Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terpenting di


dunia. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan terakhir dari WHO pada tahun
2014 menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke-3 terbanyak kasus TB
Paru di dunia setelah India dan Cina, dengan perkiraan prevalensi TB Paru
sebesar 680.000 dan 460.000 kasus baru pertahun. Selain itu kasus resistensi
terhadap obat anti tuberkulosis merupakan masalah baru yang penting dalam
program penanggulangan tuberkulosis.1,2
Menurut laporan WHO 2008 dari 27 negara dengan jumlah MDR TB
tertinggi, Indonesia menempati urutan ke-8 di dunia dalam hal jumlah kasus MDR
TB Paru, yaitu sebanyak 12.142 penderita. Menurut laporan WHO 2010, di
Indonesia diperkirakan terdapat 2% MDR TB dari semua kasus baru TB dan
14,7% MDR TB dari semua kasus TB Paru yang pernah mendapat pengobatan.3,4
Di Indonesia, hasil laporan yang masuk kesubunit TB P2MPL Departemen
Kesehatan tahun 2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23%
dari jumlah perkiraan penderita BTA positif). Tiga perempat kasus TB ini berusia
15-49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115
orang penderita tuberkulosis paru menular BTA (+) per 100.000 penduduk.5,6
Penyakit TB Paru masih termasuk dalam 10 penyakit terbanyak di
Puskesmas Kaleke tahun 2014, yaitu menempati urutan ke 10 dari 10 penyakit
terbanyak, dengan jumlah kasus, yaitu 103 kasus. Kemudian mengalami
peningkatan pada tahun 2015 dan tahun 2016 dengan jumlah kasus, yaitu 109 dan
112 kasus.7,8
Peningkatan jumlah penderita TB Paru yang terjadi setiap tahunnya menjadi
latar belakang penulis mengambil laporan kasus TB Paru. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk menurunkan angka kejadian TB, seperti penyuluhan tentang TB
Paru, beberapa kegiatan pokok, dan kegiatan pendukung. Namun belum dapat
menekan kejadian TB paru secara optimal.

1
BAB II
KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 65 tahun
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 5 September 2017
Alamat : Ds. Rarampadende

B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Batuk
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke Puskesmas Kaleke dengan keluhan batuk sejak ± 3
minggu yang lalu. Batuk disertai lendir berwarna kekuningan, tidak pernah
disertai dengan pengeluaran darah. Pasien kadang mengalami sesak napas.
Pasien tidak mengeluhkan nyeri dada dan flu. Terkadang pasien mengalami
demam dan sakit kepala. Pasien juga mengalami berkeringat pada malam hari,
nafsu makan menurun, dan adanya penurunan berat badan drastis dalam
beberapa pekan terakhir yang ia rasakan melalui pakaian-pakaiannya yang
terasa longgar. Pasien juga merasakan mual terutama setelah pasien batuk.
Buang air kecil lancar, berwarna kuning, dan tidak terasa nyeri saat berkemih.
Buang air besar konsistensi biasa dan lancar, tidak berlendir, dan tidak
bercampur darah.

Riwayat penyakit sebelumnya :


Riwayat pengobatan OAT 6 bulan pada awal tahun 2016 dan tuntas, saat
memeriksakan kembali hasil pengobatan yaitu BTA (-). Riwayat merokok
sejak lama, pasien baru saja berhenti merokok 2 tahun terakhir.

2
Riwayat penyakit keluarga:
Pasien tinggal berdua dirumahnya, yaitu pasien dan istri pasien. Tidak
ada keluarga pasien yang sering mengalami keluhan seperti pasien.

TB

Bukan TB
PASIEN ISTRI

Riwayat sosial-ekonomi:
Pasien berasal dari keluarga ekonomi menengah.

