Anda di halaman 1dari 103

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan dengan tubuh
atau jiwa manusia, dokter forensik mempunyai peranan yang sangat penting
dalam membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana
yang terjadi, bidang hukum dan kedokteran tidak dapat dipisahkan dalam rangka
pembuktian atas kesalahan seseorang hal ini didasarkan karena tidak semua ilmu
pengetahuan dikuasai oleh hakim, dalam hal ini seorang dokter mampu dan dapat
membantu mengungkapkan misteri atas keadaan barang bukti yang dapat berupa
tubuh atau bagian dari tubuh manusia, dalam suatu pemeriksaan persidangan
hakim yang melakukan pemeriksaan persidangan memperhatikan alat bukti tanpa
adanya alat bukti yang dikemukakan, hakim tidak akan dapat mengetahui dan
memahami apakah suatu tindak pidana telah terjadi dan apakah terdakwa yang
dihadapkan pada persidangan benar-benar telah melakukan tindak pidana tersebut
dan dapat bertanggung jawab atas peristiwa itu, maka perlu diketahui sejauh mana
peranan dokter forensik dalam pembuktian perkara pidana di peradilan dengan
penyidikan.
Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan
opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris). Dalam pasal 1 butir 2 KUHAP
dinyatakan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam UU ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya (Hamzah, 2001). Penyidikan forensik perlu
dilakukan terhadap korban yang dicurigai mengalami kekerasan.
Kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik tehadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan (Stuart & Sundeen, 1995). Salah satu masalah yang dihadapi
remaja dan menjadi masalah bagi lingkungannya adalah aktivitas seksual yang
akhir-akhir ini nampak menjurus pada hal-hal negatif. Dikatakan negatif karena
para remaja bersikap dan bertingkah laku yang menyimpang, hal ini dapat

1
dibuktikan dengan adanya berbagai macam perilaku seksual disalurkan dengan
pasangan, sesama jenis kelamin, dengan anak yang belum cukup umur dan lain-
lain.
Kejahatan seksual, bukanlah hal yang asing bagi kita. Kejahatan seksual
umumnya menimpa para wanita atau anak-anak. Namun kejahatan seksual yang
dimaksud disini adalah kejahatan seksual yang menimpa para perempuan.
Kejahatan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan
jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-
wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi. Upaya
menyejahterakan remaja salah satunya adalah dengan melindungi usia ini dari
segala bentuk kekerasan dan pelecehan terhadap hak asasi mereka sebagai
manusia sehingga nantinya mereka akan siap sebagai manusia dewasa yang
sejahtera secara fisik, mental dan spiritual. Kekerasan yang termasuk sering
dialami usia remaja, terutama remaja wanita, adalah kejahatan seksual. Hal ini
mencakup segala perlakuan mulai dari pelecehan sampai perkosaan (BKKBN,
2002)
Menurut data statistik kekerasan seksual didapatkan 90% pelaku tindak
kekerasan seksual adalah orang yang dikenal korban (Finkelhor, 2012). Hampir
semua korban kekerasan seksual adalah perempuan tidak memandang status sosial
ekonomi, usia, ras, pendidikan, penampilan fisik, agama, dsb. Ada beberapa pasal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat menjerat
seseorang pelaku kekerasan seksual: 1. Pencabulan pasal 289-296.
2. Penghubungan pencabulan pasal 295-298 dan pasal 506. 3. Persetubuhan
dengan wanita di bawah umur pasal 286-288 (KUHP, 2010).
Dari data proyeksi populasi remaja di Indonesia ternyata untuk setiap 5
tahun ke depan populasi usia ini diperkirakan akan terus mengalami kenaikan
jumlah. Menurut data statistik kekerasan seksual, korban kekerasan seksual di
mayoritas negara-negara di dunia adalah usia di bawah 15 tahun (WHO,1993).
Data dari Komisi Nasional Perempuan didapatkan kekerasan seksual yakni 91.311
kasus dari total 295.836 kasus. Hasil pemantauan Komnas Perempuan

2
menunjukkan ada 15 jenis kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan di
Indonesia, yaitu (1) perkosaan, (2) intimidasi/ serangan bernuansa seksual
termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, (3) pelecehan seksual, (4)
eksploitasi seksual, (5) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, (6)
prostitusi paksa, (7) perbudakan seksual, (8) pemaksaan perkawinan, (9)
pemaksaan kehamilan, (10) pemaksaan aborsi, (11) kontrasepsi/sterilisasi
paksa, (12) penyiksaan seksual, (13) penghukuman tidak manusiawi dan
bernuansa seksual, (14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan
atau mendiskriminasi perempuan, dan (15) kontrol seksual termasuk aturan
diskriminatif beralasan moralitas dan agama (Komisi Nasional Perempuan,
2016).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada karya tulis ilmiah ini adalah :
1. Apa saja yang termasuk dalam kejahatan seksual ?
2. Bagaimana hukum yang mengatur tentang kejahatan seksual dan peranan
forensik pada kejahatan seksual ?
3. Bagaimana pelaksanaan investigasi forensik dalam kasus kejahatan seksual ?

1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan karya tulis ilmiah ini adalah :
1. Mengetahui jenis-jenis kejahatan seksual
2. Mengetahui hukum yang mengatur tentang kejahatan seksual dan peranan
forensik pada kejahatan seksual
3. Mengetahui pelaksanaan investigasi forensik dalam kasus kejahatan seksual

1.4 Manfaat
Manfaat pembuatan karya tulis ilmiah ini adalah menambah wawasan dan
pengetahuan bagi penulis tentang jenis-jenis kejahatan seksual dan hukum yang
mengaturnya serta pelaksaan invetigasi forensik pada kejahatan seksual.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ilmu Kedokteran Forensik


Ilmu Kedokteran Forensik juga dikenal dengan nama Legal Medicine,
adalah slah satu cabang spesialistik dari llmu Kedokteran yang mempelajari
pemanfaatan ilmu kedpkteran untuk kepentingan penegakkan hokum serta
keadilan (Budiyanti , et al., 1997). Forensik berasal dari kata “forum” yaitu tempat
berlangsungnya sidang peradilan pada zaman Romawi, jadi forensik secara garis
besar dapat dikatakan sebagai “tempat berlangsungnya persidangan”. Pengertian
ilmu forensik yaitu suatu ilmu pengetahuan yang dapat membantu memberi
keterangan atau penjelasan bagi peradilan secara meyakinkan menurut kebenaran
ilmiah yang akan mendukung kebenaran peradilan dalam menetapkan
keputusannya apabila ia dijalankan sebagaimana mestinya (Muharany, 2006).
Menurut Susetyo Pramusinto (1984), Ilmu Forensik adalah ilmu
pengetahuan yang menggunakan multidisiplin ilmu dengan menerapkan ilmu
pengetahuan alam seperti kimia, fisika, biologi, psikologi, kedokteran, dan
kriminologi dengan tujuan untuk membuat terangnya suatu perkara pidana dan
membuktikan ada tidaknya kejahatan atau pelanggaran dengan memeriksa barang
bukti (physical evidences) dalam perkara tersebut (Muharany, 2006). Oleh karena
merupakan cabang spesialistik dari ilmu kedokteran, maka paradigma ilmiah
dasarnya tetaplah paradigma kedokteran, demikian pula dasar-dasar metodologi
ilmiahnya. Ilmu ini bersifat universal, tidak dibatasi oleh geografi dan budaya.
Namun seperti halnya dengan ilmu kedokteran pada umumnya, sebagian
fenomena tertentu dalam ilmu kedokteran forensik juga dipengaruhi oleh
antropologi setempat. Perkembangan ilmu kedokteran forensik di dunia juga
merupakan perkembangan tingkat nasional, demikian pula sebaliknya. Sedangkan
penerapan perkembangan itu sendiri di tingkat nasional dipengaruhi berbagai
faktor, seperti kelengkapan gasilitas, kemampuan finansiil, sumber daya dan
sosiologi hukum nasional (Sampurna, Samsu, & Siswaja, Peranan Ilmu Forensik
Dalam Penegakan Hukum: Sebuah Pengantar, 2008).

4
Ilmu-ilmu Forensik itu antara lain terdiri dari (Muharany, 2006):
a. Ilmu Kedokteran Kehakiman, yaitu ilmu yang menggunakan ilmu
kedokteran untuk membantu peradilan dalam menentukan sebab-sebab
dari suatu tindak pidana dengan luka pada tubuh, gangguan kesehatan atau
matinya seseorang;
b. Ilmu Kimia Kehakiman, ilmu yang meneliti korban akibat penggunaan
bahan-bahan kimia.
c. Ilmu Alam Kehamilan, ilmu yang meneliti korban akibat gunung berapi,
ataupun akibat gempa bumi atau bencana alam lainnya;
d. Ilmu Balistik Kehakiman, yaotu ilmu yang mempelajari tentang korban-
korban yang ditimbulkan akibat adanya penggunaan senjata api baik
karena kejahatan ataupun bukan karena kejahatan.
Ilmu kedokteran forensik adalah salah satu cabang spesialistik ilmu
kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran untuk membantu penegakan
hukum dan pemecahan masalah-masalah di bidang hukum. Kedokteran forensik
dalam praktik di Amerika Serikat dan negara-negara berbahasa Inggris lainnya
agak berbeda dengan praktik di negara-negara Eropa lainnya. Di Amerika Serikat
dan negara-negara “Anglo-Saxon”, kedokteran forensik lebih dititik-beratkan
kepada praktik patologi forensik yang menjadi bagian penting dari sistem coroner
dan medical examiner, sedangkan di negara-negara Eropa lain berkembang lebih
luas (Berent, 2010).
Sistem coroner yang menggunakan ilmu kedokteran forensik sebagai salah
satu cara penyelidikan kejahatan terhadap nyawa manusia sudah dikenal sejak
jaman raja-raja Anglo Saxon di Inggris. Tulisan resmi terawal yang menunjukkan
adanya sistem tersebut berasal dari tahun 1194 pada jamannya Raja Henry I.
Namun sistem coroner di Inggris bukanlah yang pertama, karena ternyata
penyelidikan kematian telah dimulai di China pada jaman “The Warring States”
pada 475-221 SM, sebagaimana diuraikan dalam buku “The Lu’s Spring and
Autumn Annals” yang menceriterakan pemeriksaan luka-luka pada tubuh korban
pada penyelidikan resmi. Demikian pula kumpulan kasus Yi Yu Ji (a collection of
criminal cases) dari dinasti Wu (264-277 M) yang membuktikan jelaga di saluran
nafas sebagai bukti masih hidupnya korban saat terbakar hingga mati. Sebagai

