Anda di halaman 1dari 213

PRODUKSI FLAVONOID DAUN DEWA (Gynura pseudochina (L.

) DC)
ASAL KULTUR IN VITRO PADA KONDISI NAUNGAN
DAN PEMUPUKAN

NIRWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “ Produksi Flavonoid Daun Dewa
(Gynura pseudochina (L.) DC Asal Kultur in Vitro pada Kondisi Naungan dan
Pemupukan “ adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2007

Nirwan
NIM A361030081
ABSTRAK

NIRWAN. Produksi Flavonoid Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) Asal
Kultur in Vitro pada Kondisi Naungan dan Pemupukan. Dibimbing oleh Didy
Sopandie, Latifah K. Darusman, Sandra A. Aziz dan Munif Ghulamahdi.

Daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) adalah tumbuhan obat yang
menghasilkan senyawa bioaktif berupa golongan senyawa flavonoid yang telah
digunakan sebagai bahan obat tradisional alami untuk mengobati beberapa jenis
penyakit khususnya tumor atau kanker pada manusia. Upaya untuk meningkatkan
kadar senyawa bioaktif dalam tanaman dilakukan melalui perbaikan kualitas bahan
tanam, optimalisasi pemanfaatan cahaya dan pemupukan. Untuk memenuhi hal
tersebut, dilakukan percobaan dalam empat tahap masing-masing mempelajari : (1)
multiplikasi tunas secara in vitro, (2) induksi akar dan antosianin secara in vitro, (3)
pertumbuhan dan kandungan bioaktif bahan tanam asal in vitro dan setek pucuk pada
berbagai periode pencahayaan dan (4) produksi flavonoid bahan tanam asal in vitro
pada berbagai periode pencahayaan dan pemupukan. Pada hasil studi in vitro
diperoleh komposisi media kultur terbaik yang menghasilkan plantlet dengan
kandungan antosianin yang tinggi. Komposisi media MS dengan penambahan IAA
0.5 ppm dan sukrosa 30 g/l menghasilkan plantlet terbanyak (2.7) dan kandungan
antosianin tertinggi (0.07%). Pada proses pertumbuhan di lapang yang menggunakan
berbagai periode pencahayaan, bahan tanam asal kultur in vitro adalah bahan tanam
terbaik yang menghasilkan pertumbuhan dan kandungan antosianin lebih tinggi
(0.05%) dibanding setek pucuk (0.03%). Pada penelitian ini juga ditemukan periode
pencahayaan yang menghasilkan pertumbuhan dan produksi flavonoid tertinggi, serta
aspek mekanisme adaptasi fisiologi dan morfo-anatomi tanaman. Pada naungan 50%
selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100%, dihasilkan produksi total flavonoid
(1.61g/tanaman) dan kuersetin (0.02g/tanaman) tertinggi, sedangkan produksi
antosianin tertinggi (0.17%) diperoleh pada naungan 25% selama 2 bulan dan 2 bulan
cahaya 100%. Adaptasi tanaman pada kondisi naungan juga menyebabkan
peningkatan kandungan klorofil, aktivitas enzim SOD, tumpukan grana dan ukuran
butir pati dari kloroplas serta penurunan jumlah stomata, trichoma dan ketebalan daun
di akhir percobaan. Pada percobaan pemupukan diperoleh komposisi media tanam
terbaik yang menghasilkan produksi flavonoid tertinggi. Perbaikan media tanam
dengan pemupukan semakin meningkatkan pertumbuhan dan produksi flavonoid
bahan tanam asal in vitro. Penggunaan dosis maksimum dari pupuk kandang ayam
100g + SO4 0.8g/tanaman menghasilkan produksi total flavonoid per tanaman
(1.61g/tanaman) dan antosianin per tanaman (0.17g/tanaman) tertinggi, sedangkan
produksi kuersetin per tanaman tertinggi (0.02g/tanaman) dihasilkan pada dosis pupuk
kandang ayam 50g + SO4 0.4g/tanaman. Dari seluruh hasil penelitian yang diperoleh,
bahan tanam daun dewa asal kultur in vitro menghasilkan pertumbuhan, produksi total
flavonoid, antosianin dan kuersetin lebih tinggi pada kondisi naungan dan pemupukan
dibanding cahaya 100% dan tanpa pemupukan.

Kata kunci : Gynura pseudochina, in vitro, naungan, pemupukan, produksi


flavonoid, antosianin, kuersetin.
ABSTRACT

NIRWAN. Flavonoids Production of in Vitro Gynura pseudochina (L.) DC in


Shading Condition and Fertilizing. Under supervision of Didy Sopandie, Latifah K.
Darusman, Sandra A. Aziz and Munif Ghulamahdi.

Gynura pseudochina (L.) DC is a medicinal plant that produce bioactives


compound, such as flavonoids that are used for tumor or cancer medication for
human. The content of bioactive compound can be increased through improving
seedling quality, lighting periods and fertilizing. Four experiments have been carried
out, they were : (1) in vitro shoot multiplications, (2) in vitro root and anthocyanins
induction, (3) increasing growth and bioactives content of in vitro seedlings and shoot
cuttings in different lighting periods, and (4) flavonoids production of in vitro
seedlings in different lighting periods and fertilizer. Results of in vitro studies,
produced the best medium composition to produce plantlets with high anthocyanins
content. Addition of IAA 0.5 ppm, sucrose 30g/l to MS medium produced higher
number of plantlets (2.7) and anthocyanins content (0.07%). The field experiment
using lighting periods showed that in vitro plantlets was better than shoot cuttings in
the growth rate and anthocyanins content e.g: 0.05 and 0.03% respectively. From this
research also found that lighting periods are produced the growth and highest
flavonoids production, along with physiology and morpho-anatomycal adaptation
mechanism. At the treatment of 50% shading up to three months and one month of
full light, produced highest of total flavonoids (1.61g/plant) and quercetin content
(0.02g/plant), while the highest of anthocyanins content (0.17g/plant) produced at the
treatment of 25% shading up to two months and two months of full light. Plant
adaptation to shading condition the increased total chlorophyll content, SOD enzymes
activity, chloroplast size (stack granum and starch grain), while the number of
stomata, trichome and the thickness of leaves were decreased at the end of the
experiment. At the fertilizing experiment found that the best medium composition
produced the highest flavonoids production. In vitro seedlings growth and flavonoids
production were improved by the treatment of fertilizer. Maximum dosage of fertilizer
was chicken manure 100g + SO4 0.8g/plant, which gave the highest of total
flavonoids per plant (1.61g/plant) and anthocyanins per plant (0.17g/plant). While the
quercetin productions per plant (0.02g/plant) produced at dosage of manure 50g +
SO4 0.4g/plant. All results of experiments showed that the in vitro seedlings produced
higher growth, total flavonoids production, anthocyanins and quercetin at shading
condition and fertilizing compared to full light and without fertilizing.

Keyword : Gynura pseudochina, in vitro, shading, fertilizing, flavonoid production,


anthocyanin, quercetin.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa seizin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PRODUKSI FLAVONOID DAUN DEWA (Gynura pseudochina (L.) DC)
ASAL KULTUR IN VITRO PADA KONDISI NAUNGAN
DAN PEMUPUKAN

NIRWAN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Disertasi : Produksi Flavonoid Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.)
DC) Asal Kultur in Vitro pada Kondisi Naungan dan
Pemupukan

Nama Mahasiswa : Nirwan

Nomor Pokok : A 361030081

Disetujui
Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S.
Ketua Anggota

Dr. Ir. Sandra A. Aziz, M.S. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 12 Juli 2007 Tanggal lulus :


RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Palu Sulawesi Tengah pada tanggal 20 Oktober 1966,


merupakan putra kelima dari enam bersaudara dari Ayah Sahiri Rituntina (almarhum)
dan Ibu Hj. Sohomi Lariua (almarhumah). Penulis menikah dengan Dra. Kusnaeni
Ramadhani dan telah dikaruniai tiga orang anak.
Pada Juli 1985, diterima di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu
jurusan Budidaya Pertanian program studi Agronomi dan menyelesaikan studi pada
bulan Desember 1991. Bulan Juli 1996 mengikuti Program Pascasarjana S2 di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Program Studi Agronomi dan menyelesaikan
studi pada Maret 1999. Selanjutnya sejak Agustus 2003 mengikuti pendidikan S3 di
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Agronomi. Sejak bulan
Maret 1993 menjadi staf pengajar di Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi
Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu Sulawesi Tengah.
Sebagian dari disertasi ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional
Perbenihan pada tanggal 14 Agustus 2005 di Universitas Tadulako, serta
dipublikasikan dalam Prosiding Seminar, Buletin Agronomi Departemen Agronomi
dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, dan Jurnal Agrokultur.
Dua makalah telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian yang
dibiayai Hibah Kompetitif pada tanggal 1-2 Agustus 2007 di Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor, dan dipublikasikan dalam Prosiding Seminar.
PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas hidayah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi
yang berjudul “ Produksi Flavonoid Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC)
Asal Kultur in Vitro pada Kondisi Naungan dan Pemupukan “.
Penelitian dan penulisan disertasi ini berlangsung di bawah bimbingan Prof. Dr.
Ir. Didy Sopandie, M. Agr, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Latifah K.
Darusman, M.S., Dr. Ir. Sandra A. Aziz, M.S., dan Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan banyak terima kasih dan penghargaan yang tulus atas waktu dan
kesempatan yang telah diluangkan dalam mengarahkan dan membimbing penulis.
Penelitian dan penyelesaian disertasi ini sebagian didanai oleh Program
Penelitian Payung yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Biofarmaka Institut
Pertanian Bogor dan Hibah Bersaing XIV tahun 2006, karena itu penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S.
selaku Kepala Pusat Studi Biofarmaka IPB, Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S., Dr. Ir.
Sandra A. Aziz dan Irmanida Batubara, S.Si. M.Si., sebagai Ketua dan Anggota Tim
Peneliti Hibah Bersaing XIV.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan juga
kepada:
1. Dirjen DIKTI yang telah memberikan Beasiswa BPPS.
2. Rektor Universitas Tadulako Palu yang telah memberikan izin tugas belajar dan
sebagian bantuan dana penelitian.
3. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako yang telah mengizinkan penulis
untuk melanjutkan studi.
4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program
Studi Agronomi yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi di Institut
Pertanian Bogor.
5. Prof. Dr. Ir. Mappiratu, M.S., Prof. Dr. Ir. Fathurrahman, M.P. dan Prof. Dr. Ir.
Abdul Main Labaso, M.S. yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis
untuk melanjutkan studi pada Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB.
6. Dr. Ir. Wahyu Q. Mugnisjah, M.Agr selaku Pembimbing Akademik saat penulis
baru memasuki Sekolah Pascasarjana Program Studi Agronomi IPB.
7. Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc selaku penguji luar komisi saat pelaksanaan ujian
prakualifikasi (prelium) yang telah memberikan saran-saran dan koreksi untuk
perbaikan usulan penelitian dan pelaksanaan penelitian.
8. Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.S selaku penguji luar komisi saat pelaksanaan ujian
tertutup yang telah memberikan saran-saran dan koreksi untuk perbaikan disertasi.
9. Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, M.S selaku penguji luar komisi saat
pelaksanaan ujian terbuka yang telah memberikan saran dan koreksi untuk
penyempurnaan tulisan ini. .
10. Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Agr. selaku penguji luar komisi saat pelaksanaan
ujian terbuka yang telah memberikan saran dan koreksi untuk penyempurnaan
tulisan ini.
11. Kepala dan Staf Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan
Hortikultura Fak. Pertanian IPB atas kerjasama, kebersamaan dan bantuannya.
12. Kepala dan Staf Instalasi Biofarmaka Cikabayan Pusat Studi Biofarmaka IPB atas
kerjasama, kebersamaan dan bantuannya.
13. Kepala beserta Staf Laboratorium Ekofisiologi Tanaman dan Laboratorium RGCI
Fak. Pertanian IPB atas kerjasama, kebersamaan dan bantuannya.
14. Kepala dan Staf Laboratorium Histologi Seameo Biotrop Bogor atas kerjasama,
kebersamaan dan bantuannya.
15. Kepala dan Staf Laboratorium Kimia Pusat Studi Biofarmaka IPB, Laboratorium
Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA IPB dan PT. Biofarindo atas
kerjasama, kebersamaan dan bantuannya.
16. Kepala dan Staf Laboratorium Ilmu Tanah Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor atas kerjasama,
kebersamaan dan bantuannya.
17. Kepala dan Staf Laboratorium Biologi Molekuler Institut Eijkman Jakarta atas
kerjasama, kebersamaan dan bantuannya.
18. Kepala dan Staf Laboratorium Pasca Panen Cimanggu atas kerjasama,
kebersamaan dan bantuannya.
19. Kepala dan Staf Stasion Klimatologi Darmaga atas bantuannya.
20. Dr. Ir. La Muhuria, M.P., Dr. Ir. Kisman, M.Sc., Dr. Ir. Desta Wirnas, M.Si., Ir.
Imam Widodo, M.S, Tri Lestari, SP. M.Si., Kartika Ning Tyas, SP. M.Si.,
Ardianto Mufa’adi, SP. MSi, Wenny, SP. M.Si, Haerana, SP. M.Si., Khairul Asri,
SP. M.Si., Ade Nena, SP. M.Si, Ir. Susiyanti, M.Si, Mustika Tripatmasari, SP.,
Elni Fitrani, SP., Reny, SP. dan Neni, SP. atas dorongan, bantuan dan
kebersamaannya.
21. Ayahanda Sahiri Rituntina (alm) dan Ibunda Hj. Sohomi Lariua (alm) yang telah
mendidik dan membesarkan serta selalu berpesan untuk menjadi orang yang taat
beragama dan berbuat baik kepada sesama.
22. Ibu mertua M.N. Minten dan seluruh keluarga di Palu, Umi Mintarsih beserta
seluruh keluarga di Bogor, Paman Yoli Lariua dan Paman Mayor (Pol) Asmu
Rituntina atas do’a, dorongan dan bantuannya.
23. Kakak, adik dan ponakan sekeluarga: Hj. Erni Sahiri, H. Awaluddin Runggo,
Udin Sahiri, Rosmina Sahiri, Suwarni Sahiri, Marwan Karim, SE. M.Si.,
Mohammad Rizal Sahiri, Linda, SE. dan Hermawan, SE., atas iringan do’a dan
motivasinya.
24. Istri tercinta Dra. Kusnaeni Ramadhani dan anak-anakku tersayang: Agrian Rizki
Kuswanto, Ahmad Dwi Prasetya dan Ade Triyanto Hidayat atas do’a, dorongan,
kesabaran, pengertian dan pengorbanannya.
25. Rekan-rekan di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Himpunan Mahasiswa
Pascasarjana asal Sulawesi Tengah di Bogor, Forum Mahasiswa Pascasarjana
Program Studi Agronomi SPs. IPB dan Forum Mahasiswa Pascasarjana Sekolah
Pascasarjana IPB (Forum Wacana), serta semua pihak yang telah memberikan
dukungan dan bantuan.
Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang pertanian. Amin.

Bogor, Agustus 2007

Nirwan
DAFTAR ISI
Halaman

PENDAHULUAN......................................................................................... 1
Latar Belakang................................................................................... 1
Rumusan Masalah.............................................................................. 3
Tujuan Penelitian............................................................................... 4
Kerangka Pemikiran........................................................................... 4
Hipotesis............................................................................................ 5
Ruang Lingkup Penelitian................................................................. 5

TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 7
Botani, Penyebaran dan Manfaat Daun Dewa................................... 7
Senyawa Bioaktif Golongan Flavonoid............................................. 9
Kultur In Vitro Tanaman Daun Dewa................................................ 12
Pengaruh Naungan terhadap Pertumbuhan Tanaman........................ 14
Pupuk Organik dan An organik.......................................................... 22

MULTIPLIKASI TUNAS DAUN DEWA(Gynura pseudochina (L.) DC)


SECARA IN VITRO...................................................................................... 27
ABSTRAK......................................................................................... 27
ABSTRACT....................................................................................... 27
PENDAHULUAN.............................................................................. 28
Latar Belakang........................................................................ 28
Tujuan..................................................................................... 29
BAHAN DAN METODE................................................................... 29
Waktu dan Tempat................................................................. 29
Bahan dan Alat....................................................................... 29
Metode Penelitian................................................................... 29
HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................... 33
Warna Daun............................................................................ 33
Jumlah Tunas......................................................................... 34
Jumlah Daun.......................................................................... 36
Tinggi Tunas.......................................................................... 37
Jumlah Akar........................................................................... 39
Diameter Kalus dan Jumlah Plantlet...................................... 41
SIMPULAN....................................................................................... 42

INDUKSI AKAR DAN ANTOSIANIN DAUN DEWA


(Gynura pseudochina (L.) DC) SECARA IN VITRO.................................... 43
ABSTRAK......................................................................................... 43
ABSTRACT....................................................................................... 43
PENDAHULUAN.............................................................................. 44
Latar Belakang........................................................................ 44
Tujuan.................................................................................... 45
BAHAN DAN METODE.................................................................. 45
Waktu dan Tempat................................................................. 45
Bahan dan Alat....................................................................... 45
Metode Penelitian................................................................... 45
HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................... 48
Jumlah Tunas dan Jumlah Daun............................................... 48
Jumlah Akar.............................................................................. 50
Tinggi Tunas dan Diameter Kalus............................................ 51
Panjang Akar ........................................................................... 53
Total Biomasa Plantlet, Jumlah Plantlet dan Total Antosianin 54
SIMPULAN....................................................................................... 56

PENGARUH PERIODE PENCAHAYAAN DAN SUMBER


BAHAN TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN
BIOAKTIF DAUN DEWA (Gynura pseudochina (L.) DC)......................... 57
ABSTRAK......................................................................................... 57
ABSTRACT....................................................................................... 57
PENDAHULUAN.............................................................................. 58
Latar Belakang........................................................................ 58
Tujuan..................................................................................... 59
BAHAN DAN METODE.................................................................. 60
Waktu dan Tempat................................................................. 60
Bahan dan Alat....................................................................... 60
Metode Penelitian.................................................................. 61
HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 66
Pertumbuhan Tanaman.......................................................... 66
Indeks Kehijauan Daun......................................................... 70
Indeks Luas Daun (ILD)........................................................ 72
Bobot Brangkasan, Bobot Basah Umbi dan Bobot
Basah Tajuk........................................................................... 74
Jumlah Stomata, Jumlah Trichoma dan Tebal Daun.............. 75
Laju Tumbuh Relatif (LTR), Nisbah Luas Daun (LAR)
dan Laju Asimilasi Bersih (NAR).......................................... 80
Kandungan Enzim Superoxide Dismutase
(SOD) dan Klorofil Daun....................................................... 84
Kandungan Total Flavonoid dan Antosianin......................... 87
Analisis Korelasi Antara Peubah Pertumbuhan dan
Anatomi Daun dengan Kandungan Antosianin..................... 90
SIMPULAN....................................................................................... 95

PENGARUH PERIODE PENCAHAYAAN DAN PEMUPUKAN


TERHADAP PRODUKSI FLAVONOID DAUN DEWA
(Gynura pseudochina (L.) DC) ASAL KULTUR IN VITRO........................ 96
ABSTRAK......................................................................................... 96
ABSTRACT....................................................................................... 96
PENDAHULUAN.............................................................................. 97
Latar Belakang....................................................................... 97
Tujuan..................................................................................... 98
BAHAN DAN METODE.................................................................. 99
Waktu dan Tempat................................................................. 99
Bahan dan Alat....................................................................... 99
Metode Penelitian................................................................... 99
HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................... 105
Pertumbuhan Tanaman........................................................... 105
Indeks Luas Daun (ILD)........................................................ 108
Bobot Brangkasan, Bobot Basah Umbi dan
Bobot Basah Tajuk................................................................ 110
Laju Tumbuh Relatif (RGR), Nisbah Luas Daun (LAR)
dan Laju Asimilasi Bersih (NAR)........................................ 111
Indeks Kehijauan Daun dan Kandungan Klorofil Daun....... 115
Struktur Kloroplas................................................................. 118
Kandungan N, P, K dan SO4 pada Jaringan Tanaman........... 121
Kandungan Total Flavonoid, Antosianin dan Kuersetin...... 123
Produksi Total Flavonoid, Antosianin dan Kuersetin
Per Tanaman......................................................................... 127
Analisis Korelasi Antara Peubah Pertumbuhan dengan
Kandungan Antosianin.......................................................... 130
SIMPULAN....................................................................................... 134
PEMBAHASAN UMUM.............................................................................. 135
SIMPULAN DAN SARAN........................................................................... 143
Simpulan............................................................................................ 143
Saran.................................................................................................. 144
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 145
LAMPIRAN.................................................................................................. 156
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
Teks

1. Kandungan flavonoid (mg/g) pada kulit apel ‘Jonagold’ yang


dipengaruhi posisi buah pada pohon........................................................ 21

2. Komposisi unsur hara kotoran ayam dan kotoran hewan lain................. 22

3. Kombinasi perlakuan pemberian BAP dan IAA pada multiplikasi


tunas daun dewa……………………………………………………….. 30

4. Pengaruh BAP terhadap warna daun tanaman daun dewa umur kultur
1-5 minggu setelah tanam (MST)……………………………………… 33

5. Interaksi BAP dan IAA terhadap jumlah tunas 1-5 MST……………… 35

6. Interaksi BAP dan IAA terhadap jumlah daun 3-5 MST……………… 36

7. Interaksi BAP dan IAA terhadap tinggi tunas 1-5 MST………………. 38

8. Pengaruh BAP dan IAA terhadap jumlah akar 1-5 MST……………… 39

9. Pengaruh BAP terhadap diameter kalus dan jumlah plantlet


pada akhir percobaan............................................................................... 41

10. Kombinasi perlakuan berbagai konsentrasi IAA dan sukrosa pada


pembentukan plantlet daun dewa............................................................ 46

11. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah tunas daun dewa
umur kultur 1-8 MST.............................................................................. 48

12. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah daun daun dewa
umur kultur 1-8 MST............................................................................... 49

13. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah akar daun dewa
umur kultur 1-8 MST............................................................................... 50

14. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap tinggi tunas dan diameter
kalus daun dewa pada akhir percobaan................................................... 51

15. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap panjang akar plantlet daun
dewa pada akhir percobaan..................................................................... 53

16. Total Biomasa Plantlet, Jumlah plantlet dan total antosianin daun
dewa pada akhir percobaan.................................................................... 54

17. Kombinasi perlakuan periode pencahayaan dan sumber bahan tanam.... 61


18. Tinggi tanaman dan jumlah daun pada berbagai periode pencahayaan
dan sumber bahan tanam daun dewa umur 16 MST................................. 67

19. Panjang daun dan lebar daun pada berbagai periode pencahayaan
dan sumber bahan tanam daun dewa umur 16 MST................................ 68

20. Jumlah anakan dan jumlah cabang pada berbagai periode pencahayaan
dan sumber bahan tanam daun dewa umur 16 MST................................. 69

21. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap


indeks kehijauan daun pada umur 2-16 MST........................................... 71

22. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam


terhadap indeks kehijauan daun umur 4 MST......................................... 72

23. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa
terhadap indeks luas daun (ILD) pada umur 0, 4, 12, dan 16 MST......... 73

24. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam


terhadap ILD umur 8 MST.....................................................................74

25. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa
terhadap bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk
pada saat panen (16 MST)......................................................................... 75

26. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa
terhadap jumlah stomata, jumlah trichoma dan tebal daun
pada saat panen (16 MST)......................................................................... 76

27. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam


terhadap tebal daun (µm) umur 16 MST................................................... 76

28. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa
terhadap RGR (g/g/hari) pada umur tanaman 0-4, 4-8, 12-16 MST ...... 80

29. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam


terhadap RGR (g/g/hari) umur 8-12 MST................................................ 81

30. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam


terhadap LAR (cm2/g) umur 12 MST...................................................... 82

31. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa
terhadap LAR (cm2/g) pada umur tanaman 0, 4, 8 dan 16 MST.............. 83

32. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa
terhadap NAR (g/cm2/hari) pada umur 0-4, 4-8 dan 12-16 MST............. 83

33. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam


terhadap NAR (g/cm2/hari) umur 8-12 MST............................................ 84
34. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap kandungan total enzim SOD (µmol/g) umur 16 MST................ 85

35. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap


kandungan klorofil a, klorofil b, rasio klorofil a/b dan total klorofil
umur 16 MST............................................................................................ 86

36. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam


terhadap kandungan antosianin (%) umur 16 MST.................................. 88

37. Pengaruh periode pencahayaan dan bahan tanam daun dewa


terhadap kandungan total flavonoid umur 16 MST................................. 88

38. Koefisien korelasi antar peubah pertumbuhan, produksi, morfo-


anatomi daun, kandungan enzim SOD, klorofil daun dan kandungan
antosianin................................................................................................ 91

39. Kombinasi perlakuan periode pencahayaan dan pemupukan........……... 100

40. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan terhadap tinggi


tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, jumlah anakan dan
jumlah cabang daun dewa umur 16 MST ................................................ 107

41. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa


terhadap indeks luas daun (ILD) pada umur 0, 4, 8 dan12 MST ............ 109

42. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap


ILD umur 16 MST................................................................................... 109

43. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa


terhadap bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk
pada saat panen (16 MST) ..................................................................... 110

44. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa.


terhadap laju tumbuh relatif (RGR) (g/g/hari) pada umur tanaman
0-4, 4-8 dan 8-12 MST............................................................................ 112

45. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap


RGR (g/g/hari) umur 12-16 MST............................................................ 112

46. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa


terhadap nisbah luas daun (LAR) (cm2/g) pada umur tanaman
0, 4, 8 dan 16 MST ................................................................................... 113

47. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap


LAR (cm2/g) umur 12 MST...................................................................... 114

48. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap NAR


(g/cm2/hari) umur 0-4 MST...................................................................... 114
49. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa
terhadap laju asimilasi bersih (NAR) (g/g/hari) pada umur tanaman
0-4, 8-12 dan 12-16 MST......................................................................... 115

50. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap


indeks kehijauan daun umur 8 MST....................................................... 116

51. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan terhadap indeks


kehijauan daun tanaman daun dewa umur 2-16 MST............................. 117

52. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa


terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, rasio klorofil a/b
dan total klorofil pada umur tanaman 16 MST....................................... 118

53. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa


terhadap kandungan N, P, K dan SO4 pada jaringan tanaman................ 122

54. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap


kadar antosianin umur 16 MST.............................................................. 124

55. Koefisien korelasi antar peubah pertumbuhan, produksi, klorofil


daun dan kandungan antosianin.............................................................. 131
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
Teks

1. Alur kegiatan penelitian............................................................................ 6

2. Tanaman daun dewa : (a) tajuk tanaman, (b) tangkai dan mahkota
bunga, (c) akar tanaman dan (d) umbi akar............................................. 7

3. Ring sistem dari senyawa flavonoid (a), struktur kimia kuersetin (b),
struktur kimia antosianin (c) (Vickery dan Vickery 1981)...................... 9

4. Biosintesis flavonoid (Vickery dan Vickery 1981) : a, b. pembentukan


p-asam kumarat dari jalur asam sikimat, c. pembentukan malonil
CoA pada jalur asetat malonat................................................................. 10

5. Jalur reaksi pembentukan kalkon dan golongan flavonoid lainnya


(Jaakola 2003)........................................................................................... 11

6. Adaptasi tanaman melalui mekanisme penghindaran (avoidance)


pada intensitas cahaya rendah (Levitt 1980)............................................ 15

7. Adaptasi tanaman melalui mekanisme toleran (tolerance) pada


intensitas cahaya rendah (Levitt 1980)..................................................... 17

8. Jalur biosintesis klorofil a dan b (Malkin dan Niyogi 2000).................... 18

9. Struktur kimia klorofil a dan b (Salisbury dan Ross 1992)...................... 19

10. Warna daun plantlet daun dewa untuk penentuan skor warna daun.
(1) = hijau, (2) = hijau keunguan, (3) = merah keunguan....................... 34

11. Tunas mikro daun dewa pada konsentrasi BAP dan IAA....................... 35

12. Interaksi BAP dan IAA terhadap jumlah tunas dan jumlah daun pada
akhir percobaan....................................................................................... 37

13. Jumlah akar pada berbagai konsentrasi IAA umur kultur kultur 5 MST. 40

14. Pengaruh konsentrasi IAA terhadap jumlah akar dan jumlah plantlet
daun dewa in vitro................................................................................... 40

15. Diameter kalus, jumlah akar dan jumlah plantlet pada konsentrasi
BAP 0-3 ppm akhir percobaan............................................................... 41

16. Grafik pengaruh interaksi antara IAA dan sukrosa terhadap jumlah
tunas, jumlah akar dan jumlah daun pada umur kultur 8 MST................ 49
17. Akar yang terbentuk pada konsentrasi sukrosa 30. 40, 50 dan 60 g/l (a)
dan konsentrasi IAA 0, 0.5 dan 1 ppm (b).............................................. 51

18. Grafik pengaruh interaksi antara IAA dan sukrosa terhadap tinggi tunas
dan diameter kalus pada akhir percobaan............................................... 52

19. Grafik korelasi antara tinggi tunas dan diameter kalus pada
interaksi antara IAA dan sukrosa pada akhir percobaan....................... 52

20. Hubungan antara konsentrasi IAA dan sukrosa terhadap panjang


akar plantlet daun dewa umur kultur 8 MST.......................................... 53

21. Plantlet yang dihasilkan pada konsentrasi sukrosa 30, 40, 50 dan 60 g/l
(a) dan konsentrasi IAA 0, 0.5 dan 1 ppm (b)........................................ 54

22. Grafik hubungan antara konsentrasi sukrosa terhadap jumlah


plantlet (A) dan kadar antosianin (B) umur kultur 8 MST...................... 55

23. Perlakuan periode pencahayaan dan sumber bahan tanam...................... 61

24. Perbedaan pertumbuhan tanaman antara bahan tanam in vitro dan


setek pucuk............................................................................................. 66

25. Stomata (pembesaran 40x) pada berbagai periode pencahayaan........... 77

26. Trichoma (pembesaran 40x) pada berbagai periode pencahayaan......... 78

27. Ketebalan daun (pembesaran 100x) pada berbagai periode


pencahayaan............................................................................................ 79

28. Kandungan enzim SOD (µmol/g) dan total klorofil (mg/g) daun
bahan tanam daun dewa asal in vitro dan setek pucuk umur 16 MST... 85

29. Kandungan antosianin (a) dan total flavonoid (b) antara bahan tanam
in vitro dan setek pucuk umur 16 MST................................................... 89

30. Perlakuan periode pencahayaan dan pemupukan.................................... 100

31. Bahan tanam in vitro yang digunakan pada percobaan........................... 105

32. Tanaman daun dewa umur 16 MST perlakuan cahaya 100% (N0)
dengan dosis pupuk P0, P1 dan P2 (a), naungan 25% 4 bulan
(N4) dengan dosis pupuk P0, P1 dan P2 (b), naungan 50% 4 bulan
(N8) dengan dosis pupuk P0, P1 dan P2 (c). P0 = tanpa pemupukan,
P1 = pupuk kandang ayam 50g +SO4 0.4g/tanaman, P2 = pupuk
kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman................................................ 105

33. Perbedaan pertumbuhan tanaman pada berbagai dosis pemupukan........ 106


34. Struktur kloroplas daun dewa (TEM 10.000x) pada cahaya 100% (A),
naungan 25% (B) dan 50% (C) pada umur daun 16 MST...................... 119

35. Struktur kloroplas daun dewa (TEM 10.000x) pada naungan 25%
3 bulan, 1 bulan cahaya 100% (D), naungan 50% 1 bulan, 3 bulan
cahaya 100% (E) dan naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100%
(F) pada umur daun 16 MST..................................................................... 120

36. Kandungan total flavonoid dan kuersetin pada berbagai periode


pencahayaan (a dan b), dan kandungan total flavonoid, kadar SO4,
antosianin dan kuersetin pada berbagai dosis pemupukan (c dan d)
umur 16 MST............................................................................................. 125

37. Produksi total flavonoid dan antosianin pada berbagai periode


pencahayaan (a dan b), dan produksi total flavonoid dan antosianin
pada berbagai dosis pemupukan (c dan d) umur 16 MST.......................... 128

38. Produksi kuersetin per tanaman pada berbagai periode pencahayaan


umur 16 MST.............................................................................................. 129

39. Produksi kuersetin per tanaman pada berbagai dosis pemupukan


umur 16 MST............................................................................................ 129
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
Teks

1. Denah percobaan “ multiplikasi tunas secara in vitro” .......................... 156

2. Denah percobaan “ induksi akar dan antosianin secara in vitro” .......... 157

3. Denah percobaan “ pengaruh periode pencahayaan dan sumber


bahan tanam terhadap pertumbuhan dan kandungan flavonoid” .......... 158

4. Denah percobaan “ pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan


terhadap produksi flavonoid” ................................................................ 159

5. Komposisi media MS yang digunakan pada kultur in vitro...................... 160

6. Hasil analisis kesuburan tanah pada lokasi penelitian tahap IV............... 160

7. Hasil analisis kandungan hara pada pupuk kandang ayam untuk


penelitian tahap IV.................................................................................... 161

8. Hasil uji fitokimia daun dewa umur 16 MST........................................... 161

9. Rata-rata intensitas cahaya dan persen naungan pada penelitian


tahap III dan IV....................................................................................... 162

10. Data iklim periode penelitian lapangan tahap III dan IV....................... 166

11. Rekapitulasi hasil sidik ragam penelitian tahap I................................... 168

12. Rekapitulasi hasil sidik ragam penelitian Tahap II................................. 169

13. Rekapitulasi hasil sidik ragam penelitian tahap III................................. 170

14. Rekapitulasi hasil sidik ragam penelitian Tahap IV............................... 172

15. Skema kerja pada multiplikasi tunas di laboratorium bioteknologi


tanaman................................................................................................... 174

16. Skema kerja pada induksi perakaran dan antosianin di laboratorium


bioteknologi tanaman.............................................................................. 175

17. Metode analisis klorofil a dan b............................................................... 176

18. Metode analisis enzim superoxide dismutase (SOD).............................. 177

19. Metode preparasi dan pengamatan jumlah stomata dan trichoma........... 178

20. Metode preparasi dan pengamatan struktur dan tebal daun..................... 179
21. Metode uji fitokimia................................................................................ 181

22. Metode analisis antosianin....................................................................... 183

23. Metode analisis total crude flavonoid...................................................... 184

24. Metode analisis kadar kuersetin............................................................... 185

25. Metode preparasi dan pengamatan struktur kloroplas............................. 186

26. Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar pospor (P),
kalium (K), dan sulfur (SO4)................................................................... 187

27. Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar nitrogen (N) 190
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai daerah tropis merupakan salah satu negara yang memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi terutama tumbuhan berkhasiat obat. Terdapat
1000 jenis dari 30.000 jenis tumbuhan di Indonesia telah diketahui dapat
dimanfaatkan untuk pengobatan (Badan POM 2004), diantaranya adalah daun dewa.
Daun dewa telah digunakan untuk menurunkan kadar gula dalam darah, obat kulit,
menyembuhkan migraine, hepatitis B, anti tumor atau anti kanker, penurun panas,
menghilangkan bengkak-bengkak, membersihkan racun dan mengatasi peradangan
pada jaringan tubuh (Gati dan Purnamaningsih 1996, Suharmiati dan Maryani 2003,
Lemmens 2003).
Daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) memiliki bahan aktif berupa
flavonoid serta beberapa zat kimia lain seperti alkaloid, tanin, saponin, polifenol,
minyak atsiri serta delapan asam fenolat (Ratnaningsih et al. 1985, Soetarno 2000).
Senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun dewa termasuk golongan glikosida
kuersetin (Soetarno et al. 2000). Flavonoid merupakan senyawa antioksidan yang
mempunyai aktivitas antibakterial, anti inflamatori, anti alergik, anti mutagenik, anti
viral, anti neoplastik, anti trombotik dan anti vasodilatori (Miller 1996), mengurangi
resiko penyakit kardiovaskuler pada manusia (Yochum et al. 1999, Polagruto et al.
2003) dan sebagai peluruh lemak melalui aktivitas enzim lipase (Darusman et al.
2001). Antosianin dan kuersetin sebagai bagian dari golongan senyawa flavonoid
telah dibuktikan dapat menghambat pertumbuhan sel-sel kanker pada manusia
(Lamson et al. 2000, Katsube et al. 2003, Zhang et al. 2005).
Stimulasi produksi bioaktif pada tanaman dapat dilakukan melalui peningkatan
kualitas bahan tanam pada studi in vitro (mikropropagasi) dan manipulasi faktor
lingkungan (cahaya dan pemupukan). Kualitas bahan tanam dapat ditingkatkan
melalui kultur in vitro (Gunawan 1992, Smith 2000). Penggunaan sukrosa pada media
kultur dapat meningkatkan pigmentasi antosianin dari bahan tanam asal in vitro.
Hiratsuka et al. (2001) melaporkan penggunaan ABA 1 g/l dan gula (fruktosa,
sukrosa, glukosa dan ramnosa) 2.5 dan 10% dapat meningkatkan pigmentasi
antosianin pada kultur in vitro Vitis labruscana Bailey cv. Olympia. Penggunaan GA3
1 mg/l dan sukrosa 30 g/l pada kultur in vitro Hyacinthus orientalis menghasilkan
2

glikosida antosianin yang berbeda dengan tanaman yang sama yang ditumbuhkan di
lapang (Hosokawa et al. 1996).
Pada kondisi lapang, stimulasi bioaktif dapat ditingkatkan melalui naungan
dengan periode pencahayaan yang berbeda. Pada tanaman kedelai, pigmentasi
antosianin meningkat pada persen naungan yang semakin tinggi (Lamuhuria et al.
2006), sedangkan pada beberapa klon daun dewa yang tumbuh pada kondisi cahaya
100% menghasilkan kadar antosianin yang tidak berbeda nyata (Ghulamahdi et al.
2006). Tanaman daun jinten (Urnemi et al. 2002), kadar kumarat dan fanilat tertinggi
terdapat pada naungan 75%. Taraf naungan 50 dan 75% meningkatkan respon
tanaman daun jinten terhadap pemupukan. Pemberian pupuk fosfor 75 kg/ha tanpa
pupuk herbal menghasilkan kadar kumarat dan vanilat tertinggi. Penggunaan sulfur
diduga dapat menstimulasi peningkatan senyawa flavonoid dalam tanaman. Peran SO4
sangat penting pada biosintesis senyawa-senyawa golongan flavonoid (Hornok 1992).
Sumber hara dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman dapat berasal dari
pemberian pupuk organik yang bersumber dari bahan organik, dan pupuk anorganik
yang bersumber dari bahan-bahan anorganik, di samping kandungan hara asli tanah.
Pupuk organik yang telah digunakan pada budidaya tanaman adalah pupuk kandang.
Pupuk kandang dapat meningkatkan kandungan N, P, K, Ca, Mg, S, dan
meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dalam tanah (Pujiyanto 2004). Di
samping itu pupuk kandang sebagai sumber bahan organik tanah dapat mendorong
agregasi atau dispersi agregat. Peningkatan agregasi akibat aplikasi pupuk kandang
(pupuk organik) dapat terjadi melalui pengikatan oleh polisakarida dan mucilage yang
dihasilkan oleh bakteri, hifa jamur maupun melalui akar tanaman (Oades 1984).
Kotoran ayam memiliki kelebihan kandungan hara dibandingkan dengan jenis
kotoran hewan lainnya. Persentase kandungan N, P, dan Mg dalam kotoran ayam
lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis kotoran hewan yang lain, sedangkan
persentase K pada kotoran ayam masih lebih rendah dibandingkan dengan kotoran
domba. Kandungan N mencapai 5-8 % dan lebih tinggi dibandingkan dengan kotoran
sapi 2-8 %, kotoran babi 3-5 % dan kotoran domba 3-5 %. Kandungan P dan Mg
rata-rata lebih tinggi dari jenis kotoran sapi, domba dan babi (Donanhue et al. 1997,
Kirchman dan Witter 1992).
3

Rumusan Masalah

Daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) memiliki kandungan bioaktif


diantaranya adalah antosianin dan kuersetin sebagai golongan senyawa flavonoid
yang telah digunakan sebagai anti kanker pada manusia. Untuk meningkatkan
kandungan antosianin dan kuersetin pada daun dibutuhkan kualitas bahan tanam yang
tinggi yang dapat dilakukan melalui studi in vitro dan optimalisasi pemanfaatan
intensitas cahaya dan pemupukan di lapang.
Penyediaan bahan tanam daun dewa yang memiliki kemampuan pertumbuhan
yang lebih baik, dapat tersedia dalam jumlah banyak dengan waktu relatif cepat dan
pertumbuhannya seragam serta memiliki kandungan antosianin yang tinggi dapat
dilakukan melalui teknik in vitro untuk pembentukan bahan tanam asal in vitro.
Penggunaan sitokinin (BAP), auksin (IAA), sukrosa dan media MS yang mengandung
unsur hara makro, mikro, vitamin dan asam amino mendukung pembentukan bahan
tanam asal in vitro yang berkualitas tinggi.
Peningkatan kandungan antosianin dan kuersetin daun dapat ditingkatkan
melalui penanaman bahan tanam asal in vitro pada kondisi lapang dengan
menggunakan periode pencahayaan dan optimalisasi pemupukan. Pada kondisi
lapang, bahan tanam asal in vitro akan mengalami peningkatan biomasa serta
produksi antosianin dan kuersetin juga diharapkan akan mengalami peningkatan.
Melalui periode pencahayaan yang berbeda akan mempengaruhi peningkatan
biomasa, kandungan antosianin dan kuersetin daun. Periode pencahayaan berpengaruh
terhadap perubahan morfo-anatomi daun, struktur kloroplas, kandungan klorofil daun,
akumulasi radikal bebas dalam daun dan hasil fotosintesis berupa bobot biomasa.
Peningkatan bobot biomasa tanaman akan mempengaruhi peningkatan produksi
bioaktif.
Peningkatan biomasa tanaman juga ditentukan oleh faktor pemupukan.
Penambahan pupuk kandang ayam dan SO4 ke dalam media tumbuh akan
meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui suplai unsur hara. Unsur hara SO4
digunakan secara khusus untuk memacu peningkatan kandungan antosianin dan
kuersetin daun.
4

Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk :
1. Menghasilkan bahan tanam asal in vitro yang memiliki kandungan antosianin yang
tinggi melalui kultur in vitro yang menggunakan media MS, sukrosa, BAP dan
IAA.
2. Meningkatkan produksi total flavonoid, antosianin dan kuersetin daun dari bahan
tanam asal in vitro yang ditumbuhkan di lapang melalui periode pencahayaan dan
pemberian pupuk kandang ayam + SO4.

Kerangka Pemikiran
Peningkatan kandungan bioaktif dalam tanaman ditentukan oleh beberapa aspek
diantaranya adalah kualitas bahan tanam, faktor cahaya dan pemberian unsur hara
melalui pemupukan. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan kontribusi dari
ketiga aspek tersebut dalam rangkaian percobaan yang dimulai dari peningkatan
kualitas bahan tanam melalui studi in vitro, penggunaan periode pencahayaan yang
berbeda dan aplikasi pemupukan yang dilakukan pada kondisi lapang.
Studi in vitro daun dewa untuk menghasilkan plantlet dan studi pada tanaman
lainnya untuk pigmentasi antosianin telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya
(Gati dan Purnamaningsih 1994, Mufa’adi et al. 2004, Hiratsuka et al. 2001,
Hosokawa et al. 1996). Studi in vitro untuk pembentukan plantlet daun dewa
berkandungan antosianin yang tinggi belum dilaporkan. Upaya peningkatan
pigmentasi antosianin plantlet daun dewa dapat dilakukan melalui : (1) multiplikasi
tunas mikro menggunakan komposisi media MS, BAP dan IAA, (2) pembentukan
plantlet dan pigmentasi antosianin menggunakan komposisi media MS, IAA dan
sukrosa.
Pada kondisi lapang, bahan tanam asal in vitro dapat ditingkatkan biomasanya
untuk menghasilkan produksi bioaktif yang lebih tinggi melalui periode pencahayaan
dan pemupukan. Peningkatan kandungan bioaktif melalui penggunaan naungan
buatan pada tanaman daun jinten, pegagan dan kedelai telah dilaporkan sebelumnya
(Urnemi et al. 2002, Rachmawaty 2004, Lamuhuria et al. 2006). Mekanisme adaptasi
fisiologi dan anatomi daun pada kondisi naungan juga telah dilakukan (Khumaida
2002, Sopandie et al. 2002, Sopandie et al. 2003a, Tyas 2006, Lamuhuria et al. 2006).
Pertumbuhan daun dewa yang lebih baik pada kondisi naungan telah dilaporkan
(Hidayat 2000, Januwati 1996, Suharmiati dan Maryani 2003), sedangkan pemberian
5

pupuk kandang ayam pada daun dewa hasil kultur in vitro telah dilakukan oleh
Rohmaliah (2003). Peningkatan pertumbuhan, adaptasi morfo-anatomi, fisiologis,
kandungan bioaktif (antosianin dan kuersetin) serta serapan hara daun dewa pada
berbagai periode pencahayaan dan komposisi pupuk kandang ayam + SO4 belum
dilaporkan.
Hubungan antara pertumbuhan, morfo-anatomi dan fisiologis tanaman dalam
proses peningkatan kandungan bioaktif penting untuk diketahui dalam rangkaian
penelitian ini.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Pemberian BAP dan IAA yang optimum dapat meningkatkan jumlah tunas daun
dewa pada kultur in vitro.
2. Pemberian IAA dan sukrosa yang optimum dapat menginduksi perakaran,
pigmentasi antosianin dan pembentukan plantlet daun dewa pada kultur in vitro.
3. Periode pencahayaan dapat meningkatkan kandungan senyawa flavonoid daun
dewa asal kultur in vitro.
4. Pemberian pupuk kandang ayam + SO4 dan periode pencahayaan dapat
meningkatkan produksi senyawa flavonoid daun dewa asal kultur in vitro.

Ruang Lingkup Penelitian


Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dirumuskan ke dalam tiga aspek:
(1) studi in vitro untuk pembentukan plantlet berkandungan antosianin yang tinggi
sebagai bahan tanam, (2) peningkatan senyawa flavonoid bahan tanam asal in vitro
pada berbagai periode pencahayaan di lapang, dan (3) produksi senyawa flavonoid
(antosianin dan kuersetin) bahan tanam asal in vitro melalui aplikasi pupuk kandang
ayam + SO4. Ketiga aspek tersebut dikelompokkan menjadi empat subjudul
penelitian yang terdiri dari: (1) multiplikasi tunas secara in vitro, (2) induksi akar dan
antosianin secara in vitro, (3) peningkatan pertumbuhan dan kandungan bioaktif
bahan tanam asal in vitro pada berbagai periode pencahayaan, dan (4) produksi
flavonoid bahan tanam asal in vitro pada berbagai periode pencahayaan dan
pemupukan.
Peningkatan jumlah tunas mikro dan indikasi adanya pigmentasi antosianin akan
dipelajari dalam subjudul penelitian pertama, sedangkan induksi akar, terbentuknya
6

plantlet dan kandungan antosianin dipelajari dalam subjudul penelitian kedua.


Peningkatan pertumbuhan, adaptasi morfo-anatomi, kandungan pigmen fotosintetik
(klorofil a dan b), enzim penghambat radikal bebas (SOD) dan kandungan bioaktif
daun dipelajari pada subjudul penelitian ketiga. Subjudul penelitian keempat akan
mempelajari pertumbuhan, serapan hara jaringan tanaman, kandungan pigmen dan
organ fotosintetik (klorofil a, klorofil b, struktur kloroplas), serta produksi flavonoid
(antosianin dan kuersetin). Garis besar seluruh kegiatan penelitian disajikan dalam
Gambar 1.

Bahan
Tanam

Studi in Vitro

Penelitian Tahap II Penelitian Tahap I


Induksi Akar dan Pigmentasi Multiplikasi Tunas
Antosianin

Bahan Tanam Asal in Vitro

Penelitian Tahap-III
Periode Pencahayaan dan
Sumber Bahan Tanam

Periode Pencahayaan
Penelitian Tahap-IV dan Pemupukan

Produksi Total
Flavonoid
Antosianin dan
Kuersetin

Gambar 1. Alur kegiatan penelitian


7

TINJAUAN PUSTAKA

Botani, Penyebaran dan Manfaat Daun Dewa

Daun dewa disebut Gynura procumbens (Back.) mempunyai nama sinonim


Gynura pseudochina (L.) DC, merupakan tanaman asli Birma dan Cina, yang tumbuh
menahun berupa terna dan termasuk ke dalam famili Asteraceae (Heyne 1987).
Daun dewa memiliki perakaran tunggang, umbi akar berwarna keabuan dengan
panjang 3-6 cm dan luas penampang sekitar 3 cm. Batang berbentuk bulat berdaging,
tumbuh tegak atau berbaring, tinggi mencapai 1,5 m (Ratnaningsih et al. 1985).
Menurut Wanohadi dan Palupi (2000), daun dewa memiliki daun tunggal tersebar
mengelilingi batang, helaian daun berwarna hijau keunguan, bentuk bulat telur,
berdaging, berbulu lebat, ujung tumpul, tepi bertoreh, pangkal meruncing, pertulangan
menyirip dan tangkai daun pendek. Bunga daun dewa merupakan bunga majemuk
berbentuk bonggol, berbulu, tangkai bunga memiliki panjang 20-30 cm, kelopak
berbentuk cawan dan benang sari berwarna kuning serta ukuran buah kecil berbentuk
garis dan berwarna coklat (Siregar dan Utami 2002, Dalimartha 2001). Bagian-
bagian tanaman secara lengkap disajikan pada Gambar 2 (Foto hasil penelitian).

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 2.
Tanaman daun dewa : (a) tajuk tanaman, (b) tangkai dan mahkota bunga,
(c) akar tanaman, dan (d) umbi akar. (Sumber: Foto penelitian).
8

Daerah pertumbuhan daun dewa tersebar mulai dari dataran rendah sampai
dataran tinggi yang mencapai ketinggian 1-1200 meter di atas permukaan laut (dpl),
namun paling banyak ditemui pada ketinggian 500 m dpl. Daun dewa menghendaki
iklim pertumbuhan berupa curah hujan dengan kisaran 1500-3500 mm/tahun (iklim
sedang sampai basah), tanah agak lembab sampai lembab serta subur (Syukur dan
Hermani 2001).
Menurut Heyne (1987) daun dewa merupakan tanaman asli dari Birma dan
Cina, dan di Indonesia dikenal dengan nama beluntas cina (nama lokal). Di pulau
Jawa (Burkill 1935) tanaman ini banyak digunakan sebagai tanaman berkhasiat obat.
Hasil pengamatan habitat daun dewa oleh Hidayat (2000) di daerah Aceh, tanaman ini
tumbuh secara liar pada daerah dengan kisaran suhu 22-260C, kelembaban 67-90 %,
pH tanah 6.6-7 dan cahaya yang masuk 75-90 %, sedangkan di daerah Sulawesi
Tengah daun dewa tumbuh di ketinggian 840-1250 m dpl, suhu 25-300C, kelembaban
75-85 % dan cahaya yang masuk 50-75 %. Daun dewa tergolong tumbuhan lindung,
karena dapat tumbuh dan tahan pada tempat dengan intensitas cahaya rendah.
Daun dewa merupakan tanaman obat yang banyak dimanfaatkan karena banyak
khasiatnya antara lain untuk menurunkan kadar gula dalam darah, obat kulit,
menyembuhkan migraine, hepatitis B dan anti tumor atau anti kanker. Di samping itu
air perasan daun dewa dapat digunakan sebagai penurun panas dan menghilangkan
bengkak-bengkak (Gati dan Purnamaningsih 1996).
Secara tradisional daun dewa telah banyak digunakan sebagai obat anti kanker.
Pembuktian pada penelitian skala laboratorium menunjukkan bahwa ekstrak daun
dewa mampu menghambat perumbuhan tumor pada mencit (tikus) (Suharmiati dan
Maryani 2003). Pada habitat asalnya, tanaman ini digunakan sebagai sumber sayuran
sehat, sedangkan di pulau Jawa digunakan sebagai obat khususnya untuk penyakit
ginjal (Heyne 1987). Daun dan umbi tanaman ini mengandung bahan aktif seperti
flavonoid, terpenoid, saponin, tanin, alkaloid dan minyak atsiri (Ratnaningsih et al.
1985, Syamsuhidayat dan Hutapea 1991, Windono 2000, Nugroho et al. 2000, Siregar
dan Utami 2000). Hasil penelitian Soetarno et al. (2000) menunjukkan bahwa
senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun dewa termasuk golongan glikosida
kuersetin. Pada penelitian ini juga ditemukan delapan asam fenolat diantaranya asam
klorogenat, asam kafeat, asam p-kumarat, asam p-hidroksi benzoat dan asam vanilat,
sedangkan tiga asam fenolat lainnya belum teridentifikasi. Hasil penelitian Agusta et
9

al. (1998) menunjukkan bahwa daun dewa mengandung 0,05 % minyak atsiri dari
bagian daunnya yang terdiri atas 22 komponen senyawa yang didominasi oleh
Seskuiterpena.
Senyawa Bioaktif Golongan Flavonoid

Menurut perkiraan terdapat sekitar 2% (1 x 109 ton/tahun) dari seluruh karbon


yang difotosintesis diubah menjadi flavonoid yang merupakan salah satu golongan
fenol alam yang terbesar (Markham 1988). Flavonoid merupakan salah satu senyawa
aromatik dalam tanaman yang disintesis melalui biosintesis gabungan membentuk dua
ring sistem (Gambar 3a). Ring A berasal dari tiga unit asetat, sedangkan ring B dan
tiga karbon pada bagian tengah ring berasal dari asam sinamat. Dua lintasan
biosintesis yaitu lintasan asetat-malonat dan asam sikimat adalah lintasan yang
penting dalam proses biosintesis flavonoid (Vickery dan Vickery 1981). Antosianin
dan kuersetin adalah dua senyawa yang tergolong senyawa flavonoid (Gambar 3b dan
3c). Antosianin berasal dari glikosida antosianidin yang tidak stabil, sedangkan
kuersetin berasal dari turunan senyawa-senyawa flavonol.

asal siklus asetat asal siklus asam sinamat


B
O
A OH
O OH
HO
O

(a) Sistem cincin flavonoid OH


OH
O
OH
O (c) Kuersetin
O

OH
OH
(b) Antosianin

Gambar 3. Sistem cincin dari senyawa flavonoid (a), struktur kimia kuersetin (b),
struktur kimia antosianin (c) (Vickery dan Vickery 1981).

