Anda di halaman 1dari 7

Kekerasan Terhadap Perempuan di Rote

Ndao Meningkat
Added by erny frida ndolu on April 16, 2013.
Saved under News
Tags: Kasus kekerasan, Perempuan Rote

moral-politik.com – Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten


Rote Ndao menyatakan kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Kepala
BKBPP Rote Ndao Helena Reke mengatakan kasus kekerasan yang dialami perempuan
disebabkan oleh berbagai factor baik pendidikan, ekonomi juga social budaya.

Dia mengatakan, trend kasus kekerasan yang terjadi di Kabupaten Rote Ndao dari tahun ke
tahun terus meningkat. Data dari Kepolisian menyebutkan tahun 2012, tercatat 46 kasus
kekerasan fisik, 46 kasus pelecehan seksual dan tiga kasus penelantaran.

Menurut Helena Reke, posisi kaum perempuan di Kabupaten Rote Ndao terbilang masih
lemah, karena hingga saat ini, banyak perempuan di Rote Ndao yang tidak sekolah. Hal itu
kata dia, berkontribusi bagi meningkatnya kasus kekerasan dan diskriminasi lainnya terhadap
perempuan.

“Keberadaan kaum perempuan di Kabupaten Rote Ndao sangat lemah dari sisi pendidikan.
Sebab hingga saat ini, masih banyak perempuan yang tidak sekolah. Hal itu berdampak pada
kualitas Sumber Daya Manusia dan kualitas diri perempuan yang ada di Kabupaten Rote
Ndao yang masih sangat lemah,” ungkapnya.

Kasus kekerasan yang dialami perempuan lanjutnya, juga disebabkan oleh budaya patriarkat
yang menguat serta tingkat pendapatan masyarakat yang kecil. Hal itu setidaknya semakin
memperkuat dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Kondisi tersebut lanjut dia sangat menunjang untuk terjdinya kekerasan dalam rumah tangga
dan perempuan. “Banyak kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan seperti kekerasan
dalam rumah tangga. Dari sejumlah kasus-kasus itu ada yang telah
ditindaklanjuti namun masih banyak yang tak ditindaklanjuti hingga ke proses hukum,”
terangnya.

Untuk meminimalisir kasus-kasus tersebut kata dia, pihaknya secara intens melakukan
sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat tentang perlindungan Hak asasi Manusia, UU
KDRT serta perlindungan anak.

“Kami sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan yang dialaminya untuk diselesaikan
baik melalui proses hukum juga menggunakan pendekatan-pendekatan yang bersifat
persuasive. Dalam tahun ini kami akan menggelar diskusi kampung dengan melibatkan
seluruh simpul masyarakat di 10 kecamatan yang ada di Kabupaten Rote Ndao,” terangnya.

Disamping itu tambahnya, pihaknya juga terus berkoordinasi dengan pemimpin agama agar
turut berpartisipasi membangun kedamaian di tengah warga. “Kami juga terus berkoordinasi
dengan pemimpin umat beragama agar melakukan penyadaran ke masyarakat. Ada beberapa
gereja telah bangun rumah damai untuk menyelesaikan persoalan kekerasan baik KDRT
maupun kasus kekerasan lainnya. Untuk menurunkan kasus kekerasan terhadap perempuan
dibutuhkan partisipasi dari seluruh pihak bukan hanya pemerintah,” tambahnya.

Sementara dari aspek ekonomi lanjut dia, selama dua tahun terakhir pihaknya menyiapkan
dana pemberdayaan untuk memberdayakan aktivitas usaha yang dilaksanakan perempuan.

