Anda di halaman 1dari 8

Di Manakah Allah (4), Empat Imam Madzhab Sepakat

Bahwa Allah Berada di Atas Langit


rumaysho.com/933-di-manakah-allah-4.html

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.


Para pengunjung Rumaysho.com yang semoga senantiasa mendapat penjagaan Allah
Ta’ala. Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan kembali pembuktian mengenai
aqidah Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Yang kita utarakan nanti
adalah perkataan empat imam madzhab mengenai ideologi tersebut. Kita dapat saksikan
bahwa empat imam madzhab sepakat dalam hal ini dan orang-orang semacam abusalafy
yang menganut aqidah Jahmiyah yang melenceng jauh dari aqidah mereka-mereka ini.
Semoga Allah senantiasa memberi taufik.

Sikap Keras Abu Hanifah[1] Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah

Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,

‫ﻣ ﻦ ا ﻧ ﻜ ﺮ ا ن ا ﷲ ﺗ ﻌﺎﻟ ﻰ ﻓ ﻲ اﻟ ﺴ ﻤﺎ ء ﻓﻘﺪ ﻛﻔ ﺮ‬

“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”[2]

Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar–[3], beliau
berkata,

‫ﺳﺄﻟ ﺖ أ ﺑﺎ ﺣ ﻨ ﯿﻔ ﺔ ﻋ ﻤ ﻦ ﯾﻘ ﻮ ل ﻻ أ ﻋ ﺮ ف ر ﺑ ﻲ ﻓ ﻲ اﻟ ﺴ ﻤﺎ ء أ و ﻓ ﻲ ا ﻷ ر ض ﻓﻘﺎ ل ﻗﺪ ﻛﻔ ﺮ ﻷ ن ا ﷲ ﺗ ﻌﺎﻟ ﻰ ﯾﻘ ﻮ ل اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ ﻋﻠ ﻰ اﻟ ﻌ ﺮ ش ا ﺳ ﺘ ﻮ ى‬


‫و ﻋ ﺮ ﺷ ﻪ ﻓ ﻮ ق ﺳ ﻤ ﻮا ﺗ ﻪ ﻓﻘﻠ ﺖ إ ﻧ ﻪ ﯾﻘ ﻮ ل أ ﻗ ﻮ ل ﻋﻠ ﻰ اﻟ ﻌ ﺮ ش ا ﺳ ﺘ ﻮ ى وﻟ ﻜ ﻦ ﻗﺎ ل ﻻ ﯾﺪ ر ي اﻟ ﻌ ﺮ ش ﻓ ﻲ اﻟ ﺴ ﻤﺎ ء أ و ﻓ ﻲ ا ﻷ ر ض ﻗﺎ ل إذا أ ﻧ ﻜ ﺮ‬
‫أ ﻧ ﻪ ﻓ ﻲ اﻟ ﺴ ﻤﺎ ء ﻓﻘﺪ ﻛﻔ ﺮ ر وا ﻫﺎ ﺻﺎ ﺣ ﺐ اﻟﻔﺎ ر و ق ﺑﺈ ﺳ ﻨﺎد ﻋ ﻦ أ ﺑ ﻲ ﺑ ﻜ ﺮ ﺑ ﻦ ﻧ ﺼ ﯿ ﺮ ﺑ ﻦ ﯾ ﺤ ﯿ ﻰ ﻋ ﻦ اﻟ ﺤ ﻜ ﻢ‬

Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku
tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah
lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,

ِ ‫اﻟﱠﺮْﺣَﻤُﻦ َﻋﻠَﻰ اْﻟَﻌْﺮ‬


‫ش اْﺳَﺘَﻮى‬

“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[4] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut
mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi
orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas
mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[5]

Imam Malik bin Anas[6], Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit

Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan
bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia
berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,