5
bukti penting lainnya adalah buku Xi Yuan Ji Lu (The Washing Away of Wrong)
yang merupakan hasil kerja seorang medical examiner Sung Tsu dari dinasti Song
(11861249 M) (Jia Jing Tao, 1988).
Ruang lingkup ilmu kedokteran forensik berkembang dari waktu ke waktu.
Dari semula hanya pada kematian korban kejahatan, kematian tak diharapkan dan
tak diduga, mayat tak dikenal, hingga para korban kejahatan yang masih hidup,
atau bahkan kerangka, jaringan dan bahan biologis yang diduga berasal dari
manusia. Jenis perkaranya pun meluas dari pembunuhan, penganiayaan, kejahatan
seksual, kekerasan dalam rumah tangga, child abuse and neglect, perselisihan
pada perceraian, fraud dan abuse pada perasuransian, hingga ke pelanggaran hak
asasi manusia (Sampurna, Peran Ilmu Forensik dalam Kasus-Kasus Asuransi,
2008).
Kata “forensik” berarti “berhubungan dengan ruang sidang”. Forensik
merupakan aplikasi dari disiplin ilmu kedokteran maupun ilmu-ilmu lain yang
terkait dalam suatupenyelidikan untuk memperoleh data-data dalam mengungkap
kasus kriminal baik itu data post mortem berdasar pemeriksaan mayat maupun
data dari pemeriksaan kasus hidup seperti perkosaan, pelecehan seksual dan/ atau
kekerasan dalam rumah tangga (Pertiwi, 2010).
Ilmu forensik merupakan terapan berbagai ranah keilmuan (multi disiplin)
yang penting untuk menentukan identitas korban maupun pelaku, tanda, sebab dan
cara kematian, serta perkiraan waktu kematian. Produk yang dihasilkan
merupakan bukti autentik dalam suatu proses peradilan hukum demi menegakkan
kebenaran. Produk tersebut dapat berupa laporan tertulis atau dalam bentuk
pengakuan lisan para ahli yang akan diberikan di pengadilan pada tindak kriminal.
Kasus non kriminal, aplikasi forensik sangat diperlukan terutama untuk
mengungkap identitas korban musibah masal seperti bencana alam, jatuhnya
pesawat, tenggelamnya kapal, kecelakaan kereta dan kebakaran (Kartika Ratna
Pertiwi & Evy Yulianti, 2011)

2.2 Hukum Pidana Formil


Ketentuan hukum pidana formil berfungsi untuk menjalankan hukum
pidana substantif (materil), sehingga sering pula disebut hukum acara pidana.

6
Mengenai istilah hukum acara pidana, Andi Hamzah mengemukakan istilah
“hukum acara pidana“ sudah tepat dibanding dengan istilah “hukum proses
pidana” atau “hukum tuntutan pidana”. Belanda memakai istilah straf vordering
yang diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana. Bukan istilah strafprocesrecht
yang padanannya acara pidana. Istilah Inggris Criminal Procedure Law lebih tepat
daripada istilah Belanda. Hanya karena istilah strafvordering sudah memasyarakat
maka tetap dipakai (Hamzah, 2008).
Menurut Simons, hukum pidana formil (hukum acara pidana) mengatur
tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk
memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan Wirjono Projodikoro menyatakan
hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari
itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan
hukum pidana (Prodjodikoro, 1977).
Berdasarkan pengertian mengenai hukum acara pidana tersebut, dapat
disimpulkan bahwa hukum acara pidana menetapkan aturan-aturan mengenai
bagaimana alat-alat negara, yang dalam hal ini adalah aparat kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan, menegakkan dan menjalankan ketentuan hukum
pidana materil. Mengenai fungsi hukum acara pidana, hal ini dapat disimpulkan
berdasarkan pendapat Van Bemmelen yang mengemukakan sebagai berikut
(Hamzah, 2008) :
a. Diusutnya kebenaran dari adanya persangkaan dilanggarnya ketentuan pidana
oleh alat-alat Negara
b. Diusahakan diusutnya para pelaku dari perbuatan tersebut
c. Diikhtiarkan segala daya agar pelaku dari perbuatan dapat ditangkap, jika
perlu untuk ditahan
d. Dikumpulkannya bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh
pada pengusutan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa
terdakwa ke hadapan hakim

7
e. Menyerahkan kepada hakim untuk diambil putusan tentang terbukti tidaknya
perbuatan yang disangkakan dilakukan terdakwa serta untuk menjatuhkan
pidana atau tindakan tata tertib lainnya
f. Menentukan upaya-upaya hukum yang dapat dipergunakan terhadap putusan
yang diambil hakim
g. Akhirnya melaksanakan putusan tentang pidana atau tindakan tata tertib.

Berdasarkan hal-hal yang diatur dalam hukum acara pidana diatas, dapat
disimpulkan bahwa fungsi pokok hukum acara pidana adalah sebagai berikut
(Hamzah, 2008):
a. Mencari dan menemukan kebenaran
b. Pengambilan putusan oleh hakim
c. Pelaksanaan dari putusan yang telah diambil.
Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting karena menjadi tumpuan
kedua fungsi berikutnya ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan
kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti, dari bahan bukti inilah hakim akan
sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang kemudian
dilaksanakan oleh jaksa.
Sebagaimana fungsi dan tujuan dari hukum acara pidana dimana
ditegaskan bahwa hukum acara pidana dilaksanakan untuk mendapatkan suatu
kebenaran materiil dari suatu perkara pidana dengan tujuan diberikannya putusan
yang tepat dan adil terhadap perkara tersebut, hal ini membawa akibat bahwa
dalam usaha menemukan kebenaran tersebut terdapat dua proses yang teramat
penting, kedua proses ini yaitu (Hamzah, 2008):
a. Pemeriksaan penyidikan atau pemeriksaan pendahuluan sebelum dihadapkan
pada sidang pengadilan.
b. Pemeriksaan di depan sidang pengadilan.
Pemeriksaan penyidikan yang didahului dengan tindakan penyelidikan
adalah serangkaian upaya penting dalam mencari kebenaran sejati tentang adanya
persangkaan dilakukannya tindak pidana yang mempunyai arti penting dan
berperan pada jalannya pemeriksaan sidang pengadilan serta pada gilirannya
benar-benar mampu menetapkan, mempidana yang bersalah, atau membebaskan

8
yang tidak bersalah, bahkan bagi yang merasa dirugikan atas kekurangtelitian
dalam pemeriksaan pendahuluan, dapat memperoleh ganti rugi serta rehabilitasi
nama baiknya. Demikian pula pada tahap pemeriksaan persidangan, bukti-bukti
suatu perkara pidana yang didapat pada proses penyidikan dan penuntutan akan
menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk mendapatkan dan memperjelas
kebenaran materiil yang akhirnya menentukan penjatuhan putusan pada perkara
pidana tersebut.

2.2.1 Pengertian Penyidikan


Mengenai yang dimaksud dengan penyidikan, berikut ini pengertian
penyidikan ditinjau secara etimologis dan berdasarkan definisi yuridis yang
diberikan oleh undang-undang :
R. Soesilo mengemukakan pengertian penyidikan ditinjau dari sudut kata
sebagai berikut: “Penyidikan berasal dari kata “sidik” yang berarti “terang”. Jadi
penyidikan mempunyai arti membuat terang atau jelas. “sidik” berarti juga
“bekas”, sehingga menyidik berarti mencari bekasbekas, dalam hal ini bekas-
bekas kejahatan, yang berarti setelah bekas-bekas ditemukan dan terkumpul,
kejahatan menjadi terang. Bertolak dari kedua kata “terang” dan “bekas” dari arti
kata sidik tersebut, maka penyidikan mempunyai pengertian “membuat terang
suatu kejahatan”. Kadang-kadang dipergunakan pula istilah “pengusutan” yang
dianggap mempunyai maksud sama dengan penyidikan. Dalam bahasa Belanda
penyidikan dikenal dengan istilah “opsporing” dan dalam bahasa Inggris disebut
“investigation”.
Penyidikan mempunyai arti tegas yaitu “mengusut”, sehingga dari
tindakan ini dapat diketahui peristiwa pidana yang telah terjadi dan siapakah
orang yang telah melakukan perbuatan pidana tersebut (Soesilo, 1980). Istilah
penyidikan terdapat juga dalam buku Pedoman Kerja Reserse Kriminil yang
menjelaskan mengenai kata sidik. Disebutkan didalamnya “Penyidikan atau
penyidik berasal dari kata sidik yang berarti membuat terang atau jelas sesuatu hal
atau peristiwa yang telah terjadi berdasarkan keadilan atau kebenaran”.
Mengenai yang dimaksud dengan tindakan penyidikan berdasarkan
definisi yuridis, beberapa ketentuan perundang-undangan yang menyebutkan

9
pengertian penyidikan diantaranya KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Pasal 1 angka 13 Undang-undang Tahun 2002 No.2 tentang Kepolisian RI
serta Pasal 1 angka 2 KUHAP memberikan pengertian yang sama tentang
tindakan penyidikan, dinyatakan bahwa : “Penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Berdasarkan pengertian dan rumusan yuridis diatas, dapat disimpulkan
bahwa tugas utama penyidik adalah mencari serta mengumpulkan bukti agar
tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta dapat diketahui dan
ditemukan pelaku tindak pidana tersebut.

2.2.2 Fungsi Penyidikan


Fungsi penyidikan sebagaimana tugas dan tujuan dari hukum acara pidana
ialah mencari dan menemukan kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut fakta
yang sebenarnya.Agung Legowo Tjiptomartono mengemukakan mengenai fungsi
penyidikan sebagai berikut : “Fungsi penyidikan adalah merupakan fungsi teknis
reserse kepolisian yang mempunyai tujuan membuat suatu perkara menjadi jelas,
yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-
lengkapnya mengenai suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang terjadi
(Idries & Tjiptomartono, 1982). Sedangkan R.Soesilo menyamakan fungsi
penyidikan dengan tugas penyidikan adalah sejalan dengan tugas Hukum Acara
Pidana maka tugas penyidikan perkara adalah mencari kebenaran materiil yaitu
kebenaran menurut fakta yang sebenar-benarnya.
Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa fungsi penyidikan
adalah untuk mencari dan mengumpulkan fakta dan bukti sebanyak-banyaknya
untuk mencapai suatu kebenaran materiil yang diharapkan dan untuk meyakinkan
bahwa suatu tindak pidana tertentu telah dilakukan.
Mengenai arti kebenaran materiil yang ingin dicapai dalam pemeriksaan
perkara pidana, dalam Pedoman Kerja Reserse Kriminil diberikan penjelasan
sebagai berikut kebenaran materiil ini bukan berarti kebenaran mutlak, karena

10
segala apa yang telah terjadi (apabila jangka waktunya telah lama), maka tidak
mungkin kebenaran itu dapat dibuktikan dengan selengkap-lengkapnya. Tetapi
yang diartikan disini ialah kenyataan yang sebenar-benarnya.
Tujuan pertama-tama dalam rangka penyidikan adalah mengumpulkan
sebanyak mungkin keterangan, bukti dan fakta-fakta yang benar mengenai
peristiwa yang terjadi. Berdasarkan atas fakta ini kemudian dicoba membuat
gambaran kembali apa yang terjadi. fakta-fakta yang masih kurang dicari untuk
dilengkapi sehingga gambaran peristiwa yang telah terjadi tersebut akhirnya
menjadi lengkap.