Proses biosintesis flavonoid merupakan biosintesis gabungan dari jalur asam


sikimat dan jalur asetat malonat. Vickery dan Vickery (1981) menuliskan bahwa
10

pada jalur asam sikimat akan terbentuk fenilalanin yang merupakan salah satu
senyawa asam amino aromatik yang selanjutnya akan menghasilkan p-asam kumarat,
sedangkan pada jalur asetat malonat akan terbentuk asetil CoA yang akan
menghasilkan malonil CoA, setelah mengikat satu molekul CO2 (Gambar 4).

a. Eritrosa-4-Fosfat + PEP Asam sikimat

Fenilalanin
(asam amino aromatik)
FAL
b. Fenilalanin Asam sinamat

p-Asam kumarat
+ CO2
c. G-6-P Asetil CoA Malonil CoA

Gambar 4. Biosintesis Flavonoid (Vickery dan Vickery 1981): a, b pembentukan p-asam


kumarat dari jalur asam sikimat, c. pembentukan malonil CoA pada jalur asetat
malonat.

Hasil penelitian Jaakola (2003) tentang biosintesis flavonoid pada Bilberry


(Vaccinium mirtryllus L.), ditemukan enzim-enzim yang berperan pada biosintesis
senyawa-senyawa flavonoid. Proses reaksi dimulai dari sintesis kalkon (derivasi
pertama flavonoid) yang berasal dari p-asam kumarat yang menghasilkan cincin A
dan malonil CoA yang menghasilkan cincin B. Fenilalanin amonia liase (FAL)
mengkatalisis perubahan fenilalanin menjadi sinamat. FAL juga berperan pada
perubahan tirosin ke p-kumarat, meskipun pada efisiensi yang rendah.
Sinamat 4-hidroksilase (S4H) mengkatilisis sintesis p-hidroksisinamat dari
sinamat dan 4-kumarat:CoA ligase (4KL), mengubah p-kumarat menjadi CoA ester,
mengaktifkan reaksi dengan malonil CoA. Jalur biosintesis flavonoid dimulai dengan
kondensasi satu molekul dari 4-kumaroksil-CoA dan tiga molekul dari malonil CoA,
menghasilkan naringenin kalkon. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim kalkon sintase
(KS). Kalkon diisomerisasi menjadi flavonon oleh enzim kalkon flavonon isomerase
(KI). Dari pusat intermediet ini terjadi perbedaan jalur ke beberapa cabang jalur,
yang menghasilkan perbedaan kelas flavonoid. Flavonon 3-hidroksilase (F3H)
11

mengkatalisis stereospesifik 3β-hidroksilasi dari (2S)-flavonon menjadi


dihidroflavonol. Untuk biosintesis antosianin, dihidroflavonol reduktase (DFR)
mengkatalisis proses reduksi dari dihidroflavonol menjadi flavan-3,4-diol
(leukoantosianin), dan selanjutnya diubah menjadi antosianidin oleh antosianidin
sintase (ANS). Pembentukan glukosida dikatalisis oleh UDP glukosa-flavonoid 3-0
glukosil transferase (UFGT) (Gambar 5).

Fenilalanin
FAL
S4H, 4KL Asam hidroksisinamat
konjugasi
4-kumaroksil-CoA Jalur Fenilpropanoid

Malonil CoA KS Jalur Flavonoid


Kalkon
Auron KI
Flavanon
Flavon, F3H
Isoflavonoid

Dihidroflavonol
Flavonol DFR

Leukoantosianin
Proantosianidin ANS

Antosianidin
UFGT
Antosianin

Gambar 5. Jalur reaksi pembentukan kalkon dan golongan senyawa flavonoid lainnya
(Jaakola 2003).

Dari keseluruhan aglikon flavonoid, antosianin dapat diidentifikasi dengan baik


dan pada pengamatan visual tanaman menghasilkan warna biru, lembayung muda dan
warna merah pada bunga, buah dan daun Pigmen-pigmen ini adalah glikosida dari
12

antosianidin yang tidak stabil, senyawa-senyawa basa pada ion flavilium (Vickery
dan Vickery 1981). Pada Blueberries dimana terdapat sumber antosianin, diketahui
sangat menguntungkan bagi kesehatan (Kalt dan Dufour 1997, Smith et al. 2000).
Diketahui pula bahwa antosianin sebagai salah satu golongan senyawa flavonoid
dapat berfungsi sebagai obat anti kanker (Katsube et al. 2003).
Flavonoid merupakan salah satu senyawa antioksidan yang mempunyai
aktivitas antibakterial, anti-inflamatori, antialergi, antimutagenik, antiviral,
antineoplastik, anti-trombotik dan aktivitas vasodilatori (Miller 1996). Di samping
itu, flavonoid juga dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler pada manusia
(Yochum et al. 1999, Polagruto et al. 2003). Antosianin dan kuersetin sebagai bagian
dari golongan senyawa flavonoid telah dibuktikan dapat menghambat pertumbuhan
sel-sel kanker pada manusia (Lamson et al. 2000, Katsube et al. 2003, Zhang et al.
2005). Isolasi flavonoid dari tumbuhan telah banyak dilakukan diantaranya dari daun
teh hijau kering (Miller 1996), tanaman Bangle (Zingiber cassumunar) (Darusman et
al. 2001), dan bunga dari tanaman Vaccinium myrtillus L. (Jaakola 2003). Pada daun
dewa, flavonoid juga telah berhasil diisolasi (Ratnaningsih et al. 1985, Simanjuntak
1998, Nugroho et al. 2000, Zaini 2006).

Kultur in vitro Tanaman Daun Dewa

Kultur in vitro menurut Gunawan (1992) adalah suatu metode untuk mengisolasi
bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ,
serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Berawal dari
teori totipotensi sel, teknik kultur jaringan kemudian berkembang menjadi sarana
penelitian di bidang fisiologi tanaman dan aspek-aspek biokimia, dan selanjutnya
teknik ini telah dipergunakan dalam industri tanaman.
Menurut Djuwita (2003) penggunaan teknik kultur in vitro memiliki beberapa
keuntungan diantaranya faktor fisiko-kimiawi lingkungan dapat dikontrol,
karakterisasi dan homogenitas sampel dan ekonomis (sampel dapat diuji dalam
jumlah sedikit). Perbedaan perbanyakan vegetatif secara in vitro dengan metode
konvensional yang lain adalah : a) dalam teknik in vitro, bahan tanaman yang
dipergunakan lebih kecil, sehingga tidak merusak pohon induk, b) lingkungan tumbuh
kultur in vitro harus aseptik dan terkendali, c) kecepatan perbanyakan yang tinggi, d)
dapat menghasilkan bibit bebas penyakit dari induk yang sudah mengandung patogen
13

internal, dan e) membutuhkan tempat yang relatif kecil untuk menghasilkan jumlah
bibit yang besar (Gunawan 1992).
Dalam pelaksanaan teknik kultur in vitro dengan tujuan untuk perbanyakan
vegetatif tanaman diperlukan beberapa langkah-langkah umum seperti penyiapan
eksplan, sterilisasi baik alat-alat yang digunakan maupun eksplan, pembuatan media,
penanaman dan regenerasi tanaman menjadi plantlet (Gunawan 1992, Gamborg dan
Phillips 1995, Smith, 2000). Seluruh langkah-langkah dalam teknik kultur jaringan
harus dilakukan dalam kondisi aseptis, karena kontaminasi oleh mikroorganisme
merupakan permasalahan sangat penting yang harus dihindari dalam kultur jaringan
(Boediono 2003). Selanjutnya disebutkan bahwa metode aseptis pada penanganan
kultur jaringan adalah upaya untuk memberikan batas antara mikroorganisme yang
banyak terdapat dalam lingkungan bebas dan lingkungan kultur yang tidak
terkontaminasi. Oleh karena itu semua bahan atau alat yang akan berkontak langsung
dengan lingkungan kultur harus dalam kondisi steril.
Di samping beberapa aspek penting dalam kultur jaringan, media tanam
merupakan salah satu aspek yang menarik dalam menentukan keberhasilan tujuan
penggunaan teknik kultur jaringan. Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur
jaringan, sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan
tanaman menyediakan unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada
umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari
atmosfer melalui fotosintesis (Gunawan 1992). Di samping garam-garam inorganik,
penggunaan zat pengatur tumbuh, vitamin, asam-asam amino dan antibiotik juga
sangat penting dalam komposisi media (Smith 2000).
Diantara beberapa komponen media pada teknik kultur jaringan, peranan zat
pengatur tumbuh (ZPT) dalam proses regenerasi tanaman cukup penting. Zat
pengatur tumbuh digunakan untuk mendukung pertumbuhan awal, dan sangat penting
untuk mengarahkan respon pertumbuhan propagul (Hartman dan Kester 1983).
Auksin (IAA, NAA, 2,4-D, atau IBA) diserap oleh sel-sel tanaman untuk proses
pembelahan dan inisiasi akar. Pada konsentrasi yang tinggi, auksin dapat menekan
proses morfogenesis, sedangkan sitokinin (kinetin, BA, zeatin dan 2iP) berperan
dalam pembelahan sel, proliferasi pucuk dan morfogenesis pucuk (Smith 2000).
Secara fisiologis peranan auksin dalam tanaman adalah untuk mendukung proses
pemanjangan sel dan menghambat pertumbuhan pucuk lateral, sedangkan sitokinin
14

berperan penting pada proses pembelahan sel dan mendukung proses morfogenesis
(Taiz dan Zeiger 1991).
Penggunaan sukrosa pada media kultur dapat meningkatkan pigmentasi
antosianin dari plantlet. Hiratsuka et al. (2001) melaporkan penggunaan ABA 1 g/l
dan gula (fruktosa, sukrosa, glukosa dan ramnosa) 2.5 dan 10% dapat meningkatkan
pigmentasi antosianin pada kultur in vitro Vitis labruscana Bailey cv. Olympia.
Penggunaan GA3 1 mg/l dan sukrosa 30 g/l pada kultur in vitro Hyacinthus orientalis
menghasilkan glikosida antosianin yang berbeda dengan tanaman yang sama yang
ditumbuhkan di lapang (Hosokawa et al. 1996).
Kultur jaringan daun dewa sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti.
Gati dan Purnamaningsih (1996) menggunakan komposisi media yang terdiri dari BA
dan IAA untuk menginisiasi pertumbuhan tunas dan akar. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pemakaian BA 2 mg/l dapat menghasilkan rata-rata jumlah tunas
tertinggi yaitu 20.1 dan pemakaian IAA 0.5 mg/l menghasilkan rata-rata jumlah akar
tertinggi yaitu 12.8. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mufa`adi et al. (2003)
menunjukkan bahwa interaksi antara BAP 3 ppm dan IAA 0.5 ppm menghasilkan
jumlah tunas terbanyak yaitu 85.4 tunas per botol. Pada perlakuan pengakaran yang
dilakukan Anggirasti (2002), menunjukkan bahwa media MS-0 + IAA 0.5 mg/l
menghasilkan jumlah akar yang terbanyak.

Pengaruh Naungan terhadap Pertumbuhan Tanaman

Tanaman daun dewa dalam proses pertumbuhannya di lapang membutuhkan


intensitas cahaya tertentu dan tergolong tanaman toleran naungan. Di daerah Aceh
ditemukan bahwa daun dewa dapat tumbuh baik pada cahaya yang masuk berkisar 75-
90 %, dan di Sulawesi Tengah 50-75 % (Hidayat 2000). Menurut Januwati (1996)
pertumbuhan daun dewa akan lebih baik pada naungan 25 %. Daun dewa tergolong
tumbuhan lindung, karena dapat tumbuh dan tahan pada tempat dengan intensitas
cahaya rendah, dan idealnya memperoleh 60 % sinar matahari (Suharmiati dan
Maryani 2003).
Daun dewa yang tumbuh di daerah ternaungi menghasilkan daun yang lebih
lebar, renyah, warna lebih cerah dan halus sehingga rasanya lebih enak bila dimakan
segar, sedangkan daun dewa yang ditanam pada intensitas cahaya yang tinggi (tanpa
naungan) menghasilkan daun yang keras. Penipisan daun pada intensitas cahaya yang
rendah disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan
15

Zeiger 1991). Tanaman daun dewa memiliki 1 lapis sel mesofil dan 1 lapis sel lapisan
palisade (Suharmiati dan Maryani 2003).

Mekanisme Adaptasi pada Intensitas Cahaya Rendah

Adaptasi tanaman terhadap naungan menurut Levitt (1980) dilakukan melalui :


1) mekanisme penghindaran (avoidance) terhadap kekurangan cahaya, dan 2)
mekanisme toleran (tolerance) terhadap kekurangan cahaya Gambar 6 dan 7).

Meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya


(1)

Meningkatkan area penangkapan cahaya Meningkatkan penangkapan cahaya


(2) per unit area fotosintetik
(3)

Meningkatkan proporsi
fotosintetik area Menghindari cahaya
Menghindari cahaya Menghindari
(4) yang
yang ditransmisikan pemborosan
direfleksikan
(6) cahaya
(5)
yang diabsorpsi
(7)
Hilangnya kutikula, lilin
dan rambut pada Hilangnya pigmen non
permukaan daun kloroplas (misalnya
(8) antosianin)
Meningkatnya kandungan (9)
kloroplas per sel mesofil
(12)

Meningkatnya kandungan Meningkatnya kandungan


kloroplas pigmen per
Meningkatnya kandungan (10) kloroplas
kloroplas dalam sel (11)
epidermis
(13)

Gambar 6. Adaptasi tanaman melalui mekanisme penghindaran (avoidance) pada intensitas


cahaya rendah (Levitt 1980).

Pada mekanisme penghindaran, tanaman akan meningkatkan luas area


penangkapan cahaya dan meningkatkan penangkapan cahaya per unit area
fotosintetik, melalui pengurangan cahaya yang ditransmisikan dan yang direfleksikan.
Beberapa hasil penelitian yang dapat membuktikan hipotesis Levitt (1980) tersebut
telah dilaporkan. Peningkatan area penangkapan cahaya melalui peningkatan luas
daun kedelai dan padi gogo pada intensitas cahaya rendah telah dilaporkan
(Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a dan Sopandie at al. 2003b). Peningkatan
penangkapan cahaya per unit luas area fotosintetik melalui peningkatan pigmen
fotosintesis dan volume kloroplas pada kedelai dan padi gogo serta menurunkan
jumlah trichoma pada kedelai juga telah dilaporkan (Khumaida 2002, Sopandie et al.
2003a dan Sopandie at al. 2003b, Handayani 2003, Tyas 2006, Lamuhuria 2007).
16

Pada kondisi naungan, tanaman akan mengalami perubahan adaptasi yang


ditunjukkan oleh perbedaan kandungan pigmen fotosintetik dan peningkatan luas
daun. Hasil penelitian Sopandie et al. (2003a) pada tanaman padi gogo menyebutkan
bahwa morfologi daun tanaman dan kandungan klorofil a, b serta nisbah klorofil a/b
berbeda antara tanaman toleran dan peka terhadap naungan. Luas daun genotipe padi
gogo toleran naungan lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe yang peka, tetapi
ketebalan daun, ketebalan mesofil dan kerapatan stomata lebih rendah. Nisbah
klorofil a/b pada genotipe toleran dan peka terjadi penurunan pada naungan 50 %
dibandingkan dengan kontrol, namun penurunan yang tajam terjadi pada genotipe
peka.
Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa intensitas cahaya rendah menurunkan
nisbah klorofil a/b, yang disebabkan oleh peningkatan klorofil b pada tanaman yang
ternaungi, yang berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b pada Light
Harvesting Complex II (LHC II). Membesarnya antena untuk fotosistem II ini akan
meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya. Efisiensi respirasi juga lebih tinggi pada
tanaman toleran naungan. Menurut Sopandie et al. (2003b) Pada tanaman padi gogo
toleran naungan yang ditumbuhkan pada kondisi gelap memiliki efisiensi respirasi
yang tinggi dengan kandungan pati dan karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tanaman yang peka kondisi gelap.
Pengurangan jumlah cahaya yang sampai kepermukaan daun tanaman juga
dapat mempengaruhi struktur kloroplas. Ukuran kloroplas tanaman naungan pada
cahaya rendah umumnya lebih besar (Lee et al. 1985). Intensitas cahaya rendah juga
meningkatkan jumlah kloroplas per sel, volume kloroplas dan membran tilakoid serta
grana (stack granum), seperti pada Gusmania monostachia (Maxwell et al. 1999).
Khumaida (2002) juga melaporkan bahwa genotipe kedelai toleran naungan
Pangrango dan B613 mengalami peningkatan volume grana dan butir pati lebih
banyak pada kondisi naungan 50%. Peningkatan ukuran kloroplas dan tumpukan
grana akan meningkatkan penangkapan dan penyerapan cahaya (Chitchley 1997).
Pada mekanisme toleran, tanaman akan menurunkan titik kompensasi cahaya
dan mengurangi laju respirasi di bawah titik kompensasi cahaya. Tanaman naungan
beradaptasi dengan cara menurunkan titik kompensasi cahaya dan laju respirasi di
bawah titik kompensasi cahaya dimaksudkan untuk meningkatkan produk fotosintesis
pada intensitas cahaya yang rendah. Peningkatan ukuran butir pati kloroplas pada
intensitas cahaya rendah dapat menunjukkan rendahnya laju respirasi. Khumaida
17

(2002) dan Tyas (2006) melaporkan bahwa ukuran butir pati kloroplas kedelai pada
intensitas cahaya rendah lebih banyak dibanding pada kloroplas cahaya penuh.
Meningkatnya deposit pati tersebut disebabkan karena penguraian pati menjadi gula
berlangsung pada intensitas yang rendah. Pada intensitas cahaya rendah kandungan
gula-pati kedelai toleran Ceneng lebih rendah dari Genotipe peka Godek (Lestari
2005), sedangkan kloroplas pada daun yang diberi perlakuan gelap 5 hari masih
terdapat butir pati. Rendahnya kandungan gula dan masih adanya butir pati pada
kondisi kekurangan cahaya menunjukkan laju respirasi yang rendah (Tyas 2006).

Toleransi defisit cahaya


(1)

Menurunkan kecepatan Menurunkan LCP


respirasi di bawah LCP (2)
(3)

Menurunkan kecepatan Menghindari kerusakan


respirasi mendekati LCP sistem fotosintetik
(5) (4)

Menghindari Menghindari kerusakan


penurunan aktivitas pigmen
enzim (7)
(6)

Menurunkan substrat Menurunkan sistem respiratory


respirasi (8) (mitokondria dan enzim) (9)

Gambar 7. Adaptasi tanaman melalui mekanisme toleran (tolerance) pada intensitas cahaya
rendah (Levitt 1980).

Kloroplas dan Klorofil sebagai Komponen Utama Fotosintesis


Kloroplas berasal dari proplastid kecil (plastid yang belum dewasa, kecil dan
hampir tidak berwarna dengan sedikit atau tanpa membran dalam). Proplastid
membelah pada saat embrio berkembang dan berkembang menjadi kloroplas ketika
daun dan batang terbentuk. Kloroplas muda juga aktif membelah, khususnya bila
organ yang mengandung kloroplas terpajan pada cahaya dan setiap sel daun dewasa
mengandung beberapa ratus kloroplas. Setiap kloroplas dikelilingi oleh sistem atau
selimut membran ganda yang mengatur lalulintas molekul keluar masuk kloroplas
(Salisbury dan Ross 1992).
18

Sel-sel tumbuhan mengandung berlimpah plastid dengan masing-masing tipe


dan setiap plastid dibatasi oleh membran ganda. Plastid yang mengandung pigmen
klorofil dan karotenoid disebut kloroplas yang merupakan tempat berlangsungnya
proses fotosintesis. Kloroplas terdiri dari stroma yang kaya enzim dan di dalam
stroma terdapat tilakoid yang mengandung pigmen. Disinilah energi cahaya
digunakan untuk mengoksidasi H2O membentuk ATP dan NADPH yang kaya energi,
yang diperlukan stroma untuk mengubah CO2 menjadi karbohidrat. Pada bagian
tertentu terdapat tumpukan tilakoid yang disebut grana (satu tumpukan disebut
granum). Daerah tempat satu tilakoid grana berhubungan dengan tilakoid grana
lainnya dinamakan daerah pinggir. Tilakoid stroma adalah tilakoid yang lebih
panjang yang menghubungkan satu grana dengan grana lainnya. Pada membran
tilakoid mengandung pigmen yang terdiri dari klorofil a dan b (Salisbury dan Ross
1992, Voet et al 1999, Dashek dan Harrison 2006).

Glutamat α-ketoglutarat Susinat + Glisin

Asam aminolaevulinik
d-oksovalerat

-2H2O
Glutamat 1- Porfobilinogen
Glutamik semialdehid
fosfat

-NH3

Anporfirinogen
Protoklorofil

-4CO2
Mg2+ - adenosilmetionin
H2O Koporfirinogen

Mg-protoporfirin
Protokloro Protoporfirin Protoporfirinogen
monometilester
filid
-4H
-6H
-6H
Geranil-geranil pirofosfat
Cahaya

Klorofil a Klorofil b

Gambar 8. Jalur biosintesis klorofil a dan b (Malkin dan Niyogi 2000).

Prekursor utama dalam proses pembentukan klorofil adalah glutamat yang


merupakan senyawa organik intermediet (bagan lintasan disajikan pada Gambar 8).
19

Glutamat mengalami proses deaminasi membentuk α-ketoglutarat, kemudian


direduksi menjadi γ,δ-dioksovalerat dan mengalami transaminasi menjadi δ-amino-
laevulinik yang memerlukan ATP dan NADPH.
Pelepasan air dari dua molekul asam amino-laevulinik menghasilkan
porfobilinogen yang mengandung struktur cincin pirol. Reaksi selanjutnya adalah
pelepasan NH3 dan CO2 yang kemudian membentuk protoporfirinogen. Penambahan
Mg2+ dan adenosilmetionin pada protoporfirin menghasilkan Mg-protoporfirin
monometilester. Mg pada klorofil berfungsi sebagai pengatur absorpsi spektrum.
Mg-protoporfirin monometilester mengalami dehidrasi dan reduksi menghasilkan
protoklorofilid. Penambahan proton H+ akan menghasilkan klorofilid a. Adanya
cahaya yang diabsorpsi oleh protoklorofilid akan mereduksi klorofilid a menjadi
klorofil a (Malkin dan Niyogi 2000). Pembentukan klorofil a sangat dipengaruhi oleh
adanya cahaya (Lawlor 1987), dan perubahan klorofil a menjadi klorofil b disebabkan
karena substitusi pada gugus metil atau aldehida. Apabila gugus metil (CH3)
digantikan oleh gugus aldehida (CHO), maka akan terbentuk klorofil b (Gambar 9)
(Salisbury dan Ross 1992).

H-C=O (jika aldehida yang menempel, bukannya


CH3, maka molekul adalah klorofil b)

H2C =CH H CH3

H3C
CH2CH3
N N
H Mg H
H3C N N
H
H

O=CCH2CH2 H
HC C=O
O=C-OCH3

CH3
H H H
O-CH2-C=C-CH2-CH2-CH2-C-CH2-CH2-CH2-C-CH2-CH2-CH2-C-H
CH3 CH3 CH3
CH3
ekor fitol (C20 H39)

Gambar 9. Struktur kimia klorofil a dan b (Salisbury dan Ross 1992).


20

Enzim SOD Sebagai Penghambat Stres Oksidatif

Cahaya sangat penting untuk fotosintesis, tetapi terdapat kemungkinan


terjadinya stres oksidatif pada intensitas cahaya yang tinggi. Pada intensitas cahaya
yang tinggi, proses fotosintesis akan mengalami penurunan karena penghambatan
oleh cahaya yang tinggi (photoinhibition) yang memproduksi radikal bebas dalam
bentuk superoksida (02-) pada fotosistem II (FS II). Produksi radikal bebas yang
tinggi dapat menyebabkan kerusakan membran tilakoid pada kloroplas, kerusakan
pada pusat reaksi dan penghambatan transpor elektron pada FS II (Hideg 1997).
Studi tentang photoinhibition telah banyak dilakukan, diantaranya mengetahui
aktivitas beberapa enzim yang berperan seperti enzim superoxide dismutase (SOD)
dan peroxidase (PER). Enzim SOD adalah salah satu enzim kunci yang menghambat
produksi 02- dalam penghambatan fotosintesis (Hideg 1997). Ketahanan tanaman
terhadap gangguan 02- pada kloroplas dipengaruhi oleh peningkatan kandungan enzim
SOD. Tanaman yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap aktivitas 02-
menghasilkan enzim SOD yang lebih tinggi dari tanaman yang peka (Ismail et al.
2001).
Pada percobaan pengujian Paraquat pada Crassocephalum crepidioides, untuk
tanaman resisten menghasilkan enzim SOD 138 U/mg protein dan lebih tinggi dari
tanaman peka yang menghasilkan 114 U/mg protein (Ismail et al. 2001). Pada
tanaman tembakau transgenik, kadar SOD yang tinggi lebih toleran pada intensitas
cahaya yang tinggi dibandingkan dengan tanaman kontrol. Aktivitas SOD pada
tanaman non transgenik rata-rata 50 unit/g bobot basah tergantung intensitas cahaya,
sedangkan pada tanaman transgenik terjadi peningkatan aktivitas SOD 40-60% lebih
tinggi (Slooten 1995).
Superoxide dismutase (SOD) dalam tanaman terdapat dalam beberapa bentuk
masing-masing MnSOD, FeSOD, CuSOD dan ZnSOD. Pada tembakau transgenik
yang toleran pada defisiensi Mn, luas daun tidak mengalami penurunan pada
kekurangan Mn, karena total MnSOD mengalami peningkatan. Pada tanaman non
transgenik terjadi penurunan terhadap luas daun (Yu et al. 1999).

Peningkatan Kandungan Flavonoid karena Pengaruh Cahaya

Pada pembentukan senyawa metabolit sekunder dalam tanaman, intensitas


cahaya juga berperan penting. Awad et al. (2001) melaporkan bahwa intensitas
21

cahaya yang berbeda dapat menghasilkan kandungan golongan flavonoid yang


berbeda pada kulit buah apel kultivar ‘ Jonagold’. Buah apel yang berada pada
bagian atas dari tajuk, bagian dalam tajuk, bagian sebelah timur dan sebelah barat
tajuk menghasilkan kandungan flavonoid yang berbeda (Tabel 1).
Tabel 1. Kandungan flavonoid (mg/g) pada kulit apel ‘Jonagold’ yang dipengaruhi
posisi buah pada pohon.
Posisi Buah Cianidin 3- Phloridzin Catechin Quercetin 3- Total
pada Pohon galaktoside glycosides Flavonoid
Atas 0.55 1.2 3.0 8.8 13.5
Dalam Tajuk 0.02 1.1 3.6 2.5 7.2
Timur Tajuk 0.23 1.2 3.7 7.0 12.2
Barat Tajuk 0.25 1.2 3.5 6.8 11.8
Sumber: Awad et al. (2001).

Pada tanaman pegagan (Centella asiatica L. (Urban)) jenis besar menghasilkan


kandungan triterpenoid, steroid dan flavonoid yang cukup banyak pada naungan 25
%, sedangkan pada naungan 55-75 % kandungan tiga golongan metabolit sekunder
tersebut mengalami penurunan (Rachmawaty 2004). Pada tanaman kedelai,
pigmentasi antosianin meningkat pada persen naungan yang semakin tinggi
(Lamuhuria et al. 2006), sedangkan pada beberapa klon daun dewa yang tumbuh pada
kondisi cahaya 100% menghasilkan kadar antosianin yang tidak berbeda nyata
(Ghulamahdi et al. 2006). Konsentrasi antosianin pada kulit buah apel mengalami
peningkatan pada level cahaya yang berbeda sampai sekitar 50% dari cahaya matahari
penuh (Jackson 1980, Barritt 1997). Antosianin pada daun tanaman yang ternaungi
terdapat pada vakuola sel epidermis serta sel-sel mesofil daun sehingga terjadi
akumulasi yang tinggi (Woodall et al. 1998, Gould et al. 2000). Pada tanaman daun
jinten (Urnemi et al. 2002), juga terjadi peningkatan kadar kumarat dan fanilat pada
naungan 75%.
Senyawa-senyawa golongan flavonoid dapat mengalami peningkatan karena
pengaruh cahaya (Salisbury dan Ross 1992). Cahaya dalam proses fotosintesis akan
menghasilkan glukosa-6-fosfat sebagai prekursor pembentukan asetil CoA yang
selanjutnya menghasilkan senyawa-senyawa flavonoid termasuk antosianin (Vickery
dan Vickery 1981). Di samping itu peningkatan senyawa flavonoid daun tanaman
yang diekspos pada cahaya langsung (direct sun exposure) menunjukkan adanya
peningkatan aktivitas enzim flavonon 3-hidroksilase (F3H) yang mengkatalisis
hidroksilasi flavonon menjadi dihidroflavonol dan selanjutnya berpengaruh pada
biosintesis flavonol, proantosianidin dan antosianin (Bohm 1998).
22

Pada tanaman Bilberry (Vaccinium myrtillus L.) terjadi peningkatan aktivitas


enzim F3H pada daun tanaman yang sebelumnya tumbuh pada kondisi naungan
kemudian diekspos pada cahaya langsung. Peningkatan aktivitas enzim F3H tersebut
mengindikasikan peningkatan produksi senyawa flavonol (Jaakola 2003).

Pupuk Organik dan Anorganik

Sumber hara dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman dapat berasal dari
pemberian pupuk organik yang bersumber dari bahan organik, dan pupuk anorganik
yang bersumber dari bahan-bahan anorganik, di samping kandungan hara asli tanah.
Pupuk organik yang telah digunakan pada budidaya tanaman adalah pupuk kandang.
Pupuk kandang dapat meningkatkan kandungan N, P, K, Ca, Mg, S, dan
meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dalam tanah (Pujianto 2004). Di
samping itu pupuk kandang sebagai sumber bahan organik tanah dapat mendorong
agregasi atau dispersi agregat. Peningkatan agregasi akibat aplikasi pupuk kandang
(pupuk organik) dapat terjadi melalui pengikatan oleh polisakarida dan mucilage yang
dihasilkan oleh bakteri, hifa jamur maupun melalui akar tanaman (Oades 1984).
Kotoran ayam memiliki kelebihan kandungan hara dibandingkan dengan jenis
kotoran hewan lainnya (Tabel 2). Persentase kandungan N, P, dan Mg dalam kotoran
ayam lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis kotoran hewan yang lain.
Sedangkan persentase K pada kotoran ayam masih lebih rendah dibandingkan dengan
kotoran domba. Kandungan N mencapai 5-8 % dan lebih tinggi dibandingkan dengan
kotoran sapi 2-8 %, kotoran babi 3-5 % dan kotoran domba 3-5 %. Kandungan P dan
Mg rata-rata lebih tinggi dari jenis kotoran hewan lainnya .
Tabel 2. Komposisi unsur hara kotoran ayam dan kotoran hewan lain
Jenis Hewan N (%) P (%) K (%) Mg (%)
Sapi 2-8 0.2-1 0.7-3* 0.6-1.5*
Ayam 5-8 1-2 1-2 0.6-3
Domba 3-5 0.4-0.8 2-3 0.2
Sumber : Donanhue RL, Miller RW, Shickluna JC. 1997. An Introduction to Soil and Plant
Growth. *) Kirchman H, Witter E. 1992. Composition of Fresh Aerobic and
Anaerobic Farm Animal Dungs.

Beberapa hasil penelitian pada daun dewa yang menggunakan kotoran ayam
sebagai pupuk organik dapat mengurangi gejala defisiensi unsur hara. Pemberian
kotoran ayam tanpa pupuk anorganik dengan perbandingan 1:1 (v/v) tidak
menunjukkan adanya defisiensi hara pada tanaman, meskipun tanaman terlihat kurus
(Siregar dan Utami 2002). Hasil penelitian Sulianti (1999) yang menggunakan
23

komposisi media yang terdiri dari tanah : pasir : kotoran ayam dengan perbandingan
1 : 1 : 2 menunjukkan perkembangan daun yang subur pada tanaman daun dewa.
Pupuk organik dalam proses penyediaan unsur hara masih membutuhkan proses
penguraian oleh mikroorganisme tanah (Rao 1994). Mengatasi masalah tersebut
kombinasi pemberian pupuk organik dan anorganik menjadi alternatif dalam sistem
pertanian organik (Sutanto 2002). Pemberian pupuk organik dapat berfungsi
memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah dan sedikit menyumbangkan unsur hara
tersedia dalam tanah, sedangkan penambahan pupuk anorganik diharapkan dapat
mensuplai ketersediaan unsur hara yang tidak dapat tersedia secara cepat dari pupuk
organik. Unsur hara makro yang esensial baik yang bersumber dari pupuk organik
maupun anorganik merupakan kebutuhan mutlak bagi pertumbuhan tanaman.

Nitrogen
Nitrogen (N) berada dalam bentuk anorganik dan organik dalam tanaman, dan
berkombinasi dengan C, H, O dan suatu saat dengan S membentuk asam amino,
amino enzim, asam nukleat, klorofil, alkaloid dan basa-basa purin (Jones 1998).
Nitrat (NO3-) dan amonium (NH4+) adalah sumber utama N anorganik yang dapat
diserap oleh akar tanaman. Sebagian besar amonium bergabung ke dalam senyawa
organik dalam akar, sedangkan nitrat bergerak dengan mudah dalam xilem dan dapat
pula disimpan dalam vakuola akar, pucuk dan organ-organ penyimpan. Akumulasi
nitrat dalam vakuola sangat penting untuk keseimbangan kation-anion (Marschner
1995).
Nitrogen bagi tanaman dibutuhkan secara terus menerus selama tanaman
tersebut tumbuh untuk melangsungkan proses fisiologis yang sangat penting,
sedangkan jumlah N tersedia bagi tanaman secara alami terbatas. Untuk mengatasi
hal tersebut diperlukan pemupukan baik pupuk organik maupun anorganik. Pupuk
organik dapat berupa pupuk kandang, sedangkan salah satu jenis pupuk tunggal
anorganik yang sering digunakan dan mengandung N adalah Urea [CO(NH2)2]
(Leiwakabessy dan Sutandi 1998). Siregar dan Utami (2000) melaporkan bahwa daun
dewa yang diberi pupuk urea 5 g/tanaman menunjukkan adanya peningkatan tinggi
tanaman, jumlah daun, jumlah tunas, bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman
dibanding tanaman yang hanya diberi KCl dan TSP. Pemberian urea 5 g/tanaman
juga dapat berpengaruh pada peningkatan warna daun tanaman daun dewa asal kultur
in vitro (Rohmaliah 2003).
24

Fosfor
Fosfor (P) pada tanaman berperan pada proses fotosintesis, perubahan
karbohidrat, glikolisis, metabolisme asam amino, metabolisme lemak, dan proses
transfer energi (Tisdale dan Nelson 1985, Leiwakabessy 1988). Pentingnya peran P
pada berbagai proses fisiologis tersebut, karena P merupakan komponen penting dari
enzim dan protein, adenosin trifosfat (ATP), asam ribonukleat (RNA), asam
deoksiribonukleat (DNA), dan fitin (Jones 1998).
Fosfor diserap akar tanaman dalam dua bentuk anion, masing-masing
dihidrogen fosfat (H2PO4-) dan monohidrogen fosfat (HPO42-). Rasio antara kedua
anion tersebut dalam larutan tanah tergantung dari pH tanah (Jones 1998).
Selanjutnya disebutkan bahwa ketersediaan P dalam tanah dapat dipenuhi dengan
pemberian pupuk. Pupuk sintetis yang banyak digunakan diantaranya 20 %
Superfosfat, Superfosfat dan monoamonium fosfat.

Kalium
Kalium (K) pada tanaman berperan sebagai aktivator berbagai enzim,
mempertahankan vigor tanaman, merangsang pertumbuhan akar dan sebagai
katalisator (Soepardi 1983). Di samping itu K juga berperan dalam proses
pembentukan karbohidrat, translokasi gula dan metabolisme protein (Leiwakabessy
1982). Dalam mempertahankan vigor tanaman, K berperan dalam proses
pemeliharaan status air tanaman, tekanan turgor dalam sel, serta proses membuka dan
menutupnya stomata (Marcshner 1995, Jones 1998).
Kalium dapat diberikan ke dalam tanah melalui pupuk anorganik maupun pupuk
organik dalam bentuk serasah tanaman. Pupuk anorganik yang sering digunakan
diantaranya adalah kalium klorida (KCl) dengan persentase K2O 60-63 %, kalium
sulfat (K2SO4) dengan persentase K2O 50-52 %, dan kalium nitrat (KNO3) dengan
persentase K2O 44 % (Jones 1998).

Magnesium
Magnesium (Mg) adalah unsur hara makro esensial. Tanaman mengambil
unsur ini dalam bentuk ion Mg2- melalui intersepsi dan aliran masa. Dibanding
dengan N dan K, kebutuhan tanaman terhadap Mg relatif rendah, sehingga sering
disebut unsur hara makro sekunder (Hanawalt dan Whittaker 1987). Magnesium
berperan sebagai penyusun klorofil, mengaktifkan enzim pada proses fosforilasi dan
25

fotosintesis, serta translokasi karbohidrat (Marshner 1995). Magnesium diperlukan


sebagai aktivator enzim pada metabolisme karbohidrat dan terutama dalam siklus
asam sitrat yang penting dalam respirasi sel (Leiwakabessy 1982). Kekurangan Mg
dapat menghambat fotosintesis karena hambatan pada transpor fosfor (Frederick dan
Linch 1985).
Penambahan kandungan Mg dalam tanah dapat dilakukan dengan pemberian
berbagai macam pupuk Mg diantaranya adalah dolomit (CaCO3 + MgCO3) dengan
kandungan 6-12 % Mg, kiserit (magnesium sulfat) (MgSO4.H2O) dengan kandungan
18 % Mg serta magnesium oksida (MgO) dengan kandungan 50-55% Mg (Jones
1998).

Sulfur
Sulfur (S) diperoleh melalui tanah dan udara yang masing-masing dalam bentuk
anion sulfat (SO42-) dan sulfur dioksida (SO2). Pada daerah tropis, sulfur dikenal
sebagai faktor pembatas dan kebutuhannya sebanding dengan kebutuhan fosfor.
Sulfur merupakan elemen esensial yang berhubungan dengan sintesis protein. Sulfur
dalam bentuk (SO42-) berperan pada produksi senyawa-senyawa metabolit sekunder
dalam tanaman seperti flavonoid dan terpenoid (Hornok 1992). Di samping itu
aktivitas beberapa enzim kloroplas yang berperan pada metabolisme karbon dan
proses fotosintesis lainnya diregulasi oleh S dalam bentuk ikatan disulfida (Buchanan
et al. 2000).
Proses pengangkutan SO4 dari larutan tanah menuju sel-sel tanaman dimulai
dari penyerapan hara dari larutan tanah menuju sel-sel akar. Dalam sel-sel akar SO4
terdapat pada vakuola dan plastid kemudian melalui xilem diangkut menuju kloroplas
dan sebagian pada vakuola sel-sel mesofil daun. Di kloroplas SO4 membentuk sistein
sebagai prekursor pembentukan acetil CoA (Crawford et al. 2000, Marshner 1995).
Acetil CoA selanjutnya akan membentuk malonil CoA dalam proses biosintesis
flavonoid (Vickery dan Vickery 1981, Hornok 1992).
Gejala kekurangan unsur ini mirip dengan gejala kekurangan N yaitu tanaman
berwarna pucat, terkadang berwarna coklat-kuning terang atau seperti warna jerami,
dan pertumbuhannya terhenti (Ahn 1993). Kekurangan S menghambat sintesis
protein (Marshner 1995) dan S dalam bentuk SO42- menghambat sintesis senyawa
metabolit sekunder terutama pada golongan flavonoid (Vagujfalvi 1992).
26

Penambahan S dalam tanah dapat dilakukan dengan pemberian pupuk S


diantaranya dalam bentuk sulfur (S) dengan kandungan 90-100 % S, amonium sulfat
(NH4)2SO4 dengan kandungan 24 % S, dan magnesium sulfat (MgSO4.7H2O dengan
kandungan 13% S (Jones, 1998). Kalium sulfat, amonium sulfat dan amonium
tiosulfat merupakan alternatif sumber S yang lebih tersedia (Whitehead 2000).
27

MULTIPLIKASI TUNAS DAUN DEWA (Gynura pseudochina (L.) DC)


SECARA IN VITRO

ABSTRAK

Pembentukan plantlet dimulai dari proses perbanyakan tunas mikro.


Perbanyakan tunas mikro memerlukan dua zat pengatur tumbuh yang penting dalam
kultur in vitro yaitu BAP dan IAA. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
kombinasi antara BAP dan IAA yang optimum dalam proses pembentukan tunas.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok dua faktor,
masing-masing dengan konsentrasi 0, 1, 2 dan 3 ppm untuk BAP dan 0, 0.5 dan 1
ppm untuk IAA. Komponen pertumbuhan yang diamati terdiri dari jumlah tunas,
jumlah daun, tinggi tunas, jumlah akar, diameter kalus, warna daun dan jumlah
plantlet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi BAP dan IAA pada media
MS berpengaruh nyata pada perbanyakan tunas, jumlah daun dan tinggi tunas umur
kultur 5 MST. Jumlah tunas (34.8) dan jumlah daun (57.5) terbanyak umur kultur 5
MST dihasilkan pada kombinasi BAP 3 ppm tanpa IAA, sedangkan tinggi tunas
tertinggi (4.75 cm) diperoleh pada media MS tanpa BAP dan IAA. Peningkatan
konsentrasi BAP secara nyata menurunkan skor warna daun, jumlah akar dan jumlah
plantlet, tetapi meningkatkan diameter kalus. Skor warna daun tertinggi (2.0) dengan
warna daun hijau keunguan dan jumlah plantlet terbanyak (2.2) umur kultur 5 MST
diperoleh pada media MS tanpa BAP, sedangkan jumlah akar terbanyak (15.1)
dihasilkan pada media MS tanpa BAP dan IAA. Diameter kalus tertinggi (1.5 cm)
diperoleh pada media MS dengan penambahan BAP 3 ppm.

Kata kunci : multiplikasi tunas, Gynura pseudochina, BAP, IAA, in vitro.

SHOOT MULTIPLICATIONS OF Gynura pseudochina (L.) DC)


IN VITRO

ABSTRACT

The first stage of plantlets formation is shoot multiplications. For shoot


multiplications BAP and IAA were used as plant growth regulator. The research used
of BAP and IAA combinations to induce shoot multiplications process. Randomized
block design with two factors was used in the experiment. BAP and IAA used were 0,
1, 2, 3 ppm and 0, 0.5 and 1 ppm, respectively. Growth parametres consist of shoots
number, leaves number, shoot heights, roots number, callus diametres, leaves colour
and plantlets number. The results of research showed that BAP and IAA at MS
medium significantly increased shoots number, leaves number and shoot heights at 5
week after planting. The heigher shoots number (34.8) and leaves number (57.5)
significantly produced at BAP 3 ppm without IAA, while the heigher of shoot heights
(4.75 cm) significantly produced at MS medium without BAP and IAA. Increasing of
BAP concentration significantly reduced leaves colour score, number of roots and
number of plantlets, but increased callus diametres. The heigher leaves colour score
(2.0) which is green-pink, and plantlets number (2.2) at 5 week after planting
produced at MS medium without BAP. The heigher of roots number (15.1) produced
28

at MS medium without BAP and IAA, while the heigher of callus diametres (1.5 cm)
produced at MS medium with BAP 3 ppm.

Keyword : Shoot multiplications, Gynura pseudochina, BAP, IAA, in vitro.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meningkatnya kebutuhan konsumen terhadap tanaman daun dewa (Gynura
pseudochina (L.) DC) mendorong peningkatan produksi bahan tanaman. Salah satu
metode perbanyakan bahan tanam adalah melalui kultur in vitro (Smith 2000).
Dengan metode tersebut dapat dihasilkan bahan tanam yang banyak dengan
penggunaan waktu yang relatif singkat serta tidak membutuhkan areal pembibitan
yang luas dan menghasilkan tingkat keseragaman dan kualitas bibit yang tinggi
(Gunawan 1992, Gati dan Purnamaningsih 1994).
Perbanyakan tanaman secara in vitro pada tahap awal dibutuhkan perlakuan
untuk memacu perbanyakan tunas. Bahan mikro tersebut dapat digunakan sebagai
sumber eksplan pada percobaan pembentukan plantlet. Perbanyakan tunas mikro
memerlukan dua zat pengatur tumbuh yaitu auksin dan sitokinin. Zat pengatur
tumbuh tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel,
jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang
diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan
arah perkembangan suatu kultur (Gunawan 1992). Pembentukan tunas dan akar pada
kebanyakan kultur in vitro dipengaruhi oleh perbandingan auksin dan sitokinin
eksogen, tetapi auksin dan sitokinin endogen secara normal mengontrol pembentukan
organ (Halperin 1986). Secara fisiologis peranan auksin dalam tanaman adalah untuk
mendukung proses pemanjangan sel dan menghambat pertumbuhan pucuk lateral,
sedangkan sitokinin berperan penting pada proses pembelahan sel dan mendukung
proses morfogenesis (Taiz dan Zeiger 1991).
Auksin yang sering digunakan pada kultur in vitro (Gunawan 1992, Smith 2000)
adalah : IAA, 2,4-D, NAA, IBA, NOA,4-CPA, 2,4,5-T, Dicamba, Picloram dan IAA
conjugate. Sitokinin terdiri dari : Kinetin, Zeatin, 2iP, BAP/BA, PBA, 2C 1-4 PU: N,
2,6 C 1-4 PU:N dan Thidiazuron. Pada tanaman daun dewa diperoleh jumlah tunas
tertinggi (20.1 tunas) pada umur 8 minggu dengan menggunakan BA konsentrasi 2
mg/l (Gati dan Purnamaningsih 1994). Penggunaan BAP konsentrasi 3 ppm dan IAA
29

0.5 ppm dapat menghasilkan tunas terbanyak pada daun dewa yang mencapai 85.4
tunas per botol umur 8 MST (Mufa’adi 2003).
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan untuk memperkuat dugaan bahwa
perimbangan antara sitokinin dan auksin dapat memacu perbanyakan tunas daun dewa
secara in vitro yang mengindikasikan adanya pigmentasi antosianin.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan menentukan kombinasi yang tepat antara BAP dan IAA
pada media MS untuk menghasilkan tunas mikro dan plantlet daun dewa secara in
vitro yang teridentifikasi adanya pigmentasi antosianin melalui penentuan skor warna
daun.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen
Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, berlangsung
sejak bulan September 2004 sampai dengan bulan Januari 2005.

Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini terdiri dari : eksplan bagian
pucuk yang diambil dari tanaman induk yang ditumbuhkan di lingkungan
laboratorium, zat pengatur tumbuh (ZPT) yang terdiri dari 6-benzyl amino purine
(BAP) dan indole acetic acid (IAA), alkohol 70%, sodium hipoklorit, bahan-bahan
pembuatan media MS-0, spirtus, betadin, tween, agar, sukrosa, aquadestilata, plastik,
karet gelang dan alat tulis menulis.
Peralatan yang digunakan terdiri dari : autoklaf gas, laminar air flow, alat tanam
(pinset, scalpel, gunting), lampu bunsen, pipet, pH meter/kertas lakmus, botol kultur,
rak kultur dan timbangan analitik.

