Anda di halaman 1dari 3

Retakan-retakan setelah peledakan yang ditemukan di sekitar lokasi peledakan merupakan salah satu indikasi

telah terjadinya kerusakan batuan. Apabila retakan-retakan tersebut berada di sekitar lereng tambang, maka
berisiko terhadap kestabilan lereng tambang. Dengan demikian, kerusakan batuan akibat peledakan ini sangat
penting untuk diperhatikan dan perlu dilakukan penelitian yang komprehensif untuk mengetahui dan memprediksi
tebal zona kerusakan yang terjadi agar kerugian-kerugian tersebut dapat dihindari.

Tujuan penelitian ini adalah menentukan dan menilai pengaruh zona kerusakan batuan akibat peledakan
terhadap kestabilan lereng tambang batubara terbuka di Indonesia, sehingga diharapkan dapat diketahui rata-
rata zona kerusakan batuan akibat peledakan pada beberapa lokasi tambang batubara di Indonesia sebagai
pedoman teknis dalam penentuan jarak peledakan produksi terhadap lereng akhir tambang.
Pengumpulan data lapangan meliputi pengambilan percontoh batuan, data rekahan (crack) dengan kamera
lubang bor, data batasan indikasi kerusakan batuan dengan pengukuran seismik refraksi dan Ground
Penetration Radar (GPR), pengukuran getaran peledakan dan pengambilan data sekunder. Untuk melengkapi
data klasifikasi massa batuan di lokasi penelitian, dilakukan pengamatan kondisi batuan setempat meliputi
pengukuran bidang diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah dan
kondisi rembesan air), serta pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran.

Pengukuran dengan kamera lubang bor dilakukan untuk mengetahui intensitas retakan yang terjadi sebelum dan
sesudah peledakan. Intensitas retakan ini dijadikan sebagai salah satu parameter tingkat kerusakan akibat
peledakan pada masing-masing lokasi penelitian. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah peledakan yang
diukur dengan jarak 5 meter – 25 meter dari baris terakhir dari lobang peledakan. Umumnya, pengukuran
dilakukan masing-masing pada jarak 5 meter (lobang I) dan 10 meter (lobang II) dengan kedalaman berkisar
antara 7 – 9 meter.

Proses pengukuran dengan GPR dilakukan sama dengan kamera lobang bor, yaitu pada saat sebelum dan
sesudah peledakan. Pengukuran dilakukan pada lokasi di belakang baris terakhir lubang ledak. Pemindaian
dilakukan sekitar 5 meter setelah baris terakhir lubang ledak dengan pola pemindaian sejajar dengan baris
lobang ledak. Hasil pemindaian dapat memperlihatkan perubahan intensitas kecepatan pengiriman gelombang
elektro magnetik (EM) dari transceiver ke receiver yang diduga merupakan fungsi perubahan intensitas
kerusakan batuan.

Proses pengukuran dengan seismik adalah dengan menggunakan seismik refraksi. Konsep pengukuran ini juga
untuk melihat intensitas perubahan waktu perjalanan (travel times) dari compressional waves pada titik-titik yang
diketahui sepanjang permukaan tanah yang berasal sumber energi impulsif. Sumber energi ini, menggunakan
getaran yang bersumber dari benda yang dijatuhkan seberat 25 kilogram pada jarak sekitar 1,5 meter dengan
pola sentakan. Proses pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah peledakan.
Pengambilan data getaran peledakan dilakukan dengan menggunakan dua jenis peralatan, yaitu single vibration
monitor dan DMT Summit M Vipa. Selain itu data getaran peledakan diperoleh juga dari seismoblast dengan
system multivibration monitor. Jarak pengukuran untuk single vibration monitor bervariasi, umumnya dilakukan
pada jarak lebih dari 300 meter dari sumber peledakan. Sedangkan pengukuran dengan multivibration monitor
dilakukan pada jarak 50 meter, 75 meter 100 dan 125 meter dari sumber peledakan.

Pengamatan kondisi kekuatan massa batuan (RMR) dilakukan dengan mengukur bidang diskontinu (orientasi
bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi
pelapukan dan kekasaran. Konsep pengukuran dan pengamatan dengan RMR pada kondisi massa batuan di
sekitar lereng tambang ini, dimaksudkan agar dapat dikembangkan untuk menilai kondisi lereng. Hasil
pengamatan RMR menunjukkan Rating RMR berkisar antara 36 – 44.

Dari pengamatan lapangan dengan menggunakan kamera lubang bor di sekitar lokasi peledakan, terjadi
perubahan yang signifikan pada saat sebelum dan sesudah peledakan. Setelah peledakan frekuensi hancuran
lebih besar dari sebelumnya, meskipun perbedaan cukup kecil terlihat pada interval 7 – 9 m. Dua interval yang
mempunyai peningkatan frekuensi hancuran cukup besar yaitu 50 – 130% pada interval 1 – 2 m dan pada 3 – 4
m. Interval 1 – 2 m lebih dekat dengan permukaan (kedalaman sekitar 1.5 m) di mana perpindahan residu
terbesar telah ditandai. Pada interval 7 – 9 m berada pada kedalaman yang cukup dekat dengan dasar dari
lubang ledak. Gambar di bawah menunjukkan tampilan visual dari retakan yang ada pada lubang bor.