‫ا ﷲ ﻓ ﻲ اﻟ ﺴ ﻤﺎ ء و ﻋﻠ ﻤ ﻪ ﻓ ﻲ ﻛ ﻞ ﻣ ﻜﺎ ن ﻻ ﯾ ﺨﻠ ﻮ ﻣ ﻨ ﻪ ﺷ ﻲ ء‬

1/8
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu
tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[7]

Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama
lainnya, mereka berkata,

‫ﺟﺎ ء ر ﺟ ﻞ إﻟ ﻰ ﻣﺎﻟ ﻚ ﻓﻘﺎ ل ﯾﺎ أ ﺑﺎ ﻋ ﺒﺪ ا ﷲ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ ﻋﻠ ﻰ اﻟ ﻌ ﺮ ش ا ﺳ ﺘ ﻮ ى ﻛ ﯿ ﻒ ا ﺳ ﺘ ﻮ ى ﻗﺎ ل ﻓ ﻤﺎ رأ ﯾ ﺖ ﻣﺎﻟ ﻜﺎ و ﺟﺪ ﻣ ﻦ ﺷ ﻲ ء ﻛ ﻤ ﻮ ﺟﺪ ﺗ ﻪ ﻣ ﻦ‬


‫ﻣﻘﺎﻟ ﺘ ﻪ و ﻋ ﻼه اﻟ ﺮ ﺣ ﻀﺎ ء ﯾ ﻌ ﻨ ﻲ اﻟ ﻌ ﺮ ق وأ ﻃ ﺮ ق اﻟﻘ ﻮ م ﻓ ﺴ ﺮ ي ﻋ ﻦ ﻣﺎﻟ ﻚ و ﻗﺎ ل اﻟ ﻜ ﯿ ﻒ ﻏ ﯿ ﺮ ﻣ ﻌﻘ ﻮ ل وا ﻹ ﺳ ﺘ ﻮا ء ﻣ ﻨ ﻪ ﻏ ﯿ ﺮ ﻣ ﺠ ﻬ ﻮ ل وا ﻹ ﯾ ﻤﺎ ن‬
‫ﺑ ﻪ وا ﺟ ﺐ واﻟ ﺴ ﺆا ل ﻋ ﻨ ﻪ ﺑﺪ ﻋ ﺔ وإ ﻧ ﻲ أ ﺧﺎ ف أ ن ﺗ ﻜ ﻮ ن ﺿﺎ ﻻ وأ ﻣ ﺮ ﺑ ﻪ ﻓﺄ ﺧ ﺮ ج‬

“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam
Malik), Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫اﻟﱠﺮْﺣَﻤُﻦ َﻋﻠَﻰ اْﻟَﻌْﺮ‬


‫ش اْﺳَﺘَﻮى‬

“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[8]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?”
Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau
marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang
tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,

َ ‫اﻟَﻜْﯿُﻒ َﻏْﯿُﺮ َﻣْﻌُﻘْﻮٍل َواِﻹْﺳِﺘَﻮاُء ِﻣْﻨُﻪ َﻏْﯿُﺮ َﻣْﺠُﻬْﻮٍل َواِﻹْﯾَﻤﺎُن ِﺑِﻪ َواِﺟٌﺐ َواﻟﱡﺴَﺆاُل َﻋْﻨُﻪ ِﺑْﺪَﻋٌﺔ َوإِﱢﻧﻲ أََﺧﺎُف أَْن ﺗَُﻜْﻮَن‬
‫ﻻ‬‫ﺿﺎ‬

“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya.
Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat)
istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang
tersebut diperintah untuk keluar.[9]

Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang
pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.

