Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejang demam merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling sering dijumpai
pada bayi dan anak. Dari penelitian oleh beberapa pakar didapatkan bahwa sekitar 2,2%-
5% anak pernah mengalami kejang demam sebelum mereka mencapai umur 5 tahun.
Penelitian di jepang bahkan mendapatkan angka kejadian (inseden) yang lebih tinggi,
yaitu Maeda dkk, 1993 mendapatkan angka 9,7% (pada pria 10,5% dan pada wanita
8,9% dan Tsuboi mendapatkan angka sekitar 7%.
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% da Amerika Serikat, Amerika Selatan dan
Eropa Barat. Di Asia lebih tinngi kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam
komplek.Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang
demam sederhana yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum, dan kejang demam
komplek yang berlangsung lebih dari dari 15 menit, fokal atau multifel (lebih dari 1 kali
kejang demam dalam 24 jam) (Arif Manajer, 2000).
Kejang demam bisa diakibatkan oleh infeksi ekstrakranial seperti ISPA, radang
telinga, campak, cacar air. Dalam keadaan demam, kenaikan suhu tubuh sebesar 10C pun
bisa mengakibatkan kenaikan metabolisme basal yang mengakibatkan peningkatan
kebutuhan oksigen jaringan sebesar 10 – 15 % dan otak sebesar 20 %. Apabila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka anak akan kejang. Umumnya kejang tidak akan
menimbulkan dampak sisa jika kejang tersebut berlangsung kurang dari 5 menit tetapi
anak harus tetap mendapat penanganan agar tidak terjadi kejang ulang yang biasanya
lebih lama frekuensinya dari kejang pertama. Timbulnya kejang pada anak akan
menimbulkan berbagai masalah seperti resiko cidera, resiko terjadinya aspirasi atau yang
lebih fatal adalah lidah jatuh ke belakang yang mengakibatkan obstruksi pada jalan
nafas.
Hemiparesis biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama
(berlangsung lebih dari setengah jam) baik bersifat umum maaupun fokal,
kelumpuhannya sesuai dengan kejang vokal yang terjadi. Mula-mula kelumpuhannya
bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu spasitisitas. Milichap (1998) melaporkan dari
1990 anak menderita kejang demam, hanya 0,2 % saja yang mengalami hemiparese
sesudah kejang lama.

1
Dengan melihat latar belakang tersebut, masalah atau kasus ini dapat diturubkan
melalui upaya pencegahan dan penanggulangan optimal yang diberikan sedini mungkin
pada anak. Dan perlu diingat bahwa maslah penanggulangan kejang demam ini bukan
hanya masalah di rumah sakit tetapi mencskup permasalahan yang menyeluruh dimulai
dari individu anak tersebut, keluarga, kelompok maupun masyarakat.
B. Tujuan
1. Tujuan umum:
Untuk memperoleh informasi mengenai penyakit kejang demam pada anak.
2. Tujuan khusus:
Untuk mengetahui:
a. Anatomi fisiologi penyakit kejang deman pada anak.
b. Pengertian penyakit kejang demam pada anak.
c. Penyebab penyakit kejang demam pada anak
d. Patofisiologi penyakit kejang demam pada anak .
e. Manifestasi klinik penyakit kejang demam pada anak.
f. Komplikasi penyakit kejang demam pada anak.
g. Pemeriksaan diagnostik penyakit kejang demam pada anak .
h. Penatalaksanaan medik penyakit kejang demam pada anak.
i. Konsep asuhan keperawatan yang harus diberikan pada klien dengan kejang
demam.
j. Asuhan keperawatan kasus anak dengan kejang demam.
C. Ruang Lingkup
D. Manfaat Penulisan

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi

Sistem saraf terdiri dari system saraf pusat (sentral nervous system) yang terdiri dari
cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak) serta medulla spinalis (sumsum
tulang belakang), sistem saraf tepi (peripheral nervous system) yang terdiri dari nervus
cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua cabang dari medulla spinalis, system saraf gaib
(autonomic nervous system) yang terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan
parasymphatis (sistem saraf parasimpatis).
Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan dibungkus oleh selaput
otak yang disebut meningen yang berfungsi untuk melindungi struktur saraf terutama
terhadap resiko benturan atau guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater,
arachnoid dan piamater.

Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari :


1. Cerebrum (otak besar) merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan
superior rongga tengkorak di mana cerebrum ini mengisi cavum cranialis anterior dan
cavum cranialis media. Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan
medulla cerebri. Fungsi dari cerebrum ialah pusat motorik, pusat bicara, pusat
sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat penglihatan / visual, pusat pengecap
dan pembau serta pusat pemikiran.

3
Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah substansia alba
sehingga tidak berada di corteks cerebri lagi tepi sudah berada di dalam daerah
medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri inilah yang disebut sebagai ganglia
basalis. Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :

a. Thalamus

Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali impuls pembau
yang langsung sampai ke kortex cerebri. Fungsi thalamus terutama penting untuk
integrasi semua impuls sensorik. Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa
nyeri.

b. Hypothalamus

Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III hypothalamus terdiri dari


beberapa nukleus yang masing-masing mempunyai kegiatan fisiologi yang berbeda.
Hypothalamus merupakan daerah penting untuk mengatur fungsi alat demam seperti
mengatur metabolisme, alat genital, tidur dan bangun, suhu tubuh, rasa lapar dan haus,
saraf otonom dan sebagainya. Bila terjadi gangguan pada tubuh, maka akan terjadi
perubahan-perubahan. Seperti pada kasus kejang demam, hypothalamus berperan
penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang mengatur keseimbangan suhu
tubuh terganggu akibat adanya proses-proses patologik ekstrakranium.

c. Formation Reticularis

Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang otak (superior


dan pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi aktifitas cortex cerebri di mana
pada daerah formatio reticularis ini terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan
impuls yang akan dikirim ke cortex cerebri.

2. Serebellum merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati fossa
cranial posterior. Terletak di superior dan inferior dari cerebrum yang berfungsi
sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka.

Sistem saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung keluar dari otak
atau batang otak dan mensarafi organ tertentu.

4
Nervus cranialis ada 12 pasang :

a. N. I : Nervus Olfaktorius
b. N. II : Nervus Optikus
c. N. III : Nervus Okulamotorius
d. N. IV : Nervus Troklearis
e. N. V : Nervus Trigeminus
f. N. VI : Nervus Abducen
g. N. VII : Nervus Fasialis
h. N. VIII : Nervus Akustikus
i. N. IX : Nervus Glossofaringeus
j. N. X : Nervus Vagus
k. N. XI : Nervus Accesorius
l. N. XII : Nervus Hipoglosus.

Sistem saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf pusat dan sistem
saraf otonom dihubungkan dengan urat-urat saraf aferent dan efferent. Menurut
fungsinya system saraf otonom ada 2 di mana keduanya mempunyai serat pre dan
post ganglionik yaitu system simpatis dan parasimpatis.

Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah :

a. Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya


b. Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut trunkus symphatis
c. Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari ganglion kolateral.

System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :

a. Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang otak.


b. Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis.