2.2.3 Pejabat Penyidik, Tugas dan Kewenangannya


Mengenai pejabat yang berwenang melakukan tindakan penyidikan, Pasal
1 butir 1 KUHAP menyatakan bahwa “Penyidik adalah pejabat polisi negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Hal ini
disebutkan lebih lanjut pada Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang juga menentukan
bahwa penyidik adalah :
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia
b. pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Kemudian dalam ayat (2) pasal tersebut ditentukan mengenai syarat
kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 akan diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan Undang-undang Hukum Acara Pidana, pada bab II pasal 2
ditentukan syarat kepangkatan Penyidik adalah sebagai berikut:
1) Penyidik adalah :
a. Pejabat Polisi Negara RI tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat
Pembantu Letnan Dua Polisi; Sekarang dengan berdasarkan Surat
Keputusan No. Pol. : Skep/ 82 / VI/ 2000 tentang Penetapan Berlakunya
Kembali Penggunaan Pakaian Dinas Harian di Lingkungan POLRI
pangkat ini berubah menjadi Inspektur Polisi II (AIPDA Pol.)

11
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang
disamakan dengan itu.
2) Dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang
berpangkat Bintara dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya
adalah penyidik. Kepangkatan ini sekarang berubah menjadi Inspektur Polisi
II.
Mengenai tugas penyidik, hal ini terkait dengan pengertian penyidikan
sebagaimana yang ditentukan secara yuridis dalam undang-undang. Berdasarkan
pengertian secara yuridis maka tugas seorang penyidik yaitu mencari serta
mengumpulkan bukti atas suatu peristiwa yang telah ternyata sebagai tindak
pidana, untuk membuat terang tindak pidana tersebut dan guna menemukan
pelakunya.
Mengenai wewenang penyidik dalam melaksanakan tugasnya, hal ini
mendapat pengaturan baik dalam KUHAP maupun dalam Undang-undang Tahun
2002 Nomor 2 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 7 ayat
(1) KUHAP ditentukan mengenai wewenang penyidik, dimana disebutkan bahwa
karena kewajibannya penyidik mempunyai wewenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara
i. mengadakan penghentian penyidikan
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

12
Pada Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Tahun 2002 Nomor 2 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa dalam rangka
menyelenggarakan tugasnya di bidang penegakan hukum pidana, Kepolisian
Negara RI mempunyai wewenang untuk (KPU, 2002)
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara
h. mengadakan penghentian penyidikan
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan
tindak pidana
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk
diserahkan kepada penuntut umum
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Tindakan lain yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud diatas
(pada huruf l), lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 16 ayat (2) yang menyatakan
bahwa tindakan tersebut adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang
dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hokum
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan

13
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. menghormati hak asasi manusia.
Mulai dilakukannya penyidikan suatu perkara yang merupakan tindak
pidana oleh penyidik diberitahukan kepada penuntut umum dengan diserahkannya
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sesuai dengan Pasal 109
ayat (1) KUHAP. Setelah bukti-bukti terkumpul dan yang diduga sebagai
tersangkanya telah ditemukan selanjutnya penyidik menilai dengan cermat,
apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada penuntut umum atau ternyata
bukan merupakan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi
hukum.
Menurut Pasal 8 ayat (3) bila penyidikan telah selesai maka penyidik
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, penyerahan dilakukan
dengan dua tahap, yaitu (KUHP, 2007):
a. Tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. Tahap kedua, dalam hal penyidikan telah dianggap selesai penyidik
menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada
penuntut umum.
Berdasarkan Pasal 110 ayat (4) KUHAP, penyidikan dianggap selesai jika
dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas hasil
penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada
pemberitahuan mengenai hal tersebut dari penuntut umum kepada penyidik.
Setelah penyidikan dianggap selesai, maka penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Pemeriksaan pada tahap penyidikan merupakan tahap awal dari
keseluruhan proses pidana. Tujuan penyidikan adalah untuk memperoleh
keputusan dari penuntut umum apakah telah memenuhi persyaratan untuk dapat
dilakukan penuntutan. Proses pidana merupakan rangkaian tindakan pelaksanaan
penegakan hukum terpadu. Antara penyidikan dan penuntutan terdapat hubungan
erat, bahkan berhasil tidaknya penuntutan di sidang pengadilan tidak terlepas dari
hasil penyidikan.

14
2.3 Visum Et Repertum
2.3.1 Pengertian Visum Et Repertum
Istilah visum et repertum tidak ditemukan dalam KUHAP, tetapi terdapat
dalam Stbl tahun 1937 Nomor 350 tentang Visa reperta merupakan bahasa Latin.
Visa berarti penyaksian atau pengakuan telah melihat sesuatu, dan reperta berarti
Laporan. Dengan demikian apabila diterjemahkan secara bebas berdasarkan arti
kata, Visa Reperta berarti laporan yang dibuat berdasarkan penyaksian atau
pengakuan telah melihat sesuatu.
Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran
Forensik, biasanya dikenal dengan nama Visum. Visum berasal dari bahasa Latin,
bentuk tunggalnya adalah visa. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa,
kata visum atau visa berarti tanda melihat atau melihat yang artinya
penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan,
disetujui, dan disahkan, sedangkan Repertumberarti melapor yang artinya apa
yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi
visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan (R. Atang
Ranoemihardja, 1983: 10).
Menurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.
M04.UM.01.06 tahun 1983 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu
kedokteran kehakiman disebut visum et repertum. Dalam KUHAP tidak disebut
visum et repertum tetapi menggunakan istilah alat bukti surat dan alat bukti
keterangan ahli.
Pasal 1 butir 28 KUHAP memberikan pengertian tentang keterangan ahli
sebagai berikut : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran
Forensik, biasanya dikenal dengan nama Visum. Visum berasal dari bahasa Latin,
bentuk tunggalnya adalah visa. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa,
kata visum atau visa berarti tanda melihat atau melihat yang artinya
penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan,
disetujui, dan disahkan, sedangkan Repertum berarti melapor yang artinya apa

15
yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi
visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan (Mun’in Idries,
2002).
Abdul Mun’im Idris dalam R. Atang Ranoemihardja, memberikan
pengertian visum et repertum sebagai suatu laporan tertulis dari dokter yang
telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang
diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna
kepentingan peradilan (Ibid, 2002)
Ada 8 (delapan) hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang
meminta dokter untuk membuat visum et repertum korban hidup, yaknisebagai
berikut: Pertama, Harus tertulis, tidak boleh secara lisan; Kedua, Langsung
menyerahkannya kepada dokter,tidak boleh dititip melalui korban atau
keluarganya, serta tidak boleh melalui jasa pos; Ketiga, Bukan kejadian yang
sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter; Keempat, Ada alasan
mengapa korban dibawa kepada dokter; Kelima, Ada identitas korban; Keenam,
Ada identitas pemintanya; Ketujuh, Mencantumkan tanggal permintaannya;
Kedelapan, Korban diantar oleh polisi atau jaksa.

2.3.2 Macam-Macam Visum Et Repertum


a. Visum Et Repertum Korban Hidup
1) Visum Et Repertum
Visum Et Repertum diberikan bila korban setelah diperiksa didapatkan
lukanya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
tugas jabatan atau pencarian.
2) Visum Et Repertum Sementara
Visum Et Repertum Sementara diberikan apabila setelah diperiksa,
korban perlu dirawat atau diobservasi. Karena korban belum sembuh,
Visum Et Repertum sementara tidak memuat kualifikasi luka. Ada 5
manfaat dibuatnya Visum Et Repertum sementara, yaitu : (Murtika,
1992)
a) Menentukan apakah ada tindak pidana atau tidak,
b) Mengarahkan penyelidikan,

16
c) Berpengaruh terhadap putusan untuk melakukan penahanan sementara
terhadap terdakwa,
d) Menentukan tuntutan jaksa,
e) Medical record
3) Visum Et Repertum Lanjutan.
Visum Et Repertum lanjutan diberikan apabila setelah dirawat atau
diobservasikorban sembuh, korban belum sembuh, pindah Rumah Sakit,
korban belum sembuh pulang paksa, dan korban meninggal dunia.
b. Visum Et Repertum Mayat.
Visum Et Repertum mayat dibuat berdasar otopsi lengkap berdasarkan
pemeriksaan luar dan dalam mayat. Visum ini dibuat untuk mencari sebab
kematian serta hubungannya dengan tindak pidana sehingga harus dilakuakan
otopsi. Jenazah yang akan dimintakan visum et repertum harus diberi label yang
memuat identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu
jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum
harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar
(pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah
jenazah). Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :
a. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan
jaringan jenazah secara teliti dan sistematik.
b. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan
membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul.
Kadang kala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti
pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya. Dari
pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan
penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut
di atas.
c. Visum Et Repertum Pemeriksaan Ditempat Kejadian.
d. Visum Et Repertum Penggalian Mayat.
e. Visum Et Repertum Mengenai Umur.
f. Visum Et Repertum Psikiatrik.

17
Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1)
KUHP yang berbunyi ”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam
tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Jadi selain orang
yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga terkena pasal ini.
Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana,
bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga
menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia.
Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak
pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya
dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.
g. Visum Et Repertum Mengenai Barang Bukti: darah, mani, dan sebagainya.
Tujuan dari Visum Et Repertum adalah untuk memberikan kepada hakim
suatu kenyataan atau fakta-fakta dari barang bukti tersebut atas semua keadaan
sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan, agar supaya hakim dapat
mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta
tersebut. Fakta-fakta tersebut kemudian ditarik suatu “Kesimpulan”, maka atas
dasar pendapatnya yang dilandasai pengetahuan yang sebaik-baiknya berdasarkan
atas keahliannya tersebut diharapkan agar supaya usaha membantu pemecahan
pengungkapan masalahnya menjadi terang (lebih jelas), dan hal mana diserahkan
hakim sepenuhnya.

