Anda di halaman 1dari 10

www.muslim.or.

id

Syubhat Seputar Larangan Isbal


muslim.or.id/8995-syubhat-seputar-larangan-isbal.html

Yulian Purnama April 25, 2012

Isbal artinya menjulurkan pakaian melebihi mata kaki. Isbal terlarang dalam
Islam, hukumnya minimal makruh atau bahkan haram. Banyak sekali dalil
dari hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini.

Dalil seputar masalah ini ada dua jenis:

Pertama, mengharamkan isbal jika karena sombong.

Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ إ ﻻ أ ن أ ﺗ ﻌﺎ ﻫﺪ ذﻟ ﻚ ﻣ ﻨ ﻪ ؟ ﻓﻘﺎ ل‬، ‫ إ ن أ ﺣﺪ ﺷﻘ ﻲ ﺛ ﻮ ﺑ ﻲ ﯾ ﺴ ﺘ ﺮ ﺧ ﻲ‬: ‫ ﻓﻘﺎ ل أ ﺑ ﻮ ﺑ ﻜ ﺮ‬. ‫ ﻟ ﻢ ﯾ ﻨ ﻈ ﺮ ا ﷲ إﻟ ﯿ ﻪ ﯾ ﻮ م اﻟﻘ ﯿﺎ ﻣ ﺔ‬، ‫ﻣ ﻦ ﺟ ﺮ ﺛ ﻮ ﺑ ﻪ ﺧ ﯿ ﻼ ء‬


‫ ﻟ ﻢ‬: ‫ ﻣ ﻦ ﺟ ﺮ إ زا ره ؟ ﻗﺎ ل‬: ‫ أذ ﻛ ﺮ ﻋ ﺒﺪ ا ﷲ‬: ‫ ﻓﻘﻠ ﺖ ﻟ ﺴﺎﻟ ﻢ‬: ‫ ﻗﺎ ل ﻣ ﻮ ﺳ ﻰ‬. ‫ إ ﻧ ﻚ ﻟ ﻦ ﺗ ﺼ ﻨ ﻊ ذﻟ ﻚ ﺧ ﯿ ﻼ ء‬: ‫ر ﺳ ﻮ ل ا ﷲ ﺻﻠ ﻰ ا ﷲ ﻋﻠ ﯿ ﻪ و ﺳﻠ ﻢ‬
‫أ ﺳ ﻤ ﻌ ﻪ ذ ﻛ ﺮ إ ﻻ ﺛﻮﺑ ﻪ‬

“Barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada
hari kiamat. Abu Bakar lalu berkata: ‘Salah satu sisi pakaianku akan melorot kecuali aku
ikat dengan benar’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Engkau tidak
melakukan itu karena sombong’.Musa bertanya kepada Salim, apakah Abdullah bin Umar
menyebutkan lafadz ‘barangsiapa menjulurkan kainnya’? Salim menjawab, yang saya
dengan hanya ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya’. ”. (HR. Bukhari 3665, Muslim 2085)

‫ﺑﯿﻨﻤﺎ رﺟﻞ ﯾﺠﺮ إزاره ﻣﻦ اﻟﺨﯿﻼء ﺧﺴﻒ ﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﯾﺘﺠﻠﺠﻞ ﻓﻲ اﻷرض إﻟﻰ ﯾﻮم اﻟﻘﯿﺎﻣﺔ‬.

“Ada seorang lelaki yang kainnya terseret di tanah karena sombong. Allah
menenggelamkannya ke dalam bumi. Dia meronta-ronta karena tersiksa di dalam bumi
hingga hari Kiamat terjadi”. (HR. Bukhari, 3485)

ً‫ﻻ ﯾﻨﻈﺮ اﷲ ﯾﻮم اﻟﻘﯿﺎﻣﺔ إﻟﻰ ﻣﻦ ﺟﺮ إزاره ﺑﻄﺮا‬

“Pada hari Kiamat nanti Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya karena
sombong” (HR. Bukhari 5788)

1/10
Kedua, hadits-hadits yang mengharamkan isbal secara mutlak baik karena sombong
ataupun tidak.

Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ﻣﺎ أ ﺳﻔ ﻞ ﻣ ﻦ اﻟ ﻜ ﻌ ﺒ ﯿ ﻦ ﻣ ﻦ ا ﻹ زا ر ﻓﻔ ﻲ اﻟ ﻨﺎ ر‬

“Kain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Bukhari 5787)

‫ﺛ ﻼ ﺛ ﺔ ﻻ ﯾ ﻜﻠ ﻤ ﻬ ﻢ ا ﷲ ﯾ ﻮ م اﻟﻘ ﯿﺎ ﻣ ﺔ و ﻻ ﯾ ﻨ ﻈ ﺮ إﻟ ﯿ ﻬ ﻢ و ﻻ ﯾ ﺰ ﻛ ﯿ ﻬ ﻢ وﻟ ﻬ ﻢ ﻋﺬا ب أﻟ ﯿ ﻢ اﻟ ﻤ ﺴ ﺒ ﻞ واﻟ ﻤ ﻨﺎ ن واﻟ ﻤ ﻨﻔ ﻖ ﺳﻠ ﻌ ﺘ ﻪ ﺑﺎﻟ ﺤﻠ ﻒ اﻟ ﻜﺎذ ب‬

“Ada tiga jenis manusia yang tidak akan diajak biacar oleh Allah pada hari Kiamat, tidak
dipandang, dan tidak akan disucikan oleh Allah. Untuk mereka bertiga siksaan yang pedih.
Itulah laki-laki yang isbal, orang yang mengungkit-ungkit sedekah dan orang yang
melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR. Muslim, 106)

‫ وا ر ﻓ ﻊ إ زا ر ك‬، ‫ إ ن ذﻟ ﻚ ﻣ ﻦ اﻟ ﻤ ﻌ ﺮ و ف‬، ‫ وﻟ ﻮ أ ن ﺗ ﻜﻠ ﻢ أ ﺧﺎ ك وأ ﻧ ﺖ ﻣ ﻨ ﺒ ﺴ ﻂ إﻟ ﯿ ﻪ و ﺟ ﻬ ﻚ‬، ‫ و ﻻ ﺗ ﺤﻘ ﺮ ن ﻣ ﻦ اﻟ ﻤ ﻌ ﺮ و ف ﺷ ﯿ ﺌﺎ‬، ‫ﻻ ﺗ ﺴ ﺒ ﻦ أ ﺣﺪا‬


‫ وإ ن ا ﷲ ﻻ ﯾ ﺤ ﺐ اﻟ ﻤ ﺨ ﯿﻠ ﺔ‬، ‫ وإ ﯾﺎ ك وإ ﺳ ﺒﺎ ل ا ﻹ زا ر ؛ ﻓﺈ ﻧ ﻪ ﻣ ﻦ اﻟ ﻤ ﺨ ﯿﻠ ﺔ‬، ‫ ﻓﺈ ن أ ﺑ ﯿ ﺖ ﻓﺈﻟ ﻰ اﻟ ﻜ ﻌ ﺒ ﯿ ﻦ‬، ‫إﻟ ﻰ ﻧ ﺼ ﻒ اﻟ ﺴﺎ ق‬