Riwayat kebiasaan dan lingkungan:


Pasien tidak mengetahui apakah tetangga-tetangganya ada yang sakit TB
ataupun keluhan seperti pasien. Sehari-harinya pasien bekerja sebagai seorang
tani. Setelah bekerja, pasien langsung pulang ke rumah dan biasanya duduk-
duduk di depan rumah bersama istri.
Rumah pasien berukuran ± 9 x 6 meter, hanya ditinggali oleh istri pasien
dan pasien, terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang keluarga
bersambung ruang makan, 1 ruang cuci, 1 kamar mandi, dan 1 dapur. Semua
ruangan berdinding kayu, beratap seng, dan berlantai sebagian tehel dan
sebagian lagi papan, memiliki pencahayaan dan ventilasi yang cukup.
Didepan rumah terdapat halaman beratap. Yang biasanya ditempati
tetangga pasien menaruh motor dan perlengkapan pertukangan. Tempat ini
jarang di sapu sehingga sangat berdebu. Di samping kanan dan kiri rumah
terdapat jarak kira-kira 1 meter antara rumah tetangga. Dibelakang rumah
terdapat halaman yang cukup luas, dipergunakan untuk mengumpul sampah,
yang kemudian akan di bakar.
Sumber makanan berasal dari kebun sendiri yang diolah sendiri. Sebelum
mengolah makanan, tangan dan bahan makanan di cuci terlebih dahulu.
Makanan di masak menggunakan tungku dari kayu.

3
Air untuk minum, makanan, mandi, dan mencuci berasal dari sumber
yang sama, yaitu mata air di atas gunung yang ditampung. Meskipun hujan, air
tidak keruh.Air untuk minum dimasak menggunakan tungku dari kayu.
Limbah air dan limbah rumah tangga memiliki jalur yang berbeda. Air
hujan akan mengalir ke selokan di depan rumah, sementara limbah rumah
tangga akan mengalir ke belakang rumah yang kemudian akan meresap ke
tanah.

Tampak rumah dari depan

Ruang tamu

4
Ruang keluarga Dapur

Ruang cuci dan kamar mandi

Halaman samping kanan

5
Halaman samping kiri

Halaman belakang

Anamnesis makanan:
Pasien makan 3 kali sehari. Terkadang juga makan buah-buahan. Porsi
sekali makan pasien, yaitu sepiring nasi berisi 1-2 sendok nasi, lauk yang
dikonsumsi berupa ikan, tahu atau tempe yang di goreng. Sayuran yang

6
biasanya dikonsumsi oleh pasien, yaitu kangkung atau daun singkong. Buah
yang biasanya dikonsumsi oleh pasien, yaitu pisang.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
Berat badan : 40 kg
Panjang badan : 152 cm
IMT : 17,31 kg/m2 (gizi kurang)

Tanda Vital:
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Denyut Nadi : 80 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 36,5°C

Kulit:
Ruam : -
Turgor : Kembali kurang dari 2 detik

Kepala:
Bentuk : Normocephale
Ubun-ubun : Menutup
Mata : Anemis -/-, ikterik -/-, mata cekung -/-
Hidung : Rhinorrhea -/-
Mulut : Mulut tidak kering, tonsil sulit dinilai, faring hiperemis –
Telinga : Otorrhea -/-

Leher:
Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)

7
Paru-paru:
Inspeksi = Pengembangan paru simetris bilateral, retraksi -/-
Palpasi = Vocal fremitus kanan dan kiri sama
Pengembangan paru ± 2,5cm
Perkusi = Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi = Vesikular +/+, Rhonki +/+, Wheezing -/-

Jantung:
Inspeksi = Ictus cordis tampak
Palpasi = Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavikula sinistra
Perkusi = Pekak
Auskultasi = Bunyi jantung I/II murni regular

Abdomen:
Inspeksi = Kesan datar
Auskultasi = Peristaltik kesan normal
Perkusi = Timpani
Palpasi = Nyeri tekan (-), massa (-)

Anggota gerak:
Ekstremitas atas = Akral hangat tanpa edema
Ekstremitas bawah = Akral hangat tanpa edema

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan sputum
BTA I = +
BTA II = +
BTA III = +