“Dalam tahun ini kami menyiapkan dana pendamping sebesar Rp100 juta yang akan
diberikan kepada 10 kelompok usaha,” terangnya. (*)
Catatan Jaringan HAM PIAR NTT
Monitoring Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM
di Nusa Tenggara Timur Tahun 2009
(11,49% dilakukan Aparat kepolisian-Pelanggar HAM terbesar)

Catatan Pembuka
PIAR NTT sebagai Organisasi Non Pemerintah yang konsen dengan isu penegakan
HAM dan demokratisasi setiap tahunnya berupaya melakukan monitoring/pemantauan
terhadap Kasus-kasus Pelanggaran HAM dan Tindakan Kekerasan di wilayah Nusa
Tenggara Timur (NTT). Pemantauan yang dilakukan oleh PIAR NTT ini berbasiskan
pada kasus pelanggaran HAM yang diadvokasi oleh PIAR NTT dan Media Massa (NB:
Media Cetak, Media Elektronik dan Media On-Line). Pemantauan ini dilakukan guna
mendeteksi perkembangan serta profil pelanggaran HAM dan kekerasan di NTT.

Sudah sangat banyak instrumen hukum baik nasional maupun internasional yang
mengatur tentang perlindungan dan penegakkan HAM seperti UU 39 tahun 1999
tentang HAM, UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU 11 dan 12 tahun 2005
tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak SIPOL dan EKOSOB, UU Nomor 7
Tahun 1984 yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan, Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang rafikasi Konvensi Hak Anak
pada tanggal 25 Agustus 1990, UU 23 tahun 2000 tentang Perlindungan Anak, UU 23
tahun 2004 tentang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Namun kasus Tindakan Kekerasan dan kasus pelanggaran HAM masih saja menjadi
persoalan serius bagi bangsa Indonesia. Itu pertanda bahwa pemahaman masyarakat
dan pengambil kebijakan tentang perlindungan HAM masih menjadi masalah
bersama. Dalam konteks yang demikian maka PIAR NTT sebagai lembaga yang
konseren dengan isu penegakan HAM dan demokratisasi berupaya melakukan
pemantauan guna mendeteksi perkembangan serta profil pelanggaran HAM dan
kekerasan di NTT. Untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan pelanggaran
HAM dan kekerasan maka selama periode Januari - Desember 2009 PIAR NTT
melakukan investigasi lapangan, pemantauan melalui media massa dan mengupdate
laporan atau pengaduan masyarakat.

Dari pantauan PIAR NTT selama ini ditemukan bahwa masalah pelanggaran HAM
dan tindak kekerasan masih tumbuh subur dan merajalela pada level dan dimensi
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Hampir pada semua level dan
tataran masyarakat masih ditemukan adanya pelanggaran HAM dan kekerasan, tidak
terkecuali misalnya dalam dunia pendidikan dimana banyaknya peristiwa kekerasan
seksual yang dilakukan tenaga pendidik terhadap anak didiknya sekian banyak kasus
percabulan, penganiayaan, serta banyaknya kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah
Tangga) dan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di
wilayah Nusa Tenggara Timur.

Deskripsi Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM di NTT


Dalam pemantauan, PIAR NTT berusaha untuk mengamati dan mendeteksi tindakan
kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh State Actor (Aparat Negara)
seperti yang dilakukan oleh Aparat Polri, TNI, PNS, Guru, Dosen, Aparat
kelurahan/desa) dan non state actor yang meliputi masyarakat umum dan sektor
swasta lainnya.

Dari pantauan tersebut, PIAR memperoleh deskripsi pelanggaran HAM yang


menyebutkan bahwa selama bulan Januari 2009 – Desember 2009, telah terjadi 385
peristiwa/kasus tindak kekerasan dan Pelanggaran HAM yang memakan korban
sebanyak 3.677 orang.

Peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM selama periode tersebut meliputi tindakan
percabulan, pemerkosaan, penganiayaan dan penyiksaan, pembunuhan/penembakan,
pembunuhan dengan latar belakang pemerkosaan, intimidasi, pengrusakan,
perampasan, pencurian, pungutan liar, penipuan, Penangkapan sewenang-wenang,
trafiking, perjudian, KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), kekerasan terhadap
perempuan, kekerasan terhadap anak, kekerasan dalam pacaran, penelantaran,
Aborsi, penghamilan dan lari dari tanggungjawab, perselingkuhan, perzinahan,
kekerasan oleh majikan, hak ekonomi social budaya masyarakat, serta khusus disoroti
tentang kekerasan aparat negara (militer, Polri, PNS, guru, Dosen, aparat Desa/Kel,
dan DPRD) yang juga mencakup jenis-jenis kekerasan yang disebutkan sebelumnya.
Berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut tersebar pada hampir
semua wilayah provinsi NTT seperti Kota Kupang, Kab. Kupang, TTS, TTU, Belu,
Flores Timur, Sikka, Rote Ndao, Manggarai, Manggarai Timur, Manggarai Barat,
Alor, Sumba Barat Daya, Sumba Timur, Ngada, Sabu, Lembata, Ende, dan Nagekeo.

Dari hasil monitoring Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM didapatkan data yang
menyebutkan 129 kasus atau 33,51% dengan korban sebanyak 3.352 orang dilakukan
oleh Aparat Negara/state actor (Polisi, TNI, Aparat Desa, Dosen, Guru, Anggota DPRD,
dll) sedangkan 225 kasus lainnya atau 58,44% dilakukan oleh masyarakat/non state
actor seperti pengojek, pemulung, pedagang,petani, ayah kandung/tiri, suami, istri,
pacar, ayah, ibu, anak, kerabat dekat, siswa, mahasiswa, dukun beranak dalam kasus-
kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak serta penganiayaan.
Pelaku yang tidak diketahui sejumlah 31 kasus atau 8,05 %.

Hasil analisis PIAR NTT, juga memukan bahwa pelaku tindak kekerasan dan
pelanggar HAM terbesar adalah aparat kepolisian karena dari 129 kasus yang
dilakukan aparat negara 40 kasusnya atau 31,00% dilakukan oleh aparat kepolisian.
Data juga menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terbanyak adalah kasus
penganiayaan sebanyak 95 kasus atau 24,67 %, Kekerasan Dalam Rumah Tangga 57
kasus atau 14,80%, Pemerkosaan 44 kasus atau 11,42%, Percabulan 43 kasus atau
11,16%, dan Perampasan serta pencurian 21 kasus atau 5,45%. Dilihat dari jumlah
korban, kasus dengan korban terbanyak yakni pelanggaran Hak Ekonomi Sosial
Budaya dengan korban sebanyak 3073 orang atau 83,57%, diikuti Trafiking 193 orang
atau 5,24%, Penganiayaan 125 orang atau 3,39%, KDRT 59 orang atau 1,60% dan
Percabulan 53 orang atau 1,44%.

Tahapan proses hukum yang dilakukan terhadap kasus yang terjadi menunjukkan
data sebagai berikut, sebanyak 92 kasus atau 23,89% sampai pada tahap pelaporan
polisi, tahap Penyelidikan sebanyak 80 kasus atau 20,77%, tahap penyidikan sebanyak
103 kasus atau 26,75%, tahap proses pengadilan sebanyak 34 kasus atau 8,83%, tahap
putusan pengadilan sebanyak 37 kasus atau 9,61% dan kasus yang tidak jelas proses
hukumnya sebanyak 39 kasus atau 10,12%.
Selain tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang bersifat sipil politik, ada juga
pelanggaran HAM dari sisi hak ekonomi sosial dan budaya di mana negara tidak
mampu memenuhi kewajibannya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dampaknya masyarakat masih tetap berkutat dengan masalah kemiskinan, ancaman
kekeringan, rawan pangan, gizi buruk, angka kematian ibu yang tinggi, anak-anak
yang terancam putus sekolah karena ketiadaan dana, korupsi yang merajalela, juga
masih adanya konflik sumber daya seperti perampasan tanah adat milik masyarakat
dll.