2.3.3 Visum et repertum Sebagai Alat Bukti


Dalam KUHAP tidak terdapat satu pasal pun yang secara eksplisit memuat
perkataan visum et repertum. Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum
yang menuliskan langsung tentang visum et repertum, yaitu pada Staatsblad
(Lembaran Negara) Tahun 1937 Nomor 350 yang menyatakan :
Pasal 1 Lembaran Negara Tahun 1937 Nomor 350 :
Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan yang
diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran di Negeri Belanda ataupun di
Indonesia, merupakan alat bukti yang sah dalam perkara-perkara pidana, selama

18
visa reperta tersebut berisikan keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan
ditemui oleh dokter pada benda yang diperiksa.
Pasal 2 ayat 1 Lembaran Negara Tahun 1937 Nomor 350 :
Pada Dokter yang tidak pernah mengucapkan sumpah jabatan baik di
Negeri Belanda maupun di Indonesia, sebagai tersebut dalam Pasal 1 diatas, dapat
mengucapkan sumpah sebagai berikut: “Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya
sebagai dokter akan membuat pernyatan-pernyataan atau keterangan-keterangan
tertulis yang diperlukan untuk kepentingan peradilan dengan sebenar-benarnya
menurut pengetahuan saya yang sebaikbaiknya. Semoga Tuhan Yang Maha
Pengasih dan Penyayang melimpahkan kekuatan lahir dan batin.”
Apabila ditinjau dari ketentuan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 yang
merupakan satu-satunya ketentuan yang memberikan definisi visum et repertum,
maka sebagai alat bukti visum et repertum termasuk alat bukti surat karena
keterangan yang dibuat oleh dokter dituangkan dalam bentuk tertulis.
Menurut Waluyadi (2000) menjelaskan bahwa, “Visum et repertum
merupakan keterangan tertulis dalam bentuk surat yang dibuat atas sumpah abatan
yaitu jabatan sebagai seorang dokter, sehingga surat tersebut mempunyai
keotentikan sebagai alat bukti.”
Di samping ketentuan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 yang menjadi
dasar hukum kedudukan visum et repertum, ketentuan lainnya yang juga memberi
kedudukan visum et repertum sebagai alat bukti surat yaitu Pasal 184 ayat (1)
butir c KUHAP mengenai alat bukti surat serta Pasal 187 butir c yang menyatakan
bahwa: “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) butir c, dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah surat keterangan dari
seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.”
Dengan demikian berdasarkan pengertian yuridis dari visum et repertum
yang diberikan oleh Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 maka kedua pasal
KUHAP tersebut telah memberi kedudukan visum et repertum sebagai suatu alat
bukti surat dalam pemeriksaan perkara pidana.

19
2.3.4 Syarat Alat Bukti Visum Et Repertum
Pembuatan visum et repertum haruslah memenuhi syarat formil dan syarat
materil. Syarat formil menyangkut prosedur yang harus dipenuhi yakni
sebagaimana tercantum dalam Instruksi Kapolri No.Pol INS/E/20/IX/75 tentang
Tata Cara Permohonan/pencabutan visum et repertum sebagai berikut:
a. Permintaan visum et repertum haruslah tertulis (sesuai dengan Pasal 133 Ayat
(2) KUHAP);
b. Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara dibedah, jika ada keberatan
dari pihak keluarga korban, maka pihak Pilisi atau pemeriksa memberikan
penjelasan akan pentingnya dilakukan dengan bedah mayat;
c. Permintaan visum et repertum hanya dilakukan terhadap tindak pidana yang
baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan yang telah lampau.
d. Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat;
e. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, maka polisi perlu melakukan
pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat.

Sedangkan syarat materil visum et repertum adalah menyangkut isi dari


visum et repertum tersebut yaitu sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh
korban yang diperiksa. Disamping itu isi dari visum et repertum tersebut tidak
bertentangan dengan ilmu kedokteran yang telah teruji kebenarannya.

2.4 Kekerasan
2.4.1 Pengertian Kekerasan
Dikatakan oleh Abdul Wahid dan Muhammad Irfan bahwa potret Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah mosaik sejarah tentang penegakan kemerdekaan,
kebebasan, keadilan, persamaan, perdamaian, persaudaraan, dan perlindungan.
Mosaik yang mengalami pasang surut dalam cerminan kecemerlangan dan
keburaman jutaan wajah umat manusia. Hampir menjadi kenyataan bahwa
penindasan (Pelanggaran) terhadap HAM menempati fragmentasi historis dengan
fenomena yang berulang kali, bahwa rekaman sejarah terhadap nasib hak-hak
asasi juga senantiasa menyuarakan bagian-bagian pembelaannya yang heroik atas
musnahnya kemerdekaan itu sendiri, sehingga problema HAM telah berkembang

20
sedemikian krusial, sehingga menjadi dilema global. HAM sendiri berkaitan erat
dengan tindakan kekerasan (Hadiarti, 2011).
Bentuk tindakan kekerasan dari seseorang kepada oran lain, dari suatu
kelompok kepada kelompok lainnya dengan motif apapun adalah tergolong
sebagai perilaku menyimpang, dan karena itu tidak bisa dibenarkan menurut
norma-norma sosial. Fenomena tindakan kekerasan yang dilakukan oleh individu,
kelompok, ataupun institusi sosial hingga kini tetap saja berlangsung (Hufad,
2003)
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah.
Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,
ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang
atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan
memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau
perampasan hak (Silalahi, 2012).
Kekerasan sendiri merupakan salah satu bentuk dari kejahatan. Kekerasan
seperti yang dikatakan oleh Galtung merupakan “suatu tindakan yang dilakukan
oleh seseorang atau lebih yang menimbulkan luka, baik secara fisik maupun non
fisik terhadap orang lain dan lebih jauh merupakan suatu tindakan yang
menyebabkan seseorang tidak dapat mengaktualisasikan dirinya, disebabkan oleh
bentuk-bentuk opresi dan penindasan yang ditujukan kepadanya”. Artinya,
kekerasan menyebabkan seseorang dirugikan atau mengalami dampak negatif
dalam berbagai bentuk (Nandika, 2009).
Kekerasan merupakan perilaku yang tidak sah atau perlakuan yang salah.
Kekerasan dapat diartikan sebagai perbuatan yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain dan menyebabkan kerusakan fisik pada orang lain. Kekerasan
yang mengakibatkan terjadinya kerusakan adalah kekerasan yang bertentangan
dengan hukum. Oleh karena itu, kekerasan dapat dikatakan sebuah kejahatan
(Putri, 2006).

2.4.2 Macam-macam Kekerasan


Ada empat sifat kekerasan yang dapat diidentifikasi, yaitu: pertama,
kekerasan terbuka (overt) yaitu kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian.

21
Kedua, kekerasan tertutup (covert) yaitu kekerasan tersembunyi atau tidak
dilakukan langsung seperti perilaku mengancam. Ketiga, kekerasan agresif yaitu
kekerasan yang tidak untuk perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu.
Keempat, kekerasan defensif yaitu kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan
perlindungan diri (Putri, 2006).
Menurut manfred Siraro (2014) Ada empat jenis kekerasan yang pokok,
yakni kekerasan langsung (direct violence), kekerasan tidak langsung (indirect
violence), kekerasan represif (repressive violence), dan kekerasan alienatif
(alienating violence).
1. Kekerasan Langsung
Kekerasan langsung merujuk pada tindakan yang menyerang fisik atau
psikologis seseorang secara langsung. Yang termasuk dalam kategori ini adalaah
semua bentuk pembunuhan individual atau kelompok, seperti pemusnahan etnis,
kejahatan perang, pembunuhan massal, dan juga semua bentuk tindakan paksa
atau brutal yang menyebabkan penderitaan fisik atau psikologi seseorang
(pengusiran paksa terhadap masyarakat, penculikan, penyiksaan, pemerkosaan
dan penganiayaan, perampokan dengan pemberitaan). Semua tindakan tersebut
merupakan tindakan yang tidak benar yang mengganggu hak-hak asasi manusia
yang paling mendasar, yakni hak untuk hidup
2. Kekerasan Tidak Langsung
Kekerasan tidak langsung adalah tindakan tindakan yang membahayakan
manusia, bahkan kadang-kadang sampai ancaman kematian, tetapi tidak
melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak (orang, masyarakat, atau
institusi) yang bertanggungjawab atas tindak kekerasan tersebut. Di sini terdapat
dua sub kategori yang bisa dibedakan, kekerasan dengan pembiaran dan kekerasan
yang termediasi. Kekerasan dengan atau karena pembiaran (violence by omission)
digambarkan dengan seseorang dalam keadaan bahaya yang tidak dapat
menolong. Kalau hendak memberikan hukuman kepada pelakunya, yaitu orang
yang mengetahui tetapi menolak untuk menolong korban kecelakaan atau
penganiayaan yang membutuhkan pertolongan segera, maka kita perlu menerakan
konsep kriminal failure to intervene, yaitu ketika kehidupan manusia terancam
oleh tindakan yang berbahaya secara teknis tidak bisa dihindari atau tidak bisa

22
dikontrol oleh masyarakat. Yang termasuk kekerasan karena pembiaran, bukan
saja karena kekerasan yang bersifat biologis atau psikologis, tetapi juga terhadap
orang yang menderita sakit (illness).
3. Kekerasan Represif
Kekerasan represif berkaitan dengan pencabutan hak-hak dasar selain hak
untuk bertahan hidup dan hak untuk dilindungi dari kesakitan atau penderitaan.
Oleh karena itu, di dalamnya termasuk pelanggaran hak-hak asasi
manusia, meskipun secara langsung atau tidak langsung, tidak membahayakan
kehidupan manusia. Kekerasan represif terkait dengan tiga hak dasar, yaitu hak
sipil, hak politik dan hak sosial.
Hak-hak sipil yang pokok adalah kebebasan berpikir dan beragama,
kebebasan berorganisasi dan berpergerakan, privasi, kesamaan di depan hukum
dan hak untuk berusaha secara adil. Hak-hak politik mengacu pada tingkat
partisipasi masyarakat secara demokratis dalam kehidupan politik di suatu daerah
atau negara (hak untuk bersuara, mengikuti pemilihan umum, kebebasan
berkumpul dan berorganisasi atau partai, kebebasan berbicara dan berpendapat,
dan kebebasan pers). Sedangkan jaminan terhadap hak-hak sosial diberikan untuk
melindungi dari kekerasan represif yang paling sering terjadi yaitu larangan untuk
menciptakan atau memilik serikat buruh, atau larangan untuk menciptakan atau
memiliki serikat buruh, atau larangan untuk melakukan mogok kerja.
4. Kekerasan Alienatif
Kekerasan alienatif merujuk pada pencabutan hak-hak individu yang lebih
tinggi, misalnya hak pertumbuhan kejiwaan (emosi), budaya atau intelektual
(rights emotional, kurtural, or intellectual growth). Pentingnya mendefinisikan
dan memasukan hak-hak asasi manusia yang demikian kedalam jenis kekerasan
alienatif ini adalah untuk menegaskan bahwa keberadaan manusia juga
membutuhkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan non material. Kepuasan kerja,
kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan kreatif, kebutuhan anak-anak
dan kasih sayang, rasa kepemilikan secara sosial atau identitas budaya adalah
contoh-contoh hak asasi tersebut di atas yang dimungkinkan untuk dilanggar,
secara sengaja atau tidak. Salah satu bentuk kekerasan alienatif yang paling kejam
adalah apa yang disebut dengan pemusnahan etnis (ethnocide).