8
E. RESUME
Pasien laki-laki mengalami batuk disertai lendir berwarna kekuningan,
disertai dengan sesak nafas. Terkadang pasien mengalami febris dan cephalgia.
Pasien juga mengalami berkeringat pada malam hari, nafsu makan menurun,
dan adanya penurunan berat badan drastis. Pasien juga merasakan nausea
terutama setelah pasien batuk. Buang air kecil biasa, buang air besar biasa.
Pasien memiliki riwayat pengobatan OAT 6 bulan dan tuntas. Setelah
pengobatan tuntas, pasien sempat memeriksakan kembali dirinya dan hasilnya
yaitu BTA (-). Pasien juga memiliki riwayat merokok sejak lama, pasien baru
saja berhenti merokok 2 tahun terakhir.
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital : tekanan darah 110/70 mmHg,
nadi 80 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu 36,5°C. Pemeriksaan fisik :
keadaan umum sakit sedang, kesadaran komposmentis, turgor baik, mata tidak
cekung, mulut tidak kering, pada pemeriksaan paru kesan pengembangan paru
simetris bilateral, vokal fremitus kanan = kiri, perkusi sonor pada kedua lapang
paru, dan auskultasi rhonki +/+. Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan
sputum : BTA I = +, BTA II = +, BTA III = +.

F. DIAGNOSIS
TB paru relaps

G. ANJURAN PEMERIKSAAN
Foto rontgen thoraks

H. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa :
 Menganjurkan pasien agar istirahat yang cukup.
 Menganjurkan pasien agar mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.
 Menganjurkan pasien untuk menggunakan masker.

9
 Menganjurkan pasien agar jika batuk, usahakan agar menutup mulut
menggunakan tissue, sapu tangan, atau menutup mulut dengan lengan atas
bagian dalam.
 Menganjurkan pasien agar setiap pagi membuka jendela dan pintu rumah.

Medikamentosa :
 Diberikan OAT KDT kategori 2 dengan berat badan 40 kg, yaitu sebagai
berikut :
 Tahap intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) selama 56 hari pertama
diberikan 3 tablet 4KDT + tiap minggu inj. Streptomisin 750 mg.
 Tahap lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150)+ E(400) yaitu 3 tablet
2KDT + 3 tablet Ethambutol.

10
BAB III
PEMBAHASAN

ASPEK KLINIS
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).9,10
Penyakit TB Paru masih termasuk dalam 10 penyakit terbanyak di
Puskesmas Kaleke tahun 2014, yaitu menempati urutan ke 10 dari 10 penyakit
terbanyak, dengan jumlah kasus, yaitu 103 kasus. Kemudian mengalami
peningkatan pada tahun 2015 dan tahun 2016 dengan jumlah kasus, yaitu 109 dan
112 kasus.7,8
No Penyakit Total
1. ISPA 2398 kasus
2. Dispepsia 1325 kasus
3. Penyakit Sistem Otot dan Jaringan 508 kasus
4. Hipertensi 497 kasus
5. Kulit Infeksi 439 kasus
6. Kulit Alergi 309 kasus
7. Diare 234 kasus
8. Kecelakaan dan Ruda Paksa 218 kasus
9. Penyakit Pulpa 204 kasus
10. TB Paru 112 kasus
Tabel 1. Data 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Kaleke tahun 2016 7

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan.11

11
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
tuberkulosis, seperti bronkiektasis, bronchitis kronis, asma, kanker paru.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
mikroskopik langsung.11 Pada kasus ini, pasien mengalami batuk disertai lendir
sejak ± 3 minggu yang lalu, tidak disertai darah, adanya sesak napas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan
terkadang mengalami demam.
Klasifikasi TB paru terdapat 2, yaitu : 11
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak/Basil Tahan Asam (BTA)
TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya positif
2) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
menunjukkan gambaran tuberkulosis
3) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
positif
4) Satu atau lebih spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA
negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
2) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, pasien
dengan HIV negatif
4) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan Mycobacterium tuberculosis positif

12
2. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatansebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru
Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan
BTA bisa positif atau negatif.
b. Kasus yang sebelumnya diobati
 Kasus kambuh (relaps)
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan
pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali,
harus dipikirkan beberapa kemungkinan.
o Infeksi sekunder
o Infeksi jamur
o TB paru kambuh
 Kasus setelah putus berobat (default)
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif
 Kasus setelah gagal (failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
a. Kasus pindahan (Transfer in)
Pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan
pengobatannya. Penderita pindahan tersebut harus membawa
surat rujukan/pindah
b. Kasus lain :
Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti
yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, pernah

13
diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,kembali
diobati dengan BTA negatif.
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan
fisis, gambaran radiologis, pemeriksaan laboratorium dan uji tuberkulin.