“Janganlah kalian mencela orang lain. Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun,
walaupun itu hanya dengan bermuka ceria saat bicara dengan saudaramu. Itu saja sudah
termasuk kebaikan. Dan naikan kain sarungmu sampai pertengahan betis. Kalau engkau
enggan, maka sampai mata kaki. Jauhilah isbal dalam memakai kain sarung. Karena isbal
itu adalah kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan” (HR. Abu Daud 4084,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
‫ﱢ‬ ‫ﱠ‬ ‫ﱢَ ّ ﱡ‬
‫ َﻓَﻤﺎ‬.‫ ِزْد! َﻓِﺰْدُت‬:‫ ُﺛَّﻢ َﻗﺎَل‬.‫ َﯾﺎ َﻋْﺒَﺪ اَﷲ اْرَﻓْﻊ إَِزاَرَك! َﻓَﺮَﻓْﻌُﺘُﻪ‬:‫ﺻﻠَﻰ اَﷲ َﻋﻠَْﯿِﻪ َوَﺳﻠَﻢ َوِﻓﻲ إَِزاِري اْﺳِﺘْﺮَﺧﺎٌء َﻓَﻘﺎَل‬ َ
َ ‫َﻣَﺮْرُت َﻋﻠﻰ َرُﺳﻮِل اﷲ‬
‫ﺼﺎِف اﻟﱠَﺴﺎﻗْﯿِﻦ‬ َ َ َ َ ْ ُ ‫ َﻓَﻘﺎَل َﺑﻌ‬.‫ِزْﻟُﺖ أََﺗَﺤﱠَﺮاﻫﺎ َﺑﻌُﺪ‬
َ ‫ أْﻧ‬:‫ إِﻟﻰ أْﯾَﻦ؟ َﻓَﻘﺎل‬:‫ﺾ اﻟَﻘْﻮِم‬ ْ ْ

“Aku (Ibnu Umar) pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kain
sarungku terjurai (sampai ke tanah). Beliau pun bersabda, “Hai Abdullah, naikkan
sarungmu!”. Aku pun langsung menaikkan kain sarungku. Setelah itu Rasulullah
bersabda, “Naikkan lagi!” Aku naikkan lagi. Sejak itu aku selalu menjaga agar kainku
setinggi itu.” Ada beberapa orang yang bertanya, “Sampai di mana batasnya?” Ibnu Umar
menjawab, “Sampai pertengahan kedua betis.” (HR. Muslim no. 2086)

Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu beliau berkata:

‫رأ ﯾ ﺖ ر ﺳ ﻮ ل ا ﷲ ﺻﻠ ﻰ ا ﷲ ﻋﻠ ﯿ ﻪ و ﺳﻠ ﻢ أ ﺧﺬ ﺑ ﺤ ﺠ ﺰة ﺳﻔ ﯿﺎ ن ﺑ ﻦ أ ﺑ ﻲ ﺳ ﻬ ﻞ ﻓﻘﺎ ل ﯾﺎ ﺳﻔ ﯿﺎ ن ﻻ ﺗ ﺴ ﺒ ﻞ إ زا ر ك ﻓﺈ ن ا ﷲ ﻻ ﯾ ﺤ ﺐ اﻟ ﻤ ﺴ ﺒﻠ ﯿ ﻦ‬

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendatangi kamar Sufyan bin Abi
Sahl, lalu beliau berkata: ‘Wahai Sufyan, janganlah engkau isbal. Karena Allah tidak
mencintai orang-orang yang musbil’” (HR. Ibnu Maajah no.2892, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Ibni Maajah)

Dari dalil-dalil di atas, para ulama sepakat haramnya isbal karena sombong dan berbeda
pendapat mengenai hukum isbal jika tanpa sombong. Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Segaf
berkata:

“Para ulama bersepakat tentang haramnya isbal karena sombong, namun mereka berbeda
pendapat jika isbal dilakukan tanpa sombong dalam 2 pendapat:
2/10
Pertama, hukumnya boleh disertai ketidak-sukaan (baca: makruh), ini adalah pendapat
kebanyakan ulama pengikut madzhab yang empat.

Kedua, hukumnya haram secara mutlak. Ini adalah satu pendapat Imam Ahmad, yang
berbeda dengan pendapat lain yang masyhur dari beliau. Ibnu Muflih berkata : ‘Imam
Ahmad Radhiallahu’anhu Ta’ala berkata, yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya
adalah neraka, tidak boleh menjulurkan sedikitpun bagian dari pakaian melebihi itu.
Perkataan ini zhahirnya adalah pengharaman’ (Al Adab Asy Syari’ah, 3/492). Ini juga
pendapat yang dipilih Al Qadhi ‘Iyadh, Ibnul ‘Arabi ulama madzhab Maliki, dan dari
madzhab Syafi’i ada Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar Al Asqalani cenderung menyetujui
pendapat beliau. Juga merupakan salah satu pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
pendapat madzhab Zhahiriyyah, Ash Shan’ani, serta para ulama di masa ini yaitu Syaikh
Ibnu Baaz, Al Albani, Ibnu ‘Utsaimin. Pendapat kedua inilah yang sejalan dengan berbagai
dalil yang ada.

Dan kewajiban kita bila ulama berselisih yaitu mengembalikan perkaranya kepada Qur’an
dan Sunnah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
‫ﱢ‬ ‫ﱢ‬
‫َﻓﺈِْن َﺗَﻨﺎَزْﻋُﺘْﻢ ِﻓﻲ َﺷْﻲٍء َﻓُﺮُﱡدوه إِﻟَﻰ اَﷲ َواﻟﱡَﺮﺳﻮِل إِْن ُﻛﻨُﺘْﻢ ُﺗْﺆِﻣُﻨﻮَن ِﺑﺎَﷲ َواْﻟَﯿْﻮِم اْﻵِﺧِﺮ َذﻟَِﻚ َﺧْﯿٌﺮ َوأَْﺣَﺴُﻦ َﺗْﺄِوﯾًﻼ‬

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa:
59)

Dan dalil-dalil yang mengharamkan secara mutlak sangat jelas dan tegas”

(Sumber : http://www.dorar.net/art/144 )

Jadi Islam melarang isbal, baik larangan sampai tingkatan haram atau tidak. Tapi sungguh
disayangkan larangan ini agaknya sudah banyak tidak diindahkan lagi oleh umat Islam.
Karena kurang ilmu dan perhatian mereka terhadap agamanya. Lebih lagi, adanya
sebagian oknum yang menebarkan syubhat (kerancuan) seputar hukum isbal sehingga
larangan isbal menjadi aneh dan tidak lazim di mata umat. Berikut ini beberapa syubhat
tersebut:

Syubhat 1: Memakai pakaian atau celana ngatung agar tidak isbal adalah
ajaran aneh dan nyeleneh

Bagaimana mungkin larangan isbal dalam Islam dianggap nyeleneh padahal dalil
mengenai hal ini sangat banyak dan sangat mudah ditemukan dalam kitab-kitab hadits dan
buku-buku fiqih. Lebih lagi, larangan isbal dibahas oleh ulama 4 madzhab besar dalam
Islam dan sama sekali bukan hal aneh dan asing bagi orang-orang yang mempelajari
agama. Berikut ini kami nukilkan beberapa perkataan para ulama madzhab mengenai
hukum isbal sebagai bukti bahwa pembahasan larangan isbal itu dibahas oleh para ulama
4 madzhab dari dulu hingga sekarang.