Metodologi Penelitian

Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok faktorial yang terdiri


dua faktor. Faktor pertama adalah penggunaan BAP dengan empat konsentrasi,
masing-masing 0, 1, 2, dan 3 ppm. Faktor kedua adalah penggunaan IAA dengan tiga
konsentrasi masing-masing 0, 0.5, dan 1 ppm. Setiap kombinasi perlakuan diulang
30

sebanyak 10 kali, sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan dan 120 satuan


percobaan.
Tabel 3. Kombinasi perlakuan pemberian BAP dan IAA pada multiplikasi tunas daun
dewa
IAA (ppm)
BAP (ppm) (0.0) I0 (0.5) I1 (1.0) I2
(0) B0 B0I0 B B0I1 B B0I2
B

(1) B1 B1I0
B B1I1 B B1I2
B

(2) B2 B2I0 B B2I1 B B2I2


B

(3) B3 B3I0 B B3I1


B B3I2
B

Model linier rancangan yang digunakan adalah :


Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk.
Yijk = nilai pengamatan karena adanya pengaruh BAP konsentrasi ke-i atau
IAA konsentrasi ke-j pada kelompok ke-k
μ = nilai rata-rata hasil pengamatan untuk setiap satuan percobaan
αi = nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan BAP konsentrasi ke-i
βj = nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan IAA konsentrasi ke-j
(αβ)ij = nilai pengamatan karena pengaruh interaksi BAP pada konsentrasi ke-i
dan IAA pada konsentrasi ke-j
εijk. = pengaruh galat pada perlakuan BAP konsentrasi ke-i, IAA konsentrasi
ke-j dan kelompok ke-k
i = 1, 2, 3, 4 untuk perlakuan BAP
j = 1, 2, 3 untuk perlakuan IAA
k = pengaruh ulangan/kelompok
Data pengamatan diuji menggunakan sidik ragam, jika berpengaruh nyata
dilanjutkan dengan uji Duncan`s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5
% (Gomez dan Gomez 1995, Mattjik dan Sumertajaya 2002).
Pelaksanaan perbanyakan tanaman secara in vitro untuk tahap multiplikasi
tunas, urutan kegiatan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut :
Persiapan tanaman induk
Daun dewa ditanam dalam pot plastik dan ditumbuhkan di lingkungan
laboratorium kultur jaringan. Pemangkasan pucuk dilakukan pada tanaman untuk
memacu pertumbuhan tunas lateral sebagai sumber eksplan.
31

Persiapan bahan tanam


Tunas lateral dari tanaman induk dipotong dengan menggunakan gunting
pangkas 1-2 buku per tunas, kemudian potongan tunas berbuku tersebut dibersihkan
dengan menggunakan detergen yang dilarutkan ke dalam air aquades. Selanjutnya
eksplan dimasukkan ke dalam wadah untuk dicuci dengan air mengalir selama 1 jam.
Sterilisasi air aquades dan peralatan
Kegiatan sterilisasi dilakukan terhadap air aquades dan sejumlah peralatan
tanam yang akan digunakan. Air aquades disterilkan dalam autoklaf gas selama 1 jam
sejumlah 100 ml setiap botol yang ditutup dengan plastik sebagai bahan untuk
kegiatan sterilisisasi eksplan di dalam laminar.
Sterilisasi peralatan yang terdiri dari pinset, gunting, scalpel, petridish juga
dilakukan dalam autoklaf gas selama 1 jam bersama-sama dengan sterilisasi air
aquades. Sterilisasi dilakukan pada temperatur 1210C dengan tekanan 17.5-20 psi
selama 1 jam. Untuk laminar air flow disterilkan dengan menghidupkan laminar
(kipas angin dan lampu UV) selama 30-60 menit sebelum digunakan. Selanjutnya
laminar disemprot dengan alkohol 70 % dan dibiarkan sampai mengering.
Pembuatan media
Media yang akan dibuat terdiri dari media MS-0 (Lampiran 5, komposisi media
MS) untuk penanaman prakondisi, media untuk scalling up eksplan dan media
perlakuan multiplikasi tunas. Sebelum membuat komposisi media, dibuat terlebih
dahulu larutan stok untuk media MS dan ZPT. Pembuatan media MS-0 dilakukan
dengan menyiapkan larutan sebanyak 1 liter yang berisi komposisi unsur hara makro,
unsur hara mikro, vitamin, myo-inositol, sukrosa dan agar sesuai dengan kebutuhan
masing-masing yang diambil dari larutan stok yang sudah disediakan. Untuk
pembuatan media untuk scalling up dilakukan dengan menambahkan BAP 0,5 ppm
dan IAA 1 ppm ke dalam larutan media MS-0. Media perlakuan multiplikasi tunas
dibuat dengan menambahkan masing-masing kombinasi perlakuan ZPT ke dalam
larutan media MS-0, masing-masing BAP 0, 1, 2 dan 3 ppm dan IAA 0, 0.5 dan 1
ppm.
Larutan stok ZPT dibuat dengan cara melarutkan 10 mg BAP atau IAA dengan
pelarutnya masing-masing kemudian dimasukkan ke dalam 100 ml air steril. Untuk
perlakuan BAP 1 ppm dimasukkan 10 ml larutan stok BAP ke dalam labu takar 1000
ml, sedangkan untuk BAP 2 dan 3 ppm masing-masing larutan stok dipipet sebanyak
20 dan 30 ml. Pada perlakuan IAA, untuk 0.5 ppm dimasukan 5 ml larutan stok,
32

sedangkan untuk 1 ppm dimasukkan 10 ml larutan stok IAA ke dalam labu takar.
Labu takar yang telah berisi perlakuan kemudian ditambahkan larutan sukrosa 30 g/l
serta aquadestilata ke dalamnya sampai batas tera. Setelah itu pH media diukur
dengan pH meter/kertas lakmus pada kisaran 5,7-6,0. Bila pH sudah tepat, larutan
dimasak pada panci enamel dan ditambahkan 7 g/l agar-agar sampai semua agar-agar
terlarut dan larutan terlihat jernih. Selanjutnya media dituangkan ke botol kultur
dengan tinggi permukaan larutan + 25 ml (20 mm) dari dasar botol. Botol kemudian
ditutup dengan plastik dan direkatkan dengan karet gelang lalu disterilkan dalam
autoklaf gas pada temperatur 1210C tekanan 17,5-20 psi selama 30 menit. Setelah itu
botol dibiarkan hingga dingin lalu disimpan dalam ruang kultur bertemperatur 180C.
Sterilisasi eksplan
Eksplan berupa potongan tunas 1 buku yang telah dibersihkan dengan detergen
dan dicuci dengan air mengalir selama 1 jam kemudian disterilkan di dalam laminar.
Untuk persiapan sterilisasi disiapkan larutan sodium hipoklorit 1, 5 dan 10 %, betadin,
tween, alkohol 70 % dan air steril.
Larutan sodium hipoklorit (sunclin) 1 % dibuat dengan cara menambahkan 1 ml
sunclin ke dalam 99 ml aquadestilata steril, sedangkan larutan sodium hipoklorit 5%
dan 10 % dibuat dengan menambahkan masing-masing 5 dan 10 ml sunclin ke dalam
95 dan 90 ml aquadestilata steril.
Sterilisasi didalam laminar dimulai dengan mencelupkan eksplan ke dalam
alkohol 70% kemudian eksplan dibilas 3 kali dengan air steril dan selanjutnya
direndam ke dalam larutan sodium hipoklorit 10 % selama 10 menit kemudian dibilas
dengan air steril 3 kali. Eksplan direndam lagi dengan larutan sodium hipoklorit 5 %
selama 20 menit, kemudian dibilas dengan air steril 3 kali. Setelah itu bahan tanam
diletakkan di cawan petri yang sudah berisi larutan sodium hipoklorit 1 % yang
ditambahkan betadin dan tween sebanyak 3-5 tetes. Eksplan dipotong setiap buku
dan dihilangkan daunnya untuk siap ditanam pada botol kultur yang telah berisi
media.
Penanaman eksplan pada media MS-0
Eksplan ditanam di media prakondisi (MS-0) selama 1 minggu. Setelah itu
eksplan yang tidak terkontaminasi dipindahkan ke media scalling up yaitu media MS
yang ditambah BAP 0,5 ppm dan IAA 1 ppm untuk multiplikasi tunas.
33

Penanaman eksplan pada media perlakuan


Tunas yang telah bermultiplikasi pada media scalling up dipindahkan ke media
perlakuan kombinasi BAP dan IAA dengan konsentrasi yang telah ditentukan masing-
masing 1 tunas per botol kultur.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap multiplikasi tunas, dilakukan
pengamatan dan pengukuran terhadap beberapa parameter pertumbuhan vegetatif
yang terdiri dari : a) warna daun diamati secara visual dengan skala 1 = hijau, 2 =
hijau keunguan, 3 = merah keunguan, setiap minggu b) jumlah tunas dihitung untuk
setiap botol kultur, setiap minggu, c) tinggi tunas diamati setiap minggu, e) jumlah
daun total per botol kultur diamati setiap minggu, f) jumlah akar diamati setiap
minggu, dan g) diameter kalus dan jumlah plantlet diamati di akhir pengamatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Warna Daun
Hasil penelitian menunjukkan bahwa BAP berpengaruh nyata menurunkan
nilai skor warna daun pada saat 1-5 minggu setelah tanam (MST), sedangkan IAA
tidak berpengaruh nyata. Semakin rendah konsentrasi BAP, skor warna daun semakin
tinggi dan daun semakin berwarna hijau keunguan (nilai skor warna daun dapat dilihat
pada Gambar 10). Skor warna daun tertinggi yang dihasilkan media MS tanpa BAP
adalah 1.92, 2.17 dan 2.00 masing-masing pada umur 1, 2, 3-5 MST (Tabel 4).
Tabel 4. Pengaruh BAP dan IAA terhadap warna daun plantlet daun dewa umur kultur
1-5 MST
Warna Daun
BAP (ppm) 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST
0 1.92 2.17 a 2.00 a 2.00 a 2.00 a
1 1.75 1.58 b 1.50 a 1.50 b 1.67 ab
2 1.92 2.00 ab 1.83 ab 1.83 ab 1.83 ab
3 1.83 1.83 ab 1.58 b 1.58 b 1.58 b
IAA (ppm)
0 1.81 1.88 1.63 1.63 1.75
0.5 1.88 1.88 1.81 1.81 1.88
1 1.88 1.94 1.75 1.75 1.69
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada DMRT 5 %. Skor warna daun: 1 = hijau, 2 = hijau
keunguan, 3 = merah keunguan.
34

(1) (2) (3)


Gambar 10. Warna daun plantlet daun dewa untuk penentuan skor warna daun. (1) = hijau,
(2) = hijau keunguan, (3) = merah keunguan.

Media MS (tanpa BAP) dengan konsentrasi IAA 0-1 ppm dapat memberikan
efek perubahan warna merah keunguan pada daun dan batang daun dewa in vitro.
Perubahan warna daun tersebut mengindikasikan adanya pigmentasi antosianin. Dari
seluruh senyawa golongan flavonoid, antosianin sangat mudah untuk diketahui karena
indikasi perubahan warna biru, lembayung muda dan merah pada bunga, buah dan
daun (Vickery dan Vickery 1981).

Jumlah Tunas
Pemberian BAP berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan jumlah tunas
in vitro umur kultur 1-5 MST. Pemberian IAA hanya berpengaruh nyata pada umur 1
dan 5 MST, sedangkan interaksi antara BAP dan IAA berpengaruh nyata pada umur
1, 3, 4 dan 5 MST. Konsentrasi BAP 1-3 ppm memacu pertumbuhan tunas daun dewa
secara in vitro dan jumlah tunas maksimum dicapai pada konsentrasi BAP 3 ppm
(34.8 tunas) pada saat 5 MST (Tabel 5). Media perlakuan tanpa konsentrasi BAP,
meskipun ditambahkan IAA konsentrasi 0-1 ppm tidak dapat memacu perbanyakan
tunas, tetapi inisiasi perakaran dapat terjadi.
Interaksi antara BAP dan IAA dapat memacu perbanyakan tunas. Jumlah
tunas yang dihasilkan mengalami peningkatan dengan konsentrasi BAP yang semakin
meningkat hingga 3 ppm. Pada peningkatan konsentrasi IAA juga terjadi peningkatan
jumlah tunas, meskipun tidak sebanyak dengan jumlah tunas yang dihasilkan dengan
peningkatan konsentrasi BAP. Konsentrasi IAA optimum dicapai pada 0.5 ppm.
Pemacuan perbanyakan tunas lateral karena pengaruh BAP menghasilkan tajuk
tanaman yang lebih lebar dan arah pertumbuhan ke samping, sedangkan pada
tanaman tanpa BAP, tajuk tanaman lebih ramping dan arah pertumbuhan menuju ke
atas, karena tunas samping tidak berkembang (Gambar 11). Perkembangan tunas
35

lebih baik pada penambahan BAP 0-3 ppm tanpa IAA, dibanding dengan penambahan
BAP 0-3 ppm dan IAA 0.5 ppm. BAP sebagai salah satu jenis dari sitokinin berperan
dalam proses pembelahan sel, proliferasi pucuk dan morfogenesis tanaman (Smith
2000), sedangkan auksin pada konsentrasi rendah mendorong perkembangan akar
(Watimena 1987).
Tabel 5. Interaksi BAP dan IAA terhadap jumlah tunas umur 1-5 MST

IAA (ppm) BAP (ppm)

0 1 2 3
.................................1 MST....................................
0 1.0 j 2.8 f 4.8 b 3.8 d
0.5 1.5 h 3.3 e 4.8 b 2.0 g
1 1.3 i 4.8 b 5.5 a 4.3 c
...................................2 MST.....................................
0 1.0 k 4.5 h 6.0 e 7.5 a
0.5 1.8 i 5.5 g 6.5 d 6.0 e
1 1.3 j 5.8 f 7.0 b 6.8 c
...................................3 MST.....................................
0 1.3 l 6.5 i 7.8 f 12.8 a
0.5 2.0 j 7.3 h 9.0 d 10.3 b
1 1.8 k 7.5 g 8.8 e 9.3 c
...................................4 MST....................................
0 1.3 c 12.0 g 15.8 d 24.0 b
0.5 2.0 i 13.3 f 15.8 d 25.0 a
1 2.5 h 14.3 e 15.8 d 21.5 c
..................................5 MST....................................
0 1.3 l 18.5 i 24.0 f 34.8 a
0.5 2.8 j 22.3 g 25.0 d 34.0 b
1 2.5 k 21.5 h 24.5 e 31.8 c
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama untuk setiap minggu pengamatan tidak
berbeda nyata pada DMRT 5 %.

0 1 2 3
BAP (ppm)

Gambar 11. Tunas mikro daun dewa pada konsentrasi BAP 0-3 ppm tanpa IAA.
36

Hasil penelitian Thomas dan Sreejesh (2004) pada tanaman Benincasa hispida
L. menunjukkan bahwa konsentrasi BAP 3 µM dan NAA 0.2 µM menghasilkan
jumlah tunas per kultur 1.1 – 12.3 tunas, sedangkan pada konsentrasi BAP 3 µM dan
NAA 0.5 µM jumlah tunas yang dihasilkan hanya berjumlah 1.0 – 3.3 tunas per kultur
saat kultur berumur 5 minggu. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi BAP dibanding konsentrasi IAA, maka jumlah tunas yang dihasilkan akan
semakin banyak.

Jumlah Daun
Jumlah daun mengalami peningkatan yang sangat nyata akibat pemberian
BAP pada media kultur. Pemberian IAA pada umur 1 MST tidak berpengaruh nyata,
tetapi pada umur 2-5 MST berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah daun.
Tabel 6. Interaksi BAP dan IAA terhadap jumlah daun umur 3-5 MST

IAA (ppm) BAP (ppm)

0 1 2 3
................ ....................3 MST..................................
0 10.3 k 27.3 g 33.3 d 46.5 a
0.5 11.3 j 21.3 h 31.8 e 34.5 b
1 11.5 i 27.3 g 30.0 f 33.5 c
.......................................4 MST...................................
0 12.8 k 38.5 f 42.0 c 51.8 a
0.5 15.8 i 30.0 h 41.0 d 40.8 e
1 15.5 j 34.5 g 38.5 f 42.5 b
......................................5 MST...................................
0 15.8 k 44.8 f 48.3 d 57.5 a
0.5 18.8 i 34.8 h 46.3 e 50.5 c
1 18.0 j 40.0 g 44.3 f 52.0 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama untuk setiap minggu pengamatan tidak
berbeda nyata pada DMRT 5 %.

Interaksi antara BAP dan IAA berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah
daun pada umur 3-5 MST, sedangkan pada umur 1-2 MST tidak berpengaruh nyata.
Jumlah daun mengalami peningkatan yang pesat sejak umur kultur 3 MST. Pada
periode ini jumlah daun yang dihasilkan berjumlah 10.3-57.5 helai daun pada
penggunaan BAP konsentrasi 0-3 ppm dan IAA 0-1 ppm (Tabel 6). Jumlah daun
terendah (10.3 helai daun) dihasilkan pada media kultur tanpa pemberian BAP dan
IAA (umur 3 MST), sedangkan jumlah daun terbanyak (57.5 helai daun) diperoleh
pada interaksi antara BAP 3 ppm tanpa IAA (umur 5 MST).
37

Peningkatan konsentrasi BAP 0-3 ppm, dapat memacu peningkatan jumlah


daun, sedangkan pada peningkatan konsentrasi IAA 0-1 ppm jumlah daun tidak
mengalami peningkatan yang pesat, dan sebagian perlakuan dapat menurunkan
jumlah daun. Pertambahan jumlah daun berhubungan dengan peningkatan jumlah
tunas. Semakin banyak jumlah tunas yang dihasilkan, maka jumlah daun juga akan
semakin banyak (Gambar 12).

70
Jum lah Tunas Jum lah Daun 57. 5
60
50 . 5 52
4 8 .3 4 6 .3
50 4 4 .8 4 4 .3
40
40 3 4 .8 3 4 .8 34
3 1. 8
30 2 2 .3 24 25 2 4 .5
2 1. 5
18 . 8 18 18 . 5
20 15. 8

10 2 .8 2 .5
1. 3
0
B0I0 B0I1 B0I2 B1I0 B1I1 B1I2 B2I0 B2I1 B2I2 B3I0 B3I1 B3I2
Kom binasi BAP dan IAA

Gambar 12. Interaksi BAP dan IAA terhadap jumlah tunas dan jumlah daun pada akhir percobaan.
B0 = tanpa BAP, B1= BAP 1 ppm, B2 = BAP 2 ppm, B3= BAP 3 ppm, I0= tanpa IAA,
I1= IAA 0.5 ppm, I2= IAA 1 ppm

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 5, jumlah tunas terbanyak pada
konsentrasi BAP 3 ppm tanpa IAA umur kultur 5 MST adalah 34.8 tunas. Pada
interaksi perlakuan ini juga diperoleh jumlah daun terbanyak (57.5 helai daun) (Tabel
6). Setiap tunas yang tumbuh dapat menghasilkan daun, sehingga makin banyak
tunas maka jumlah daun juga akan semakin banyak meskipun ukuran daun dan tunas
semakin kecil (Gambar 11). Pemberian BAP dapat memacu pertumbuhan tunas dan
pertambahan jumlah daun pada regenerasi daun dewa secara in vitro.

Tinggi Tunas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa BAP berpengaruh nyata terhadap tinggi


tunas sejak umur 1-5 MST. Pemberian IAA juga berpengaruh nyata pada umur 1, 2, 3
dan 5 MST, sedangkan pengaruh interaksi antara BAP dan IAA terhadap tinggi tunas
terjadi pada umur kultur 1-5 MST. Tinggi tunas tertinggi diperoleh pada media MS
tanpa BAP dan IAA (4.75 cm) umur kultur 5 MST, sedangkan tinggi tunas terendah
38

dihasilkan pada konsentrasi BAP 3 ppm tanpa IAA (2.95 cm) pada umur 5 MST
(Tabel 7).
Tabel 7. Interaksi BAP dan IAA terhadap tinggi tunas (cm) umur 1-5 MST

IAA (ppm) BAP (ppm)

0 1 2 3
.....................................1 MST.....................................
0 1.13 g 1.35 f 1.60 cd 1.33 f
0.5 1.95 a 1.30 f 1.55 de 1.40 ef
1 1.08 g 1.68 cd 1.75 bc 1.90 ab
......................................2 MST.....................................
0 1.88 i 1.65 k 2.60 c 2.00 g
0.5 2.35 d 1.78 j 2.80 b 1.98 h
1 1.60 l 2.30 e 2.83 a 2.18 f
......................................3 MST....................................
0 2.68 f 2.00 l 3.08 c 2.35 i
0.5 2.98 d 2.28 j 3.30 a 2.45 h
1 2.13 k 2.93 e 3.28 b 2.45 g
.......................................4 MST....................................
0 4.18 a 2.80 h 3.75 d 2.63 l
0.5 3.60 e 2.78 i 3.78 c 2.73 k
1 2.88 g 3.40 f 3.80 b 2.75 j
......................................5 MST...................................
0 4.75 a 3.50 g 4.25 c 2.95 k
0.5 4.18 d 3.18 j 4.28 b 3.20 i
1 3.83 f 4.15 e 4.25 c 3.40 h
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama untuk setiap minggu pengamatan tidak
berbeda nyata pada DMRT 5 %.

Semakin bertambah umur kultur, maka pertambahan tinggi tunas juga


semakin tinggi yang mencapai tinggi maksimum pada umur kultur 5 MST.
Pertambahan tinggi tunas tersebut disebabkan karena morfogenesis tunas mengalami
peningkatan dan terjadi perbedaan respon terhadap interaksi antara konsentrasi BAP
dan IAA. Kecenderungan yang terjadi pada interaksi antara BAP dan IAA terhadap
peningkatan tinggi tunas adalah bahwa semakin tinggi konsentrasi BAP dan IAA,
maka tinggi tunas akan semakin rendah. Pemberian BAP lebih cenderung memacu
pertumbuhan tunas samping dan semakin tinggi konsentrasi BAP, tunas samping yang
dihasilkan lebih banyak dan arah pertumbuhan menuju pada pelebaran tajuk. Pola
pertumbuhan seperti ini menghasilkan pertambahan tinggi tunas yang semakin lambat
sehingga tinggi tunas cenderung lebih rendah dibanding dengan konsentrasi BAP
yang lebih rendah. Pengaruh IAA lebih banyak berperan pada induksi perakaran
sehingga tidak banyak berpengaruh pada pertambahan tinggi tunas. Media MS yang
39

tidak mengandung BAP, tetapi terdapat IAA sampai konsentrasi 1 ppm terbentuk
perakaran.

Jumlah Akar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa BAP berpengaruh sangat nyata


menurunkan jumlah akar selama periode kultur, sedangkan pemberian IAA tidak
nyata menurunkan jumlah akar. Interaksi antara pemberian BAP dan IAA terhadap
jumlah akar hanya terjadi pada umur 1 MST. Pada pengamatan 2-5 MST jumlah akar
yang terbentuk bukan karena interaksi antara BAP dan IAA tetapi lebih dipengaruhi
oleh faktor pengaruh BAP yang nyata menurunkan jumlah akar.
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa media MS tanpa BAP dapat
menginduksi akar dan menghasilkan akar terbanyak (15.1) pada umur kultur 5 MST.
Pada umur yang sama, meskipun tidak berpengaruh nyata, media MS tanpa IAA juga
menghasilkan jumlah akar terbanyak (4.1). Berdasarkan hasil tersebut, maka pada
percobaan ini pembentukan akar dan plantlet (Gambar 14) tidak dipengaruhi oleh
penambahan BAP dan IAA, tetapi lebih disebabkan karena kandungan zat pengatur
tumbuh endogen yang terdapat dalam eksplan.
Tabel 8. Pengaruh BAP dan IAA terhadap jumlah akar umur 1-5 MST
Jumlah Akar
BAP (ppm) 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST
0 2.3(1.5a) 5.6 (2.5a) 8.3(3.0a) 11.8(3.5a) 15.1(3.9a)
1 0.0(0.7b) 0.4(0.9b) 0.5(0.9b) 0.7(0.9b) 0.9(1.0b)
2 0.0(0.7b) 0.0(0.7b) 0.0(0.7b) 0.0(0.7b) 0.0(0.7b)
3 0.0(0.7b) 0.0(0.7b) 0.0(0.7b) 0.0(0.7b) 0.0(0.7b)
IAA (ppm)
0 0.7 1.1 1.7 3.1 4.1
0.5 0.1 1.3 1.8 2.5 3.5
1 0.8 1.9 2.6 3.2 3.8
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada DMRT 5 %. Angka dalam tanda kurung merupakan
hasil transformasi √ (x+0.5).

Eksplan yang digunakan berasal dari perbanyakan pada media scalling up.
Pada media scalling up (media MS-0) telah dilakukan penambahan BAP 0.5 ppm dan
IAA 1 ppm, sehingga memungkinkan peningkatan kandungan zat pengatur tumbuh
endogen pada eksplan yang digunakan. Hal ini menyebabkan pada media perlakuan
tidak diperlukan penambahan BAP dan IAA untuk menginisiasi akar. Gunawan
(1992) menyebutkan bahwa interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh
yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel-sel secara endogen
40

menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin dan sitokinin


eksogen mengubah level zat pengatur tumbuh endogen sel. Level zat pengatur
tumbuh endogen ini kemudian menjadi faktor pemicu untuk proses-proses
morfogenesis. Pembuktian hal ini terjadi pada percobaan ini yang menunjukkan
bahwa media MS tanpa IAA menghasilkan jumlah akar terbanyak (Gambar 13).

0 0.5 1
IAA (ppm)
Gambar 13. Jumlah akar pada berbagai konsentrasi IAA umur kultur kultur 5 MST.

Jumlah Akar Jumlah Plantlet

4.5 4.07
4 3.75
3.5
3.5
3
2.5
2
1.5
0.75 0.81
1 0.5
0.5
0
0 0.5 1
Konsentrasi IAA (ppm )

Gambar 14. Pengaruh konsentrasi IAA terhadap jumlah akar dan jumlah plantlet daun dewa
in vitro

Hasil penelitian Al Juboory et al. (1998) pada tanaman Gardenia (Gardenia


jasminoides Ellis) menunjukan bahwa pemberian BAP hanya memacu pertumbuhan
tunas, sedangkan pemberian IAA dapat menginduksi perakaran. Pemberian IAA
hingga 10 µM meningkatkan jumlah akar dan persentase kultur berakar mencapai
100% tetapi panjang akar mengalami penurunan dengan semakin meningkatnya
konsentrasi IAA. Tanpa pemberian IAA tanaman tidak dapat membentuk akar.
41

Diameter Kalus dan Jumlah Plantlet


Hasil penelitian menunjukkan bahwa BAP berpengaruh nyata terhadap
peningkatan diameter kalus dan penurunan jumlah plantlet. Pemberian IAA dan
interaksi antara BAP dan IAA tidak nyata pengaruhnya pada peningkatan diameter
kalus dan jumlah plantlet. Pada media tanpa BAP tetapi ditambahkan IAA 0-1 ppm
tidak terbentuk kalus, sedangkan media yang mengandung konsentrasi BAP 0-3 ppm
dan IAA 0-1 ppm rata-rata menghasilkan kultur berkalus hingga mencapai 100 %
pada 5 MST. Diameter kalus tertinggi dihasilkan pada konsentrasi BAP 2 ppm yaitu
1.5 cm dan tidak berbeda nyata dengan kalus yang dihasilkan pada konsentrasi BAP 3
ppm yang mencapai 1.5 cm (Tabel 9).
Tabel 9. Pengaruh BAP terhadap diameter kalus (cm) dan jumlah plantlet
pada akhir percobaan
BAP (ppm) Diameter Kalus Jumlah Plantlet
0 0.0(0.7c) 2.2 a
1 0.9(1.2b) 0.6 b
2 1.5(1.4a) 0.0 b
3 1.5(1.4a) 0.0 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada DMRT 5 %.Angka dalam tanda kurung merupakan
hasil transformasi √ (x+0.5)

16 15.09

14
12
10
8
6
4 2.2
0.91 0.6 0.92 1.48 1.45
2
0 0 0 0 0
0
0 1 2 3

Konsentrasi BAP (ppm)


Diam eter Kalus (cm ) Jum lah Plantlet Jum lah Akar

Gambar 15. Diameter kalus, jumlah akar dan jumlah plantlet pada konsentrasi BAP
0- 3 ppm akhir percobaan.

Pada percobaan ini dihasilkan diameter kalus yang semakin meningkat,


sedangkan jumlah plantlet menurun dengan penambahan BAP (Gambar 15).
Peningkatan pembentukan kalus pada percobaan ini sangat dipengaruhi oleh
42

peningkatan konsentrasi BAP. BAP sebagai salah satu jenis sitokinin berperan dalam
proses sitokinase atau pembelahan sel dan morfogenesis tanaman melalui pengaktifan
aktivitas enzim α-amilase menghasilkan energi dalam proses pembelahan sel (Taiz
dan Zeiger 1991, Smith 2000, Buchanan et al. 2000).
Apabila nisbah sitokinin dan auksin diperkecil, maka akan terjadi
perkembangan akar dan sebaliknya apabila nisbah sitokinin dan auksin tinggi, maka
sistem tajuk yang berkembang dan pada saat terjadi keseimbangan yang tepat antara
sitokinin dan auksin, maka akan tumbuh sel meristem pada kalus (Salisbury dan Ross
1992). Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh sitokinin pada pembentukan kalus
telah dilaporkan. Pada tanaman anggur kultivar Sheridan dihasilkan persentase
pembentukan kalus mencapai 100% pada konsentrasi BAP 1 mg/L, sedangkan pada
konsentrasi rendah 0.1 mg/L persentase pembentukan kalus di bawah 10% (Kim dan
Kim 2002). Pada tanaman Saccarum officinarum cv. CPF-237 dan SPF-231,
konsentrasi BA 2.0 mg/l tidak dapat meregenerasi kalus pada kedua kultivar tersebut
(Niaz dan Quraishi 2002). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
BA, maka terjadi peningkatan perbanyakan sel-sel pembentuk kalus, tetapi kalus
tersebut tidak dapat diregenerasikan menjadi plantlet.

SIMPULAN
Pemberian BAP dan IAA pada media MS berpengaruh pada multiplikasi dan
perubahan warna daun tunas daun dewa pada kultur in vitro sampai umur kultur 5
MST. Konsentrasi optimum yang menghasilkan jumlah tunas (34.8) dan jumlah daun
(57.5) terbanyak umur kultur 5 MST diperoleh pada BAP 3 ppm tanpa IAA,
sedangkan tinggi tunas tertinggi (4.75 cm) diperoleh pada media MS tanpa BAP dan
IAA.
Peningkatan konsentrasi BAP secara nyata menurunkan skor warna daun,
jumlah akar dan jumlah plantlet, tetapi meningkatkan diameter kalus. Skor warna
daun tertinggi (2.0) dengan warna daun hijau keunguan dan jumlah plantlet terbanyak
(2.2) umur kultur 5 MST diperoleh pada media MS tanpa BAP, sedangkan jumlah
akar terbanyak (15.1) dihasilkan pada media MS tanpa BAP dan IAA. Diameter kalus
tertinggi (1.5 cm) diperoleh pada media MS dengan penambahan BAP 3 ppm.
43

INDUKSI AKAR DAN ANTOSIANIN DAUN DEWA


(Gynura pseudochina (L.) DC) SECARA IN VITRO

ABSTRAK

Pembentukan tunas berakar (plantlet) yang memiliki kandungan antosianin yang


tinggi memerlukan IAA dan sukrosa pada media kultur. Penelitian ini bertujuan untuk
membentuk plantlet yang memiliki kandungan antosianin yang tinggi menggunakan
kombinasi antara IAA dan sukrosa. Penelitian menggunakan rancangan acak
kelompok dua faktor. Faktor pertama adalah IAA dengan konsentrasi 0, 0.5 dan 1
ppm, sedangkan faktor kedua adalah sukrosa masing-masing 30, 40, 50 dan 60 g/l.
Komponen yang diamati terdiri dari jumlah tunas, tinggi tunas, jumlah daun, jumlah
akar, panjang akar, diameter kalus, jumlah plantlet dan kandungan antosianin pada
total biomassa plantlet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa plantlet dengan
kandungan antosianin tertinggi dihasilkan pada media MS dengan konsentrasi sukrosa
30g/l. Jumlah plantlet dan kandungan antosianin yang diperoleh masing-masing 2.7
dan 0.071%. Jumlah tunas terbanyak (15.6) dihasilkan pada konsentrasi IAA 1 ppm
dan sukrosa 40g/l, sedangkan jumlah daun terbanyak (32.4) pada konsentrasi sukrosa
40g/l tanpa IAA. Tunas dan daun yang dihasilkan pada perlakuan tersebut berukuran
kecil, batang dan akar tidak berkembang sempurna. Jumlah akar terbanyak (35.4) dan
akar terpanjang (22.3 cm) dihasilkan pada konsentrasi IAA 0.5 ppm dan sukrosa
30g/l. Semakin tinggi konsentrasi sukrosa induksi akar terhambat dan terbentuk kalus.
Kalus dengan diameter tertinggi (2.5 cm) diperoleh pada konsentrasi IAA 1 ppm dan
sukrosa 50g/l.

Kata kunci : Induksi akar, antosianin, Gynura pseudochina, in vitro

ROOTS AND ANTHOCYANINS INDUCTION OF


Gynura pseudhocina (L.) DC IN VITRO

ABSTRACT

Plantlets formation with maximum anthocyanins content were used IAA and
sucrose at culture medium. The research objective was producing plantlets with
maximum anthocyanins content using MS medium with IAA and sucrose addition.
The research used randomized block design with two factors. The first factor were
IAA concentration 0, 0.5 and 1 ppm, while second factor was sucrose concentration
30, 40, 50 and 60 g/l respectively. Growth and bioactive compound were measured
consist of shoots number, shoot heights, leaves number, roots number, roots length,
plantlets number and anthocyanins content at the total biomass. The results of
research showed that plantlets with maximum anthocyanins content was produced at
MS medium with sucrose 30 g/l. Plantlets number and anthocyanins content were 2.7
and 0.071%, respectively. The maximum shoots number (15.6) was produced at IAA
concentration 1 ppm and sucrose 40 g/l, while maximum leaves number (32.4) at
sucrose 40 g/l without IAA. Shoots and leaves were small, there was no stem and
roots. The maximum roots number (35.4) and roots length (22.3 cm) were produced at
IAA concentration 0.5 ppm and sucrose 30 g/l. The heigher of sucrose concentration,
44

roots induction was disturbed and callus formed. The maximum of callus diametres
(2.5 cm) was produced at IAA concentration 1 ppm and sucrose 50 g/l.

Keyword : Roots induction, anthocyanins, Gynura pseudochina, in vitro.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Produksi bahan tanam secara in vitro dilakukan melalui induksi tunas yang
menghasilkan akar (plantlet). Hasil penelitian pada tahap multiplikasi tunas telah
ditemukan konsentrasi BAP dan IAA yang dapat menginduksi perbanyakan tunas dan
terbentuknya akar. Pada perkembangan tunas yang menghasilkan daun, ditemukan
indikasi perubahan warna daun menjadi hijau keunguan sampai merah keunguan.
Indikasi perubahan warna daun diduga karena pigmentasi antosianin pada kultur
in vitro percobaan tahap pertama. Dari seluruh senyawa golongan flavonoid,
antosianin sangat memungkinkan untuk diketahui sebagai respon terhadap perubahan
warna biru, lembayung muda dan merah pada bunga, buah dan daun (Vickery dan
Vickery 1981). Hiratsuka et al. (2001) melaporkan penggunaan ABA 1 g/l dan gula
(fruktosa, sukrosa, glukosa dan ramnosa) 2.5 dan 10% dapat meningkatkan
pigmentasi antosianin pada kultur in vitro Vitis labruscana Bailey cv. Olympia.
Penggunaan GA3 1 mg/l dan sukrosa 30 g/l pada kultur in vitro Hyacinthus orientalis
menghasilkan glikosida antosianin yang berbeda dengan tanaman yang sama yang
ditumbuhkan di lapang (Hosokawa et al. 1996).
Plantlet yang akan dihasilkan pada penelitian tahap kedua ini adalah plantlet
yang memiliki kualitas pertumbuhan yang baik sebagai bibit dan memiliki kandungan
antosianin yang tinggi. Untuk menghasilkan kualitas bibit yang baik dan kandungan
antosianin yang tinggi diperlukan komposisi media yang tepat. Media MS adalah
media yang memiliki komposisi unsur yang lengkap terdiri dari unsur hara makro,
mikro, vitamin dan asam amino sehingga merupakan media yang baik untuk kultur in
vitro (Gamborg dan Philips 1995). Penambahan IAA dan sukrosa dalam komposisi
media bertujuan untuk mengarahkan proses organogenesis menghasilkan tunas
berakar (plantlet) dan meningkatkan pigmentasi antosianin. Pemberian IAA memacu
induksi perakaran (Al Juboory et al. 1998), sedangkan penggunaan sukrosa dapat
meningkatkan aktivitas enzim invertase yang mengkatalisis sukrosa menjadi senyawa
45

heksosa selama proses translokasi dan akan menstimulasi biosintesis antosianin


(Hiratsuka et al. 2001).
Plantlet yang memiliki kandungan antosianin yang tinggi sebagai hasil dari
penelitian ini akan menjadi sumber bahan tanam pada tahap penelitian selanjutnya.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan menghasilkan plantlet yang memiliki kandungan
antosianin yang tinggi. Plantlet tersebut akan digunakan sebagai sumber bahan tanam
(bibit) pada percobaan lapang.

BAHAN DAN METODE


Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen
Agronomi dan Hortikultura Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor,
berlangsung sejak bulan April sampai dengan bulan Agustus 2005.

Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini terdiri dari : eksplan yang
diambil dari tanaman induk yang ditumbuhkan di lingkungan laboratorium, zat
pengatur tumbuh (ZPT) yang terdiri dari 6-benzyl amino purine (BAP) dan indole
acetic acid (IAA), sukrosa, alkohol 70%, sodium hipoklorit, bahan-bahan pembuatan
media MS-0, spirtus, betadin, tween, agar, sukrosa, aquadestilata, plastik, karet gelang
dan alat tulis menulis.
Peralatan yang digunakan terdiri dari : autoklaf gas, laminar air flow, alat tanam
(pinset, scalpel, gunting), lampu bunsen, pipet, pH meter/kertas lakmus, botol kultur,
rak kultur dan timbangan analitik.

Metodologi Penelitian
Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial yang
terdiri dua faktor. Faktor pertama adalah penggunaan berbagai konsentrasi IAA yang
terdiri dari : 0, 0.5, dan 1 ppm, sedangkan faktor kedua adalah konsentrasi sukrosa
yang terdiri dari : tanpa sukrosa, 30, 40, 50 dan 60 g/l. Setiap kombinasi perlakuan
diulang sebanyak 10 kali, sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan dan 120 satuan
percobaan.
46

Tabel 10. Kombinasi perlakuan berbagai konsentrasi IAA dan Sukrosa pada
pembentukan plantlet daun dewa.
IAA (ppm)
Sukrosa (g/l) 0.0 (I0) 0.5 (I1) 1.0 (I2)
30 (S1) I0S1 I1S1 I2S1
40 (S2) I0S2 I1S2 I2S2
50 (S3) I0S3 I1S3 I2S3
60 (S4) I0S4 I1S4 I2S4

Model linier rancangan yang digunakan adalah :


Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk.
Yijk = nilai pengamatan karena adanya pengaruh IAA ke-i atau sukrosa ke-j
pada kelompok ke-k.
μ = nilai rata-rata hasil pengamatan untuk setiap satuan percobaan.
αi = nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan IAA ke-i.
βj = nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan sukrosa ke-j.
(αβ)ij = nilai pengamatan karena pengaruh interaksi IAA ke-i dan sukrosa pada
konsentrasi ke-j.
εijk. = pengaruh galat pada perlakuan IAA ke-i, sukrosa konsentrasi ke-j dan
kelompok ke-k.
i = 1, 2, 3 untuk perlakuan IAA
j = 1, 2, 3,4 untuk perlakuan sukrosa
k = pengaruh ulangan/kelompok
Data pengamatan diuji menggunakan sidik ragam, jika berpengaruh nyata
dilanjutkan dengan uji Duncan`s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5
% (Gomez dan Gomez 1995, Mattjik dan Sumertajaya 2002).
Pelaksanaan perbanyakan tanaman secara in vitro untuk tahap induksi perakaran
dan antosianin, urutan kegiatan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut :
Persiapan bahan tanam
Tunas hasil multiplikasi tunas disubkultur untuk menginduksi akar. Potongan
satu buku tanpa daun dari tunas disterilkan pada larutan sodium hipoklorit 1 % dalam
petridis, kemudian diberi 5 tetes betadin dan siap untuk ditanam pada botol kultur
yang telah berisi media perlakuan.
Sterilisasi air aquades dan peralatan
Kegiatan sterilisasi dilakukan terhadap air aquades dan sejumlah peralatan
tanam yang akan digunakan. Air aquades disterilkan dalam autoklaf gas selama 1 jam
47

sejumlah 100 ml setiap botol yang ditutup dengan plastik sebagai bahan untuk
kegiatan sterilisisasi eksplan di dalam laminar.
Sterilisasi peralatan yang terdiri dari pinset, gunting, scalpel, petridish juga
dilakukan dalam autoklaf gas selama 1 jam bersama-sama dengan sterilisasi air
aquades. Sterilisasi dilakukan pada temperatur 1210C dengan tekanan 17.5-20 psi
selama 1 jam. Untuk laminar air flow disterilkan dengan menghidupkan laminar
(kipas angin dan lampu UV) selama 30-60 menit sebelum digunakan. Selanjutnya
laminar disemprot dengan alkohol 70 % dan dibiarkan sampai mengering.
Pembuatan media pengakaran
Media MS ditambahkan IAA dan sukrosa masing-masing konsentrasi perlakuan.
Konsentrasi IAA masing-masing 0, 0.5 dan 1 ppm, sedangkan konsentrasi sukrosa
masing-masing 30, 40,50 dan 60 g/l.
Sterilisasi eksplan
Eksplan diperoleh dari perlakuan terbaik pada multiplikasi tunas, setelah
dilakukan perbanyakan. Eksplan dari botol kultur multiplikasi tunas, sebelum
dipindahkan ke media pengakaran disterilkan dalam larutan sodium hipoklorit 1 %
dalam cawan petri kemudian ditanam.
Penanaman eksplan pada media perlakuan
Tunas yang telah bermultiplikasi pada media terbaik pada percobaan
multiplikasi tunas dipindahkan ke media perlakuan kombinasi beberapa konsentrasi
IAA dan Sukrosa masing-masing 1 tunas per botol kultur. Eksplan dalam botol
perlakuan diamati selama 10 minggu.
Aklimatisasi dilakukan pada minggu ke-11 sampai minggu ke-12 (selama 2
minggu) dengan cara mengeluarkan tanaman dari media perlakuan kemudian di tanam
di media arang sekam dan dijaga kelembabannya. Untuk mengetahui pengaruh
perlakuan terhadap perkembangan plantlet, dilakukan pengamatan dan pengukuran
terhadap beberapa parameter pertumbuhan vegetatif yang terdiri dari : a) jumlah tunas
dihitung untuk setiap botol kultur,setiap minggu b) tinggi tunas diamati di akhir
pengamatan, c) jumlah daun total per botol kultur diamati setiap minggu, d) jumlah
akar diamati setiap minggu, e) panjang akar diamati di akhir pengamatan, f) diameter
kalus, total biomasa plantlet, jumlah plantlet dan kandungan antosianin menggunakan
metode Lees dan Francis (1982), diamati pada akhir percobaan.
48

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Tunas dan Jumlah Daun


Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian IAA dan sukrosa
serta interaksinya berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan jumlah daun sejak
umur 1 MST sampai umur 8 MST (Tabel Lampiran 12). Pada umur 8 MST tunas
terbanyak (15.6 tunas) dihasilkan pada konsentrasi IAA 1 ppm dan sukrosa 40 g/l
(Tabel 11), sedangkan daun terbanyak (32.4) dihasilkan pada konsentrasi sukrosa 40
g/l tanpa IAA (Tabel 12).
Tabel 11. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah tunas daun dewa
umur kultur 1-8 MST
IAA Sukrosa Minggu Setelah Tanam
(ppm) (g/l) 1 2 3 4 5 6 7 8
0 30 1.6 a 1.7 d 2.2 c 2.3 d 2.7 e 2.7 f 2.8 d 2.8 f
40 1.3 ab 2.6 abc 3.8 ab 5.7 b 6.9 cd 8.8 cd 10.1bc 12.3 d
50 1.2 ab 2.4 bc 3.7 b 5.6 b 6.8 cd 8.2 de 9.5 c 11.1 e
60 1.1 b 2.6 abc 3.6 b 4.9 c 6.5 d 7.8 e 9.6 c 11.7de

0.5 30 1.3 ab 2.2 cd 2.4 c 2.4 d 2.7 e 2.7 f 2.7 d 2.7 f


40 1.4 ab 2.8 ab 4.1 ab 5.4 bc 7.8 b 9.0 c 10.8 b 12.1 d
50 1.1 b 2.5 abc 3.7 b 6.8 a 9.3 a 10.6 a 12.5 a 14.3 b
60 1.2 ab 2.4 bc 3.7 b 7.1 a 9.3 a 10.4 a 12.0 a 15.1ab

1 30 1.0 b 1.7 d 1.8 c 2.2 d 2.4 e 2.4 f 2.4 d 2.4 f


40 1.1 b 2.9 ab 4.1 ab 5.4 bc 8.2 b 10.0ab 12.2 a 15.6 a
50 1.0 b 3.0 a 4.2 ab 5.3 bc 7.5 bc 9.6 bc 10.8 b 13.3 c
60 1.4 ab 2.9 ab 4.4 a 5.8 b 7.9 b 9.5 bc 10.9 b 15.4 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada DMRT 5 %.

Jumlah tunas dan jumlah daun mengalami peningkatan sejak umur kultur 1
sampai 8 MST. Peningkatan jumlah tunas tetinggi sampai pada umur kultur 8 MST
terjadi pada kombinasi IAA 1 ppm dan sukrosa 40g/l tetapi tidak berbeda nyata
dengan jumlah tunas pada konsentrasi IAA 0.5 ppm dan sukrosa 60g/l. Pada umur
kultur 4, 5 dan 6 MST jumlah tunas tertinggi terjadi pada konsentrasi IAA 0.5 ppm
dan sukrosa 40 dan 50g/l, tetapi terjadi penurunan jumlah tunas pada umur kultur 8
MST. Untuk peningkatan jumlah daun tertinggi terjadi pada media MS tanpa IAA
dengan konsentrasi sukrosa 40 dan 50g/l sampai umur kultur 8 MST. Perbedaan
konsentrasi IAA dan sukrosa dalam menghasilkan jumlah tunas dan jumlah daun
tertinggi disebabkan oleh peningkatan jumlah tunas pada konsentrasi IAA 1 ppm dan
sukrosa 60g/l tidak disertai dengan pembentukan daun yang sempurna.
49

Jumlah tunas dan jumlah daun pada umur 8 MST mengalami peningkatan
yang pesat dengan peningkatan konsentrasi sukrosa sampai optimum 40-50 g/l
meskipun ukuran tunas dan daun semakin kecil. Pada konsentrasi 60 g/l jumlah tunas
mengalami penurunan, kecuali dengan penambahan IAA 1 ppm jumlah tunas
mengalami peningkatan (Gambar 16), tetapi ukuran tunas semakin kecil dan daun
tidak terbentuk sempurna (Gambar 21).
Tabel 12. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah daun daun dewa umur kultur
1-8 MST
IAA Sukrosa Minggu Setelah Tanam
(ppm) (g/l) 1 2 3 4 5 6 7 8
0 30 3.7 a 6.9 cd 10.1 d 12.5de 14.9 d 17.8 e 21.8de 24.2de
40 2.6 bc 9.8 a 15.7 b 18.6 b 22.1 a 25.4a 29.2 a 32.4 a
50 2.4 bc 8.7 ab 17.2 a 19.7 a 22.4 a 24.9ab 28.7 a 31.6 a
60 2.3 bc 7.5 bc 10.6cd 12.9de 15.9cd 18.4 e 22.6cd 25.1 d

0.5 30 2.8 bc 7.6 bc 11.2 c 13.5cd 15.9cd 18.3 e 21.2 e 23.8 e


40 3.0abc 7.4bcd 10.3cd 14.1 c 17.9 b 20.1 d 23.7 c 26.9 c
50 2.3 bc 7.4bcd 10.3cd 14.2 c 17.0bc 21.3 c 25.1 b 28.4 b
60 2.6 bc 8.7 cd 9.6 d 12.6de 15.5 d 18.6 e 21.5de 24.4de

1 30 2.1 c 5.3 e 8.1 e 10.4 f 12.2 e 14.7 f 16.9 f 19.2 f


40 2.3 bc 6.5cde 10.0 d 12.1 e 16.8bc 20.3cd 23.4 c 27.3bc
50 2.2 bc 6.0 de 8.2 e 10.1 f 15.3 d 18.7 e 21.4de 24.4de
60 3.1 ab 9.7 a 15.1 b 18.4 b 21.3 a 24.2 b 28.1 a 31.4 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada DMRT 5 %.

40
35
30
25
20
15
10
5
0
I0S1 I0S2 I0S3 I0S4 I1S1 I1S2 I1S3 I1S4 I2S1 I2S2 I2S3 I2S4
Konsentrasi IAA dan Sukrosa

Jumlah Tunas Jumlah Daun Jumlah Akar

Gambar 16. Grafik pengaruh interaksi antara IAA dan sukrosa terhadap jumlah tunas,
jumlah akar dan jumlah daun pada umur kultur 8 MST.
50

Untuk menghasilkan tunas yang memiliki daun yang terbentuk sempurna dan
menghasilkan akar, pada percobaan ini diperoleh dengan penggunaan konsentrasi
IAA 0-1 ppm dan sukrosa 30 g/l. Konsentrasi sukrosa yang lebih tinggi dari 30 g/l,
meskipun menghasilkan tunas dan daun yang banyak, tetapi tidak menghasilkan
plantlet. IAA dalam kultur in vitro berperan dalam proses pembesaran sel melalui
sekresi ion H+ keluar sel melalui dinding sel yang menyababkan dinding sel
merenggang dan sel membesar. Pembesaran sel-sel tersebut akan mendorong proses
morfogenesis (Gunawan 1992, Salisbury dan Ross 1992), sehingga terjadi
pertumbuhan tunas dan pertambahan jumlah daun. Penggunaan sukrosa dimaksudkan
untuk menyediakan energi pada proses morfogenesis untuk proses regenerasi dalam
kultur in vitro (Gunawan 1992).

Jumlah Akar

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian IAA dan sukrosa
serta interaksinya berpengaruh nyata terhadap jumlah akar sampai umur 8 MST,
kecuali pada umur 1-2 MST tidak terdapat pengaruh nyata dari IAA (Tabel Lampiran
12). Jumlah akar terbanyak (35.4) dihasilkan pada konsentrasi IAA 0.5 ppm dan
sukrosa 30 g/l.
Tabel 13. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah akar daun dewa umur kultur
1-8 MST
IAA Sukrosa Minggu Setelah Tanam
(ppm) (g/l) 1 2 3 4 5 6 7 8
0 30 0.2 a 5.0 a 8.6 b 13.8a 18.6b 23.8b 27.8b 29.7b
40 0.0 b 0.0 b 0.0 c 0.0 c 0.0 c 0.0 d 0.0 d 0.1 c
50 0.0 b 0.1 b 0.3 c 0.6 c 0.6 c 0.9 d 1.0 d 1.0 c
60 0.0 b 0.2 b 0.6 c 0.6 c 0.6 c 0.7 d 0.8 d 0.8 c

0.5 30 0.0 b 5.2 a 9.5 a 14.0a 20.5a 26.4a 31.1a 35.4a


40 0.0 b 0.2 b 0.4 c 0.5 c 0.5 c 0.7 d 1.1 d 1.1 c
50 0.0 b 0.1 b 0.2 c 0.2 c 0.2 c 0.6 d 0.7 d 0.7 c
60 0.0 b 0.0 b 0.1 c 0.3 c 0.3 c 0.3 d 0.3 d 0.3 c

1 30 0.0 b 5.4 a 7.9 b 12.4b 17.9b 22.1c 26.5c 29.3b


40 0.0 b 0.1 b 0.2 c 0.2 c 0.2 c 0.4 d 0.5 d 0.5 c
50 0.0 b 0.0 b 0.1 c 0.2 c 0.2 c 0.4 d 0.5 d 0.8 c
60 0.0 b 0.1 b 0.1 c 0.1 c 0.1 c 0.2 d 0.6 d 0.8 c
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada DMRT 5 %.

Peningkatan konsentrasi sukrosa dari 40-60 g/l menekan pembentukan


perakaran, kecuali pada konsentrasi sukrosa 30 g/l pada masing-masing konsentrasi
51

IAA 0, 0.5 dan 1 ppm dapat menginduksi terbentuknya perakaran (Tabel 13 dan
Gambar 17). Semakin tinggi konsentrasi sukrosa hanya dapat menginduksi
pembentukan kalus. Pada percobaan ini penggunaan IAA ditujukan untuk
menginduksi perakaran tunas mikro membentuk plantlet. Auksin (IAA, NAA, 2,4-D,
atau IBA) diserap oleh sel-sel tanaman untuk proses pembelahan dan inisiasi akar,
tetapi pada konsentrasi yang tinggi, auksin dapat menekan proses morfogenesis
(Smith 2000).

30 40 50 60g/l 0 0.5 1 ppm


(a) (b)
Gambar 17. Akar yang terbentuk pada konsentrasi sukrosa 30, 40, 50 dan 60 g/l (a), dan
konsentrasi IAA 0, 0.5 dan 1 ppm (b) umur kultur 8 MST.

Tinggi Tunas dan Diameter Kalus

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa IAA berpengaruh nyata


terhadap diameter kalus, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas.
Pemberian sukrosa dan interaksi antara IAA dan sukrosa berpengaruh sangat nyata
terhadap tinggi tunas dan diameter kalus umur kultur 8 MST (Tabel Lampiran 12).
Tabel 14. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap tinggi tunas dan diameter kalus daun
dewa umur kultur 8 MST
IAA (ppm) Sukrosa (g/l) Tinggi Tunas (cm) Diameter Kalus (cm)

0 30 7.35 b 0.00 e
40 3.05 c 2.16 b
50 3.00 c 1.93 bc
60 1.77 d 1.97 bc

0.5 30 10.03 a 0.00 e


40 2.05 d 1.57 d
50 1.96 d 1.96 bc
60 2.27 cd 1.75 cd

1 30 9.65 a 0.00 e
40 2.00 d 1.93 bc
50 1.92 d 2.50 a
60 2.48 cd 1.88 c
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada DMRT 5 %.
52

Berdasarkan data pada Tabel 14, konsentrasi IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 g/l
menghasilkan tunas tertinggi (10.03 cm), tetapi tidak terbentuk kalus. Pembentukan
kalus yang menghasilkan diameter kalus tertinggi (2.5 cm) terjadi pada konsentrasi
IAA 1 ppm dan sukrosa 50 g/l. Kombinasi antara IAA 0, 0.5 dan 1 ppm dengan
sukrosa 30 g/l rata-rata dapat menghasilkan tunas berakar dan tidak dapat membentuk
kalus. Kalus dapat terbentuk apabila konsentrasi sukrosa meningkat dari 40-60 g/l
(Gambar 18). Konsentrasi sukrosa yang tinggi pada media kultur akan berpengaruh
pada potensial osmotik (Gunawan 1992). Potensial osmotik yang semakin rendah
akibat konsentrasi sukrosa yang semakin tinggi akan menghambat regenerasi plantlet
dan lebih mendorong terbentuknya kalus pada kultur daun dewa.
12

10

0
I0S1 I0S2 I0S3 I0S4 I1S1 I1S2 I1S3 I1S4 I2S1 I2S2 I2S3 I2S4
Konsentrasi IAA dan Sukrosa

Tinggi Tunas (cm ) Diam eter Kalus (cm )

Gambar 18. Grafik pengaruh interaksi antara IAA dan sukrosa terhadap tinggi tunas (cm)
dan diameter kalus (cm) pada umur kultur 8 MST.

2.5
D iam eter K alus (cm )

2
y = 0.0162x 2 - 0.4629x + 2.9038
1.5 R2 = 0.89

0.5

0
0 2 4 6 8 10 12
Tinggi Tunas (cm)
Gambar 19. Grafik korelasi antara tinggi tunas dan diameter kalus pada interaksi antara
IAA dan sukrosa pada akhir percobaan.
53

Berdasarkan grafik hubungan antara tinggi tunas dengan diameter kalus


(Gambar 19), diperoleh hasil bahwa semakin tinggi tunas, maka diameter kalus
semakin rendah bahkan tidak dapat terbentuk kalus, kecuali akar. Melalui persamaan
Y = 0.0162X2 – 0.4629X + 2.9038 (R2 = 0.89), tinggi tunas yang mencapai 14.29 cm
tidak dapat membentuk kalus. Hubungan ini memberikan gambaran bahwa apabila
terjadi peningkatan pembentukan kalus pada konsentrasi sukrosa dan IAA yang
semakin tinggi, maka proses regenerasi menghasilkan tunas berakar (plantlet) menjadi
terhambat.