Gambar 1. Alur Diagnostik TB Paru 12

14
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Tabel 1. Pengelompokan OAT
Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamid (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

Tabel 2. Jenis, sifat, dan dosis OAT lini pertama


Golongan Obat
Pyrazinamide (Z)
Golongan -1/Obat Lini Isoniazid (H)
Rifampicin (R)
Pertama Etambuthol (E)
Streptomycin (S)
Golongan-2/ Obat Amikacin
Kanamycin (Km)
Suntik/Suntikan lini kedua Capreomycin (Cm)
Golongan-3/ Golongan Ofloxacin (Ofx)
Moxifloxacin(Mfx)
Fluoroquinolone Levofloxacin
Ethionamide (Eto) Para amino salisilat
Golongan 4/ Golongan Obat
Prothionamide( (Pto) (PAS)
bakteriostastik lini kedua
Cycloserine (Cs) Terizidone (Trd)
Clofazimine (Cfz)
Golongan-5 / Obat yang belum Thioacetazone (Thz)
Linezolid (Lzd)
terbukti efikasinya dan tidak Clarithromycin (Clr)
Amoxilin Clavulanate
direkomendasikan oleh WHO Imipenem (Ipm)
(Amx-Clv)

15
Prinsip pengobatan TB paru yaitu :
 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan
OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT – Kombinasi Dosis Tetap (OAT
– KDT) lebih menguntung sangat dianjurkan.
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Makanan (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada tahap awal yaitu :


 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
2 bulan
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada tahap lanjutan yaitu :
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktyu yang lebih lama
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
Berikut panduan OAT lini pertama dan peruntukannya :
 Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
- Pasien baru TB paru BTA positif
- Pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif
- Pasien TB ekstra paru

16
Tabel 3. Dosis untuk Paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Tahap lanjutan 3x
Tahap Intensif tiap hari selama
Berat Badan seminggu selama 16
56 hari RHZE(150/75/400/275)
minggu RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2 KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 4. Dosis Paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Dosis per hari/kali
Jumlah
Kaplet Tab. Tab.
Tahap Lama Tab. I hari/kali
Rifampic pirazinamid Etham
Pengobatan Pengobatan @300 menelan
in @450 @500mg butol
mg obat
mg @250
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

 Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya :
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

17
Tabel 5. Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 2
Tahap intensif tiap hari RHZE Tahap lanjutan 3 kali
Berat Badan (150/75/400/275)+S seminggu RH
Selama 56 hari Selama 28 hari (150/150)+ E(400)
2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
30 – 37
Streptomisin inj Ethambutol
3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
38 – 54
Streptomisin inj Ethambutol
4 tab 4KDT + 1000 mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
55 – 70
Streptomisin inj Ethambutol
5 tab 4KDT + 1000 mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
≥71 kg
Streptomisin inj Ethambutol

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tab Etambutol
Kaplet Tablet
Isoni Tablet Tablet Jumlah
Rifamp Pirazin Strepto
Lama asid @ @ hari/kali
Tahap i amid misin
pengo @ 250 400 menelan
pengobatan sin @500 injeksi
batan 300 mg mg obat
@ 450 mg
mg
Mg

Tahap 2
intensif bulan 1 1 3 3 - 0,75 56
(dosis 1
harian) bulan 1 1 3 3 - - 28
Tahap
lanjutan 4
2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x bulan
seminggu)

18
 OAT sisipan (HRZE)
Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir
pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan KDT adalah sama
seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama
sebulan (28 hari).
Tabel 7. Dosis KDT untuk sisipan
Tahap intensif tiap hari selama 28 hari
Berat Badan
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 8. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Jumlah
Tablet Kaplet Tablet
Tahap Lama Tablet hari/kali
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid
Pengobatan Pengobatan Etambuthol menelan
@300mg @450mg @500mg
obat
Tahap
Intesnif
1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan


menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi
lanjut.13
a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, emphiema, laringits, Poncet’s
arthropathy
b. Komplikasi lanjut : Obstruksi Jalan napas > SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat > fibrosis paru, sindrom gagal napas
dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

