Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
Artinya: kemudian kami jadikan kamu berada diatas syari`ah (peraturan) dari urusan (agama)
itu, maka ikutilah syari`ah itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.
Demikian juga istilah “hukum Islam” sering diidentikkan dengan kata norma Islam dan
ajaran Islam. Dengan demikian, padanan kata ini dalam bahasa Arab barangkali adalah kata “al-
syari’ah”. Namun, ada juga yang mengartikan kata hukum Islam dengan norma yang berkaitan
dengan tingkah laku, yang padanannya barangkali adalah “al-fiqh”.
Penjabaran lebih luas dapat dijelaskan sebagai berikut: bahwa kalau diidentikkan dengan
kata “al-syari’ah”, hukum Islam secara umum dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti
sempit.
Dari Pengertian Fiqih Yang dikemukan oleh Para Pakar diatas sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa Pengertian Fiqih adalah memahami sesuatu secara mendalam atau sebagai
ilmu pengetahuan. Berdasarkan Pengertian-pengertian fiqih tersebut, maka fiqih dapat diartikan
sebagai hukum-hukum yang digali dari Al-qur'an dan Sunnah Nabi dengan jalan mempergunakan
faham atau ijtihad yang sempurna dan dengan perenungan yang mendalam.[5]
Sejarah perkembangan Fiqh Pada zaman Rasulullah S.A.W., hukum-hukum diambil dari
wahyu (al-Quran) dan penjelasan oleh baginda (as-Sunnah). Segala masalah yang timbul akan
dirujuk kepada Rasulullah S.A.W. dan baginda akan menjawab secara terus berdasarkan ayat al-
Quran yang diturunkan atau penjelasan baginda sendiri. Namun, terdapat sebagian Sahabat yang
tidak dapat merujuk kepada Nabi lantaran berada di tempat yang jauh daripada baginda, misalnya
Muaz bin Jabal yang diutuskan ke Yaman. Baginda membenarkan Muaz berijtihad dalam perkara
yang tidak ditemui ketentuan di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Setelah kewafatan Rasulullah S.A.W., sebarang masalah yang timbul dirujuk kepada para
Sahabat. Mereka mampu mengistinbat hukum terus dari al-Quran dan as-Sunnah kerena:
1. Penguasaan bahasa Arab yang baik;
2. Mempunyai pengetahuan mengenai sabab an-nuzul sesuatu ayat atau sabab wurud al-hadis;
3. Mereka merupakan para Perawi Hadis.
Hal ini menjadikan para Sahabat mempunyai kepakaran yang cukup untuk
mengistinbatkan hukum-hukum. Mereka menetapkan hukum dengan merujuk kepada al-Quran
dan as-Sunnah. Sekiranya mereka tidak menemui sebarang ketetapan hukum tentang sesuatu
masalah, mereka akan berijtihad dengan menggunakan kaedah qias. Inilah cara yang dilakukan
oleh para mujtahid dalam kalangan para Sahabat seperti Saidina Abu Bakar as-Siddiq, Saidina
Umar bin al-Khattab, Saidina Uthman bin Affan dan Saidina Ali bin Abu Talib. Sekiranya mereka
mencapai kata sepakat dalam sesuatu hukum maka berlakulah ijma’.
Pada zaman ini, cara ulama’ mengambil hukum tidak jauh berbeda dengan zaman Sahabat
kerana jarak masa mereka dengan kewafatan Rasulullah S.A.W. tidak terlalu jauh. Yang
membedakannya ialah sekiranya sesuatu hukum tidak terdapat dalam al-Quran, as-Sunnah dan al-
Ijma’, mereka akan merujuk kepada pandangan para Sahabat sebeum berijtihad. Oleh sebab itu
idea untuk menyusun ilmu Usul al-Fiqh belum lagi muncul ketika itu. Inilah cara yang digunakan
oleh para mujtahid dalam kalangan tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib, ‘Urwah bin az-Zubair,
Al-Qadi Syarih dan Ibrahim an-Nakha’i.