Panjang Akar
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa IAA, sukrosa dan interaksinya
berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar (Tabel Lampiran 12). Data pada tabel
15 memperlihatkan bahwa akar terpanjang (22.3 cm) pada umur kultur 8 MST
dihasilkan pada konsentrasi IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 g/l.
Tabel 15. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap panjang akar (cm) plantlet daun dewa
umur kultur 8 MST
Sukrosa (g/l)
IAA (ppm)
30 40 50 60
0 16.25 b 1.75 d 0.05 d 0.35 d
0.5 22.3 a 0.31 d 0.13 d 0.0 d
1 10.9 c 0.65 d 0.3 d 0.4 d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama
tidak berbeda nyata pada DMRT 5 %.
20
18
7
Panjang Akar (cm)

16 y = -0.546x + 29.57
R2 = 0.6
Panjang Akar (cm)

14 6
12 5
10
4
8
3
6
2 y = -8.6x 2 + 5.9x + 5.5
4
1 R2 = 0.8
2
0 0
30 40 50 60 0 0.5 1 1.5
Konsentrasi Sukrosa (g/l) Konsentrasi IAA (ppm )

Gambar 20. Hubungan antara konsentrasi IAA dan sukrosa terhadap panjang akar plantlet
daun dewa umur kultur 8 MST.

Penggunaan IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 g/l menghasilkan akar terpanjang
(22.3 cm) dan berbeda nyata dengan penggunaan IAA 0 dan 1 ppm serta sukrosa 30
g/l yang menghasilkan panjang akar masing-masing 16.25 cm dan 10.9 cm. Semakin
tinggi konsentrasi IAA, panjang akar akan cenderung lebih rendah dan konsentrasi
optimum adalah 0.5 ppm IAA. Demikian halnya dengan semakin meningkatnya
54

konsentrasi sukrosa di atas 30 g/l (40-60 g/l), akar yang terbentuk semakin pendek
bahkan hampir tidak membentuk akar (Gambar 20). Hasil percobaan ini
menunjukkan bahwa IAA dan sukrosa mempengaruhi proses pemanjangan akar. IAA
berperan dalam proses pembesaran dan pemanjangan sel-sel akar, sedangkan sukrosa
adalah penyedia energi melalui aktivitas enzim invertase untuk kebutuhan
pembesaran dan pemanjangan sel (Taiz dan Zeiger 1991).

Total Biomasa Plantlet, Jumlah Plantlet dan Total Antosianin

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh IAA dan pengaruh interaksi
antara IAA dan sukrosa tidak nyata terhadap total biomasa plantlet, jumlah plantlet
dan kadar antosianin daun dewa umur kultur 8 MST. Total biomasa plantlet, jumlah
plantlet dan kadar antosianin yang dihasilkan lebih dipengaruhi oleh konsentrasi
sukrosa (Tabel Lampiran 12).
Tabel 16. Total biomasa plantlet, jumlah plantlet dan total antosianin daun dewa pada
umur kultur 8 MST
. Sukrosa (g/l) Total Biomasa Plantlet Jumlah Plantlet Total Antosianin
(g) (%)
30 1.82 b 2.7 a 0.071 a
40 4.16 a 0.6 b 0.015 b
50 4.33 a 0.8 b 0.016 b
60 4.70 a 0.6 b 0.012 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada DMRT 5 %.

30 40 50 60 0 0.5 1
Sukrosa (g/l) IAA (ppm)
Gambar 21. Plantlet yang dihasilkan pada konsentrasi sukrosa 30, 40, 50 dan 60 g/l,
dan konsentrasi IAA 0, 0.5 dan 1 ppm.

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 16 menunjukkan bahwa semakin


tinggi konsentrasi sukrosa, terjadi peningkatan total biomassa plantlet karena terjadi
55

peningkatan bobot kalus yang terbentuk, tetapi jumlah plantlet dan kadar antosianin
semakin menurun.
Berdasarkan persamaan Y = 0.0047X2 – 0.4787X + 12.661 (R2 = 0.86),
penambahan sukrosa 51.4 g/l menghasilkan jumlah plantlet 0.17 (Gambar 22A),
sedangkan melalui persamaan Y = 0.0001X2 – 0.0132X + 0.3578 (R2 = 0.87),
penambahan sukrosa 67.5 g/l tidak dapat menghasilkan kadar antosianin (Gambar 22
B). Semakin tinggi konsentrasi sukrosa, total antosianin akan semakin rendah dan
jumlah plantlet juga akan semakin berkurang.

3.5
y = 0.0047x 2 - 0.4787x + 12.661
3 R2 = 0.8643
Jumlah Plantlet

2.5

1.5 A
1

0.5

0
30 40 50 60
Konsentrasi Sukrosa (g/l)

0.09
0.08
Kadar Antosianin (%)

0.07
y = 0.0001x 2 - 0.0132x + 0.3578
0.06
R2 = 0.8662
0.05
0.04 B
0.03
0.02
0.01
0
30 40 50 60
Konsentrasi Sukrosa (g/l)

Gambar 22. Grafik hubungan antara konsentrasi sukrosa terhadap jumlah plantlet (A)
dan kadar antosianin (B) umur kultur 8 MST.

Berdasarkan data visual yang disajikan pada Gambar 16, dapat dilihat bahwa
semakin tinggi konsentrasi sukrosa, maka perkembangan tunas menjadi plantlet
menjadi terhambat. Tunas dan daun yang terbentuk berukuran kecil, meskipun
jumlahnya banyak dan akar tidak terbentuk. Pada konsentrasi IAA 0, 0.5 dan 1 ppm
56

dengan konsentrasi sukrosa 30 g/l, perkembangan tunas berakar (plantlet) dapat


terjadi dan menghasilkan kandungan antosianin yang lebih tinggi. IAA berpengaruh
pada pembentukan akar sehingga terbentuk plantlet, sedangkan sukrosa di samping
sebagai penyedia energi bagi perkembangan plantlet, juga menginduksi proses
pigmentasi antosianin. Sukrosa dapat meningkatkan aktivitas enzim invertase yang
mengkatalisis sukrosa menjadi senyawa heksosa selama proses translokasi dan akan
menstimulasi biosintesis antosianin (Hiratsuka et al. 2001).
Pigmentasi antosianin secara in vitro juga telah dilakukan pada jenis tanaman
yang lain. Hiratsuka et al. (2001) melaporkan penggunaan ABA 1 g/l dan gula
(fruktosa, sukrosa, glukosa dan ramnosa) 2.5 dan 10% dapat meningkatkan
pigmentasi antosianin pada kultur in vitro Vitis labruscana Bailey cv. Olympia.
Penggunaan GA3 1 mg/l dan sukrosa 30 g/l pada kultur in vitro Hyacinthus orientalis
menghasilkan glikosida antosianin yang berbeda dengan tanaman yang sama yang
ditumbuhkan di lapang (Hosokawa et al. 1996).

SIMPULAN
Pemberian IAA dan sukrosa pada media MS berpengaruh pada induksi akar
dan pigmentasi antosianin pada kultur in vitro daun dewa sampai umur kultur 8 MST.
Konsentrasi optimum IAA dan sukrosa yang menghasilkan jumlah akar terbanyak
(35.4) dan panjang akar terpanjang (22.3 cm) diperoleh pada IAA 0.5 ppm dan
sukrosa 30 g/l.
Pada penelitian ini dihasilkan media yang menghasilkan plantlet yang
mengandung antosianin yang tinggi. Jumlah plantlet terbanyak (2.7) dengan
kandungan antosianin tertinggi (0.071%) dihasilkan pada penggunaan sukrosa 30 g/l
pada media MS.
57

PENGARUH PERIODE PENCAHAYAAN DAN SUMBER BAHAN


TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN
BIOAKTIF DAUN DEWA (Gynura pseudochina (L.) DC)
ABSTRAK
Cahaya berpengaruh pada peningkatan kandungan bioaktif tanaman, sedangkan
plantlet yang dihasilkan pada percobaan in vitro yang digunakan sebagai bahan tanam
memiliki kandungan antosianin yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap peningkatan kandungan bioaktif, khususnya flavonoid melalui kajian
pertumbuhan, anatomi daun dan fisiologis tanaman. Percobaan lapangan
menggunakan rancangan petak terpisah dengan petak utama adalah periode
pencahayaan dan anak petak adalah sumber bahan tanam yang terdiri dari bahan
tanam asal in vitro dan setek pucuk in vivo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
naungan 50% menghasilkan pertumbuhan tanaman, anatomi daun (jumlah stomata,
jumlah trichoma dan tebal daun), kandungan SOD, klorofil daun, kandungan
antosianin dan total flavonoid yang berbeda nyata dengan naungan 25% dan cahaya
100%. Periode pencahayaan yang menghasilkan bobot biomasa tertinggi (90.92 g)
adalah naungan 50% selama 1 bulan dan cahaya 100% selama 3 bulan, sedangkan
bahan tanam terbaik yang menghasilkan kandungan antosianin (0.064%) dan total
flavonoid (12.71%) tertinggi pada periode pencahayaan tersebut adalah bahan tanam
asal in vitro.

Kata kunci : Periode pencahayaan, bahan tanam asal in vitro, setek pucuk, flavonoid,
Gynura pseudochina.

EFFECT OF LIGHTING PERIODS AND SEEDLINGS TO


GROWTH AND BIOACTIVES CONTENT
OF Gynura pseudochina (L.) DC

ABSTRACT
Lights are influential to increase plant bioactives content. Field experiment
using the in vitro plantlets with the heighest anthocyanins content and in vivo shoot
cuttings through lighting periods. The research objectives were knowed differed
effect to find the lighting periods in the field experiment that increase plantlets and
shoot cuttings growth and bioactive content, especially the flavonoids. The growth,
morfo-anatomycal, plant physiological and bioactives content were measured. The
experiment used split plot design with lighting periods as the main plots and the sub
plots were plantlets and shoot cuttings. The results showed that 50% shading
produced plant growth, leaves anatomycal (stomata number, trichomes number and
thick of leaves), SOD enzymes content, chlorophill content, anthocyanins content and
total flavonoids significantly differed with 25% shading and full light. The heigher of
total biomass (90.92g) produced in shading 50% up to 1 month and three month full
light, while the heighest of anthocyanins content (0.064%) and total flavonoids
content (12.71%) produced from in vitro plantlets.

Keyword : Lighting periods, plantlets, shoot cuttings, flavonoids, Gynura pseudochina


58

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pada penelitian in vitro telah diperoleh bahan tanam asal in vitro sebagai bahan
tanam di lapang yang memiliki kandungan antosianin yang tinggi dengan kadar
0.071%. Peningkatan kandungan antosianin tersebut disebabkan karena pengaruh
penggunaan sukrosa pada media kultur. Hiratsuka et al. (2001) melaporkan
penggunaan ABA 1 g/l dan gula (fruktosa, sukrosa, glukosa dan ramnosa) 2.5 dan
10% dapat meningkatkan pigmentasi antosianin pada kultur in vitro Vitis labruscana
Bailey cv. Olympia. Penggunaan GA3 1 mg/l dan sukrosa 30 g/l pada kultur in vitro
Hyacinthus orientalis menghasilkan glikosida antosianin yang berbeda dengan
tanaman yang sama yang ditumbuhkan di lapang (Hosokawa et al. 1996).
Pemacuan produksi bioaktif bahan tanam asal in vitro pada kondisi lapang dapat
dilakukan dengan meningkatkan biomasa tanaman melalui naungan dan periode
pencahayaan. Beberapa penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa pemberian
naungan dapat mempengaruhi kandungan bioaktif tanaman, tetapi informasi tentang
pengaruh periode pencahayaan belum dilaporkan. Pada tanaman kedelai, pigmentasi
antosianin meningkat pada persentase naungan yang semakin tinggi (Lamuhuria et al.
2006), sedangkan pada beberapa klon daun dewa yang tumbuh pada kondisi 100%
cahaya menghasilkan kadar antosianin yang tidak berbeda nyata (Ghulamahdi et al.
2006). Tanaman daun jinten (Urnemi et al. 2002), kadar kumarat dan fanilat tertinggi
terdapat pada naungan 75%. Taraf naungan 50 dan 75% meningkatkan respon
tanaman daun jinten terhadap pemupukan.
Daun dewa telah dilaporkan dapat tumbuh baik pada kondisi ternaungi dan
idealnya memperoleh cahaya 50-75% (Hidayat 2000, Januwati 1996, Suharmiati dan
Maryani 2003). Daun dewa yang tumbuh di daerah ternaungi menghasilkan tanaman
yang lebih tinggi, daun yang lebih lebar dan renyah serta warna daun yang lebih cerah
dan halus. Pada intensitas cahaya yang tinggi menghasilkan daun yang keras
(Suharmiati dan Maryani 2003).
Pertumbuhan tanaman dalam naungan berdasarkan anatomi daun, kandungan
pigmen fotosintetik dan enzim SOD berbeda dengan tanaman yang tumbuh pada
kondisi cahaya penuh. Semakin tinggi persentase naungan, jumlah stomata dan
trichoma semakin berkurang dan daun semakin tipis. Liakoura (1997) melaporkan
bahwa kerapatan trichoma dan stomata Olea europaea lebih rendah pada daun yang
59

dinaungi dibanding dengan daun pada cahaya penuh. Pada intensitas cahaya rendah,
tanaman akan meningkatkan luas permukaan daun sehingga luas bidang tangkapan
terhadap cahaya semakin tinggi (Levitt 1980, Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a),
sehingga terjadi penipisan daun. Pada kondisi intensitas cahaya rendah juga terjadi
peningkatan kandungan klorofil daun sebagai pigmen fotosintetik (Sopandie 2006).
Respon tanaman yang sebelumnya tumbuh pada kondisi naungan kemudian
dipindahkan pada cahaya 100%, diduga akan terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif
disebabkan oleh peningkatan radikal bebas dalam kloroplas dan merusak pusat reaksi.
Penghambatan peningkatan radikal bebas dilakukan oleh tanaman melalui
peningkatan aktivitas enzim SOD sebagai enzim kunci yang menghambat produksi 02-
dalam penghambatan fotosintesis (Hideg 1997). Ismail et al. (2001) melaporkan
bahwa pada tanaman Crassocephalum crepidioides yang resisten terhadap 02- akan
menghasilkan enzim SOD yang lebih tinggi dari tanaman yang peka.
Pertumbuhan tanaman yang sebelumnya pada kondisi naungan kemudian
dipindahkan pada cahaya 100% juga meningkatkan kandungan bioaktif khususnya
flavonoid. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya aktivitas enzim
Flavonon 3-hidroksilase (F3H) yang menstimulasi pembentukan flavonoid, termasuk
antosianin (Jaakola 2003). Senyawa-senyawa golongan flavonoid dapat mengalami
peningkatan karena pengaruh cahaya. Cahaya dalam proses fotosintesis akan
menghasilkan glukosa-6-fosfat sebagai prekursor pembentukan asetil CoA yang
selanjutnya menghasilkan senyawa-senyawa flavonoid termasuk antosianin (Salisbury
dan Ross 1992, Vickery dan Vickery 1981). Awad et al. (2001) juga melaporkan
bahwa pada buah apel “ Jonagold “ ditemukan kandungan total flavonoid yang
berbeda karena pengaruh cahaya. Buah apel yang terletak di bagian luar tajuk
menghasilkan kandungan total flavonoid 13.5 mg/g, sedangkan buah yang berada di
bagian dalam tajuk yang tidak terkena cahaya langsung menghasilkan total flavonoid
lebih rendah (7.2 mg/g).

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon pertumbuhan dan
peningkatan kandungan flavonoid daun dewa asal in vitro pada kondisi lapang
melalui periode pencahayaan yang berbeda. Respon pertumbuhan dan peningkatan
kandungan flavonoid akan dipelajari melalui parameter pertumbuhan, perubahan
anatomi dan fisiologis tanaman.
60

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat


Produksi bahan tanam dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman
Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, sedangkan percobaan lapangan
dilaksanakan di Instalasi Biofarmaka, Pusat Studi Biofarmaka IPB di Cikabayan
dengan ketinggian tempat + 250 m dpl. Waktu pelaksanaan percobaan dimulai pada
bulan September 2005 sampai dengan bulan April 2006, yang terdiri dari produksi
bahan tanam sejak bulan September sampai bulan November 2005, aklimatisasi pada
bulan Desember 2005 serta penanaman di lapang sejak bulan Januari sampai dengan
bulan April 2006.
Analisis di laboratorium dilakukan terhadap beberapa komponen pengamatan
yang terdiri dari : a) analisis kandungan klorofil a, b dan kandungan antosianin
dilakukan di laboratorium RGCI Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, b)
pengamatan stomata dan trichoma dilakukan di laboratorium Ekofisiologi
Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, c) pengamatan tebal daun dilakukan di
laboratorium tumbuhan Seameo Biotrop Bogor, d) analisis enzim SOD dilakukan di
laboratorium Balai Penelitian Pasca Panen Cimanggu Bogor, serta e) analisis
kandungan bioaktif tanaman dilakukan di laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB.
Waktu pelaksanaan analisis berlangsung sejak bulan Mei sampai dengan bulan Juni
2006.

Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan lapangan untuk tahap-III terdiri
dari : paranet naungan 25 dan 50%, bahan tanam daun dewa asal kultur in vitro,
pupuk urea, SP-36, KCl, insektisida biologi (Pentacarb dan Florbec), polybag hitam
ukuran 35 cm x 35 cm (5 kg tanah) dan label perlakuan. Bahan-bahan kimia yang
digunakan untuk analisis klorofil, antosianin, uji fitokimia, analisis total flavonoid,
total SOD, histologi dan anatomi daun disajikan pada Lampiran 17 – 23.
Peralatan yang digunakan terdiri dari : peralatan tanam, lux meter, leaf area
meter, FJK Chlorophyll Tester CT-102, Spektrofotometer UV-VIS, mikroskop
pembesaran 10 x 10 dan 10 x 40, timbangan analitik, cuvvet, meteran, timbangan
biasa dan sprayer.
61

Metode Penelitian
Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Petak Terpisah (Split plot Design),
dengan 3 kali ulangan. Petak utama adalah periode pencahayaan (N), sedangkan anak
petak adalah sumber bahan tanam (V). Kombinasi perlakuan secara lengkap disajikan
pada Tabel 17. Secara keseluruhan terdapat 18 kombinasi perlakuan dan diulang 3
kali, serta setiap perlakuan terdapat 10 satuan percobaan sehingga terdapat 540 satuan
percobaan.
Tabel 17. Kombinasi perlakuan periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk
(V1) (V2)
Cahaya 100% 4 bulan (N0) N0V1 N0V2
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% (N1) N1V1 N1V2
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% (N2) N2V1 N2V2
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% (N3) N3V1 N3V2
Naungan 25% 4 bulan (N4) N4V1 N4V2
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% (N5) N5V1 N5V2
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% (N6) N6V1 N6V2
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% (N7) N7V1 N7V2
Naungan 50% 4 bulan (N8) N8V1 N8V2

Cahaya 100% 4 bulan (N0)

Naungan 25% 1 bulan 3 bulan cahaya 100% (N1)

Naungan 25% 2 bulan 2 bulan cahaya 100% (N2)

Naungan 25% 3 bulan 1 bulan cahaya 100% (N3)

Naungan 25% 4 bulan (N4)

Naungan 50% 1 bulan 3 bulan cahaya 100% (N5)

Naungan 50% 2 bulan 2 bulan cahaya 100% (N6)

Naungan 50% 3 bulan 1 bulan cahaya 100% (N7)

Naungan 50% 4 bulan (N8)

Bahan Tanam in Vitro (V1) Bahan Tanam Setek Pucuk (V2)

Gambar 23. Perlakuan periode pencahayaan dan sumber bahan tanam.

Model linier rancangan yang digunakan adalah :


Yijk = μ + Ki + Nj+ εij + Vk + (NV)ij + δijk
Yijk = nilai pengamatan karena adanya pengaruh kelompok ke-i, periode
pencahayaan ke-j, dan sumber bahan tanam ke-k.
μ = nilai rata-rata umum.
Ki = nilai pengamatan akibat pengaruh kelompok ke-i.
62

Nj = nilai pengamatan karena pengaruh periode pencahayaan ke-j.


εij = galat akibat pengaruh kelompok ke-i dan periode pencahayaan ke-j.
Vk = nilai pengamatan akibat pengaruh sumber bahan tanam ke-k.
(NV)ij = nilai interaksi faktor periode pencahayaan ke-i dan sumber bahan
tanam ke-j.
δijk = galat akibat pengaruh kelompok ke-i, periode pencahayaan ke-j, dan
sumber bahan tanam ke-k.
Data pengamatan diuji menggunakan sidik ragam, jika berpengaruh nyata
dilanjutkan dengan uji Duncan`s Multiple Range Test (DMRT) dan Uji Kontras
Ortogonal pada taraf kesalahan 5 % (Gomez dan Gomez 1995, Mattjik dan
Sumertajaya 2002).
Pelaksanaan percobaan tahap-III dimulai dari penanaman di lapangan sampai
pada tahap analisis di laboratorium. Langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan
adalah sebagai berikut :
Persiapan bahan tanam
Bahan tanam yang digunakan berasal dari plantlet hasil perbanyakan secara in
vitro dan setek pucuk. Setek pucuk daun dewa ditanam di polibag sejumlah
kebutuhan percobaan dan dilakukan di lapang. Sedangkan bahan tanam dari kultur in
vitro digunakan dilapang setelah aklimatisasi. Waktu penanaman setek pucuk dengan
waktu aklimatisasi bahan tanam in vitro dilakukan secara bersamaan.
Penataan tempat percobaan
Lokasi percobaan dibuat naungan paranet sesuai dengan perlakuan, kemudian
media tanam yang berisi tanah sebanyak 5 kg/polybag disiapkan sesuai dengan tata
letak hasil pengacakan berdasarkan rancangan percobaan yang digunakan (Lampiran
3).
Penanaman
Setelah bahan tanam dari perbanyakan in vitro diaklimatisasi selama 2 minggu,
dipindahkan ke polibag dan ditempatkan di lingkungan percobaan bersama-sama
dengan bahan tanam dari setek pucuk. Pada umur 1 bulan dilapangan siap untuk
ditanam pada polibag perlakuan. Penanaman dilakukan dengan memindahkan bahan
tanam dari polibag pembibitan ke polibag perlakuan secara berurutan dari ulangan 1
sampai 3.
63

Pemeliharaan tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan
gulma dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada
pagi hari sesuai kapasitas lapang pot perlakuan. Penyiangan dilakukan setiap saat
sehingga pot perlakuan bebas dari gulma. Pemupukan dilakukan dengan pemberian
pupuk dasar Urea, SP-36 dan KCl masing-masing 5 g/polibag. Pencegahan hama dan
penyakit dilakukan dengan memperhatikan gejala serangan. Penyiangan dilakukan
secara manual sedangkan pencegahan hama dan penyakit dilakukan secara kimia.
Pencegahan hama ulat jengkal dan kumbang disemprot dengan insektisida biologis
Florbec dan Pentacarb. Komponen pengamatan pada percobaan tahap-III ini adalah
sebagai berikut :
Komponen pertumbuhan tanaman :
1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai dengan ujung pucuk,
diamati pada akhir percobaan.
2. Jumlah daun (helai), diamati pada daun yang telah terbentuk sempurna, diamati
pada akhir percobaan.
3. Panjang daun terpanjang (cm) dan lebar daun terlebar (cm), diamati pada akhir
percobaan.
4. Luas daun (cm2) diamati setiap bulan, menggunakan Leaf Area Meter.
5. Indeks luas daun (ILD) diamati setiap bulan. Persamaan untuk menentukan nilai
ILD adalah : ILD = LD/A, dimana LD (luas daun total) dan A adalah luas
permukaan tanah yang ditumbuhi tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995).
6. Indeks kehijauan daun diamati setiap 2 minggu menggunakan alat FJK
Chlorophyll Tester CT-102.
7. Jumlah anakan dan jumlah cabang diamati pada akhir percobaan.
8. Bobot brangkasan tanaman (g) diamati pada akhir percobaan.
9. Bobot basah umbi (g), dan bobot basah tajuk (g) diamati pada akhir percobaan.
Komponen fisiologis tanaman :
Komponen fisiologis tanaman yang akan diukur dan diamati terdiri dari :
1. Analisis pertumbuhan tanaman menggunakan metode Masarovicova (1997).
Komponen yang diamati terdiri dari : laju tumbuh relatif (relative growth rate),
rasio luas daun (leave area ratio) dan laju asimilasi bersih (net assimilation rate).
64

a. RGR = ln W2 - lnW1 (g/g/hari) , dimana :


t2 - t1

RGR = Laju Tumbuh Relatif,


W2 = bobot kering tanaman pada pengamatan ke-2
W1 = bobot kering tanaman pada pengamatan ke-1
t1, t2 = waktu pengamatan ke-1 dan ke-2

b. LAR = L/W (cm2/g) , dimana :

LAR = rasio luas daun


L = luas daun
W = bobot kering tanaman

c. NAR = W2 - W1 x ln L2 – ln L1 (g/cm2/hari) , dimana :


L2 - L1 t2 - t1

W2 = bobot kering tanaman pada pengamatan ke-2


W1 = bobot kering tanaman pada pengamatan ke-1
L2 , L1 = Luas daun pada pengamatan ke 1 dan ke-2
t1, t2 = waktu pengamatan ke-1 dan ke-2

2. Analisis kadar klorofil a, b dan total klorofil dilakukan di laboratorium RGCI


Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB dengan
menggunakan metode Arnon (1949), dilakukan pada akhir percobaan. Cara kerja
dilampirkan pada lampiran 17. Sampel daun yang dianalisis adalah daun yang
telah terbentuk sempurna pada posisi daun ke 3-5 dari pucuk dan belum
mengalami penuaan.
3. Analisis Enzim Superoxide Dismutase (SOD) dilakukan di laboratorium Balai
Penelitian Pasca Panen Cimanggu pada akhir percobaan dengan menggunakan
metode (Knight 1998). Metode analisis terdapat pada lampiran 18. Sampel daun
yang dianalisis adalah daun yang terkena langsung cahaya matahari pada posisi
daun ke 3-5 dari arah pucuk.
Komponen anatomi tanaman :
Komponen anatomi tanaman yang akan diamati terdiri dari: jumlah stomata,
jumlah trichoma serta ketebalan daun (Sass 1951). Pengamatan jumlah stomata dan
jumlah trichoma dilakukan di laboratorium Ekofisiologi Departemen Agronomi dan
65

Hortikultura IPB, sedangkan preparasi dan pengukuran ketebalan daun dilakukan di


laboratorium histologi Seameo Biotrop pada akhir percobaan dengan menggunakan
mikroskop pembesaran 40x dan 100x. Sampel daun yang digunakan adalah daun
yang terkena langsung cahaya matahari pada posisi daun ke 3-5 dari arah pucuk.
Jumlah sampel yang digunakan adalah 3 sampel setiap daun sehingga untuk 3 helai
daun terdapat 9 sampel untuk setiap perlakuan, sehingga total sampel untuk 3 ulangan
adalah 27 sampel. Metode pengukuran dan penghitungan jumlah stomata, trichoma
dan ketebalan daun terdapat pada lampiran 19 dan 20.
Komponen Bioaktif Tanaman :

1. Uji Fitokimia dilakukan di laboratorium kimia Pusat Studi Biofarmaka IPB pada
akhir percobaan dengan menggunakan metode Harborn (1996). Sampel yang
digunakan adalah seluruh daun yang telah terbentuk sempurna per tanaman.
Jumlah sampel yang dianalisis adalah 2 tanaman dalam 1 perlakuan, kemudian
sampel dari 2 tanaman tersebut dikompositkan menjadi 1 sampel. Jumlah sampel
untuk 3 ulangan setiap perlakuan adalah 6 sampel, kemudian dikompositkan
menjadi 3 sampel. Metode kerja dapat dilihat pada lampiran 21.
2. Analisis kandungan antosianin dilakukan di laboratorium RGCI Departemen
Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB pada akhir percobaan dengan
menggunakan metode Lees dan Francis (1982). Sampel daun yang digunakan
adalah daun yang terkena langsung cahaya matahari pada posisi daun ke 3-5 dari
arah pucuk. Jumlah sampel yang digunakan adalah 2 tanaman setiap perlakuan
dan setiap tanaman diambil 3 daun, kemudian dikompositkan menjadi 1 sampel
setiap perlakuan. Dalam 3 ulangan digunakan 6 tanaman dan dikompositkan
menjadi 3 sampel. Metode kerja dapat dilihat pada lampiran 22.
3. Analisis kandungan total flavonoid dilakukan di laboratorium kimia Pusat Studi
Biofarmaka IPB pada akhir percobaan dengan menggunakan metode Badan POM
(2004). Sampel yang digunakan adalah seluruh daun yang telah terbentuk
sempurna dan setiap perlakuan digunakan 2 tanaman sampel. Sampel yang
dianalisis sebanyak 2 ulangan. Metode kerja dapat dilihat pada lampiran 23.
66

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Tanaman
Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam meningkatkan
pertumbuhan tanaman yang diamati melalui peubah tinggi tanaman, jumlah daun,
panjang daun, lebar daun, jumlah anakan dan jumlah cabang umur 16 MST. Periode
pencahayaan yang berbeda menghasilkan pertumbuhan tanaman yang berbeda antara
bahan tanam in vitro dan setek pucuk. Rata-rata pertumbuhan bahan tanam in vitro
pada berbagai periode pencahayaan lebih baik dibanding bahan tanam setek pucuk
(Gambar 24).

120
98.4
100 85.8
In Vitro Setek Pucuk
80
60
40
19 19.4 13.113.9 18 15.4
20 1.7 1.66 6.7 6.7 6.8 4.6
0
TT JD IKD PD LD JA JC
Peubah Pertumbuhan Tanaman
Gambar 24. Perbedaan pertumbuhan tanaman antara bahan tanam in vitro dan setek pucuk.
TT = tinggi tanaman (cm), JD = jumlah daun, IKD = indeks kehijauan daun, PD
= panjang daun (cm), LD = lebar daun (cm), JA = jumlah anakan, JC = jumlah
cabang.

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 18, 19 dan 20 menunjukkan


bahwa pertumbuhan bahan tanam in vitro lebih baik dibanding bahan tanam setek
pucuk. Pertumbuhan bahan tanam in vitro maksimum diperoleh pada naungan 50%
selama 4 bulan. Tinggi tanaman (24.2 cm), panjang daun terpanjang (17.6 cm) dan
lebar daun terlebar (9.0 cm) maksimum dihasilkan pada naungan 50% selama 4 bulan,
sedangkan jumlah daun terbanyak (131.3) pada naungan 50% selama 1 bulan dan 3
bulan cahaya 100%. Jumlah anakan (21.0) dan jumlah cabang terbanyak (8.5) pada
bahan tanam asal in vitro masing-masing diperoleh pada naungan 50% selama 1 bulan
dan 3 bulan cahaya 100%, dan naungan 50% selama 4 bulan.
Pertumbuhan tanaman berbeda sangat nyata antara yang tumbuh pada cahaya
100% dengan yang diberi naungan, dan antara naungan 25% dengan naungan 50%.
Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun terpanjang, lebar daun terlebar,
67

jumlah anakan dan jumlah cabang pada umur 16 MST, lebih tinggi pada perlakuan
naungan dibanding yang tumbuh pada cahaya 100% selama masa pertumbuhan.
Pertumbuhan tanaman pada naungan 50% juga lebih tinggi dari naungan 25%, kecuali
lebar daun terlebar, jumlah anakan dan jumlah cabang (Tabel 18, 19 dan 20).
Pertumbuhan yang lebih pesat pada tanaman yang diberi naungan disebabkan karena
morfogenesis tanaman yang lebih cepat karena peningkatan zat pengatur tumbuh
tanaman endogen terutama auksin dan giberelin. Menurut Devlin dan Witham (1983)
bahwa tanaman dalam naungan memiliki kandungan giberelin dan auksin yang tinggi
dan berpengaruh pada plastisitas dinding sel sehingga morfogenesis tanaman
mengalami peningkatan.
Kemampuan pertumbuhan bahan tanam asal in vitro disebabkan karena
plantlet yang dihasilkan memiliki kualitas pertumbuhan yang lebih baik. Pada kultur
in vitro penggunaan media MS yang mengandung sejumlah unsur hara makro dan
mikro esensial, vitamin dan asam-asam amino (komposisi media MS-Lampiran 5)
serta penggunaan IAA dan BAP sebagai zat pengatur tumbuh eksogen dari golongan
auksin dan sitokinin memungkinkan pertumbuhan plantlet di lapang lebih baik
dibandingkan dengan bahan tanam in vivo.

Indeks Kehijauan Daun


Periode pencahayaan dan sumber bahan tanam secara terpisah berpengaruh
nyata terhadap indeks kehijauan daun selama pertumbuhan tanaman, kecuali pada
umur 4 MST terjadi interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap indeks kehijauan daun.
Data yang disajikan pada Tabel 21 menunjukkan peningkatan indeks kehijauan
daun sejak tanaman berumur 2 MST sampai dengan umur 16 MST. Peningkatan
tertinggi diperoleh pada naungan 50% selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100% tetapi
tidak berbeda nyata dengan naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100%
dan naungan 50% selama 4 bulan. Berdasarkan sumber bahan tanam, indeks
kehijauan daun tertinggi dihasilkan pada bahan tanam asal in vitro.
Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap indeks
kehijauan daun terjadi pada umur 4 MST. Data pada Tabel 22 menunjukkan bahwa
indeks kehijauan daun tertinggi pada bahan tanam asal in vitro (1.39) dihasilkan pada
naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100%, sedangkan pada setek pucuk
(1.39) pada naungan 50% selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100%. Indeks kehijauan
68

daun terendah untuk kedua bahan tanam tersebut diperoleh pada perlakuan cahaya
100% selama 4 bulan. Pada intensitas cahaya rendah kloroplas akan mengumpul pada
dua bagian, yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya dan
terkonsentrasi pada permukaan daun sehingga warna daun lebih hijau (Salisbury dan
Ross 1992).
Tabel 22. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap indeks kehijauan daun umur 4 MST
Sumber Bahan Tanam Rata-rata
Periode Pencahayaan
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 0.72 e 0.77 e 0.75
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.05 d 1.10 d 1.08
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.20 bcd 1.08 d 1.14
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.30 abc 1.07 d 1.19
Naungan 25% 4 bulan 1.02 d 1.11 d 1.07
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.35 ab 1.12 cd 1.24
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.36 ab 1.39 a 1.37
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.39 a 1.15 cd 1.27
Naungan 50% 4 bulan 1.35 ab 1.14 cd 1.25
Rata-rata 1.19 1.10
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.75/1.20**
Naungan 25% VS Naungan 50% 1.12/1.28**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
** = sangat nyata.

Indeks Luas Daun (ILD)


Periode pencahayaan dan sumber bahan tanam berpengaruh nyata terhadap
ILD pada umur 0, 4, 12 dan 16 MST, sedangkan interaksi terjadi pada umur 8 MST
(Lampiran 13). Peningkatan ILD terjadi sejak tanaman berumur 4-16 MST dan ILD
maksimum (2.72) pada umur 16 MST dihasilkan pada naungan 50% selama 4 bulan,
sedangkan terendah (1.19) pada perlakuan cahaya 100% selama 4 bulan. Antara
bahan tanam in vitro dan setek pucuk juga menghasilkan ILD yang berbeda nyata.
Bahan tanam in vitro menghasilkan ILD yang lebih tinggi (2.18) dibanding bahan
tanam setek pucuk (2.12) (Tabel 23).
Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap ILD
terjadi pada umur 8 MST. Data yang disajikan pada Tabel 24 menunjukkan bahwa
peningkatan ILD antara bahan tanam in vitro dan setek pucuk berbeda nyata pada
periode pencahayaan yang berbeda. Indeks luas daun bahan tanam in vitro maksimum
dicapai pada naungan 50% selama 4 bulan dan lebih tinggi dibanding bahan tanam
setek pucuk dengan ILD masing-masing 1.65 dan 1.15. Indeks luas daun terendah
69

dihasilkan pada perlakuan cahaya 100% selama 4 bulan yang mencapai 0.29 dan 0.30,
masing-masing untuk bahan tanam in vitro dan setek pucuk.
Tabel 24. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap
ILD umur 8 MST
Sumber Bahan Tanam Rata-rata
Periode Pencahayaan
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 0.29 h 0.30 h 0.29
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.84 g 1.25 de 1.05
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.34 bcde 1.31 cde 1.32
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.33 bcde 1.30 de 1.32
Naungan 25% 4 bulan 1.34 bcde 1.03 f 1.19
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.49 abc 1.31 cde 1.40
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.50 ab 1.42 bcd 1.74
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.61 a 1.04 f 1.33
Naungan 50% 4 bulan 1.65 a 1.15 ef 1.41
Rata-rata 1.27 1.13
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.29/1.35**
Naungan 25% VS Naungan 50% 1.22/1.47**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
** = sangat nyata.

Peningkatan ILD lebih tinggi pada tanaman yang diberi naungan dibanding
yang tumbuh pada cahaya 100%. Berdasarkan hasil uji kontras ortogonal yang tertera
pada Tabel 23 dan 24, perbedaan yang sangat nyata terjadi antara ILD cahaya 100%
VS naungan dan naungan 25% VS naungan 50%. Pencapaian ILD maksimum pada
naungan 50%, disebabkan karena meningkatnya jumlah dan luas daun pada perlakuan
tersebut.

Bobot Brangkasan, Bobot Basah Umbi dan Bobot Basah Tajuk


Peningkatan bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk pada
umur 16 MST secara nyata dipengaruhi oleh periode pencahayaan dan sumber bahan
tanam (Lampiran 13). Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 25, peningkatan
bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk tertinggi diperoleh pada
naungan 50%, disusul naungan 25% dan cahaya 100%. Bahan tanam setek pucuk
menghasilkan bobot panen tertinggi dibanding bahan tanam in vitro.
Bobot brangkasan (90.92g), bobot basah umbi (33.00g) dan bobot basah tajuk
(57.92g) tertinggi untuk perlakuan periode pencahayaan diperoleh pada naungan 50%
selama 1 bulan dan 3 bulan cahaya 100%, sedangkan untuk masing-masing bahan
tanam, hasil tertinggi diperoleh pada bahan tanam setek pucuk yang menghasilkan
bobot brangkasan 79.43g, bobot basah umbi 28.78g dan bobot basah tajuk 50.65g.
70

Tabel 25. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa
terhadap bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk pada
saat panen (16 MST).

Bobot Bobot Basah Bobot Basah


Perlakuan
Brangkasan Umbi Tajuk
(g) (g) (g)
Cahaya 100% 4 bulan 65.08 bc 25.58 ab 39.5 bc
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 84.42 ab 32.52 a 51.92 ab
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 67.08 abc 19.00 ab 40.08 abc
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 70.00 abc 25.67 ab 44.33 abc
Naungan 25 % 4 bulan 66.42 bc 20.75 ab 45.67 abc
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 90.92 a 33.00 a 57.92 a
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 47.75 c 13.42 b 34.33 c
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 75.25 ab 28.33 a 46.92 abc
Naungan 50 % 4 bulan 61.83 bc 24.92 ab 36.92 bc
Bahan Tanam in Vitro 60.30 b 20.82 b 39.48 b
Bahan Tanam Setek pucuk 79.43 a 28.78 a 50.65 a
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 65.08/70.46tn 25.58/24.7tn 39.5/44.76tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 71.98/68.94tn 24.49/24.92tn 45.5/44.02tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 5% (DMRT). tn = tidak berbeda nyata

Berdasarkan hasil uji kontras ortogonal, meskipun tidak terdapat perbedaan


yang nyata antara bobot basah tanaman yang tumbuh pada kondisi naungan dan
cahaya 100%, tetapi bobot brangkasan dan bobot tajuk lebih tinggi pada tanaman
naungan. Pertambahan bobot segar tanaman tersebut disebabkan karena pertumbuhan
tanaman pada kondisi naungan lebih pesat. Daun dewa telah dilaporkan dapat tumbuh
baik pada kondisi ternaungi (Hidayat 2000, Januwati 1996, Suharmiati dan Maryani
2003). Daun dewa yang tumbuh di daerah ternaungi menghasilkan tanaman yang
lebih tinggi dan daun yang lebih lebar (Suharmiati dan Maryani 2003).

Jumlah Stomata, Jumlah Trichoma dan Tebal Daun


Periode pencahayaan dan sumber bahan tanam berpengaruh nyata terhadap
jumlah stomata dan tebal daun, sedangkan jumlah trichoma secara nyata hanya
dipengaruhi oleh periode pencahayaan. Terdapat interaksi antara periode pencahayaan
dan sumber bahan tanam terhadap tebal daun (Lampiran 13).
Periode pencahayaan menghasilkan jumlah stomata dan trichoma yang
berbeda nyata (Tabel 26 dan Gambar 25, 26). Jumlah stomata bahan tanam in vitro
dan setek pucuk juga berbeda nyata, sedangkan jumlah trichoma tidak berbeda nyata.
Jumlah stomata terbanyak (8.4) ditemukan pada naungan 25% selama 1 bulan dan 3
bulan cahaya 100% dan tidak berbeda nyata dengan cahaya 100% selama 4 bulan
dengan jumlah stomata 7.9. Untuk jumlah trichoma, jumlah terbanyak (6.4)
71

ditemukan pada cahaya 100% selama 4 bulan, sedangkan jumlah yang paling sedikit
(4.0) pada naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100%. Jumlah stomata
dan trichoma bahan tanam setek pucuk lebih banyak dari bahan tanam in vitro.
Tabel 26. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa
terhadap jumlah stomata, jumlah trichoma pada saat panen (16 MST).

Perlakuan Jumlah stomata Jumlah trichoma

Cahaya 100% 4 bulan 7.9 a 6.4 a


Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 8.4 a 4.6 bc
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 6.7 b 4.2 bc
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 7.0 b 4.8 bc
Naungan 25 % 4 bulan 6.2 bc 4.8 b
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 6.8 b 4.3 bc
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 6.7 b 4.8 b
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 5.9 cd 4.0 c
Naungan 50 % 4 bulan 5.4 d 4.6 bc
Bahan Tanam in Vitro 6.6 b 4.8
Bahan Tanam Setek pucuk 7.0 a 4.7
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 7.9/6.6** 6.4/4.5**
Naungan 25% VS Naungan 50% 7.1/6.2** 4.6/4.4tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 5 % (DMRT). tn = tidak berbeda nyata, ** = sangat nyata.

Tabel 27. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap tebal daun (µm) umur 16 MST
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan in Vitro Setek Rata-rata
Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 27.54 bcdef 31.14 abc 29.34
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 31.69 ab 33.39 a 32.54
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 24.38 fg 31.66 ab 28.02
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 28.12 bcdef 25.61 ef 26.87
Naungan 25% 4 bulan 23.64 fg 26.84 cdef 25.24
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 25.98 def 24.18 fg 25.08
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 25.13 efg 30.13 abcd 27.63
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 24.31 fg 29.03 abcde 26.67
Naungan 50% 4 bulan 21.09 gh 19.36 h 20.22
Rata-rata 25.76 27.93
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 29.34/26.52**
Naungan 25% VS Naungan 50% 28.17/24.9**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%. **
= sangat nyata.

Jumlah stomata dan trichoma pada daun tanaman yang tumbuh pada cahaya
100% lebih banyak dibanding dengan daun tanaman yang tumbuh pada kondisi
naungan. Pada naungan 25%, jumlah stomata dan trichoma masih lebih banyak dari
naungan 50%. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin rendah intensitas cahaya, maka
72

jumlah stomata dan trichoma akan semakin berkurang. Liakoura (1997) melaporkan
bahwa kerapatan trichoma dan stomata Olea europaea lebih rendah pada daun yang
dinaungi dibanding dengan daun pada cahaya penuh. Pada tanaman kedelai juga
terjadi penurunan jumlah stomata dan trichoma pada intensitas cahaya 50%
(Lamuhuria 2007).

S Jumlah stomata pada


cahaya 100% selama 4 bulan

S
Jumlah stomata pada
naungan 25% selama 4 bulan

Jumlah stomata pada


naungan 50% selama 4 bulan
S

Gambar 25. Stomata (pembesaran 40x) pada berbagai periode pencahayaan umur 16 MST.
S = stomata.
73

T Jumlah trichoma pada cahaya


100% selama 4 bulan

T Jumlah trichoma pada naungan


25% selama 4 bulan

T
Jumlah trichoma pada naungan
50% selama 4 bulan

Gambar 26. Trichoma (pembesaran 40x) pada berbagai periode pencahayaan umur
16 MST. T = trichoma.
74

Tebal Daun
Ketebalan daun pada cahaya 100% selama 4 bulan

Tebal Daun

Ketebalan daun pada naungan 25% selama 4 bulan


Tebal Daun

Ketebalan daun pada naungan 50% selama 4 bulan

Gambar 27. Ketebalan daun (pembesaran 100x) pada berbagai periode pencahayaan
umur 16 MST.

Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam secara nyata
menghasilkan perbedaan tebal daun. Data hasil pengukuran tebal daun yang disajikan
75

pada Tabel 27 dan Gambar 27 menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase


naungan, menghasilkan ukuran daun yang semakin tipis pada kedua bahan tanam.
Tebal daun tertinggi (33.39 µm) diperoleh pada bahan tanam setek pucuk yang
tumbuh pada naungan 25% selama 1 bulan dan 3 bulan cahaya 100%, sedangkan tebal
daun terendah (19.36 µm) dihasilkan pada bahan tanam setek pucuk yang tumbuh
pada naungan 50% 4 bulan. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin lama periode
tumbuh tanaman pada cahaya 100% menghasilkan daun yang lebih tebal, sedangkan
semakin lama pertumbuhan tanaman pada naungan 50% menghasilkan daun yang
lebih tipis. Penipisan daun pada intensitas cahaya yang rendah disebabkan oleh
pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger 1991).

Laju Tumbuh Relatif (RGR), Nisbah Luas Daun (LAR)


dan Laju Asimilasi Bersih (NAR)
Periode pencahayaan berpengaruh nyata terhadap RGR, LAR dan NAR umur
0-16 MST, sedangkan sumber bahan tanam berpengaruh nyata terhadap RGR umur 4-
16 MST, LAR umur 4-12 MST dan NAR umur 0-16 MST. Interaksi antara periode
pencahayaan dan sumber bahan tanam terjadi terhadap RGR, LAR dan NAR sampai
umur 12 MST (lampiran 13).
Tabel 28. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa
terhadap RGR (g/g/hari) pada umur tanaman 0-4, 4-8 dan 12-16 MST.

Perlakuan 0-4 MST 4-8 MST 12-16 MST

Cahaya 100% 4 bulan 0.013 d 0.041 cd 0.062 a


Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.044 abc 0.040 d 0.052 ab
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.045 abc 0.055 a 0.030 bc
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.038 c 0.054 a 0.042 ab
Naungan 25 % 4 bulan 0.041 bc 0.051 ab 0.040 ab
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.043 bc 0.052 ab 0.042 ab
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.050 a 0.052 ab 0.014 c
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.050 a 0.053 a 0.037 abc
Naungan 50 % 4 bulan 0.048 ab 0.046 bc 0.031 bc
Bahan Tanam in Vitro 0.042 0.057 0.031 b
Bahan Tanam Setek pucuk 0.040 0.041 0.047 a
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.013/0.045** 0.041/0.05** 0.062/0.036**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.042/0.048** 0.05/0.051tn 0.041/0.031tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT). tn = tidak berbeda nyata, ** =
sangat nyata.
76

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 28, 30 dan 32, RGR dan NAR
pada tanaman yang tumbuh dalam naungan 50% cenderung mengalami penurunan
sejak umur 12-16 MST, dibanding pada naungan 25% dan cahaya 100%, sedangkan
LAR mengalami penurunan sejak umur 8-16 MST. Penurunan LAR pada naungan
25% dan cahaya 100% lebih tinggi dibanding naungan 50%.
Periode pencahayaan yang menghasilkan RGR maksimum diperoleh pada
naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% untuk RGR 0-8 MST dan
cahaya 100% 4 bulan untuk RGR umur 8-16 MST. Untuk LAR maksimum diperoleh
pada naungan 50% selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100%, sedangkan NAR
maksimum pada cahaya 100% selama 4 bulan umur 16 MST. Untuk perlakuan
sumber bahan tanam, RGR dan NAR setek pucuk lebih tinggi dari bahan tanam in
vitro, kecuali LAR.
Tabel 29. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap RGR (g/g/hari) umur 8-12 MST
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 0.017 bc 0.033 a 0.025
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.009 de 0.010 de 0.009
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.008 de 0.008 de 0.008
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.009 de 0.014 cd 0.012
Naungan 25% 4 bulan 0.007 de 0.010 de 0.009
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.005 e 0.007 de 0.006
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.007 de 0.007 de 0.007
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.005 e 0.005 e 0.005
Naungan 50% 4 bulan 0.009 de 0.022 b 0.016
Rata-rata 0.008 0.013
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.025/0.009**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.0095/0.0085tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
tn = tidak nyata, ** = sangat nyata.

Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam berpengaruh


nyata terhadap RGR dan NAR umur 8-12 MST dan LAR umur 12 MST. Data yang
disajikan pada Tabel 29, 31 dan 33 menunjukkan perbedaan RGR, LAR dan NAR
yang nyata antara bahan tanam in vitro dan setek pucuk pada berbagai periode
pencahayaan. Laju tumbuh relatif maksimum (0.033 g/g/hari), LAR maksimum
(211.63 cm2/g) dan NAR maksimum (0.00016 g/cm2/hari) pada umur 8-12 MST
dihasilkan pada bahan tanam setek pucuk dan periode pencahayaan 100%.
77

Tabel 31. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap LAR (cm2/g) umur 12 MST
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 157.01 bc 211.63 a 184.32
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 156.93 bc 164.95 bc 160.94
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 167.51 bc 168.16 bc 167.84
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 159.31 bc 161.87 bc 160.59
Naungan 25% 4 bulan 184.39 b 178.35 bc 181.37
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 174.72 bc 169.09 bc 171.91
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 153.09 c 177.80 bc 165.45
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 175.06 bc 163.75 bc 169.40
Naungan 50% 4 bulan 162.31 bc 173.95 bc 168.13
Rata-rata 165.59 174.40
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 184.32/168.2*
Naungan 25% VS Naungan 50% 167.69/168.72tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
tn = tidak nyata, * = nyata.

Tabel 32. Pengaruh periode pencahayaan dan bahan tanam daun dewa terhadap NAR
(g/cm2/hari) pada umur tanaman 0-4, 4-8 dan 12-16 MST.
Perlakuan 0-4 MST 4-8 MST 12-16 MST

Cahaya 100% 4 bulan 0.00020 c 0.00048 a 0.00093 a


Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.00033 a 0.00027 c 0.00071 ab
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.00032 ab 0.00034 b 0.00033 bc
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.00023 c 0.00032 bc 0.00058 abc
Naungan 25 % 4 bulan 0.00023 c 0.00032 bc 0.00044 abc
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.00022 c 0.00031 bc 0.00050 abc
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.00025 bc 0.00030 bc 0.00012 c
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.00025 bc 0.00032 b 0.00035 bc
Naungan 50 % 4 bulan 0.00026 bc 0.00026 c 0.00027 bc
Bahan Tanam in Vitro 0.00024 b 0.00039 a 0.00031 b
Bahan Tanam Setek pucuk 0.00027 a 0.00026 b 0.00063 a
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.0002/0.00026* 0.00048/0.00031** 0.00093/0.00041**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.00028/0.00025* 0.00031/0.0003tn 0.00052/0.00031tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5 % (DMRT). tn = tidak berbeda nyata, * = nyata, ** = sangat nyata.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara RGR,
LAR dan NAR dalam pertumbuhan tanaman. Penurunan nilai LAR, meningkatkan
RGR dan NAR karena efisiensi setiap satuan luas daun untuk menghasilkan bahan
kering tanaman lebih tinggi. Sebaliknya apabila LAR meningkat, maka efisiensi daun
dalam berfotosintesis rendah yang ditunjukkan oleh peningkatan rasio luas daun
dalam menghasilkan bahan kering tanaman. Semakin luas permukaan daun untuk
menghasilkan bahan kering tanaman, dinyatakan sebagai daun yang memiliki efisiensi
78

yang rendah dalam menghasilkan bahan kering tanaman (Sitompul dan Guritno
1995).
Tabel 33. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap NAR (g/cm2/hari) umur 8-12 MST
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 0.00014 ab 0.00016 a 0.00015
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.00006 cd 0.00006 cd 0.00006
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.00005 cde 0.00005 cde 0.00005
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.00006 cd 0.00008 c 0.00007
Naungan 25% 4 bulan 0.00004 de 0.00006 cd 0.00005
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.00004 de 0.00005 cde 0.00004
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.00005 cde 0.00004 de 0.00005
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.00003 e 0.00004 de 0.00003
Naungan 50% 4 bulan 0.00006 cd 0.00013 b 0.00010
Rata-rata 0.000059 0.000073
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.00015/0.00006**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.00006/0.00005tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
tn = tidak nyata,** = sangat nyata.

Peningkatan luas daun yang cukup pesat pada naungan 50% akan terjadi
saling menaungi antara daun yang satu dengan lainnya, sehingga daun yang ternaungi
tidak efektif dalam melakukan fotosintesis. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
tidak terdapat hubungan antara peningkatan luas daun dan bobot kering tanaman yang
ditunjukkan dengan nilai RGR dan NAR. Tanaman yang tumbuh pada kondisi
ternaungi, luas daun lebih tinggi dari tanaman yang tumbuh pada cahaya 100% tetapi
RGR dan NAR lebih rendah. Fichtner et al. (1995) menyebutkan bahwa laju
pertumbuhan tanaman meningkat secara linier dengan meningkatnya fotosintesis,
tetapi akan terjadi penurunan produksi bahan kering per satuan luas daun apabila
terjadi pembatasan fotosintesis yang disebabkan oleh efisiensi daun yang rendah.
Apabila tajuk dibagi ke dalam beberapa bagian, maka cahaya yang jatuh pada bagian
permukaan tajuk bagian bawah akan semakin sedikit jika letak daun dalam bidang
vertikal mendekati permukaan tanah, akibatnya laju fotosintesis daun-daun lapisan
tajuk bawah akan semakin rendah (Gent 1995).

