Anda di halaman 1dari 13

Tinjaun Pustaka

A. Anatomi
Esofagus berukuran 23 - 25 cm dari faring sampai dengan lambung. batas
bawah dimulai dari cartilage cricoids didepan vertebra C 6 menuju mediastinum
superior dan posterior, memasuki diafraghma, abdomen, berakhir pada lambung
bagian orificium cardia, didepan vertebra T11. Esofagus berbentuk vertical dengan 2
kurva. Esofagus berada di tengah, namun terjadi inklinasi ke kiri sepanjang leher, lalu
berada ditengah pada T 5, lalu inklinasi ke kiri saat memasuki hiatus esophagus pada
diafragma.
Esophagus terdiri dari 3 segmen yaitu cervical, torakal dan abdomen. segmen
Esofagus memiliki 4 lapisan, yaitu lapisan mukosa interna. fibrosa externa,
muskularis, dan submukosa atar arleolar Tunika muskularis terdiri dari 2 lapisan,
yaitu longitudinal di bagian external dan circular di bagian internal. Bagian
longitudinal memiliki 3 fasikulus, yaitu di bagian depan melapisi permukaan lamina
posterior dari cartilage cricoids, berlanjut menjadi serabut muscular faring, dan pada
bagian desenden menyatu keduanya, menutupi permukan luar tubulus.
Arteri yang menginervasi esophagus berasal dari cabang troidalis inferior dari
trunkus tirocervikal, aorta torakal desenden, troidalis inferior cabang dari arteri
celiac, prenicus inferior sinistra dari aorta abdominalis. Persarafan berasal dari
Nervus Vagus , bagian dari trunkus simpatikus.1
B. Fisiologi
Sepertiga atas dinding esophagus terdiri dari otot polos. Pada proses menelan (
swallow ) bagian atas sphincter esophagus reflex membuka dan gelombang
peristaltic secara reflex memindahkan bolus dari rongga mulut menuju esophagus.
Dilatasi oleh bolus menyebabkan gelombang peristaltic sekunder berlanjut sampai
bolus tiba di lambung. Lower phincter esophagus terbuka oleh karena vasovagal
reflex pada permulan proses menelan. Refleks relaksasi receptive ini dimediasi oleh
inhibitory noncholinergic nonadrenergic (NCNA) neuron dari pleksus mesenterikus.
Motilitas esophagus seperti kekuatan gelombang peristaltic biasanya diukur di
berbagai segmen esophagus. Tekanan istirahat di lower spinchter esophagus berupa

20 ␣ 25 mmHg. Selama relaksasi esophagus terjadi penurunan tekanan beberapa

mmHg dibagian proksimal lambung, merupakan tanda membukanya sphincter.

c. Barrett esofagus
I. Definisi
Barrett esofagus merupakan perubahan mukosa esophagus / metaplasia dari
epitel skuamosa menjadi columnar, yang merupakan komplikasi dari refluks
esophagus berat, dan merupakan factor risiko terjadinya adenocarcinoma.
Metaplasia epitel columnar terjadi pada masa penyembuhan erosive esofagitis
dengan reflux asam lambung ang masih berlanjut, oleh karena epitel columnar lebih
resisten terhadap kerusakan akibat asam & pepsin dibandingkan epitel squamosa.
Barrett epitel berkembang menjadi diplasia sebelum berkembang menjadi
adenocarcinoma.
II. Epidemiologi
Esofagus Barrett terjadi pada 1 diantara 200 pasien per tahun, diantaranya

dengan factor risiko berupa metaplasia intestinal ukuran 2 ␣ 3 cm dapat

berkembang menjadi carcinoma esophagus 30 ␣ 125 kali labih tinggi. Prevalensi

intestinal metaplasia 4 ␣ 10% terjadi pada pasien dengan keluhan heartburn. Jadi,

diperlukan penanganan refluk esofagitis scara agresif dengan menggunakan obat,


dan erosive esofagitis dengan obat dan operasi. Esofagus barrett lebih sering terjadi
pada pria, prevalensi meningkat dengan meningkatnya umur. Esofagoskopi
direkomendasikan pada pasien berumur 50 th dengan gejala GERD yang persisten.
Apabila ditemukan metaplasia , tidak diperlukan terapi, kecuali bila disertai dengan
esofagitis, diperlukan terapi berupa penurunan asam lambung sampai dengan
fundoplication.Risiko terjadinya adenocarcinoma esophagus tergantung dari ukuran
mukosa esophagus. Pada penelitian dengan hampir 25 % pasien yang dipilih acak,