23
Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap orang dapat bertindak keras
tetapi ada kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pria berusia 15-25
tahun, orang kota, kulit hitam, atau subgrup dengan budaya kekerasan, peminum
alkohol (Purba, 2008).
Perasaan marah normal bagi tiap individu. Namun, pada pasien perilaku
kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan secara fluktuasi sepanjang rentang
adaptif dan maladaptif. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai
respons terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang tidak dirasakan
sebagai ancaman. Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem
saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat
biasanya ada kesalahan, yang mungkin nyata-nyata kesalahannya atau mungkin
juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju,
menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam.
Bila hal ini disalurkan maka akan terjadi perilaku agresif (Purba, 2008).
Pengalaman sebagai korban kekerasan khususnya pada anak tidak dapat
berlalu begitu saja ketika mereka dewasa. Beberapa risiko yang terus mengintai
anak-anak korban kekerasan saat dewasa, antara lain (Erlya, 2014):
 Merasa tidak mudah memercayai orang lain.
 Memperoleh kesulitan mempertahankan hubungan pribadi
 Memiliki risiko gangguan kesehatan yang lebih tinggi
 Menjadi pelaku kekerasan pada anak atau orang lain.
Selain itu, ada pula risiko lain dari korban kekerasan pada anak ketika
mereka beranjak dewasa seperti depresi, kelainan pola makan, serangan panik,
keinginan bunuh diri, penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan terlarang. Tidak
peduli seberapa lama pengalaman traumatis kekerasan pada anak sudah berlalu,
tanpa penanganan yang tepat, kondisi ini dapat menimbulkan efek berkelanjutan.
Penting bagi para korban kekerasan tersebut mendapat bantuan dari psikolog atau
ahli lainnya (Erlya, 2014).
Kekerasan di Indonesia melanda di segala aspek kehidupan baik sosial,
politik, budaya, bahkan keluarga. Meskipun tindakan ini secara nyata membawa
kerugian yang besar bagi semua pihak, angka terjadinya kekerasan terus
meningkat. Oleh karena itu, dibutuhkan berbagai upaya untuk mencegah semakin

24
membudayanya tindak kekerasan tersebut. Upaya-upaya yang bisa dilakukan
antara lain (Rahmawati, 2015):
1. Menciptakan pemerintahan yang baik
Sebagian besar kekerasan yang terjadi di indonesia dikarenakan cara kerja
pemerintah yang kurang memuaskan. Perasaan tidak puas mendorong masyarakat
melakukan tindak kekerasan sebagai wujud protes. Oleh karena itu, menciptakan
pemerintahan yang baik merupakan salah satu upaya tepat dan utama mengatasi
kekerasan. Pemerintah harus menyusun strategi dan kebijakan yang dirasa adil
bagi rakyat sehingga rakyat dapat memenuhi setiap kebutuhan hidupnya tanpa ada
perasaan tidak adil.
2. Penegakan hukum secara adil dan bersih
Sistem hukum yang tidak tegas dapat mempengaruhi munculnya tindak
kekerasan. Hal ini dikarenakan perasaan jengkel ketika keputusan hukum mudah
digantikan dengan kekuatan harta. Sedangkan mereka yang tidak berharta
diperlakukan kasar serta tidak manusiawi. Kejengkelan melihat ketidakadilan ini
mendorong munculnya tindak kekerasan. Oleh karena itu, pemerintah perlu
melakukan penataan sistem penegakan hukum yang adil dan tegas agar mampu
mengurangi angka kekerasan yang terjadi.
3. Kampanye Antikekerasan
Dilakukannya kampanye anti kekerasan secara terus menerus mendorong
individu untuk lebih menyadari akan akibat dari kekerasan secara global. Melalui
kampanye, setiap masyarakat diajak untuk berperan serta dalam menciptakan
suatu kedamaian. Dengan kedamaian individu mampu berkarya menghasilkan
sesuatu untuk kemajuan. Dengan kata lain, kekerasan mendatangkan kemunduran
dan penderitaan, sedangkan tanpa kekerasan membentuk kemajuan bangsa.
4. Mengajak masyarakat untuk menyelesaikan masalah sosial dengan cara bijak
Dalam upaya ini, pemerintah mempunyai andil dan peran besar. Secara
umum, apa yang menjadi tindakan pemimpin, akan ditiru dan diteladani oleh
bawahannya. Jika suatu negara menjauhkan segala kekerasan dalam
menyelesaikan suatu masalah sosial, maka tindakan ini akan diikuti oleh segenap
warganya. Dengan begitu, semua pihak berusaha tidak menggunakan kekerasan

25
dalam menyelesaikan masalah yang akhirnya membawa kedamaian dalam
kehidupan sosial.

2.4.3 Landasan Hukum Kekerasan


Proses peradilan tentang kekerasan diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Bab XX tentang penganiayaan:
Pasal 351
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 352
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencaharian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan
pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
(2) Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu
terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(3) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 353
1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.

26
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun

Pasal 354
(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun

Pasal 355
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 356
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah
dengan sepertiga:
(1) bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah,
istrinya atau anaknya
(2) jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena
menjalankan tugasnya yang sah
(3) jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi
nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

Pasal 357
Dalam hal pemidanaan karena salah satu kejahatan berdasarkan pasal 353 dan
355, dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1-4.

27
Pasal 358
Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian dimana
terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang
khusus dilakukan olehnya, diancam:
(1) dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat
penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat
(2) dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada yang mati

2.5 Kejahatan Seksual


Di Indonesia kasus kejahatan seksual setiap tahun mengalami peningkatan,
korbannya bukan hanya dari kalangan dewasa saja sekarang sudah merambah ke
remaja, anak-anak bahkan balita. Menurut Komisi Nasional Anti Kejahatan
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 hingga 2010 hampir
sepertiga kasus kejahatan terhadap perempuan adalah kasus kejahatan seksual,
atau tercatat 91.311 kasus kejahatan seksual dari 295.836 total kasus kejahatan
terhadap perempuan. Selama 2010 tercatat 1.751 korban kejahatan seksual
(Kalangit, Mallo, & Tomuka, 2013). Menurut Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) pada tahun 2011 saja telah terjadi 2.275 kasus kekerasan
terhadap anak, 887 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual anak. Pada
tahun 2012 kekerasan terhadap anak telah terjadi 3.871 kasus, 1.028 kasus
diantaranya merupakan kekerasan seksual terhadap anak (Noviana, 2015).
Menurut Suharman dan Prasetyo (1997) dikatakan bahwa perempuan yang
berada di dalam rumah pun dapat menjadi korban kekerasan dari suaminya,
perempuan di tempat kerja juga dapat memperoleh pelecehan seksual baik dari
atasan maupun rekan sekerjanya. Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan
hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap
perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Hal ini
sesuai dengan pendapat Hayati (2000) yang mengatakan bahwa kekerasan pada
dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non-verbal, yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau
sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik,

28
emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya
(Sulistyaningsih & Faturochman, 2002).

2.5.1 Definisi Kejahatan Seksual


Terdapat beberapa definisi kejahatan seksual, baik definisi legal, sosial,
maupun medis. Salah satu definisi yang luas mengartikan kejahatan seksual
sebagai segala jenis kegiatan atau hubungan seksual yang dipaksakan dan/atau
tanpa persetujuan (consent) dari korban. Sedangkan definisi yang lebih sempit
menyamakan kejahatan seksual dengan perkosaan (rape), dan mengharuskan
adanya persetubuhan, yaitu penetrasi penis ke dalam vagina (Meilia, 2012).
Di Indonesia, pada umumnya definisi dan jenis kejahatan seksual yang
dianut diambil dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya
dalam Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan (Meilia, 2012). Kejahatan
seksual ini dapat dilakukan dengan pemaksaan atau tanpa pemaksaan, baik berupa
kejahatan fisik maupun ancaman kejahatan. Dalam KUHP, pelanggaran seksual
dengan unsur pemaksaan diberi terminologi khusus, yaitu perkosaan, yang diatur
dalam Pasal 285 tentang Perkosaan yang berbunyi, “Barang siapa dengan
kejahatan atau ancaman kejahatan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan
dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahu” (Susiana, 2015). Sedangkan Persetubuhan
dengan Wanita di Bawah Umur diatur dalam pasal 287 ayat 1 yang berbunyi,
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganyabahwa umumya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun” (Meilia, 2012).
Dalam pasal 289 sampai 294 KUHP, juga diatur tentang perbuatan cabul
sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan; perbuatan cabul diartikan
sebagai semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual
sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Selain dalam KUHP, pasal tentang
kejahatan seksual terdapat pula dalam pasal 81 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak serta pasal 5 dan 8 UU RI No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kejahatan dalam Rumah Tangga. Demikian pula dalam Undang-

29
Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang Pasal 1 angka 8, yang hanya mengatur mengenai eksploitasi seksual
(Meilia, 2012).
Secara internasional, masalah kejahatan seksual ini juga diatur dalam
Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1&2, Pasal 68, Resolusi PBB 1820
tentang Kejahatan Seksual dalam Konflik Bersenjata, Deklarasi penghapusan
tindak kejahatan terhadap perempuan (ICPD) pada bulan Desember 1993,
Deklarasi Wina Tahun 1993 (Kalangit, Mallo, & Tomuka, 2013).

2.5.2 Jenis-Jenis Kejahatan Seksual


Ada 15 jenis kejahatan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan dari
hasil pemantauannya selama 15 tahun (1998– 2013), yaitu (Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan, 2014) :
1. Perkosaan
Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai
penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan
atau benda-benda lainnya.Serangan dilakukan dengan kejahatan, ancaman
kejahatan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau
dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan. Pencabulan
adalah istilah lain dari perkosaan yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia.
Istilah ini digunakan ketika perkosaan dilakukan diluar pemaksaan penetrasi penis
ke vagina dan ketika terjadi hubungan seksual pada orang yang belum mampu
memberikan persetujuan secara utuh, misalnya terhadap anak atau seseorang
dibawah 18 tahun.
2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan
Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau
penderitaan psikis pada perempuan korban. Intimidasi seksual bisa disampaikan
secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-lain.
Ancaman atau percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual.
3. Pelecehan Seksual
Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran
organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main

30
mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan
keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat
yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung,
merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah
kesehatan dan keselamatan.
4. Eksploitasi Seksual
Tindakan penyalahgunaan kekuasan yang timpang,atau penyalahgunaan
kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untukmemperoleh
keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya. Praktik eksploitasi
seksual yang kerap ditemui adalah menggunakan kemiskinan perempuan sehingga
ia masuk dalam prostitusi atau pornografi. Praktik lainnya adalah tindakan
mengimingimingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari
perempuan, lalu ditelantarkankan. Situasi ini kerap disebut juga sebagai kasus
“ingkar janji”. Iming-iming ini menggunakan cara pikir dalam masyarakat, yang
mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya. Perempuan menjadi
merasa tak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku, agar
ia dinikahi.
5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual
Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan,
atau menerima seseorang dengan ancaman kejahatan, penggunaan kejahatan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas
posisi rentan, penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap
korban secara langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan
prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya. Perdagangan perempuan dapat
terjadi di dalam negara maupun antar negara.
6. Prostitusi Paksa
Situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun
kejahatan untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa
rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk
melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan
utang, atau ancaman kejahatan. Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan,