19
ASPEK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
Menurut H.L Blum, ada 4 faktor yang bersama-sama mempengaruhi tingkat
kesehatan masyarakat, yaitu kesehatan lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan,
dan genetik/keturunan. Keempat faktor tersebut disamping berpengaruh langsung
kepada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. TB paru menjadi
masalah di masyarakat disebabkan oleh karena faktor-faktor berikut:

1. Kesehatan Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi pasien terkena tuberculosis,
yaitu ada tidaknya sinar matahari, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu
rumah, dan kepadatan rumah. Hal ini sesuai dengan teori. Lingkungan
memegang peranan yang sangat penting dalam terjadinya sebuah penyakit,
apalagi penyakit tersebut adalah penyakit berbasis lingkungan. Hal ini tentu
saja dapat menyebabkan mudahnya terjadi infeksi apabila tidak ada
keseimbangan dalam lingkungan. Dalam kasus ini lingkungan tempat tinggal
mendukung terjadinya penyakit tuberkulosis yang di alami pasien.
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh
besar terhadap status kesehatan penghuninya. Lingkungan rumah merupakan
salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran kuman tuberkulosis.
Kuman tuberkulosis dapat hidup selama 1-2 jam bahkan sampai beberapa hari
hingga berminggu-minggu tergantung pada ada tidaknya sinar matahari,
ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah, dan kepadatan rumah.
 Pencahayaan Rumah
Keadaan rumah pasien pada kasus ini memiliki pencahayaan dan
ventilasi yang cukup. Semua ruangan berdinding kayu, beratap seng, dan
berlantai sebagian tehel dan sebagian lagi papan. Namun, sebagian besar
jendela rumah hanya ditutup dengan kayu sehingga cahaya dan udara
yang masuk dan keluar rumah tidak maksimal karena hanya melewati
celah kayu tersebut. Hal ini menyebabkan mikroorganisme dapat
berkembang dengan pesat, termasuk kuman dan bakteri penyebab
tuberkulosis. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta

20
sirkulasi udara di atur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat
berkurang.
 Kepadatan Hunian Rumah
Rumah tempat tinggal pasien dalam kasus ini memiliki jarak dekat
dengan rumah tetangga-tetangga sekitarnya. Luas lantai bangunan rumah
sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai
bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya
agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota
keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya
dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif
tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk
rumah sederhana luasnya minimum 9 m2/orang. Untuk kamar tidur
diperlukan luas lantai minimum 8 m2/orang. Untuk mencegah penularan
penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan
yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih
dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun.
Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-
langit minimum tingginya 2,8 m.
 Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan factor risiko apa yang harus dihadapi
setiap individu. Bila seseorang bekerja di lingkungan yang berdebu
dengan paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi
terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang
tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala
penyakit saluran pernafasan dan umumnya tuberculosis paru. Pasien
dalam kasus ini bekerja sebagai seorang tani, namun di halaman depan
rumah pasien biasanya dijadikan tempat parkir kendaraan oleh

21
tetangganya, dan halaman tersebut jarang dibersihkan sehingga pasien
sering terpapar debu.

2. Perilaku
Perilaku dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan.
Pengetahuan penderita TB paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya,
dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai
orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang
disekelilingnya.
Sebelumnya, pasien memiliki riwayat pengobatan OAT 6 bulan pada
awal tahun 2016 dan tuntas, sehingga melalui pengalaman tersebut, pasien
dan keluarga telah mengetahui sedikit mengenai TB paru. Namun
pengetahuan yang rendah ini mempengaruhi tindakan yang menjadi kurang
tepat. Pasien mengaku tidak segera memeriksakan diri ketika sudah ada gejala
sakit yang mengarah ke TB.

3. Pelayanan Kesehatan
Faktor pelayanan kesehatan yang dapat diambil dari kasus ini adalah
masih kurangnya promosi kesehatan terkait TB paru pada masyarakat.
Kemudian belum optimalnya peran puskesmas dalam memonitoring pasien
yang diduga (suspek) TB Paru.