pasien dengan Barrett esophagus segmen pendek ( 2 ␣ 3 cm di distal ) dengan atau


tanpa gejala GERD, mempunyai risiko rendah. Pasien dengan Barrett Esophagus
segmen panjang ( > 3 cm ) disarankan melakukan endoskopik survailence selama 2

tahun dengan interval 1 tahun, lalu setiap 2 ␣ 3 tahun.2 Selain itu, bila ditemukan

displasia, dalam 2 ␣ 5 tahun dapat menjadi adenocarcinoma esophagus pada 1 ␣ 5 %


pasien dengan Barrett esophagus.3

III. Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi dan faktor risiko dari Barrett`s esophagus tidak diketahui secara pasti.
Insiden Barrett`s esophagus dihubungkan dengan frekuensi dan durasi refluks
gastroesofagus, hernia hiatal, obesitas, dan tidak adanya Heliobacter pylori .
4

Berdasarkan jenis kelamin Barrett`s esophagus lebih sering ditemukan pada laki-laki
daripada perempuan, dengan perbandingan 2 : 1. Hipotesis yamg mendukung
pernyataan ini adalah epitel esophagus pada perempuan lebih resistan terhadap
trauma, dikarenakan adanya hormon estrogen pada perempuan.5 Barrett`s Esofagus
lebih sering ditemukan pada ras kulit putih daripada kulit hitam dan orang dengan
usia lebih dari 45 tahun memiliki resiko lebih besar untuk mengalami Barrett`s
esophagus 6.

IV. Manifestasi klinik


Barret`s esophagus biasanya ditemukan pada usia pertengahan dan dewasa,
dengan usia rata-rata 55 tahun. Beberapa pasien memunjukkan gejala awal GERD,
sebagian besar pasien tidak memiliki gejala seperti GERD atau bahkan tanpa gejala,
karena epitel pada Barret`s esophagus lebih resistan terhadap asam daripada
mukosa aslinya. Gejala-gejala GERD diantaranya rasa terbakar di dada (rasa terbakar
di daerah retrosternal, atau perasaan tertekan yang menjalar ke leher) dan
regurgitasi asam yang rasa tidak nyaman di faring. Beberapa gejala lain diantaranya
waterbrash (hipersalifa akibat paparan asam pada esophagus), disfagia (kesulitan
menelan) sensasi globus ( sensasi adanya makanan di kerongkongan), muntah darah
bahkan penurunan berat badan. Gejala-gejala tersebut biasanya muncul setelah
makan.7

