Anda di halaman 1dari 8

Dampak dan Solusi Multikulturalisme

di Indonesia
 2 Comments

1. Konsep Multikuturalisme

Konsep multikulturalisme menurut Taylor (Savirani,2003:385) adalah gagasan mengatur


keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan akan keberagaman itu sendiri (politics of
recognition). Lebih jauh lagi, gagasan ini menyangkut pengaturan relasi antara kelompok
mayoritas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran, masyarakat adat, dan lain-lain.
Sedangkan Suparlan (2002:98) menjelaskan multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang
mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun
secara kebudayaan. Oleh karena itu konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan
konsep keanekaragaman secara sukubangsa (ethnic) atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi
ciri khas masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman
kebudayaan dalam kesederajatan.

Menurut sejarahnya multikulturalisme lahir di Amerika sebagai perwujudan dari


posmodernisme. Multikulturalisme adalah varian teori perbedaan (West,1998;Collins;
Lemert,1993) yang mengambil ide dari gagasan posmodernisme bahwa perbedaan manusia
secara analitis lebih penting ketimbang kesamaan mereka (Spivak, 1988;, Butler, 1990). Oleh
karena itu, kenyataan yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah multikulturalisme.
Begitupun kewajiban yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah kewajiban untuk
menghormati hak-hak untuk berbeda secara budaya (the right of cultural diversity). Lebih lagi,
postmodernisme yang sangat menggarisbawahi sekat-sekat yang ditimbulkan oleh
incommensurability pun sama sekali tidak menganjurkan “benturan peradaban”
(Huntington/Ruslani, 2000: 597). Sebaliknya yang dianjurkan ialah “toleransi” dalam bentuk
norma “non-cruelty” antar manusia dan dengan demikian juga antar kebudayaan dan peradaban
(Rorty, 1989: 189-198).

Mengikuti Ferdinand de Sausure, Derrida menekankan bahwa kata dan konsep memiliki makna
hanya dalam kaitannya dengan kata dan konsep lain yang membedakan mereka.
Multikulturalisme mulai dari titik ini dan terus mengembangkan kritik masyarakat dan konsep
masyarakat alternative yang secara fundamental berbeda dari Marxisme dan teori kritis Jerman.
Multikulturalisme merayakan perbedaan sebagai satu kerangka kerja yang ada di dalamnya
untuk menghargai banyak kelompok dan narasi khas mereka tentang pengalaman mereka.
Terlebih lagi, multikulturalisme posmodern menyangkal kemngkinan menyatunya kelompok-
kelompok yang berbeda ke dalam satu alasan bersama yang mulai mengubah struktur sosial
secara keseluruhan.

Teori sosial kritis menjelaskan kesadaran untuk melakukan perubahan social, dengan
menyatakan bahwa perubahan social tidak dapat berlangsung dipundak individu-individu;
sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda politik utama. Inilah wilayah
utama di mana multikulturalisme lebih dekat kepada liberalisme ketimbang ideologi kiri,
demikian menurut Ben Agger (2003; 140-141).

Dari penjelasan di atas, yakni tentang Multikulturalisme, maka bisa dipahami bahwa prinsipnya
adalah Multikulturalisme berakar dari individualistik, liberal, yang memahami perbedaan kultur,
memahami perbedaan atau kekayaan perbedaan agama, politik, ideology, dan lain-lain, hanya
sebatas memahami untuk tidak timbulnya benturan akibat perbedaan-perbedaan tersebut (pasif-
liberalis) sehingga konsep Multikuturasisme ini harus di ikuti dengan konsep Pluralisme yang
memahami adanya perbedaan-perbedaan untuk kemudian pemahaman itu ditingkatkan menjadi
toleransi dan tolong menolong, gotong royong antar umat beragama, bukan dari sisi
pencampuradukan ajaran agama, melainkan dari sisi umat dan kemanusiaannya (bersifat aktif-
participatif). Dan ini sesuai dengan apa yang sudah dicanangkan bangsa Indonesia melalui
Undang-Undang dasar 45 pasal 29 ayat 1 “Negara berdasar atas keTuhanan YME” ayat 2
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Inipun sesuai dengan symbol yang
ada di lambang burung Garuda Pancasila yakni “Bhinneka Tunggal Ika” “meski berbeda-beda
tetap satu jua”. Juga sesuai dengan sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