Madzhab Maliki
Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid (3/249) :

3/10
‫ ﻗﺎ ل ر ﺳ ﻮ ل ا ﷲ‬.… ‫و ﻗ ﺪ ﻇ ﻦ ﻗ ﻮ م أ ن ﺟ ﺮ اﻟ ﺜ ﻮ ب إ ذا ﻟ ﻢ ﯾ ﻜ ﻦ ﺧ ﯿ ﻼ ء ﻓ ﻼ ﺑﺄ س ﺑ ﻪ وا ﺣ ﺘ ﺠ ﻮا ﻟ ﺬﻟ ﻚ ﺑ ﻤﺎ ﺣ ﺪ ﺛ ﻨﺎه ﻋ ﺒ ﺪ ا ﷲ ﺑ ﻦ ﻣ ﺤ ﻤ ﺪ ﺑ ﻦ أ ﺳ ﺪ‬
‫ إ ن أ ﺣ ﺪ ﺷ ﻘ ﻰ ﺛ ﻮ ﺑ ﻲ ﻟ ﯿ ﺴ ﺘ ﺮ ﺧ ﻲ إ ﻻ أ ن أ ﺗ ﻌﺎ ﻫ ﺪ‬:‫ » ﻣ ﻦ ﺟ ﺮ ﺛ ﻮ ﺑ ﻪ ﺧ ﯿ ﻼ ء ﻟ ﻢ ﯾ ﻨ ﻈ ﺮ ا ﷲ إﻟ ﯿ ﻪ ﯾ ﻮ م اﻟ ﻘ ﯿﺎ ﻣ ﺔ « ﻓ ﻘﺎ ل أ ﺑ ﻮ ﺑ ﻜ ﺮ‬: ‫ﺻﻠ ﻰ ا ﷲ ﻋﻠ ﯿ ﻪ و ﺳﻠ ﻢ‬
‫ »إﻧﻚ ﻟﺴﺖ ﺗﺼﻨﻊ ذﻟﻚ ﺧﯿﻼء« ﻗﺎل ﻣﻮﺳﻰ ﻗﻠﺖ ﻟﺴﺎﻟﻢ أَذﻛﺮ ﻋﺒﺪ اﷲ ﻣﻦ ﺟﺮ‬:‫ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﻪ و ﺳﻠﻢ‬،‫ذﻟﻚ ﻣﻨﻪ‬
‫ ﻓﻘﺎ ل ﻟ ﻪ ر ﺳ ﻮ ل ا ﷲ ﺻﻠ ﻰ ا ﷲ‬، ‫ ﻻ أ ﻧ ﻪ ﺗ ﻌ ﻤﺪ ذﻟ ﻚ ﺧ ﯿ ﻼ ء‬، ‫ و ﻫﺬا إ ﻧ ﻤﺎ ﻓ ﯿ ﻪ أ ن أ ﺣﺪ ﺷﻘ ﻰ ﺛ ﻮ ﺑ ﻪ ﯾ ﺴ ﺘ ﺮ ﺧ ﻲ‬، ‫ ﻗﺎ ل ﻟ ﻢ أ ﺳ ﻤ ﻌ ﻪ إ ﻻ ذ ﻛ ﺮ ﺛ ﻮ ﺑ ﻪ‬، ‫إ زا ره‬
‫ »ﻟ ﺴ ﺖ ﻣ ﻤ ﻦ ﯾ ﺮ ﺿ ﻰ ذﻟ ﻚ « و ﻻ ﯾ ﺘ ﻌ ﻤ ﺪه و ﻻ ﯾ ﻈ ﻦ ﺑ ﻚ ذﻟ ﻚ‬:‫ﻋﻠ ﯿ ﻪ و ﺳﻠ ﻢ‬

“Sebagian orang menyangka bahwa menjulurkan pakaian jika tidak karena sombong itu
tidak mengapa. Mereka berdalih dengan riwayat dari Abdullah bin Muhammad bin Asad
(beliau menyebutkan sanadnya) bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‘Barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada
hari kiamat’. Abu Bakar lalu berkata: ‘Salah satu sisi pakaianku akan melorot kecuali aku
ikat dengan benar’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Engkau tidak
melakukan itu karena sombong’. Musa bertanya kepada Salim, apakah Abdullah bin Umar
menyebutkan lafadz ‘barangsiapa menjulurkan kainnya’? Salim menjawab, yang saya
dengan hanya ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya‘.

Dalam kasus ini yang melorot hanya satu sisi pakaiannya saja, bukan karena Abu Bakar
sengaja memelorotkan pakaiannya. Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: ‘Engkau bukanlah termasuk orang yang dengan suka rela melakukan
hal tersebut, bersengaja melakukan hal tersebut dan tidak mungkin ada orang yang punya
praduga bahwa engkau wahai Abu Bakar melakukan hal tersebut dengan sengaja“.

Abul Walid Sulaiman Al Baaji dalam Al Muntaqa Syarh Al Muwatha (9/314-315) :

، ‫ أ ﻣﺎ ﻣ ﻦ ﺟ ﺮه ﻟ ﻄ ﻮ ل ﺛ ﻮ ب ﻻ ﯾ ﺠﺪ ﻏ ﯿ ﺮه‬، ‫و ﻗ ﻮﻟ ﻪ ﺻﻠ ﻰ ا ﷲ ﻋﻠ ﯿ ﻪ و ﺳﻠ ﻢ اﻟﺬ ي ﯾ ﺠ ﺮ ﺛ ﻮ ﺑ ﻪ ﺧ ﯿ ﻼ ء ﯾﻘ ﺘ ﻀ ﻲ ﺗ ﻌﻠ ﻖ ﻫﺬا اﻟ ﺤ ﻜ ﻢ ﺑ ﻤ ﻦ ﺟ ﺮه ﺧ ﯿ ﻼ ء‬