V. Patofisiologi
Penyebab pasti dari Barrett`s esophagus belum diketahui, namun GERD
(Gastroesophageal Reflux Disease) diduga merupakan faktor risiko terbesar kondisi
ini. Meskipun tidak semua penderita GERD mengalami Barrett`s esophagus, namun 3
dari 5 pasien penderita Barrets esophagus memiliki riwayat GERD. Barrett`s Esofagus
merupakan faktor predisposisi mayor untuk terjadinya adenokarsinoma esophagus.8
GERD adalah bentuk serius dari refluks gastroesofageal. Refluks gastroesofagus
terjadi ketika sfingter eofagus bagian bawah membuka secara spontan pada waktu
tertentu dan tidak menutup secara sempurna sehingga isi lambung akan naik ke
esofagus. Refluks gastroesofagus juga disebut refluks asam atau regurgitasi asam
karena enzim pencernaan (asam lambung) naik bersamaan dengan makanan atau
cairan8.
Secara normal, mekanisme antirefluks terdiri dari lower esophageal sphincter
(LES), cr ur al diafragma dan lokasianatomi gastr oesophageal j unction.
Faktor pertahanan lain diantaranya mekanisme pembersihan asam di
esophagus dan resistensi jaringan terhadap degradasi oleh pepsin. Refluks terjadi
ketika tidak adanya gradient tekanan antara LES dan lambung. Hal ini dapat
menyebabkan penurunan tonus LES secara terus menerus atau sementara.
Penurunan tonus LES secara terus menerus bisa disebabkan karena kelemahan otot
yang sering tanpa penyebab yang jelas atau gangguan relaksasi sfingter yang
difasilitasi oleh saraf. Penyebab sekunder kelemahan LES antara lain scleroderma like
disease, kehamilan, merokok, obat relaksan otot polos seperti adrenergik, aminofilin,
nitrat, kalsium antagonis, kerusakan sfingter oleh operasi dan esofagitis 9.
Gangguan mekanisme bersihan asam esofagus berupa gangguan peristaltik
esofagus bagian bawah, gangguan netralisasi asam lambung oleh saliva,
keterlambatan pengosongan lambung atau refluks duodenum-gaster dapat
mempengaruhi terjadinya refluks. Transient LES refluks tanpa berhubungan dengan
kontraksi esophagus disebabkan karena refleks vagal yang akibat distensi lambung.
Peningkatan episode transient LES refluks berhubungan dengan GERD. Refluks
gastrosofageal bisa merupakan proses fisiologi normal seperti pada saat
bersendawa. Isi lambung dalam jumlah kecil dapat kembali ke esophagus beberapa
kali dalam satu hari, terutama seteah makan besar tapi tidak menyebabkan gejala.
Bahan yang refluks tersebut akan dibersihkan secara cepat oleh peristaltik
esophagus dan keasamannya dapat dinetralkan oleh bikarbonat yang terdapat pada
saliva. Pada kasus GERD, kontak isi lambung terhadap mukosa esophagus terjadi
lebih lama atau bahkan regurgitasi ke faring9.
Keadaan-keadaan yang mempermudah terjadinya refluks diantaranya ketika
volume lambung meningkat (setelah makan besar, obstruksi pilorus, keadaan
hipersekresi asam), ketika isi lambung dekat dengan sambungan gastroesofageal
(pada keadaan berbaring, membungkuk, hernia hiatal) dan ketika tekanan lambung
meningkat seperti pada obesitas, kehamilan dan asites9.
Patofisiologi yang mendasari Barrett`s merupakan hasil dari respon epitel
esophagus terhadap trauma, dalam hal ini trauma oleh asam lambung yang refluks
ke esofagus. Paparan oleh asam lambung akan menyebabkan kerusakan mukosa
esophagus. Paparan tergantung jumlah bahan yang refluks tiap episode, frekuensi
dan kemampuan bersihan esophagus. Ketika peristaltik esophagus terganggu,
bersihan esophagus akan terganggu juga. Refluks esofagitis merupakan komplikasi
refluks yang terjadi ketika pertahanan mukosa esophagus gagal menetralkan
kerusakan oleh asam, pepsin bahkan empedu. Perubahan histologi yang tampak
pada esofagitis ringan adalah infiltrasi mukosa dengan granulosit atau eosinofil,
hiperplasia basal dan elongasi papil. Pada refluks non erosif, pada endoskopi akan
tampak normal dengan eritema ringan. Endoskopi pada erosif esofagitis
menunjukkan adanya kerusakan mukosa, kemerahan, berdarah,ulkus superficial dan
eksudat. Gambaran histologi menunjukkan adanya infiltrasi jaringan polimorfik dan
granulasi. Erosif esofagitif akan melakukan mekanisme penyembuhan dengan
perubahan mukosa menjadi metaplasia intestinal atau kolumnar metaplastik.Trauma
yang disebabkan oleh asam lambung terhadap sel epitel skuamosa yang melapisi
esophagus mengakibatkan terjadinya perbaikan epitel, bahkan pada beberapa kasus
dapat digantikan oleh epitel kolumnar metaplastik. Penggantian epitel skuamosa
oleh epitel kolumnar disebut proses metaplasia. Metaplasia terjadi ketika suatu
jaringan terpapar oleh agen berbahaya atau toksik secara kronik yang menyebabkan
perlukaan pada sel asal sehingga menstimulasi perbaikan sel melalui diferensiasi
yang menyimpang. Epitel kolumnar metaplastik ini memiliki toleransi lebih besar
terhadap pH yang rendah, akan tetapi memiliki kecenderungan untuk mengalami
displasia dan berkembang menjadi adenokarsinoma esophagus10.Sel yang
mengalami displasia merupakan sel yang tidak normal dan sering disebut sel pre
kanker8.
Pada Barrett`s esofagus terdapat berbagai derajat displasia dari displasia
ringan sampai displasia berat. Sel yang terg olong ke dalam displasia berat
merupakan sel yang memiliki risiko tinggi untuk menjadi kanker. Kurang lebih 1 dari
20 orang dengan Barrett`s esofagus berkembang menjadi displasia8.
Faktor lain yang merupakan faktor risiko Barrett`s diantaranya obesitas, hernia
hiatal13 dan infeksi Heliobacter pylori. Semua faktor risiko tersebut berkaitan dengan
refluk asam. Pada Hernia hiatal, lambung menonjol ke rongga dada bagian bawah
melalui diafragma, hal ini mengubah proses perlindungan normal terhadap refluks
asam dengan mengganggu mekanisme bersihan asam esofagus, sebagai penampung
asam dan mengganggu aksi diafragma crural sebagai sfingter.Pada obesitas, terjadi
peningkatan gradient sfingter esofageal, peningkatan tekanan intraabdominal dan
peningkatan insidensi hernia hiatal pada obesitas. Heliobacter pylori dapat
menurunkan keasaman lambung melalui aktivitas urease. Peran H.pylori sebagai
agen proteksi terhadap Barreett`s Eofagus berlawanan dengan h.pylori yang
merupakan faktor risiko untuk Peptic Ulcer Disease (PUD) dan gastritis,sehingga dapt
disimpulkan bahwa eradikasi H.pylori pada PUD akan meningkatkan risiko Barrett`s
Esofagus11.
Barrett`s Esofagus dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan panjang segmen
Barrett`s esophagus. Barrett`s Esofagus segmen pendek ditentukan apabila panjang
segmen metaplasia intestinal pada distal esophagus kurang dari 3 cm dan disebut
Barrett`s Esofagus segmen panjang apabila lebih dari 3 cm. Angka kejadian Barrett`s
Esofagus segmen pendek 3 kali lebih sering daripada Barrett`s Esofagus segmen
panjang. Panjang pendeknya segmen yang terkena dihubungkan dengan besarnya
paparan asam 12.