Pada akhir Kurun Kedua Hijrah, keadaan umat Islam semakin berubah. Bilangan umat
Islam bertambah ramai sehingga menyebabkan berlakunya percampuran antara orang Arab dan
bukan Arab. Kesannya, penguasaan bahasa Arab dalam kalangan orang-orang Arab sendiri
menjadi lemah. Ketika itu timbul banyak masalah baru yang tiada ketentuan hukumnya dalam al-
Quran dan as-Sunnah secara jelas. Hal ini menyebabkan para ulama’ mulai menyusun kaedah-
kaedah tertentu yang dinamakan ilmu Usul al-Fiqh untuk dijadikan landasan kepada ijtihad
mereka.
Ilmu Usul al-Fiqh disusun sebagai satu ilmu yang tersendiri di dalam sebuah kitab berjudul
ar-Risalah karangan al-Imam Muhammad bin Idris as-Syafie. Kitab ini membincangkan tentang
al-Quran dan as-Sunnah dari segi kehujahan serta kedudukan kedua-duanya sebagai sumber
penentuan hukum.
4. Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode
sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000).
Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad
yang tinggi di kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan
berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam
bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan
menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para
penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti
Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna
menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah
terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809)
meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Disamping itu,
Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang
mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf
memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu
Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk
menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan.
Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa' (Yang disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra 'yi sangat tajam,
sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha
melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk
keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi
yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra'yi berupaya
membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-
istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu
yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara dalam meng-
istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama
masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah,
mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan
salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di
Irak. Di samping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh
ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits
dan ra'yu. Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul
fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh
Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam
asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam
asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias,
istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum Islam adalah syariat
yang berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang
Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang
berhubungan dengan amaliyah (perbuatan).[9]
Hukum Islam Ada 5 Yakni Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh dan Haram
1. Wajib, kadang disebut Fardlu. Keduanya sinonim. Yakni sebuah tuntutan yang pasti (thalab jazm)
untuk mengerjakan perbutan, apabila dikerjakan mendapatkan pahala, sedangkan bila ditinggalkan
maka berdosa (mendapatkan siksa). Contohnya, shalat fardlu, bila mengerjakannya maka
mendapatkan pahala, bila ditinggalkan akan diadzab di neraka, demikian juga dengan kewajiban-
kewajiban yang lainnya.
Wajib terbagi menjadi dua yakni : Pertama, wajib ‘Ainiy : kewajiban bagi setiap individu. Kedua,
wajib Kifayah : kewajiban yang apabila sudah ada yang mengerjakannya maka yang lainnya gugur
(tidak mendapatkan dosa), contohnya seperti shalat jenazah, tajhiz jenazah (mengurus jenazah),
menjawab salam dan sebagainya.
Istilah Wajib juga ada yang mensinonimkan dengan Lazim. Sebagian ulama ada yang
membedakan antara Fardlu dan Wajib hanya pada beberapa permasalahan di Bab Haji.
Ada juga yang membedakan antara Fardlu dan Wajib, seperti Hanafiyah. Menurut mereka, Fardlu
adalah sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil syar’i (maqthu’ bih) dan tidak ada keraguan
didalamnya, seperti shalat 5 waktu, zakat, puasa, haji, iman kepada Allah. Hukum Fardlu adalah
lazim (wajib) baik secara keyakinan maupun perbuatan sehingga apabila mengingkari (secara
keyakinan) pada salah satu kefardluan itu maka kafir, namun bila meninggalkan saja (tidak
mengerjakannya, seperti shalat 5 waktu dan semacamnya) maka fasiq. Sedangkan Wajib adalah
kewajiban yang ghairul fardl (selain fardlu), sesuatu yang ditetapkan dengan dalil namun masih
ada kemungkinan ketidak pastian (hasil ijtihad), hukumnya lazim secara perbuatan saja, tidak
secara keyakinan. Apabila mengingkarinya, tidak sampai kafir namun terjatuh dalam syubhat.
Sedangkan bila meninggalkannya maka berdosa dengan dosa yang kadarnya lebih sedikit daripada
meninggalkan perbuatan yang sifatnya Fardlu, sebab kalau meninggalkan yang bersifat Fardlu
maka disiksa dineraka, sedangkan meninggalkan yang sifatnya Wajib, tidak disiksa di neraka,
namun ia terhalang dari syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam.