31
namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual atau dengan perdagangan
orang untuk tujuan seksual.
7. Perbudakan Seksual
Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban
sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan
seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kejahatan seksual. Perbudakan ini
mencakup situasi dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa menikah,
melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan
seksual dengan penyekapnya.
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kejahatan seksual karena
pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan
yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut. Ada beberapa praktik di mana
perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri. Pertama, ketika
perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang
tuanya agar dia menikah, sekalipun bukan dengan orang yang dia inginkan atau
bahkan dengan orang yang tidak dia kenali. Situasi ini kerap disebut kawin paksa.
Kedua, praktik memaksa korban perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan itu
dianggap mengurangi aib akibat perkosaan yang terjadi. Ketiga, praktik cerai
gantung yaitu ketika perempuan dipaksa untuk terus berada dalam ikatan
perkawinan padahal ia ingin bercerai. Namun, gugatan cerainya ditolak atau tidak
diproses dengan berbagai alasan baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya.
Keempat, praktik “Kawin Cina Buta”, yaitu memaksakan perempuan untuk
menikah dengan orang lain untuk satu malam dengan tujuan rujuk dengan mantan
suaminya setelah talak tiga (cerai untuk ketiga kalinya dalam hukum Islam).
Praktik ini dilarang oleh ajaran agama, namun masih ditemukan di berbagai
daerah.
9. Pemaksaan Kehamilan
Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kejahatan maupun ancaman
kejahatan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki. Kondisi ini
misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan
lain kecuali melanjutkan kehamilannya. Juga, ketika suami menghalangi istrinya

32
untuk menggunakan kontrasepsi sehingga perempuan itu tidak dapat mengatur
jarak kehamilannya.
10. Pemaksaan Aborsi
Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman,
maupun paksaan dari pihak lain.
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau
pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak
mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk
dapat memberikan persetujuan.
12. Penyiksaan Seksual
Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang
dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan
hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual. Ini dilakukan untuk memperoleh
pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ketiga, atau untuk
menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan
olehnya ataupun oleh orang ketiga.
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan,
atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan.
Ia termasuk hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau
untuk merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma
kesusilaan.
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi
perempuan
Kebiasaan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama dan/ atau
budaya, yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik,
psikologis maupun seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula dilakukan
untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan
perempuan. Sunat perempuan adalah salah satu contohnya.

33
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan
agama
Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai
simbol moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan
perempuan “nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kejahatan
seksual menjadi landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan.
Kontrol seksual mencakup berbagai tindak kejahatan maupun ancaman kejahatan
secara langsung maupun tidak langsung, untuk mengancam atau memaksakan
perempuan untuk menginternalisasi simbolsimbol tertentu yang dianggap pantas
bagi “perempuan baik-baik’.
Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual yang paling
sering ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang memuat
kewajiban busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam
tertentu, larangan berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan kerabat
atau perkawinan, serta aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada
persoalan moralitas daripada kejahatan seksual. Aturan yang diskriminatif ini ada
di tingkat nasional maupun daerah dan dikokohkan dengan alasan moralitas dan
agama. Pelanggar aturan ini dikenai hukuman dalam bentuk peringatan, denda,
penjara maupun hukuman badan lainnya.

2.5.3 Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Kejahatan Seksual


Banyak faktor secara langsung atau tidak langsung ikut memberi warna
dan dampak tersendiri terhadap timbulnya kejahatan kejahatan. Seseorang
melakukan kejahatan kejahatan dilihat dari faktor intern, yaitu disebabkan oleh
mental kepribadian seseorang atau individu yang kurang baik (negatif), sehingga
cenderung untuk melakukan kejahatan. Mental kepribadian ini terbentuk dari
beberapa faktor antara lain (Kristiani, 2014) :
 Faktor agama, seseorang yang kurang mendapat siraman rohani sehingga
kurang terbina mentalnya dan moralnya.
 Faktor pendidikan, seseorang yang kurang mendapatkan pendidikan dalam
melakukan sesuatu tidak mau berfikir panjang, sehingga ia cenderung
melakukan perbuatan yang menyimpang atau tindakan kejahatan.

34
 Faktor pergaulan yang salah dapat membentuk mental kepribadian yang
kurang baik.
 Faktor lingkungan yang kurang baik, sehingga mental kepribadiannya pun
jelek.
 Faktor ekonomi, seseorang yang kesulitan ekonomi tidak mampu mencukupi
keperluan hidup, terutama para pendatang (transmigran ataupun urbanisasi)
yang tidak mempunyai keterampilan untuk bekerja, dapat pula membentuk
mental kepribadian yang jelek sehingga melakukan perbuatan yang
menyimpang atau kejahatan.

Sedangkan faktor-faktor penyebab seseorang melakukan kejahatan


kejahatan dari faktor eksternal antara lain :
 Faktor korban, korban berperanan terhadap timbulnya kejahatan. Korban
biasanya sebagian besar dinilai mempunyai nilai lebih dari orang-orang
disekitarnya, seperti berpenampilan mewah dan mencolok, membawa barang-
barang mewah dan umumnya lengah, sehingga ada niat atau kesempatan bagi
pelaku kejahatan tersebut untuk melakukan aksinya, terutama kejahatan
pencurian dengan kejahatan.
 Faktor perekonomian makro yaitu terjadi krisis ekonomi dan harga barang-
barang atau kebutuhan pokok meningkat, banyaknya pengangguran membuat
seseorang yang dalam kondisi demikian untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan jalan yang tidak benar atau melakukan kejahatan.
 Faktor penggunaan narkotika, seseorang yang telah kecanduan obat-obatan
terlarang dia akan melakukan apa saja dengan jalan yang tidak benar bahkan
sampai melakukan kejahatan kejahatan untuk mendapatkan sesuatu yang
diinginkannya.

2.6 Kejahatan Seksual Terhadap Anak


Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kejahatan seksual
karena anak selalu diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak berdaya dan
memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya.
Hal inilah yang membuat anak tidak berdaya saat diancam untuk tidak

35
memberitahukan apa yang dialaminya. siapa pun dapat menjadi pelaku kejahatan
seksual terhadap anak atau pedofilia (Noviana, 2015).
Secara umum pengertian kejahatan seksual pada anak adalah keterlibatan
seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak
mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang
bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau
orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya
untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual (CASAT Programme, Child
Development Institute; Boyscouts of America; Komnas PA). Undang-Undang
Perlindungan Anak memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang
masih dalam kandungan (Noviana, 2015).
Menurut Ricard J. Gelles dalam Hurairah (2012), kejahatan terhadap anak
merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap
anak-anak (baik secara fisik maupun emosional). Bentuk kejahatan terhadap anak
dapat diklasifikasikan menjadi kejahatan secara fisik, kejahatan secara psikologi,
kejahatan secara seksual dan kejahatan secara sosial (Noviana, 2015).
Kejahatan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in Asia
Tourism (ECPAT) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara
seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang
asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak dipergunakan sebagai objek
pemuas kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan
paksaan, ancaman, suap, tipuan bahkan tekanan. Kegiatan-kegiatan kejahatan
seksual terhadap anak tersebut tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku
dengan anak sebagai korban (Noviana, 2015).

2.6.1 Dampak Kejahatan Seksual Terhadap Anak


Kejahatan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada
anak maupun pada orang dewasa. Tindakan kejahatan seksual pada anak
membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya. Secara emosional, anak
sebagai korban kejahatan seksual mengalami stress, depresi, goncangan jiwa,
adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan

36
dengan orang lain, bayangan kejadian dimana anak menerima kejahatan seksual,
mimpi buruk, insomnia, ketakutan dengan hal yang berhubungan dengan
penyalahgunaan termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, masalah harga
diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri, keluhan
somatik, dan kehamilan yang tidak diinginkan (Noviana, 2015).
Selain itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma
stress disorder, kecemasan, penyakit jiwa lain termasuk gangguan kepribadian
dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa
dewasa, bulimia nervosa, bahkan adanya cedera fisik kepada anak. Secara fisik,
korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman
di sekitar vagina atau alat kelamin, berisiko tertular penyakit menular seksual,
luka di tubuh akibat perkosaan dengan kejahatan, kehamilan yang tidak
diinginkan dan lainnya (Noviana, 2015).
Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi
tiga bagian, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional
(Fuadi, 2011).
a. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-
hari.
b. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus
ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
c. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana
hati serta menyalahkan diri sendiri.

2.7 Peran Dokter Dalam Pemeriksaan Korban Kejahatan Seksual


Kejahatan seksual yang diatur dalam undang–undang diantaranya adalah
perkosaaan dan pencabulan. Pada kasus kejahatan seksual tugas dokter adalah
mencari adanya tanda-tanda kejahatan dan adanya tanda-tanda persetubuhan.
Pembuktian persetubuhan dilakukan dengan dua cara yaitu membuktikan adanya
penetrasi (penis) kedalam vagina dan atau anus/oral dan membuktikan adanya
ejakulasi atau adanya air mani didalam vagina/anus. Pembuktian ini memerlukan
waktu yang sangat singkat antara kejadian dengan pemeriksaan/pengambilan
barang bukti.

37
Penetrasi penis ke dalam vagina dapat mengakibatkan robekan selaput
dara atau bila dilakukan dengan kasar dapat merusak selaput lendir daerah vulva
dan vagina ataupun laserasi, terutama daerah posterior fourchette. Robekan
selaput dara akan bermakna jika masih baru, masih menunjukan adanya tanda
kemerahan disekitar robekan. Pada beberapa korban ada yang memiliki selaput
dara yang elastis sehingga tidak mudah robek. Pembuktian persetubuhan akan
menghadapi kendala jika : korban dengan selaput dara yang sebelumnya telah
robek lama, korban diperiksa sudah lama, korban yang memiliki selaput dara
elastis, penetrasi yang tidak lengkap.
Pembuktian persetubuhan yang lain adalah dengan memeriksa cairan mani
di dalam liang vagina korban. Dari pemeriksaan cairan mani akan diperiksa sel
spermatozoa dan cairan mani sendiri. Namun kendala dalam pemeriksaan cairan
mani adalah korban yang sebelumnya berhubungan seksual dengan orang lain,
korban yang terlambat diperiksa, koitus interuptus, pelaku memakai kondom.
Sehingga untuk pembuktian korban tindak pidana kejahatan seksual sangat
diperlukan waktu yang singkat antara kejadian dan pemeriksaan, sehingga
pengumpulan barang bukti bisa dikumpulkan dengan baik (Susanti, 2012).

