Anda di halaman 1dari 3

Di tengah derasnya pertumbuhan pariwisata dan perkembangan perkotaan, suatu daerah di

Bali, sebuah pemukiman mampu mempertahankan tradisi berumur ratusan tahun untuk
hidup berdampingan dengan gemerlap dunia modern. Itulah Desa Adat Penglipuran.
Pintu gerbang di setiap rumah saling berhadapan satu sama lain yang hanya di batasi oleh
jalan utama kecil di tengahnya. Pintu gerbang ini disebut dengan Angkul-angkul (Pintu
gerbang khas bali) yang juga memiliki arsitektur sama dengan angkul-angkul setiap rumah di
desa ini.

UNGKAPAN PERUMAHAN TRADISIONAL BALI Yang dimaksud dengan rumah dalam


arsitektur tradisional Bali, adalah satu kompleks rumah yang terdiri dari beberapa
bangunan, dikelilingi oleh tembok yang disebut tembok penyengker. Perumahan adalah
kumpulan beberapa rumah di dalam kesatuan wilayah yang disebut banjar adat atau desa
adat, juga merupakan kesatuan keagamaan dengan pura kayangan tiga yakni; pura desa,
pura puseh, pura dalem. Terwujudnya bentuk rumah dan perumahan ini, tidak terlepas dari
dasar pemikiran yang dilandasi oleh tata kehidupan masyarakat yang bersumber dari agama
Hindu. Dalam falsafah agama Hindu, manusia dan alam ini diyakini terbentuk oleh lima
unsur yang sama yang disebut “ Panca Maha Bhuta”, yakni : apah (zat cair), bayu (angin),
teja (sinar), akasa (ether), pertiwi (zat padat). Manusia sebagai mikro cosmos dan alam
sebagai makro cosmos yang tidak bisa lepas keterkaitannya, dimana manusia dilahirkan oleh
alam ini, dan selalu akan tergantung dengan alam. Di dalam tatwa seperti Tutur Suksema,

JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 3 NO. 2 AGUSTUS 2005 : 62 - 105


Tutur Diatmika, Tatwa Jenana, Tatwa Pelepasan, Komoksan, senantiasa mengajarkan agar
kita selalu mengharmoniskan diri dengan alam. Unsur-unsur bhuana alit dan bhuana agung
adalah sama, hanya dalam skala berbeda. Bhuana agung sebagai wadah dan bhuana alit
sebagai isi. Hubungan harmonis antara bhuana agung dan bhuana alit, memberikan
perlambang manik ring cecupu, atau janin didalam rahim, merupakan hal yang mutlak dan
harus dipertahankan untuk ketenangan dan kesetabilan alam. Hasil hubungan yang
harmonis antara wadah dan jiwa, akan menimbulkan tenaga (kaya). Gabungan dari unsur
jasmani, jiwa dan tenaga merupakan sumber kehidupan yang baik dan sempurna yang
disebut ‘Tri Hita Karana” (tiga unsur sumber kebaikan). Jiwa dan jasmani yang digerakkan
oleh tenaga dapat diwujudkan pada suatu tempat. Dalam hubungannya dengan desa adat
maka: 1. Kayangan tiga merupakan jiwa pada karang desa, yang tidak dipisahkan dari
seluruh kehidupan desa. 2. Krama desa merupakan warga desa atau aparatur desa,
merupakan penggerak atau tenaga yang menghidupi desa. 3. Karang desa adalah teritorial
tempat krama desa melakukan aktivitas untuk menjaga hubungan harmonis ketiga unsur di
atas.

kesimpulan
Perumahan adalah bangunan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan Perumahan
layak merupakan kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting untuk
meningkatkan harkat dan kesejahteraan. Selain itu rumah dan perumahan merupakan
cerminan dari jati diri manusia baik perorangan maupun kelompok dan kebersamaan dalam
masyarakat. Perencanaan suatu perumahan memerlukan pemikiran dengan pandangan
yang luas dalam pengaturan fisik maupun pengaturan sosialnya dengan pertimbangan
teknik dan budaya yang berlangsung pada lingkungan setempat. Konsep Tri Hita Karana
tentu masih relefan diterapkan di Bali pada kini maupun untuk masa yang akan datang
dengan tidak mengabaikan perkembangan teknologi dan budaya yang akan berlangsung. Tri
Hita Karana merupahkan konsep universal yang bisa berlaku secara regional, nasional
maupun internasional

Hulu-Teben merupakan warisan nenek moyang orang Bali pegunungan dari masa lalu dan
sampai saat ini diaplikasikan pada tataran desa adat sebagai bentuk apresiasi kongkrit
terhadap para leluhur (nenek moyang).
arah gunung/ketinggian dijadikan Hulu/Kaja sebagai zona sakral dengan tata nilai utama.
Sementara itu, arah laut atau lawan dari gunung sebagai Kelod/ Teben bernilai nista atau
“rendah”.
Zona Hulu pada sebuah desa adat dipergunakan untuk menempatkan Pura Desa dan Pura
Paseh, dua bagian dari Pura Kahyangan Tiga sebagai indikator religius keberadaan sebuah
desa adat

Konsep Hulu-Teben merupakan arsitektur tradisional Bali karena memiliki latar belakang
atau dilatari oleh konsep “keluhuran”, artinya menghormati para leluhur dalam bentuk
proses penanaman mayat, kemudian pengabenan (ritual pembakaran jenazah) dan
memukur atau nyekah (ritual peningkatan status sang roh menjadi roh suci/sang pitara) dan
terakhir dengan upacara ngelinggihang Dewa Hyang atau dewapitara atau meningkatkan
sang pitara menjadi leluhur dan ditempatkan di Sanggah Kemulan/tempat suci di Karang
Umah/rumah tinggal

Pura Kahyangan Tiga Pura ini merupakan indikator religius atas keberadaan sebuah desa adat di Bali,
terdiri dari :
1. Pura Desa, terletak di Hulu desa, didedikasikan untuk Dewa Brahma manifestasi Tuhan
sebagai Pencipta Dunia. Pura Desa lebih dikenal dengan sebutan Pura Bale Agung.
2. Pura Puseh ditempatkan di Hulu desa/kaja, didedikasikan untuk Sri Wisnu, Tuhan sendiri
sebagai Sang Pemelihara Dunia.
3. Pura Dalem (Pura ini didedikasikan untuk Dewa Siwa, manifestasi Tuhan sebagai Pelebut
Dunia). Keberadaan Pura Dalem selalu dilengkapi dengan 1 (satu) Setra desa adat. Semua
upacara kematian berhubungan dengan Setra/Sema dan Pura Dalem, seperti : (i) upacara
Metanem adalah menguburkan jenazah, (ii) upacara ngaben/ pelebon adalah pembakaran
jenazah, (iii) upacara ngeroras/ngasti/meligia adalah upacara peningkatan status sang roh
menjadi pitara/roh yang disucikan dan (iv) upacara ngelinggihan dewahyang adalah
menempatkan pitara di sanggah/ pemerajan menjadi leluhur. Alasan Pura Dalem sebagai
Srana/ kedudukan sang pelebur dunia dan kematian adalah sebuah peleburan kematian,
maka Pura Dalem dan Setra ditempatkan pada satu lokasi di Teben desa/kelod.

Anda mungkin juga menyukai