‫ ﯾ ﺤ ﺘ ﻤ ﻞ أ ن ﯾ ﺮ ﯾ ﺪ ﺑ ﻪ‬، « ‫ »إ زا رة اﻟ ﻤ ﺆ ﻣ ﻦ إﻟ ﻰ أ ﻧ ﺼﺎ ف ﺳﺎ ﻗ ﯿ ﻪ‬:‫أ و ﻋ ﺬ ر ﻣ ﻦ ا ﻷ ﻋ ﺬا ر ﻓﺈ ﻧ ﻪ ﻻ ﯾ ﺘ ﻨﺎ وﻟ ﻪ اﻟ ﻮ ﻋ ﯿ ﺪ … ﻗ ﻮﻟ ﻪ ﺻﻠ ﻰ ا ﷲ ﻋﻠ ﯿ ﻪ و ﺳﻠ ﻢ‬
‫ و ﯾ ﺤ ﺘ ﻤ ﻞ أ ن ﯾ ﺮ ﯾﺪ ﺑ ﻪ أ ن ﻫﺬا‬، ‫وا ﷲ أ ﻋﻠ ﻢ أ ن ﻫﺬه ﺻﻔ ﺔ ﻟ ﺒﺎ ﺳ ﻪ ا ﻹ زا ر ؛ ﻷ ﻧ ﻪ ﯾﻠ ﺒ ﺲ ﻟ ﺒ ﺲ اﻟ ﻤ ﺘ ﻮا ﺿ ﻊ اﻟ ﻤﻘ ﺘ ﺼﺪ اﻟ ﻤﻘ ﺘ ﺼ ﺮ ﻋﻠ ﻰ ﺑ ﻌ ﺾ اﻟ ﻤ ﺒﺎ ح‬
‫ ﻻ ﺟ ﻨﺎ ح ﻋﻠ ﯿ ﻪ ﻓ ﯿ ﻤﺎ ﺑ ﯿ ﻨ ﻪ و ﺑ ﯿ ﻦ اﻟ ﻜ ﻌ ﺒ ﯿ ﻦ ﯾ ﺮ ﯾﺪ وا ﷲ أ ﻋﻠ ﻢ أ ن ﻫﺬا ﻟ ﻮ ﻟ ﻢ‬: ‫اﻟﻘﺪ ر اﻟ ﻤ ﺸ ﺮ و ع ﻟ ﻪ و ﯾ ﺒ ﯿ ﻦ ﻫﺬا اﻟ ﺘﺄ و ﯾ ﻞ ﻗ ﻮﻟ ﻪ ﺻﻠ ﻰ ا ﷲ ﻋﻠ ﯿ ﻪ و ﺳﻠ ﻢ‬
‫ وإ ن ﻛﺎ ن ﻗﺪ ﺗ ﺮ ك ا ﻷ ﻓ ﻀ ﻞ‬، ‫ﯾﻘ ﺘ ﺼ ﺮ ﻋﻠ ﻰ اﻟ ﻤ ﺴ ﺘ ﺤ ﺐ ﻣ ﺒﺎ ح ﻻ إ ﺛ ﻢ ﻋﻠ ﯿ ﻪ ﻓ ﯿ ﻪ‬

“Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena


sombong‘ ini menunjukkan hukumnya terkait bagi orang yang melakukannya karena
sombong. Adapun orang yang pakaiannya panjang dan ia tidak punya yang lain (hanya
punya satu), atau orang yang punya udzur lain, maka tidak termasuk ancaman hadits ini.
Dan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘Kainnya orang mu’min itu sepertengahan
betis’, dimungkinkan –wallahu’alam– inilah deskripsi pakaian beliau. Karena beliau lebih
menyukai memakai pakaian ketawadhu’an, yaitu yang seadanya, dibanding pakaian lain
yang mubah. Dimungkinkan juga, perkataan beliau ini menunjukkan kadar yang masyru’
[baca: yang dianjurkan]. Tafsiran ini diperjelas oleh sabda beliau yang lain: ‘Tidak mengapa
bagi mereka untuk mengenakan antara paha dan pertengahan betis’. Beliau ingin
mengatakan -wallahu’alam- bahwa kalau tidak mencukupkan diri pada yang mustahab
[setengah betis], maka boleh dan tidak berdosa. Namun telah meninggalkan yang utama”.

Catatan:

Perhatikan, Al Baji berpendapat bahwa larangan isbal tidak sampai haram jika tidak
sombong. Namun beliau mengatakan bahwa yang ditoleransi untuk memakai pakaian
lebih dari mata kaki adalah yang hanya memiliki 1 pakaian saja dan yang memiliki udzur!!

4/10
Mazhab Hambali
Abu Naja Al Maqdisi:

‫و ﯾ ﻜ ﺮه أ ن ﯾ ﻜ ﻮ ن ﺛ ﻮ ب اﻟ ﺮ ﺟ ﻞ إﻟ ﻰ ﻓ ﻮ ق ﻧ ﺼ ﻒ ﺳﺎ ﻗ ﻪ و ﺗ ﺤ ﺖ ﻛ ﻌ ﺒ ﻪ ﺑ ﻼ ﺣﺎ ﺟ ﺔ ﻻ ﯾ ﻜ ﺮه ﻣﺎ ﺑ ﯿ ﻦ ذﻟ ﻚ‬

“Makruh hukumnya pakaian seorang lelaki panjangnya di atas pertengahan betis atau
melebihi mata kaki tanpa adanya kebutuhan. Jika di antara itu [pertengahan betis sampai
sebelum mata kaki] maka tidak makruh” (Al Iqna, 1/91)

Ibnu Qudamah Al Maqdisi :

‫ ﻓﺈن ﻓﻌﻞ ذﻟﻚ ﻋﻠﻰ وﺟﻪ اﻟﺨﯿﻼء َﺣُﺮم‬. ‫وﯾﻜﺮه إﺳﺒﺎل اﻟﻘﻤﯿﺺ واﻹزار واﻟﺴﺮاوﯾﻞ ؛ ﻷن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ أﻣﺮ َﺑﺮْﻓﻊ اﻹزار‬

“Makruh hukumnya isbal pada gamis, sarung atau sarowil (celana). Karena Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk meninggalkan ketika memakai izar
(sarung). Jika melakukan hal itu karena sombong, maka haram” (Al Mughni, 1/418)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:

‫ ﻟﻜﻦ ﻟﯿﺲ ﻫﻮ اﻟﺴﺪل‬،‫ وﻫﻮ ﻣﺤﺮم ﻋﻠﻰ اﻟﺼﺤﯿﺢ‬،‫وإن ﻛﺎن اﻹﺳﺒﺎل واﻟﺠﺮ ﻣﻨﻬﯿﺎً ﻋﻨﻪ ﺑﺎﻻﺗﻔﺎق واﻷﺣﺎدﯾﺚ ﻓﯿﻪ أﻛﺜﺮ‬

“Walaupun memang isbal dan menjulurkan pakaian itu itu terlarang berdasarkan
kesepakatan ulama serta hadits yang banyak, dan ia hukumnya haram menurut pendapat
yang tepat, namun isbal itu berbeda dengan sadl” (Iqtidha Shiratil Mustaqim, 1/130)

Madzhab Hanafi
As Saharunfuri :