Kandungan Enzim Superoxide Dismutase dan Klorofil Daun

Periode pencahayaan dan sumber bahan tanam memberikan pengaruh nyata


terhadap kandungan enzim superoxide dismutase (SOD), tetapi tidak berpengaruh
nyata terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, rasio klorofil a/b dan total klorofil
79

(Lampiran 13). Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
berpengaruh nyata terhadap kandungan enzim SOD umur 16 MST.
Data yang disajikan pada Tabel 34 menunjukkan bahwa periode pencahayaan
yang berbeda menghasilkan kandungan SOD yang berbeda antara bahan tanam in
vitro dan setek pucuk. Semakin tinggi persentase naungan, kandungan SOD kedua
bahan tanam juga semakin meningkat. Kandungan SOD terendah (0.020 µmol/g)
dihasilkan bahan tanam in vitro pada periode pencahayaan 100% selama 4 bulan,
sedangkan SOD tertinggi (0.051 µmol/g) terdapat pada bahan tanam setek pucuk
dengan naungan 50% selama 4 bulan. Rata-rata kandungan SOD tertinggi dihasilkan
pada bahan tanam setek pucuk (Gambar 28).
Tabel 34. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap kandungan total enzim SOD (µmol/g) umur 16 MST
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 0.020 h 0.025 g 0.023
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.023 h 0.033 cd 0.028
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.023 h 0.030 efg 0.027
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.036 c 0.047 b 0.041
Naungan 25% 4 bulan 0.029 fg 0.032 def 0.031
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.030 efg 0.028 fg 0.029
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.034 cd 0.046 b 0.040
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.033 cd 0.047 b 0.040
Naungan 50% 4 bulan 0.036 c 0.051 a 0.043
Rata-rata 0.029 0.038
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.023/0.035**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.032/0.038**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
** = sangat nyata.

0.08
In Vitro Setek Pucuk 0.07 0.07
0.07
0.06
0.05
0.038
0.04
0.029
0.03
0.02
0.01
0
SOD Total Klorofil

Gambar 28. Kandungan enzim SOD (µmol/g) dan total klorofil (mg/g) bahan tanam daun
dewa asal in vitro dan setek pucuk umur 16 MST.
80

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama tanaman daun dewa
tumbuh pada naungan 50%, kandungan SOD semakin meningkat. Enzim SOD adalah
enzim yang berfungsi mencegah peningkatan O2- dalam kloroplas yang menyebabkan
kerusakan membran tilakoid (Hideg 1997). Peningkatan total enzim SOD pada daun
dewa dalam kondisi naungan mengindikasikan peningkatan penghambatan terhadap
aktivitas O2-, sehingga kloroplas tidak terdegradasi. Tanaman yang memiliki
ketahanan yang tinggi terhadap aktivitas O2- menghasilkan enzim SOD yang lebih
tinggi dari tanaman yang peka (Ismail et al. 2001).
Hasil analisis kandungan klorofil a, klorofil b, rasio klorofil a/b dan total klorofil
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada semua perlakuan yang dicobakan
(Tabel 35). Kandungan klorofil a pada cahaya 100% selama 4 bulan adalah 0. 045
mg/g, sedangkan pada naungan 50% selama 4 bulan 0.043 mg/g. Klorofil a terendah
dihasilkan pada naungan 25% selama 3 dan 4 bulan (0.039 mg/g). Klorofil b cahaya
100% memiliki kandungan yang sama dengan naungan 50% selama 4 bulan yaitu
0.031 mg/g dan lebih rendah dari klorofil a, sedangkan rasio klorofil a/b pada cahaya
100% lebih tinggi (1.452) dibanding dengan naungan 50% selama 4 bulan (1.387).
Penurunan rasio klorofil a/b pada naungan 50% selama 4 bulan dibanding
dengan cahaya 100% 4 bulan disebabkan karena kandunan klorofil a lebih rendah dari
cahaya 100%, sedangkan klorofil b memiliki kandungan yang sama. Total klorofil
pada naungan 50% selama 4 bulan lebih rendah dari cahaya 100%, sedangkan total
klorofil antara bahan tanam in vitro dan setek pucuk tidak berbeda nyata (Gambar 28).
Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa intensitas cahaya rendah menurunkan rasio
klorofil a/b karena terjadi peningkatan protein klorofil a/b pada LHC II. Proporsi
klorofil b lebih besar dibanding dengan klorofil a pada tanaman naungan serta ukuran
kloroplas lebih besar (Lee et al. 1985).

Kandungan Total Flavonoid dan Antosianin

Periode pencahayaan dan sumber bahan tanam berpengaruh pada peningkatan


kandungan total flavonoid dan antosianin umur 16 MST. Berdasarkan data yang
disajikan pada Tabel 36 dan 37, total flavonoid (12.71%) dan antosianin (0.064%)
tertinggi dihasilkan pada bahan tanam in vitro yang ditumbuhkan pada naungan 50%
selama 1 bulan, kemudian diekspos ke cahaya 100% selama 3 bulan.
81

Tabel 36. Pengaruh periode pencahayaan dan bahan tanam daun dewa terhadap
kandungan total flavonoid daun (%) umur 16 MST.
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 5.75 6.13 5.94
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 8.76 8.85 8.81
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 7.91 8.44 8.18
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 10.71 12.43 11.57
Naungan 25% 4 bulan 9.93 10.38 10.16
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 12.71 10.12 11.42
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 9.78 12.31 10.05
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 12.21 11.62 11.92
Naungan 50% 4 bulan 11.41 9.75 10.58
Rata-rata 9.91 10.00

Tabel 37. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap kandungan antosianin daun (%) umur 16 MST
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 0.031 def 0.015 h 0.023
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.036 d 0.026 fg 0.031
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.048 bc 0.023 g 0.035
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.044 c 0.025 fg 0.035
Naungan 25% 4 bulan 0.044 c 0.026 fg 0.035
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.064 a 0.035 de 0.050
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.035 de 0.036 d 0.036
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.046 bc 0.028 efg 0.037
Naungan 50% 4 bulan 0.052 b 0.031 def 0.042
Rata-rata 0.045 0.027
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.023/0.038**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.034/0.041**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
** = sangat nyata.

Hasil rata-rata kandungan antosianin dari kedua bahan tanam pada periode
pencahayaan yang berbeda-beda juga tertinggi dihasilkan pada bahan tanam in vitro,
meskipun rata-rata total flavonoid sedikit lebih tinggi pada setek pucuk (Gambar 29).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan kandungan antosianin dan total
flavonoid disebabkan karena bahan tanam, pengaruh naungan dan pengaruh stres
cahaya. Kandungan antosianin dan total flavonoid tertinggi yang diperoleh pada
bahan tanam in vitro disebabkan karena plantlet yang digunakan adalah plantlet
berkandungan antosianin tinggi. Pada studi in vitro melalui penggunaan komposisi
media MS yang mengandung IAA dan sukrosa memacu peningkatan antosianin pada
plantlet. Pada kondisi lapang, pengaruh naungan dan stres cahaya melalui perlakuan
periode pencahayaan lebih memacu peningkatan kandungan antosianin dan total
flavonoid daun dewa.
82

12
0.05 0.045
K ad ar A n to sian in (% ) 11 9.91 10
10

Total Flavonoid (%)


0.04 9
8

0.03 0.027 7
6
5
0.02 4
3
0.01 2
1
0
0
In Vitro Setek Pucuk In Vitro Setek Pucuk

(a) (b)
Gambar 29. Kandungan antosianin (a) dan total flavonoid (b) antara bahan tanam in vitro dan
setek pucuk umur 16 MST.

Data penelitian menunjukkan kandungan antosianin (0.064%) atau 0.64 mg/g


dan total flavonoid (12.71%) tertinggi diperoleh pada bahan tanam in vitro yang
ditumbuhkan pada kondisi naungan 50% selama 1 bulan, kemudian tanaman
dipindahkan pada kondisi cahaya 100% selama 3 bulan. Peningkatan antosianin dan
total flavonoid tersebut disebabkan karena stres atau kejutan saat tanaman diekspos ke
cahaya 100%. Sintesis antosianin akan meningkat pada saat tanaman diekspos ke
cahaya langsung (sun direct exposure) karena adanya peningkatan aktivitas enzim
Flavonon 3-hidroxilase (F3H) yang menstimulasi pembentukan turunan senyawa-
senyawa golongan flavonoid, termasuk antosianin (Jaakola 2003). Hasil penelitian
pada sembilan klon daun dewa yang ditumbuhkan pada cahaya 100% tanpa diberi
naungan sebelumnya, menghasilkan kandungan antosianin yang tidak berbeda nyata.
Kandungan antosianin tertinggi yang dihasilkan juga masih rendah (0.12 mg/g)
(Ghulamahdi et al. 2006), dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada penelitian
ini (0.64 mg/g).
Senyawa-senyawa golongan flavonoid dapat mengalami peningkatan karena
pengaruh cahaya (Salisbury dan Ross 1992). Cahaya dalam proses fotosintesis akan
menghasilkan glukosa-6-fosfat sebagai prekursor pembentukan asetil CoA yang
selanjutnya menghasilkan senyawa-senyawa flavonoid termasuk antosianin (Vickery
dan Vickery 1981). Awad et al. (2001) juga melaporkan bahwa pada buah apel “
Jonagold “ ditemukan kandungan total flavonoid yang berbeda karena pengaruh
cahaya. Buah apel yang terletak di bagian luar tajuk menghasilkan kandungan total
flavonoid 13.5 mg/g, sedangkan buah yang berada di bagian dalam tajuk yang tidak
terkena cahaya langsung menghasilkan total flavonoid lebih rendah (7.2 mg/g).
83

Analisis Korelasi antara Peubah Pertumbuhan dan Anatomi Daun dengan


Kandungan Antosianin

Hasil analisis korelasi antar peubah (Tabel 38) menunjukkan bahwa tinggi
tanaman, panjang daun terpanjang, indeks kehijauan daun dan ILD berkorelasi positif
nyata dengan kandungan antosianin, dengan masing-masing nilai r = 0.56, 0.53, 0.38
dan 0.60. Berdasarkan nilai koefisien korelasi tersebut, tinggi tanaman, panjang daun
terpanjang dan ILD memiliki keeratan hubungan dengan peningkatan kandungan
antosianin dibanding indeks kehijauan daun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
semakin tinggi tanaman menghasilkan daun yang lebih panjang dan berpengaruh pada
peningkatan ILD karena luas daun akan meningkat. Apabila tanaman lebih pendek
menghasilkan anakan dan cabang lebih banyak dan ukuran daun lebih kecil, sehingga
menurunkan ILD. Ukuran daun yang lebih panjang dan lebih luas akan meningkatkan
jumlah sel epidermis dan sel-sel mesofil daun yang mengandung antosianin, sehingga
total kandungan antosianin akan lebih tinggi. Kandungan antosianin pada daun
tanaman yang ternaungi terdapat pada vakuola sel epidermis serta sel-sel mesofil daun
sehingga terjadi akumulasi yang tinggi (Woodall et al. 1998, Gould et al. 2000).
Korelasi negatif nyata terjadi antara jumlah anakan, jumlah cabang dan
jumlah stomata dengan kandungan antosianin, dengan masing-masing nilai r = -0.43, -
0.52 dan -0.37. Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan antosianin akan
meningkat apabila jumlah anakan, jumlah cabang dan jumlah stomata sedikit.
Hubungan ini dapat dijelaskan berdasarkan data jumlah anakan, jumlah cabang dan
jumlah stomata yang diperoleh dari hasil percobaan ini. Apabila jumlah anakan dan
jumlah cabang sedikit, maka ukuran daun akan semakin luas yang ditunjukan dengan
panjang dan lebar daun yang semakin meningkat. Peningkatan luas daun tersebut
akan meningkatkan akumulasi antosianin pada total jumlah sel per daun.
Hubungan antara penurunan jumlah stomata dengan peningkatan kandungan
antosianin dapat dijelaskan melalui pengaruh peningkatan luas daun terhadap
penurunan jumlah stomata. Hasil penelitian menunjukkan pada naungan 50% selama
4 bulan terjadi peningkatan luas daun yang ditunjukkan oleh peningkatan panjang dan
lebar daun, sedangkan jumlah stomata berkurang. Pada tanaman kedelai juga terjadi
penurunan kerapatan stomata dan peningkatan luas daun trifoliat pada intensitas
cahaya 50% (Lamuhuria 2007). Pada intensitas cahaya rendah akan terjadi penurunan
laju transpirasi, sehingga tanaman mengadaptasikan diri dengan cara menurunkan
kerapatan stomata (Logan et al. 1999). Penurunan laju transpirasi menyebabkan
84

kandungan air pada sel-sel daun akan lebih banyak dan mempengaruhi perkembangan
daun. Daun yang berkembang dengan baik akan menghasilkan peningkatan pada luas
daun dan meningkatkan akumulasi kandungan antosianin.

SIMPULAN

Periode pencahayaan dan sumber bahan tanam berpengaruh baik terhadap


pertumbuhan tanaman, bobot panen, morfo-anatomi daun, rasio klorofil a/b,
kandungan SOD daun, total flavonoid dan kandungan antosianin daun dewa. Terdapat
interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap pertumbuhan
tanaman, tebal daun, kandungan SOD dan kandungan antosianin. Semakin tinggi
persentase naungan, bahan tanam asal in vitro menghasilkan pertumbuhan tanaman
lebih baik dan kandungan total flavonoid serta antosianin meningkat dibanding tanpa
naungan. Peningkatan total flavonoid dan antosianin lebih meningkat lagi saat
tanaman dalam naungan diekspos ke cahaya 100%.
Periode pencahayaan yang menghasilkan kandungan total flavonoid dan
antosianin daun dewa tertinggi adalah naungan 50% selama 1 bulan dan 3 bulan
diekspos pada cahaya 100%, sedangkan sumber bahan tanam terbaik yang
menghasilkan kandungan total flavonoid dan antosianin tertinggi pada periode
pencahayaan tersebut adalah bahan tanam asal kultur in vitro.
Tabel 18. Tinggi tanaman dan jumlah daun pada berbagai periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa
umur 16 MST
Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Daun
Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk Rata-rata in Vitro Setek Pucuk Rata-rata
Cahaya 100% 4 bulan 9.7 g 13.8 f 11.8 50.3 i 70.7 h 60.5
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 17.0 e 16.9 e 17.0 94.5 e 80.7 g 87.6
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 17.3 e 20.0 bcde 18.7 87.0 efg 83.8 g 85.4
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 18.8 cde 20.9 bcd 19.9 93.3 ef 69.2 h 81.3
Naungan 25% 4 bulan 23.1 ab 19.3 cde 21.2 103.0 cd 84.7 fg 93.8
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 18.6 de 19.8 cde 19.2 131.3 a 106.0 c 118.7
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 21.2 abcd 20.9 bcd 21.1 105.0 c 93.3 ef 99.2
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 20.9 bcd 22.0 abc 21.5 106.5 c 95.8 de 101.2
Naungan 50% 4 bulan 24.2 a 21.1 abcd 22.7 114.5 b 88.0 efg 101.3
Rata-rata 19.0 19.4 98.4 85.8
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 11.8/20.2** 60.5/96.1**
Naungan 25% VS Naungan 50% 19.2/21.1** 87.0/105.1**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris untuk peubah yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT
5%, ** = sangat nyata.

94
Tabel 19. Panjang daun terpanjang dan lebar daun terlebar pada berbagai periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
daun dewa umur 16 MST
Panjang Daun Lebar Daun
Periode Pencahayaan Terpanjang (cm) Rata-rata Terlebar (cm) Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 8.3 i 12.3 fg 10.3 5.2 fg 6.8 de 6.0
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 11.7 gh 11.1 h 11.4 6.4 ef 6.4 ef 6.4
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 11.2 gh 12.8 fg 12.0 7.8 abcd 7.6 bcd 7.7
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 13.4 def 13.4 def 13.4 8.8 ab 8.0 abcd 8.4
Naungan 25% 4 bulan 12.4 fg 16.0 bc 14.2 8.1 abc 8.1 abc 8.1
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 13.6 def 13.9 def 13.7 8.7 ab 6.9 cde 7.8
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 15.3 cd 14.9 cd 15.1 3.4 hi 3.4 hi 3.4
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 14.1 de 14.4 de 14.3 2.8 i 4.3 gh 3.5
Naungan 50% 4 bulan 17.6 a 16.3 ab 17.0 9.0 a 8.5 ab 8.8
Rata-rata 13.1 13.9 6.7 6.7
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 10.3/13.9** 6.0/6.8*
Naungan 25% VS Naungan 50% 12.8/15.0** 7.7/5.9**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris untuk peubah yang sama tidak berbeda nyata
pada DMRT 5%. ** = sangat nyata , * = nyata.

94
Tabel 20. Jumlah anakan dan jumlah cabang pada berbagai periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa umur
16 MST
Jumlah Anakan Jumlah Cabang
Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk Rata-rata in Vitro Setek Pucuk Rata-rata
Cahaya 100% 4 bulan 10.8 g 16.8 cd 13.8 6.2 c 8.2 ab 7.2
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 19.5 abc 17.2 cd 18.3 6.3 c 7.3 abc 6.8
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 20.5 ab 17.5 bcd 19.0 6.0 c 6.8 abc 6.4
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 15.8 def 13.8 efg 14.8 7.2 abc 3.7 def 5.4
Naungan 25% 4 bulan 18.2 abcd 16.7 cde 17.4 6.7 bc 4.0 de 5.3
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 21.0 a 17.3 cd 19.2 6.7 bc 2.7 efg 4.7
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 19.8 abc 13.3 fg 16.6 6.3 c 4.5 d 5.4
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 18.5 abcd 13.3 fg 15.9 7.2 abc 1.8 g 4.5
Naungan 50% 4 bulan 18.2 abcd 12.7 g 15.4 8.5 a 2.3 fg 5.4
Rata-rata 18.0 15.4 6.8 4.6
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 13.8/17.1** 7.2/5.5**
Naungan 25% VS Naungan 50% 17.4/16.8 tn 6.0/5.0**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris untuk peubah yang sama tidak berbeda nyata
pada DMRT 5%. ** = sangat nyata, tn = tidak nyata.

94
Tabel 21. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa terhadap indeks kehijauan daun
pada umur 2-16 MST.
Minggu setelah tanam (MST)
Perlakuan
2 6 8 10 12 14 16
Cahaya 100% 4 bulan 0.61d 0.98d 1.10e 1.16e 1.30e 1.42d 1.55e
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.88c 1.20c 1.29d 1.39b 1.47d 1.55c 1.59de
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.90bc 1.34ab 1.39c 1.46cd 1.51cd 1.57bc 1.63cd
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.95abc 1.36ab 1.44bc 1.52bc 1.58abc 1.62bc 1.68bc
Naungan 25 % 4 bulan 0.88c 1.29bc 1.37c 1.48c 1.56abcd 1.62b 1.66c
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.05ab 1.36ab 1.44bc 1.51bc 1.55bcd 1.61bc 1.74ab
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.10a 1.46a 1.54a 1.61a 1.65a 1.73a 1.78a
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.03ab 1.37ab 1.45bc 1.54abc 1.65ab 1.69a 1.75a
Naungan 50 % 4 bulan 1.04ab 1.39ab 1.50ab 1.57ab 1.64ab 1.71a 1.75a
Bahan tanam in Vitro 0.93a 1.35a 1.43a 1.50a 1.56a 1.63a 1.70a
Bahan tanam setek pucuk 0.95a 1.26b 1.35b 1.44b 1.53a 1.59b 1.66b
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.61/0.98** 0.98/1.35** 1.10/1.43** 1.16/1.51** 1.30/1.58** 1.42/1.64** 1.55/1.70**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.90/1.06** 1.30/1.40** 1.37/1.48** 1.46/1.56** 1.53/1.62** 1.59/1.69** 1.64/1.76**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT).
** = sangat nyata

94
Tabel 23. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa terhadap indeks luas daun (ILD) pada
umur tanaman 0, 4, 12 dan 16 minggu setelah tanam (MST).

Perlakuan 0 MST 4 MST 12 MST 16 MST

Cahaya 100% 4 bulan 0.03 d 0.05 e 0.85 e 1.19 i


Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.08 b 0.35 c 1.46 d 1.85 h
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.07 c 0.29 b 1.74 c 1.90 g
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.10 a 0.30 b 1.73 c 1.99 f
Naungan 25 % 4 bulan 0.11 a 0.36 c 1.87 bc 2.16 e
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.11 a 0.52 a 2.00 b 2.39 d
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.10 a 0.48 b 1.92 b 2.54 c
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.10 a 0.48 b 2.01 b 2.58 b
Naungan 50 % 4 bulan 0.11 a 0.46 b 2.20 a 2.72 a
Bahan Tanam in Vitro 0.08 b 0.36 1.80 a 2.18 a
Bahan Tanam Setek pucuk 0.10 a 0.37 1.71 b 2.12 b
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.03/0.1** 0.05/0.41 ** 0.85/1.87** 1.19/2.27**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.09/0.11** 0.33/0.49** 1.7/2.03** 2.0/2.56**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT).
** = sangat nyata.

94
Tabel 35. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, rasio
klorofil a/b dan total klorofil umur 16 MST

Klorofil a Klorofil b Rasio Total klorofil


Perlakuan
(mg/g) (mg/g) klorofil (mg/g)
a/b
Cahaya 100% 4 bulan 0.045 0.031 1.452 0.076
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.041 0.028 1.464 0.070
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.040 0.031 1.290 0.072
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.039 0.027 1.444 0.066
Naungan 25 % 4 bulan 0.039 0.027 1.444 0.066
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.046 0.030 1.533 0.076
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.041 0.027 1.519 0.068
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.044 0.032 1.375 0.075
Naungan 50 % 4 bulan 0.043 0.031 1.387 0.074
Bahan Tanam in Vitro 0.041 0.029 1.414 0.070
Bahan Tanam Setek pucuk 0.043 0.029 1.483 0.072
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.045/0.042tn 0.031/0.029tn 1.452/1.432 tn 0.076/0.071 tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.04/0.044tn 0.028/0.03tn 1.411/1.454tn 0.069/0.073 tn
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata.

94
Tabel 30. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa terhadap LAR (cm2/g) pada umur tanaman 0, 4, 8 dan
16 minggu setelah tanam (MST).

Perlakuan 0 MST 4 MST 8 MST 16 MST

Cahaya 100% 4 bulan 62.33 c 68.85 f 137.09 bc 54.27 b


Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 121.14 b 162.19 e 153.02 ab 49.22 b
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 123.85 b 160.68 e 157.25 ab 86.33 b
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 162.93 a 170.89 de 168.71 a 66.08 b
Naungan 25 % 4 bulan 173.53 a 186.89 cd 156.26 abc 74.69 b
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 162.44 a 225.16 a 141.55 bc 71.27 b
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 181.49 a 215.74 ab 154.19 ab 168.55 a
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 184.31 a 211.13 ab 127.93 c 79.31 b
Naungan 50 % 4 bulan 169.53 a 199.33 bc 166.97 a 90.36 b
Bahan Tanam in Vitro 151.58 192.15 a 140.36 b 92.53
Bahan Tanam Setek pucuk 146.54 163.60 b 160.30 a 71.93
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 62.33/159.9** 68.85/191.5** 137.09/153.24tn 54.27/85.73tn
Naunagn 25% VS Naungan 50% 145.36/174.44** 170.16/212.84** 158.81/147.66tn 68.08/102.37*
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT).
tn = tidak berbeda nyata, * = nyata, ** = sangat nyata.

94
Tabel 38. Koefisien korelasi antar peubah pertumbuhan, produksi, morfo-anatomi daun, kandungan enzim SOD, klorofil
daun dan kandungan antosianin

X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9

X1 1.00
X2 0.57** 1.00
X3 0.73** 0.51** 1.00
X4 0.09tn 0.05tn 0.51** 1.00
X5 0.18tn 0.56** 0.06tn 0.14tn 1.00
X6 -0.19tn 0.08tn -0.18tn 0.05tn 0.43** 1.00
X7 0.53** 0.53** 0.52** -0.24tn 0.08tn -0.13tn 1.00
X8 -0.46** -0.46** -0.32* -0.03tn -0.30* 0.26tn -0.36** 1.00
X9 -0.58** -0.49** -0.57** -0.08tn -0.09tn 0.16tn -0.56** 0.34* 1.00
X10 -0.41** -0.29* -0.38** -0.26* -0.02tn 0.22tn -0.38** 0.20tn 0.57**
X11 0.79** 0.73** 0.70** -0.12tn 0.14tn -0.32* 0.72** -0.55** -0.70**
X12 -0.26tn -0.32* -0.24tn 0.14tn -0.07tn 0.06tn -0.45** 0.28* 0.49**
X13 0.20tn 0.23tn 0.25tn -0.31* 0.03tn -0.01tn 0.41** -0.08tn -0.34*
X14 -0.23tn -0.33* -0.21tn 0.08tn -0.04tn 0.12tn -0.43** 0.32* 0.54**

94
Lanjutan Tabel 38

X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9

X15 0.07tn 0.06tn -0.02tn 0.15tn 0.17tn -0.08tn -0.15tn -0.14tn 0.29*
X16 0.04tn 0.03tn 0.004tn 0.10tn 0.08tn -0.004tn -0.17tn 0.05tn 0.31*
X17 0.08tn 0.07tn -0.03tn 0.16tn 0.21tn -0.13tn -0.11tn -0.26tn 0.21tn
X18 -0.16tn -0.12tn -0.11tn -0.11tn -0.13tn -0.25tn 0.09tn 0.11tn 0.07tn
X19 -0.18tn -0.12tn -0.18tn -0.02tn -0.14tn -0.15tn 0.09tn 0.10tn -0.07tn
X20 0.03tn 0.01tn 0.12tn -0.12tn 0.06tn -0.15tn -0.03tn -0.02tn 0.21tn
X21 -0.18tn -0.12tn -0.15tn -0.08tn -0.14tn -0.22tn 0.09tn 0.11tn 0.02tn
X22 0.27* 0.68** 0.14tn 0.17tn 0.39** 0.23tn 0.44** -0.25tn -0.45**
X23 0.56** 0.10tn 0.53** -0.07tn -0.43** -0.52** 0.38** -0.23tn -0.37**

94
Lanjutan Tabel 38

X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18

X10 1.00
X11 -0.51** 1.00
X12 0.22tn -0.47** 1.00
X13 -0.09tn 0.38** -0.89** 1.00
X14 0.25tn -0.50** 0.94** -0.72** 1.00
X15 0.22tn -0.08tn 0.75** -0.73** 0.67** 1.00
X16 0.12tn -0.08tn 0.80** -0.71** 0.78** 0.84** 1.00
X17 0.25tn -0.06tn 0.55** -0.58** 0.44** 0.90** 0.52** 1.00
X18 -0.06tn -0.01tn 0.30* -0.30* 0.22tn 0.28* 0.34* 0.16tn 1.00
X19 -0.05tn -0.03tn 0.22tn -0.27* 0.15tn 0.18tn 0.19tn 0.13tn 0.77**
X20 -0.02tn 0.04tn 0.08tn -0.02tn 0.07tn 0.12tn 0.19tn 0.03tn 0.30*
X21 -0.06tn -0.02tn 0.28* -0.31* 0.21tn 0.25tn 0.30* 0.15tn 0.96**
X22 -0.40** 0.48** -0.49** 0.31* -0.52** -0.27* -0.29* -0.19tn -0.08tn
X23 -0.21tn 0.60** -0.20tn 0.22tn -0.18tn -0.03tn -0.01tn -0.03tn 0.01tn

94
Lanjutan Tabel 38

X19 X20 X21 X22 X23

X19 1.00
X20 -0.37** 1.00
X21 0.92** 0.03tn 1.00
X22 0.003tn -0.11tn -0.05tn 1.00
X23 0.008tn 0.007tn 0.01tn -0.09tn 1.00
Keterangan : X1=tinggi tanaman, X2=jumlah daun, X3=panjang daun terpanjang, X4=lebar daun terlebar, X5=jumlah
anakan, X6=jumlah cabang, X7=indeks kehijauan daun, X8=jumlah trichoma, X9=jumlah stomata,
X10=tebal daun, X11=ILD, X12=RGR, X13=LAR, X14=NAR, X15=bobot brangkasan, X16=bobot basah
umbi, X17=bobot basah tajuk, X18=kandungan klorofil a, X19=kandungan klorofil b, X20=rasio klorofil
a/b, X21=total klorofil, X22=kandungan antosianin, X23=total enzim SOD. * dan ** berpengaruh nyata
pada taraf kepercayaan 95% dan 99%, tn=tidak nyata.

94
97

PENGARUH PERIODE PENCAHAYAAN DAN PEMUPUKAN


TERHADAP PRODUKSI FLAVONOID DAUN DEWA
(Gynura pseudochina (l.) DC) ASAL KULTUR IN VITRO

ABSTRAK
Intensitas cahaya dan pemupukan berpengaruh pada peningkatan produksi total
flavonoid, antosianin dan kuersetin daun dewa asal kultur in vitro. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan terhadap
pertumbuhan tanaman dan produksi flavonoid (antosianin dan kuersetin daun).
Percobaan lapangan menggunakan rancangan petak terpisah dengan petak utama
adalah periode pencahayaan dan anak petak adalah tanpa pupuk kandang ayam + SO4,
pupuk kandang ayam 50g + SO4 0.4g/tanaman dan pupuk kandang ayam 100g + SO4
0.8g/tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa naungan 50% selama 3 bulan
dan 1 bulan cahaya 100% menghasilkan produksi total flavonoid (1.61g/tanaman) dan
kuersetin (0.023g/tanaman) tertinggi dibanding cahaya 100% selama 4 bulan yang
menghasilkan produksi total flavonoid 1.29g/tanaman dan kuersetin 0.021g/tanaman.
Produksi antosianin tertinggi (0.172g/tanaman) dihasilkan pada naungan 25% selama
2 bulan dan 2 bulan cahaya 100%, sedangkan pada cahaya 100% selama 4 bulan
dihasilkan 0.113g/tanaman. Tanaman yang tumbuh dalam naungan 25 dan 50%
selama 4 bulan menghasilkan struktur dan ukuran kloroplas yang berbeda dengan
kloroplas cahaya 100% dan apabila tanaman yang tumbuh dalam naungan diekspos
pada cahaya 100%, struktur dan ukuran kloroplas mengalami perubahan menyerupai
kloroplas cahaya 100%. Perubahan struktur dan ukuran kloroplas tersebut disebabkan
karena peningkatan tumpukan grana dan volume stroma serta peningkatan ukuran
butir pati. Produksi bioaktif juga mengalami peningkatan dengan dosis pemupukan
yang semakin tinggi. Pemberian pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman
menghasilkan produksi total flavonoid (1.61g/tanaman) dan antosianin
(0.232g/tanaman) tertinggi dibanding tanpa pemupukan yang menghasilkan produksi
total flavonoid 1.23g/tanaman dan antosianin 0.067g/tanaman. Produksi kuersetin
tertinggi (0.038g/tanaman) dihasilkan pada pemberian pupuk kandang ayam 50g +
SO4 0.4g/tanaman dan tanpa pemupukan menghasilkan 0.018g/tanaman. Tidak
terdapat interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan dalam meningkatkan
pertumbuhan tanaman dan produksi flavonoid daun dewa asal kultur in vitro.

Kata kunci : Periode pencahayaan, pemupukan, Gynura pseudochina, in vitro,


produksi flavonoid

EFFECT OF LIGHTING PERIODS AND FERTILIZING


TO FLAVONOIDS PRODUCTION OF
Gynura pseudochina (L.) DC IN VITRO

ABSTRACT
Lights intensity and fertilizing are influential to increase total flavonoids,
anthocyanins and quercetin production of Gynura pseudochina seedlings from in
vitro. The research objectives were knowed effect of lighting periods and fertilizing to
plant growth and flavonoids production of plantlets from in vitro. Field experiment
was used split plot design with main plots were lighting periods and sub plots were no
98

fertilizing (no manure + SO4), manure 50g + SO4 0.4g/plant and manure 100g + SO4
0.8g/plant. The results of the research showed that maximum total flavonoids
(1.61g/plant) and quercetin production (0.023g/plant) produced at 50% shading up to
3 month and 1 month full light, while full light treatment produced total flavonoids
and quercetin production 1.29 and 0.021g/plant, respectively. The heigher of
anthocyanins production (0.172g/plant) produced at 25% shading up to 2 month and 2
month full light, while at full light treatment up to 4 month produced 0.113g/plant.
The growth of plant in 25 and 50% shading up to 4 month produced of chloroplast
structure and size differed with chloroplast full light. If the plant in shading condition
exposured to direct sun, chloroplast structure and size the same with chloroplast full
light. The chloroplast in 25 and 50% shading up to 4 month possess stack granum,
volume of stroma and starch grain more larger compared the chloroplast in full light.
Increasing of flavonoids production can effected by manure + SO4 applications. The
heigher of total flavonoids (1.61g/plant) and anthocyanins production (0.232g/plant)
produced at dosage of manure 100g + SO4 0.8g/plant, while no fertilizer produced
total flavonoid and anthocyanins production 1.23 and 0.067g/plant, respectively. The
heigher of quercetin production (0.038g/plant) produced at application of manure 50g
+ SO4 0.4g/plant and no fertilizer produced 0.018g/plant. No interaction between
lighting periods and fertilizing that increased plant growth and flavonoids production
of Gynura pseudochina seedlings from in vitro.

Keyword : Lighting periods, fertilizing, Gynura pseudochina, in vitro, flavonoid


production

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahan tanam in vitro pada percobaan sebelumnya menghasilkan pertumbuhan
dan kandungan antosianin yang lebih tinggi dibanding setek pucuk. Kandungan
antosianin yang dihasilkan pada bahan tanam in vitro adalah 0.045% dan lebih tinggi
dibanding bahan tanam setek pucuk (0.027%). Berdasarkan kemampuan pertumbuhan
dan kandungan antosianin yang tinggi, bahan tanam in vitro (plantlet) digunakan pada
percobaan interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan untuk lebih memacu
produksi flavonoid. Pengaruh periode pencahayaan terhadap pertumbuhan dan
kandungan bioaktif daun dewa telah dijelaskan pada percobaan sebelumnya, tetapi
pengaruh periode pencahayaan terhadap serapan hara dalam menstimulasi produksi
bioaktif belum diketahui. Pada tanaman daun jinten (Urnemi et al. 2002), kadar
kumarat dan fanilat tertinggi terdapat pada naungan 75%. Taraf naungan 50 dan 75%
meningkatkan respon tanaman daun jinten terhadap pemupukan. Pemberian pupuk
fosfor 75 kg/ha tanpa pupuk herbal menghasilkan kadar kumarat dan vanilat tertinggi.
99

Pemberian unsur hara melalui pemupukan sangat penting untuk menambah


produksi bioaktif flavonoid (antosianin dan kuersetin) pada tanaman. Nitrogen
dibutuhkan dalam pertumbuhan vegetatif tanaman dan sintesis protein (Boswell et al.
1997), sedangkan fosfor, kalium dan magnesium masing-masing berperan pada proses
fotosintesis, aktivator berbagai enzim dan penyusun klorofil (Tisdale dan Nelson
1985, Leiwakabessy 1988, Marschner 1995). Sulfur yang merupakan unsur hara yang
akan dicobakan pada penelitian ini memiliki peran spesifik pada mekanisme produksi
senyawa flavonoid. Sulfur dalam bentuk SO42- merupakan elemen esensial dalam
sintesis protein dan produksi senyawa-senyawa metabolit sekunder dalam tanaman
seperti flavonoid dan terpenoid (Hornok 1992, Marschner 1995). Penentuan dosis
sulfur yang tepat dan dapat meningkatkan kandungan flavonoid daun dewa sangat
penting untuk diketahui.
Kombinasi penggunaan pupuk anorganik dan pupuk organik (pupuk kandang)
untuk mendukung pertumbuhan daun dewa di lapang sangat diperlukan. Pupuk
anorganik dapat menyediakan unsur hara tersedia langsung bagi tanaman, sedangkan
pupuk kandang adalah sebagai sumber bahan organik tanah yang dapat memperbaiki
sifat fisik dan meningkatkan kesuburan tanah. Pupuk organik (pupuk kandang)
memberikan bagian yang terbesar untuk lokasi pertukaran kation di dalam tanah
dengan kapasitas buffer bahan organik yang rendah (Babbar dan Zak 1994). Siregar
dan Utami (2002) menyatakan bahwa penanaman daun dewa dengan menggunakan
pupuk kandang tanpa tambahan pupuk anorganik, tidak menunjukkan gejala defisiensi
unsur hara, tetapi tanaman kurang vigor. Sulianti (1999), penambahan pupuk
kandang ayam pada media tanah yang dicampur dengan pasir dengan perbandingan
1:1:2 dapat meningkatkan pertumbuhan daun dewa.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon pertumbuhan dan
peningkatan kandungan flavonoid daun dewa asal kultur in vitro pada kondisi lapang
melalui periode pencahayaan yang berbeda dan aplikasi pupuk kandang ayam + SO4.
Respon pertumbuhan dan peningkatan kandungan flavonoid akan dipelajari melalui
parameter pertumbuhan, fisiologis tanaman dan serapan hara yang dapat menstimulasi
produksi senyawa flavonoid (antosianin dan kuersetin).
100

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat


Percobaan lapangan dilaksanakan di Instalasi Biofarmaka Pusat Studi
Biofarmaka IPB di Cikabayan. Waktu pelaksanaan percobaan dimulai bulan Juli
sampai Oktober 2006. Produksi bahan tanam dilakukan di laboratorium Bioteknologi
Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura sejak bulan Maret sampai Mei
2006, sedangkan aklimatisasi dilakukan pada bulan Juni 2006. Analisis kesuburan
tanah, pupuk kandang ayam dan jaringan tanaman (N, P, K dan SO4) dilakukan di
Laboratorium Ilmu Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas
Pertanian IPB, analisis struktur kloroplas di Laboratorium Institut Eijkman Jakarta,
analisis kadar flavonoid di laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB, dan analisis
klorofil a, b dan kandungan antosianin di laboratorium RGCI Departemen Agronomi
dan Hortikultura IPB. Waktu pelaksanaan analisis di laboratorium dilaksanakan pada
bulan November sampai Desember 2006.

Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan lapangan terdiri dari : pupuk
kandang ayam, pupuk amonium sulfat (ZA) yang mengandung 24 % S, kapur CaCO3,
bahan tanam daun dewa asal kultur in vitro, pupuk Urea, SP-36, KCl, insektisida
(Pentacarb dan Florbec), polybag warna hitam ukuran 35 cm x 35 cm dan label
perlakuan. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis klorofil, antosianin,
total flavonoid, kuersetin, analisis tanah, analisis pupuk kandang ayam, analisis
jaringan tanaman dan analisis struktur kloroplas disajikan pada Lampiran 17, 22, 23,
24-27. Peralatan yang digunakan terdiri dari : peralatan tanam, lux meter, leaf area
meter, FJK Chlorophyll Tester CT-102, Spektrofotometer UV-VIS, Ultramikrotom,
Transmission Electron Microscope (TEM pembesaran 10.000x), Flame Fotometer,
Cuvvet, timbangan analitik, meteran, timbangan biasa dan sprayer.

Metodologi Penelitian
Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design)
dengan 3 kali ulangan. Petak utama adalah periode pencahayaan (N), sedangkan anak
petak adalah pemupukan (P). Kombinasi perlakuan secara lengkap disajikan pada
101

Tabel 39. Secara keseluruhan terdapat 27 kombinasi perlakuan dan diulang 3 kali,
serta setiap perlakuan terdapat 10 satuan percobaan sehingga terdapat 810 satuan
percobaan.
Tabel 39. Kombinasi perlakuan periode pencahayaan dan pemupukan
Pemupukan
Tanpa Pka Pka 50g + SO4 Pka 100g + SO4
Periode Pencahayaan
+ SO4 0.4g/tanaman 0.8g/tanaman
(P0) (P1) (P2)
Cahaya 100% 4 bulan (N0) N0P0 N0P1 N0P2
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% (N1) N1P0 N1P1 N1P2
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% (N2) N2P0 N2P1 N2P2
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% (N3) N3P0 N3P1 N3P2
Naungan 25% 4 bulan (N4) N4P0 N4P1 N4P2
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% (N5) N5P0 N5P1 N5P2
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% (N6) N6P0 N6P1 N6P2
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% (N7) N7P0 N7P1 N7P2
Naungan 50% 4 bulan (N8) N8P0 N8P1 N8P2
Keterangan : Pka = pupuk kandang ayam.

Cahaya 100% 4 bulan (N0)

Naungan 25% 1 bulan 3 bulan cahaya 100% (N1)

Naungan 25% 2 bulan 2 bulan cahaya 100% (N2)

Naungan 25% 3 bulan 1 bulan cahaya 100% (N3)

Naungan 25% 4 bulan (N4)

Naungan 50% 1 bulan 3 bulan cahaya 100% (N5)

Naungan 50% 2 bulan 2 bulan cahaya 100% (N6)

Naungan 50% 3 bulan 1 bulan cahaya 100% (N7)

Naungan 50% 4 bulan (N8)

Tanpa Pka + SO4 (P0) Pka 50g + SO4 0.4g/tanaman (P1) Pka 100g + SO4 0.8g/tanaman (P2)

Gambar 30. Perlakuan periode pencahayaan dan pemupukan.

Model linier rancangan percobaan yang digunakan adalah :


Yijk = μ + Ki + Nj+ εij + Vk + (NV)ij + δijk
Yijk = nilai pengamatan karena adanya pengaruh kelompok ke-i, periode
pencahayaan ke-j, dan pemupukan ke-k.
μ = nilai rata-rata umum.
Ki = nilai pengamatan akibat pengaruh kelompok ke-i.
Nj = nilai pengamatan karena pengaruh periode pencahayaan ke-j.
εij = galat akibat pengaruh kelompok ke-i dan periode pencahayaan ke-j.
Vk = nilai pengamatan akibat pengaruh pemupukan ke-k.
102

(NV)ij = nilai interaksi faktor periode pencahayaan ke-i dan pemupukan ke-j.
δijk = galat akibat pengaruh kelompok ke-i, naungan ke-j, dan pemupukan
ke-k.
Data pengamatan diuji menggunakan sidik ragam, jika berpengaruh nyata
dilanjutkan dengan uji Duncan`s Multiple Range Test (DMRT) dan Uji Kontras
Ortogonal pada taraf kesalahan 5 % (Gomez dan Gomez 1995, Mattjik dan
Sumertajaya 2002).
Pelaksanaan percobaan tahap-IV dimulai dari penyiapan bahan tanam,
penanaman di lapang sampai pada analisis di laboratorium. Langkah-langkah
kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
Persiapan bahan tanam
Bahan tanam yang digunakan berasal dari sumber bahan tanam terbaik yang
diperoleh pada percobaan Tahap-III.
Penataan tempat percobaan
Lokasi percobaan dibersihkan kemudian media tanam yang berisi tanah
sebanyak 5 kg/polibag disiapkan sesuai dengan tata letak hasil pengacakan
berdasarkan rancangan percobaan yang digunakan.
Penyiapan media tanam
Media tanam yang digunakan adalah media perlakuan yang merupakan
campuran antara tanah, pupuk kandang ayam, pupuk Urea, SP-36 dan KCl serta
pupuk ZA/Ammonium Sulfate (NH4)2SO4 24 % S sebagai sumber SO4. Sebelum
penanaman, dilakukan analisis sifat fisik dan kimia terhadap pupuk kandang ayam
dan tanah yang dilakukan di laboratorium. Selanjutnya media tanam disiapkan
dengan memasukkan campuran media tersebut ke dalam polybag warna hitam dengan
bobot media 5 kg/polybag. Ke dalam media juga ditambahkan kapur CaCO3 sebanyak
20.27 g/polybag.
Penanaman
Penanaman dilakukan di polybag yang telah berisi media tanah dan pupuk
kandang serta pupuk sesuai perlakuan. Setiap polybag ditanam 1 tanaman dan setiap
perlakuan terdapat 10 polybag tanaman (10 unit percobaan). Penanaman dilakukan
secara berurutan dari ulangan 1 sampai dengan ulangan 3.
103

Pemeliharaan tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma dan
pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi hari
sesuai kapasitas lapang pot perlakuan. Penyiangan dilakukan setiap saat sehingga pot
perlakuan bebas dari gulma. Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan
memperhatikan gejala serangan. Penyiangan dilakukan secara manual sedangkan
pencegahan hama dan penyakit dilakukan secara kimia. Pencegahan hama ulat
jengkal dan kumbang disemprot dengan insektisida Dikhlorvos atau Fentrotion
dengan dosis 1 ml atau 1 gram per liter air.
Komponen pengamatan pada percobaan tahap-IV ini adalah sebagai berikut :
Komponen pertumbuhan tanaman :
1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai dengan ujung pucuk,
diamati pada akhir percobaan.
2. Jumlah daun (helai), diamati pada daun yang telah terbentuk sempurna, diamati
pada akhir percobaan.
3. Panjang daun terpanjang (cm) dan lebar daun terlebar (cm), diamati pada akhir
percobaan.
4. Luas daun diamati setiap bulan (cm2), menggunakan Leaf Area Meter.
5. Indeks luas daun (ILD) diamati setiap bulan. Persamaan untuk menentukan nilai
ILD adalah : ILD = LD/A, dimana LD (luas daun total) dan A adalah luas
permukaan tanah yang ditumbuhi tanaman (Sitompul dan Guritno 1995).
6. Indeks kehijauan daun diamati setiap 2 minggu menggunakan alat FJK
Chlorophyll Tester CT-102.
7. Jumlah anakan dan jumlah cabang diamati pada akhir percobaan.
8. Bobot brangkasan tanaman (g) diamati pada akhir percobaan,
9. Bobot basah umbi (g), dan bobot basah tajuk (g) diamati pada akhir percobaan
Analisis kesuburan tanah :
Analisis kesuburan tanah dilakukan sebelum percobaan, meliputi kandungan
bahan organik, N, P, K, Mg dan S tersedia, pH dan KTK tanah, dilaksanakan di
Laboratorium Ilmu Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas
Pertanian IPB.
104

Analisis kandungan hara pupuk kandang ayam :


Analisis kandungan unsur hara pada pupuk kandang ayam, meliputi total N, P,
K, dan S serta pH pupuk kandang, dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB.
Analisis Jaringan tanaman :
Analisis jaringan tanaman meliputi : Kandungan N, P, K, dan S total dalam
biomassa tanaman, dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB.
Komponen fisiologi tanaman :
Komponen fisiologis tanaman yang akan diukur dan diamati terdiri dari :
1. Analisis pertumbuhan tanaman menurut Masarovicova (1997). Komponen
yang diamati terdiri dari : laju tumbuh relatif (relative growth rate), rasio
luas daun (leave area ratio) dan laju asimilasi bersih (net assimilation rate).

a. RGR = ln W2 - lnW1 (g/g/hari) , dimana :


t2 - t1
RGR = Laju Tumbuh Relatif,
W2 = berat kering tanaman pada pengamatan ke-2
W1 = berat kering tanaman pada pengamatan ke-1
t1, t2 = waktu pengamatan ke-1 dan ke-2

b. LAR = L/W (cm2/g) , dimana :


LAR = rasio luas daun
L = luas daun
W = berat kering tanaman

c. NAR = W2 - W1 x ln L2 – ln L1 (g/cm2/hari) , dimana :


L2 - L1 t2 - t1
W2 = berat kering tanaman pada pengamatan ke-2
W1 = berat kering tanaman pada pengamatan ke-1
L2 , L1 = Luas daun pada pengamatan ke 1 dan ke-2
t1, t2 = waktu pengamatan ke-1 dan ke-2

2. Analisis kadar klorofil a, b dan total klorofil dilakukan di laboratorium RGCI


Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB dengan
105

menggunakan metode Arnon (1949), dilakukan pada akhir percobaan. Sampel


daun yang dianalisis adalah daun yang telah terbentuk sempurna pada posisi
daun ke 3-5 dari pucuk dan belum mengalami penuaan. Cara kerja
dilampirkan pada lampiran 17.
3. Pengamatan struktur kloroplas menggunakan Transmission Electron
Microskop (TEM) pembesaran 10.000x yang mengacu pada metode Bozzola
dan Russell (1998), dilaksanakan di Laboratorium Molekuler Institut Eijkman
Jakarta. Sampel daun yang digunakan berjumlah 10 potongan daun berukuran
1 x 1 mm untuk setiap tanaman. Jumlah tanaman sampel untuk setiap
perlakuan periode pencahayaan adalah 2 tanaman sehingga sampel yang
digunakan untuk setiap perlakuan adalah 20 potongan daun. Daun yang
digunakan sebagai sampel adalah daun yang telah terbentuk sempurna pada
posisi daun ke 3-5 dari arah pucuk dan belum mengalami penuaan (senesense).
Metode kerja terdapat pada lampiran 25.
Komponen bioaktif tanaman :
Komponen bioaktif yang akan dianalisis adalah golongan flavonoid dengan
bagian-bagian yang akan di tentukan sebagai berikut :
1. Analisis kandungan antosianin menggunakan metode Lees dan Francis (1982).
Sampel daun yang digunakan adalah daun yang terkena langsung cahaya matahari
pada posisi dauk ke 3-5 dari arah pucuk. Jumlah sampel yang digunakan adalah 2
tanaman setiap perlakuan dan setiap tanaman diambil 3 daun, kemudian
dikompositkan menjadi 1 sampel setiap perlakuan. Dalam 3 ulangan digunakan 6
tanaman dan dikompositkan menjadi 3 sampel. Metode kerja terdapat pada
lampiran 22.
2. Analisis kandungan kuersetin daun menggunakan metode Badan POM (2004).
Sampel yang digunakan adalah seluruh daun yang telah terbentuk sempurna dan
setiap perlakuan digunakan 2 tanaman sampel. Sampel yang dianalisis sebanyak 2
ulangan. Metode kerja terdapat pada lampiran 24.
3. Ekstraksi dan pengukuran kadar total flavonoid menggunakan metode Badan
POM (2004). Sampel yang digunakan adalah seluruh daun yang telah terbentuk
sempurna dan setiap perlakuan digunakan 2 tanaman sampel. Sampel yang
dianalisis sebanyak 2 ulangan. Metode kerja terdapat pada lampiran 23.
106

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Tanaman
Bahan tanam asal kultur in vitro (Gambar 31) memiliki kemampuan
pertumbuhan dan kandungan antosianin yang tinggi (0.0445%) dibanding setek pucuk
(0.0274%) pada percobaan berbagai periode pencahayaan (percobaan tahap III).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka pada percobaan ini menggunakan bahan
tanam yang berasal dari kultur in vitro (plantlet).

Gambar 31. Bahan tanam in vitro yang digunakan pada percobaan

(a) (b) (c)


Gambar 32. Tanaman daun dewa umur 16 MST perlakuan 100% cahaya (N0) dengan dosis pupuk P0,
P1 dan P2 (a), naungan 25% 4 bulan (N4) dengan dosis pupuk P0, P1 dan P2 (b), naungan
50% 4 bulan (N8) dengan dosis pupuk P0, P1 dan P2 (c). P0 = tanpa pemupukan, P1 =
pupuk kandang ayam 50g +sulfur 0.4g/tanaman, P2 = pupuk kandang ayam 100g + sulfur
0.8g/tanaman.

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh nyata periode pencahayaan


dan pemupukan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun,
jumlah anakan dan jumlah cabang daun dewa asal kultur in vitro umur 16 MST
(Lampiran 14). Interaksi antara periode pencahayaan dengan pemupukan tidak
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Semakin tinggi persentase
107

naungan dan dosis pemupukan menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik
(Gambar 32 dan 33).

110 10 9 .4

100
90 8 4 .8

80 74 P0 P1 P2

70
60
50
40
2 7 .3
30 2 3 .5
18 .8 19 .32 1.1 17 .517 .9
2 0 .8
20 16 .3
11.6
8 .4 9 .9 9 .2
10 5 .7
2 2 2 .1 3 .1
0
IKD TT JD PD LD JA JC
Peubah Pertumbuhan Tanaman
Gambar 33. Perbedaan pertumbuhan tanaman pada berbagai dosis pemupukan. P0 = tanpa pemupukan,
P1 = pupuk kandang ayam 50g + S 0.4g/tanaman, P2 = pupuk kandang ayam 100g + S
0.8g/tanaman, TT = tinggi tanaman (cm), JD = jumlah daun, IKD = indeks kehijauan
daun, PD = panjang daun (cm), LD = lebar daun (cm), JA = jumlah anakan, JC = jumlah
cabang.

Naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% meningkatkan tinggi
tanaman (26.4 cm) dan panjang daun terpanjang (21.7cm) maksimum umur 16 MST,
sedangkan perlakuan cahaya 100% selama 4 bulan menghasilkan jumlah daun (116.9)
dan jumlah anakan (21.4) terbanyak umur 16 MST. Untuk lebar daun terlebar (10.5
cm) maksimum diperoleh pada naungan 50% selama 1 bulan dan 3 bulan cahaya
100% dan jumlah cabang (7.8) terbanyak pada naungan 25% selama 4 bulan (Tabel
40). Di samping itu pada tabel yang sama juga dapat dilihat bahwa pengaruh
pemupukan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dosis pupuk kandang ayam
100g + SO4 0.8g/tanaman sebagai dosis pemupukan maksimum menghasilkan tinggi
tanaman (27.3 cm), jumlah daun (109.4), panjang daun terpanjang (21.1 cm), lebar
daun terlebar (11.6 cm), jumlah anakan (20.8), dan jumlah cabang (9.2) tertinggi pada
umur 16 MST.
Hasil uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa tanaman yang tumbuh dalam
naungan 25% dan 50% menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik
dibanding cahaya 100%. Meskipun jumlah daun dan jumlah anakan lebih banyak
pada perlakuan cahaya 100%, tetapi ukuran daun dan anakan semakin kecil dibanding
pada naungan.
108

Peningkatan pertumbuhan tanaman pada persentase naungan yang lebih tinggi


disebabkan karena serapan hara N, P, K dan SO4 juga mengalami peningkatan.
Peningkatan kandungan hara jaringan tanaman juga mengalami peningkatan dengan
dosis pemupukan yang semakin meningkat (lihat Tabel 53). Pada tanaman daun
jinten (Urnemi et al. 2002) juga dilaporkan bahwa taraf naungan 50 dan 75%
meningkatkan respon tanaman daun jinten terhadap pemupukan. Di samping itu
naungan juga akan mengurangi sirkulasi udara ke daun yang menyebabkan
peningkatan kelembaban pada siang hari. Kelembaban dalam naungan lebih tinggi
dari luar naungan dan berpengaruh pada pertumbuhan tanaman (Seemen 1979).
Penambahan pupuk dalam media tanam akan meningkatkan pertumbuhan
tanaman. Unsur hara yang tersedia dalam media tanam bersumber dari pupuk kandang
ayam dan pupuk ZA. Hasil analisis kandungan hara pupuk kandang ayam (Lampiran
7) ditemukan sejumlah unsur hara makro yang terdiri dari N, P, K, Mg dan S,
sedangkan dari pupuk ZA diperoleh sumber N dan S. Sejumlah unsur hara yang
diberikan merupakan unsur hara makro esensial yang sangat dibutuhkan oleh tanaman
dalam proses metabolisme (Jones 1998, Marschner 1995). Sulianti (1999) melaporkan
bahwa komposisi media tanam antara tanah, pasir dan pupuk kandang ayam dengan
perbandingan 1 : 1 : 2 menghasilkan pertumbuhan daun dewa yang lebih baik
dibanding tanpa pemupukan.

Indeks Luas Daun (ILD)


Periode pencahayaan dan pemupukan serta interaksinya berpengaruh sangat
nyata terhadap indeks luas daun (ILD) pada umur tanaman 4-16 MST, sedangkan
pada saat tanam (0 MST), pengaruh perlakuan tidak nyata terhadap ILD (Lampiran
14). Indeks luas daun mengalami peningkatan sampai tanaman berumur 16 MST.
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 41 dan 42, ILD maksimum pada
umur 4 MST terdapat pada naungan 50% selama 1 bulan dan 3 bulan cahaya 100%
dan pada umur 8, 12 an 16 MST, ILD maksimum diperoleh pada naungan 50%
selama 3 bulan, 1 bulan cahaya 100%. Indeks luas daun pada berbagai periode
pencahayaan dan pemupukan berbeda nyata. Pada naungan 50% selama 3 bulan, 1
bulan cahaya 100% dan dosis pupuk kandang 100g + SO4 0.8g/tanaman menghasilkan
ILD maksimum (5.52) pada umur 16 MST, sedangkan ILD minimum (1.29)
dihasilkan pada cahaya 100% selama 4 bulan tanpa pemupukan (Tabel 41).
109

Tabel 41. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap indeks
luas daun (ILD) pada umur tanaman 0, 4, 8 dan 12 minggu setelah tanam
(MST).

Perlakuan 0 MST 4 MST 8 MST 12 MST


Cahaya 100% 4 bulan 0.16 0.52 c 1.01 d 1.62 d
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.15 0.89 ab 1.53 abc 2.11 bc
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.16 0.85 ab 1.37 c 1.83 cd
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.15 0.76 b 1.36 c 2.04 c
Naungan 25 % 4 bulan 0.15 0.79 ab 1.35 c 1.95 cd
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.15 0.99 a 1.72 ab 2.49 ab
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.15 0.80 ab 1.48 bc 2.12 bc
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.15 0.97 ab 1.85 a 2.52 a
Naungan 50 % 4 bulan 0.14 0.81 ab 1.61 abc 2.15 abc
Tanpa pemupukan 0.15 0.42 c 0.82 c 1.18 c
Pka 50 g + SO4 0.4 g 0.15 0.73 b 1.31 b 1.97 b
Pka 100 g + SO4 0.8 g 0.15 1.30 a 2.30 a 3.12 a
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.16/0.15tn 0.52/0.86** 1.01/1.53** 1.62/2.15**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.15/0.15tn 0.82/0.89tn 1.40/1.67** 1.98/2.32**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 5 % (DMRT). Pka = pupuk kandang ayam, tn = tidak
berbeda nyata, ** = sangat nyata.

Rata-rata ILD pada tanaman yang tumbuh dalam naungan lebih tinggi
dibanding tanaman yang tumbuh pada cahaya 100%. Rata-rata ILD pada naungan
50% juga lebih tinggi dari ILD pada naungan 25%.
Tabel 42. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap ILD
umur 16 MST
Pemupukan
Periode Pencahayaan Rata-rata
Tanpa Pka 50g + Pka 100g +
Pka+ SO4 SO4 0.4g SO4 0.8g
Cahaya 100% 4 bulan 1.29 g 2.04 fg 2.42 ef 1.91
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 2.31 ef 2.52 ef 3.12 def 2.65
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.55 fg 2.48 ef 3.33 de 2.45
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 2.21 fg 2.62 def 3.71 cd 2.85
Naungan 25% 4 bulan 1.30 g 2.69 def 3.74 cd 2.57
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.93 fg 3.43 de 4.20 bc 3.19
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.45 gh 3.29 de 4.39 bc 3.04
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.58 fg 2.18 fg 5.52 a 3.09
Naungan 50% 4 bulan 1.71 fg 2.35 ef 4.82 b 2.96
Rata-rata 1.70 2.62 3.92
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 1.91/2.85**
Naungan 25% VS Naungan 50% 2.63/3.07**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama
tidak berbeda nyata uji DMRT 5%. ** = sangat nyata, Pka = pupuk
kandang ayam
110

Peningkatan ILD pada naungan yang lebih tinggi dan dosis pemupukan
maksimum disebabkan karena terjadi peningkatan luas daun total akibat
bertambahnya jumlah daun. Peningkatan ILD tidak dapat menjadi acuan untuk
mengetahui laju pertumbuhan tanaman karena dimungkinkan dengan tingginya nilai
ILD mengindikasikan terjadi penutupan diantara daun dan efisiensi fotosintesis akan
menurun. Dengan bertambahnya umur tanaman, maka laju fotosintesis akan menurun
dengan penurunan penerimaan kuanta radiasi yang sifatnya konstan akibat
peningkatan ILD (Sitompul dan Guritno 1995).

Bobot Brangkasan, Bobot Basah Umbi dan Bobot Basah Tajuk


Bobot brangkasan dan bobot basah umbi secara nyata dipengaruhi oleh
periode pencahayaan dan pemupukan, tetapi tidak terjadi interaksi antara kedua
perlakuan tersebut. Untuk bobot basah tajuk secara nyata hanya dipengaruhi oleh
pemupukan, sedangkan periode pencahayaan dan interaksinya tidak berpengaruh
nyata (Lampiran 14).
Tabel 43. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap bobot
brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk pada saat panen
(16 MST).

Bobot Bobot Basah Bobot Basah


Perlakuan
Brangkasan Umbi Tajuk
(g) (g) (g)
Cahaya 100% 4 bulan 141.44 c 41.72 c 99.72
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 225.72 a 87.78 a 137.94
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 210.78 ab 89.11 a 121.67
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 163.06 bc 69.44 ab 93.61
Naungan 25 % 4 bulan 177.67 abc 75.50 ab 102.17
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 194.67 abc 83.56 ab 111.11
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 163.06 bc 59.33 bc 103.72
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 161.17 bc 60.89 bc 100.28
Naungan 50 % 4 bulan 162.00 bc 80.50 ab 81.50
Tanpa pemupukan 100.13 c 45.20 c 54.93 c
Pka 50 g + SO4 0.4 g 175.11 b 72.19 b 102.93 b
Pka 100 g + SO4 0.8 g 257.94 a 98.56 a 159.39 a
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 141.44/182.27* 41.72/75.76** 99.72/106.5tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 194.31/170.23* 80.46/71.07tn 113.84/99.15tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT). Pka = pupuk kandang ayam,
tn = tidak berbeda nyata, * = nyata, ** = sangat nyata.

Bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk mengalami
peningkatan dan berbeda nyata pada persentase naungan dan dosis pemupukan yang
semakin tinggi (Tabel 43). Bobot brangkasan (225.72g) dan bobot basah tajuk
111

(137.94g) tertinggi dihasilkan pada naungan 25% selama 1 bulan, 3 bulan cahaya
100%, sedangkan bobot basah umbi tertinggi (89.11g) dihasilkan pada naungan 25%
selama 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% tetapi tidak berbeda nyata dengan naungan 25%
1 bulan, 3 bulan cahaya 100%. Untuk perlakuan pemupukan, bobot brangkasan
(257.94g), bobot basah umbi (98.56g) dan bobot basah tajuk (159.39g) tertinggi
dihasilkan pada dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman yang
merupakan dosis maksimum yang digunakan. Pada media tanam yang tidak diberikan
pupuk kandang ayam dan SO4 menghasilkan bobot panen terendah.
Berdasarkan hasil uji kontras ortogonal, diketahui bahwa bobot brangkasan
dan bobot basah umbi pada tanaman yang tumbuh dalam naungan lebih tinggi dan
berbeda nyata dengan tanaman yang tumbuh pada cahaya 100%. Untuk bobot basah
tajuk tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tanaman naungan dan cahaya 100%.
Antara naungan 25% dan 50%, bobot brangkasan berbeda nyata, tetapi bobot basah
umbi dan bobot basah tajuk tidak berbeda nyata.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama periode tumbuh
tanaman dalam naungan 50% menyebabkan bobot tajuk yang semakin menurun.
Penurunan ini disebabkan oleh penurunan jumlah daun, jumlah cabang dan jumlah
anakan, meskipun tanaman semakin tinggi dan ukuran daun lebih luas. Tanaman
dalam naungan 50% selama 4 bulan memiliki daun yang lebar dan tipis tetapi
jumlahnya lebih sedikit dibanding pada persentase naungan yang lebih rendah dan
cahaya 100%.

Laju Tumbuh Relatif (RGR), Nisbah Luas Daun (LAR)


dan Laju Asimilasi Bersih (NAR)
Periode pencahayaan dan pemupukan serta interaksinya berpengaruh nyata
terhadap RGR, LAR dan NAR (Lampiran 14). Berdasarkan data yang disajikan pada
Tabel 44, 46 dan 49 menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan yang pesat pada umur
0-8 MST yang ditunjukkan oleh RGR, LAR dan NAR yang tinggi, sedangkan pada
umur 8-16 MST mulai terjadi proses pertumbuhan yang lambat dengan penurunan
RGR dan NAR. Semakin bertambah umur tanaman, jumlah dan luas daun semakin
meningkat tetapi efisiensi daun dalam berfotosintesis menurun. Penurunan ini
disebabkan oleh umur daun dan kondisi saling menaungi diantara daun yang
menyebabkan penurunan produksi bahan kering.
112

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap RGR, dapat dilihat pada


Tabel 44 dan 45. RGR tertinggi umur 0-4 MST (0.074 g/g/hari) diperoleh pada
naungan 50% selama 2, 3 dan 4 bulan, umur 4-8 MST (0.075 g/g/hari) pada naungan
25% selama 1 bulan dan 3 bulan cahaya 100%, dan umur 8-12 MST (0.020 g/g/hari)
dihasilkan pada naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100%. Menjelang
panen (umur 12-16 MST), RGR tertinggi (0.023 g/g/hari) dihasilkan pada naungan
25% selama 4 bulan tanpa pemupukan.
Tabel 44. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap RGR
(g/g/hari) pada umur tanaman 0-4, 4-8 dan 8-12 MST.

Perlakuan 0-4 MST 4-8 MST 8-12 MST

Cahaya 100% 4 bulan 0.057 d 0.063 bc 0.010 b


Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.061 c 0.075 a 0.011 b
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.061 cd 0.071 ab 0.014 ab
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.068 b 0.064 bc 0.007 b
Naungan 25 % 4 bulan 0.067 b 0.054 cd 0.012 ab
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.071 ab 0.059 cd 0.014 ab
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.074 a 0.048 de 0.012 b
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.074 a 0.043 e 0.020 a
Naungan 50 % 4 bulan 0.074 a 0.055 cd 0.015 ab
Tanpa pemupukan 0.063 b 0.048 b 0.016 a
Pka 50 g + SO4 0.4 g 0.065 b 0.064 a 0.012 b
Pka 100 g + SO4 0.8 g 0.075 a 0.066 a 0.010 b
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.057/0.069** 0.063/0.059tn 0.01/0.013tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.064/0.073** 0.066/0.051** 0.011/0.015*
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 5 % (DMRT). Pka = pupuk kandang ayam, tn = tidak berbeda
nyata, * = nyata, ** = sangat nyata.

Tabel 45. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap RGR
(g/g/hari) umur 12-16 MST
Pemupukan
Periode Pencahayaan Tanpa Pka 50g + Pka 100g + Rata-rata
Pemupukan SO4 0.4g SO4 0.8g
Cahaya 100% 4 bulan 0.016 ab 0.007 ef 0.007 ef 0.010
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.013 cd 0.011 de 0.006 ef 0.010
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.012 de 0.008 ef 0.003 g 0.008
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.011 de 0.007 ef 0.004 fg 0.007
Naungan 25% 4 bulan 0.023 a 0.008 ef 0.006 ef 0.012
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.003 efg 0.010 de 0.004 fg 0.006
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.012 de 0.008 ef 0.008 ef 0.009
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.007 ef 0.005 f 0.011 de 0.008
Naungan 50% 4 bulan 0.014 c 0.005 f 0.005 f 0.008
Rata-rata 0.012 0.008 0.006
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.01/0.009tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.009/0.008tn
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda
nyata uji DMRT 5%. tn = tidak nyata. Pka = pupuk kandang ayam
113

Berdasarkan hasil uji kontras ortogonal, diketahui bahwa RGR menjelang


panen tidak berbeda nyata antara tanaman yang tumbuh pada kondisi naungan dan
cahaya 100%. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin bertambah umur tanaman, maka
proses pembentukan bahan kering cenderung konstan dan tidak dipengaruhi oleh
perbedaan intensitas cahaya. RGR (relative growth rate) adalah peningkatan bobot
kering tanaman per satuan waktu yang menunjukkan adanya peningkatan aktifitas
fotosintesis (Masarovicova 1997), tetapi peningkatan pertumbuhan tidak berlangsung
secara linier. Pada awal pertumbuhan, biomasa tanaman akan mengalami peningkatan
perlahan, kemudian cepat dan akhirnya perlahan sampai konstan dengan pertambahan
umur tanaman (Sitompul dan Guritno 1995).
Tabel 46. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap LAR
(cm2/g) pada umur tanaman 0, 4, 8 dan 16 MST.

Perlakuan 0 MST 4 MST 8 MST 16 MST


Cahaya 100% 4 bulan 171.40 109.69 c 35.95 b 39.77 cd
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 180.00 179.16 a 38.05 b 37.38 d
Naungan 25 % 2 bulan,2 bulan cahaya 100% 176.46 160.48 ab 38.12 b 36.03 d
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 172.18 124.94 bc 37.79 b 51.57 abc
Naungan 25 % 4 bulan 159.74 120.66 c 44.53 b 44.66 bcd
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 164.79 144.34 abc 49.83 b 52.84 ab
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 169.73 107.10 c 52.03 b 60.34 a
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 167.26 128.72 bc 68.00 a 55.56 ab
Naungan 50 % 4 bulan 159.24 108.79 c 45.85 b 45.24 bcd
Tanpa pemupukan 173.22 83.06 c 43.36 b 38.76 c
Pka 50 g + SO4 0.4 g 168.13 131.30 b 40.07 b 46.53 b
Pka 100 g + SO4 0.8 g 165.59 180.27 a 53.29 a 55.84 a
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS naungan 171.4/168.68tn 109.69/134.27 * 35.9/46.78 * 39.77/48.0tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 172.1/165.26tn 146.31/122.24** 39.62/53.93** 42.41/53.5**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5 % (DMRT). Pka = pupuk kandang ayam, tn = tidak berbeda nyata, * =
nyata, ** = sangat nyata.

Untuk nilai LAR seperti yang disajikan pada Tabel 46, diketahui bahwa LAR
maksimum pada umur 16 MST (60.34 cm2/g) dihasilkan pada naungan 50% selama 2
bulan dan 2 bulan cahaya 100% tetapi tidak berbeda nyata dengan naungan 50%
selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100%. Pada Tabel 47 juga dihasilkan LAR
maksimum umur 12 MST pada interaksi antara naungan 50% selama 3 bulan dan 1
bulan cahaya 100% dengan dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman.
Peningkatan nilai LAR dengan persentase naungan yang semakin tinggi menunjukkan
bahwa tanggap daun dewa terhadap kekurangan cahaya adalah meningkatkan alokasi
sumberdaya pada peningkatan luas daun. Data penelitian menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan panjang dan lebar daun dengan persentase naungan yang semakin tinggi
114

yang menyebabkan peningkatan luas daun. Nisbah luas daun (LAR) adalah indeks
yang mencakup proses pembagian dan translokasi asimilat ketempat sintesa bahan
daun dan efisiensi penggunaan substrat dalam pembentukan luasan daun (Sitompul
dan Guritno 1995).
Tabel 47. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap LAR
(cm2/g) umur 12 MST
Pemupukan
Periode Pencahayaan Tanpa Pka 50g + Pka 100g + Rata-rata
Pemupukan SO4 0.4g SO4 0.8g
Cahaya 100% 4 bulan 44.29 cde 36.80 cde 52.37 bcd 44.49
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 38.40 cde 43.15 cde 35.22 de 38.92
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 29.43 de 31.77 de 36.08 de 32.43
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 51.07 bcde 52.64 bcd 36.64 de 46.79
Naungan 25% 4 bulan 37.29 cde 47.90 bcde 48.59 bcde 44.59
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 33.05 de 46.56 bcde 61.69 bc 47.10
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 38.69 cde 54.25 bcd 68.78 ab 53.91
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 29.59 de 50.34 bcde 86.29 a 55.41
Naungan 50% 4 bulan 39.45 cde 25.99 e 53.87 bcd 39.77
Rata-rata 37.92 43.27 53.28
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 44.49/44.87tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 40.68/49.05**
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda
nyata uji DMRT 5%. tn = tidak nyata, ** = sangat nyata. Pka = pupuk kandang ayam

Di samping RGR dan LAR, proses pertumbuhan tanaman dapat dianalisis


melalui laju asimilasi bersih (Net assimilation rate) atau NAR. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada pertumbuhan awal, NAR meningkat pada persentase
naungan 50% (Tabel 48), sedangkan menjelang panen tidak terdapat perbedaan nyata
antara NAR pada cahaya 100% dan naungan (Tabel 49).
Tabel 48. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap NAR
(g/cm2/hari) umur 0-4 MST
Pemupukan
Periode Pencahayaan Tanpa Pka 50g + Pka 100g + Rata-rata
Pemupukan SO4 0.4g SO4 0.8g
Cahaya 100% 4 bulan 0.00049 de 0.00043 ef 0.00041 ef 0.00044
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.00041 ef 0.00033 f 0.00034 f 0.00036
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.00052 de 0.00037 f 0.00031 g 0.0004
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.00048 e 0.00049 de 0.00051 de 0.00049
Naungan 25% 4 bulan 0.00064 bcd 0.00047 de 0.00049 de 0.00054
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.00057 cd 0.00042 ef 0.00050 de 0.0005
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.00070 abc 0.00051 de 0.00060 bcd 0.0006
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.00074 ab 0.00066 abc 0.00040 ef 0.0006
Naungan 50% 4 bulan 0.00080 a 0.00059 bcd 0.00054 cde 0.00064
Rata-rata 0.00059 0.00047 0.00045
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.00044/0.00052*
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.00045/0.00059**
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda
nyata uji DMRT 5%. * = nyata, ** = sangat nyata. Pka = pupuk kandang ayam.
115

Tabel 49. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap NAR
(g/cm2/hari) pada umur 4-8, 8-12 dan 12-16 MST.

Perlakuan 4-8 MST 8-12 MST 12-16 MST

Cahaya 100% 4 bulan 0.00115 ab 0.00025 bc 0.00025 abc


Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.00114 ab 0.00029 abc 0.00029 ab
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.00131 a 0.00042 ab 0.00027 abc
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.00109 ab 0.00017 c 0.00015 bc
Naungan 25 % 4 bulan 0.00086 bc 0.00028 abc 0.00033 a
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.00090 bc 0.00031 abc 0.00012 c
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.00075 bc 0.00024 bc 0.00019 abc
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.00062 c 0.00045 a 0.00016 abc
Naungan 50 % 4 bulan 0.00109 ab 0.00039 ab 0.00022 abc
Tanpa pemupukan 0.00096 0.00041 a 0.00035 a
Pka 50 g + SO4 0.4 g 0.00108 0.00032 a 0.00019 b
Pka 100 g + SO4 0.8 g 0.00093 0.00020 b 0.00012 b
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.00115/0.00097tn 0.00025/0.00032tn 0.00025/0.00022tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.0011/0.0008** 0.00029/0.00035tn 0.00026/0.00017*
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5 % (DMRT). Pka = pupuk kandang ayam, tn = tidak berbeda nyata, *
= nyata, ** = sangat nyata.

Hasil ini membuktikan bahwa peningkatan asimilat pada awal pertumbuhan


meningkat dengan pesat, tetapi semakin menurun dan konstan dengan bertambahnya
umur tanaman meskipun memperoleh intensitas cahaya yang berbeda. Penurunan nilai
NAR dengan semakin bertambahnya umur tanaman, persentase naungan yang
semakin tinggi dan dosis pemupukan maksimum berhubungan dengan efisiensi dari
setiap satuan luas daun yang efektif melakukan fotosintesis. Jumlah dan luas daun
total semakin meningkat pada persentase naungan 50% dan dosis pemupukan
maksimum, sehingga dimungkinkan terjadi saling menutupi diantara daun. Hal
tersebut menyebabkan penurunan produksi bahan kering tanaman. Gent (1995)
menyebutkan bahwa apabila tajuk tanaman dibagi ke dalam beberapa bagian, maka
cahaya yang jatuh pada permukaan tajuk bagian bawah semakin sedikit jika letak
daun dalam bidang vertikal mendekati permukaan tanah, akibatnya laju fotosintesis
daun-daun lapisan tajuk bawah akan semakin rendah (Gent 1995).

Indeks Kehijauan Daun dan Kandungan Klorofil Daun


Indeks kehijauan daun mengalami peningkatan sejak umur tanaman 2-16
MST. Sampai pada umur 16 MST, indeks kehijauan daun tertinggi (2.15) diperoleh
pada naungan 50% selama 4 bulan lebih tinggi dari cahaya 100% 4 bulan meskipun
tidak berbeda nyata (Tabel 50). Pada perlakuan pemupukan, indeks kehijauan daun
tertinggi (2.10) diperoleh pada pemberian dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4
116

0.8g/tanaman dan berbeda nyata dengan tanpa pemupukan sejak umur tanaman 2-16
MST .
Tabel 51. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap indeks
kehijauan daun umur 8 MST
Pemupukan
Periode Pencahayaan Tanpa Pka 50g + Pka 100g + Rata-rata
Pemupukan SO4 0.4g SO4 0.8g
Cahaya 100% 4 bulan 1.50 h 1.55 gh 1.72 def 1.59
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.56 gh 1.74 de 1.64 ef 1.65
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaay 100% 1.54 gh 1.77 cd 1.89 a 1.73
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.61 fg 1.71 def 1.76 cd 1.69
Naungan 25% 4 bulan 1.61 fg 1.72 def 1.78 cd 1.71
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.66 ef 1.67 ef 1.77 cd 1.70
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.69 def 1.73 de 1.82 bcd 1.75
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.73 def 1.79 cd 1.87 ab 1.80
Naungan 50% 4 bulan 1.63 ef 1.75 cde 1.85 abc 1.74
Rata-rata 1.62 c 1.71 b 1.79 a
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 1.59/1.72**
Naungan 25% VS Naungan 50% 1.70/1.75**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak
berbeda nyata uji DMRT 5%. ** = sangat nyata. Pka = pupuk kandang ayam.

Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap indeks


kehijauan daun terjadi pada umur 8 MST. Data yang disajikan pada Tabel 51
menunjukkan bahwa indeks kehijauan tertinggi (1.89) diperoleh pada naungan 25%
selama 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% dan dosis pupuk kandang 100g + SO4
0.8g/tanaman, tetapi tidak berbeda nyata dengan naungan 50% selama 3 dan 4 bulan.
Rata-rata indeks kehijauan daun tertinggi (1.80) untuk perlakuan periode pencahayaan
dihasilkan pada naungan 50% selama 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% dan tidak
berbeda nyata dengan naungan 50% selama 4 bulan.
Pada analisis kandungan klorofil daun, seperti yang ditunjukkan pada Tabel
52, tidak terdapat perbedaan yang nyata kandungan klorofil a, b dan total klorofil
pada berbagai periode pencahayaan dan pemupukan, kecuali rasio klorofil a/b.
Kandungan klorofil a tertinggi (0.36 mg/g) dihasilkan pada naungan 50% selama 2
bulan, 2 bulan cahaya 100% dan terendah (0.26 mg/g) pada naungan 25% selama 1
bulan, 3 bulan cahaya 100%. Kandungan klorofil b tertinggi (0.18 mg/g) dihasilkan
pada naungan 50% selama 4 bulan, sedangkan yang terendah (0.11 mg/g) pada
naungan 25% selama 1 bulan, 3 bulan cahaya 100%. Untuk rasio klorofil a/b pada
naungan 50% selama 4 bulan lebih rendah (1.66) dibanding pada cahaya 100%
selama 4 bulan (1.88), sedangkan total klorofil tertinggi (0.53 mg/g) diperoleh pada
117

naungan 50% selama 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% meskipun tidak berbeda nyata
dengan cahaya 100% selama 4 bulan.
Tabel 52. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap
kandungan klorofil a, klorofil b, rasio klorofil a/b dan total klorofil pada
umur tanaman 16 MST.

Perlakuan Klorofil a Klorofil b Rasio Total Klorofil


(mg/g) (mg/g) a/b (mg/g)
Cahaya 100% 4 bulan 0.30 0.16 1.88 b 0.45
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.26 0.11 2.41 ab 0.36
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.30 0.12 2.39 ab 0.42
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.29 0.16 1.81 b 0.45
Naungan 25 % 4 bulan 0.27 0.14 1.96 b 0.41
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.28 0.13 2.19 ab 0.41
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.36 0.17 2.09 ab 0.53
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.32 0.12 2.70 a 0.44
Naungan 50 % 4 bulan 0.29 0.18 1.66 b 0.47
Tanpa pemupukan 0.31 0.14 2.25 a 0.45
Pka 50 g + SO4 0.4 g 0.27 0.14 1.94 b 0.41
Pka 100 g + SO4 0.8 g 0.30 0.15 2.03 b 0.45
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.30/0.30tn 0.16/0.14tn 1.88/2.15tn 0.45/0.44tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.28/0.31tn 0.13/0.15tn 2.14/2.16tn 0.41/0.46tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 5 % (DMRT). Pka = pupuk kandang ayam, tn = tidak
berbeda nyata.

Indeks kehijauan daun dan total klorofil akan mengalami peningkatan pada
kondisi kekurangan cahaya. Pada intensitas cahaya rendah kloroplas akan mengumpul
pada dua bagian, yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya
dan terkonsentrasi pada permukaan daun sehingga warna daun lebih hijau (Salisbury
dan Ross 1992, Myers et al. 1997).

Struktur Kloroplas
Hasil pengamatan struktur kloroplas (TEM 10.000x) pada berbagai intensitas
cahaya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara struktur kloroplas pada
intensitas cahaya 100%, 75% (naungan 25%) dan 50% (naungan 50%) (Gambar 34).
Pada intensitas cahaya 100%, kloroplas bentuknya memanjang dengan butir pati
berukuran kecil, grana tersusun rapi dan tidak terjadi penumpukan grana. Semakin
berkurang intensitas cahaya menyebabkan perubahan bentuk kloroplas menjadi lebih
cembung atau terjadi pembengkakan (dilatasi). Pembengkakan tersebut disebabkan
oleh peningkatan volume stroma, ukuran butir pati dan tumpukan grana (stack
granum) yang lebih banyak.
118

Peningkatan ukuran kloroplas dan tumpukan grana akan meningkatkan


penangkapan dan penyerapan cahaya (Chitchley 1997), sedangkan peningkatan
ukuran

DS

BP
Kloroplas pada cahaya 100%
S
selama 4 bulan (A)
T OG

T
S Kloroplas pada naungan 25%
selama 4 bulan (B)
OG

BP

DS

BP
T Kloroplas pada naungan 50%
G
selama 4 bulan (C)

Gambar 34. Struktur kloroplas daun dewa (TEM 10.000x) pada cahaya 100% (A), naungan 25%
(B) dan 50% (C) pada umur daun 16 MST. BP=butir pati, G=garana, S=stroma,
T=tilakoid, OG=osmiophilic globule, DS=dinding sel.
119

OG Kloroplas pada naungan 25% selama


G
3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% (D)
T
BP

OG
Kloroplas pada naungan 50% selama
1 bulan dan 3 bulan cahaya 100% (E)
BP

OG

T
Kloroplas pada naungan 50% selama
S
3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% (F)
BP

DS

Gambar 35. Struktur kloroplas daun dewa (TEM 10.000x) pada naungan 25% 3 bulan dan 1
bulan cahaya 100% (D), naungan 50% 1 bulan dan 3 bulan cahaya 100% (E),
naungan 50% 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% (F) pada umur daun 16 MST.
BP=butir pati, G=garana, S=stroma, T=tilakoid, OG=osmiophilic globule,
DS=dinding sel.
120

butir pati menunjukkan rendahnya respirasi pada intensitas cahaya rendah. Pada
intensitas cahaya rendah kandungan gula-pati kedelai toleran Ceneng lebih rendah
dari Genotipe peka Godek (Lestari 2005), sedangkan kloroplas pada daun yang diberi
perlakuan gelap 5 hari masih terdapat butir pati. Rendahnya kandungan gula dan
masih adanya butir pati pada kondisi kekurangan cahaya menunjukkan laju respirasi
yang rendah (Tyas 2006).
Peningkatan volume stroma pada kloroplas daun dewa yang tumbuh pada
intensitas cahaya 75 dan 50% menunjukkan peningkatan aktivitas enzim-enzim
fotosintetik. Aktivitas enzim fotosintetik pada stroma kloroplas daun yang ternaungi
lebih tinggi dibanding daun yang berkembang pada cahaya penuh (Bjorkman dan
Demmig-Adams 1995, Salisbury dan Ross 1992). Intensitas cahaya rendah juga
meningkatkan ukuran kloroplas Liquidambar styraciflua L. menjadi lebih besar (Lee
et al. 1985), dan terjadi peningkatan tumpukan grana seperti pada Gusmania
monostachia (Maxwell et al. 1999). Khumaida (2002) juga melaporkan bahwa
genotipe kedelai toleran naungan Pangrango dan B613 mengalami peningkatan
volume grana dan butir pati lebih banyak pada kondisi naungan 50%.
Apabila tanaman daun dewa yang tumbuh pada intensitas cahaya rendah
(dalam naungan) diekspos kembali pada intensitas cahaya 100%, terjadi perubahan
bentuk, ukuran dan struktur kloroplas menyerupai kloroplas pada perlakuan cahaya
100% selama masa pertumbuhan tanaman (Gambar 35).
Hasil ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan adaptasi tanaman pada
intensitas cahaya 100% setelah sebelumnya tumbuh pada kondisi ternaungi, melalui
perubahan bentuk dan struktur kloroplas. Respon kloroplas terhadap perubahan
intensitas cahaya tergantung pada skala waktu perubahan tersebut. Respon jangka
pendek terjadi dalam beberapa detik sampai menit yang melibatkan penyusunan
kembali struktur dan fungsi komponen kloroplas. Aklimatisasi jangka panjang
terhadap cahaya melibatkan sintesis yang selektif dan degradasi komponen kloroplas
untuk menyusun komposisi dan organ fotosintesis (Mohr dan Schopper 1995).

Kandungan N, P, K dan SO4 pada Jaringan Tanaman

Hasil analisis jaringan tanaman daun dewa ditemukan kandungan N, P, K dan


(SO4) dengan kadar yang berbeda. Kadar tertinggi dalam jaringan tanaman adalah N
disusul K, SO4 dan P (Tabel 53). Perbedaan kadar hara dalam jaringan tanaman
berbeda pada berbagai periode pencahayaan dan dosis pemupukan. Kadar N tertinggi
121

(2.86%) diperoleh pada naungan 50% selama 4 bulan dan dosis pupuk kandang ayam
50g + sulfur 0.4g/tanaman. Kadar P dan SO4 tertinggi masing-masing 0.34 dan 0.64
% diperoleh pada naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% dan dosis
pupuk kandang ayam 100g + sulfur 0.8g/tanaman, sedangkan kadar K tertinggi
(1.84%) ditemukan pada naungan 50% selama 4 bulan tanpa pemupukan. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase naungan dan dosis
pemupukan, terjadi serapan hara yang semakin meningkat. Kadar N, P, K dan SO4
mengalami peningkatan sampai pada naungan 50% selama 4 bulan, sedangkan pada
dosis pemupukan yang semakin tinggi terdapat peningkatan kandungan hara dalam
jaringan tanaman.
Peningkatan serapan hara tersebut disebabkan karena meningkatnya
kebutuhan tanaman akan unsur hara esensial untuk proses metabolisme baik
metabolisme primer maupun metabolisme sekunder, karena morfologi tanaman yang
semakin besar. Berdasarkan data pertumbuhan tanaman, terjadi peningkatan
pertumbuhan tanaman pada persentase naungan 50%. Pada tanaman daun jinten
(Urnemi et al. 2002) dilaporkan bahwa taraf naungan 50 dan 75% meningkatkan
respon tanaman terhadap pemupukan. Pemberian pupuk fosfor 75 kg/ha tanpa pupuk
herbal menghasilkan kadar kumarat dan vanilat tertinggi.

Kandungan Total Flavonoid, Antosianin dan Kuersetin


Periode pencahayaan dan pemupukan meningkatkan kandungan total
flavonoid per gram bahan kering tanaman. Peningkatan kandungan total flavonoid
tertinggi (17.37%) pada periode pencahayaan diperoleh pada naungan 50% selama 3
bulan dan 1 bulan cahaya 100%, sedangkan dosis pemupukan yang menghasilkan
total flavonoid tertinggi pada periode pencahayaan tersebut adalah pemberian pupuk
kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman (Gambar 36).
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 54, periode pencahayaan yang
berbeda juga mempengaruhi kandungan antosianin daun umur 16 MST. Pada naungan
25% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% dihasilkan kandungan antosianin
tertinggi (0.157%) tetapi tidak berbeda nyata dengan kandungan antosianin pada
naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% (0.156%). Kandungan
antosianin terendah diperoleh pada naungan 25% selama 4 bulan dan cahaya 100%
selama 4 bulan. Semakin tinggi dosis pemupukan, kandungan antosianin yang
dihasilkan juga semakin meningkat. Pemberian pupuk kandang ayam 100g + SO4
122

0.8g/tanaman menghasilkan kandungan antosianin tertinggi (0.144%) dibanding


pupuk kandang ayam 50g + SO4 0.4g/tanaman (0.134%) dan tanpa pemupukan
(0.122%).
Tabel 54. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa
terhadap kadar antosianin umur 16 MST
Perlakuan Kadar Antosianin (%)
Cahaya 100% 4 bulan 0.113 cd
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.124 abcd
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.135 abcd
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.157 a
Naungan 25 % 4 bulan 0.107 d
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.150 abc
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.118 bcd
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.156 ab
Naungan 50 % 4 bulan 0.143 abcd
Tanpa pemupukan 0.122 b
Pka 50 g + SO4 0.4 g 0.134 ab
Pka 100 g + SO4 0.8 g 0.144 a
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.113/0.137tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.131/0.142tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5 % (DMRT). tn = tidak berbeda nyata, Pka =
pupuk kandang ayam.

Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan terhadap kadar kuersetin daun


dewa juga dapat dilihat pada Gambar 36. Pemberian naungan 50% selama 3 bulan dan
1 bulan cahaya 100% menghasilkan kadar kuersetin daun dewa tertinggi (2.46 mg/g)
dibanding perlakuan lainnya, sedangkan dosis pupuk kandang ayam 50g + SO4
0.4g/tanaman menghasilkan kadar antosianin tertinggi (0.42% atau 4.2 mg/g).
Peningkatan kandungan total flavonoid, antosianin dan kuersetin pada periode
pencahayaan tersebut, disebabkan oleh pengaruh stres cahaya atau kejutan pada saat
tanaman diekspos ke cahaya 100%. Senyawa-senyawa golongan flavonoid dapat
mengalami peningkatan karena pengaruh cahaya (Salisbury dan Ross 1992). Cahaya
dalam proses fotosintesis akan menghasilkan glukosa-6-fosfat sebagai prekursor
pembentukan asetil CoA yang selanjutnya menghasilkan senyawa-senyawa flavonoid
termasuk antosianin dan kuersetin (Vickery dan Vickery 1981). Di samping itu
peningkatan senyawa flavonoid daun tanaman yang diekspos pada cahaya langsung
(direct sun exposure) menunjukkan adanya peningkatan aktivitas enzim flavonone 3-
hydroxylase (F3H) yang mengkatalisis hidroksilasi flavonon menjadi dihidroflavonol
123

dan selanjutnya berpengaruh pada biosintesis flavonol, proantosianidin dan antosianin


(Bohm 1998).
Pada tanaman Bilberry (Vaccinium myrtillus L.) terjadi peningkatan aktivitas
enzim F3H pada daun tanaman yang sebelumnya tumbuh pada kondisi naungan
kemudian diekspos pada cahaya langsung. Peningkatan aktivitas enzim F3H tersebut
mengindikasikan peningkatan produksi senyawa flavonol (Jaakola 2003). Senyawa
kuersetin adalah salah satu golongan senyawa flavonoid turunan dari senyawa
flavonol (Vickery dan Vickery 1981). Untuk pengaruh naungan, beberapa penelitian
lain yang sudah dilaporkan juga menunjukan adanya pengaruh naungan terhadap
kandungan antosianin. Pada tanaman kedelai, kandungan antosianin meningkat pada
persentase naungan 50% (Lamuhuria et al. 2006), sedangkan pada beberapa klon
daun dewa yang tumbuh pada kondisi 100% cahaya menghasilkan kadar antosianin
yang tidak berbeda nyata (Ghulamahdi et al. 2006).
Di samping pengaruh intensitas cahaya, peningkatan kandungan antosianin,
kuersetin dan total flavonoid daun dewa juga dipengaruhi oleh unsur hara N, P, K dan
SO4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase naungan,
serapan hara N, P, K dan SO4 juga semakin tinggi (lihat Tabel 53). Pemberian dosis
pupuk kandang 100g + SO4 0.8g/tanaman pada naungan 50% selama 3 bulan dan 1
bulan cahaya 100% menghasilkan kandungan SO4 dalam jaringan daun tertinggi
(0.64%), kadar antosianin tertinggi (0.14%), dan total flavonoid tertinggi (17.37%)
pada daun dewa. Kandungan kuersetin tertinggi (0.42% atau 4.2mg b/b) dihasilkan
pada pemberian pupuk kandang ayam 50g + SO4 0.4g/tanaman (Gambar 37).
Berdasarkan hasil analisis kesuburan tanah dan kandungan hara pada pupuk
kandang ayam (Lampiran 6 dan 7), ditemukan kandungan hara makro esensial yang
terdiri dari N, P, K dan SO4. Penambahan N, P, K dan SO4 melalui pemupukan
semakin memberikan kecukupan hara bagi pertumbuhan tanaman. Unsur hara N, P
dan K dalam tanaman secara bersama-sama berperan sebagai unsur penting dalam
pembentukan klorofil daun, pembentukan metabolit sekunder dan proses translokasi
dalam tanaman (Jones 1998, Malkin dan Niyogi 2000, Marschner 1995). Sulfur dalam
bentuk (SO42-) berperan penting pada produksi senyawa-senyawa metabolit sekunder
dalam tanaman seperti flavonoid dan terpenoid (Hornok 1992). Sulfur dalam bentuk
sulfat (SO4) menstimulasi pembentukan senyawa asetil CoA dan selanjutnya memacu
pembentukan senyawa-senyawa metabolit sekunder termasuk golongan senyawa
flavonoid (Vickery dan Vickery 1981). Di samping itu aktivitas beberapa enzim
124

kloroplas yang berperan pada metabolisme karbon dan proses fotosintesis lainnya
diregulasi oleh S dalam bentuk ikatan disulfida (Buchanan et al. 2000).
Dalam sel-sel akar SO4 terdapat pada vakuola dan plastid kemudian melalui
xylem diangkut menuju kloroplas dan sebagian pada vakuola sel-sel mesofil daun. Di
kloroplas SO4 membentuk sistein sebagai prekursor pembentukan acetyl CoA
(Buchanan et al. 2000, Marshner 1995). Acetyl CoA selanjutnya akan membentuk
malonyl CoA dalam proses biosintesis flavonoid (Vickery dan Vickery 1981, Hornok
1992). Kekurangan unsur ini akan menghambat pertumbuhan melalui penghambatan
sintesis protein (Ahn 1993, Marshner 1995) dan S dalam bentuk SO42-menghambat
sintesis senyawa metabolit sekunder terutama pada golongan flavonoid (Vagujfalvi
1992).

Produksi Total Flavonoid, Antosianin dan Kuersetin Per Tanaman


Periode pencahayaan dan pemupukan menghasilkan peningkatan kandungan
total flavonoid, antosianin dan kuersetin pada total biomasa per tanaman. Produksi
total flavonoid tertinggi (1.61g/tanaman) diperoleh pada naungan 50% selama 3 bulan
dan 1 bulan cahaya 100%, sedangkan hasil terendah (0.94g/tanaman) pada naungan
25% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% serta naungan 50% 2 bulan dan 2 bulan
cahaya 100% (Gambar 37). Semakin tinggi dosis pemupukan, produksi total
flavonoid juga semakin meningkat. Pemberian pupuk kandang ayam 100g + SO4
0.8g/tanaman menghasilkan produksi total flavonoid tertinggi (1.61g/tanaman),
disusul pemberian pupuk kandang ayam 50g + SO4 0.4g/tanaman (1.45g/tanaman)
dan tanpa pemupukan (1.23g/tanaman).
Berdasarkan data kandungan total flavonoid untuk setiap gram bahan kering
tanaman, diperoleh kandungan tertinggi pada naungan 50% selama 3 bulan dan 1
bulan cahaya 100%, sedangkan total flavonoid per total biomasa tanaman tertinggi
juga dihasilkan pada periode pencahayaan yang sama. Hasil ini menunjukkan bahwa
pada naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100%, peningkatan total
biomasa tanaman disertai dengan peningkatan kandungan total flavonoid, sehingga
produksi flavonoid semakin tinggi.
Produksi antosianin per tanaman tertinggi (0.172g/tanaman) diperoleh pada
naungan 25% selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100%, sedangkan dosis pemupukan
optimum yang menghasilkan produksi antosianin tertinggi (0.232g/tanaman) adalah
dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman yang merupakan dosis
125

maksimum yang diberikan ke tanaman (Gambar 37). Berdasarkan data kandungan


antosianin untuk setiap gram bobot basah daun, kandungan tertinggi dihasilkan pada
naungan 25% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100%, tetapi bobot biomasa
tanaman lebih rendah dibanding pada naungan 25% selama 2 bulan dan 2 bulan
cahaya 100%. Peningkatan bobot biomasa tersebut meningkatkan produksi antosianin
per tanaman.
Peningkatan produksi kuersetin pada berbagai periode pencahayaan dan
pemupukan dapat dilihat pada histogram Gambar 38 dan 39. Produksi kuersetin per
tanaman tertinggi (0.023g/tanaman) dihasilkan pada naungan 50% selama 3 bulan dan
1 bulan cahaya 100%, sedangkan produksi kuersetin tertinggi (0.038g) pada berbagai
dosis pemupukan, dihasilkan pada dosis pupuk kandang ayam 50g + SO4
0.4g/tanaman.

0.025 0.023
0.021
Produksi Kuersetin (g)

0.02
0.015
0.015
0.011
0.01
0.01

0.005

0
N0 N2 N5 N7 N8
Periode Pencahayaan

Gambar 38. Produksi kuersetin per tanaman pada berbagai periode pencahayaan umur
16 MST.

0.038
0.04
Produksi Kuersetin (g)

0.035
0.03
0.023
0.025
0.018
0.02
0.015
0.01
0.005
0
P0 P1 P2
Dosis Pem upukan

Gambar 39. Produksi kuersetin per tanaman pada berbagai dosis pemupukan umur
16 MST.
126

Peningkatan produksi total flavonoid, antosianin dan kuersetin per tanaman


pada naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% serta naungan 25%
selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100% disebabkan karena peningkatan total
biomasa tanaman yang lebih tinggi dibanding cahaya 100% selama 4 bulan (kontrol).
Peningkatan total biomasa tersebut secara nyata dipengaruhi oleh peningkatan
pertumbuhan tanaman. Hasil analisis korelasi yang disajikan pada Tabel 55,
menunjukkan bahwa tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun terpanjang, lebar
daun terpanjang, jumlah anakan dan jumlah cabang berkorelasi positif nyata dengan
bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk. Nilai koefisien korelasi
(r) komponen pertumbuhan dengan bobot brangkasan masing-masing 0.60, 0.50, 0.50,
0.64, 0.26 dan 0.58. Untuk komponen pertumbuhan dengan bobot basah umbi
masing-masing dengan nilai r = 0.55, 0.30, 0.46, 0.57, 0.12 dan 0.50, sedangkan
antara komponen pertumbuhan dengan bobot basah tajuk masing-masing dengan nilai
r = 0.55, 0.55, 0.47, 0.61, 0.33 dan 0.56. Berdasarkan analisis korelasi tersebut
diketahui bahwa peningkatan produksi flavonoid, antosianin dan kuersetin per
tanaman disebabkan karena pertumbuhan tanaman yang lebih pesat dan menghasilkan
total biomasa yang lebih tinggi.

Analisis Korelasi Antara Peubah Pertumbuhan dengan kandungan Antosianin

Hasil analisis korelasi antar peubah yang diamati (Tabel 55) menunjukkan
bahwa tinggi tanaman, panjang daun terpanjang, lebar daun terlebar, ILD dan NAR
berkorelasi positif nyata dengan kandungan antosianin, masing-masing dengan nilai r
= 0.24, 0.32, 0.26, 0.23 dan 0.39. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambah
tinggi tanaman, panjang dan lebar daun, ILD dan NAR, maka kandungan antosianin
juga akan mengalami peningkatan. Antara RGR dan kandungan antosianin diperoleh
korelasi negatif nyata dengan nilai r = -0.38. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
meningkat RGR, maka kandungan antosianin akan semakin rendah.
Pengaruh tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, ILD, RGR dan NAR
terhadap peningkatan kandungan antosianin lebih disebabkan karena hubungan
peubah-peubah tersebut dengan luas permukaan daun. Tinggi tanaman berkorelasi
positif nyata dengan panjang daun, lebar daun dan ILD masing-masing dengan nilai r
= 0.83, 0.74 dan 0.71, sedangkan panjang dan lebar daun berkorelasi negatif nyata
dengan NAR dan RGR masing-masing dengan nilai r = -0.45 dan -0.54 untuk NAR, -
0.41 dan -0.48 untuk RGR. Koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat
127

indikasi peningkatan luas permukaan daun apabila tanaman semakin tinggi dan RGR,
NAR semakin rendah. Permukaan daun yang lebih luas akan meningkatkan
kandungan antosianin pada total sel-sel daun. Berdasarkan penelitian sebelumnya
diketahui bahwa antosianin mempunyai distribusi yang luas pada daun dan ditemukan
pada sel-sel epidermis bagian atas atau bawah serta sel-sel mesofil daun (Woodall dan
Stewart 1998).

SIMPULAN

Periode pencahayaan dan pemberian pupuk kandang ayam + SO4


meningkatkan pertumbuhan dan produksi flavonoid daun dewa asal kultur in vitro.
Perubahan struktur dan volume kloroplas sebagai bentuk adaptasi dalam
meningkatkan kemampuan penangkapan cahaya dan peningkatan serapan hara N, P,
K dan SO4 meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produksi senyawa-senyawa
golongan flavonoid yang terdiri dari antosianin dan kuersetin. Periode pencahayaan
yang menghasilkan produksi total flavonoid dan kuersetin per tanaman tertinggi
adalah naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100%, sedangkan produksi
antosianin tertinggi diperoleh pada naungan 25% selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya
100%.
Pemberian dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman
menghasilkan pertumbuhan tanaman, serapan hara N, P, K dan SO4, produksi total
flavonoid dan antosianin per tanaman tertinggi dibanding tanpa pemupukan,
sedangkan produksi kuersetin tertinggi diperoleh pada pemberian pupuk kandang
ayam 50g + SO4 0.4g/tanaman. Tidak terdapat interaksi antara periode pencahayaan
dan pemupukan terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman dan produksi flavonoid
daun dewa.
Tabel 40. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun terpanjang,
lebar daun terlebar, jumlah anakan dan jumlah cabang daun dewa asal kultur in vitro umur 16 MST.

Pertumbuhan Tanaman
Perlakuan
Tinggi Jumlah Panjang Lebar Jumlah Jumlah
Tanaman Daun Daun Daun Anakan Cabang
(cm) (cm) (cm)
Cahaya 100% 4 bulan 21.7 b 116.9 a 16.0 c 9.4 d 21.4 a 7.5 ab
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 21.9 b 104.3 ab 18.2 b 9.3 d 20.3 ab 6.4 abc
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 21.9 b 92.3 bc 17.5 bc 10.0 abcd 20.9 ab 7.1 abc
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 21.9 b 75.4 c 18.3 b 9.8 bcd 17.4 abc 3.9 d
Naungan 25 % 4 bulan 22.0 b 91.2 bc 17.5 bc 9.6 cd 20.8 ab 7.8 a
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 21.7 b 94.7 bc 18.6 b 10.5 a 18.9 abc 5.7 abcd
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 25.4 a 77.4 c 21.5 a 10.4 ab 17.2 abc 5.0 cd
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 26.4 a 77.4 c 21.7 a 10.4 ab 16.2 c 5.8 abcd
Naungan 50 % 4 bulan 26.1 a 74.9 c 20.7 a 10.1 abc 15.2 c 5.1 bcd
Tanpa Pemupukan 18.8 c 74.0 c 16.3 c 8.4 c 17.5 b 3.1 c
Pka 50g + SO4 0.4g 23.5 b 84.8 b 19.3 b 9.9 b 17.9 b 5.7 b
Pka 100g + SO4 0.8g 27.3 a 109.4 a 21.1 a 11.6 a 20.8 a 9.2 a
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 21.7/23.4tn 116.9/86.0** 16.0/19.3** 9.4/10.0** 21.4/18.4* 7.5/5.9*
Naungan 25% VS Naungan 50% 22.0/24.9** 90.8/81.1* 17.9/20.6** 9.7/10.4** 19.9/16.9** 6.3/5.4tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT).
.Pka = pupuk kandang ayam, tn = tidak berbeda nyata, * = nyata, ** = sangat nyata.

133
Tabel 50. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan terhadap indeks kehijauan daun tanaman daun dewa umur 2-16 MST.
Minggu setelah tanam (MST)
Perlakuan
2 4 6 10 12 14 16
Cahaya 100% 4 bulan 1.23d 1.40c 1.48d 1.69d 1.78c 1.87bc 1.99ab
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.33c 1.43c 1.56c 1.70d 1.78c 1.85c 1.89b
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.54b 1.58b 1.65b 1.79abc 1.89ab 2.02a 2.12a
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.52b 1.57b 1.64b 1.77bcd 1.84abc 1.90abc 1.99ab
Naungan 25 % 4 bulan 1.53b 1.59b 1.65b 1.76bcd 1.81bc 1.90abc 1.97ab
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.48b 1.57b 1.63b 1.74cd 1.81bc 1.87bc 1.96ab
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.51b 1.58b 1.69ab 1.81abc 1.89ab 1.97abc 2.05ab
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.62a 1.66a 1.73a 1.85a 1.92a 2.03a 2.14a
Naungan 50 % 4 bulan 1.48b 1.58b 1.68ab 1.84ab 1.90ab 2.00ab 2.15a
Tanpa pemupukan 1.34c 1.44c 1.53c 1.69c 1.78c 1.88b 1.97b
Pka 50 g + SO4 0.4 g 1.49b 1.56b 1.65b 1.78b 1.85b 1.93ab 2.01ab
Pka 100 g + SO4 0.8 g 1.58a 1.65a 1.72a 1.85a 1.91a 1.99a 2.10a
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 1.23/1.50** 1.40/1.57** 1.48/1.65** 1.69/1.78 ** 1.78/1.86* 1.87/1.94tn 1.99/2.03tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 1.48/1.52* 1.54/1.60** 1.63/1.68** 1.76/1.81** 1.83/1.88* 1.92/1.97tn 1.99/2.08tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT). Pka = pupuk
kandang ayam, tn = tidak berbeda nyata, * = nyata, ** = sangat nyata.