Imam Asy Syafi’i[10] -yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia
dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit

Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin
Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim
bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah
telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,

‫اﻟﻘ ﻮ ل ﻓ ﻲ اﻟ ﺴ ﻨ ﺔ اﻟ ﺘ ﻲ أ ﻧﺎ ﻋﻠ ﯿ ﻬﺎ و رأ ﯾ ﺖ ا ﺻ ﺤﺎ ﺑ ﻨﺎ ﻋﻠ ﯿ ﻬﺎ ا ﺻ ﺤﺎ ب اﻟ ﺤﺪ ﯾ ﺚ اﻟﺬ ﯾ ﻦ رأ ﯾ ﺘ ﻬ ﻢ ﻓﺄ ﺧﺬ ت ﻋ ﻨ ﻬ ﻢ ﻣ ﺜ ﻞ ﺳﻔ ﯿﺎ ن و ﻣﺎﻟ ﻚ و ﻏ ﯿ ﺮ ﻫ ﻤﺎ‬


‫ا ﻹ ﻗ ﺮا ر ﺑ ﺸ ﻬﺎدة ا ن ﻻاﻟ ﻪ ا ﻻ ا ﷲ وا ن ﻣ ﺤ ﻤﺪا ر ﺳ ﻮ ل ا ﷲ وذ ﻛ ﺮ ﺷ ﯿ ﺌﺎ ﺛ ﻢ ﻗﺎ ل وا ن ا ﷲ ﻋﻠ ﻰ ﻋ ﺮ ﺷ ﻪ ﻓ ﻲ ﺳ ﻤﺎ ﺋ ﻪ ﯾﻘ ﺮ ب ﻣ ﻦ ﺧﻠﻘ ﻪ ﻛ ﯿ ﻒ ﺷﺎ ء‬
‫وا ن ا ﷲ ﺗ ﻌﺎﻟ ﻰ ﯾ ﻨ ﺰ ل اﻟ ﻰ اﻟ ﺴ ﻤﺎ ء اﻟﺪ ﻧ ﯿﺎ ﻛ ﯿ ﻒ ﺷﺎ ء وذ ﻛ ﺮ ﺳﺎ ﺋ ﺮ ا ﻻ ﻋ ﺘﻘﺎد‬

“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya,
juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui
bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan,
“Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun

2/8
walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah
Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah
menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[11]

Imam Ahmad bin Hambal[12] Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas
‘Arsy-Nya

Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai


ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela
sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam
Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana
telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah
(Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh
makhluk-Nya).”[13]

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,

‫ﻣﺎ ﻣ ﻌ ﻨ ﻰ ﻗ ﻮﻟ ﻪ و ﻫ ﻮ ﻣ ﻌ ﻜ ﻢ أ ﯾ ﻨ ﻤﺎ ﻛ ﻨ ﺘ ﻢ و ﻣﺎ ﯾ ﻜ ﻮ ن ﻣ ﻦ ﻧ ﺠ ﻮ ى ﺛ ﻼ ﺛ ﻪ ا ﻻ ﻫ ﻮ را ﺑ ﻌ ﻬ ﻢ ﻗﺎ ل ﻋﻠ ﻤ ﻪ ﻋﺎﻟ ﻢ اﻟ ﻐ ﯿ ﺐ واﻟ ﺸ ﻬﺎده ﻋﻠ ﻤ ﻪ ﻣ ﺤ ﯿ ﻂ ﺑ ﻜ ﻞ ﺷ ﻲ ء‬


‫ﺷﺎ ﻫﺪ ﻋ ﻼ م اﻟ ﻐ ﯿ ﻮ ب ﯾ ﻌﻠ ﻢ اﻟ ﻐ ﯿ ﺐ ر ﺑ ﻨﺎ ﻋﻠ ﻰ اﻟ ﻌ ﺮ ش ﺑ ﻼ ﺣﺪ و ﻻ ﺻﻔ ﻪ و ﺳ ﻊ ﻛ ﺮ ﺳ ﯿ ﻪ اﻟ ﺴ ﻤ ﻮا ت وا ﻷ ر ض‬

“Apa makna firman Allah,

‫َﻮ َﻣَﻌُﻜْﻢ أَْﯾَﻦ َﻣﺎ ُﻛْﻨُﺘْﻢ‬

“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.”[14]

‫َﻣﺎ َﯾُﻜﻮُن ِﻣْﻦ ﻧَْﺠَﻮى ﺛََﻼﺛٍَﺔ إِﱠﻻ ُﻫَﻮ َراِﺑُﻌُﻬْﻢ‬

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”[15]

Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang
ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang
tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan
ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun
meliputi langit dan bumi.”

Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,

‫ﻗ ﯿ ﻞ ﻷ ﺑ ﻲ ﻋ ﺒﺪ ا ﷲ ا ﺣ ﻤﺪ ﺑ ﻦ ﺣ ﻨ ﺒ ﻞ ا ﷲ ﻋ ﺰ و ﺟ ﻞ ﻓ ﻮ ق اﻟ ﺴ ﻤﺂ ء اﻟ ﺴﺎ ﺑ ﻌ ﺔ ﻋﻠ ﻰ ﻋ ﺮ ﺷ ﻪ ﺑﺎ ﺋ ﻦ ﻣ ﻦ ﺧﻠﻘ ﻪ و ﻗﺪ ر ﺗ ﻪ و ﻋﻠ ﻤ ﻪ ﺑ ﻜ ﻞ ﻣ ﻜﺎ ن ﻗﺎ ل ﻧ ﻌ ﻢ‬
‫ﻋﻠ ﻰ اﻟ ﻌ ﺮ ش و ﻻ ﯾ ﺨﻠ ﻮ ﻣ ﻨ ﻪ ﻣ ﻜﺎ ن‬

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas
langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan
ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali.
Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[16]

Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan
padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok
ketika ada yang bertanya padanya,

‫ﻛ ﯿ ﻒ ﻧ ﻌ ﺮ ف ر ﺑ ﻨﺎ‬

3/8
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,

‫ﻓ ﻲ اﻟ ﺴ ﻤﺎ ء اﻟ ﺴﺎ ﺑ ﻌ ﺔ ﻋﻠ ﻰ ﻋ ﺮ ﺷ ﻪ‬

“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,

‫ﻫ ﻜﺬا ﻫ ﻮ ﻋ ﻨﺪ ﻧﺎ‬

“Begitu juga keyakinan kami.”[17]

Tidak Perlu Disangsikan Lagi

Itulah perkataan empat Imam Madzhab yang jelas-jelas perkataan mereka meyakini bahwa
Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya ini adalah
ijma’ yaitu kesepakatan atau konsensus seluruh ulama Ahlus Sunnah. Lantas mengapa
aqidah ini perlu diragukan oleh orang yang jauh dari kebenaran?

Ini bukti ijma’ ulama yang dibawakan oleh Ishaq bin Rohuwyah.

‫ﻗﺎ ل أ ﺑ ﻮ ﺑ ﻜ ﺮ اﻟ ﺨ ﻼ ل أ ﻧ ﺒﺄ ﻧﺎ اﻟ ﻤ ﺮ وذ ي ﺣﺪ ﺛ ﻨﺎ ﻣ ﺤ ﻤﺪ ﺑ ﻦ اﻟ ﺼ ﺒﺎ ح اﻟ ﻨ ﯿ ﺴﺎ ﺑ ﻮ ر ي ﺣﺪ ﺛ ﻨﺎ أ ﺑ ﻮ دا ود اﻟ ﺨﻔﺎ ف ﺳﻠ ﯿ ﻤﺎ ن ﺑ ﻦ دا ود ﻗﺎ ل ﻗﺎ ل إ ﺳ ﺤﺎ ق ﺑ ﻦ‬
‫را ﻫ ﻮ ﯾ ﻪ ﻗﺎ ل ا ﷲ ﺗ ﻌﺎﻟ ﻰ اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ ﻋﻠ ﻰ اﻟ ﻌ ﺮ ش ا ﺳ ﺘ ﻮ ى إ ﺟ ﻤﺎ ع أ ﻫ ﻞ اﻟ ﻌﻠ ﻢ أ ﻧ ﻪ ﻓ ﻮ ق اﻟ ﻌ ﺮ ش ا ﺳ ﺘ ﻮ ى و ﯾ ﻌﻠ ﻢ ﻛ ﻞ ﺷ ﻲ ء ﻓ ﻲ أ ﺳﻔ ﻞ ا ﻷ ر ض‬
‫اﻟ ﺴﺎ ﺑ ﻌ ﺔ‬

“Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau
katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau
katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau
katakana, Ishaq bin Rohuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫اﻟﱠﺮْﺣَﻤُﻦ َﻋﻠَﻰ اْﻟَﻌْﺮ‬


‫ش اْﺳﺘََﻮى‬

“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[18]. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada
di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.[19]

Adz Dzahabi rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau


rahimahullah mengatakan,

‫ا ﺳ ﻤ ﻊ و ﯾ ﺤ ﻚ إﻟ ﻰ ﻫﺬا ا ﻹ ﻣﺎ م ﻛ ﯿ ﻒ ﻧﻘ ﻞ ا ﻹ ﺟ ﻤﺎ ع ﻋﻠ ﻰ ﻫﺬه اﻟ ﻤ ﺴﺄﻟ ﺔ ﻛ ﻤﺎ ﻧﻘﻠ ﻪ ﻓ ﻲ ز ﻣﺎ ﻧ ﻪ ﻗ ﺘ ﯿ ﺒ ﺔ اﻟ ﻤﺬ ﻛ ﻮ ر‬

“Dengarkanlah perkataan Imam yang satu ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya
ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh
Qutaibah di masanya.”[20]

Sanggahan: Abu Salafy Cuma Asal Nuduh

Kami sedikit mencuplik ucapan beliau dalam postingan di blognya dengan judul “Kaum
Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Malik”. Beliau membawakan nukilan berikut ini
ketika menerangkan ucapan Imam Malik di atas.

Ibnu Lubbân dalam menafsirkan ucapan Imam Maliki di atas mengatakan, seperti
disebutkan dalam Ithâf as Sâdah al Muttaqîn,2/82:

‫ﻛ ﯿ ﻒ ﻏ ﯿ ﺮ ﻣ ﻌﻘ ﻮ ل أ ي ﻛ ﯿ ﻒ ﻣ ﻦ ﺻﻔﺎ ت اﻟ ﺤ ﻮاد ث و ﻛ ﻞ ﻣﺎ ﻛﺎ ن ﻣ ﻦ ﺻﻔﺎ ت اﻟ ﺤ ﻮاد ث ﻓﺈ ﺛ ﺒﺎ ﺗ ﻪ ﻓ ﻲ ﺻﻔﺎ ت ا ﷲ ﺗ ﻌﺎﻟ ﻰ ﯾ ﻨﺎ ﻓ ﻲ ﻣﺎ ﯾﻘ ﺘ ﻀ ﯿ ﻪ‬