Dari hasil monitoring PIAR NTT, selama Januari – Desember 2009 telah terjadi 4
kasus atau 1,03% pelanggaran hak ekonomi sosial dan budaya dengan korban
terbanyak yakni sebanyak 3.073 orang.

Diskriminasi, Impunitas dan Stagnan Proses Hukum


Ironisnya, proses hukum yang adil dan berpihak kepada hak-hak korban jarang sekali
dijumpai dalam penanganan kasus-kasus di tingkat aparatur hukum. Sanksi hukum
sepertinya hanya berlaku untuk masyarakat lemah dan tidak berdaya sedangkan para
pelaku yang tergolong aparat negara dan pejabat yang berduit sangat sulit untuk
dikenakan sanksi hukum. Misalnya para penegak hukum yang ketahuan melakukan
pelanggaran seperti kasus tewasnya tahanan di Polsek Nunpene yang melibatkan Ketua
DPRD TTU dan anggota polisi, hingga saat ini belum jelas bahkan rancu karena
beberapa saksi anggota polisi yang saat itu bertugas belum diambil keterangan namun
masyarakat yang hanya melakukan kasus-kasus kecil dapat dikenakan sanksi hukum
yang berat.

Hal lain yang melibatkan penegak hukum yang dapat dicermati dari fakta kecelakaan
karena tendangan seorang anggota polisi terhadap 2 (dua) siswa SMA yang sementara
berboncengan sepeda motor di depan Rumah Sakit Umum Kupang dan mengakibatkan
meninggalnya dua siswa tersebut namun prosesnya memakan waktu yang cukup lama
baru kemudian ditetapkan tersangkanya.

Publik Nusa Tenggara Timur mencium adanya perlakuan istimewa yang diterima
mereka. Alasan pembenaranpun diungkapkan untuk menutupi akan kepincangan
penegakan hukum. Fakta ini tentu bertolak belakang dengan kasus yang melibatkan
masyarakat kecil yang dicurigai langsung ditahan serta tanpa tedeng aling-aling
mengalami proses hukum dan dikenakan sanksi bahkan ada juga kasus salah tangkap
yang terjadi atas seorang karyawan Toko Piala Jaya yang dicurigai menggelapkan
uang bosnya sebanyak Rp. 300 juta yang saat itu langsung ditangkap dan diselidiki oleh
polisi. Ia mengalami penyiksaan yakni lehernya ditikam dengan bambu oleh anggota
polisi dan kuku kaki dari ibu jari kaki kirinya dicabut oleh seorang anggota buser.

Di mata publik ini merupakan penegakan hukum yang pincang karena berlaku bagi
kaum yang tidak berjabat dan tidak beruang sedang para penguasa, pejabat dan kaum
berduit tidak tersentuh oleh proses hukum dan target penegakan hukum tersebut.

Berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, terutama kasus
KDRT dan kekerasan terhadap perempuan berupa penghamilan dan Lari dari
Tanggung Jawab yang sangat tren di NTT, Ingkar Janji Nikah, Penganiayaan,
Penelantaran, Percobaan Pembunuhan terhadap kandungan yang tidak disetujui
sangat dominan dalam potret kekerasan dan pelanggaran HAM di NTT.

Tercatat oleh PIAR NTT setiap bulan 2-3 korban kekerasan yang datang mengadu dan
minta pendampingan. Ironisnya, tidak ada tindakan hukum yang tegas oleh atasan
para pelaku, kalaupun ada itupun tidak seimbang dengan perbuatan pelaku dan
hukuman yang diberikan pun tidak pro dengan penderitaan yang dialami perempuan.
Hal ini mendapat protes dari korban maupun keluarga korban. Mungkinkah ini
menunjukan bahwa produk hukum yang berlaku di kepolisian belum memenuhi hak
korban dan pro dengan kepentingan perempuan?