133
Tabel 53. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap kandungan N, P, K dan SO4 jaringan
tanaman umur 16 MST.
Periode Pencahayaan Pemupukan N P K SO4
(%) (%) (%) (%)
Cahaya 100% 4 bulan Tanpa Pemupukan 2.17 0.16 0.94 0.22
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.17 0.19 0.95 0.25
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.19 0.23 0.96 0.22
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% Tanpa Pemupukan 2.21 0.20 1.09 0.28
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.25 0.22 1.09 0.30
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.24 0.25 1.06 0.30
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% Tanpa Pemupukan 2.23 0.22 1.15 0.34
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.38 0.24 1.15 0.33
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.35 0.26 1.21 0.34
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% Tanpa Pemupukan 2.46 0.23 1.25 0.38
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.50 0.26 1.31 0.39
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.44 0.27 1.30 0.37
Naungan 25 % 4 bulan Tanpa Pemupukan 2.56 0.25 1.37 0.40
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.56 0.28 1.44 0.43
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.57 0.30 1.45 0.43
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% Tanpa Pemupukan 2.64 0.26 1.52 0.44
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.61 0.29 1.52 0.48
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.64 0.31 1.57 0.47
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% Tanpa Pemupukan 2.72 0.27 1.66 0.48
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.70 0.30 1.61 0.51
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.67 0.32 1.60 0.49
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% Tanpa Pemupukan 2.77 0.29 1.74 0.53
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.78 0.31 1.74 0.55
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.77 0.34 1.72 0.64
Naungan 50 % 4 bulan Tanpa Pemupukan 2.86 0.31 1.84 0.56
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.86 0.33 1.82 0.62
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.85 0.33 1.83 0.60
Keterangan : Pka = pupuk kandang ayam

133
Tabel 55. Koefisien korelasi antar peubah pertumbuhan, produksi, klorofil daun dan kandungan antosianin

X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9

X1 1.00
X2 0.37** 1.00
X3 0.83** 0.17tn 1.00
X4 0.74** 0.38** 0.73** 1.00
X5 0.06tn 0.65** -0.10tn 0.16tn 1.00
X6 0.56** 0.72** 0.44** 0.62** 0.37** 1.00
X7 0.29* -0.06tn 0.22* 0.30* 0.02tn 0.08tn 1.00
X8 0.71** 0.28* 0.66** 0.75** 0.11tn 0.43** 0.24* 1.00
X9 -0.29* -0.23* -0.41** -0.48** -0.13tn -0.34** -0.23* -0.26* 1.00
X10 0.31** 0.007tn 0.41** 0.45** 0.05tn 0.06tn 0.13tn 0.58** -0.33**
X11 -0.34** -0.23* -0.45** -0.54** -0.13tn -0.30* -0.18tn -0.42** 0.92**
X12 0.60** 0.50** 0.50** 0.64** 0.26* 0.58** 0.16tn 0.69** -0.15tn
X13 0.55** 0.30* 0.46** 0.57** 0.12tn 0.50** 0.19tn 0.61** -0.10tn
X14 0.55** 0.55** 0.47** 0.61** 0.33** 0.56** 0.12tn 0.66** -0.17tn

133
Lanjutan Tabel 55

X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9

X15 -0.002tn -0.13tn -0.01tn 0.02tn 0.02tn -0.04tn 0.65** -0.03tn -0.10tn
X16 0.09tn -0.08tn -0.02tn 0.06tn -0.01tn -0.05tn 0.59** -0.009tn -0.06tn
X17 -0.01tn -0.11tn 0.14tn -0.02tn -0.05tn -0.03tn -0.03tn 0.07tn 0.16tn
X18 0.04tn -0.13tn -0.02tn 0.04tn -0.004tn -0.05tn 0.71** -0.03tn -0.10tn
X19 0.24* 0.04tn 0.32** 0.26* -0.05tn 0.10tn -0.006tn 0.23* -0.38**

133
Lanjutan Tabel 55

X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19

X10 1.00
X11 -0.57** 1.00
X12 0.08tn -0.13tn 1.00
X13 -0.07tn -0.008tn 0.87** 1.00
X14 0.16tn -0.19tn 0.96** 0.69** 1.00
X15 -0.001tn -0.05tn -0.08tn -0.05tn -0.09tn 1.00
X16 -0.01tn -0.05tn -0.01tn 0.04tn -0.05tn 0.53** 1.00
X17 0.04tn -0.10tn 0.004tn -0.01tn 0.01tn 0.13tn -0.50** 1.00
X18 -0.006tn -0.06tn -0.06tn -0.01tn -0.08tn 0.92** 0.82** -0.13tn 1.00
X19 0.08tn 0.39** 0.18tn 0.21tn 0.14tn -0.10tn 0.05tn 0.04tn -0.05tn 1.00
Keterangan : X1=tinggi tanaman, X2=jumlah daun, X3=panjang daun terpanjang, X4=lebar daun terlebar, X5=jumlah anakan,
X6=jumlah cabang, X7=indeks kehijauan daun, X8=ILD, X9=RGR, X10=LAR, X11=NAR, X12=Bobot
brangkasan, X13=bobot basah umbi, X14=bobot basah tajuk, X15=kandungan klorofil a, X16=kandungan klorofil
b, X17=rasio klorofil a/b, X18=total klorofil, X19=kandungan antosianin.* dan ** berpengaruh nyata pada taraf
kepercayaan 95% dan 99%, tn=tidak nyata.

133
20
17.371 3
18
Total Flavonoid (%)
14.825 2.46
16

Kadar Kuersetin (mg/g)


13.507 2.5
14
11.532 12.237 11.004
11.995 12.088 11.515 1.88 1.78
12 2
10 1.5
8
6 1 0.71 0.71
4
0.5
2
0 0
N0 N1 N2 N3 N4 N5 N6 N7 N8 N0 N2 N5 N7 N8
Periode Pencahayaan Periode Pencahayaan
(a) (b)
0.7 0.64
20 17.37
16.21 0.6 0.53 0.55
Total Flavonoid (%)

15 0.5 0.42
11.77
0.4
10 0.3 0.25
0.17
0.2 0.12 0.13 0.14
5
0.1
0 0
P0 P1 P2 P0 P1 P2
Dosis Pem upukan Dosis Pemupukan

(c) SO4 (%) Antosianin (%) Kuersetin (%)


(d)

Gambar 36. Kandungan total flavonoid dan kuersetin pada berbagai periode pencahayaan (a dan b), dan kandungan total flavonoid, kadar SO4,
antosianin dan kuersetin pada berbagai dosis pemupukan ( c dan d) umur 16 MST.

133
1.8 1.61
0.2
Produksi Total Flavonoid (g)
1.6 0.172 0.17

P roduksi Antosianin (g)


1.38 0.18 0.158
1.4 1.29 0.153
1.22 1.17 0.16 0.146
0.139
1.2 1.06 0.14 0.13
0.96 0.12
0.94 0.94 0.113
1 0.12
0.8 0.1
0.6 0.08
0.06
0.4
0.04
0.2 0.02
0 0
N0 N1 N2 N3 N4 N5 N6 N7 N8 N0 N1 N2 N3 N4 N5 N6 N7 N8
Periode Pencahayaan Periode Pencahayaan

(a) (b)
0.25 0.232
Produksi Total Flavonoid (g)

1.8 1.61

Produksi Antosianin (g)


1.6 1.45
0.2
1.4 1.23
1.2 0.135
0.15
1
0.8
0.1
0.6 0.067
0.4 0.05
0.2
0 0
P0 P1 P2 P0 P1 P2
Dosis Pem upukan Dosis Pemupukan
(c) (d)

Gambar 37. Produksi total flavonoid dan antosianin pada berbagai periode pencahayaan (a dan b), dan produksi total flavonoid dan antosianin
pada berbagai doisis pemupukan umur 16 MST.

133
135

PEMBAHASAN UMUM

Antosianin dan kuersetin adalah bahan bioaktif dari golongan senyawa


flavonoid yang telah digunakan sebagai anti kanker pada manusia (Lamson et al.
2000, Katsube et al. 2003, Zhang et al. 2005). Untuk meningkatkan kandungan
antosianin dan kuersetin pada pertumbuhan daun dewa di lapang dibutuhkan kualitas
bahan tanam yang tinggi. Peningkatan kualitas bahan tanam salah satunya dapat
dilakukan melalui pembentukan plantlet berkandungan bioaktif tinggi melalui studi in
vitro.
Hasil penelitian pada studi in vitro menunjukkan bahwa plantlet yang memiliki
kandungan antosianin yang tinggi (0.071%) diperoleh pada komposisi media MS
yang menggunakan IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 g/l. IAA berperan untuk
menginduksi perakaran melalui fungsinya pada proses pemanjangan sel, sedangkan
sukrosa berperan sebagai penyedia energi bagi perkembangan plantlet, pengatur
tekanan osmotik media dan meningkatkan pigmentasi antosianin (Salisbury dan Ross
1992, Gunawan 1992, Smith 2000, Hiratsuka et al. 2001, Hosokawa et al. 1996). Pada
tanaman Gardenia (Gardenia jasminoides Ellis), pemberian IAA hingga 10 µM
meningkatkan jumlah akar dan persentase kultur berakar mencapai 100% tetapi
panjang akar mengalami penurunan dengan semakin meningkatnya konsentrasi IAA
(Al Juboory et al. 1998). Pada proses pigmentasi antosianin secara in vitro, Hiratsuka
et al. (2001) dan Hosokawa et al (1996) melaporkan bahwa pada tanaman Vitis
labruscana Bailey cv. Olympia, penggunaan gula (fruktosa, sukrosa, glukosa dan
ramnosa) masing-masing 2.5 dan 10% dapat meningkatkan pigmentasi antosianin,
sedangkan pada Hyacinthus orientalis, penggunaan sukrosa 30g/l menghasilkan
glikosida antosianin berbeda dengan tanaman yang ditumbuhkan di lapang.
Penambahan sukrosa meningkatkan aktivitas enzim invertase yang mengkatalisis
sukrosa menjadi senyawa heksosa selama proses translokasi dan menstimulasi
biosintesis antosianin pada kultur in vitro (Hiratsuka et al. 2001).
Plantlet yang dihasilkan pada kultur in vitro selanjutnya digunakan sebagai
bahan tanam pada percobaan lapangan untuk tujuan meningkatkan biomasa tanaman
sehingga produksi flavonoid semakin tinggi. Pada kondisi lapang, stimulasi produksi
bioaktif bahan tanam asal kultur in vitro dilakukan melalui periode pencahayaan dan
pemupukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa periode pencahayaan berpengaruh
pada morfo-anatomi daun dan fisiologi tanaman, sehingga berpengaruh pada proses
136

pertumbuhan, produksi biomasa dan produksi bioaktif, sedangkan pemupukan


meningkatkan produksi biomasa dan bioaktif melalui peningkatan serapan hara ke
tanaman.
Perubahan morfo-anatomi (panjang dan lebar daun, jumlah stomata, trichoma
dan ketebalan daun) pada periode pencahayaan yang berbeda menunjukkan perubahan
adaptasi tanaman pada kondisi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun
dewa yang tumbuh pada naungan 50% selama 4 bulan terjadi peningkatan panjang
dan lebar daun sehingga daun semakin luas, tetapi jumlah stomata dan trichoma
semakin berkurang. Perubahan ini merupakan bentuk adaptasi tanaman terhadap
intensitas cahaya rendah.
Levitt (1980) menjelaskan bahwa adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya
rendah dilakukan melalui : 1) mekanisme penghindaran (avoidance) terhadap
kekurangan cahaya, dan 2) mekanisme toleransi (tolerance) terhadap kekurangan
cahaya. Pada mekanisme penghindaran, tanaman akan meningkatkan luas area
penangkapan cahaya melalui peningkatan luas daun dan meningkatkan penangkapan
cahaya per unit luas fotosintesis melalui pengurangan jumlah cahaya yang
direfleksikan. Pengurangan jumlah cahaya yang direfleksikan dilakukan oleh tanaman
melalui pengurangan jumlah trichoma (Hale dan Orcutt 1987). Liakoura (1997) juga
melaporkan bahwa kerapatan trichoma Olea europaea lebih rendah pada daun yang
dinaungi dibanding dengan daun pada cahaya penuh. Hal ini menyebabkan
peningkatan efisiensi penggunaan cahaya oleh daun dalam proses fotosintesis.
Pada intensitas cahaya rendah juga terjadi pengurangan jumlah stomata.
Pengurangan jumlah stomata adalah bentuk adaptasi tanaman terhadap penurunan laju
transpirasi pada intensitas cahaya rendah. Logan et al. (1999) melaporkan bahwa pada
intensitas cahaya rendah akan terjadi penurunan laju transpirasi, sehingga tanaman
mengadaptasikan diri dengan cara menurunkan kerapatan stomata.
Pada naungan 50% selama 4 bulan, di samping terjadi pengurangan jumlah
stomata dan trichoma, juga terjadi pengurangan ketebalan daun. Hasil tersebut sesuai
dengan penjelasan Lee et al. (2000) dan Atwell et al. 1999 bahwa intensitas cahaya
rendah dapat mempengaruhi perkembangan daun melalui perubahan ukuran dan
ketebalannya. Perkembangan daun pada intensitas cahaya yang tinggi lebih
didominasi oleh peningkatan jumlah sel daripada peningkatan ukuran sel sehingga
daun menjadi tebal, sedangkan pada intensitas cahaya rendah peningkatan jumlah sel
terhambat sehingga daun menjadi tipis. Di samping itu penipisan daun pada intensitas
137

cahaya rendah disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz
dan Zeiger 1991).
Pada aspek fisiologi, periode pencahayaan berpengaruh pada perubahan
struktur kloroplas, kandungan enzim SOD, klorofil, serapan hara ke jaringan tanaman
dan laju pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur
kloroplas pada naungan 25 dan 50% berbeda dengan kloroplas pada cahaya 100%,
sedangkan apabila tanaman yang tumbuh pada kondisi naungan kemudian diekspos
pada cahaya 100%, struktur dan bentuk kloroplas berubah menyerupai kloroplas
cahaya 100%. Semakin meningkat persentase naungan juga meningkatkan total
klorofil, kandungan enzim SOD, dan serapan hara N, P, K dan SO4 ke jaringan
tanaman, tetapi rasio klorofil a/b semakin rendah.
Perubahan struktur dan bentuk kloroplas daun dewa pada intensitas cahaya
rendah disebabkan karena meningkatnya tumpukan grana (stack granum),
meningkatnya volume stroma dan ukuran butir pati. Peningkatan ukuran kloroplas
dan tumpukan grana akan meningkatkan penangkapan dan penyerapan cahaya pada
intensitas cahaya rendah (Chitchley 1997), sedangkan peningkatan ukuran butir pati
menunjukkan rendahnya respirasi pada intensitas cahaya rendah. Pada intensitas
cahaya rendah kandungan gula-pati kedelai toleran Ceneng lebih rendah dari Genotipe
peka Godek (Lestari 2005), sedangkan kloroplas pada daun yang diberi perlakuan
gelap 5 hari masih terdapat butir pati (Tyas 2006). Rendahnya kandungan gula dan
masih adanya butir pati pada kondisi kekurangan cahaya menunjukkan laju respirasi
yang rendah (Tyas 2006). Peningkatan volume stroma pada kloroplas daun dewa yang
tumbuh pada intensitas cahaya 75 dan 50% menunjukkan peningkatan aktivitas
enzim-enzim fotosintetik. Aktivitas enzim fotosintetik pada stroma kloroplas daun
yang ternaungi lebih tinggi dibanding daun yang berkembang pada cahaya penuh
(Bjorkman dan Demmig-Adams 1995, Salisbury dan Ross 1992).
Intensitas cahaya rendah juga meningkatkan ukuran kloroplas Liquidambar
styraciflua L. menjadi lebih besar (Lee et al. 1985), dan terjadi peningkatan tumpukan
grana seperti pada Gusmania monostachia (Maxwell et al. 1999). Khumaida (2002)
juga melaporkan bahwa genotipe kedelai toleran naungan Pangrango dan B613
mengalami peningkatan volume grana dan butir pati lebih banyak pada kondisi
naungan 50%. Peningkatan volume grana berhubungan dengan peningkatan pigmen
antena (klorofil a dan b) pada light harvesting complex II (LHC II) dimana proporsi
klorofil b meningkat sehingga rasio klorofil a/b semakin rendah (Tanaka et al. 1998,
138

Hidema et al. 1992). Penurunan rasio klorofil a/b pada kondisi naungan juga
ditemukan pada genotipe toleran padi gogo dan kedelai (Khumaida 2002, Sopandie et
al. 2003a, Sopandie et al. 2003b).
Perubahan struktur dan bentuk kloroplas daun dewa yang menyerupai
kloroplas cahaya 100% pada saat tanaman diekspos ke cahaya langsung (direct sun
exposure), disebabkan karena terjadi perubahan adaptasi kloroplas pada cahaya 100%.
Respon kloroplas terhadap perubahan intensitas cahaya tergantung pada skala waktu
perubahan tersebut. Respon jangka pendek terjadi dalam beberapa detik sampai menit
yang melibatkan penyusunan kembali struktur dan fungsi komponen kloroplas.
Aklimatisasi jangka panjang terhadap cahaya melibatkan sintesis yang selektif dan
degradasi komponen kloroplas untuk menyusun komposisi dan organ fotosintesis
(Mohr dan Schopper 1995).
Pertumbuhan daun dewa pada naungan 50% selama 4 bulan juga
menghasilkan peningkatan kandungan SOD. Enzim SOD adalah enzim yang
berfungsi menghambat O2- sebagai salah satu bentuk radikal bebas di samping H2O2
yang menyebabkan kerusakan membran tilakoid pada kloroplas melalui reaksi
oksidasi-reduksi (Hideg 1997). Peningkatan total enzim SOD pada daun dewa dalam
kondisi naungan mengindikasikan peningkatan penghambatan terhadap aktivitas O2-,
sehingga kloroplas tidak terdegradasi. Tanaman yang memiliki ketahanan yang tinggi
terhadap aktivitas O2- menghasilkan enzim SOD yang lebih tinggi dari tanaman yang
peka (Ismail et al. 2001).
Persentase naungan yang semakin tinggi meningkatkan serapan hara ke
jaringan tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serapan hara N, P, K dan SO4
tertinggi ke jaringan tanaman diperoleh pada naungan 50% selama 3-4 bulan.
Peningkatan serapan hara tersebut disebabkan karena meningkatnya kebutuhan
tanaman untuk melangsungkan pertumbuhan. Pertumbuhan tanaman pada kondisi
tersebut lebih pesat sehingga memerukan pasokan hara yang lebih banyak. Urnemi et
al. (2002) melaporkan bahwa taraf naungan 50 dan 75% meningkatkan respon
tanaman daun jinten terhadap pupuk fosfor dan menstimulasi peningkatan kadar
kumarat dan vanilat.
Aspek fisiologi lainnya yang dapat menjelaskan pengaruh intensitas cahaya
terhadap pertumbuhan tanaman adalah melalui analisis pertumbuhan tanaman,
diantaranya adalah pengukuran ILD, RGR, LAR dan NAR. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada naungan 50% selama 4 bulan, ILD dan LAR mengalami
139

peningkatan, tetapi RGR dan NAR menurun. Peningkatan ILD dan LAR dipengaruhi
oleh peningkatan luas daun pada naungan 50% selama 4 bulan, tetapi efisiensi setiap
luas daun dalam menghasilkan bahan kering tanaman semakin rendah yang
menyebabkan penurunan RGR dan NAR. Semakin luas permukaan daun untuk
menghasilkan bahan kering tanaman, dinyatakan sebagai daun yang memiliki efisiensi
yang rendah dalam menghasilkan bahan kering tanaman (Sitompul dan Guritno
1995). Laju pertumbuhan tanaman meningkat secara linier dengan meningkatnya
fotosintesis, dan terjadi penurunan produksi bahan kering per satuan luas daun apabila
terjadi pembatasan fotosintesis (Fichtner et al. 1995). Pembatasan fotosintesis
diantaranya dipengaruhi oleh saling menutupi diantara daun bagian atas dan daun-
daun di bawahnya. Apabila tajuk dibagi ke dalam beberapa bagian, cahaya yang jatuh
pada permukaan bawah semakin sedikit jika letak daun dalam bidang vertikal
mendekati permukaan tanah, akibatnya laju fotosintesis daun-daun lapisan tajuk
bawah akan semakin rendah (Gent 1995).
Berdasarkan perubahan adaptasi morfo-anatomi dan fisiologi daun dewa pada
intensitas cahaya rendah yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa tanaman ini
lebih toleran pada kondisi naungan dibanding pada intensitas cahaya 100%, dan pada
kondisi tersebut menghasilkan pertumbuhan dan peningkatan biomasa yang lebih
tinggi. Peningkatan total biomasa akan mempengaruhi peningkatan produksi bioaktif
dalam tanaman, khususnya produksi senyawa-senyaawa golongan flavonoid.
Peningkatan bioaktif tanaman di samping dipengaruhi oleh intensitas cahaya,
faktor pemupukan juga sangat berpengaruh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% serta dosis pupuk
kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman menghasilkan produksi total flavonoid dan
kuersetin per tanaman tertinggi dibanding cahaya 100% dan tanpa pemupukan.
Produksi antosianin per tanaman tertinggi dihasilkan pada naungan 25% selama 2
bulan dan 2 bulan cahaya 100% serta dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4
0.8g/tanaman. Peningkatan produksi total flavonoid, antosianin dan kuersetin tersebut
di samping karena pengaruh cahaya, juga dipengaruhi oleh meningkatnya serapan
hara. Berdasarkan data serapan hara ke jaringan tanaman, terjadi peningkatan serapan
N pada naungan 50% selama 4 bulan dan dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4
0.8g/tanaman, sedangkan K tertinggi diperoleh pada naungan 50% selama 4 bulan
tanpa pemupukan. Kandungan P dan SO4 tertinggi dihasilkan pada naungan 50%
140

selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% serta dosis pupuk kandang ayam 100g +
SO4 0.8g/tanaman.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peningkatan produksi flavonoid daun
dewa asal kultur in vitro secara nyata dipengaruhi oleh periode pencahayaan dan
pemupukan. Peningkatan produksi total flavonoid, antosianin dan kuersetin pada
periode pencahayaan tersebut, disebabkan oleh pengaruh stres cahaya atau kejutan
pada saat tanaman diekspos ke cahaya 100%. Senyawa-senyawa golongan flavonoid
dapat mengalami peningkatan karena pengaruh cahaya (Salisbury dan Ross 1992).
Cahaya dalam proses fotosintesis akan menghasilkan glukosa-6-fosfat sebagai
prekursor pembentukan asetil CoA yang selanjutnya menghasilkan senyawa-senyawa
flavonoid termasuk antosianin dan kuersetin (Vickery dan Vickery 1981). Di samping
itu peningkatan senyawa flavonoid daun tanaman yang diekspos pada cahaya
langsung (direct sun exposure) menunjukkan adanya peningkatan aktivitas enzim
flavonone 3-hydroxylase (F3H) yang mengkatalisis hidroksilasi flavonon menjadi
dihidroflavonol dan selanjutnya berpengaruh pada biosintesis flavonol,
proantosianidin dan antosianin (Bohm 1998).
Pada tanaman Bilberry (Vaccinium myrtillus L.) terjadi peningkatan aktivitas
enzim F3H pada daun tanaman yang sebelumnya tumbuh pada kondisi naungan
kemudian diekspos pada cahaya langsung. Peningkatan aktivitas enzim F3H tersebut
mengindikasikan peningkatan produksi senyawa flavonol (Jaakola 2003). Senyawa
kuersetin adalah salah satu golongan senyawa flavonoid turunan dari senyawa
flavonol (Vickery dan Vickery 1981). Untuk pengaruh naungan, beberapa penelitian
lain yang sudah dilaporkan juga menunjukan adanya pengaruh naungan terhadap
kandungan antosianin. Pada tanaman kedelai, kandungan antosianin meningkat pada
persentase naungan 50% (Lamuhuria et al. 2006), sedangkan pada beberapa klon
daun dewa yang tumbuh pada kondisi 100% cahaya menghasilkan kadar antosianin
yang tidak berbeda nyata (Ghulamahdi et al. 2006). Antosianin dalam kondisi
naungan diperoleh pada vakuola sel epidermis serta sel-sel mesofil daun sehingga
terjadi akumulasi yang tinggi (Woodall et al. 1998, Gould et al. 2000). Konsentrasi
antosianin pada kulit buah apel mengalami peningkatan pada level cahaya yang
berbeda sampai sekitar 50% dari cahaya matahari penuh (Jackson 1980, Barritt 1997).
Di samping cahaya, pengaruh pemupukan terutama ditentukan oleh serapan hara
ke dalam jaringan tanaman. Data serapan hara menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan kandungan N, P, K dan SO4 dalam tanaman pada dosis pemupukan yang
141

berbeda. Unsur hara N, P dan K dalam tanaman secara bersama-sama berperan


sebagai unsur penting dalam pembentukan klorofil daun, pembentukan metabolit
sekunder dan proses translokasi dalam tanaman (Jones 1998, Malkin dan Niyogi
2000, Marschner 1995). Sulfur dalam bentuk (SO42-) berperan penting pada produksi
senyawa-senyawa metabolit sekunder dalam tanaman seperti flavonoid dan terpenoid
(Hornok 1992). Sulfur dalam bentuk sulfat (SO4) menstimulasi pembentukan
senyawa asetil CoA dan selanjutnya memacu pembentukan senyawa-senyawa
metabolit sekunder termasuk golongan senyawa flavonoid (Vickery dan Vickery
1981). Di samping itu aktivitas beberapa enzim kloroplas yang berperan pada
metabolisme karbon dan proses fotosintesis lainnya diregulasi oleh S dalam bentuk
ikatan disulfida (Buchanan et al. 2000).
Dalam sel-sel akar SO4 terdapat pada vakuola dan plastid kemudian melalui
xylem diangkut menuju kloroplas dan sebagian pada vakuola sel-sel mesofil daun. Di
kloroplas SO4 membentuk sistein sebagai prekursor pembentukan acetyl CoA
(Buchanan et al. 2000, Marshner 1995). Acetyl CoA selanjutnya akan membentuk
malonyl CoA dalam proses biosintesis flavonoid (Vickery dan Vickery 1981, Hornok
1992). Kekurangan unsur ini akan menghambat pertumbuhan melalui penghambatan
sintesis protein (Ahn 1993, Marshner 1995) dan S dalam bentuk SO42-menghambat
sintesis senyawa metabolit sekunder terutama pada golongan flavonoid (Vagujfalvi
1992).
Aspek lainnya yang ikut berperan dalam proses pertumbuhan dan peningkatan
kandungan flavonoid daun dewa pada percobaan lapang adalah kondisi iklim terutama
intensitas cahaya. Berdasarkan data iklim dan pengukuran intensitas cahaya pada dua
periode penelitian lapang (Lampiran 9 dan 10) menunjukkan bahwa kondisi iklim
untuk periode Desember-April berbeda dengan periode Juli-Nopember.
Pada periode Desember-April merupakan periode musim hujan sampai
menjelang akhir musim hujan yang ditunjukkan oleh jumlah curah hujan, suhu rata-
rata harian dan kelembaban relatif yang lebih tinggi dibanding periode Juli-Nopember
yang merupakan awal musim kemarau sampai menjelang awal musim hujan.
Intensitas cahaya tertinggi pada periode Desember-April diperoleh pada bulan Maret
dan April dengan intensitas cahaya tertinggi pada pengukuran pukul 12.30 masing-
masing 1533 (x100 lux) pada bulan Maret dan 1525 (x100 lux) pada bulan April.
Pada periode Juli-Nopember terjadi peningkatan intensitas cahaya lebih tinggi
dibanding periode Desember-April dengan rata-rata intensitas cahaya pada
142

pengukuran pukul 12.30 masing-masing 1715 (x100 lux) untuk bulan September dan
1682 (x100 lux) untuk bulan Oktober.
Berdasarkan data iklim dan pengukuran intensitas cahaya tersebut,
menunjukkan bahwa pada periode dua bulan menjelang panen pada masing-masing
periode percobaan terjadi peningkatan intensitas cahaya. Peningkatan intensitas
cahaya dua bulan menjelang panen pada percobaan periode Juli-Nopember lebih
tinggi dari intensitas cahaya periode percobaan Desember-April. Peningkatan
intensitas cahaya tersebut berpengaruh pada pertumbuhan tanaman dan peningkatan
produksi flavonoid. Semakin tinggi intensitas cahaya, maka laju transpirasi akan
semakin tinggi dan serapan hara dari dalam media tanam juga akan meningkat pada
kondisi air tetap tersedia. Peningkatan serapan hara tersebut akan meningkatkan
pertumbuhan tanaman dan produksi flavonoid. Di samping itu pengaruh suhu yang
semakin tinggi dengan meningkatnya intensitas cahaya juga akan berpengaruh pada
aktivitas enzim-enzim fotosintesis. Sassenrath-Cole dan Pearcy (1994) menjelaskan
bahwa aktivitas enzim rubisco sebagai salah satu enzim fotosintesis sangat tergantung
pada cahaya. Aktivitas enzim rubisco sebagai enzim yang berperan mengikat CO2
dan RuBP dalam siklus Calvin untuk menghasilkan 3-PGA meningkat sangat cepat
apabila tanaman dipindahkan dari intensitas cahaya rendah ke intensitas cahaya tinggi
(Taiz dan Zeigher 2002).
143

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh disimpulkan bahwa
komposisi media terbaik pada studi pembentukan plantlet secara in vitro adalah media
MS yang mengandung IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30g/l. Pada komposisi media kultur
tersebut dihasilkan jumlah plantlet terbanyak dengan kandungan antosianin tertinggi.
Plantlet hasil kultur in vitro berkandungan antosianin yang tinggi yang
digunakan sebagai bahan tanam pada percobaan di lapang selama masa pertumbuhan
4 bulan, menghasilkan pertumbuhan dan kandungan flavonoid yang lebih tinggi
dibanding bahan tanam asal setek pucuk. Dengan demikian maka plantlet
berkandungan antosianin yang tinggi hasil studi in vitro adalah bahan tanam terbaik
yang ditemukan pada penelitian ini.
Pada periode pencahayaan tersebut juga terjadi perubahan mekanisme adaptasi
pertumbuhan, fisiologi dan morfo-anatomi tanaman. Pada naungan 50% selama 3
bulan dan 1 bulan cahaya 100% menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi,
jumlah daun yang berkurang, panjang dan lebar daun yang lebih tinggi, jumlah
anakan dan cabang yang lebih sedikit, bobot panen segar yang lebih tinggi, ILD dan
NLD yang lebih tinggi, RGR dan NAR yang lebih rendah, kandungan SOD yang
tinggi, klorofil a yang lebih tinggi, klorofil b yang lebih rendah, rasio klorofil a/b
lebih tinggi, bentuk dan volume kloroplas yang menyerupai kloroplas pada cahaya
100% tetapi butir pati lebih besar, serta jumlah stomata, trichoma dan ketebalan daun
yang semakin berkurang dibanding perlakuan cahaya 100% selama 4 bulan sebagai
kontrol. Pada periode pencahayaan ini, juga dihasilkan produksi total flavonoid dan
kuersetin tertinggi, sedangkan produksi antosianin tertinggi diperoleh pada naungan
25% selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100%.
Pertumbuhan dan produksi flavonoid daun dewa asal kultur in vitro pada media
tanam yang ditambahkan pupuk kandang ayam + SO4 semakin meningkat.
Peningkatan tertinggi untuk produksi total flavonoid dan antosianin diperoleh pada
pemberian pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman, sedangkan produksi
kuersetin tertinggi diperoleh pada dosis pupuk kandang ayam 50g + SO4
0.4g/tanaman. Berdasarkan hasil ini, maka pada penelitian ini juga ditemukan
komposisi media tanam terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi
flavonoid daun dewa.
144

Saran
Peningkatan produksi flavonoid daun dewa dapat dilakukan melalui penggunaan
bahan tanam asal kultur in vitro yang ditumbuhkan pada naungan 50% selama 3 bulan
dan dilanjutkan dengan cahaya 100% selama 1 bulan dengan dosis pupuk kandang
ayam 50-100g + SO4 0.4-0.8g/tanaman.
Studi tentang pola peningkatan kandungan bioaktif terutama golongan flavonoid
dapat diperdalam melalui pengukuran kadar flavonoid pada setiap akhir periode
naungan atau awal pertumbuhan tanaman pada kondisi cahaya 100%. Di samping itu
analisis dan pengukuran aktivitas enzim F3H perlu dilanjutkan pada penelitian
berikutnya.
145

DAFTAR PUSTAKA

Agusta AY, Jamal, Harapini M. 1998. Komponen minyak atsiri daun dewa (Gynura
procumbens) dan krinyu (Tithonia diversifolia). Bogor: Laporan Teknik.
Balitbang Botani, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI.

Ahn PM. 1993. Tropical soil and fertilizer use. Malaysia: Longman Group United
Kingdom Limited.

Al-Juboory KH, Skirvin RM, Williams DJ. 1998. Callus induction and adventitious
shoot regeneration of Gardenia (Gardenia jasminoides Ellis) leaf explants.
Scientia Horticulturae 72: 171-178.

Anggirasti. 2002. Induksi pembentukan akar dan umbi menggunakan B9 dan sukrosa
pada daun dewa (Gynura pseudochina (L) DC) secara in vitro (Skripsi). Bogor:
Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Arnon DI. 1949. Cooper enzymes in isolated chloroplast, polyphenol oxidase in Beta
vulgaris. Plant Physiol. 24: 1-15.

Atwell B, Kriedeman P, Turnbull C. 1999. Plant in Action; Adaptation in Nature,


Performance in Cultivation. First Ed. South Yarra: Macmillan Education
Australia PTY LTD.

Awad MA, Wagenmakers PS, Jager AD. 2001. Effects of light on flavonoid and
chlorogenic acid levels in the skin of ‘Jonagold’ apples. Scientia Horticulturae
88 : 289-298.

Babbar LI, Zak DR. 1994. Nitrogen cycling in coffee agroecosystems. Agriculture,
Ecosystems and Environment (48) : 107-113.

Badan POM, 2001. Kebijakan pengembangan obat alam/herbal medicine Indonesia.


Jakarta: Badan POM.

Badan POM. 2004. Monografi ekstrak tumbuhan obat Indonesia (Volume 1). Jakarta:
Badan POM RI.

Baharsjah JS. 1980. Pengaruh naungan pada berbagai tahap perkembangan dan
populasi tanaman terhadap pertumbuhan, hasil dan komponen hasil kedelai
(disertasi). Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Barritt BH, Drake SR, Konishi BS, Rom CR. 1997. Influence of sunlight level and
rootstock on apple fruit quality. Acta Hort. 451: 569-577.

Bjorkman O, Demmig-Adams B. 1995. Regulation of photosynthetic: light energi


capture, convertion and dissipation in leaves of higher plants. In Schuldze ED,
Caldwell MM, editors. Ecophysiology of Photosynthesis. New York: Springer.
146

Boediono A. 2003. Teknik aseptis dan upaya mencegah kontaminasi pada kultur
jaringan. dalam modul pemanfaatan teknik kultur jaringan dan histokimia.
Pelatihan Dosen Universitas/Perguruan Tinggi Bogor, 16 – 26 Juni 2003.
Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
bekerjasama dengan Proyek Peningkatan Kualitas Sumber daya manusia
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Bogor.
12 hal.

Bohm B. 1998. Introduction of flavonoids. Singapore: Harwood Academic


Publishers.

Boswell FC, Meisinger JJ, Case NL. 1997. Teknologi pemupukan dan kegunaannya
(terjemahan). Madison: Soil Science of America, 677 South Souge Road, W1
53711.

Bozzola JJ, Russell LD. 1998. Electron Microscopy (second edition). Massachusetts:
Jones and Bartlet Pub.

Buchanan BB, Gruissem W, Jones RL. 2000. Biochemistry and molecular biology of
plants. Rockville Maryland: American Society of Plants Physiologists.

Burkill IH. 1935. A Dictionary of the economic products of the Malay Peninsula.
Millbank London: Goverment of The Straits Settlements and Federated Malay
State by The Crown Agents for The Colonies.

Chitchley C. 1997. Structure and function of photosystem II. In Pessarakli M, editor.


Hand Book of Photosynthesis. New York: Marcell Dekker Inc. p 27-48.

Choung MG, Baek IY, Kang ST, Han WY, Shin DC, Moon HP, Kang KH. 2001.
Isolation and determination of anthocyanins in seed coats of black soybean
(Glycine max (L.) Merr.). J. Agric. Food Chem (49) : 5848-5851.

Crawford NM, Kahn ML, Leustek T, Long SR. 2000. Nitrogen and Sulfur. In :
Buchanan BB, Gruissem W, Jones RL. (eds). Biochemistry and molecular
biology of plants. Rockville Maryland: American Society of Plant Physiologists.
Pp. 786-849.

Dalimartha S. 2001. Atlas tumbuhan obat Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya.

Darusman LK, Rohaeti E, Sulistiyani, 2001. Kajian senyawa golongan flavonoid asal
tanaman bangle sebagai senyawa peluruh lemak melalui aktivitas lipase.
Laporan Kegiatan. Proyek Penelitian Ilmu Pengetahuan dasar Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Bogor: Pusat
Studi Biofarmaka Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.

Dashek WV, Harrison M. 2006. Plant Cell Biology. USA: Science Publishers.

Devlin RM, Witham FH. 1983. Plant physiology (4th edition). Quezon City: PWS
Publisher. Pp 577.
147

Djuwita I. 2003. Biologi kultur jaringan. dalam modul pemanfaatan teknik kultur
jaringan dan histokimia. Pelatihan Dosen Universitas/Perguruan Tinggi Bogor,
16 – 26 Juni 2003. Bogor: Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor bekerjasama dengan Proyek Peningkatan Kualitas Sumber daya
manusia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional. 17 hal.

Donanhue RL, Miller RW, Shicluna JC. 1997. An introduction to soil and plant
growth. in Faried MM. 2000. Free range poultry system; Their impact on
some soil and pasture properties (thesis). England: University of New England.

Fichtner K, Koch GW, Mooney HA. 1995. Photosynthesis, storage, and allocation. In
: Schulze ED, Caldwell MM (eds). Ecophysiology of photosynthesis. Berlin
Heidelberg New York: Springer-Verlag. pp 133-146.

Francis FJ. 1982. Analysis of anthocyanins as food color. New York: Acad Press Inc.

Frederick TA, Linch RS. 1985. Physiology of abscission. Ann. Rev. Plant. Physiol.
(6) : 216-217.

Gunawan LW. 1992. Teknik kultur jaringan tumbuhan. Bogor: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar
Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. 165 hal.

Gati E, Purnamaningsih R. 1994. Mikropropagasi daun dewa melalui kultur in vitro.


Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat. Vol. VIII : 58-61.

Gamborg OL, Phillips GC. 1995. Plant cell, tissue and organ culture (fundamental
methods). Germany: Springer-Verlag berlin Heidelberg. 358p.

Gent MPN. 1995. Canopy light interception, gas exchage and biomass in reduced
height isolines of winters wheat. Crop sci. 35: 1636-1642.

Ghulamahdi M, Aziz SA, Batubara I. 2006. Produksi senyawa bioaktif daun dewa
(Gynura pseudhocina (L.) DC) melalui studi agrobiofisik, studi keragaman,
lama pencahayaan dan optimalisasi pemupukan. Laporan Penelitian Hibah
Bersaing XIV Tahap I. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan
Masyarakat Institut Pertanian Bogor.

Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur statistik untuk penelitian pertanian (edisi
kedua). Jakarta : UI Press. 698 hal.

Gould KS, Markham KR, Smith RH, Goris JJ. 2000. Fungtional role of anthocyanins
in the leaves of Quintinia serrata A. Cunn. Journal of Experimental Botany 51:
1107-1115.

Hale MG, Orcutt DM. 1987. The physiology of plant under stress. USA: John Willey
and Sons, Inc. 206p.
148

Harborne 1996. Metode fitokimia: penuntun cara modern menganalisis tumbuhan


(terbitan kedua). Bandung: ITB.

Hartmann HT, Kester DE. 1983. Plant propagation principles and practice (fourth
edition). New Jersey USA: Prentice Hall, Inc. USA. p 549-620.

Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia Jilid III. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan. 1884 hal.

Hidayat RS. 2000. Pengamatan habitat daun dewa. Warta Tumbuhan Obat Indonesia
(6) : 14-15.

Hideg E. 1997. Free radical production in photosynthesis under stress conditions. In


Hand Book of Photosynthesis. Pessarakli, M (Eds). New York: Marcel Dekker,
Inc. p 911-929.

Hidema J, Makino A, Kurita Y, Mae T, Ohjima K. 1992. Changes in the level of


chlorophyll and light harvesting chlorophyll a/b protein of PS II in rice leaves
agent under different irradiances from full expansion throught senescence.
Plant Cell Physiol. 33 (8) : 1209-1214.

Hiratsuka S, Onodera H, Kawai Y, Kubo T, Itoh H, Wada R. 2001. ABA and sugar
effects on anthocyanin formation in grape berry Cultured in vitro. Scientia
Horticulturae (90): 121-130.

Hornok L. 1992. Cultivation and processing of medicinal plants. New York: John
Wiley and Sons. 338p.

Hosokawa K, Fukunaga Y, Fukushi E, Kawabata J. 1996. Acylated anthocyanins in


red flowers of Hyacinthus orientalis regenerated in vitro. Phytochemistry
(42)(3): 671.

Howell SH., Lall S, Che P. 2003. Cytokinins and shoot development. Plant Science
(8) 9 : 453-459.

Ismail BS, Chuah TS, Salmijah S, Khatijah HH. 2001. Role of superoxide dismutase
and peroxidase activities in paraquat resistant redflower ragleaf
(Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore). Aust. J. Agric. Res. 52 : 583-
586.

Jaakola L. 2003. Flavonoid biosynthesis in bilberry (Vaccinium myrtillus L.)


(dissertation). Finland: Department of Biology, University of Oulu. 42p.

Jackson JE. 1980. Light interception and utilization by orchard systems. Hort. Rev.
(2): 208-267.

Januwati M. 1996. Cara perbanyakan tanaman daun dewa [Gynura procumbens


(Lour) merr.]. Bogor: Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII.
24-25 Nopember. Hal 147-148.
149

Jones JB. 1998. Plant nutrition manual. Florida: CRC Press. Boca Raton. 33431.
149p.

Kalt W, Dufour D. 1997. Health functionality of blueberries. Hort Technol. 7 : 216-


221.

Katsube N, Iwashita K, Tsushida T, Yamaki K, Kobori M. 2003. Induction of


apoptosis in cancer cells by bilberry (Vaccinium myrtillus) and Anthocyanins. J
Agric Food Chem 50 : 519-525.

Kebun Taman Obat Karyasari. 1999. Materi pelatihan profesional tanaman obat
(kelas profesional). Buku 2 untuk kelas profesional tanaman obat. Karyasari:
Kebun Taman Obat. 112 hal.

Khumaida N. 2002. Studies on adaptability of soybean and upland rice to shade stress
(disertasi). Tokyo: The University of Tokyo.

Kim SH, Kim SK. 2002. Effects of auxin and cytokinins on callus induction from leaf
blade, petiole, and stem segments of in vitro grown Sheridan grape shoots. J.
Plant Biotechnology 4 (1): 17-21.

Kirchmann H, Witter. 1992. Komposition of fresh aerobic and anaerobic farm animal
dungs. in Faried MM. 2000. Free range poultry system; Their impact on some
soil and pasture properties. Thesis. England: University of New England.

Knight JA. 1999. Free radicals, antioxidant, aging and disease. Washington: AACC
Press. p 45-66.

Lamson DW, Brignall MS. 2000. Antioxidants and cancer III: quercetin. Alternative
Medicine Review 5(3): 196-208.

Lamuhuria, Sopandie D, Khumaida N, Trikoesoemaningtyas, Darusman LK, June T.


2006. Mekanisme fisiologi dan pewarisan sifat toleransi kedelai (Glycine max
(L.) Merrill) terhadap intensitas cahaya rendah. Bogor: Makalah Seminar
Sekolah Pascasarjana IPB.

Lamuhuria. 2007. Mekanisme fisiologi pewarisan sifat toleransi kedelai (Glycine max
(L.) Merrill) terhadap intensitas cahaya rendah (disertasi). Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Lawlor DW. 1987. Photosynthesis: Molecular, Physiological and Environmental


Processes 2nd. Burnt Mill, Harlow: Longman Scientific and Technical.

Lee N, Wezstein HY, Sommer HE. 1985. Effects of quantum flux density on
photosynthesis and chloroplast ultrastructure in tissue-cultured plantlets and
seedling of Liquidambar styraciflua L. towards improved acclimatization and
field survival. Plant Physiol (78): 637-641.

Lee DW, Oberbauer SF, Johnson P, Krishnapilay B, mansor M, Mohamad H, Yap


SK. 2000. Effects of irradiance and spectral quality on leaf structure and
150

function in seedlings of two Southeast Asian Hopea (Dipterocarpaceae) species.


Amr. J. Bot. 87: 447-455.

Leiwakabessy FM. 1988. Kesuburan tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.

Leiwakabessy FM, Sutandi A. 1998. Pupuk dan pemupukan. Bogor: Jurusan Tanah
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Lemmens RHMJ, Bunyapraphatsara N. 2003. Plant resources of South East Asia:


medicinal and poisonous plants 3 12 (3). Leiden: Backhuys Publishers.

Lestari T. 2005. Adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui


pendekatan analisis isozim (thesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

Levitt J. 1980. Responses of plants to environmental stresses. New York: Volume II


2nd Edition. Academic Press.

Liakoura V, Stefanou M, Manetas Y, Cholevas C, Karabourniotis G. 1997. Trichome


density and its UV-B protective potential are affected by shading and leaf
position on the canopy. Environmental and Experimental Botany (38): 223-229.

Logan BA, Demmig-Adams B, Adams WW. 1999. Acclimation of photosynthesis to


the environ ment. In Singhal GS, Renger G, Sopory SK, Irrgang KD, Govindjee,
editor. Concepts in Photobiology: Photosynthesis and Photomorphogenesis.
Boston: Kluwer Academic Publisher. p: 477-512.

Malkin R, Niyogi K. 2000. Photosynthesis. In : Buchanan BB, Gruissem W, Jones


RL. (eds). Biochemistry and molecular biology of plants. Rockville Maryland:
American Society of Plant Physiologists. Pp. 568-628.

Markham KR. 1988. Cara mengidentifikasi flavonoid. Bandung: Institut Teknologi


Bandung. 117 hal.

Marschner H. 1995. Mineral nutrition of higher plants (second edition). London:


Academic Press Limited. 861p.

Masarovicova E. 1997. Measurement of plant photosynthetic activity. In Hand Book


of Photosynthesis. Pessarakli, M (Eds). New York: Marcel Dekker, Inc., p
769-801.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan percobaan: dengan aplikasi SAS
dan minitab (Jilid I edisi kedua). Bogor: IPB Press. 282 hal.

Maxwell K, Joanne LM, Rachel ML, Howard G, Petter H. 1999. Chloroplast


acclimation in leaves Guzmania monostachia in response to high light. Plant
Physiol. 121: 89-95.
151

Miller AL. 1996. Antioxidant flavonoids: structure, function and clinical usage. Alt.
Med. Rev. 1 (2) : 103-111.

Mohr H, Schopfer P. 1995.Plant physiology. Verlag Berlin Heidelberg: Springer.

Mufa`adi A, Aziz SA, Dinarti D. 2004. Pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh
BAP dan IAA terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman daun dewa
(Gynura procumbens (Back.)) dalam kultur in vitro. Buletin Agronomi (32) (3) :
44-52.

Myers DA, Jordan DN, Vogerman TC. 1997. Inclination of sun and shade leaves
influence chloroplast light harvesting and utilization. Plant Physiol 99: 395-404.

Niaz F, Quraishi A. 2002. Effect of Growth Regulators on Regeneration Potential of


Two Sugarcane Cultivars SPF-213 and CPF-237. Pakistan Journal of Biological
Sciences 5 (10): 1081-1083

Nugroho YA, Wahjoedi B, Chozin A. 2000. Informasi penelitian farmakologi dan


fitokimia daun dewa (Gynura procumbens). Warta Tumbuhan Obat Indonesia.
6 : 20-21.

Oades JM. 1984. Soil organic matter and structural stability: mechanism and
implications for management. Plant and Soil 76 : 319-337.

Ostin A, Ilic N, Cohen JD. 1999. An in vitro systems from maize seedlings for
tryptophan-independent indole-3-acetic acid biosynthesis. Plant Physiol. 119 :
173-178.

Polagruto JA, Schramm DD, Polagruto JFW, Lee L, Keen CL. 2003. Effect of
flavonoid-rich beverages on prostacyclin synthesis in humans and human aortic
endothelial cells: association with ex vivo platelet function. J Med Food 6 (4) :
301-308

Posey D, Dutfield. 1996. Traditional resources right: international instrumen for


protection and compensation for indegenous and local communities. Gland-
Switzerland-Cambridge. IUNC-The World Conservation Union.

PT. Eisai Indonesia. 1995. Indeks tumbuh-tumbuhan obat di Indonesia edisi kedua.
PT Eisai Indonesia. Hal 1732-1794.

Pujiyanto. 2004. Perbaikan tanah perkebunan kakao dengan penambahan bahan


organik dan penanaman penutup tanah (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.

Rachmawaty RY. 2004. Pengaruh naungan dan jenis pegagan (Centella asiatica L.
(Urban)) terhadap pertumbuhan, produksi dan kandungan triterpenoidnya
sebagai bahan obat (Skripsi). Bogor: Departemen Budidaya pertanian Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor.
152

Rao NSS. 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. Jakarta: UI Press.
353 hal.

Ratnaningsih I, Dyatmiko, Santa IGP. 1985. Studi pendahuluan fitokimia Gynura


procumbens Back. Purwokerto: Prosiding I Seminar Pembudidayaan Tanaman
Obat 17-18 Oktober 1985. 8 hal.

Rohmaliah E. 2003. Pengaruh pemupukan nitrogen dan pupuk kandang ayam


terhadap produksi daun tanaman daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC)
(skripsi). Bogor: Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor.

Salisbury FB and Ross CW. 1992. Plant physiology. 4th edition. Wadsworth Pub. Co.

Santoso D, Gunawan D. 1999. Ramuan tradisional untuk penyakit kulit. Jakarta:


Penebar Swadaya.

Sass JE 1951. Botanical microtechnique. Iowa: Iowa State College Press. 228 hal.

Sassenrath-Cole GF, Pearcy RW. 1994. Regulation of photosynthetic induction state


by the magnitude and duration of low light exposure. Plant Physiol. 105: 1115-
1123.

Seemen J. 1979. Green house climate. In: Seemen J, Chrcov YI, Lamos J, Primaoult
B (eds). Agrometeorology. New York: Springer Verlag.

Simanjuntak P. 1998. Fraksionasi ekstrak air daun dewa. Warta AKAB No. 10.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pusat Pembinaan Pelatihan
Keterampilan dan Kejuruan. Bogor: Akademi Kimia Analisis. Hal 1-7.

Siregar HM, Utami NW. 2002. Usaha untuk meningkatkan produktivitas umbi daun
dewa (Gynura pseudochina (L) DC). Prosiding Simposium Nasional II
Tumbuhan Obat dan Aromatik. Bogor: Balitbang Botani, Puslitbang Biologi-
LIPI.

Sitompul M, Guritno B. 1995. Analisis pertumbuhan tanaman. Cetakan Pertama.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 412 hal.

Slooten L, Capiau K, Camp WV, Montagu MV, Sybesma C, Inze D. 1995. Factors
affecting the enhancement of oxidative stress tolerance in transgenik tobacco
overexpressing manganese superoxide dismutase in the chloroplasts. Plant
Physiol. 107 : 737-750.

Smith RH. 2000. Plant tissue culture : Techniques and Experiments (second edition).
San Diego California: Academic Press. 231p.

Smith MAL, Marley KA, Seigler D, Singletary KW, Meline B. 2000. Bioactive
properties of wild blueberry fruits. J Food Sci. 65 : 352-356.
153

Soetarno S, Suganda AG, Sugihartina G, Sukrasno. 2000. Flavonoid dan asam-asam


fenolat dari daun dewa (Gynura procumbens). Warta Tumbuhan Obat
Indonesia. 6 : 6-7.

Soepardi G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor. 591 hal.

Sopandie D. 2006. Perspektif fisiologi dalam pengembangan tanaman pangan di


lahan marginal. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman. Bogor:
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Sopandie D, Chozin MA, Sastrosumarjo S, Juhaeti T, Sahardi. 2003a. Toleransi padi


gogo terhadap naungan. Hayati (10) 2 : 71-75.