2. Dampak Negatif Multikultural Di Indonesia Baik Agama Maupun Buadaya.

Satu hal yang harus disadari bahwa Indonesia adalah negara yang di dalamnya terdiri atas
banyak bangsa (plural), banyak ras, suku/etnis, agama, budaya, termasuk orientasi seksual.
gagasan umum keberagamaan ras, yang hidup dalam harmoni pluralistik, yang melihat
keberagamaan sebagai pluralitas identitas dan kondisi eksistensi manusia. Identitas dipandang
sebagai produk adat istiadat, praktik, dan makna yang merupakan warisan dan ciri pembawaan
serta pengalaman bersama.

Blue Mink mengatakan bahwa identitas dibentuk oleh relasi-relasi kekuasaan. Identitas etnik
sebagian besar adalah imajinasi sosial yang memilah beragam kelompok budaya ke dalam suatu
komunitas dengan mengikat mereka bersama dalam narasi sastra dan visual yang ditempatkan
dalam teritori sejarah dan memori. Sehingga dalam rangka membangun demokratisasi lokal dan
pemberdayaan kaum minoritas agama dan kebudayaan lokal ini, kita harus menyertakan
multikulturalisme.

Tetapi pada kenyataannya di Indonesia dampak negatif dari Multikulturalnya agama, ras, bahasa,
budaya menyebabkan konflik bergenerasi antar kelompok masyarakat (konflik horizontal) dan
konflik antar masyarakat/pemerintah daerah dan pusat (konflik vertical) dan generasi dengan
pelaku dan intensitas yang berbeda. Sebagai contoh pembakaran pasar Glodok (Peristiwa Mei
Kelabu) di Jakarta, yang menjadi sasaran adalah kelompok etnis. Keturunan Tionghoa
(sebelumnya telah terjadi di Medan kemudian di Bandung, Solo, dan Makasar). Peristiwa
Ambon-Maluku (Pertarungan antara BBM (Bugis-Buton-Makasar) dan Ambon Islam melawan
Ambon Kristen). Peristiwa Sambas dan Palangkaraya (Kalimantan) (Pertarungan antara Dayak,
Melayu dan Tionghoa melawan Madura), Peristiwa Poso (pertarungan antara kelompok Islam
dan Kristen yang disertai oleh unsur-unsur dari luar), Peristiwa Sumbawa (NTT) perkelahian
antara orang Sumbawa dan Bali, peristiwa Aceh (pertarungan antara orang Aceh dan
transmigrasi Jawa), peristiwa separatisme Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua
Merdeka disusul penghancuran masjid-masjid Ahmadiyah di Parung Bogor yang dipicu oleh
perbedaan agama, atau kasus-kasus yang sudah agak lama tapi tetap masih menjadi ingatan kita
seperti pemboman Borobudur, pemboman beberapa gereja di Indonesia atau kasus terbesar yang
pernah dihadapi oleh Indonesia.

Seiring dengan itu, negara yang diharapkan menjadi wadah penyalamat juga mengalami
kekacauan dengan membudayanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dijajaran birokrasi,
komitmen moral para wakil rakyat terhadap masyarakat pun sangat rendah. Sementara, keadilan,
kemiskinan atau ketimpangan sosio-politik ekonomi masyarakat semakin tinggi. Hal ini memberi
isyarat bahwa keinginan untuk membangun masyarakat berperadaban (civil society) dan keadilan
sosial masih jauh panggang dari api. Oleh karenanya, menjadi suatu keharusan pemerintah
segera mereformasi mental, moralitas jajaran birokrasi, jika tidak maka krisis akan terus
berkelanjutan dan disintegrasi tinggal menunggu bak bom waktu.