4. Keturunan/Genetik
Pada kasus ini tidak ada hubungan dengan keturunan/genetik, tetapi
terjadi pada seorang laki-laki 65 tahun tahun dengan status gizi kurang.
Penyakit tuberkulosis paru cenderung lebih tinggi pada usia produktif 15-50
tahun. Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, dan zat
besi akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan
terhadap penyakit termasuk TB paru.

22
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Pada penderita TB paru relaps, diberikan pengobatan OAT kategori 2
berdasarkan berat badan.
2. Faktor utama yang menjadi salah satu penyebab TB paru pada kasus ini
adalah perilaku dan kesehatan lingkungan.

B. SARAN
Upaya pencegahan (preventif) terhadap penyakit gizi buruk dapat
dilaksanakan dengan mengaplikasikan lima tingkat pencegahan penyakit
(five level prevention), sebagai berikut :
1. Promosi kesehatan
Promosi kesehatan dalam mencegah terjadinya tuberkulosis dapat
dilakukan dengan cara :
a. Meningkatkan penyuluhan mengenai penyebaran tuberkulosis.
b. Meningkatkan penyuluhan tentang edukasi secara keseluruhan tentang tb
di masyarakat secara umum dan di keluarga pasien secara khusus.

2. Perlindungan khusus
Perlindungan khusus dalam mencegah terjadinya tuberkulosis
adalah :
a. Perbaikan status gizi pasien dan keluarga
b. Perbaikan ventilasi rumah dan pencahayaan di rumah pasien.
c. Perbaikan perilaku pasien serat keluarga.

3. Diagnosis dini dan pengobatan segera


Diagnosis dini dan pengobatan segera dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya penyakit yang lebih berat. Upaya yang dapat
dilakukan, yaitu :

23
a. Mencari kasus sedini mungkin.
b. Penatalaksanaan yang tepat.

4. Pembatasan Cacat
Pembatasan cacat merupakan pencegahan untuk terjadinya
kecatatan atau kematian akibat tuberkulosis. Adapun upaya yang dapat
dilakukan, yaitu :
a. Melakukan pengobatan dan perawatan sesuai pedoman sehingga penderita
sembuh dan tidak terjadi komplikasi.
b. Meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan sebagai penunjang untuk
memungkinkan pengobatan dan perawatan yang lebih intensif dan sembuh.

5. Rehabilitasi
Rehabilitasi dalam mencegah tuberkulosis dapat dilakukan dengan
cara :
a. Rehabilitasi medik apabila terdapat gangguan kesehatan fisik
b. Pemberantasan, seperti :
 Penyuluhan kesehatan, terutama kepada ibu-ibu.
 Pengobatan dan perawatan kasus dengan tepat.

DAFTAR PUSTAKA

24
1. World Health Organization. 2014. Global tuberculosis Report. Geneva :
World Health Organization.
2. World Health Organization. 2010. Multidrug and extensively drug-resistant
TB (M/XDR-TB). Global report on surveillance and response. Geneva:
WHO.
3. Guptan A, Shah A. 2000. Tuberculosis and diabetes: an appraisal. Ind J
Tuberc : 47(1)
4. Palomino JC, Leão SC, Ritacco V. 2007. Tuberculosis: From basic science to
patient care 1st ed. Argentina. Bouciller Kamps.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2008. Panduan
Pelayanan Medik. Jakarta : Interna Publishing.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis: Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia.
7. Puskesmas Kaleke. 2016. Laporan Tahunan Data Kesakitan (LB1) Puskesmas
Kaleke tahun 2016. Kaleke : Puskesmas Kaleke.
8. Puskesmas Kaleke. 2015. Laporan Tahunan Data Kesakitan (LB1) Puskesmas
Kaleke tahun 2015. Kaleke : Puskesmas Kaleke.
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Petunjuk teknis I.
Pengendalian TB resisten obat. Manajemen terpadu pengendalian TB
resisten obat. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
10. Raviglione MC, O’Brien RJ. 2008. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi ke-17. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc..
11. Amin, Z., & Bahar, A., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing, 2230-2239.
12. Elizabeth J. Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Aditya Media
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis: Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia.

25

Anda mungkin juga menyukai