala hipotiroid seperti :
peningkatan berat badan, tidak tahan dingin, perasaan depresi, kulit kering dan
sebagainya. Perlu juga ditanyakan bagaimana pola diet pasien sehari-hari,
apakah pasien sering mengkonsumsi bahan-bahan yang dapat menghambat
produksi hormon tiroid, tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk
mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik. Pada pasien

16
dengan grave’s disease perlu juga ditnyakan apakah ada keluhan pada mata
pasien.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis yang paling pertama dilakukan
adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-tanda
gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut
benar adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada
saat pasien diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan
akan ikut bergerak saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus
dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher. Pembesaran
yang teraba harus dideskripsikan :
- Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
- Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
- Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
- Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
- Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
- Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoidea
- Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak
1. Status Generalis :
 Keadaan umum pasien : Agitasi, anxietas
 Pemeriksaan tangan pasien : tremor, kulit kering atau telapak tangan
eritema
 Denyut nadi : frekuensi, ritme
 Wajah : berkeringat, kulit kering
 Mata : retraksi kelopak mata, eksophthalmus, lid lag
2. Status lokalis leher
a. Inspeksi
 Perubahan pada kulit : eritema
 Scars : pernah tiroidektomi

17
 Massa : struma, limponodi
- Minta pasien menelan : lihat pergerakan massa di leher
- Minta pasien menjulurkan lidah : lihat pergerakan massa di
leher
b. Palpasi
 Raba isthmus kelenjar tiroid tepat dibawah kartilago krikoid dan
palpasi isthmus serta masing-masing lobus di kiri dan kanan
isthmus
 Sambil di palpasi minta pasien menjulurkan lidah dan rasakan
apakah ada pergerakan dari massa
 Sambil di palpasi, minta pasien untuk menelan dan nilai
pergerakan massa, nilai juga kesimetrisan lobus kiri dengan
kanan
 Palpasi juga limfoodus lokal untuk melihat limpodenopati
 Lihat juga deviasi trakhea

Klasifikasi struma berdasarkan palpasi dan imaging


 Stage 0 : tidak ada temuan struma ( non palpable dan invisible)
 Stage 1 : leher membesar sebagai akibat pembesaran kelenjar
tiroid, teraba, tapi tidak terlihat pada leher jika dalam posisi
normal. Massa bergerak pada saat menelan. Termasuk juga
struma nodular apabila pembesaran tiroid tidak terlihat.
 Stage 2 : leher membesar, terlihat pada saat leher dalam posisi
normal dan massa teraba.
c. Pemeriksaan Penunjang11
1. Pemeriksaan laboratorium.
Dua buah pemeriksaan laboratorium yang paling umum digunakan untuk
mengevaluasi fungsi dari kelenjar tiroid adalah kadar T4 bebas dan kadar Thyroid
stimulating Hormon (TSH). Karena lebih dari 99% hormon tiroid yang dilepaskan
terikat pada protein di dalam darah, dan dipercaya bahwa mengukur kadar hormon
tiroid bebas lebih akurat untuk menentukan kadar hormon tiroid yang sebenarnya.

18
Pemeriksaan untuk mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering
menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau
plasma darah.
 Pemeriksaan TSH : TSH atau thyrotropin diproduksi oleh kelenjer
hipofisis anterior dan berfungsi untuk mengontrol produksi hormon tiroid.
Apabila kadar TSH rendah dalam darah maka hal tersebut
mengindikasikan keadaan hipertiroidisme pada pasien. Dan sebaliknya.
 Pemeriksaan T4 bebas : lebih dari 99% t4 yang dilepaskan dalam darah
berikatan dengan protein. Apabila kadar T4 bebas dalam darah meningkat
hal tersebut menunjukka keadaan hipertiroidisme, dan sebaliknya.
 Pemeriksaan T3 bebas : Pemeriksaan kadar T3 tidak selalu dilakukan.
Pemeriksaan kadar T3 bebas dilakukan apabila pada gejala klinis pasien
menunjukkan gejala hipertiroid namun hasil pemeriksaan kadar T4
normal.
2. Pemeriksaan kadar antibodi
Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada
serum penderita dengan penyakit tiroid autoimun.
3. Pemeriksaan radiologis
 Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau pembesaran
struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga.
Foto rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya menjadi pilihan.
 USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul, membedakan
antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya jaringan kanker yang
tidak menangkap iodium dan bisa dilihat dengan scanning tiroid.
 Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I 121 yang
didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran, bentuk
lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid (distribusi dalam
kelenjar). Uptake normal 15-40% dalam 24 jam. Dari hasil scanning tiroid
dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu cold nodule bila uptake nihil atau kurang
dari normal dibandingkan dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan

19
fungsi yang rendah dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua
adalah warm nodule bila uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan
fungsi yang nodul sama dengan bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot
nodule bila uptake lebih dari normal, berarti aktifitasnya berlebih dan jarang
pada neoplasma.
 FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat
agar jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil
FNAB saja.
2.9 Penatalaksanaan
Pada grave’s disease:
Tujuan pengobatan adalah untuk menghilangkan gejala dan
mencapai keadaan eutiroid, dengan cara membatasi produksi hormon
tiroid yang berlebihan dengan menekan produksi (obat antitiroid) atau
merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
1. Obat antitiroid
Dapat menekan produksi hormon tiroid. Obat antitiroid yang sering
digunakan adalah metimazol dan propiltourasil.
Berikut perbandingan kedua obat antitiroid :
Tabel 2.2 Treatment for graves’ disease

20
Penggunaan obat untuk waktu lama terbatas karena efek samping toksik,
seperti ruam kulit, disfungsi hati, neuritis, artralgia, mialgia, limfadenopati. 13
Indikasi :
a. terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang
menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan
tirotoksikosis.
b. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau
sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
c. Persiapan tiroidektomi
d. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
e. Pasien dengan krisis tiroid

2. Pengobatan dengan yodium radioaktif


Prinsip kerja pengobatan ini adalah dengan merusak sel kelenjar tiroid
sehingga produksi hormon tiroid berkurang. Pengobatan ini harus di
monitoring setiap 1-2 bulan selama 6 bulan, agak tidak terjadi hipotiroid dan
keadaan tetap eutiroid.
Indikasi :
a. pasien umur 35 tahun atau lebih
b. hipertiroidisme yang kambuh sesudah pemberian dioperasi
c. gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
d. adenoma toksik, goiter multinodular toksik
3. Operasi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme.
Penanganan bedah hipertiroidisme ditinjau untuk mengangkat jaringan tiroid
secukupnya guna mempertahankan penderita dalam status eutiroid. Resiko
pembedahan minimal, tetapi meliputi cedera nervus laringeus rekuren,
hipoparatiroidisme, hipatiroidisme permanen. 5

21
Indikasi :
a. pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap
obat antitiroid.
b. pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid dosis
besar
c. alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium
radioaktif
d. adenoma toksik atau struma multinodular toksik
e. pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

Pada struma akibat defisiensi yodium :


Struma akibat intake yodium yang kurang dapat dicegah dengan subtitusi
yodium. Pada awalnya pertumbuhan struma multinodosa dapat dihambat dengan
pemberian hormon tiroksin. Struma nodosa yang berlangsung lama biasanya tidak
dapat lagi dipengaruhi oleh pengobatan hormon tiroid. Penanganan struma lama
adalah dengan tiroidektomi subtotal atas indikasi yang tepat. Berikut adaalah
indikasi tindakan bedah struma nontoksik :
a. Kosmetik (tiroidektomi subtotal)
b. Eksisi nodulus tunggal (yang mungkin ganas)
c. Struma multinodular yang berat
d. Struma yang menyebabkan kompresi laring atau struktur leher yang
lain
e. Struma retrosternal yang menyebabkan kompresi trakhea atau struktur
lain, biasanya pembedahan pada kasus ini dilakukan melaui insisi di
leher dan tidak torakotomi karena perdarahan berpangkal di pembuluh
di leher.
Sekitar 5% struma nodosa mengalami degenerasi maligna.
Berbagai tanda keganasan dapat dievaluasi meliputi perubahan bentuk,
pertumbuhan (lebh cepat), tanda infiltrasi pada kulit dan jaringan
seitarnya, serta fiksasi dengan jaringan sekitar. Dapat terjadi penekanan