4/8
‫ وا ﻹ ﯾ ﻤﺎ ن ﺑ ﻪ ﻋﻠ ﻰ اﻟ ﻮ ﺟ ﻪ‬، ‫ وا ﻻ ﺳ ﺘ ﻮا ء ﻏ ﯿ ﺮ ﻣ ﺠ ﻬ ﻮ ل أ ي أ ﻧ ﻪ ﻣ ﻌﻠ ﻮ م اﻟ ﻤ ﻌ ﻨ ﻰ ﻋ ﻨﺪ أ ﻫ ﻞ اﻟﻠ ﻐ ﺔ‬: ‫ ﻗ ﻮﻟ ﻪ‬، ‫اﻟ ﻌﻘ ﻞ ﻓ ﯿ ﺠ ﺰ م ﺑ ﻨﻔ ﯿ ﻪ ﻋ ﻦ ا ﷲ ﺗ ﻌﺎﻟ ﻰ‬
‫ واﻟ ﺴ ﺆا ل ﻋ ﻨ ﻪ ﺑﺪ ﻋ ﺔ ؛ أ ي ﺣﺎد ث ﻷ ن اﻟ ﺼ ﺤﺎ ﺑ ﺔ ﻛﺎ ﻧ ﻮا ﻋﺎﻟ ﻤ ﯿ ﻦ ﺑ ﻤ ﻌ ﻨﺎه اﻟ ﻼ ﺋ ﻖ‬، ‫اﻟ ﻼ ﺋ ﻖ ﺑ ﻪ ﺗ ﻌﺎﻟ ﻰ وا ﺟ ﺐ ؛ ﻷ ﻧ ﻪ ﻣ ﻦ ا ﻹ ﯾ ﻤﺎ ن ﺑﺎ ﷲ و ﺑ ﻜ ﺘ ﺒ ﻪ‬
‫ ﻓﻠ ﻤﺎ ﺟﺎ ء ﻣ ﻦ ﻟ ﻢ ﯾ ﺤ ﻂ ﺑﺄ و ﺿﺎ ع ﻟ ﻐ ﺘ ﻬ ﻢ و ﻻ ﻟ ﻪ ﻧ ﻮ ر ﻛ ﻨ ﻮ ر ﻫ ﻢ ﯾ ﻬﺪ ﯾ ﻪ ﻟ ﺼﻔﺎ ت ر ﺑ ﻪ ﯾ ﺴﺄ ل ﻋ ﻦ‬، ‫ﺑ ﺤ ﺴ ﺐ و ﺿ ﻊ اﻟﻠ ﻐ ﺔ ﻓﻠ ﻢ ﯾ ﺤ ﺘﺎ ﺟ ﻮا ﻟﻠ ﺴ ﺆا ل ﻋ ﻨ ﻪ‬
‫ ﻓ ﻜﺎ ن ﺳ ﺆاﻟ ﻪ ﺳ ﺒ ﺒﺎ ﻻ ﺷ ﺘ ﺒﺎ ﻫ ﻪ ﻋﻠ ﻰ اﻟ ﻨﺎ س و ز ﯾ ﻐ ﻬ ﻢ ﻋ ﻦ اﻟ ﻤ ﺮاد‬، ‫ ذﻟ ﻚ‬.

“Kaif tidak masuk akal, sebab ia termasuk sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka
jika ditetapkan menjadi sifat –ta’ala- pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya berdasarkan
hukum akal sehat, maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari Allah –ta’ala-. Ucapan
beliau, “Istiwâ’ tidak majhûl” yaitu ia telah diketahui oleh ahli bahasa apa maknanya.
Beriman sesuai dengan makna yang layak bagi Allah adalah wajib hukumnya, sebab ia
termasuk beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya. Dan “bertanya tentangnya adalah
bid’ah” yaitu sesuatu yang dahulu tidak pernah muncul, sebab di masa sahabat, mereka
sudah mengetahui maknanya yang layak sesuai dengan pemaknaan bahasa. Karenanya
mereka tidak butuh untuk menanyakannya. Dan ketika datang orang yang tidak menguasai
penggunaan bahasa mereka dan tidak memiliki cahaya seperti cahaya para sahabat yang
akan membimbing mereka untuk mengenali sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah
pertanyaan tentangnya. Dan pertanyaan itu menjadi sebab kekaburan atas manusia dan
penyimpangan mereka dari yang apa yang dimaksud.”

Diriwayatkan juga bahwa Imam Malik berkata:

‫ و ﻛ ﯿ ﻒ ﻋ ﻨ ﻪ ﻣ ﺮ ﻓ ﻮ ع‬، ‫… اﻟ ﺮ ﺣ ﻤ ﻦ ﻋﻠ ﻰ اﻟ ﻌ ﺮ ش ا ﺳ ﺘ ﻮ ى ﻛ ﻤﺎ و ﺻ ﻒ ﺑ ﻪ ﻧﻔ ﺴ ﻪ و ﻻ ﯾﻘﺎ ل ﻛ ﯿ ﻒ‬

“Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh
dikatakan: Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâf
as Sâdah,2/82, Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72)

Pernyataan di atas benar-benar tamparan keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah!