VI. Diagnosa
Radiografi gastrointestinal atas dengan barium enema tidak sensitive untuk
mendeteksi Barret esophagus. Diagnosis Barret’s esophagus masih berpedoman
pada biopsy dengan endoscopi. Kemampuan kapsul endoskopi dalam mendiagnosis
barret’s esophagus telah dilakukan dan menghasilkan sensitivitas 67 % serta
spesifisitasnya 84% . penelitian multisenter lainnya mendapatkan bahwa kapsul
endoskopi memiliki sensitifitas yang baik sekali, namun spesifisitasnya terbatas
dalam mendiagnosis barret’s esophagus ataupun refluk esofagitis. Pada esofagus
yang normal, pertemuan epitel kolumnar lambung dan epitel skuamous esophagus
ditemukan pada bagian paling bawah esophagus. Pada barret’s esophagus
pertemuan ini berpindah keatas dan epitel kolumnar meluas kedalam esophagus dan
sangat mudah dibedakan dengan epitel skuamous yang dilihat diproksimal. Setelah
barret’s esophagus dideteksi pencarian endoskopi ditujukan untuk mencari
hubungan seperti refluk esofagitis, ulkus esophagus, striktur,atau hiatal hernia serta
terutama adanya karsinoma esophagus seperti nodul atau masa13.
Definisi Barret’s esophagus mengharuskan paling kurang ditemukannya 3 cm
epitel kolumnar di esophagus. Saat ini peneliti menemukan bahwa short segmen
epitel kolumnar berkaitan dengan adenokarsinoma esofagogastrik junction. Barret’s
esophagus didiagnosis jika dari endoskopi ditemukan daerah epithelium kolumnar
yang definitive pada esophagus bawah dan secara biopsy menunjukkan metaplasia
intestinal. Biopsi perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis Barret’s
esophagus. Epitel kolumnar lambung atas yang langsung terletak dibawah
esofagogastrik junction merupakan tipe fundus atau tipe gastric. Tanda histologi
barret’s esophagus adalah ditemukannya metaplasia intestinal (juga disebut epitel
kolumnar) pada esophagus. Pada epitel ini musin mengandung goblet sel.ujung dari
goblets sel masuk kedalam sel sitoplasma yang mudah dilihat dengan pewarnaan
standar hematoksilin-eosin dan dapat dilihat lebih jelas dengan pewarnaan alsian
blue. Goblet sel metaplasia intestinal meliputi seluruh daerah barret’s esophagus.
Jenis histologi seperti ini dijumpai lebih dari 95 % kasus yang ditemukan secara
endoskopi pada long segmen barret’s esophagus (lebih dari 3 cm). jenis epitel seperti
ini berkaitan dengan adenokarsinoma esophagus. Apabila sejumlah biopsy tidak
menunjukkan adanya metaplasia intestinal akan tetapi hanya epitel normal gastric
atau fundus, diagnosis barret’s esophagus menjadi meragukan. Specimen biopsi
harus mengandung epitel kolumnar dari dalam hernia diafragma, tidak dari
esophagus. Apabila tidak dijumpai metaplasia intestinal penderita kemungkinan
tidak mempunyai risiko terjadinya kanker oleh sebab itu tidak perlu dilakukan follow
up endoskopi selanjutnya13.