Jumhur ulama tidak membedakan antara Fardlu dan Wajib, bahkan ada yang menyatakan bahwa
pembedaan seperti itu tidak tepat dan tidak berarti apa-apa.
2. Sunnah, disebut juga Mandub, Mustahabb, Tathawwu, Al-Nafl, Hasan dan Muragghab fih.
Semuanya bersinonim. Yakni sebuah anjuran mengerjakan yang sifatnya tidak jazm (pasti),
apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak berdosa.
Sunnah juga terbagi menjadi 2, yaitu : Pertama, sunnah ‘Ain : sesuatu yang disunnahkan pada
setiap orang (individu) yang mukallaf, seperti shalat-shalat sunnah ratibah dan lainnya. Kedua,
sunnah Kifayah : sesuatu yang disunnahkan, apabila ada sebagian yang telah mengerjakannya,
maka yang lain gugur, seperti seseorang memulai salam ketika bersama jama’ah (memulai bukan
menjawab, penj), dan lain sebagainya. Sehingga bila sudah ada yang mengerjakannya, maka hilang
(gugur) tuntutan terhadap yang lainnya, namun pahalanya bagi yang mengerjakan saja.
Sebagian ulama seperti Malikiyah membedakan antara istilah sunnah dan mandub. Sunnah
menurut mereka adalah sebuah tuntutan syara’, bentuk perintahnya sangat ditekankan, namun
tidak ada dalil yang mewajibkannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila
ditinggalkan tidak disiksa, seperti shalat witir dan shalat hari raya. Sedangkan mandub adalah
sebuah tuntutan syara’ yang tidak jazm (tidak pasti), bentuk perintahnya tidak terlalu ditekankan,
apabila dikerjakan mendapat pahala, namun bila tidak dikerjakan tidak disiksa, contohnya didalam
Malikiyah adalah shalat sunnah 4 raka’at sebelum dzuhur.
Selain itu, sunnah dari sisi tuntutannya, terbagi menjadi 2 yakni : sunnah Muakkad (sunnah yang
sangat ditekankan) dan sunnah ghairu Muakkad (anjuran tidak terlalu ditekankan).
Sedangkan menurut Hanafiyah, ada perbedaan terkait sunnah Muakkad. Menurut mereka, sunnah
Muakkad, bentuknya kewajiban yang sempurna, jika meninggalkannya maka tetap berdosa,
namun dosanya lebih sedikit daripada meninggalkan Fardlu (dibawah tingkatan Fardlu).
Sedangkan sunnah ghairu Muakkad, menurut mereka adalah sejajar dengan Mandub dan
Mustahab.
3. Mubah, bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa, tidak mendapatkan pahala atau pun
disiksa (sebuah pilihan antara mengerjakan atau tidak). Misalnya, memilih menu makanan dan
sebagainya.
4. Makruh, yakni sebuah tuntutan yang tidak pasti (tidak jazm) untuk meninggalkan perbuatan
tertentu (larangan mengerjakan yang sifatnya tidak pasti), apabila dikerjakan tidak apa-apa, namun
bila ditinggalkan akan mendapatkan pahala dan dipuji.
Menurut sebagian ulama, istilah Makruh ini ada yang menyatakan dengan Khilaful Aula
(menyelisihi yang lebih utama).
5. Haram, yakni tututan yang pasti untuk meninggalkan sesuatu, apabila dikerjakan oleh seorang
mukallaf maka mendapatkan dosa, namun bila ditinggalkan mendapatkan pahala. Contohnya
seperti minum khamr, berzina dan lain sebagainya. Istilah haram juga kadang menggunakan istilah
Mahdzur (terlarang), Maksiat dan al-danb (berdosa).