B. Pengertian
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rectal diatas 38oc) yang disebabkan oleh suatu proses ekstracranial (mansjoer, 2000)
Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering
dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu

5
awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A.
Price, Latraine M. Wikson, 1995).
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang
mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat
sementara (Hudak and Gallo,1996).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang
yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yaitu 380 C yang sering di jumpai pada usia
anak dibawah lima tahun.
C. Etiologi
Penyebab kejang demam yang sering ditemukan adalah :
1. Faktor predisposisi :
a. Keturunan, orang tua yang memiliki riwayat kejang sebelumnya dapat diturunkan
pada anakmya.
b. Umur, (lebih sering pada umur < 5 tahun), karena sel otak pada anak belum matang
sehingga mudah mengalami perubahan konsentrasi ketika mendapat rangsangan tiba-
tiba.
2. Faktor presipitasi
a. Adanaya proses infeksi ekstrakranium oleh bakteri atau virus misalnya infeksi saluran
pernapasan atas, otitis media akut, tonsilitis, gastroenteritis, infeksitraktus urinarius
dan faringitis.
b. Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan elektrolit sehingga
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi
neuron misalnya hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia, hipokalsemia, dan
hipomagnesemia.
c. Kejang demam yang disebabkan oleh kejadian perinatal (trauma kepala, infeksi
premature, hipoksia) yang dapat menyebabkan kerusakan otak.

6
D. Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan
ke otak melalui system kardiovaskuler.
Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi,
dan dipecah menjadi karbon dioksida dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang
terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan
normal membran sel neuron dengan mudah dapat dilalui oleh ion Kalium (K+). Akibatnya
konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan di luar sel
neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu terdapat perbedaan jenis dan konsentrasi
ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial
membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan
energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion
diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi
atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri
karena penyakit/keturunan.

7
Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan
orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari
membran sel neuron dalam singkat terjadi difusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui
membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter
sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada
umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa tetapi kejang yang
berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2
dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan
terjadinya asidosis.
E. Manifestasi Klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan
saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, ISPA, UTI, serangan kejang biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,berlangsung singkat dengan sifat
bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik.
F. Komplikasi
1. Epilepsi
Terjadi akibat adanya kerusakan pada daerah lobus temporalis yang berlangsung lama
dan dapat menjadi matang.
2. Retardasi mental
Terjadi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan
perkembangan atau kelainan neurologis.
3. Hemiparese
Biasanya terjadi padaa pasien yang mengalemi kejang lama (berlangsung lebih dari 30
menit).
4. Gagal pernapasan
Akibat dari ektivitas kejang yang menyebabkan otot-otot pernapasan menjadi spasme.
5. Kematian
G. Pemeriksaan Diagnostik
Adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien kejang demam antara lain :
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Elektrolit

8
Tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang
b. Glukosa
Hipoglikemia ( normal 80 - 120)
c. Ureum / kreatinin
Meningkat (ureum normal 10 – 50 mg/dL dan kreatinin normal =< 1,4 mg/dL)
d. Sel Darah Merah (Hb)
Menurun ( normal 14-18 g/dl, 12-16 g/dl )
e. Lumbal punksi
Tes ini untuk memperoleh cairan cerebrospinalis dan untuk mengetahui keadaan
lintas likuor. Tes ini dapat mendeteksi penyebab kejang demam atau kejang karena
infeksi pada otak.
1) Pada kejang demam tidak terdapat gambaran patologis dan pemeriksaan lumbal
pungsi
2) Pada kejang oleh infeksi pada otak ditemukan :
a) Warna cairan cerebrospinal : berwarna kuning, menunjukan pigmen kuning
santokrom.
b) Jumlah cairan dalam cerebrospinal menigkat lebih dari normal (normal bayi
40-60ml, anak muda 60-100ml, anak lebih tua 80-120ml dan dewasa 130-150ml).
c) Perubahan biokimia : kadar Kalium menigkat ( normal dewasa 3.5-5.0
mEq/L, bayi 3.6-5.8mEq/L)
2. EEG (electroencephalography)
EEG merupakan cara untuk merekam aktivitas listrik otak melalui tengkorang yang
utuh untuk menentukan adanya kelainan pada SSP, EEG dilakukan sedikitnya 1
minggu setelah suhu normal. Tidak menunjukkan kelainan pada kejang demam
sederhana, gelombang EEG yang lambat di daerah belakang dan unilateral
menunjukkan kejang demam kompleks
3. CT Scan
Tidak dianjurkan pada kejang demam yang beru terjadi pada pertama kalinya
4. Pemeriksaan Radiologis
a. Foto tengkorak diperhatikan simetris tulang tengkorak, destruksi tulang
peningkatan tekanan intrakranial
b. Pneumonsefalografi dan ventrikulografi dilakukan atas indikasi tertentu yaitu untuk
melihat gambaran sistem ventrikal, rongga subaraknoid serta gambaran otak sehingga
dapat diketahui adanya atrofi otak, tumor serebri, hidrosefalus araknoiditis

9
c. Arteriografi untuk melihat keadaan pembuluh darah di otak, apakah ada
penyumbatan atau peregangan.
G. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu :
1. Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk
mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar oksigennisasi
terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan
fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi diturunkan dengan kompres air dan pemberian
antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti sebelum
diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi
jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit gunakan
diazepam intrarektal 5 mg (BB≤10 kg) atau 10 mg(BB≥10kg) bila kejang tidak berhenti
dapat diulang selang 15 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan
dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit. Setelah
pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis karena fenitoin
bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan langsung
setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk neonatus 30 mg, bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg
dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian diberikan
fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.
Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik per
oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200mg/hari. Efek sampingnya adalah
hipotensi,penurunan kesadaran dan depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan
fenitoin,lanjutkna fenitoin dengan dosis 4-8mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
2. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik kejang demam sederhana maupun kejang epilepsi
yang diprovokasi oleh demam biasanya ISPA dan otitis media akut. Pemberian antibiotika
yang tepat dan adekuat utnuk mengobati infeksi tersebut. Biasanya dilakukan pemeriksaan
fungsi lumbal untuk mengetahui faktor resiko infeksi di dalam otak, misalnya: meningitis.

10
Apabila menghadapi penderita dengan kejang demam lama, pemeriksaan yang intensif
perlu dilakukan, seperti: pemeriksaan darah lengkap.
3. Pengobatan rumat
Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian:
a. Pengobatan profilaksis intermiten: untuk mencegah terulangnya kejadian demam
dikemudian hari, orang tua atau pengasuh harus cepat mengetahui bila anak menderita
demam. Disamping pemberian antipiretik, obat yang tepat untuk mencegah kejang
waktu demam adalah diazepam intrarektal. Diberiakan tiap 12 jam pada penderita
demam dengan suhu 38,5oC atau lebih. Dosis Diazepam diberikan 5 mg untuk anak
kurang dari 3 tahun dan 7,5 mg untuk anak lebih dari 3 tahun atau dapat diberikan
Diazepam oral 0,5 mg/kg BB pada waktu penderita demam (berdasarkan resep
dokter).
b. Pengobatan profilaksis jangka panjang yaitu dengan pemberian antikonvulsan tiap
hari. Hal ini diberikan pada penderita yang menunjukkan hal berikut;
1) Sebelum kejang demam penderita sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangannya.
2) Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap.
3) Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
4) Kejang demam pada bayi atau kejang multipel pada satu episode demam.