VII. Penatalaksanaan
Ada tiga sasaran terapi penderita Barret’s esophagus; (1) menghentikan refluk,
(2) mendorong atau menginduksi penyembuhan atau mengregresi epitel metaplasia
dengan demikian menghindari mukosa terhadap risiko tinggi (intestinal metaplasia),
dan (3) menghambat perkembangan menuju displasia dan kanker. Sebagian besar
penderita Barret’s esophagus diterapi dengan obat-obatan, namun demikian terapi
obat yang adekuat sulit disebabkan karena adanya gangguan spinkter esophagus
bawah dan buruknya motilitas esophagus. Terapi medis berpatokan kepada diet dan
modifikasi gaya hidup, agen promotilitas serta terapi menekan asam 13,14.
Apabila barret’s esophagus sudah terjadi, terapi terutama harus langsung
ditujukan untuk mencegah progresifitas adenokarsinoma esophagus yang sama
pentingnya dengan mengontrol gejala GERD. Pencegahan kanker terutama untuk
memonitor progresifitas terhadap terjadinya dysplasia dan berguna untuk
menghilangkan jaringan dysplasia sebelum berkembang kearah keganasan. Terapi
bertujuan untuk mengurangi keasaman isi lambung namun tidak untuk terapi
Barret’s esophagus itu sendiri akan tetapi untuk gejala GERD semata 10.
a. Peran Terapi PPI pada Barret’t Esofagus.
Penggunaan PPI tidak menghasilkan perbaikan barret’s esophagus
apabila sudah terjadi, walaupun terapi yang sangat agresif menekan asam
dapat sedikit mengurangi perluasan jaringan metaplasia (Peter dkk 1999). Dari
data yang ada saat ini menunjukkan pemberian PPI dua kali sehari diizinkan
selama periode keasaman lambung dengan PH < 4 pada sebagian besar
penderita, sampai gejalanya terkontrol dengan baik (Katz dkk 1998).
Dari penelitian yang ada menunjukkan bahwa penderita dengan barret’s
esophagus kurang tercapai control PH esofagusnya dengan penggunaan PPI
dibandingkan dengan penderita yang mengalami GERD saja (50 %: 58 %).
Gerson dkk (2004) menyatakan derajat refluk pada penderita Barret’s
esophagus lebih berat dibandingkan dengan GERD saja. Sedangkan Yeh dkk
(2003) menyatakan control gejala refluk dengan PPI tidak menunjukkan control
yang adekuat refluk asam kedalam esophagus,62 % penderita yang diterapi
dengan PPI menderita keasaman esophagus yang berat terutama malam hari
walaupun gejalanya terkontrol. Gerson dkk (2005) yang melakukan penelitian
dengan menggunakan tiga PPI yang berbeda mendapatkan PH lambung < 4
pada penderita yang mendapatkan omeprazole 46 %, yang menggunakan
Lanzoprazole 71%, sedangkan yang menggunakan Rabeprazole 51%.10
Dari satu penelitian terhadap 39 penderita dengan Barret’s esophagus,
mendapatkan bahwa setelah penggunaan PPI selama enam bulan specimen
biopsi menunjukkan penurunan ekspresi marker proliferasi dan peningkatan
marker diferensiasi pada penderita kontrol pH esofagusnya baik namun tidak
pada yang penderita yang refluk asamnya persisten. Ini menunjukkan bahwa
control refluk asam sebenarnya dapat mengganggu terbentuknya dysplasia. El-
Serag dkk yang melakukan penelitian pada Veteran’s Hospital mendapatkan
penggunaan PPI pada Barret’s esophagus secara bermakna mengurangi risiko
progresifitas displasia dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan PPI 10.