Menurut Hanafiyah, istilah Haram adalah antonim dari Fardlu (mereka membedakan antara Fardlu
dan Wajib). Ada juga istilah makruh Tahrim dan makruh Tanzih. Makruh Tahrim adalah sebuah
istilah yang lebih dekat dengan Haram, serta merupakan kebalikan dari Wajib dan Sunnah
Mu’akkad. Sedangkan istilah makruh Tanzih, tidak disiksa bila mengerjakannya dan mendapatkan
pahala bila meninggalkannya. Istilah makruh Tanzih menurut Hanafiyah adalah kebalikan dari
sunnah ghairu Muakkad.
Ulama juga ada yang kadang menyatakan dengan istilah Halal, itu adalah kebalikan dari Haram,
namun masih ambigu, yaitu bisa hukum wajib, hukum mandub dan makruh. Bila meninggalkan
perbuatan yang hukum wajib, maka berdosa. Adapun yang lainnya (mandub dan makruh) bila
ditinggalkan ataupun dikerjakan tidaklah berdosa.[10]
Berikut ini adalah ruang lingkup hukum islam atau syariah islam, antara lain:
1. Hubungan manusia dengan Tuhannya secara vertikal diantaranya meliputi, shalat, puasa, zakat,
naik haji dan lain sebagainya;
2. Hubungan manusia muslim dengan sesama muslim antara lain meliputi, tolong menolong, bekerja
sama, sillaturrahmi dan lain sebagainya;
3. Hubungan manusia dengan sesama manusia, antara lain meliputi tolong menolong, mewujudkan
perdamaian, bekerja sama dalam meningkatkan kesejahteraan dan lain sebagainya;
4. Hubungan manusia dengan alam di lingkungan sekitarnya dan alam semesta;
5. Hubungan manusia dengan kehidupan, yakni hidup dengan berusaha mencari karunia Allah yang
halal, mensyukuri nikmat-Nya, dan lain sebagainya.
Ruang lingkup hukum islam sebagaimana disebutkan diatas, ranahnya sangat luas. Syariah
islam mencakup segala hal yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasul. Adapun fiqih, juga
bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasul yang dirumuskan berdasarkan ijtihad para ahli hukum
islam.[11]
Jika kita bandingkan hukum islam bidang muamalah ini dengan hukum barat yang
membedakan antara hukum privat (hokum perdata) dengan hukum public,maka sama halnya
dengan hukum adat di tanah air kita, hukum islam tidak membedakan (dengan tajam) antara hukum
perdata dengan hukum publik disebabkan karena menurut system hukum islam pada hukum
perdata terdapat segi-segi publik ada segi-segi perdatanya.
Itulah sebabnya maka dalam hukum islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu. Yang
disebutkan adalah bagian-bagian nya saja seperti misalnya, (1) munakahat (2) wirasah (3)
muamalat dalam arti khusus (4) jinayat atau ukubat (5) al – ahkam as sulthaniyah (khilifah), (5)
siyar dan (7) mukhasamat.
Kalau bagian – bagian hukum islam itu disusun menurut sistematik hukum barat yang
membedakan antara hokum perdata dengan hokum publik seperti yang di ajarkan dalam pengantar
ilmu hokum di tanah air kita, yang telah pula di singung di muka, susunan hokum muamalah dalam
arti luas itu adalah sebagai berikut:
Hukum perdata ( islam ) adalah (1) munakahat mengatur segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya; (2) wirasah mengatur segala masalh yang
berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum
kewarisan Islam ini disebut juga hukum fara’id; (3) muamalat dalam arti khusus, mengatur
masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam, perserikatan, dan sebagainya.
Hukum publik(islam) adalah (4) jinayat yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarinah hudud maupun dalam jarimah ta’zir.
Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas
hukumanya dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi MUhamad (hudud jamak dari hadd = batas ).
Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumanya ditentukan oleh
penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir = ajaran atau pengajaran); (5) al-ahkam as-
sulthaniyah membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala Negara, pemerintahan, baik
pemerintahan pusat maupun daerah , tentara, pajak dan sebagainya; (6) siyar mengatur segala
urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan Negara lain; (7) mukhasamat
mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hokum acara.