11
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KEJANG DEMAM

A. Pengakajian

1. Pengkajian menurut Riyadi & Sukarmin (2013) terdapat 3 pengkajian yang harus di

lakukan, antara lain:

1) Riwayat Pengkajian

Pada anak kejang demam riwayat yang menonjol adalah adanya demam yang di alami

oleh anak (suhu rektal di atas 38ºC). Demam ini dilatarbelakangi adanya penyakit lain

yang terdapat pada luar kranial seperti tonsilitis, faringitis. Sebelum serangan kejang pada

pengkajian status kesehatan biasanya anak tidak mengalami kelainan apa-apa. Anak masih

menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasanya.

2) Pengkajian Fungsional

Pengkajian fungsional yang sering mengalami gangguan adalah terjadi penurunan

kesadaran anak dengan tiba-tiba sehingga kalau di buktikan dengan tes GCS skor yang di

hasilkan berkisar antara 5 sampai 10 dengan tingkat kesadaran dari apatis sampai

somnolen atau mungkin dapat koma. Kemungkinan ada gangguan jalan nafas yang di

buktikan dengan peningkatan frekwensi pernapasan >30 x/menit dengan irama cepat dan

dangkal, lidah terlihat menekuk menutup faring. Pada kebutuhan rasa aman dan nyaman

anak mengalami gangguan kenyamanan akibat hipertermi, sedangkan keamanan terjadi

ancaman karena anak mengalami kehilangan kesadaran yang tiba-tiba beresiko terjadinya

cidera secara fisik maupun fisiologis. Untuk pengkajian pola kebutuhan atau fungsi yang

lain kemungkinan belum terjadi gangguan kalau ada mungkin sebatas ancaman seperti

penurunan personal hygiene, aktivitas, intake nutrisi.

3) Pengkajian Tumbuh Kembang Anak

12
Secara umum kejang demam tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. Ini

di pahami dengan catatan kejang yang di alami anak tidak terlalu sering terjadi atau masih

dalam batasan yang dikemukakan oleh Livingstone (1 tahun tidak lebih dari 4 kali) atau

penyakit yang melatarbelakangi timbulnya kejang seperti tonsilitis, faringitis, segera dapat

di atasi. Kalau kondisi tersebut tidak terjadi anak dapat mudah mengalami keterlambatan

pertumbuhan misalnya berat badan yang kurang karena ketidak cukupan nutrisi sebagai

dampak anoreksia, tinggi badan yang kurang dari umur semestinya sebagai akibat

penurunan asupan mineral. Selain gangguan pertumbuhan sebagai dampak kondisi atas

anak juga dapat mengalami gangguan perkembangan seperti penurunan kepercayaan diri

akibat sering kambuhnya penyakit sehingga anak lebih banyak berdiam diri bersama

ibunya kalau di sekolah, tidak mau berinteraksi dengan teman sebaya. Saat dirawat di

rumah sakit anak terlihat pendiam, sulit berinteraksi dengan orang yang ada di sekitar,

jarang menyentuh mainan. Kemungkinan juga dapat terjadi gangguan perkembangan yang

lain seperti penurunan kemampuan motorik kasar (meloncat, berlari).

2. Pengkajian menurut Judha & Nazwar (2011) adalah pendekatan sistemik untuk

mengumpulkan data dan menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan

pasien tersebut. Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa

dan sintesa data serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan

menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan atau keperawatan yang meliputi kebutuhan

fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data didapatkan dari pasien, keluarga,

teman, team kesehatan lain, catatan pasien dan hasil pemeriksaan laboratorium. Metode

pengumpulan data melalui observasi (yaitu dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi,

perkusi), wawancara (yaitu berupa percakapan untuk memperoleh data yang diperlukan),

catatan (berupa catatan klinik, dokumen yang baru maupun yang lama), literatur

13
(mencakup semua materi, buku-buku, masalah dan surat kabar). Pengumpulan data pada

kasus kejang demam ini meliputi :

1) Data subyektif

a) Biodata/ Identitas

Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin. Biodata orang tua perlu dipertanyakan

untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa,

pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.

b) Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang

(1) Gerakan kejang anak

(2) Terdapat demam sebelum kejang

(3) Lama bangkitan kejang

(4) Pola serangan

(5) Frekuensi serangan

(6) Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan

(7) Riwayat penyakit sekarang

(8) Riwayat Penyakit Dahulu

c) Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami infeksi atau sakit

panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per vaginam sewaktu hamil,

penggunaan obat-obatan maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan

apakah sukar, spontan atau dengan tindakan (forcep atau vakum), perdarahan ante partum,

asfiksi dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak

mau menetek, dan kejang-kejang.

d) Riwayat Imunisasi

14
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur

mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah mendapat

imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang.

e) Riwayat Perkembangan

(1) Personal sosial (kepribadian atau tingkah laku sosial), kemampuan mandiri,

bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya.

(2) Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati

sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan

dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar,

memegang suatu benda, dan lain-lain.

(3) Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.

(4) Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan

berbicara spontan.

f) Riwayat kesehatan keluarga.

(1). Anggota keluarga menderita kejang

(2). Anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf

(3). Anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi

menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam.

g) Riwayat sosial

(1). Perilaku anak dan keadaan emosional

(2). Hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebaya

h) Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan

(1). Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan

serta kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis.

15
(2). Pola nutrisi

Asupan kebutuhan gizi anak, kualitas dan kuantitas makanan, makanan yang disukai,

selera makan, dan pemasukan cairan.

(3). Pola Eliminasi

a. BAK : frekuensi, jumlah, warna, bau, dan nyeri

b. BAB : frekuensi, konsistensi, dan keteraturan

(4). Pola aktivitas dan latihan

Kesenangan anak dalam bermain, aktivitas yang disukai, dan lama berkumpul dengan

keluarga.

(5). Pola tidur atau istirahat

Lama jam tidur, kebiasaan tidur, dan kebiasaan tidur siang.

2) Data Obyektif

a) Pemeriksaan tanda-tanda vital.

(1) Suhu Tubuh.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan melalui rektal, axila, dan oral yang digunakan untuk

menilai keseimbangan suhu tubuh yang dapat digunakan untuk membantu menentukan

diagnosis dini suatu penyakit.

(2) Denyut Nadi

Dalam melakukan pemeriksaan nadi sebaiknya dilakukan dalam posisi tidur atau istirahat,

pemeriksaan nadi dapat disertai dengan pemeriksaan denyut jantung

(3) Tekanan Darah

Dalam melakukan pengukuran tekanan darah, hasilnya sebaiknya dicantumkan dalam

posisi atau keadaan seperti tidur, duduk, dan berbaring. Sebab posisi akan mempengaruhi

hasil penilaian tekanan darah (Nursalam, 2005)

b) Pemeriksaan fisik

16
(1) Pemeriksaan kepala

Keadaan ubun-ubun dan tanda kenaikan intrakranial.