Pemeriksaan
Secara umum tujuan pemeriksaan korban kekerasan seksual adalah untuk
(Meilia, 2012):
 melakukan identifikasi, termasuk memperkirakan usia korban;
 menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya, bila
mungkin;
 menentukan adanya tanda-tanda kekerasan, termasuk tanda intoksikasi
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA);
 menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin, termasuk tingkat
perkembangan seksual; danmembantu identifikasi pelaku. Beberapa prinsip
yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban kekerasan seksual (De
Luca & Grayston, 1999).
 Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan
menunggu terlalu lama. Hal ini penting untuk mencegah rusak atau berubah

38
atau hilangnya barang bukti yang terdapat di tubuh korban, serta untuk
menenangkan korban dan mencegah terjadinya trauma psikis yang lebih
berat.
 Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis
kelaminnya dengan korban (biasanya wanita) atau bidan. Tujuannya adalah
untuk mengurangi rasa malu korban dan sebagai saksi terhadap prosedur
pemeriksaan dan pengambilan sampel. Selain itu, hal ini juga perlu demi
menjaga keamanan dokter pemeriksa terhadap tuduhan palsu bahwa dokter
melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap korban saat pemeriksaan.
 Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap
seluruh bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.
 Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.

Anamnesis
Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa
awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah
yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin
terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan khusus.
Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis umum mencakup, antara lain:
 Umur atau tanggal lahir,
 Status pernikahan,
 Riwayat paritas dan/atau abortus,
 Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid),
 Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau
setelah kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau
alat kontrasepsi lainnya),
 Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),
 Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu), serta
 Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.

Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian


kekerasan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti:
39
What & How:
 jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya),
 adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya,
 adanya upaya perlawanan,
 apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,
 adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau
setelah kejadian,
 adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),
 apakah ada nyeri di daerah kemaluan,
 apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar,
 adanya perdarahan dari daerah kemaluan,
 adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina,
 penggunaan kondom, dan
 tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban
sudah buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan
sebagainya.
When:
 tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan
 apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
Where:
 tempat kejadian, dan
 jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari
tempat kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).
Who:
 apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak,
 jumlah pelaku,
 usia pelaku, dan
 hubungan antara pelaku dengan korban.

Pemeriksaan fisik
Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “top-to-toe”. Artinya,
pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke

40
ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan
umum korban. Apabila korban tidak sadar atau keadaan umumnya buruk, maka
pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan dokter fokus untuk ”life-
saving” terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan fisik,
perhatikan kesesuaian dengan keterangan korban yang didapat saat anamnesis.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan
khusus. Pemeriksaan fisik umum mencakup (Emily , 2008):
 tingkat kesadaran,
 keadaan umum,
 tanda vital,
 penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),
 afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya),
 pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
 status generalis,
 tinggi badan dan berat badan,
 rambut (tercabut/rontok)
 gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga),
 kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang
tercabut atau patah),
 tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
 tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta
 status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah
kemaluan.
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait
dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup
pemeriksaan:
 daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan
lunak atau bercak cairan mani.
 penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut
pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau
perlengketan rambut pubis akibat cairan mani.

41
 daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan
pada jaringan lunak, bercak cairan mani).
 labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada
perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani;
 vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian
bawah), apakah ada perlukaan;
 hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau
ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi).
Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah
robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi),
apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan
atau tanda penyembuhan pada tepi robeka.
 vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
 serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan
dan adanya cairan atau lender.
 uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;
 anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan
anamnesis;
 mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,
 daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari
bercak mani atau air liur dari pelaku; serta
 tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.

Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah


pemeriksaan selaput dara. Pada jenis jenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-
lipatan dapat menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan
dengan traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan
penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan
lipatan dengan robekan. Pada penelusuran tersebut, umunya lipatan akan
menghilang, sedangkan robekan tetap tampak dengan tepi yang tajam. Saat
melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting. Selain
melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-
42
bukti fisik yang ditemukan. Foto-foto dapat membantu dokter membuat visum et
repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu diperiksa terlalu lama
karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan secara
detil setelah pemeriksaan selesai (Center for the Study and Prevention of
Violence, 2008).

Pemeriksaan penunjang
Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
sesuai indikasi untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban.
Sampel untuk pemeriksaan penunjang dapat diperoleh dari, antara lain (spautri,
2015):
 pakaian yang dipakai korban saat kejadian; diperiksa lapis demi lapis untuk
mencari adanya trace evidence yang mungkin berasal dari pelaku, seperti
darah dan bercak mani, atau dari tempat kejadian, misalnya bercak tanah atau
daun-daun kering;
 rambut pubis; yaitu dengan menggunting rambut pubis yang menggumpal
atau mengambil rambut pubis yang terlepas pada penyisiran;
 kerokan kuku; apabila korban melakukan perlawanan dengan mencakar
pelaku maka mungkin terdapat sel epitel atau darah pelaku di bawah kuku
korban;
 swab; dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mani atau air liur dari
kulit sekitar vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks posterior, kulit bekas
gigitan atau ciuman, rongga mulut (pada seks oral), atau lipatan-lipatan anus
(pada sodomi), atau untuk pemeriksaan penyakit menular seksual;
 darah; sebagai sampel pembanding untuk identifi kasi dan untuk mencari
tanda-tanda intoksikasi NAPZA; dan
 urin : untuk mencari tanda kehamilan dan intoksikasi NAPZA. Hal yang
harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang bukti dari
sampel yang diambil (chain of custody). Semua pengambilan, pengemasan,
dan pengiriman sampel harus disertai dengan pembuatan berita acara sesuai
ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih penting apabila sampel akan dikirim ke
laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter sendiri.

43
2.8 Penatalaksanaan pada Kejahatan Seksual
Sebelum membahas tentang P3K kejahatan seksual, perlu dipahami
terlebih dahulu dua jenis peran yang dapat dimiliki seorang dokter (Young, 2008):
 Attending doctor: Peran dokter klinis yang umum, yang bertujuan
mendiagnosis dan mengobati atau menyembuhkan pasien.
 Assessing doctor: Peran dokter dalam membantu pencarian bukti tindak
pidana, khususnya dengan membuat visum et repertum. Kedua peran
tersebut kadang tidak dapat dipisahkan dan harus dijalankan secara
bersama- sama. Dalam P3K kekerasan seksual, seorang dokter bukan saja
harus mencari dan mengamankan bukti-bukti yang terdapat pada korban
atau tersangka yang diperiksa, tapi sekaligus juga memberikan terapi fisik
maupun psikis.

2.8.1 Aspek etik dan medikolegal


Dalam melakukan P3K kekerasan seksual, terdapat beberapa aspek etik
dan medikolegal yang harus diperhatikan. Karena korban juga berstatus sebagai
pasien, dan yang akan diperiksa adalah daerah “sensitif”, hal utama yang harus
diperhatikan adalah memperoleh informed consent. Informasi tentang
pemeriksaan harus diberikan sebelum pemeriksaan dimulai dan antara lain,
mencakup tujuan pemeriksaan dan kepentingannya untuk pengungkapan kasus,
prosedur atau teknik pemeriksaan, tindakan pengambilan sampel atau barang
bukti, dokumentasi dalam bentuk rekam medis dan foto, serta pembukaan
sebagian rahasia kedokteran guna pembuatan visum et repertum.
Munculnya korban merupakan suatu sebab akibat dari perbuatan
melanggar hukum, sehingga dalam suatu peristiwa kejahatan munculnya korban
itu sendiri disebabkan oleh adanya perbuatan jahat yang dilakukan oleh orang
lain. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan berbagai
penderitaan maupun kerugian yang dialami dan ditanggung bagi pihak korban
kejahatan dan keluarganya (Simarmata, 2015).
Apabila korban cakap hukum, persetujuan untuk pemeriksaan harus
diperoleh dari korban. Syarat-syarat cakap hukum adalah berusia 21 tahun atau
lebih, atau belum 21 tahun tapi sudah pernah menikah, tidak sedang menjalani

44
hukuman, serta berjiwa sehat dan berakal sehat. Apabila korban tidak cakap
hukum persetujuan harus diminta dari walinya yang sah. Bila korban tidak setuju
diperiksa, tidak terdapat ketentuan undang undang yang dapat memaksanya untuk
diperiksa dan dokter harus menghormati keputusan korban tersebut.
Selain itu, karena pada korban terdapat barang bukti (corpus delicti) harus
diperhatikan pula prosedur legal pemeriksaan. Setiap pemeriksaan untuk
pembuatan visum et repertum harus dilakukan berdasarkan permintaan tertulis
(Surat Permintaan Visum/SPV) dari polisi penyidik yang berwenang. Korban juga
harus diantar oleh polisi penyidik sehingga keutuhan dan originalitas barang bukti
dapat terjamin. Apabila korban tidak diantar oleh polisi penyidik, dokter harus
memastikan identitas korban yang diperiksa dengan mencocokkan antara identitas
korban yang tercantum dalam SPV dengan tanda identitas sah yang dimiliki
korban, seperti KTP, paspor, atau akta lahir. Catat pula dalam rekam medis bahwa
korban tidak diantar oleh polisi. Hal ini harus dilakukan untuk menghindari
kemungkinan kesalahan identifikasi dalam memeriksa korban.
Seorang dokter yang memeriksa kasus kekerasan seksual harus bersikap
objektif-imparsial, konfidensial, dan profesional. Objektif imparsial artinya
seorang dokter tidak boleh memihak atau bersimpati kepada korban sehingga
cenderung mempercayai seluruh pengakuan korban begitu saja. Hal yang boleh
dilakukan adalah berempati, dengan tetap membuat penilaian sesuai dengan bukti-
bukti objektif yang didapatkan secara sistematis dan menyeluruh. Tetap waspada
terhadap upaya pengakuan atau tuduhan palsu (false allegation) dari korban.
Hindari pula perkataan atau sikap yang “menghakimi” atau menyalahkan korban
atas kejadian yang dialaminya. Dokter juga harus menjaga konfidensialitas hasil
pemeriksaan korban. Komunikasikan hasil pemeriksaan hanya kepada yang
berhak mengetahui, seperti kepada korban dan/atau walinya (jika ada), serta
penyidik kepolisian yang berwenang. Tuangkan hasil pemeriksaan dalam visum et
repertum sesuai keperluan saja, dengan tetap menjaga kerahasiaan data medis
yang tidak terkait dengan kasus. Profesionalitas dokter dalam melakukan P3K
kekerasan seksual ditunjukkan dengan melakukan pemeriksaan sesuai dengan
kaidah-kaidah ilmu kedokteran yang umum dan mutakhir, dengan memperhatikan
hak dan kewajiban korban (sekaligus pasien) dan dokter (Becker, 1994).