Penulis berkata, “Perkataan Imam Malik itu benar adanya. Begitu pula penjelasan dari Ibnu
Lubban itu benar. Maksud perkataan mereka berdua adalah bahwa makna Istiwa’ itu
sudah diketahui, sedangkan bagaimana dan hakekat Allah itu beristiwa’ itu tidak diketahui
karena memang kita tidak diberitahu tentang hal tersebut. Kami khawatir abusalafy sendiri
sebenarnya tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh Imam Malik dan Ibnu Libban.
Sampai-sampai dalam tulisan lain abusalafy menuduh yang bukan-bukan. Dalam tulisan
lain yang abusalafy berkata:

Itulah yang benar-benar terjadi! Mazhab Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan


meyakinkan kaum Muslimin bahwa Allah itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-
Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan
bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai
bentuk binatang lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang menggambarkan
Allah itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat makhluk-Nya..

Penulis menjawab, “Siapa yang katakan bahwa sifat Allah itu dapat digambarkan
bentuknya? Mana buktinya?” Beliau juga menuduh kami, “Allah duduk di atas Arsy-Nya
yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk
mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk

5/8
binatang lain”. Penulis menjawab, “Mana buktinya kami pernah menyatakan demikian?
Dalam kitab mana? Ini sungguh tuduhan dan klaim dusta yang mengada-ada. Beliau pun
tidak berani menunjukkan bukti dari tuduhan yang beliau bawakan.”

Semoga beliau bisa membedakan menetapkan sifat Allah dan menyebutkan bagaimana
hakekat sifat tersebut. Coba renungkan dengan baik-baik perkataan Ishaq bin Rohuwyah
yang pernah kami bawakan di postingan pertama serial ini. Beliau rahimahullah
mengatakan, “Yang disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), jika kita
mengatakan, ‘Tangan Allah sama dengan tanganku atau pendengaran-Nya sama dengan
pendengaranku.’ Inilah yang disebut tasybih. Namun jika kita mengatakan sebagaimana
yang Allah katakan yaitu mengatakan bahwa Allah memiliki tangan, pendengaran dan
penglihatan; dan kita tidak sebut, ‘Bagaimana hakikat tangan Allah, dsb?’ dan tidak pula
kita katakan, ‘Sifat Allah itu sama dengan sifat kita (yaitu tangan Allah sama dengan tangan
kita)’; seperti ini tidaklah disebut tasybih. Karena ingatlah Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫ﺲ َﻛِﻤْﺜﻠِِﻪ َﺷْﻲٌء َوُﻫَﻮ اﻟﱠﺴِﻤﯿُﻊ اْﻟَﺒ‬


‫ﺼﯿُﺮ‬ َ ‫ﻟَْﯿ‬

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Melihat.” (QS. Asy Syuro: 11)[21]

Jadi ingatlah bahwa menyatakan Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, di atas
langit ketujuh bukan berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Namun kita yakini
sifat Allah itu jauh berbeda dengan makhluk-Nya, karena itulah perbedaan Allah yang
memiliki sifat kemuliaan dan makhluk yang selalu dipenuhi kehinaan. Itulah memang
karakter busuk dari Jahmiyah, asal menuduh yang bukan-bukan. Bagi setiap orang yang
menetapkan sifat Allah, maka dituduhlah Mujassimah. Jauh-jauh hari, Ahmad bin Abdul
Halim Al Haroni telah mengisyaratkan,

‫ﻓﺎﻟ ﻤ ﻌ ﺘ ﺰﻟ ﺔ واﻟ ﺠ ﻬ ﻤ ﯿ ﺔ و ﻧ ﺤ ﻮ ﻫ ﻢ ﻣ ﻦ ﻧﻔﺎة اﻟ ﺼﻔﺎ ت ﯾ ﺠ ﻌﻠ ﻮ ن ﻛ ﻞ ﻣ ﻦ أ ﺛ ﺒ ﺘ ﻬﺎ ﻣ ﺠ ﺴ ﻤﺎ ﻣ ﺸ ﺒ ﻬﺎ و ﻣ ﻦ ﻫ ﺆ ﻻ ء ﻣ ﻦ ﯾ ﻌﺪ ﻣ ﻦ اﻟ ﻤ ﺠ ﺴ ﻤ ﺔ واﻟ ﻤ ﺸ ﺒ ﻬ ﺔ ﻣ ﻦ‬