(2) Pemeriksaan rambut

Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta katakteristik lain rambut. Pasien dengan

malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut

jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.

(3) Pemeriksaan wajah

Paralisis fasialis menyebabkan asimetris wajah, sisi yang paresis tertinggal bila anak

menangis atau tertawa sehingga wajah tertarik ke sisi sehat, tanda rhesus sardonicus,

opistotonus, dan trimus, serta gangguan nervus cranial.

(4) Pemeriksaan mata

Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman

penglihatan.

(5) Pemeriksaan telinga

Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti

pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga,

berkurangnya pendengaran.

(6) Pemeriksaan hidung

Pernapasan cuping hidung, polip yang menyumbat jalan nafas, serta secret yang keluar

dan konsistensinya.

(7) Pemeriksaan mulut

Tanda-tanda cyanosis, keadaan lidah, stomatitis, gigi yang tumbuh, dan karies gigi.

(8) Pemeriksaan tenggorokan

Tanda peradangan tonsil, tanda infeksi faring, cairan eksudat.

(9) Pemeriksaan leher

17
Tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid, pembesaran vena jugularis.

(10) Pemeriksaan Thorax

Amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman,

adakah retraksi, adakah intercostale pada auskultasi, adakah suara tambahan.

(11) Pemeriksaan Jantung

Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung, serta irama jantung, adakah bunyi tambahan,

adakah bradicardi atau tachycardia.

(12) Pemeriksaan Abdomen

Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen, bagaimana turgor kulit,

peristaltik usus, adakah tanda meteorismus, adakah pembesaran lien dan hepar.

(13) Pemeriksaan Kulit

Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya, apakah terdapat oedema,

hemangioma, bagaimana keadaan turgor kulit.

(14) Pemeriksaan Ekstremitas

Apakah terdapat oedema, atau paralise, terutama setelah terjadi kejang. Bagaimana suhu

pada daerah akral.

(15) Pemeriksaan Genetalia

Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, adakah tanda-tanda

infeksi pada daerah genetalia.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Berdasarkan patofisiologi penyakit, dan manifestasi klinik yang muncul maka diagnosa

keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan kejang demam menurut Riyadi &

Sukarmin (2013) adalah:

1) Risiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan penutupan faring oleh lidah,

spasme otot bronkus.

18
2) Risiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan oksigen darah.

3) Hipertermi berhubungan dengan infeksi kelenjar tonsil, telinga, bronkus atau pada

tempat lain.

4) Risiko gangguan pertumbuhan (berat badan rendah) berhubungan dengan penurunan

asupan nutrisi.

5) Risiko gangguan perkembangan (kepercayaan diri) berhubungan dengan peningkatan

frekwensi kekambuhan.

6) Risiko cidera (terjatuh, terkena benda tajam) berhubungan dengan penurunan respon

terhadap lingkungan.

2. Menurut Judha & Nazwar (2011) diagnosis keperawatan yang muncul antara lain:

1) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, gangguan pusat pengaturan suhu.

2) Potensial terjadinya kejang ulang berhubungan dengan hipertermi.

3) Potensial terjadinya trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot.

4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hipertermi.

5) Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbatasan informasi.

C. Intervensi Keperawatan

1. Menurut Riyadi & Sukarmin (2013), intervensi dan rasional yang muncul adalah:

1) Risiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan penutupan faring oleh lidah,

spasme otot bronkus.

Hasil yang di harapkan: Frekwensi pernapasan meningkat 28-35 x/menit, irama

pernafasan regular dan tidak cepat, anak tidak terlihat terengah-engah.

Rencana tindakan:

(1). Monitor jalan nafas, frekwensi pernafasan, irama pernafasan tiap 15 menit saat

penurunan kesadaran.

19
Rasional: frekwensi pernapasan yang meningkat tinggi dengan irama yang cepat sebagai

salah satu indikasi sumbatan jallan nafas oleh benda asing, contohnya lidah.

(2). Tempatkan anak pada posisi semifowler dengan kepala ekstensi.

Rasional: posisi semifowler akan menurunkan tahanan intra abdominal terhadap paru-paru.

Hiperekstensi membuat jalan nafas dalam posisi lurus dan bebas dari hambatan.

(3). Pasang tongspatel saat timbul serangan kejang.

Rasional: mencegah lidah tertekuk yang dapat menutupi jalan nafas.

(4). Bebaskan anak dari pakaian yang ketat

Rasional: mengurangi tekanan terhadap rongga thorax sehingga terjadi keterbatasan

pengembangan paru.

(5). Kolaborasi pemberian anti kejang (diazepam dengan dosis rata-rata 0,3

Mg/KgBB/kali pemberian.

Rasional: diazepam bekerja menurunkan tingkat fase depolarisasi yang cepat di sistem

persyarafan pusat sehingga dapat terjadi penurunan pada spasma otot dan persyarafan

perifer.

2) Risiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan oksigen darah.

Hasil yang di harapkan: jaringan perifer (kulit) terlihat merah dan segar, akral teraba

hangat.

Rencana tindakan:

(1). Kaji tingkat pengisian kapiler perifer.

Rasional: kapiler kecil mempunyai volume darah yang relatif kecil dan cukup sensitif

sebagai tanda terhadap penurunan oksigen darah.

(2). Pemberian oksigen dengan memakai masker atau nasal bicanul dengan dosis rata-rata

3 liter/menit.

20
Rasional: oksigen tabung mempunyai tekanan yang lebih tinggi dari oksigen lingkungan

sehingga mudah masuk ke paru-paru. Pemberian dengan masker karena mempunyai

prosentase sekitar 35% yang dapat masuk ke saluran pernafasan.

(3). Hindarkan anak dari rangsangan yang berlebihan baik suara, mekanik, maupun

cahaya.

Rasional: rangsangan akan meningkatkan fase eksitasi persarafan yang dapat menaikkan

kebutuhan oksigen jaringan.

(4). Tempatkan pasien pada ruangan dengan sirkulasi udara yang baik (ventilasi

memenuhi ¼ dari luas ruangan).

Rasional: meningkatkan jumlah udara yang masuk dan mencegah hipoksemia jaringan.

3) Hipertermi berhubungan dengan infeksi kelenjar tonsil, telinga, bronkus atau pada

tempat lain.

Hasil yang diharapkan: suhu tubuh perektal 36-37ºC, kening anak tidak teraba panas. tidak

terdapat pembengkakan, kemerahan pada tongsil atau telinga.mleukosit 5.000-11.000

mg/dl

Rencana tindakan:

(1). Pantau suhu tubuh anak tiap setengah jam.

Rasional: peningkatan suhu tubuh yang melebihi 39ºC dapat beresiko terjadinya kerusakan

saraf pusat karena akan meningkatkan neurotransmiter yang dapat meningkatkan eksitasi

neuron.

(2). Kompres anak dengan alkohol atau air dingin.

Rasional: saat di kompres panas tubuh anak akan berpindah ke media yang digunakan

untuk mengkompres karena suhu tubuh relatif tinggi.