22
atau infiltrasi ke nervus rekurens (perubahan suara), trakhea (dispnea),
atau esofagus (disfagia).
Nodul maligna sering ditemukan terutma pada pria usia muda dan
usia lanjut. 1

Tindakan Pembedahan
Indikasi operasi pada struma adalah :
1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
3. Struma dengan gangguan kompresi
4. Kosmetik

Kontraindikasi pada operasi struma :


1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain
yang belum terkontrol
3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang
demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek
prognosisnya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat
sekaligus dilakukanreseksi trakea atau laringektomi, tetapi
perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit
dilakukan eksisi yang baik.
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan
apakah nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna.
Bila nodul tersebut suspek maligna, maka dibedakan apakah kasus
tersebut operable atau inoperable.
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan
tidakan biopsi insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis.
Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi eksterna atau
kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek maligna yang operable

23
atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan isthmolobektomi
atau lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi
tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus
ditentukan terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.
Komplikasi pembedahan tiroid :
a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior
b. Dispneu
c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto
laring terjadi kelemahan
d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara
penderita menjadi lenih lemah dan sukar mengontrol
suara nada tinggi, karena terjadi pemendekan pita suara
oleh karena relaksasi M. Krikotiroid. Kemungkinan
nervus terligasi saat operasi

24
BAB III
KESIMPULAN

Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat
penting untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat
untuk mengetahui ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh
perubahan kadar hormon tiroid dalam tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda
keganasan yang dapat diketahui secara dini.
Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk
menentukan diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan menegakkan
diagnosis pasti maka kita dapat mnentukkan tatalaksana yang tepat bagi struma
yang dialami oleh pasie. Apakah memerlukan tindakan pembedahan, atau cukup
diberi pengobatan dalam jangka waktu tertentu.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. Jakarta: EGC;


2010.
2. Kariadi KS Sri hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik &
Hipertiroidisme: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ketiga, Penerbit
FKUI, Jakarta, 1996 : 757 – 778.
3. Sadler, T.W. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi 10. Embriologi kelenjar
tiroid. Jakarta: EGC; 2010
4. Michael P McKinley; Valerie Dean O'Loughlin; Elizabeth Pennefather.
Human anatomy. Mc.Graw-Hill Education. New York:2015.
5. Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.Edisi 6.
Jakarta. EGC
6. Sachdova R. K., Tiroid : CatatanIlmuBedah, Editor Erlan, EdisiKelima,
Hipokrates, 1996 : 85 – 86.
7. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya.,
Dalam : Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.,FKUI., Jakarta
8. Yang Duh Quan. Goiter and thyroid noduls. Endocrines surgery.
California;2016.
9. American Tiroid Assosiation. Goiter. United States : 2016
10. Adam, Ron D, Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran; Edisi Ketiga,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
11. American Assosiation of endocrine Surgeons. Non Toxic Multinodular Goiter.
America;2016.
12. Lyberty Kim H, KelenjarTiroid : BukuTeksIlmuBedah, JilidSatu,
PenerbitBinarupaAksara, Jakarta, 1997 : 15 – 19.
13. Gharib Hossein. American Association of Clinical
Endocrinologists, Associazione Medici Endocrinologi, and European
Thyroid Association Medical Guidelines for Clinical Practice for
the Diagnosis and Management of Thyroid Nodules.
2010.

26

Anda mungkin juga menyukai