‫ ﻓﻤﺎ ﻧـﺰل ﻋﻦ اﻟﻜﻌﺒﯿﻦ ﻓﻬﻮ‬، ‫ واﻟﺠﺎﺋﺰ ﺑﻼ ﻛﺮاﻫﺔ ﻣﺎ ﺗﺤﺘﻪ إﻟﻰ اﻟﻜﻌﺒﯿﻦ‬، ‫ اﻟﻤﺴﺘﺤﺐ ﻓﻲ اﻹزار واﻟﺜﻮب إﻟﻰ ﻧﺼﻒ اﻟﺴﺎﻗﯿﻦ‬: ‫ﻗﺎل اﻟﻌﻠﻤﺎء‬
‫ ﻓﺈ ن ﻛﺎ ن ﻟﻠ ﺨ ﯿ ﻼ ء ﻓ ﻬ ﻮ ﻣ ﻤ ﻨ ﻮ ع ﻣ ﻨ ﻊ ﺗ ﺤ ﺮ ﯾ ﻢ وإ ﻻ ﻓ ﻤ ﻨ ﻊ ﺗ ﻨـ ﺰ ﯾ ﻪ‬. ‫ﻣ ﻤ ﻨ ﻮ ع‬

“Para ulama berkata, dianjurkan memakai sarung dan pakaian panjangnya sampai
setengah betis. Hukumnya boleh (tanpa makruh) jika melebihi setengah betis hingga mata
kaki. Sedangkan jika melebihi mata kaki maka terlarang. Jika melakukannya karena
sombong maka haram, jika tidak maka makruh” (Bazlul Majhud, 16/411)

Dalam kitab Fatawa Hindiyyah (5/333) :

‫ َوأََّﻣﺎ‬،‫ﺺ ِﺑْﺪَﻋٌﺔ َﯾْﻨَﺒِﻐﻲ أَْن َﯾُﻜﻮَن ا ِْﻹَزاُر َﻓْﻮَق اْﻟَﻜْﻌَﺒْﯿِﻦ إﻟَﻰ ِﻧْﺼِﻒ اﻟﱢَﺴﺎق َوَﻫَﺬا ِﻓﻲ َﺣِّﻖ اﻟﱠِﺮﺟﺎِل‬ ِ ‫ﺼﯿُﺮ اﻟﱠِﺜﯿﺎِب ُﺳﱞَﻨﺔ َوإِْﺳَﺒﺎُل ا ِْﻹَزاِر َواْﻟَﻘِﻤﯿ‬
ِ ‫َﺗْﻘ‬
ْ َ ْ َ َ ُ َ َ َ
‫ إْﺳَﺒﺎل اﻟﱡَﺮﺟِﻞ إَزاَرُه أْﺳَﻔﻞ ِﻣْﻦ اﻟَﻜْﻌَﺒْﯿِﻦ إْن ﻟْﻢ َﯾُﻜْﻦ ﻟِﻠُﺨَﯿَﻼِء َﻓِﻔﯿِﻪ َﻛَﺮاَﻫُﺔ‬.‫اﻟﱠِﻨﺴﺎُء َﻓُﯿْﺮِﺧﯿَﻦ إَزاَرُﻫَّﻦ أْﺳَﻔﻞ ِﻣْﻦ إَزاِر اﻟﱠِﺮﺟﺎِل ﻟَِﯿْﺴُﺘَﺮ ﻇْﻬَﺮ َﻗَﺪِﻣِﻬَّﻦ‬
‫ﺗَْﻨِﺰﯾٍﻪ‬

“Memendekkan pakaian (sampai setengah betis) hukumnya sunnah. Dan isbal pada
sarung dan gamis itu bid’ah. Sebaiknya sarung itu di atas mata kaki sampai setengah betis.
Ini untuk laki-laki. Sedangkan wanita hendaknya menurunkan kainnya melebihi kain lelaki
untuk menutup punggung kakinya. Isbalnya seorang lelaki melebihi mata kaki jika tidak
karena sombong maka hukumnya makruh”

Madzhab Syafi’i

5/10
An Nawawi:

‫ ﻓﺈن ﻛﺎن ﻟﻠﺨﯿﻼء ﻓﻬﻮ ﻣﻤﻨﻮع ﻣﻨﻊ ﺗﺤﺮﯾﻢ وإﻻ ﻓﻤﻨﻊ ﺗﻨـﺰﯾﻪ‬، ، ‫ﻓﻤﺎ ﻧـﺰل ﻋﻦ اﻟﻜﻌﺒﯿﻦ ﻓﻬﻮ ﻣﻤﻨﻮع‬

“Kain yang melebihi mata kaki itu terlarang. Jika melakukannya karena sombong maka
haram, jika tidak maka makruh” (Al Minhaj, 14/88)

Ibnu Hajar Al Asqalani :

‫ ﻣﺎ أﺧﺮﺟﻪ أﺣﻤﺪ ﺑﻦ‬:‫ وﯾﺆﯾﺪه‬،‫ وﻟﻮ ﻟﻢ ﯾﻘﺼﺪ اﻟﻼﺑﺲ اﻟﺨﯿﻼء‬،‫ وﺟ ُّﺮ اﻟﺜﻮب ﯾﺴﺘﻠﺰم اﻟﺨﯿﻼء‬،‫ أن اﻹﺳﺒﺎل ﯾﺴﺘﻠﺰم ﺟَّﺮ اﻟﺜﻮب‬:‫وﺣﺎﺻﻠﻪ‬
‫ ) وإﯾﺎك وﺟﺮ اﻹزار؛ ﻓﺈن ﺟﺮ اﻹزار ﻣﻦ اﻟﻤِﺨﯿﻠﺔ‬:‫ﻣﻨﯿﻊ ﻣﻦ وﺟﻪ آﺧﺮ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻓﻲ أﺛﻨﺎء ﺣﺪﯾﺚ رﻓﻌﻪ‬

“Kesimpulannya, isbal itu pasti menjulurkan pakaian. Sedangkan menjulurkan pakaian itu
merupakan kesombongan, walaupun si pemakai tidak bermaksud sombong. Dikuatkan lagi
dengan riwayat dari Ahmad bin Mani’ dengan sanad lain dari Ibnu Umar. Di dalam hadits
tersebut dikatakan ‘Jauhilah perbuatan menjulurkan pakaian, karena menjulurkan pakaian
itu adalah kesombongan‘” (Fathul Baari, 10/264)

Dengan demikian tidak benar bahwa larangan isbal itu adalah ajaran aneh dan nyeleneh.
Lebih lagi jika sampai mencela orang yang menjauhi larangan isbal dengan sebutan
‘kebanjiran‘, ‘kurang bahan‘, dll. Allahul musta’an.

Syubhat 2: Masak gara-gara celana saja masuk neraka?