Menurut Miriam Budiarjo, sebuah negara dikatakan demokratis ketika ditandai dengan adanya
perlindungan konstitusional terhadap semua warga negara, termasuk terhadap kaum minoritas
(Miriam Budiarjo: 1999). Sementara menurut Sri Sumantri, negara demokrasi salah satunya
ditandai oleh dilindungi dan dipertimbangkannnya Kepentingan minoritas (Frans Magnis
Suseno, 1998; 72). Karena itu, salah satu ukuran bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi
adalah dihargainya hak-hak minoritas (minority right). Oleh karena itu pembelaan dan
perlindungan terhadap kelompok minoritas baik agama, etnis maupun gender merupakan upaya
penting yang harus dilakukan seiring dengan upaya-upaya mengawal proses demokratisasi
tersebut.

Namun, selama ini kelompok-kelompok minoritas selalu dipinggirkan, disingkirkan baik secara
ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Bahkan tidak hanya itu, secara historis, sejarah mereka
pun tersisihkan. Mereka umumnya berada pada “margin history” yang berfungsi sebagai
“pelengkap penderita” sejarah mainstream kelompok utama. Dalam banyak hal, kekuasaan
politik yang biasanya hanya memenuhi keinginan kelompok mayoritas memiliki peran sentral
dalam melakukan proses peminggiran terhadap “komunitas splinter ini.

Justru dari contoh dapat dilihat betapa kelompok-kelompok mayoritas menindas kelompok
minoritas, untuk memaksakan kehendaknya. Persaingan yang tidak sehat antar budaya dan ras,
memaksakan kebenaran, saling merasa paling unggul sehingga ada benarnya apa yang dikatakan
Rorty bahwa Spesies manusia akan mati tercekik karena dengan klaim-klaim “universal”
kebudayaan dan peradaban lokal yang saling mengerkah.

Maka dari itu harus dilakukan upaya merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan
selalu hidup dalam suasana penuh dengan konfliktual. Harus ada sebuah kesadaran masif yang
muncul bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik
dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Sehingga akan terbangun suatu sistem tata
nilai kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau
kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya, yaitu pemahaman tentang
Multikulturasisme yang belum dipahami dengan benar dan menyeluruh.
3. Solusi Terahadap Dampak Negatif Multikurtural Di Indonesia

Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai
kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana
dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural”
tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan
nasional Indonesia” yang dapat menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman
etnis dan budaya tersebut.

Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh
ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup
dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain
untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa
budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu
yang statusnya rendah hanya menerima saja sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.

Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat.


Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena
kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara
manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh
karenanya “keahlian” yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan
intelligensinya.

Dari sisi Psikologis manusia, maka setiap tindakan manusia adalah dipengaruhi oleh pikirannya,
meminjam istilah dari walter lippman, tindakan manusia itu dipengaruhi oleh Picture in our head
yang ada di dalam diri masing-masing orang, atau dipengaruhi oleh Frame of Reference-nya dan
dipengaruhi oleh Field of Experience-nya, sehingga sebuah proses perubahan perilaku manusia
(behaviourisme) mestilah di awali dari perubahan apa yang menjadi Frame of Reference-nya dan
Field of Experience-nya. Menurut sudut pandang faham Psikologi kognitif, maka semua perilaku
manusia dipengaruhi oleh cara berpikir manusia tersebut. Hasil olah pikir manusia itulah yang
memotivasi perilaku manusia. Sedangkan menurut faham Psikoanalisis, maka perilaku manusia
dipengaruhi oleh mentalitas manusia tersebut.

Dari sudut pandang metafisik atau sudah pandang ajaran keruhanian, maka dipahami bahwa
tindakan manusia atau perilaku manusia itu di pengaruhi oleh cara berpikir manusia tersebut,
dipengaruhi oleh akan manusia tersebut dan akal manusia tersebut dipengaruhi oleh dorongan
hatinya. Khatir-Khatir atau lintasan-lintasan hati itulah yang mempengaruhi akal pikir dan
kemudian menggerakkan manusia untuk berbuat atau bertindak (Imam Ghozali, Rahasia
Keajaiban Hati).