Sopandie D, Chozin MA, Tjitrosemito S, Sahardi. 2003b. Keefektifan uji cepat ruang
gelap untuk seleksi ketenggangan terhadap naungan pada padi gogo. Hayati
(10) 3 : 91-95.

Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Sulistyono E, Heryani N. 2002. Pengembangan


kedelai sebagai tanaman sela: Fisiologi dan pemuliaan untuk toleransi terhadap
naungan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Depdiknas.

Suharmiati, Maryani H. 2003. Khasiat dan manfaat daun dewa dan sambung nyawa.
Jakarta: Agromedia Pustaka. 49 hal.

Sulianti SB. 1999. Pengaruh berbagai media tanam terhadap pertumbuhan vegetatif
serta produksi umbi pada Gynura pseudochina (L) DC. Laporan Teknik
Balitbang Botani. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI.

Sutanto R. 2002. Pertanian organik: menuju pertanian alternatif dan berkelanjutan.


Yogyakarta: Kanisius. Hal 19-31.

Syamsuhidayat SS, Hutapea JR. 1991. Inventaris tanaman obat Indonesia. Jilid I.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. 616 hal.

Syukur C, Hermani. 2001. Budidaya tanaman obat komersil. Jakarta: Penebar


Swadaya.

Taiz L, Zeiger E. 1991. Plant physiology. California: The Benyamin/Cummings Pub.


Co., Inc. 559p.

Tanaka AH, Ito H, Tanaka R, Tanaka N, Yoshida K, Okada K. 1998. Chlorophyll a


oxygenase (CAO) is involved in chlorophyll b formation from chlorophyll a.
Proc. Natl. Acad Sci. USA 95: 12719-12723.

Thomas TD, Sreejesh KR. 2004. Callus induction and plant regeneration from
cotyledonary explants of Ash Gourd (Beninsaca hispida L). Scientia
Horticulturae 100: 359-367.
154

Tisdale SL, Nelson WL. 1985. Soil fertility and fertilizer. 3th edition. New York: Mc
Millan Publishing co. Inc. 236p.

Tyas KN. 2006. Adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui efisiensi
penangkapan cahaya (thesis). Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.

Urnemi,Yahya S dan Darusman LK. 2002. Pengaruh pupuk fosfor dan pupuk herbal
pada tiga taraf naungan terhadap pertumbuhan dan kadar metabolit sekunder
tanaman daun jinten (Coleus ambonicus Lour). Forum Pascasarjana (25)(2):
135-145.

Vagujfalvi D. 1992. Active subtances of medicinal plants. In Cultivation and


Processing of Medicinal Plants. Hornok, L. (Eds). New York: John Wiley and
Sons. p 19-42.

Vickery ML, Vickery B. 1981. Secondary plant metabolism. London and


Basingstoke: The Macmillan Press Ltd. 335 p.

Voet D, Voet JG, Pratt CW. 1999. Fundamentals of Biochemistry. New York: John
Willey & Sons, Inc.

Wanohadi E, Palupi S. 2000. Perbandingan mikroskopik dan makroskopik serbuk


daun dewa (Gynura procumbens Var. Macrophylla) dengan sambung nyawa
(Gynura procumbens (Lour) Merr.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia. 6 : 4-5.

Wattimena GA. 1987. Zat pengatur tumbuh tanaman. Bogor: Pusat Antar
Universitas Bioteknologi Tanaman Institut Pertanian Bogor.

Wattimena GA, Gunawan LW, Ernawati A, Purwito A, McCown BH, Joyce PJ. 1995.
In vitro microtubers as an alternative technology for potato production. Final
Report PSTC Project No. 6.0509. Department of Agronomi Faculty of
Agriculture Bogor Agricultural University and Department of Horticulture
University of Wisconsin, Madison, USA.

Whitehead DC. 2000. Nutrient elements in grassland: soil-plant-Animal relationship.


Cambridge: CAB Publishing.

Woodall GS, Stewart GR. 1998. Do anthocyanin play a role in UV protection of the
red juvenile leaves of sizygium ? Journal of Experimental Botany 49: 1447-
1450.

Yochum L, Kushi LH, Meyer K, Folsom AR. 2000. Dietary flavonoid intake and risk
of cardiovascular disease in postmenopausal women. Am J Epidemiol. 151 (6) :
634-5.

Yu Q, Osborne LD, Rengel Z. 1999. Increased tolerance to Mn deficiency in


transgenic tobacco overproducing superoxide dismutase. Annuals of Botany
(84) : 543-547.
155

Zaini R. 2006. Isolasi komponen bioaktif flavonoid dari tanaman daun dewa (Gynura
pseudochina (Lour) DC (thesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.

Zhang Y, Vareed SK, Nair MG. 2005. Human tumor cell growth inhibition by
nontoxic anthocyanidins, the pigments in fruits and vegetables. Life Science
(76) : 1465-1472.
156

Lampiran 1. Denah percobaan “ multiplikasi tunas secara in vitro”

8 2 5 4 10 7 9 3 6 1
B0I2 B2I0 B1I0 B3I2 B3I1 B2I1 B1I2 B0I0 B1I2 B0I0

B3I2 B1I0 B1I2 B1I1 B0I2 B0I0 B3I0 B0I1 B2I2 B3I0

B0I0 B1I2 B1I1 B3I0 B1I0 B3I1 B2I1 B1I2 B0I0 B0I1

B2I0 B2I2 B3I2 B2I2 B1I2 B1I1 B0I1 B3I2 B1I0 B2I1

B1I0 B0I2 B3I1 B0I1 B3I2 B0I2 B0I0 B3I0 B0I1 B2I2

B2I1 B0I0 B2I0 B3I1 B2I2 B2I0 B3I2 B2I2 B2I0 B1I2

B3I0 B3I2 B3I0 B0I0 B2I1 B1I0 B3I1 B1I0 B3I2 B0I2

B2I2 B2I1 B0I2 B2I0 B1I1 B0I1 B2I2 B2I1 B3I1 B1I0

B1I2 B1I1 B2I2 B2I1 B2I0 B1I2 B1I0 B2I0 B3I0 B1I1

B1I1 B0I1 B0I0 B1I2 B0I1 B3I0 B1I1 B3I1 B2I1 B3I2

B0I1 B3I1 B2I1 B0I2 B3I0 B3I2 B0I2 B1I1 B0I2 B3I1

B3I1 B3I0 B0I1 B1I0 B0I0 B2I2 B2I0 B0I2 B1I1 B2I0

Keterangan :
B0 = tanpa BAP, B1 = BAP 1 ppm, B2 = BAP 2 ppm, B3 = BAP 3 ppm
I0 = tanpa IAA, I1 = IAA 0.5 ppm, I2 = IAA 1 ppm
- Setiap kombinasi perlakuan terdapat 1 botol kultur dan 1 eksplan per botol kultur
- 1, 2, 3...........10 = ulangan
157

Lampiran 2. Denah percobaan “ induksi akar dan antosianin secara in vitro”

1 7 4 8 5 3 10 2 9 6
I1S3 I1S2 I2S4 I2S2 I0S3 I0S1 I2S1 I0S3 I2S1 I1S3

I1S2 I0S2 I2S3 I1S3 I0S4 I1S3 I2S4 I2S1 I0S4 I1S2

I0S1 I2S2 I1S2 I0S3 I2S2 I0S2 I1S1 I0S1 I1S4 I0S3

I0S2 I0S1 I0S4 I1S1 I2S4 I2S3 I1S4 I0S2 I2S3 I2S4

I0S4 I2S3 I1S4 I2S3 I1S3 I0S3 I1S2 I1S1 I1S2 I2S1

I2S4 I2S1 I0S2 I2S1 I0S1 I0S4 I2S2 I1S3 I2S2 I1S4

I1S1 I0S3 I0S1 I0S4 I1S2 I1S4 I0S3 I2S4 I0S1 I0S1

I1S4 I1S1 I2S2 I2S4 I0S2 I1S2 I2S3 I1S2 I0S3 I2S3

I2S3 I0S4 I1S3 I0S1 I1S1 I2S2 I0S4 I1S4 I0S2 I0S2

I2S2 I1S4 I1S1 I1S2 I2S3 I2S1 I0S1 I2S2 I1S3 I0S4

I0S3 I1S3 I2S1 I0S2 I1S4 I1S1 I0S2 I2S3 I2S4 I1S1

I2S1 I2S4 I0S3 I1S4 I2S1 I2S4 I1S3 I0S4 I1S1 I2S2

Keterangan :
I0 = tanpa IAA, I1 = IAA 0.5 ppm, I2 = IAA 1 ppm
S1 = sukrosa 30 g/l, S2 = sukrosa 40 g/l, S3 = sukrosa 50 g/l, S4 = sukrosa 60 g/l
- Setiap kombinasi perlakuan terdapat 1 botol kultur dan 1 eksplan per botol kultur
- 1, 2, 3...........10 = ulangan
158

Lampiran 3. Denah percobaan “ pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan


tanam terhadap pertumbuhan dan kandungan flavonoid”

I III II

N5V1 N5V2 N2V1 N2V2 N0V2 N0V1

N4V1 N4V2 N0V1 N0V2 N7V1 N7V2

N0V2 N0V1 N6V1 N6V2 N3V2 N3V1

N7V2 N7V1 N4V2 N4V1 N5V2 N5V1

N1V2 N1V1 N8V2 N8V1 N1V1 N1V2

N6V2 N6V1 N1V1 N1V2 N8V1 N8V2

N3V2 N3V1 N5V1 N5V2 N4V2 N4V1

N8V1 N8V2 N3V2 N3V1 N6V2 N6V1

N2V1 N2V2 N7V2 N7V1 N2V1 N2V2

Keterangan :
N0 = tanpa naungan
N1 = naunagn 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100%
N2 = naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100%
N3 = naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100%
N4 = naungan 25 % 4 bulan
N5 = naunagn 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100%
N6 = naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100%
N7 = naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100%
N8 = naungan 50 % 4 bulan
V1 = bahan tanam in vitro
V2 = bahan tanam setek pucuk
- Jarak antar ulangan 200 cm
- Jarak antar perlakuan 150 cm
- Jarak antar satuan percobaan 20 cm
- Setiap perlakuan terdapat 10 satuan percobaan (10 polybag tanaman)
- I, II, III = ulangan
159

Lampiran 4. Denah percobaan “ pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan


terhadap produksi flavonoid”

II III I

N5P0 N5P1 N5P2 N4P1 N4P0 N4P2 N0P2 N0P1 N0P0

N1P0 N1P1 N1P2 N0P1 N0P2 N0P0 N6P0 N6P2 N6P1

N0P0 N0P2 N0P1 N5P1 N5P0 N5P2 N1P1 N1P0 N1P2

N7P1 N7P0 N7P2 N1P1 N1P2 N1P0 N8P2 N8P1 N8P0

N4P1 N4P0 N4P2 N7P1 N7P2 N7P0 N4P1 N4P0 N4P2

N6P0 N6P2 N6P1 N3P2 N3P0 N3P1 N5P1 N5P2 N5P0

N2P0 N2P2 N2P1 N6P2 N6P0 N6P1 N2P0 N2P2 N2P1

N8P0 N8P2 N8P1 N2P2 N2P1 N2P0 N7P2 N7P0 N7P1

N3P0 N3P2 N3P1 N8P2 N8P1 N8P0 N3P2 N3P0 N3P1

Keterangan :
N0 = tanpa naungan
N1 = naunagn 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100%
N2 = naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100%
N3 = naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100%
N4 = naungan 25 % 4 bulan
N5 = naunagn 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100%
N6 = naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100%
N7 = naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100%
N8 = naungan 50 % 4 bulan
V1 = bahan tanam in vitro
V2 = bahan tanam setek pucuk
- Jarak antar ulangan 200 cm
- Jarak antar perlakuan 150 cm
- Jarak antar satuan percobaan 20 cm
- Setiap perlakuan terdapat 10 satuan percobaan (10 polybag tanaman)
- I, II, III = ulangan
160

Lampiran 5. Komposisi media MS yang digunakan pada kultur in vitro

Bahan Kimia Konsentrasi (mg/l)


NH4NO3 1650
KNO3 1900
CaCl2.2H2O 440
MgSO4.7H2O 370
KH2PO4 170
FeSO4.7H2O 27.8
Na2EDTA 37.3
MnSO4.4H2O 22.3
ZnSO4.7H2O 8.6
H3BO3 6.2
KI 0.83
Na2MoO4 0.25
CuSO4.5H2O 0.025
CoCl2.6H2O 0.025
Myo-inositol 100
Niacin 0.5
Pyridoxine-HCl 0.5
Thiamine-HCl 0.1
Glycine 2.0
Sucrose 30 gram

Lampiran 6. Hasil analisis kesuburan tanah pada lokasi penelitian tahap IV

Komponen Analisis Hasil Analisis


pH tanah
a. H2O 4.50
b. KCl 3.60
C organik (%) 1.63
N total (%) 0.12
P (ppm) Bray-1 4.90
K (me/100g) 0.26
Mg (me/100g) 1.01
Al (me/100g) 2.27
H (me/100g) 0.63
SO4 (ppm) 1,646.20
KTK (me/100g) 10.88
Keterangan : Analisis kesuburan tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB
161

Lampiran 7. Hasil analisis kandungan hara pada pupuk kandang ayam


untuk penelitian tahap IV

Komponen Analisis Hasil Analisis


C (%) 18.94
N (%) 1.26
P (%) 1.10
K (%) 0.33
Mg (%) 0.33
S (ppm) 120.40
pH 5.40
Keterangan : Analisis kandungan hara pada pupuk kandang ayam dilakukan di
Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian IPB

Lampiran 8. Hasil uji fitokimia daun dewa pada umur 16 MST.

Periode Pencahayaan Sumber Bahan Flavonoid Saponin Tanin Steroid


Tanam
Cahaya 100% 4 bulan In vitro + + +++ +
Setek pucuk + ++ ++ +
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% In vitro + ++ ++ +
Setek pucuk + ++ + +
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% In vitro + ++ ++ +
Setek pucuk + + ++ +
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% In vitro + ++ + ++
Setek pucuk + ++ ++ +
Naungan 25 % 4 bulan In vitro + +++ + +
Setek pucuk + ++ + +
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% In vitro + +++ + +
Setek pucuk + ++ ++ +
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% In vitro + ++ + +
Setek pucuk + ++ +++ +
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% In vitro + +++ + +
Setek pucuk + ++ ++ +
Naungan 50 % 4 bulan In vitro + ++ + ++
Setek pucuk + +++ + ++
Keterangan : Uji fitokimia menggunakan metode Harborne (1996).
162

Lampiran 9. Rata-rata intensitas cahaya dan persen naungan pada penelitian tahap III dan IV
Tabel 1. Intensitas cahaya (x100 Lux) dan persen naungan pada areal penelitian tahap III
(periode Januari s/d April 2006)
Waktu Naungan Ulangan Januari Pebruari Maret April
Pengukuran
Pukul 10.30 0% 1 403 1332 1438 1399
2 470 1299 1389 1410
3 490 1323 1441 1389
25% 1 433A) 1285 1429 1379
B)
325 962 1069 1032
25C) 25 25 25
2 470 1238 1414 1391
348 928 1061 1043
26 25 25 25
3 543 1544 1391 1409
407 1158 1043 1071
25 25 25 24
50% 1 390 1239 1412 1415
183 582 678 679
53 53 52 52
2 514 1280 1380 1405
237 589 649 660
54 54 53 53
3 551 1418 1405 1398
248 638 646 643
55 55 54 54
Pukul 11.30 0% 1 412 1396 1479 1457
2 451 1415 1461 1465
3 443 1440 1473 1478
25 % 1 410 1375 1481 1459
307 1031 1111 1094
25 25 25 25
2 447 1439 1478 1465
331 1080 1109 1099
26 25 25 25
3 467 1458 1488 1471
350 1094 1116 1118
25 25 25 24
50 % 1 401 1414 1501 1467
189 665 721 704
53 53 52 52
2 474 1399 1490 1469
218 644 700 690
54 54 53 53
3 449 1424 1520 1478
202 641 699 680
55 55 54 54
163

Waktu Naungan Ulangan Januari Pebruari Maret April


Pengukuran
Pukul 12.30 0% 1 333 412 1529 1515
2 318 295 1533 1521
3 339 302 1498 1525
25% 1 317 390 1451 1492
238 293 1088 1119
25 25 25 25
2 326 335 1470 1511
241 251 1102 1133
26 25 25 25
3 370 232 1475 1488
277 174 1106 1131
25 25 25 24
50% 1 312 317 1481 1503
147 149 711 721
53 53 52 52
2 354 446 1515 1512
163 205 712 711
54 54 53 53
3 384 280 1511 1511
173 126 695 695
55 55 54 54
Keterangan : A) = intensitas cahaya (Lux) di atas naungan, B) = intensitas cahaya (Lux) di
bawah naungan, C) = persen naungan.
% Naungan = 100 x (1 – B )
A
164

Tabel 2. Intensitas cahaya (x100 Lux) dan persen naungan pada areal penelitian tahap IV
(periode Juli s/d Oktober 2006)
Waktu Naungan Ulangan Juli Agustus September Oktober
Pengukuran
Pukul 10.30 0% 1 1451 1466 1475 1461
2 1439 1471 1479 1455
3 1446 1459 1468 1442
A)
25% 1 1432 1462 1478 1444
1088B) 1111 1123 1112
C)
24 24 24 23
2 1456 1478 1491 1462
1092 1109 1133 1111
25 25 24 24
3 1452 1469 1490 1465
1104 1116 1147 1113
24 24 23 24
50% 1 1431 1475 1488 1455
673 693 729 698
53 53 51 52
2 1444 1462 1482 1451
664 687 697 697
54 53 53 52
3 1458 1465 1494 1449
685 674 687 681
53 54 54 53
Pukul 11.30 0% 1 1563 1579 1592 1581
2 1561 1582 1597 1579
3 1564 1580 1584 1562
25 % 1 1545 1577 1589 1579
1174 1199 1208 1216
24 24 24 23
2 1571 1591 1572 1565
1178 1193 1195 1189
25 25 24 24
3 1551 1588 1590 1569
1179 1207 1224 1192
24 24 23 24
50 % 1 1541 1577 1599 1581
724 741 784 759
53 53 51 52
2 1569 1585 1605 1578
722 745 754 757
54 53 53 52
3 1558 1587 1587 1580
732 730 730 743
53 54 54 53
165

Waktu Naungan Ulangan Juli Agustus September Oktober


Pengukuran
Pukul 12.30 0% 1 1643 1689 1710 1669
2 1666 1678 1694 1675
3 1659 1685 1701 1661
25% 1 1651 1692 1715 1682
1255 1286 1303 1295
24 24 24 23
2 1662 1695 1725 1689
1247 1271 1311 1284
25 25 24 24
3 1649 1681 1709 1685
1253 1278 1316 1281
24 24 23 24
50% 1 1663 1688 1694 1671
782 793 830 802
53 53 51 52
2 1647 1679 1699 1680
758 789 799 806
54 53 53 52
3 1657 1694 1709 1678
779 779 786 789
53 54 54 53
Keterangan : A) = intensitas cahaya (Lux) di atas naungan, B) = intensitas cahaya (Lux) di
bawah naungan, C) = persen naungan.
% Naungan = 100 x (1 – B )
A
166

Lampiran 10. Data Iklim periode penelitian lapangan tahap III dan IV

Tabel 1. Data iklim periode penelitian tahap III (bulan Desember 2005 s/d April 2006)
Komponen Iklim Rata-rata Bulanan

Desember Januari Pebruari Maret April


0
1. Suhu ( C)
a. Suhu maksimum 30.4 29.8 30.9 30.9 31.6
b. Suhu minimum 22.9 22.9 22.8 22.9 23.0
c. Jumlah suhu rata-rata 790.9 779.9 713.1 801.0 775.3
d. Suhu rata-rata 25.5 25.2 25.5 25.8 25.8

2. Curah hujan (mm)


a. Jumlah curah hujan 251.5 639.8 434.2 138.3 163.9
b. Curah hujan rata-rata 26 28 28 24 26
c. Curah hujan maksimum 57.5 136.4 66.0 24.0 66.5
d. Curah hujan minimum 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
e. Jumlah hari hujan 26 28 28 24 26

3. Penguapan
a. Jumlah penguapan 98.3 91.9 91.1 110.5 107.0
b. Penguapan rata-rata 3.3 3.3 3.6 3.6 3.7
c. Penguapan maksimum 6.3 7.2 6.6 5.6 5.5
d. Penguapan minimum 1.0 1.6 0.7 1.5 2.1

4. Intensitas cahaya (Cal/cm2)


a. Jumlah intensitas cahaya 6767.0 6910.0 7098.0 7448.0 7708.0
b. Intensitas rata-rata 218.3 222.9 253.5 240 256.9
c. Intensitas maksimum 368.0 375 386.0 400 373
d. Intensitas minimum 140.0 141 138.0 139 152

5. Kelembaban nisbih (%)


a. Kelembaban rata-rata 86 89 89 84 84
b. Kelembaban maksimum 94 97 97 93 93
c. Kelembaban minimum 77 78 81 76 74

6. Kecepatan angin (km/jam)


a. Ketinggian 0.5 m 0.9 1.0 1.02 1.31 1.2
b. Ketinggian 2 m 1.5 1.5 1.6 2.11 2.0
c. Ketinggian 10 m 2.6 2.6 2.4 3.13 2.9
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor
167

Tabel 2. Data iklim periode penelitian tahap IV (bulan Juli s/d Nopember 2006)

Komponen Iklim Rata-rata Bulanan

Juli Agustus September Oktober Nopember


1. Suhu (0C)
a. Suhu maksimum 32.0 32.0 33.6 34.1 33.0
b. Suhu minimum 22.2 20.6 20.8 22.1 22.8
c. Jumlah suhu rata-rata 807.7 782.5 776.0 826.6 792.3
d. Suhu rata-rata 26.1 25.2 25.9 26.7 26.4

2. Curah hujan (mm)


a. Jumlah curah hujan 31.2 191.2 25.7 152.0 355.1
b. Curah hujan rata-rata 8 9 8 10 25
c. Curah hujan maksimum 7.6 73.8 23.0 44.3 81.5
d. Curah hujan minimum 0.5 0.1 0.0 0.1 0.0
e. Jumlah hari hujan 9 9 8 10 25

3. Penguapan
a. Jumlah penguapan 114.6 126.9 155.1 173.7 132.1
b. Penguapan rata-rata 3.7 4.4 5.2 5.6 4.7
c. Penguapan maksimum 4.7 5.8 6.7 9.3 6.8
d. Penguapan minimum 2.7 3.0 3.6 3.2 2.7

4. Intensitas cahaya (Cal/cm2)


a. Jumlah intensitas cahaya 8434.0 9817.0 10652.0 11049.0 9440.0
b. Intensitas rata-rata 272.1 316.7 355.1 356.4 314.7
c. Intensitas maksimum 344.0 367.0 425.0 453.0 405.0
d. Intensitas minimum 190.0 256.0 284.0 243.0 149.0

5. Kelembaban nisbih (%)


a. Kelembaban rata-rata 79 76 72 74 83
b. Kelembaban maksimum 85 84 81 85 91
c. Kelembaban minimum 72 65 65 59 74

6. Kecepatan angin (km/jam)


a. Ketinggian 0.5 m 0.83 1.1 1.31 1.4 1.08
b. Ketinggian 2 m 1.6 1.9 2.2 2.2 1.9
c. Ketinggian 10 m 2.2 2.5 2.8 2.8 2.5
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor
168

Lampiran 11. Rekapitulasi hasil sidik ragam penelitian tahap I

Pengamatan BAP IAA Interaksi Koefisien Keragaman


(%)
1. Warna Daun
1 MST tn tn tn 25.17
2 MST * tn tn 26.8
3 MST * tn tn 23.29
4 MST * tn tn 23.29
5 MST * tn tn 23.44
2. Jumlah Tunas
1 MST ** ** * 23.6
2 MST ** tn tn 24.34
3 MST ** tn ** 15.06
4 MST ** tn * 10.25
5 MST ** * ** 6.73
2. Jumlah Daun
1 MST ** tn tn 29.53
2 MST ** * tn 18.16
3 MST ** ** ** 8.95
4 MST ** ** ** 7.17
5 MST ** ** ** 6.01
3. Tinggi Tunas
1 MST * ** ** 13.66
2 MST ** ** ** 7.39
3 MST ** ** ** 5.76
4 MST ** tn ** 5.19
5 MST ** * ** 6.12
4. Jumlah Akar
1 MSTa) ** tn ** 30.23
2 MSTa) ** tn tn 23.29
3 MSTa) ** tn tn 21.92
4 MSTa) ** tn tn 22.7
5 MSTa) ** tn tn 25.48
5. Diameter Kalus
5 MSTa) ** tn tn 8.78
6. Jumlah Plantlet ** tn tn 31.17
5 MST

Keterangan : a) : Data ditransformasi ke √ (x+0.5)


* : Berpengaruh nyata pada taraf 5 %
** : Berpengaruh nyata pada taraf 1 %
tn : Tidak nyata
MST : Minggu Setelah Tanam
169

Lampiran 12. Rekapitulasi hasil sidik ragam penelitian tahap II

Pengamatan IAA Sukrosa Interaksi Koefisien


Keragaman (%)
1. Jumlah Tunas
1 MST tn tn * 33.45
2 MST * ** tn 21.98
3 MST tn ** * 18.71
4 MST ** ** ** 13.42
5 MST ** ** ** 12.08
6 MST ** ** ** 10.96
7 MST ** ** ** 9.44
8 MST ** ** ** 8.99

2. Jumlah Daun
1 MST tn tn ** 34.90
2 MST ** ** ** 18.73
3 MST ** ** ** 9.60
4 MST ** ** ** 8.10
5 MST ** ** ** 7.33
6 MST ** ** ** 6.00
7 MST ** ** ** 5.53
8 MST ** ** ** 4.85

3. Jumlah Akar
1 MST tn tn * 60.30
2 MST tn ** tn 51.18
3 MST * ** * 35.76
4 MST * ** tn 27.11
5 MST ** ** ** 19.31
6 MST ** ** ** 17.63
7 MST ** ** ** 17.80
8 MST ** ** ** 16.01

4. Tinggi Tunas 8 MST tn ** ** 24.07


5. Diameter Kalus 8 MST ** ** ** 17.59
6. Panjang Akar 8 MST ** ** ** 41.27
7. Jumlah Plantlet 8 MST tn ** tn 78.03
8. Kadar Antosianin 8 MST tn ** tn 30.42
9. Total Biomasa Plantlet 8 MST tn ** tn 31.19

Keterangan : * : Berpengaruh nyata pada taraf 5 %


** : Berpengaruh nyata pada taraf 1 %
tn : Tidak nyata
MST : Minggu Setelah Tanam
170

Lampiran 13. Rekapitulasi hasil sidik ragam penelitian tahap III

Pengamatan Periode Sumber Interaksi Koefisien


Pencahayaan bahan tanam keragaman (%)
Tinggi tanaman 16 MST ** tn * 8.99
Jumlah daun 16 MST ** ** ** 5.23
Indeks kehijauan daun :
2 MST ** tn tn 12.26
4 MST ** ** * 9.62
6 MST ** ** tn 6.70
8 MST ** ** tn 4.69
10 MST ** ** tn 4.42
12 MST ** tn tn 4.58
14 MST ** * tn 3.39
16 MST ** * tn 3.10
Panjang daun 16 MST ** tn ** 8.74
Lebar daun 16 MST ** tn ** 9.75
Jumlah anakan 16 MST ** ** ** 9.27
Jumlah cabang 16 MST ** ** ** 17.91
ILD :
0 MST ** ** ** 11.33
4 MST ** tn ** 6.67
8 MST ** ** ** 7.27
12 MST ** ** tn 6.32
16 MST ** ** tn 7.14
RGR :
0-4 MST ** tn ** 12.62
4-8 MST ** ** ** 9.58
8-12 MST ** ** ** 22.90
12-16 MST * ** tn 49.65
LAR :
0 MST ** tn * 15.80
4 MST ** ** ** 10.64
8 MST ** ** ** 11.63
12 MST * * ** 7.42
16 MST * tn tn 60.31
NAR :
0-4 MST ** * ** 19.97
4-8 MST ** ** ** 14.09
8-12 MST ** ** ** 19.89
12-16 MST * ** tn 77.94
171

Lanjutan Lampiran 13.

Pengamatan Periode Sumber Interaksi Koefisien


Pencahayaan bahan tanam keragaman (%)
Bobot Brangkasan * ** tn 25.78
Bobot Basah Umbi tn ** tn 41.61
Bobot Basah Tajuk * ** tn 26.29
Jumlah stomata ** ** tn 8.48
Jumlah trichoma ** tn tn 12.12
Tebal daun ** ** ** 7.94
Antosianin ** ** ** 11.59
SOD ** ** ** 4.98
Klorofil a tn tn tn 23.47
Klorofil b tn tn tn 20.16
Rasio a/b tn tn tn 11.12
Total klorofil tn tn tn 21.45
Keterangan : * : Berpengaruh nyata pada taraf 5 %
** : Berpengaruh nyata pada taraf 1 %
tn : Tidak nyata
MST : Minggu Setelah Tanam
172

Lampiran 14. Rekapitulasi hasil sidik ragam penelitian tahap IV

Pengamatan Periode Pemupukan Interaksi Koefisien


Pencahayaan keragaman (%)
Tinggi tanaman 16 MST ** ** tn 12.52
Jumlah daun 16 MST ** ** tn 20.98
Indeks kehijauan daun :
2 MST ** ** ** 4.85
4 MST ** ** * 4.24
6 MST ** ** * 3.88
8 MST ** ** * 3.79
10 MST ** ** tn 4.13
12 MST * ** tn 5.10
14 MST * * tn 6.81
16 MST tn * tn 9.29
Panjang daun 16 MST ** ** tn 7.84
Lebar daun 16 MST ** ** tn 6.55
Jumlah anakan 16 MST ** ** tn 20.25
Jumlah cabang 16 MST ** ** tn 37.5
ILD :
0 MST tn tn tn 6.46
4 MST ** ** ** 26.01
8 MST ** ** ** 21.15
12 MST ** ** ** 18.29
16 MST ** ** ** 13.34
RGR :
0-4 MST ** ** * 6.93
4-8 MST ** ** tn 17.61
8-12 MST tn * tn 60.77
12-16 MST tn ** * 52.9
LAR :
0 MST tn tn tn 12.20
4 MST ** ** ** 26.49
8 MST ** ** ** 32.70
12 MST ** ** ** 26.44
16 MST ** ** tn 25.64
NAR :
0-4 MST ** ** * 16.42
4-8 MST ** tn tn 37.29
8-12 MST * ** tn 58.61
12-16 MST tn ** tn 69.54
173

Lanjutan Lampiran 14.

Pengamatan Periode Pemupukan Interaksi Koefisien


Pencahayaan keragaman
(%)
Bobot Brangkasan * ** tn 28.3
Bobot Basah Umbi ** ** tn 33.7
Bobot Basah Tajuk tn ** tn 33.17
Antosianin * tn tn 26.93
Klorofil a tn tn tn 38.19
Klorofil b tn tn tn 60.65
Rasio a/b * tn tn 43.89
Total klorofil tn tn tn 40.67
Keterangan : * : Berpengaruh nyata pada taraf 5 %
** : Berpengaruh nyata pada taraf 1 %
tn : Tidak nyata
MST : Minggu Setelah Tanam
174

Lampiran 15. Skema kerja pada multiplikasi tunas di laboratorium bioteknologi


tanaman.

Persiapan Tanaman Induk (Perbanyakan Tunas Lateral)

Penyiapan Eksplan (1-2 buku dari tunas lateral)

Sterilisasi Eksplan :

Di luar Laminar : Di dalam Laminar :


- Cuci dengan detergen - Rendam alkohol 70% 30 detik
- Rendam air mengalir 1 jam - Rendam clorox 10% 10 menit
- Masukan ke petridis - Rendam clorox 5% 20 menit
- Rendam clorox 1%

Penanaman eksplan ke media MS-0

Penanaman eksplan ke media scaling up (MS-0 + BAP 0.5 ppm + IAA 1 ppm)

Penanaman eksplan ke media perlakuan

Pengamatan
175

Lampiran 16. Skema kerja pada induksi perakaran dan antosianin


di laboratorium bioteknologi tanaman.

Persiapan Tanaman Induk (Perbanyakan Tunas Lateral)

Penyiapan Eksplan (1-2 buku dari tunas lateral)

Sterilisasi Eksplan :

Di luar Laminar : Di dalam Laminar :


- Cuci dengan detergen - Rendam alkohol 70% 30 detik
- Rendam air mengalir 1 jam - Rendam clorox 10% 10 menit
- Masukan ke petridis - Rendam clorox 5% 20 menit
- Rendam clorox 1%

Penanaman eksplan ke media MS-0

Penanaman eksplan ke media scaling up (MS-0 + BAP 0.5 ppm + IAA 1 ppm)

Penanaman eksplan ke media induksi akar


dan antosianin (IAA 0, 0.5 dan 1 ppm + sukrosa 30, 40, 50 dan 60 g/l)

Pengamatan dan aklimatisasi


176

Lampiran 17. Metode analisis klorofil a dan b (Arnon 1949).

Daun segar sampel dihaluskan


+ 2 ml Aseton 80 %

Sentrifuge

Ulangi ekstraksi
sampai tidak terbentuk warna

tera 10 ml

Spektrofotometer pada λ 645 nm dan λ 663 nm

% Klorofil a (mg/mg) = {(12.7 x A663)-(2.69 x A645)} x fk x 100 %


bobot contoh (mg)

% Klorofil b (mg/mg) = {(22.9 x A645)-(4.68 x A663)} x fk x 100 %


bobot contoh (mg)

fk = 10 ml x 1 liter
1000 ml
177

Lampiran 18. Metode analisis enzim superoxide dismutase (SOD)


(Knight 1999).

RCH2OH + NAD+ RCHO + NADH + H+

Assay :
Kecepatan reaksi didasarkan pada metode Valle dan Hoch yang diukur pada
panjang gelombang 340 nm. Satu unit mereduksi satu µmol NAD per menit pada
temperatur 250C.

Pereaksi:
1. Sodium Pyrophospate buffer pH 9.2 (0.1 M)
2. 2 M Ethanol
3. 0.025 M NAD
4. 0.1 M Phosphate buffer pH 7.5
5. 0.1 % Albumin (BSA)
6. Standard Enzyme 0.25 unit/ml

Alat :
1. Spektrofotometer U 2001 (UV/VIS) Hitachi diukur pada panjang gelombang
340 nm dan 250C
2. Cuvett sampel

Cara kerja :
1. 1 gram contoh diekstrak dengan (0.1 M Buffer Phosphate dalam 2.0 M
Ethanol dalam batu es)
2. Contoh disaring dengan menggunakan kertas saring 0.45 µ
3. Ditambahkan 1.0 µmol NAD
4. Setiap tahap analisa harus dilakukan di atas batu es
5. Inkubasi selama 3-4 menit pada 250C
6. Baca absorbansi pada panjang gelombang 340 nm
7. Untuk blanko, ambil 0.1 ml enzyme dimasukkan ke dalam kuvet, baca
absorbansi pada 340 nm selama 3-4 menit dengan konsentrasi enzyme 0.01,
0.02, 0.08 dan 0.01 µmol

Perhitungan : µmol contoh = Abs sampel x 0.01 µmol


Abs standar

Standar SOD (445 nm)


µmol Abs
0 0.00
0.01 0.099
0.02 0.199
0.04 0.402
0.08 0.812
0.10 0.995
178

Lampiran 19. Metode preparasi dan pengamatan jumlah stomata dan trichoma.

Daun dicuci dengan air bersih

Fiksasi dengan larutan FAA (5 : 5 : 9)

Daun dibilas dengan air bersih

Daun dipotong-potong ukuran 0.5 cm

Daun direndam dengan HCl 40 % selama 24 jam


(sampai daun membelah sendiri)

Daun dibelah dan direndam dengan larutan pewarna sapranin

Masukan sampel ke objek gelas

Pengamatan di mikroskop trinokuler dengan


pembesaran 10 x 40 untuk stomata dan 10 x 10 untuk trichoma

Penghitungan dilakukan pada jumlah stomata dan trichoma yang terdapat dalam
kotak ukuran di mikroskop, panjang = 91 grid dan lebar = 60 grid. Untuk
pembesaran 10 x 10, 1 grid = 0.97 x 0.01 mm dan pada pembesaran 10 x 40, 1 grid
= 0.24 x 0.01 mm
179

Lampiran 20. Metode preparasi dan pengamatan struktur dan tebal daun (Sass 1951).

Pengamatan preparat daun tanaman daun dewa dilakukan di bawah mikroskop


fotonik merk Carton. Tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Fiksasi daun dengan larutan FAA


Fiksasi dilakukan dengan merendam daun selama 12-24 jam dalam larutan
FAA.

2. Dehidrasi
Organ daun dicelupkan ke dalam alkohol dengan lama waktu pencelupan
sebagai berikut :
alkohol 40 % : 3 x 5 menit
alkohol 60 % : 3 x 5 menit
alkohol 80 % : 3 x 5 menit
alkohol 95 % : 3 x 5 menit
alkohol 100% : 3 x 5 menit

3. Praparafinasi
Organ daun dicelupkan ke dalam larutan alkohol-xylol dengan perbandingan
dan lama waktu pencelupan sebagai berikut :
alkohol : xylol waktu
4 : 0 (3 x 5 menit)
3 : 1 (3 x 5 menit)
2 : 2 (3 x 5 menit)
1 : 3 (3 x 5 menit)
0 : 4 (3 x 5 menit)

4. Parafinasi
Tahapan parafinasi dilakukan dengan mencelupkan organ daun ke dalam
campuran xylol-parafin cair dengan perbandingan dan lama waktu pencelupan
sebagai berikut :
xyloll : parafin cair waktu
4 : 0 (3 x 5 menit)
3 : 1 (3 x 5 menit)
2 : 2 (3 x 5 menit)
1 : 3 (3 x 5 menit)
0 : 4 (3 x 5 menit)
Kemudian organ daun dicelupkan ke dalam parafin murni selama 24 jam

5. Blocking (pencetakan)
Organ daun dimasukkan ke dalam parafin padat yang dicairkan sesuai dengan
arah sayatan (melintang/memanjang) dan dicetak dalam bentuk balok

6. Pemotongan
Proses pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom. Balok parafin
yang berisi organ daun dipotong dengan tebal pemotongan 5 mikron. Permukaan
180

yang mengkilap diletakkan menempel di permukaan objek gelas yang telah diolesi
albumin yang berfungsi sebagai perekat.

7. Pewarnaan
Sebelum dilakukan pewarnaan, objek gelas yang mengandung material
histologis dimasukkan ke dalam oven dengan posisi miring untuk menghilangkan
parafinnya. Selanjutnya baru dilakukan tahapan pewarnaan. Proses pewarnaan
dilakukan dengan cara merendam preparat ke dalam pelarut dan zat warna berturut-
turut sebagai berikut :

Xylol I

Xylol II diberi entelan dan tutup dengan cover gelas

Alkohol : xylol Xylol I

Alkohol 100% Xylol II

Alkohol 95% Alkohol 100%

Alkohol 70% Alkohol 95%

Alkohol 50% Alkohol 70%

Alkohol 30% Alkohol 50%

Aquades Alkohol 30%

Safranin Aquadestilata

Aquadestilata TBO

Perendaman masing-masing dilakukan selama 5 menit kecuali pada bahan pewarna


selama 30 menit. Pelarut bahan pewarna Safranin dan TBO adalah air. Larutan
TBO diatur hingga pH 4.4 dengan asam asetat 0.1 M.
Pengamatan dilakukan di mikroskop dengan pembesaran 10 x 10. Pengukuran
tebal daun dilakukan di mikroskop dengan menggunakan mikron meter. Ukuran
dalam mikron meter untuk 1 grid = 0.97 x 0.01 mm (mm = milimikron).
181

Lampiran 21. Metode uji fitokimia (Harborn 1996)

1. Alkaloid
1 gram sampel
+ beberapa tetes NH3
Haluskan
+ 5 ml CHCl3
Saring

Filtrat + H2SO4 2 M

Lapisan asam dibagi 3 bagian

1. + Dragendrof jingga
2. + Mayer putih
3. + Wagner coklat

(untuk standar digunakan daun tapak dara)

2. Fenolik Flavonoid
Filtrat
Sampel 5 gram + serbuk Mg
+ HCl pekat
Akuades + amil alkohol
Lapisan amil alkohol jingga + flavonoid
Panaskan 5 menit
Tanin
Saring Filtrat
+ 3 tetes FeCl3 10%

Filtrat Hitam kehijauan + tanin

Saponin
Filtrat

Kocok kuat

Buih stabil + saponin


182

3. Triterpenoid/steroid

Sampel 1 gram

EtOH panas

Saring

Filtrat dipanaskan hingga kering

1 ml Dietil eter

Homogenasikan
+ 1 tetes H2SO4 pekat
+ 1 tetes CH3COOH anhidrat

Hijau/Biru + steroid Merah/Ungu + triterpenoid

4. Hidro Kuinon

Sampel 1 gram

+ MeOH

Panaskan

Saring

+ 3 tetes NaOH 10%

Merah + hidro kuinon


183

Lampiran 22. Metode analisis Antosianin (Lees dan Francis 1982)

Cara kerja :

1. Sampel daun diambil yang telah terbentuk sempurna


2. Sampel daun segar ditimbang untuk mengetahui bobot segar daun
3. Sampel daun yang telah dibersihkan, dihancurkan dengan menggunakan
mortal porselen
4. Sampel daun yang telah dihancurkan dilarutkan dalam Ethanol : HCl 1 N (85
: 15 v/v) sampai campuran menjadi homogen
5. Supernatan disaring ke dalam labu takar 25 ml
6. Pengukuran absorban menggunakan spektrofotometer UV/VIS pada panjang
gelombang 535 nm

Perhitungan :

Antosianin Total (%) = D535 x fp x 1/W


98.2
Keterangan :
D535 = nilai absorban pada panjang gelombang 535 nm
fp = faktor pengenceran (25)
W = bobot segar daun sampel yang diukur kandungan antosianinnya
98.2 = nilai E1% untuk pelarut Ethanol-HCl
184

Lampiran 23. Metode analisis total crud flavonoid (Badan POM 2004)

Sampel daun tanaman daun dewa


dikeringkan dengan oven pada suhu 600C
kemudian dihaluskan

5 gram sampel serbuk kering dilarutkan dalam


Ethanol 96% sebanyak 40 ml

Maserasi selama 24 jam

Disaring menggunakan kertas saring

Residu Filtrat 1

Ditambahkan etanol 25 ml

Direfluks selama 3 jam

disaring

Filtrat 2
Di rotafapor (0.5 jam)

Ekstrak crud flavonoid

Timbang 0.03 gram

Scaning pada panjang gelombang Dilarutkan dalam


200-800 nm, scan speed 200, Ethanol 96% sebanyak 25 ml
400, 800 dan 1.200 menggunakan
Spektrofotometer UV-VIS dan
Larutan standar Quercetin 0.03 gram
185

Lampiran 24. Metode analisis kadar kuersetin (Badan POM 2004)

Ekstrak crud flavonoid (200 mg)

1 ml heksametilena tetra amin


20 ml aseton
2 ml HCl 25%

Hidrolisis 30 menit

Masukkan ke labu takar 100 ml Dinginkan

Residu + 20 ml aseton Didihkan


Encerkan s/d 100 ml

Kocok

Ekstraksi dengan 15 ml etil asetat Masukkan ke corong pisah


20 ml + 20 ml H2O

Ekstraksi dengan 40 ml etil asetat (2x)

Fraksi etil asetat + etil asetat (dalam labu takar) s/d 50 ml

10 ml fraksi etil asetat + 1 ml AlCl3 (dalam labu takar 25 ml)

Encerkan s/d 25 ml dengan asam asetat glasial

Ukur pada Spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 370.8 nm


menggunakan pembanding kuersetin
186

Lampiran 25. Metode preparasi dan pengamatan struktur kloroplas


(Bozzola dan Russell 1998)

1. Fiksasi
Potongan daun ukuran 1 x 1 mm dimasukkan dalam glutaraldehide 5% yang
mengandung 0.1 M cacodylate buffer, pH 7.4 dan sukrosa 3% selama 24 jam,
kemudian dibilas dengan 0.1 M buffer sodium cacodylate pH 7.4. Jaringan dicuci
dengan 0.1 M buffer cacodylate selama 15 menit sebanyak 3 kali kemudian
dipostifikasi dengan 2 % osmium tetraoxide dan 2.5% K3Fe(CN)6 dalam 0.1 M
buffer cacodylate yang mengandung 3% sukrosa selama 2 jam pada suhu 40C,
setelah itu dicuci kembali dengan buffer selama 15 menit sebanyak 3 kali.

2. Dehidrasi
Daun yang telah mengalami proses fiksasi kemudian didehidrasi secara hati-
hati dengan etanol konsentrasi bertingkat yaitu 10%, 20%, 30% selama 5 menit,
40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 95% selama 10 menit dan etanol absolut selama 20
menit masing-masing 2 kali untuk alkohol 95% dan alkohol absolut. Selanjutnya di
centrifuge pada 3000 rpm selama 5 menit.

3. Infiltrasi
Jaringan kemudian diinfiltrasi dengan propilene oxide dengan cara merendam
dalam campuran etanol absolut dan propilene oxide dengan perbandingan bertingkat
lalu dengan propilene oxide murni pada suhu ruang selama 30 menit. Setelah itu
jaringan direndam dalam campuran propilene oxide dan larutan Spurr (10.0 g
vynylcyclophene dioxide resin/VCD resin, diglycidyl ether dalam 4.0 g
polypropilene glycol/DER-736, 26.0 g nonenyl succinic anhydrate/NSA, 0.4 g
dimetyl aminoethanol/DMAE) dengan perbandingan 1 : 1 pada suhu ruang selama
30 menit. Setengah volume campuran kemudian dibuang dan diganti oleh larutan
Spurr dalam volume yang sama dan jaringan direndam dalam larutan tersebut
selama 30 menit pada suhu ruang, lalu direndam dalam larutan Spurr murni dalam
keadaan vakum pada suhu ruang selama 24 jam. Setelah itu larutan perendam
dibuang dan dibersihkan agar tidak ada larutan yang tersisa, kemudian jaringan
direndam kembali dengan larutan Spurr murni dan dimasukkan dalam inkubator
vakum suhu 700C selama semalam. Persiapan jaringan ini akan menghasilkan blok
jaringan dengan konsistensi bahan yang keras.

4. Ultracut
Setelah itu, sebagian bahan plastik pada permukaan blok dibuang agar jaringan
yang akan diperiksa berada tepat di permukaan dan permukaan blok dibuat
membentuk trapesium. Hasil potongan kasar diwarnai dengan HE untuk mencari
bagian jaringan yang paling banyak mengandung sel dan permukaan potongan
diperhalus menggunakan alat ultrathin (Reichert ultracut S, Leica). Jaringan
dipotong dengan pisau diamond (Diatome) setebal 65-70 nm dan dilekatkan pada
grid (SPI Grids, Sigma) yang telah dilapisi 0.5% formvar (Sigma) dalam kloroform
dan terdiri dari 200 mesh. Hasil potongan diwarnai dengan triple lead kemudian
diperiksa menggunakan mikroskop elektron transmisi (JEOL, JEM 1010) pada 80
kV.
187

Lampiran 26. Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar Pospor (P),
Kalium (K) dan Sulfur (SO4)

Metode : Pengabuan Kering


Preparasi :
1. Timbang dan masukkan ke dalam cawan poslen 1 gram contoh tanaman yang
sudah digiling halus
2. Panaskan dalam tanur dengan suhu 5500C selama 2 jam sehingga sampel
dalam cawan membentuk abu putih
3. Setelah agak dingin angkat dan masukkan dalam desikator
4. Di dalam ruang asap, tambahkan 5 tetes HCl pekat ke dalam cawan, aduk
dengan pengaduk gelas hingga merata
5. Panaskan di atas hot plate dengan suhu + 900C. Biarkan hingga uap HCl
hilang
6. Angkat dan dinginkan
7. Penambahan dengan HCl pekat 5 tetes diulangi dua kali lagi. Setiap
penambahan diaduk merata, panaskan di atas hot plate angkat dan dinginkan
8. Ke dalam cawan tambahkan 10 ml HCl 1 N, aduk merata lalu disaring, dan
ekstraknya ditampung dengan tabung plastik
9. Pipet 1 ml hasil saringan dan masukkan ke dalam labu ukur 50 ml.
Tambahkan dengan aquades dan himpitkan hingga tanda tera
10. Ekstrak ini dapat digunakan untuk penetapan P, K, Ca, Mg dan S

Penetapan Pospor pada jaringan tanaman :


1. Pipet 1 ml ekstrak dalam labu ukur 50 ml tadi dan masukkan ke dalam
tabung reaksi
2. Tambahkan 4 ml aquades, kocok sebentar
3. Tambahkan berturut-turut 5 ml larutan P-B dan 5 tetes larutan P-C. Kocok
sebentar serta biarkan 15 menit
4. Ukur dengan alat ukur spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm
5. Buat penetapan blanko dan buat satu seri standar baku P yang mempunyai
konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 ppm P.
188

Perhitungan :
% P = 10/1 x 50/1 x 10/1 x 0.00821 x pembacaan
10.000
Keterangan : 10 = ml HCl 1 N
1 = 1 gram contoh
50 = pengenceran 50 x
1 = 1 ml ekstrak
10 = 1 ml ekstrak + 4 ml aquades + 5 ml P-B
0.00821 = standar baku P
10.000 = dari ppm ke %

Penetapan Kalium pada jaringan tanaman :


1. Pipet 1 ml ekstrak yang sudah mengalami pengenceran tadi (dalam labu ukur
50 ml) dan masukkan ke dalam tabung reaksi
2. Tambahkan 9 ml aquades dan kocok sebentar
3. Tetapkan K dengan alat ukur Flame Fotometer (foto nyala) dengan filter K
4. Buat satu seri larutan standar baku K yang mempunyai konsentrasi 0, 5, 10,
15, 20 dan 25 ppm K

Perhitungan :
K (%) = 1000/1 x 10/1 x 50/1 x 10/1000 x 2.50 x pembacaan
10.000

Keterangan :
1000/1, 10 = 10 ml HCl 1 N
1 = 1 gram contoh
10/1, 10 = 10 ml HCl 1 N
1 = pipet 1 ml
50/1, 50 = Pengenceran (dalam labu ukur 50 ml)
1 = dipipet 1 ml
10/1000, 10 = 1 ml ekstrak + 9 ml H2O
1000 = dipipet 1 ml
2.50 = standar baku K
10.000 = dari ppm ke %
189

Penetapan Sulfur pada jaringan tanaman :


1. Pipet 5 ml ekstrak yang sudah mengalami pengenceran tadi (dalam labu ukur
50 ml) dan masukkan ke dalam tabung reaksi
2. Tambahkan 5 ml aquades, kocok sebentar
3. Tambahkan berturut-turut 2 ml larutan HCl 4 N dan 2 ml larutan campuran
Tween dan BaCl2. Kocok sebentar
4. Ukur S dengan alat ukur spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm
5. Buat larutan standar baku S yang mempunyai konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20, 25
dan 30 ppm S

Perhitungan :
% S = 10/1 x 50/1 x 10/5 x 0.053 x pembacaan
10.000
Keterangan : 10 = ml HCl 1 N
1 = 1 gram contoh
50 = pengenceran 50 x
1 = 1 ml dipipet
10 = 5 ml ekstrak + 5 ml aquades
5 = 5 ml ekstrak
0.053 = standar baku S
10.000 = dari ppm ke %
190

Lampiran 27. Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan


kadar Nitrogen (N)

Metode : Kjeldahl

Cara Kerja :

1. Timbang 200 mg contoh tanaman kering giling lolos saringan 40 mesh, dan
masukkan ke dalam labu kjeldahl
2. Tambahkan satu canting kecil campuran SeCuSO4 dan Na2SO4
3. Tambahkan 5 ml H2SO4 pekat ke dalam labu kemudian goyangkan perlahan-
lahan agar semua sampel terbasahi oleh H2SO4
4. Tambahkan 5 tetes parafin cair
5. Panasi labu di dalam kamar asap dengan api kecil, kemudian perlahan-lahan
api diperbesar hingga diperoleh suatu cairan yang berwarna terang (hijau-
biru), pemanasan masih dilakukan 15 menit lagi
6. Tambahkan + 50 ml aquades, goyangkan sebentar kemudian pindahkan isi
labu kjeldahl ke dalam labu destilasi
7. Ke dalam labu destilasi tambahkan 5 ml NaOH 50%
8. Destilasi dimulai, tampung destilasi dengan erlenmeyer 125 ml yang telah
diisi campuran 10 ml H3BO3 4% dan 5 tetes indikator Conway isi destilat
kira-kira 100 ml
9. Titrasi destilat dengan HCl yang telah dibakukan titik titrasi dicapai apabila
terjadi perubahan warna dari hijau ke merah muda
10. Lakukan juga penetapan blanko seperti cara kerja di atas, tetapi tanpa
menggunakan sampel tanaman

Perhitungan :

N (%) = (ml titrasi contoh – ml titrasi blanko) x N HCl x 14 x 100%)


200 mg contoh

Keterangan :
N = Normalitas
14 = Molekul N

Anda mungkin juga menyukai