(3). Beri pakaian anak yang tipis dari bahan yang halus seperti katun.

21
Rasional: pakaian yang tipis akan memudahkan perpindahan panas dari tubuh ke

lingkungan. Bahan katun akan menghindari iritasi kulit pada anak karena panas yang

tinggi akan membuat kulit sensitif terhadap cidera.

(4). Jaga kebutuhan cairan anak tercukupi melalui pemberian intravena.

Rasional: cairan yang cukup akan menjaga kelembapan sel, sehingga sel tubuh tidak

mudah rusak akibat suhu tubuh yang tinggi.

(5). Kolaborasi pemberian antipiretik (aspirin dengan dosis 60 mg/tahun/kali pemberian),

antibiotik.

Rasional: antipiretik akan mempengaruhi ambang panas pada hipotalamus. Antipiretik

juga akan mempengaruhi penurunan neurotransmiter seperti prostaglandin yang

berkontribusi timbulnya nyeri saat demam.

4) Risiko gangguan pertumbuhan (berat badan rendah) berhubungan dengan penurunan

asupan nutrisi.

Hasil yang di harapkan: orang tua anak menyampaikan anaknya sudah gampang makan

dengan porsi makan di habiskan setiap hari (1 porsi makan)

Rencana tindakan:

(1). Kaji berat badan dan jumlah asupan kalori anak.

Rasional: berat badan adalah salah satu indikator jumlah massa sel dalam tubuh, apabila

berat badan rendah menunjukkan terjadi penurunan jumlah dan massa sel tubuh yang tidak

sesuai dengan umur.

(2). Ciptakan suasana yang menarik dan nyaman saat makan seperti di bawa ke ruangan

yang banyak gambar untuk anak dan sambil di ajak bermain.

Rasional: dapat membantu peningkatan respon korteks serebri terhadap selera makan

sebagai dampak rasa senang pada anak.

(3). Anjurkan orangtua untuk memberikan anak makan dengan kondisi makanan hangat.

22
Rasional: makanan hangat akan mengurangi kekentalan sekresi mukus pada faring dan

mengurangi respon mual gaster.

(4). Anjurkan orang tua memberikan makanan pada anak dengan porsi sering dan sedikit.

Rasional: mengurangi massa makanan yang banyak pada lambung yang dapat

menurunkan rangsangan nafsu makan pada otak bagian bawah.

5) Risiko gangguan perkembangan (kepercayaan diri) berhubungan dengan peningkatan

frekwensi kekambuhan.

Hasil yang di harapkan: anak terlihat aktif berinteraksi dengan orang di sekitar saat di

rawat di rumah sakit,frekwensi kekambuhan kejang demam berkisar 1-3 kali dalam

setahun.

Rencana tindakan:

(1). Kaji tingkat perkembangan anak terutama percaya diri dan frekwensi demam.

Rasional: fase ini bila tidak teratasi dapat terjadi krisis kepercayaan diri pada anak.

Frekwensi demam yang meningkat dapat menurunkan penampilan anak.

(2). Berikan anak terapi bermain dengan teman sebaya di rumah sakit yang melibatkan

banyak anak seperti bermain lempar bola.

Rasional: meningkatkan interaksi anak terhadap teman sebaya tanpa melalui paksaan dan

doktrin dari orang tua.

(3). Beri anak reward bila anak berhasil melakukan aktivitas positif misalnya melempar

bola dengan tepat, dan support anak bila belum berhasil.

Rasional: meningkatkan nilai positif yang ada pada anak dan memperbaiki kelemahan dan

kemauan yang kuat.

6) Risiko cidera (terjatuh, terkena benda tajam) berhubungan dengan penurunan respon

terhadap lingkungan.

Hasil yang di harapkan: anak tidak terluka atau jatuh saat serangan kejang.

23
Rencana tindakan:

(1). Tempatkan anak pada tempat tidur yang lunak dan rata seperti bahan matras.

Rasional: menjaga posisi tubuh lurus yang dapat berdapak pada lurusnya jalan nafas.

(2). Pasang pengaman di kedua sisi tempat tidur.

Rasional: mencegah anak terjatuh.

(3). Jaga anak saat timbul serangan kejang.

Rasional: menjaga jalan nafas dan mencegah anak terjatuh.

2. Menurut Judha & Nazwar (2011), intervensi dan rasional yang harus di lakukan

adalah:

1) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, gangguan pusat pengaturan suhu.

Tujuan : Terjadi penurunan suhu tubuh

Kriteria hasil : Suhu tubuh dalam rentang normal, nadi dan RR dalam rentang normal

Intervensi dan Rasional

(1) Pantau suhu tubuh anak tiap setengah

Rasional : peningkatan suhu tubuh yang melebihi 390C dapat berisiko terjadinya

kerusakan saraf pusat karena akan meningkatkan neurotransmitter yang dapat

meningkatkan eksitasi neuron.

(2) Kompres anak dengan air dingin/ hangat

Rasional : pada saat dikompres panas tubuh anak akan berpindah ke media yang

digunakan untuk mengompres karena suhu tubuh relatif lebih tinggi.

(3) Beri pakaian anak yang tipis dan bahan yang halus seperti katun

Rasional : pakaian yang tipis akan memudahkan perpindahan panas dari tubuh ke

lingkungan. Bahan katun akan menghindari iritasi kulit pada anak karena panas yang

tinggi akan membuat kulit sensitif terhadap cidera.

(4) Jaga kebutuhan cairan anak tercukupi melalui pemberian intravena

24
Rasional : cairan yang cukup akan menjaga kelembaban sel, sehingga sel tubuh tidak

mudah rusak akibat suhu tubuh yang tinggi.

(5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik

Rasional : antipiretik akan mempengaruhi ambang panas pada hipotalamus.

2) Potensial terjadinya kejang ulang berhubungan dengan hipertermi

Tujuan :

Klien tidak mengalami kejang selama hipertermi

Kriteria hasil :

(1) Tidak terjadi serangan kejang ulang

(2) Suhu 36-37,50C

(3) Nadi 100-110x/menit

(4) Respirasi 24-28x/menit

(5) Kesadaran composmentis

Intervensi dan Rasional

(1) Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat.

Rasional : proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak menyerap

keringat.

(2) Berikan kompres dingin

Rasional : perpindahan panas secara konduksi

(3) Berikan ekstra cairan (susu, sari buah)

Rasional : saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.

(4) Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam

Rasional : pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan.

(5) Batasi aktivitas selama anak panas

Rasional : aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas.

25
(6) Berikan pengobatan antipiretik sesuai advis dokter.

Rasional : menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis.

3) Potensial terjadi trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot.

Tujuan : Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.

Kriteria Hasil :

(1) Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.

(2) Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas kejang.

(3) Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan ketika terjadi kejang.

Intervensi dan Rasional :

(1) Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan sisi tempat tidur yang rendah.

Rasional : meminimalkan injuri saat kejang.

(2) Tinggallah bersama klien selama fase kejang.

Rasional : meningkatkan keamanan klien.

(3) Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah.

Rasional : menurunkan resiko trauma pada mulut.