Pengukuran dengan menggunakan peralatan GPR dan seismik telah diketahui kondisi lapisan batuan bawah
permukaan yang mengalami perubahan sifat sebelum dan sesudah peledakan. Sifat fisik yang sangat dominan
mengalami perubahan adalah porositas batuan. Perbedaan porositas ini memengaruhi kekompakan dan
kekerasan massa batuan. Tingkat kekerasan batuan ini menandakan kekompakan (cohesiveness) suatu batuan
yang dinyatakan dalam bentuk compressive fracture strength. Compressive fracture strenghtmerupakan tekanan
maksimum yang mampu ditahan oleh batuan untuk mempertahankan diri dari terjadinya rekahan (fracture).
Beberapa metode pengukuran yang telah dilakukan menunjukkan telah terjadi penurunan compressive fracture
strength pada jarak yang bervariasi di masing-masing lokasi penelitian. Indikasi perubahan tersebut diperlihatkan
oleh penurunan kecepatan rambat gelombang sebelum dan sesudah peledakan. Variasi perubahan tersebut
terlihat dari data perubahan kecepatan yang terjadi sebelum dan sesudah peledakan. Variasi kecepatan pada
masing-masing lapisan batuan sebelum peledakan berkisar antara 1.750 m/detik – 3.000 m/ detik dan setelah
peledakan mengalami penurunan menjadi 500 m/detik sampai 2000 m/detik, pada jarak antara 0 – 23 meter dari
batas akhir baris peledakan.

Pengamatan visual dari kamera lubang bor (sebelum dan sesudah peledakan)

Pengamatan GPR (sebelum dan sesudah peledakan)

Pengamatan seismic (sebelum dan sesudah peledakan)

Dari data, analisis, dan pembahasan dapat disimpulkan :

1. Penilaian terhadap kerusakan batuan akibat peledakan menggunakan beberapa indikator yaitu secara visual
dengan melihat kondisi retakan batuan (pola fraktur, intensitas retakan, ukuran retakan, jurus, dan kemiringan),
perbedaan kecepatan rambat gelombang seismik (menggunakan seismic refraksi) dan kecepatan partikel
puncak – PPV (menggunakan vibration monitor) dianggap cukup mewakili beberapa metode yang berkembang
saat ini.
2. Areal penelitian didominasi oleh batuan sedimen yang mengalami perubahan setelah peledakan berdasarkan
data visual kamera lubang bor, retak rata-rata yang diestimasi diberikan untuk berbagai variasi jarak di belakang
baris peledakan. Frekuensi retakan terbesar, terjadi pada bagian atas lubang pengamatan yang mencapai 50 –
135% dari frekuensi retakan sebelumnya.
3. Hasil pengamatan dengan GPR dan seismik, terlihat adanya penurunan kecepatan rambat gelombang sebelum
dan sesudah peledakan. Variasi kecepatan pada masing-masing lapisan batuan sebelum peledakan berkisar
antara 1750 m/detik sampai 3000 m/detik dan setelah peledakan mengalami penurunan menjadi 500m/ detik
sampai 2000 m/detik, pada jarak antara 0 sampai 23 meter dari batas akhir baris peledakan.
4. Sifat fisik yang sangat dominan mengalami perubahan adalah porositas batuan. Perbedaan porositas ini
memengaruhi kekompakan dan kekerasan massa batuan. Tingkat kekerasan batuan ini menandakan
kekompakan (cohesiveness) suatu batuan yang dinyatakan dalam bentuk compressive fracture strength.
5. Kekuatan intack rock diamati dengan melakukan uji Rock Mass Rating (RMR) pada dinding lereng di sekitar
areal peledakan, di samping melakukan pengujian laboratorium. Hasil uji RMR tersebut menunjukkan nilai
berkisar antara 36 – 44 dan hasil uji laboratorium kekuatan batuan bervariasi sebesar 1,05 MPa, 1,71 MPa, 2,35
MPa, 3,74 MPa dan 4,24 MPa.
6. Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis yang telah dilakukan, perubahan signifikan terjadi sekitar 0 sampai
23 meter dari baris terakhir peledakan dan diduga areal di luar radius tersebut mengalami perubahan elastis.

Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang diberikan adalah:

1. Mengingat areal yang paling berisiko terjadi perubahan struktur batuan berada pada jarak 0 sampai 23 meter dari
baris akhir peledakan, karena itu jarak minimum dari lereng tambang sebaiknya di luar dari radius tersebut.
2. Perlu dilakukan simulasi berulang untuk beberapa variasi kekuatan batuan untuk memodelkan kestabilan lereng
yang dipengaruhi oleh kerusakan batuan akibat peledakan ini. Perubahan secara mendatar dan vertikal dapat
dilakukan dengan memperbanyak lubang pengamatan, sehingga akurasi lebih baik lagi.***

Anda mungkin juga menyukai