Pernyataan ini tidak keluar kecuali dari orang-orang yang enggan taat kepada perintah
Allah dan Rasul-Nya. Sungguh Allah Maha Berkehendak menentukan perbuatan apa yang
menyebabkan masuk neraka, melalui firman-Nya atau pun melalui sabda Nabi-Nya. Allah
Ta’ala berfirman:

‫َﻻ ُﯾْﺴﺄَُل َﻋَّﻤﺎ َﯾْﻔَﻌُﻞ َوُﻫْﻢ ُﯾْﺴﺄَُﻟﻮَن‬

“Allah tidak ditanya oleh hamba, namun merekalah yang akan ditanyai oleh Allah” (QS. Al
Anbiya: 23)

Perbuatan yang dianggap sepele oleh manusia ternyata dapat menyebabkan masuk
neraka bisa jadi merupakan ujian dari Allah untuk mengetahui mana hamba-Nya yang
benar beriman. Karena orang yang beriman kepada Allah-lah yang senantiasa taat dan
tunduk kepada hukum agama, Allah berfirman:
‫ﱢ‬
‫ﱠَﻧﻤﺎ َﻛﺎَن َﻗْﻮَل اْﻟُﻤْﺆِﻣِﻨﯿَﻦ إَِذا ُدُﻋﻮا إِﻟَﻰ اَﷲ َوَرُﺳﻮﻟِِﻪ ﻟَِﯿْﺤُﻜَﻢ َﺑْﯿَﻨُﻬْﻢ أَْن َﯾُﻘﻮُﻟﻮا َﺳِﻤْﻌَﻨﺎ َوأََﻃْﻌَﻨﺎ َوُأوﻟَِﺌَﻚ ُﻫُﻢ اْﻟُﻤْﻔﻠُِﺤﻮَن‬

“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-
Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka berkata:
Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati).
Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An Nuur: 51)

Bukan hanya masalah isbal, Islam mengatur hukum-hukum kehidupan sampai perkara
terkecil. Ketika Salman Al Farisi ditanya:

‫ أ و أ ن‬. ‫ ﻟﻘﺪ ﻧ ﻬﺎ ﻧﺎ أ ن ﻧ ﺴ ﺘﻘ ﺒ ﻞ اﻟﻘ ﺒﻠ ﺔ ﻟ ﻐﺎ ﺋ ﻂ أ و ﺑ ﻮ ل‬. ‫ أ ﺟ ﻞ‬: ‫ ﻓﻘﺎ ل‬، ‫ ﻗﺎ ل‬. ‫ ﺣ ﺘ ﻰ اﻟ ﺨ ﺮا ءة‬. ‫ﻗﺪ ﻋﻠ ﻤ ﻜ ﻢ ﻧ ﺒ ﯿ ﻜ ﻢ ﺻﻠ ﻰ ا ﷲ ﻋﻠ ﯿ ﻪ و ﺳﻠ ﻢ ﻛ ﻞ ﺷ ﻲ ء‬
‫ أ و أ ن ﻧ ﺴ ﺘ ﻨ ﺠ ﻲ ﺑ ﺮ ﺟ ﯿ ﻊ أ و ﺑ ﻌ ﻈ ﻢ‬. ‫ أ و أ ن ﻧ ﺴ ﺘ ﻨ ﺠ ﻲ ﺑﺄ ﻗ ﻞ ﻣ ﻦ ﺛ ﻼ ﺛ ﺔ أ ﺣ ﺠﺎ ر‬. ‫ﻧ ﺴ ﺘ ﻨ ﺠ ﻲ ﺑﺎﻟ ﯿ ﻤ ﯿ ﻦ‬

6/10
“Nabi kalian telah mengajari kalian segala hal hingga masalah buang air besar? (Beliau
menjawab: ) Benar. Beliau melarang kami menghadap kiblat ketika kencing atau buang
hajat, bersuci dengan tangan kanan, bersuci dengan kurang dari tiga buah batu, dan
bersuci dengan kotoran atau tulang” (HR. Muslim, 262)

Orang-orang yang meremehkan larangan isbal, bagaimana lagi sikap mereka terhadap
aturan-aturan Islam dalam buang hajat, dalam makan, dalam tidur, dalam memakai sandal,
dan perkara lain yang nampaknya sepele?

Syubhat 3: Larangan isbal hanya berlaku pada kain sarung

Sebagian orang beranggapan larangan isbal hanya berlaku pada kain sarung saja, karena
di dalam hadits hanya disebutkan ‫‘ ﻣﻦ ﺟﺮ إزاره‬barangsiapa yang menjulurkan izaar (kain
sarung) nya‘. Atau ada juga yang beranggapan bahwa larangan isbal hanya berlaku pada
kain sarung, gamis dan imamah sebagaimana hadits:

‫ا ﻹ ﺳ ﺒﺎ ل ﻓ ﻲ ا ﻹ زا ر واﻟﻘ ﻤ ﯿ ﺺ واﻟ ﻌ ﻤﺎ ﻣ ﺔ ﻣ ﻦ ﺟ ﺮ ﻣ ﻨ ﻬﺎ ﺷ ﯿ ﺌﺎ ﺧ ﯿ ﻼ ء ﻟ ﻢ ﯾ ﻨ ﻈ ﺮ ا ﷲ إﻟ ﯿ ﻪ ﯾ ﻮ م اﻟﻘ ﯿﺎ ﻣ ﺔ‬

“Isbal itu pada kain sarung, gamis dan imamah. Barangsiapa menjulurkannya sedikit saja
karena sombong, tidak akan dipandang oleh Allah di hari kiamat”

Sehingga mereka beranggapan bahwa isbal untuk pakaian lain, misalnya celana pantalon,
itu bukan yang dimaksud oleh hadits-hadits larangan isbal.

Anggapan ini salah. Larangan isbal juga berlaku pada model pakaian zaman sekarang
seperti celana panjang pantalon. Syaikh Ali Hasan Al Halabi membantah anggapan ini,
beliau berkata, “Sebagian orang mengira bahwa hadits ini menunjukkan bahwa larangan
isbal hanya pada tiga jenis pakaian: kain sarung (izaar), gamis dan imamah. Dan isbal
pada celana pantalon tidak termasuk dalam larangan. Ini adalah klaim yang tertolak oleh
hadist itu sendiri. Karena justru makna hadits ini adalah meniadakan anggapan bahwa
larangan isbal itu hanya pada kain (izaar). Bahkan larangannya berlaku pada semua jenis
pakaian, baik yang ada di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (seperti gamis, imamah
dan sirwal), atau pakaian pada masa yang lain, seperti celana pantalon di zaman kita”.
Beliau lalu memaparkan alasannya, secara ringkas sebagai berikut:

Alasan 1

Dalam Lisaanul Arab dijelaskan makna izaar:

‫ اﻟﻤﻠﺤﻔﺔ‬: ‫ وﺗﻌﻨﻲ أﯾﻀﺎ‬. ‫ ﻛﻞ ﻣﻦ واراَك وَﺳَﺘَﺮَك‬: ‫اﻹزار‬

“Izaar adalah apa saja yang menutupimu, termasuk juga selimut”

Alasan 2

Dalam sebagian hadits digunakan lafadz tsaub (‫)اﻟﺜﻮب‬, sedangkan dalam Lisaanul Arab
makna tsaub:

‫ اﻟﻠﺒﺎس‬:‫ ﻣﻦ َﺛَﻮَب وﯾﻌﻨﻲ‬: ‫ اﻟﺜﻮب‬.