Jika bagian-bagian hukum islam bidang muamalah dalam arti luas tersebut di atas
dibandingkan dengan susunan hokum barat seperti yang telah menjadi tradisi diajarkan dalam
pengantar Ilmu hokum di tanah air kita, maka butir (1) dapat disamakan dengan hokum
perkawinan, butir (2) dengan hokum kewarisan , butir (3) dengan hokum benda dan hokum
perjanjian, perdata khusus, butir (4) dengan hokum pidana, butir (5) dengan hokum ketatanegaraan
yakni tata Negara dan administrasi Negara, butir (6) dengan hokum internasional, dan butir (7)
dengan hukum acara.[12]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demikianlah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengkaji dan memahami
(ajaran) islam. Mutatis Mutandis (dengan perubahan –perubahan yang diperlukan disana sini) hal
itu berlaku juga dalam mengkaji dan memahami hukum islam. Ini dasar ajaran islam. Ini berarti
bahwa hukum islam itu :
1. harus di pelajari dalam kerangka dasar ajaran islam yang menempatkan hukum islamnya sebagai
salah satu bagian agama islam
2. harus dihubungkan dengan iman (akidah) dan kesusilaan (akhlak,etika atau moral) karena dalam
system hukum islam, iman,hukum dan kesusilaan tidak dapat dicerai pisahkan.karena itu
3. tidak dapat dikaji dan dipahami dengan mempergunakan ilmu hukum barat (baik continental
maupun anglosakson) yang sifatnya sekuler
4. harus dikaitkan oleh beberapa kunci diantaranya adalah syari’ah dan fikih yang dapat dibedakan
tetapi tidak mungkin diceraipisahkan.untuk pembahuruan dan pengembangan hukum islam,kedua
istilah ini harus dipahami benar maknanya syariah adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-
Nyasedang fikih adalah pemahaman dan hasil karya manusia tentang syariah
5. mengatur seluruh tata hubungan manusia baik dengan tuhan maupun dengan dirinya
sendiridengan manusia lain dan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya
6. dikaji dan dipelajari dengan mempergunakan metodologi hukum islam sendiri yang disebut usul
fikih. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa kendatipun hukum islam mempunyai hubungan
yang erat dengan iman atau akidahyakni komponen dasar agama islam tetapi hal-hal yang
berhubungan dengan iman (akidah) atau keyakinan seorang muslim tidaklah dibicarakan,demikian
juga halnya dengan hukum islam bidang ibadah yakni upacara dan tata acara pengabdian langsung
manusia kepada tuhannya. Juga soal kesusilaan atau akhlak.
3.2 Saran
Tujuan diciptakannya hukum islam tersebut oleh Allah SWT kepada seluruh umat islam
adalah tujuan Allah SWT menciptakan hukum islam adalah agar umat manusia dalam menjalankan
kehidupannya dapat memperoleh manfaat, tidak kacau dan tidak tersesat. Melatih ketundukan
seorang muslim kepada perintah dan larangan Allah SWT. Maka dari itu Pentingnya pengetahuan
dalam mempelajari tentang ilmu islam sangat dibutuhkan agar kita dapat lebih tau dan belajar
banyak dari hal tersebut serta sebagai muslim itu menjadi nilai plus untuk kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://nafi-harahap.blogspot.com/2012/10/latar-belakang-timbulnya-agama-islam.html
http://syariahislamiyyah.blogspot.com/2009/01/pengertian-syariah.html
www.pengertianpakar.com/2014/09/pengertian-syariah-menurut-para-pakar.html#_
https://susantoshi.wordpress.com/2009/05/05/pengertian-fiqih-islam/
http://www.pengertianpakar.com/2014/09/pengertian-fiqih-menurut-para-pakar.html#_
https://id-id.facebook.com/notes/belajar-fiqih-islam/pengertian-fiqh-dan-sejarah-
perkembangannya/10150578829761520
https://studihukum.wordpress.com/2013/07/22/pengertian-hukum-islam/
http://madinatuliman.com/3/2/560-hukum-islam-ada-5-yakni-wajib,-sunnah,-mubah,-makruh-
dan-haram.html
http://statushukum.com/ruang-lingkup-hukum-islam.html
http://chintyatentanghukum.blogspot.com/p/makalah-hukum-islam.html