b. Terapi Endoskopi
Terapi endoskopi ablasi pada Barret’s esophagus berdasarkan apabila
refluk asam gastroesofageal terkontrol dengan obat maupun dengan
pembedahan. Keampuhan endoskopi terapi telah dilaporkan oleh beberapa
pusat penelitian dengan penelitian random dan penelitian kontrol. 15
Tehnik terapi endoskopi pada barret’s esophagus dapat dikelompokkan
secara luas pada yang dapat melakukan pemeriksaan jaringan histologist
(Endoscopic Mucosal Resection [EMR] dan Endoscopic submucosal dissection)
dan yang tidak (terapi ablasi). Terapi ablasi dapat diklasifikasikan kepada heat-
generating thermal (Radiofrequency ablation [RFA], multipolar
electrocoagulation dan argon plasma coagulation), tehnik photochemical
(photodynamic therapy [PDT]) dan cryotherapy. Multimodalitas terapi
endoskopi yang mana menggunakan tehnik reseksi guna menyingkir
abnormalitas yang terlihat dan diikuti dengan tehnik ablasi untuk
mengeradikasi epitel barret’s yang tersisa merupakan managemen endoskopik
komprehensif yang paling banyak dilakukan pada neoplasia Barret’s esofagus.15
EMR meliputi pengangkatan jaringan mukosa dan submukosa biasanya
setelah sasaran segmen mukosanya terangkat oleh injeksi cairan submukosa.
Tehnik EMR yang paling sering digunakan adalah metoda isap dan potong, dimana
lesi mukosa dihisap kedalam mangkok endoskopi dan kemudian dipotong dengan
menggunakan jerat diatermik. Juga ada metoda ikat jerat yang menggunakan alat
ikat dan ligasi, alat yang sama digunakan pada endoskopi ligasi varises, yang
menggunakan pita elastic disekeliling segmen mukosa yang terhisap. Segmen yang
terikat kemudian diangkat dengan jerat. Metoda hisap dan potong dapat
mengambil sampel jaringan yang luas, sementara ikat dan ligasi lebih cepat dan
lebih murah untuk reseksi multiple 15.
Dibandingkan dengan metoda biopsi endoskopi konvensional, EMR lebih
akurat terhadap neoplasia, tidak banyak menggunakan ahli pathologi dan lebih
akurat dalam menilai stadium dan dalamnya invasi. Keakuratan stadium dari
neoplasia yang terlibat diperlukan untuk menilai apakah terapi endoskopi
dapat dipertimbangkan secara definitive. Reseksi esophagus yang dilakukan
pada penderita karsinoma intramukosa yang belum memasuki mukosa
muskularis menghasilkan tingkat metastasia yang rendah pada kelenjar limfe
(<5%). Oleh sebab itu terapi endoskopi boleh jadi sebagai kuratif pada sebagian
besar penderita neoplasma yang terbatas pada mukosa. Oleh karena itu terapi
endoskopi umumnya tidak dianjurkan secara definitive pada penderita
submukosa.15
Endoscopic submucosal dissection telah digunakan terutama di jepang,
lebih banyak digunakan untuk terapi neoplasia gastric. Keuntungan yang utama
dari Endoscopic submucosal dissection dibandingkan dengan EMR ialah
kemampuannya mengangkat lesi neoplasia lebih banyak dan lebih terukur dan
lebih berpotensi mengangkat semua sel neoplasia. Namun demikian tehniknya
lebih sulit dan prosedurnya lebih lama yang terkadang memerlukan waktu
beberapa jam serta juga menimbulkan komplikasi seperti perforasi 15,16,

multipolar elektrocoagulation menggunakan energi panas pada mukosa.