“Tsaub, dari tsawaba, artinya pakaian”

7/10
Sehingga tsaub ini mencakup seluruh jenis pakaian

Alasan 3

Penjelasan para ulama:

Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan:


َ ‫ﱠ‬
‫ﺲ اﻟَّﻨﺎس اْﻟَﻘِﻤﯿﺺ‬ َ ‫ َﻓﻠََّﻤﺎ ﻟَِﺒ‬، ‫ إِﱠَﻧﻤﺎ َوَرَد اْﻟَﺨَﺒﺮ ِﺑﻠَْﻔِﻆ ا ِْﻹَزار َِﻷَّن أَْﻛَﺜﺮ اﻟَّﻨﺎس ِﻓﻲ َﻋْﻬﺪه َﻛﺎُﻧﻮا َﯾْﻠَﺒُﺴﻮَن ا ِْﻹَزار َواْﻷْرِدَﯾﺔ‬: ‫َوَﻗﺎَل اﻟَﻄﺒِﺮ ُّي‬
ّ
‫ َوﻓِﻲ‬، ‫ ﻓَﺈِﱡﻧَﻪ َﯾْﺸَﻤﻞ َﺟِﻤﯿﻊ َذﻟَِﻚ‬، ‫ﺺ ِﺑﺎﻟّﺜَْﻮِب‬ ّ َ‫ﺻِﺤﯿﺢ ﻟَْﻮ ﻟَْﻢ َﯾْﺄِت اﻟّﻨ‬ َ ّ
َ ‫ َﻫَﺬا ﻗَِﯿﺎس‬: ‫ ﻗَﺎل اِْﺑﻦ َﺑَﻄﺎل‬. ‫َواﻟﱠَﺪراِرﯾﻊ َﻛﺎَن ُﺣْﻜﻤَﻬﺎ ُﺣْﻜﻢ ا ِْﻹَزار ﻓِﻲ اﻟﻨَْﻬﻲ‬
‫ ﻓََﻤْﻬَﻤﺎ َزاَد َﻋﻠَﻰ اْﻟَﻌﺎَدة ﻓِﻲ َذﻟَِﻚ َﻛﺎَن ِﻣْﻦ‬، ‫ إَِّﻻ أَْن َﯾُﻜﻮن اْﻟُﻤَﺮاد َﻣﺎ َﺟَﺮْت ِﺑِﻪ َﻋﺎَدة اْﻟَﻌَﺮب ِﻣْﻦ إِْرَﺧﺎء اْﻟَﻌْﺬَﺑﺎت‬، ‫ﺗَْﺼِﻮﯾﺮ َﺟّﺮ اْﻟِﻌَﻤﺎَﻣﺔ ﻧََﻈﺮ‬
‫ا ِْﻹْﺳَﺒﺎل‬

“At Thabari berkata, lafadz-lafadz hadits menggunakan kata izaar karena kebanyakan
manusia di masa itu mereka memakai izaar [seperti pakaian bawahan untuk kain
ihram] dan rida’ [seperti pakaian atasan untuk kain ihram]. Ketika orang-orang mulai
memakai gamis dan jubah, maka hukumnya sama seperti larangan pada sarung. Ibnu
Bathal berkata, ini adalah qiyas atau analog yang tepat, andai tidak ada nash yang
menggunakan kata tsaub. Karena tsaub itu sudah mencakup semua jenis pakaian
[sehingga kita tidak perlu berdalil dengan qiyas, ed]. Sedangkan adanya isbal pada imamah
adalah suatu hal yang tidak bisa kita bayangkan kecuali dengan mengingat kebiasaan
orang Arab yang menjulurkan ujung sorbannya. Sehingga pengertian isbal dalam hal ini
adalah ujung sorban yang kelewat panjang melebihi umumnya panjang ujung sorban yang
dibiasa dipakai di masyarakat setempat” (Fathul Baari, 16/331)

Penulis Syarh Sunan Abi Daud (9/126) berkata:

: ‫ﻗَﺎَل اِْﺑﻦ َرْﺳَﻼن‬. ‫ﺼﺎص ا ِْﻹْﺳَﺒﺎل ِﺑﺎ ِْﻹَزاِر َﺑْﻞ َﯾُﻜﻮن ِﻓﻲ اْﻟَﻘِﻤﯿﺺ َواْﻟِﻌَﻤﺎَﻣﺔ َﻛَﻤﺎ ِﻓﻲ اْﻟَﺤِﺪﯾﺚ‬ َ َ ْ
َ ‫ِﻓﻲ َﻫَﺬا اﻟَﺤِﺪﯾﺚ َدَﻻﻟﺔ َﻋﻠﻰ َﻋَﺪم اِْﺧِﺘ‬
ّ
‫َواﻟَﻄْﯿﻠََﺴﺎن َواﻟﱠِﺮداء َواﻟَّﺸْﻤﻠَﺔ‬

“Hadits ini merupakan dalil bahwa isbal tidak khusus pada kain sarung saja, bahkan juga
pada gamis dan imamah sebagaimana dalam hadits. Ibnu Ruslan berkata, juga pada
thailasan [kain sorban yang disampirkan di pundak], rida’ dan syamlah [kain yang dipakai
untuk menutupi bagian atas badan dan dipakai dengan cara berkemul]”

Al’Aini dalam ‘Umdatul Qari (31/429) menuturkan:

‫ﻗ ﻮﻟ ﻪ ﻣ ﻦ ﺟ ﺮ ﺛ ﻮ ﺑ ﻪ ﯾﺪ ﺧ ﻞ ﻓ ﯿ ﻪ ا ﻹ زا ر واﻟ ﺮدا ء واﻟﻘ ﻤ ﯿ ﺺ واﻟ ﺴ ﺮا و ﯾ ﻞ واﻟ ﺠ ﺒ ﺔ واﻟﻘ ﺒﺎ ء و ﻏ ﯿ ﺮ ذﻟ ﻚ ﻣ ﻤﺎ ﯾ ﺴ ﻤ ﻰ ﺛ ﻮ ﺑﺎ ﺑ ﻞ و رد ﻓ ﻲ اﻟ ﺤﺪ ﯾ ﺚ‬


‫… د ﺧ ﻮ ل اﻟ ﻌ ﻤﺎ ﻣ ﺔ ﻓ ﻲ ذﻟ ﻚ‬

“Perkataan Nabi ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya‘ ini mencakup kain sarung, rida’,
gamis, sirwal, jubah, qubba’, dan jenis pakaian lain yang masih disebut sebagai pakaian.
Bahkan terdapat riwayat yang memasukan imamah dalam hal ini”