(4) Letakkan klien di tempat yang lembut.

Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas ketika kontrol otot

volunter berkurang.

(5) Catat tipe kejang (lokasi, lama) dan frekuensi kejang.

Rasional : membantu menurunkan lokasi area serebral yang terganggu.

(6) Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang.

Rasional : mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal.

4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi.

Tujuan :

Rasa nyaman terpenuhi.

26
Kriteria Hasil :

Suhu tubuh 36-370C, Nadi 100-110x/menit, kesadaran composmentis, anak tidak rewel.

Intervensi dan Rasional :

(1) Kaji faktor-faktor terjadinya hiperthermi.

Rasional : mengetahui penyebab terjadinya hipertermi karena penambahan

pakaian/selimut dapat menghambat penurunan suhu tubuh.

(2) Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam sekali.

Rasional : pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan

keperawatan yang selanjutnya.

(3) Pertahankan suhu tubuh normal.

Rasional : suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu tubuh lingkungan,

kelembaban tinggi akan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.

(4) Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala/ketiak.

Rasional : proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara.

(5) Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun.

Rasional : proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat

menyerap keringat.

(6) Atur sirkulasi udara ruangan.

Rasional : penyediaan udara bersih.

(7) Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak minum.

Rasional : kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat.

(8) Batasi aktivitas fisik.

Rasional : aktivitas meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas.

5) Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbatasan informasi.

27
Tujuan :

Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.

Kriteria Hasil :

(1) Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya.

(2) Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan.

(3) Keluarga mentaati setiap proses keperawatan.

Intervensi dan Rasional :

(1) Kaji tingkat pengetahuan keluarga.

Rasional : mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan kebenaran

informasi yang didapat.

(2) Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam.

Rasional : penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah wawasan

keluarga.

(3) Jelaskan setiap tindakan perawatan yang akan dilakukan.

Rasional : agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan.

(4) Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang

demam antara lain :

(1) Jangan panik saat kejang.

(2) Baringkan anak ditempat rata dan lembut.

(3) Kepala dimiringkan.

(4) Pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain yang basah, lalu dimasukkan ke

mulut

(5) Setelah kejang berhenti dan pasien sadar segera minumkan obat tunggu sampai

keadaan tenang.

(6) Jika suhu tinggi saat kejang lakukan kompres dingin dan beri banyak minum.

28
(7) Segera bawa ke rumah sakit bila kejang lama.

Rasional : sebagai upaya alih informasi dan mendidik keluarga agar mandiri dalam

mengatasi masalah kesehatan.

(5) Berikan Health Education agar selalu sedia obat penurun panas, bila anak panas.

Rasional : mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang ulang.

(6) Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan menghindari

orang atau teman yang menderita penyakit menular sehingga tidak mencetuskan kenaikan

suhu.

Rasional : sebagai upaya preventif serangan ulang.

(7) Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan imunisasi agar memberitahukan

kepada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah menderita kejang demam.

Rasional : imunisasi pertusis memberikan reaksi panas yang dapat menyebabkan kejang

demam.

D. Evaluasi

Menurut Judha & Nazwar (2011), Evaluasi yang muncul adalah :

1) Suhu tubuh dalam rentang normal.

2) Tidak terjadi serangan kejang ulang.

3) Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.

4) Suhu tubuh 36-37ºC.

5) Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya.

29
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN KASUS ANAK DENGAN KEJANG DEMAM

A. Pengkajian

A. Identitas Klien
Nomor RM : 01-41-42-57 Tanggal Masuk RS : 7/3/2017
Nama Klien : An. RE Tanggal Pengkajian : 7/3/2017
Nama Panggilan : An.R
Tempat Tanggal Lahir : Sleman, 26/5/2012
Umur : 4 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Jawa
Bahasa yang Dimengerti : Jawa

Orang Tua/Wali
Nama Ayah/Ibu : Bp. M/Ibu R
Pekerjaan Ayah/Ibu : Swasta/Guru
Pendidikan : SLTA/SPG
Alamat : Sumberadi, Mlati, Sleman

B. Keluhan Utama
Panas, suhu tubuh 38 °C.

C. Riwayat Kesehatan Saat Ini


Satu HSMRS anak demam, tidak muntah, tidak batuk, tidak pilek, kemudian diberi
paracetamol ½ sendok teh tetapi demam masih tinggi.
HMRS anak muntah 2 kali seperti yang dimakan tidak muncrat, BAB encer 1 kali, demam
tinggi, tidak ada edema. Anak kejang saat di UGD selama 2 menit, berhenti dengan diazepam
5 mg suspensi dan 2 kali dumin suspensi masuk.

30
D. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
1. Prenatal
Sebelumnya ibu KB suntik selama 9 bulan. Selama hamil ibu kontrol rutin setiap 4
minggu di dokter Sp.OG tiap bulan sejak usia kehamilan 2 bulan, tidak imunisasi, USG,
mendapat suplemen tambah darah dan vitamin. Selama hamil tidak mengalami masalah,
tidak mual muntah berlebihan, tidak demam, tidak ada edema dan tidak mengalami
hipertensi.

2. Perinatal dan Post Natal


Anak lahir spontan pervaginam di dokter Sp.OG pada usia kehamilan 9 bulan 10 hari,
presentasi kepala, ketuban jernih, setelah lahir anak langsung menangis. Gerak aktif, tidak
biru dan tidak kuning. Berat badan lahir 3400 gr panjang badan 52 cm. Post natal anak
kontrol dan mendapat imunisasi di Puskesmas
3. Penyakit yang pernah diderita : Sebelumnya anak belum pernah menderita
penyakit berat.
4. Hospitalisasi/operasi : Sebelumnya anak belum pernah dirawat di RS
atau mengalami tindakan operasi.
5. Injury : Anak belum pernah mengalami kecelakaan
sebelumnya.
6. Alergi : Tidak ada riwayat alergi.

7. Imunisasi : Hepatitis B 1 kali, BCG 1 kali pada usia 2


minggu, DPT 4 kali pada usia 2, 3, 4 bulan, Polio 3
kali pada usia 2, 3, 4 bulan, campak pada usia 9
bulan.
E. Riwayat Sosial Pengasuh : Anak diasuh oleh kedua orang tuanya.
1. Hubungan dengan anggota keluarga : Hubungan anak dengan anggota keluarga
yang lain baik. Selama dirawat di RS anak sering dijenguk oleh saudara.
2. Hubungan dengan anggota teman sebaya : Oleh ibu anak sering diajak bermain
dengan teman sebayanya.