Tehnik ini membutuhkan waktu dan tidak praktis mengablasi pada daerah yang
lebih luas namun berguna untuk mengeradikasi sisa metaplasia intestinal 15.
Argon plasma coagulation merupakan tehnik yang tidak bersentuhan
langsung, dimana energy monopolar dihantarkan ke jaringan melalui ionisasi
gas argon. Energy yang digunakan dari 40-90 W untuk mengablasi metaplasia
dan dysplasia Barret’s dengan keberhasilan antara 70-90 %. Namun demikian
beberapa penelitian melaporkan angka kekambuhan yang tinggi sampai 66%
serta sering dijumpai metaplasia kelenjar yang mendasari epitel squamous
(disebut “buried metaplasia”). Komplikasi seperti perforasi,
pneumomediastinum dan perdarahan telah dilaporkan sehingga mengurangi
keinginan terhadap pemakaian Argon plasma coagulation.
PDT merupakan tehnik ablasi yang menghancurkan epitel barret’s
meggunakan energy photochemical melalui interaksi antara hantaran sinar
endoskopik serta fotosensitif yang dikonsentrasikan dijaringan. Interaksi ini
menyebabkan keracunan yang menyebabkan kerusakan jaringan. Fotosensitif
yang digunakan pada PDT ialah sodium porfimer yang diberikan secara
intravena dan 5-asam aminolevulinic yang diberikan secara oral. Efek samping
yang terjadi ialah fotosensitif pada 60% penderita, striktur esophagus 36%. 15
RFA menggunakan energi radiofrekuensi yang dihantarkan melalui balon
kateter endoskopi atau suatu alat ablasi fokal untuk menghancurkan epitel
barret’s. RFA tidak direkomendasikan pada penderita dengan striktur
esophagus oleh karena ballon dapat menyebabkan perforasi. Energy
radiofrekuensi dihantarkan melalui elektroda yang menghasilkan panas untuk
menghancurkan jaringan metaplasia. Penderita kembali setelah 2-3 bulan
kemudian untuk dilakukan evaluasi endoskopi serta ablasi sisa jaringan
metaplasia dengan menggunakan alat ablasi focal. Dengan menggunakan
kombinasi alat RFA focal dan balon, penelitian menunjukkan eradikasi komplit
epitel barret’s pada 98 % penderita yang dilakukan follow-up selama 30 bulan.
Penelitian terbaru dari multicenter yang dilakukan secara random
menunjukkan kemampuan RFA dalam mengeradikasi dysplasia dan metaplasia
intestinal pada Barret’s esophagus. Efek samping ialah terjadinya striktur
esophagus 6%, perdarahan gastrointestinal dan nyeri dada serta robeknya
mukosa esophagus namun dilaporkan jarang terjadi.15
Cryotherapi meliputi penggunaan cryogen secara endoskopi (cairan
nitrogen atau carbon dioksida) yang dikenakan pada jaringan injuri. Kerusakan
jaringan akibat cryotherapi terjadi dalam dua fase: fase cepat disebabkan oleh
pembekuan sel dan organelnya. Diikuti fase lambat dimana sel mengalami
apoptosis. Cryoterapi dihantarkan melalui semprotan tampa memerlukan
kontak langsung mukosa dengan kateter yang dapat digunakan terhadap
permukaan yang tidak rata. Masalah yang dapat timbul pada cryoterapi
overdistensi dengan perforasi ( pada penderita Marfan sindrom) dan lensa
endoskopi berkabut (alat menggunakan cairan nitrogen). Walaupun hasil dari
cryoterapi menjanjikan dan efek sampingnya dapat ditoleransi, namun data
jangka panjangnya masih terbatas. 15
KESIMPULAN
Barrett esofagus merupakan perubahan mukosa esophagus / metaplasia
dari epitel skuamosa menjadi columnar, yang merupakan komplikasi dari
refluks esophagus berat, dan merupakan factor risiko terjadinya
adenocarcinoma. Esofagus Barrett terjadi pada 1 diantara 200 pasien per
tahun. Ada tiga sasaran terapi penderita Barret’s esophagus; (1) menghentikan
refluk, (2) mendorong atau menginduksi penyembuhan atau mengregresi
epitel metaplasia dengan demikian menghindari mukosa terhadap risiko tinggi
(intestinal metaplasia), dan (3) menghambat perkembangan menuju displasia
dan kanker. Sebagian besar penderita Barret’s esophagus diterapi dengan
obat-obatan, namun demikian terapi obat yang adekuat sulit disebabkan
karena adanya gangguan spinkter esophagus bawah dan buruknya motilitas
esophagus. Terapi medis berpatokan kepada diet dan modifikasi gaya hidup,
agen promotilitas serta terapi menekan asam.

Anda mungkin juga menyukai