Masih juga ditemukan banyak kendala dalam upaya yang ditempuh oleh PIAR NTT
(bersama dengan elemen masyarakat sipil), korban kekerasan dan keluarganya dalam
penegakkan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban-korban kekerasan, selain
itu masih adanya praktek-praktek impunitas hukum terhadap pelaku kekerasan.
Walaupun ada intervensi dan tindakan hukum yang diberikan oleh aparat berwenang
tapi masih tidak sebanding dengan akibat sosial, mental, psikis dan fisik yang diderita
oleh korban.

Seharusnya para Kepolisian di NTT dapat mencontohi tindakan yang pernah diambil
oleh MABES POLRI terhadap Mantan Kapolda Sulawesi Tenggara dengan
menNonJobkan beliau karena terbukti melakukan tindakan kekerasan seksual
terhadap sejumlah bawahannya. Realitas ini membuktikan perlakuan hukum di NTT
tidak adil dan masih memilah-milah, padahal semua orang tanpa terkecuali
mempunyai hak yang sama dimata hukum.

Catatan Penutup
Pengusutan, penanggulangan serta upaya-upaya menekan tindakan kekerasan dan
kasus Pelanggaran HAM di NTT tidak ada kemajuan yang signifikan. Masih banyak
pelaku, terutama yang punya kuasa, jabatan dan senjata masih berkeliaran walaupun
atas ulah mereka banyak orang dirugikan, kehilangan haknya bahkan sampai yang
kehilangan nyawa. Pemahaman dan penerapan nilai-nilai HAM dalam praktek
bernegara dan bermasyarakat haruslah menjadi perhatian dan komitmen bersama,
baik sebagai state actor maupun sebagai non state actor. Hal tersebut harus juga
disertai dengan komitmen kuat aparat hukum dalam menegakkan Hukum dan HAM,
para pelaku pelanggaran HAM dan kekerasan harus dihukum sesuai aturan dan
perbuatannya. Jangan ada diskriminasi. PIAR NTT mengharapkan tahun-tahun ke
depan wajah buram kemajuan penegakkan HAM di NTT dapat ditekan atau bahkan
dihilangkan.

Kupang, 4 Januari 2010


( Ir. Sarah Lery Mboeik )
Direktur PIAR NTT
Ba’a - Ketua Forum Komunikasi Pemerhati dan Perjuangan Hak-Hak Perempuan (Forkom)
Kabupaten Rote Ndao Jeane Toulasik Daud, BA yang dikonfirmasi wartawan disela-sela
kegiatan itu mengatakan penyelenggaraan kegiatan itu merupakan bagian dari upaya untuk
penyadaran soal kesetaraan gender. “Kita perlu akui bahwa dominasi laki-laki di Kabupaten
Rote Ndao masih sangat tinggi,”katanya.
Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao diharapkannya supaya secara perlahan-lahan
menekan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui pemberian
pemahaman soal kesetaraan gender. Sebab menurutnya, tingginya kasus Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) di Rote Ndao disebabkan karena belum adanya kesepahaman soal
gender. “Perhatian Pemerintah selama ini akan kesetaraan gender belum maksimal,”ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang penguatan institusi dan pembangunan keluarga sejahtera pada
BPPKB Rote Ndao, Marthen J. Huan, SH dalam materinya pada kegiatan itu mengatakan
kesetaraan gender dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia agar mampu berpartisipasi dalam
berbagai bidang. “Kesetaraan gender juga dimaknai sebagai penghapusan diskriminasi dan
ketidakadilan struktural baik terhadap laki-laki maupun perempuan,”terangnya.
Menurutnya, kesetaraan gender menjadi sangat penting untuk diterapkan dalam membangun
kebersamaan baik dalam konteks kehidupan bersama selaku keluarga , komunitas masyarakat
maupun berbangsa dan bernegara. “Dalam berbagai perbedaan harus ada kerelaan dari
masing-masing pihak baik laki-laki maupun perempuan untuk menerima perbedaan sebagai
kekayaan untuk saling melengkapi dalam mencapai tujuan bersama,”terangnya.(lima)

Sumber: moral-politik.com

Anda mungkin juga menyukai