31
F. Riwayat Keluarga
1. Sosial ekonomi : Anak tinggal dengan orang tua dan saudara kandung di rumah
sendiri ayah bekerja dibidang swasta dan ibu bekerja sebagai guru TK. Pendapatan
perbulan ± Rp 1.000. 000,-
2. Lingkungan rumah : Anak menempati rumah dengan dinding tembok, lantai tegel,
ventilasi dan penerangan cukup, kamar mandi dan jamban sendiri, sumber air minum
dari sumur.
3. Penyakit keluarga : a. Ayah dan ibu memiliki riwayat alergi makanan
b. Sepupu anak dari pihak ayah pernah mengalami kejang
demam
c. Nenek dari ayah dan ibu memiliki riwayat hipertensi
]
G. Pola Kesehatan Klien Saat Ini
1. Nutrisi : klien terpasang sonde, diet cair: energi 880 kkal/hari, protein 24
gram/hari. Kemampuan mengisap bayi mulai membaik. Berdasarkan z-score, status
nutrisi klien baik.
2. Cairan : ubun-ubun tidak cekung, kebutuhan cairan 800 cc/hari. Cairan diberikan
perseonde, oral dan perinfus, muntah 1 kali.
3. Aktivitas : tidak ada batasan dalam beraktifitas.
4. Tidur dan istirahat : an. R tidur mulai jam 08.00 hingga jam 06.00, kadang tertidur
kembali. Siang tidur 3-4 jam/hari.
5. Eliminasi : urine spontan, BAB lunak 1 kali. Output ± 120 cc/hari

H. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Tingkat kesadaran : Compos mentis
- Nadi: 124x/m - BB: 16 kg
- Suhu:38,2°C - TB: 130 cm -
- RR:30x/m
2. Kulit : turgor baik, tidak ada ptechie dan diaperras
3. Kepala : bersih, ubun-ubun belum menutup.
4. Mata : tidak ada edema palpebra, konjungtiva tidak pucat, scelera
tidak ikterik.
5. Telinga : kebersihan baik, tidak ada pengeluaran cairan.

32
6. Hidung : terpasang sonde.
7. Mulut : mukosa lembab, tidak ada iritasi mukosa.
8. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
9. Dada : Simetris, tidak ada ketinggalan gerak
10. Paru-Paru : perkusi sonor, bunyi napas vesikular.
11. Jantung : Auskultasi S1 tunggal, S2 split tidak konstan, tidak ada
bising.
12. Abdomen : bentuk soepel, tidak ada distensi.
13. Anus dan rectum : tidak ada iritasi pada mukosa.
14. Muskuloskeletal : kekuatan otot baik, pergerakan tidak terbatas.

I. Pemeriksaan Diagnostik

Tang Jenis Hasil Satuan Nilai Interpretasi


gal normal
12 Darah rutin
April WBC 13,37 103/µ L 4,8-10,8 Naik
2009 RBC 5,1 106/µ L 4,2-5,4 Normal
HGB 12 g/dL 12-16 Normal
HCT 37,6 % 37-47 Normal
MCV 73,7 fL 79-99 Rendah
MCH 23,5 pg 27-31 Rendah
MCHC 31,9 g/dL 33-37 Rendah
PLT 219 103/µ L 150-450 Normal
Kimia darah
Na 133,5 mmol/L 137-145 Rendah
K 4,05 mmol/L 3,1-5 Normal
Cl 106,4 mmol/L 98-107 Normal
Ca 2,38 mmol/L 2,1-2,54 Normal
GDS 145 mg/dL 80-140 Tinggi
Cairan otak
Kejernihan Jernih
Jumlah sel 0

33
Eritrosit 0
Leukosit 0
berinti polimorf
Limfosit 0
Albumin 0
Percobaan 0
Pady 0
Kadar 73 mg%
protein 139
Glukosa 122
Na
13 Cl Kuning
April Urin rutin keruh
2009 Warna 1.010
BJ 7,0
pH Normal
uro -
Glukosa -
Protein -
Bilirubin -
Leukosit

J. Terapi Farmakologi
1. Zinc 1 x 20 mg
2. Dialac 2 x 1 sachet
3. Paracetamol 10 mg/ kg BB k/p (3/4 cth).
4. Diazepam 0,3 mg/kg BB IV jika kejang (2,5 mg).
5. Diazepam 0,1 mg/kg BB per oral jika suhu > 38,5 °C (0,8 mg).

34
ANALISA DATA
Tgl/J Data Senjang Masalah Etiologi
am
7/3 DS: Hipertermi Peningkatan
‘17 - Ibu klien mengatakan an. metabolik
08.00 R panas.
DO:
- Suhu axila 38,2 °C.
- Kulit merah.
- Kulit teraba hangat.

7/3 DS: Risiko Status


‘17 Ibu klien mengatakan anak kekurangan volume hipermetabolik
08.00 muntah 1 x dan BAB lunak 1 x cairan
pagi ini.
DO:
Peningkatan suhu tubuh
38,2 °C.

7/3 DS: Risiko cedera Fungsi regulatori


‘17 - biokimia
08.00 DO: (hipertermi dan
· Demam, suhu 38,2 °C. konvulsi)
· Riwayat kesehatan:
Kejang saat masuk rumah
sakit.

35
RUMUSAN MASALAH
NO Tgl/J Diagnosa Keperawatan
am
1 7/3
‘17 Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolik.
08.00
2 Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status
08.00 hipermetabolik dan kehilangan cairan melalui rute normal.

3 Risiko cedera berhubungan dengan fungsi regulatori biokimia


08.00 (hipertermi dan konvulsi).

RENCANA KEPERAWATAN
Tgl/J Diagnosa
Outcome Intervensi
am Keperawatan
7/3 Hipertermi Thermoregulation: Fever treatment
‘17 berhubungan · Suhu tubuh § Monitor suhu sesering
08.00 dengan dalam rentang normal. mungkin.
peningkatan · Nadi dan RR § Monitor warna dan suhu
metabolik. dalam rentang normal. kulit.
· Tidak ada § Monitor nadi dan RR.
perubahan warna kulit. § Lakukan tapid sponge.
§ Berikan cairan
intravena.
§ Tingkatkan sirkulasi
udara.
§ Kolaborasikan
pemberian antipiretik.
§ Berikan pengobatan
untuk mengatasi penyebab
demam.
7/3 Risiko Fluid balance dan Fluid management:

36
‘17 kekurangan Hydration: · Timbang
08.00 volume cairan · Mempertahanka popok/pembalut jika
berhubungan n urine output sesuai diperlukan.
dengan status dengan usia dan BB, BJ · Pertahankan catatan
hipermetabolik urine normal, HT intake dan output yang
dan kehilangan normal akurat.
cairan melalui · Tekanan darah, · Monitor status hidrasi
rute normal. nadi, suhu tubuh dalam (kelembaban membran
batas normal mukosa, nadi adekuat).
· Tidak ada · Monitor vital sign.
tanda-tanda dehidrasi, · Monitor masukan
Elastisitas turgor kulit makanan/cairan dan hitung
baik, membran mukosa intake kalori harian.
lembab, tidak ada rasa · Lakukan terapi IV.
haus yang berlebihan · Monitor status nutrisi.
· Berikan cairan.
· Dorong masukan oral.
· Berikan penggantian
nasogatrik sesuai output.
· Dorong keluarga
untuk membantu pasien
makan.
· Tawarkan snack (jus
buah, buah segar).

RENCANA KEPERAWATAN
Tgl/J Diagnosa
Outcome Intervensi
am Keperawatan
7/3 Risiko cedera Vital signs status: Vital signs monitoring:
‘17 berhubungan · Temperatur dalam · Monitor adanya
08.00 dengan fungsi rentang normal. hipertermia.
regulatori · Catat tren dan fluktuasi
biokimia Knowledge: personal peningkatan suhu.