Baikpun perspektif Psikologis yang digunakan, maupun perspektif metafisik atau keruhanian
yang digunakan, semua menuju ke satu arah. Yaitu jika ingin dilakukan sebuah perubahan di
dalam perilaku, maka ada ‘sesuatu’ yang harus diubah, ada ‘sesuatu’ yang harus dididik, baikpun
itu akal pikir atau cara berpikirnya, maupun dari sisi motivasi hatinya. Dari pemahaman di atas,
maka penulis menganggap bahwa jalur pendidikan adalah sesuatu yang prinsip untuk
diperhatikan di dalam rangka mengurangi permasalahan-permasalah yang timbul di kehidupan
sosial terutama yang sekarang penulis soroti adalah dalam rangka mengurangi permasalahan-
permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan agama di Indonesia. Tetapi
permasalahannya, pendidikan yang bagaimanakah yang tepat untuk diterapkan di Indonesia ?
Pendidikan yang bagaimanakah yang dapat mempersiapkan Frame of Reference dan Field
Experience sehingga perbedaan agama bukanlah sebuah masalah melainkan sebuah kewajaran
yang harus disikapi secara proporsional ? Pendidikan yang bagaimanakah yang dapat
mempersiapkan Picture in Our head bagi bangsa Indonesia di dalam menghadapi perbedaan
agama maupun kultur ini ?

Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776)
baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh
karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh
strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang
dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sd sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat
berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakt induknya
yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan
melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem
demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak
hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan
berinteraksi dengan anggota masyarakat.

Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan


keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam
dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas
pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-
orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu
mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras,
budaya, strata sosial dan agama.

Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima
dimensi yang saling berkaitan :
1. Content Integration
Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar,
generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
2. The Knowledge Construction Process
Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
3. An Equity Paedagogy
Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun social.
4. Prejudice Reduction
Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
5. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh
staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu :
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan
persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah
formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan
membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi
kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin
banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait
dengan pembelajaran informal di luar sekolah.

Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok


etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan
kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik
mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self
sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang
terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural,
pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan
multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip
menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar
mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya


membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan
dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah
secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan
memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru.
Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara
logis.

Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan.


Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah)
meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini
kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-
pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan
diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai
pengalaman normal manusia.

Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk


menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi
kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah


diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau
individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya
atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan,
bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang
diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.

Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja
sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka
dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi
komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi
komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu
dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah
pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.

Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis
besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan
selalu berkembang.
2. Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui
hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3. Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan,
melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan social.
4. Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan
komunitas yang membentuk masyarakat.
5. Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di
dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.

Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan
dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik.
Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif
untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.

Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap
terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara
masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan
merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.

Referensi:

Huntington, Samuel P alih bahasa Ruslani, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik
Dunia, Yogyakarta: Qalam, 2000.
Fay, Brian, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford:
Blackwell. 1996.
Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror of Nature, Oxford: Basil Blackwell. 1980.
Budiman, Hikmat, Hak Minoritas. Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Jakarta: The
Interseksi Foundation, 2005.
Patra M. Zen, Komentar Hukum: Hak-hak Kelompok Minoritas dalam Norma dan Standar
Hukum Internasional Hak Asasi Manusia, Jakarta: The Interseksi Foundation, 2005.
Stavenhagen, Rudolfo, Education for a Multikultural world, in Jasque Delors (et all), Learning:
the treasure within, Paris, UNESCO, 1996.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi di Indonesia, dalam Ikhwanuddin
Syarief & Dodo Murtadlo (eds), Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70 Tahun Prof.
Dr. HAR Tilaar MscEd, Jakarta: Grasindo, 2002.
Artikel Muhaemin el-Ma’hady (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidatullah, Jakarta)
tentang Multikulturalisme dan Pendidikan Multikulturalisme)
Republika, tanggal 03 September 2003.
Waspada, Tanggal 22 Mei 2004.

Anda mungkin juga menyukai