‫ا ﻷ ﺋ ﻤ ﺔ اﻟ ﻤ ﺸ ﻬ ﻮ ر ﯾ ﻦ ﻛ ﻤﺎﻟ ﻚ واﻟ ﺸﺎ ﻓ ﻌ ﻲ وأ ﺣ ﻤﺪ وأ ﺻ ﺤﺎ ﺑ ﻬ ﻢ ﻛ ﻤﺎ ذ ﻛ ﺮ ذﻟ ﻚ أ ﺑ ﻮ ﺣﺎ ﺗ ﻢ ﺻﺎ ﺣ ﺐ ﻛ ﺘﺎ ب اﻟ ﺰ ﯾ ﻨ ﺔ و ﻏ ﯿ ﺮه‬

“Mu’tazilah, Jahmiyah dan semacamnya yang menolak sifat Allah, mereka menyebut
setiap orang yang menetapkan sifat bagi Allah sebagai mujassimah atau musyabbihah.
Bahkan di antara mereka menyebut para Imam besar yang telah masyhur (seperti Imam
Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pengikut setia mereka) sebagai mujassimah
atau musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebagaimana hal ini
disebutkan oleh Abu Hatim, penulis kitab Az Zinah dan ulama lainnya.”[22]

Itulah tuduhan Jahmiyah. Kami tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan
Abu Nu’aim Al Ash-bahani, penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah, “Metode kami
(dalam menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As
Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang
oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah
beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan
takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk)
dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk

6/8
dan makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan
makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di
bumi ini bersama makhluk-Nya.”[23]

Semoga tulisan kali ini bias sebagai renungan bagi orang yang mencari kebenaran.
Nantikan serial selanjutnya. Kami akan menyebutkan perkataan ulama Ahlis Sunnah yang
menyanggah pemahaman Jahmiyah semacam abusalafy yang menyatakan “Allah itu ada
tanpa tempat”. Semoga Allah mudahkan.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Diselesaikan di Pangukan, Sleman, 12 Rabi’ul Akhir 1431 H (27/03/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)

Artikel https://rumaysho.com

[1] Imam Abu Hanifah hidup pada tahun 80-150 H.

[2] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah,
Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq:
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy.

[3] Syaikh Al Albani rahimahullah memberikan pelajaran cukup berharga dalam Mukhtashor
Al ‘Uluw, perkataan Adz Dzahabi di sini menandakan bahwa kitab Fiqhul Akbar bukanlah
milik Imam Abu Hanifah, dan ini berbeda dengan berbagai anggapan yang telah masyhur
di kalangan Hanafiyah. (Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 136)

[4] QS. Thaha: 5.

[5] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf,
Riyadh, cetakan pertama, 1995.

[6] Imam Malik hidup pada tahun 93-179 H.

[7] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138.

[8] QS. Thaha: 5.

[9] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 378.

[10] Imam Asy Syafi’I hidup pada tahun 150-204 H.

[11] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghofar, hal.165

[12] Imam Ahmad bin Hambal hidup pada tahun 164-241 H.

[13] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189.

[14] QS. Al Hadiid: 4


7/8
[15] QS. Al Mujadilah: 7

[16] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116

[17] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118

[18] QS. Thaha: 5.

[19] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194.

[20] Idem

[21] Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 67.

[22] Minhajus Sunnah Nabawiyah fii Naqdi Kalamisy Syi’ah wal Qodariyah, Ahmad bin
Abdul Halim Al Haroni, 2/44, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.

[23] Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/60, Darul Wafa’,
cetakan ketiga, 1426 H.

8/8

Anda mungkin juga menyukai