Sumber: http://almenhaj.net/makal.php?linkid=7415

Syubhat 4: Isbal khan cuma makruh! Jadi tidak mengapa setiap hari saya
isbal

8/10
Terlepas dari perselisihan para ulama tentang hukum isbal antara haram dan makruh,
perkataan ini sejatinya menggambarkan betapa dangkalnya sifat wara’ yang dimiliki.
Karena seorang mu’min yang sejati adalah yang takut dan khawatir dirinya terjerumus
dalam dosa sehingga ia meninggalkan hal-hal yang jelas haramnya, yang masih ragu
halal-haramnya, atau yang mendekati tingkatan haram, inilah sikap wara’. Bukan
sebaliknya, malah membiasakan diri dan terus-menerus melakukan hal yang mendekati
keharaman atau yang makruh. Bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ َوَﻣْﻦ َوﻗََﻊ ِﻓﻲ‬،‫ﺿِﻪ‬ ِ ‫ َﻓَﻤِﻦ اﱠﺗَﻘﻰ اﻟُﻤَﺸﱠَﺒﻬﺎِت اْﺳﺘَْﺒَﺮأَ ﻟِِﺪﯾِﻨِﻪ َوِﻋْﺮ‬،‫ َوَﺑْﯿَﻨُﻬَﻤﺎ ُﻣَﺸﱠَﺒﻬﺎٌت َﻻ َﯾْﻌﻠَُﻤَﻬﺎ َﻛِﺜﯿٌﺮ ِﻣَﻦ اﻟﱢَﻨﺎس‬،‫ َواﻟَﺤَﺮاُم َﺑﱞِﯿﻦ‬،‫اﻟَﺤَﻼُل َﺑﱞِﯿﻦ‬
‫ﱡ‬
‫ ُﯾﻮِﺷُﻚ أَْن ُﯾَﻮاِﻗَﻌُﻪ‬،‫ َﻛَﺮاٍع َﯾْﺮَﻋﻰ َﺣْﻮَل اﻟِﺤَﻤﻰ‬:‫اﻟُﺸﺒَﻬﺎِت‬

“Yang halal itu jelas, yang haram itu jelas. Diantaranya ada yang syubhat, yang tidak
diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjauhi yang syubhat, ia
telah menjaga kehormatan dan agamanya. Barangsiapa mendekati yang syubhat,
sebagaimana pengembala di perbatasan. Hampir-hampir saja ia melewatinya” (HR.
Bukhari 52, Muslim 1599)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

‫إَِّن اﻟَّﺸْﯿَﻄﺎَن َﯾْﺠِﺮي ﻣﻦ اْﺑﻦ آدم ﻣﺠﺮى اﻟﺪم‬

“Sesungguhnya setan ikut mengalir dalam darah manusia” (HR. Bukhari 7171, Muslim
2174)

Al Khathabi menjelaskan hadits ini:


‫ﱡ‬
‫ﻓِﻲ َﻫَﺬا اْﻟَﺤِﺪﯾِﺚ ِﻣَﻦ اْﻟِﻌْﻠِﻢ اْﺳﺘِْﺤَﺒﺎُب أَْن َﯾْﺤَﺬَر اِﻹْﻧَﺴﺎُن ِﻣْﻦ ُﻛِّﻞ أَْﻣٍﺮ ِﻣَﻦ اْﻟَﻤْﻜُﺮوهِ ِﻣَّﻤﺎ ﺗَْﺠِﺮي ِﺑِﻪ اﻟُﻈﻨﻮُن َوَﯾْﺨُﻄُﺮ ِﺑﺎْﻟُﻘُﻠﻮِب َوأَْن َﯾْﻄُﻠَﺐ‬
‫اﻟﱠَﺴﻼﻣَﺔ ِﻣَﻦ اﻟﱢَﻨﺎس ِﺑﺈِْﻇَﻬﺎِر اْﻟَﺒَﺮاَءِة ِﻣَﻦ اﻟﱠِﺮﯾِﺐ‬

“Dalam hadits ini ada ilmu tentang dianjurkannya setiap manusia untuk menjauhi setiap hal
yang makruh dan berbagai hal yang menyebabkan orang lain punya sangkaan dan
praduga yang tidak tidak. Dan anjuran untuk mencari tindakan yang selamat dari
prasangka yang tidak tidak dari orang lain dengan menampakkan perbuatan yang bebas
dari hal hal yang mencurigakan” (Talbis Iblis, 1/33)

Lebih lagi, jika para da’i, aktifis dakwah, dan pengajar ilmu agama gemar membiasakan diri
melakukan hal yang makruh. Padahal mereka panutan masyarakat dan orang yang
dianggap baik agamanya. Sejatinya, semakin bagus keislaman seseorang, dia akan
semakin wara’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ َوَﺧْﯿُﺮ ِدﯾِﻨُﻜُﻢ اْﻟَﻮَرُع‬،‫َﻓْﻀُﻞ اْﻟِﻌْﻠِﻢ أََﺣ ُّﺐ إِﻟََّﻲ ِﻣْﻦ َﻓْﻀِﻞ اْﻟِﻌَﺒﺎَدِة‬

“Keutamaan dalam ilmu lebih disukai daripada keutamaan dalam ibadah. Dan keislaman
kalian yang paling baik adalah sifat wara’” (HR. Al Hakim 314, Al Bazzar 2969, Ath
Thabrani dalam Al Ausath 3960. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib 1740)

Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata:


ّ ّ
«‫ﺲ ِﺑﺎﻟَﻄْﻨَﻄَﻨِﺔ ِﻣْﻦ آِﺧِﺮ اﻟﻠَْﯿِﻞ َوﻟَِﻜَّﻦ اﻟﱠِﺪﯾﻦ اْﻟَﻮَرُع‬
َ ‫»إَِّن اﻟﱠِﺪﯾﻦ ﻟَْﯿ‬

9/10
“Agama Islam itu bukanlah sekedar dengungan di akhir malam, namun Islam itu adalah
bersikap wara’” (HR Ahmad dalam Az Zuhd, 664)

Para penuntut ilmu agama, ustadz, kyai, atau ulama yang paham agama secara
mendalam, semestinya lebih wara’ bukan malah asyik-masyuk mengamalkan yang
makruh-makruh. Al Hasan Al Bashri berkata:
‫ﱡ‬
«‫ﻀُﻞ اْﻟِﻌْﻠِﻢ اْﻟَﻮَرُع َواﻟﱠَﺘﻮُﻛﻞ‬
َ ‫» أَْﻓ‬

“Ilmu yang paling utama adalah wara’ dan tawakal” (HR. Ahmad dalam Az Zuhd, 1500)

Yahya bin Abi Katsir berkata:


‫ﱢ‬ ‫ﱠ‬
«‫ َوَﺧْﺸَﯿُﺔ اَﷲ اْﻟَﻮَرُع‬, ‫اْﻟَﻌ»ﺎﻟُِﻢ َﻣْﻦ َﺧِﺸَﻲ اَﷲ‬

“Orang alim adalah orang yang takut kepada Allah. Takut kepada Allah itulah wara’”
(Akhlaqul ‘Ulama, 1/70)

Berangkat dari sikap wara’ inilah maka para fuqaha yang berpendapat isbal itu makruh
hendaknya tidak isbal kecuali ada kebutuhan, semisal karena hanya memiliki 1 pakaian,
karena sakit atau karena ada udzur lain.

Demikian sedikit yang bisa kami paparkan. Semoga bermanfaat.

Penulis: Yulian Purnama


Artikel Muslim.Or.Id

10/10

Anda mungkin juga menyukai