37
(hipertermi dan safety · Monitor nadi dan
konvulsi). · Mampu respirasi.
menjelaskan langkah-
langkah pencegahan Environment Management
risiko. · Sediakan lingkungan
· Mampu yang aman untuk pasien
menjelaskan langkah- · Identifikasi kebutuhan
langkah kedaruratan saat keamanan pasien, sesuai
di rumah. dengan kondisi fisik dan
fungsi kognitif pasien dan
riwayat penyakit terdahulu
pasien
· Menganjurkan keluarga
untuk menemani pasien.
· Memindahkan barang-
barang yang dapat
membahayakan

Discharge planning:
· Identifikasi
pengetahuan keluarga.
· Diskusikan dengan
keluarga tentang tatalaksana
post hospital.
· Diskusikan dengan
keluarga untuk melakukan
rujukan ke pelayanan
kesehatan sehubungan
perawatan klien.

38
CATATAN PERKEMBANGAN
Tgl/Ja No. Catatan Keperawatan Evaluasi
m DK
7/3 1 13.45
‘17 · Memonitor tanda vital klien: S:
08.00 suhu axila 38,2 °C, rr 30 x/m dan nadi Ibu klien mengatakan suhu
124 x/m. Kulit kemerahan. kulit an. R turun dari
· Memberikan tapid sponge. sebelumnya.
· Mengelola pemberian O:
antipiretik paracetamol ¾ cth. · Temperatur 37,6 °C.
· Tidak ada kejang.
· Memotivasi ibu untuk tetap A:
09.00 memberikan ASI atau cairan peroral Hipertermi belum teratasi.
lainnya. P:
· Monitor perubahan tanda
· Memonitor tanda vital klien: vital ekstrim.
11.00 suhu axila 37,6 °C, rr 30 x/m dan nadi · Berikan tapid sponge bila
124 x/m. panas.
· Memotivasi keluarga untuk · Tingkatkan hidrasi.
tetap memberikan tapid sponge.
· Menganjurkan ibu untuk
memasangkan pakaian tipis,
menyerap keringat dan memudahkan
sirkulasi udara.
7/3 2 13.45
‘17 · Memantau status hidrasi klien: S:
08.00 turgor kulit baik, klien muntah dan Ibu klien menyatakan an. R
BAB 1 kali. mau menetek.
· Mengaff infus: daerah insersi O:
flebitis. · Intake hingga jam 13.00
± 120 cc.
· Memberikan cairan/PASI · Output hingga jam 13.00
09.00 personde 20 cc. ± 85cc.

39
· Menghitung output urine ± · Mukosa mulut lembab.
25cc. A:
Defisit cairan tidak terjadi.
11.00 · Menghitung output urine ± 15 P:
cc dan feces ± 50 cc. · Monitor input-output.
· Memberikan diet personde 60 · Motivasi pemberian
cc intake peroral.

CATATAN PERKEMBANGAN
Tgl/Ja No. Catatan Keperawatan Evaluasi
m DK
7/3 3 09.45
‘17 · Mendiskusikan dengan ibu klien S:
09.30 tentang antisipasi demam dan kejang. Ibu klien mengatakan
· Menjelaskan kepada ibu sudah bisa melakukan
penyebab kejang terdahulu. antisipasi demam dan kejang.
· Mendiskusikan dengan ibu O:
menanganan di rumah bila anak -
kembali demam tinggi serta terjadi A:
kejang. Pengetahuan ibu
· Memotivasi ibu untuk meningkat.
memanfaatkan fasilitas kesehatan. Injuri tidak terjadi.
P:
Monitor perubahan suhu.

CATATAN PERKEMBANGAN
Tgl/Jam No. Catatan Keperawatan Evaluasi
DK
7/3 ‘17 1 21.00
14.00 · Memonitor tanda vital klien: suhu S:
axila 38 °C, rr 32 x/m dan nadi 180 Ibu klien mengatakan anak
x/m. kembali panas.

40
· Memotivasi ibu untuk memberikan O:
tapid sponge. · Temperatur 38,6 °C.
· Tidak ada kejang.
21.00 · Mengukur tanda vital klien: suhu A:
aksila 38,6 °C, rr 32 x/m dan nadi Hipertermi belum teratasi.
178 x/m. P:
· Memberikan tapid spnge. · Monitor perubahan tanda vital
· Mengelola pemberian antipiretik ¾ ekstrim.
cth. · Tingkatkan hidrasi.
7/3 ‘17 2 21.00
14.00 · Memantau status hidrasi klien: S:
turgor kulit baik, klien muntah tidak Ibu klien menyatakan an. R
ada dan BAB 1 kali. mau menetek.
· Memberikan cairan/PASI personde O:
40 cc. · Intake sore hingga jam 21.00
· Menghitung output urine ± 20cc. ± 255 cc.
· Output sore hingga jam 21.00
· Menghitung output urine ± 20 cc. ± 120 cc.
16.00 · Memberikan diet personde 60 cc · Mukosa mulut lembab.
· Tidak ada diare.
Memonitor pemberian ASI 60 cc. A:
Defisit cairan tidak terjadi.
· Memberikan ASI 40 cc. P:
17.00 · Mengelola pemberian dialac 1 · Monitor input-output.
sachet. · Motivasi pemberian intake
18.00 · Memonitor pengeluaran urine ± peroral.
20cc.

· Memberikan cairan/PASI 55 cc.


· Memonitor out output urine ± 20cc.

20.00 · Memonitor defekasi, ± 40cc.

41
21.00

42
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kejang demam adalah suatu keadaan dimana bangkitan kejang yang terjadi karena

peningkatan suhu tubuh (suhu rectal > 380 C yang sering di jumpai pada usia anak dibawah

lima tahun.

Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang sering dijumpai pada saat

seorang bayi atau anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam

biasanya terjadi pada awal demam. Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian

kaku, kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, napas

akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan

segera normal kembali. Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang

dapat terjadi selama lebih dari 15 menit.

Oleh karena itu, sangat penting bagi para orang tua untuk melakukan pemeriksaan

sedini mungkin pada anaknya agar hal-hal yang tidak di inginkan dapat diketahui secara dini

sehingga kejang demam dapat dicegah sedini mungkin

43
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily L dan Sowden, Linda L. 2002.Keperawatan Pediatrik, Edisi 3, EGC: Jakarta.
Hidayat, Azis Alimul. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Edisi:1. Jakarta:
Salemba medika.
http://www.aidsinfonet.org/factsheet_detail.php?fsnumber=504
Judha, Mohammad, 2011, Sistem Persyarafan (Dalam Asuhan Keperawatan), Gosyen
Publishing, Yogyakarta
Nursalam, 2005, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan), Salemba
Medika, Jakarta
Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2007). Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi: 11. Jakarta: Infomedika
Syaifudin (2006). Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. Editor: Monica Ester.
Edisi: 3. Jakarta: ECG.

44

Anda mungkin juga menyukai