45
2.8.2 Tindak Lanjut
Setelah pemeriksaan forensik terhadap korban selesai, dilakukan tindak
lanjut baik dari aspek hukum maupun medis. Dari segi hukum, tindak lanjut pada
umumnya berupa pembuatan visum et repertum sesuai SPV dari penyidik polisi.
Bagian-bagian yang terkandung dalam visum et repertum terdiri dari kata-kata
“Pro Justisia”, bagian pendahuluan, bagian pemberitaan, kesimpulan, dan
penutup. Apabila korban belum melapor ke polisi sehingga belum ada SPV, hasil
pemeriksaan dapat diminta oleh korban secara tertulis. Hasil pemeriksaan tersebut
dapat dituangkan dalam bentuk surat keterangan medis (Husnayain & Utama,
2015).
Secara umum, surat keterangan medis mengandung bagian-bagian yang
sama dengan visum et repertum, kecuali bagian “Pro Justisia”. Dalam visum
maupun surat keterangan medis, semua temuan dipaparkan dalam bahasa
Indonesia yang sederhana dan dapat dimengerti orang awam, hindari penggunaan
terminologi medis. Seorang korban kekerasan seksual sering tidak hanya
membutuhkan layanan pemeriksaan untuk pembuatan visum et repertum, tapi juga
tindak lanjut medis (Noviana, Kekeraan seksual terhadap anak: dampak dan
penanganannya., 2015).
Tindak lanjut medis dapat mencakup penatalaksanaan psikiatrik dan
penatalaksanaan bidang obstetrik ginekologi. Tidak jarang seorang korban
kekerasan seksual mengalami trauma psikis sehingga membutuhkan terapi atau
konseling psikiatrik (Widiastuti & Sekartini, 2005).
Terapi tersebut dapat membantu korban mengatasi trauma psikis yang
dialaminya sehingga tidak berkepanjangan dan korban dapat melanjutkan
hidupnya seoptimal mungkin. Dalam bidang obstetri-ginekologi, korban
kekerasan seksual mungkin memerlukan tindakan pencegahan kehamilan serta
pencegahan atau terapi penyakit menular seksual. Apabila sudah terjadi
kehamilan, korban mungkin membutuhkan perawatan kehamilan atau terminasi
kehamilan sesuai ketentuan undang-undang. Dalam melakukan tindak lanjut,
sangat penting bagi dokter untuk melakukan koordinasi dengan pihak-pihak
terkait (Komnas Perempuan, 2015).

46
Koordinasi yang baik diperlukan antara dokter pemeriksa dengan dokter
yang memberikan tata laksana lanjutan agar korban mendapatkan perawatan yang
diperlukan. Selain itu, dokter juga harus menjalin kerjasama yang baik dengan
pihak polisi penyidik agar hasil pemeriksaan dokter dapat bermanfaat bagi
pengungkapan kasus.
Penyakit menular seksual (PMS), penyakit menular seksual yang tersering
adalah trikomoniasis, vaginosis bakteri (BV), gonore, dan infeksi klamidia. Gejala
klinis pasien PMS seperti demam, sakit perut atau panggul, dan/atau keputihan,
harus dievaluasi dan diobati. Perawatan ini harus didasarkan pada pilihan
pengobatan yang spesifik untuk infeksi menular seksual di masyarakat setempat.
Pasien harus waspada terhadap gejala infeksi HIV primer (misalnya, demam,
kelelahan, sakit tenggorokan, limfadenopati, dan ruam) dan memeriksakan diri
jika gejala ini timbul. terapi dengan ARV dikaitkan dengan penurunan risiko
infeksi HIV dan telah menjadi standar perawatan untuk tenaga kesehatan (US
Depertement of Justice, 2013).

2.8.3 Konseling Komprehensif Terhadap Anak-anak yang Mengalami


Perkosaan
Dalam fase perkembangan, anak usia 3-5 tahun, anak sudah mulai
mempertanyakan tentang organ seksual kepada ibunya. Pertanyaan anak menjadi
tidak terjawab dan terus menghantui pikiran dan perasaannya. Pada tahap inilah
orang tua berperan untuk memberikan penjelasan sesuai dengan usia anak-anak?
Sedapat mungkin orang tua mau menjawab dengan logika anak. Misalnya, ketika
anak menanyakan dari mana mereka lahir? Maka orang tua, bisa mengajak anak
untuk menjawabnya, seperti pertanyaan, kalau menurut anak dari mana? Dengan
begitu, mereka akan menjawab sesuai dengan khayalannya dan imajinasi anak.
Ketika anak menjawab itulah maka orang tua perlu mengajak anak
mengeksplorasi semaksimal mungin imajinasi anak yang terbangun dari
penglihatan mereka terhadap film televisi, majalah, gambar dan kesehariaan yang
mereka serap. Namun, jika orang tua memarahi anak dan menganggap hal itu
pertanyaan yang tabu, maka anak akan tidak kreatif dan terus berada dalam
keraguan. Anak akhirnya tidak mengetahui dan tugas perkembangan hidupnya

47
menjadi tertunda. Kasus kekerasan anak, berasal dari budaya yang melingkupi
kesehariaan anak dimana mereka tumbuh dan berkembang. Seorang naka meman
belum mampu mencerna nilai-nilai dengan rasional. Konsep libido seksual pada
anak-anak yang tanpa pikir itulah menuntut pemahaman dari orang tua secara arif
dan bijak. Anak akan bertanya apa saja dan menjadikan apa yang mereka lihat
sebagai pelajaran. Maka dari itu, pendampingan anak saat menonton film televisi
terlebih film yang bernuansa cinta dewasa, perlu dibingkai lagi dengan cerita dari
orang tua untuk memberikan nilai-nilai bagi anak. Karena dimata anak, orang tua
adalah orang yang selalu benar. Anak-anak yang melakukan kasus kekerasan
seksual, seperti mutilation, yaitu melakukan kekerasan terhadap organ seksual,
pemerkosaan, dalah bentuk dari konsep Frued yang menyebutkan bahwa pada usia
tertentu anak-anak akan mengalami libido seksual mendominasi (Naqiyah, 2010).
Bagaimana mengatasi anak-anak yang sedang tumbuh berkembang agar
tercegah dari kekerasan seksual? Langkah yang bisa dilakukan oleh orang tua
adalah memberikan pendampingan kepada anak-ananya dalam berbagai aktivitas.
Sebanyak mungkin orang tua terlibat penuh terhadap kehidupan anak. Ada
penelitian, bahwa orang tua yang konsisten mematikan televisi setiap jam-jam
belajar anak, maka prestasi anak akan meningkat. Bahkan orang tua yang tidak
membeli televisi sampai usia anak SMP, prestasi akademik anak disekolah
meningkat tiga kali lipat. Sikap konsisten inilah yang akan memberikan anak
nuansa aktivitas bersama dengan keluarga secara akatif untuk melakukan banyak
hal bersama anak-anaknya. Bagaimana peran sekolah mencegah terjadinya kasus
pemerkosaan anak? Sekolah punya banyak cara memberikan pendidikan
reproduksi kepada anak-anak di sekolah dasar (SD). Materi kesehatan reproduksi
dirangkum bisa dilakukan dengan kurikulum muatan lokal yang berisi sejumlah
pengetahuan tentang organ-organ reproduksi yang harus dijaga dan dilindungi
oleh anak-anak. Pendidikan reproduksi ini penting diberikan sejak awal anak-anak
menjelang masa pubertas, atau akil baligh. Anak-anak akan siap ketika terjadi
perubahan bentuk tubuhnya, seperti pada perempuan akan menstruasi dan laki-
laki mulai mimpi basah. Pengetahuan reproduksi sejatinya akan menyalamatkan
anak-anak dari kekerasan seksual yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Anak sejak awal akan memiliki ketegasan sikap untuk berkata

48
tidak, apabila ada orang yang menyuruh mereka membuka celana, membuka
bajunya, meraba alat-alat reproduksi seperti payudara, vagina, penis, dsb. Anak
akan bisa melindungi tubuhnya sendiri dari kekerasan pelecehan seksual
(Naqiyah, 2010).
Memberi keselamatan kepada anak-anak adalah tanggung jawab kita
bersama. Menghantarkan anak-anak secara layak menghadapi tugas
perkembangan hidupnya merupakan hak-hak anak yang harus diberikan sebaik
yang kita bisa. Anak perempuan yang diperkosa dibawah umur tidak bersalah.
Kekerasan menimpa tubuhnya akibat tindak kejahatan. Mereka adalah korban
kekerasan secara biadab. Mereka patut dilindungi dan dirawat secara baik. Korban
pemerkosaan tidak sepatutnya di nista, apalagi disia-siakan hidupnya. Tempat
merawat korban yang tengah hamil, melahirkan dan pasca melahirkan. Tempat
berlindung para korban tindak kekerasan, seperti panti rehabilitasi, pesantren, dan
panti asuhan. Lembaga penampungan anak-anak yang mengalami kekerasan
membantu mengobati rasa trauma, depresi dan penyakit somatik lainnya.
Kesehatan mental mereka yang mengalami tindak kekerasan perlu dipulihkan
dengan terapi. Terapi yang perlu diberikan pada kasus-kasus perkosaan harus
menyeluruh, mulai dari eksplorasi psikis yang tergoncang sampai persiapan
menghadapi hidup selanjutnya pasca melahirkan. Tidak mudah bagi seorang anak
melahirkan, apalagi belum ada kesiapan mental secara lahir dan batin. Anak yang
mengalami kehamilan diluar keinginannya memiliki konsekuensi gangguan psikis
yang harus disembuhkan. Misalnya, bagaimana kesiapan mereka melahirkan?
Bagaimana mengasuh anaknya? Siapa yang bertanggung jawab membiayai anak
yang dilahirkan? Seandainya anak tersebut diadobsi orang lain, bagaimana
merelakan buah hatinya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terus bergelayut
memicu keresahan dan kegundahan hati. Dengan memberikan terapi khusus bagi
anak-anak yang mengalami korban perkosaan, akan membantu mereka sadar dan
menghadapi hidup dengan lebih tenang dan menerima resiko (Naqiyah, 2010).
Konseling komprehensif untuk mengatasi kekerasan bagi anak-anak
korban perkosaan dimulai, dengan (Naqiyah, 2010):
(1) Mencari akar penyakit yang dideritanya. Jika penyakitnya diketahui, maka
obat yang diberikan haruslah mampu menghilangkan rasa sakit. Contoh, jika

49
anak terlanjur diperkosa dan memiliki kelainan mental menjadi sangat
tertutup, maka anak perlu dilatih bersikap asertif (terbuka) kepada orang lain.
Dengan melatih sikap terbuka, maka akan lebih mudah bagi anak tersebut
menerima dan sadar diri keadaannya. Anak menjadi tegar dan waspada untuk
tidak mengulangi perbuatan takutnya dengan diam. Namun, jika anakmenjadi
trauma dan merasa terancam terus menerus, maka membongkar ketakutan
anak tersebut dengan teknik konfrontasi dan melawan keyakinan tidak
rasional. Terapis harus melatih anak untuk mengedepankan nilai-nilai
rasionalitas untuk menuntun diri mereka.
(2) Memperbaiki rasa percaya diri. Anak perlu di berikan obat atau cara-cara
melawan rasa takut. Rasa takut tersebut akan muncul kalau anak tidak
percaya diri. Rasa takut berlebihan merupakan gejala depresi. Takut yang
tidak beralasan menjadikan anak-anak sakit mental. Gangguan tersebut
membuat anak tidak berkembang optimal. Dengan memperbaiki rasa percaya
dirinya, akan membantu mereka memiliki keyakinan akan kemampuannya
untuk terus tumbuh berkembang seperti anak-anak yang lain.
(3) Memberikan jalan untuk kembali mengenyam pendidikan. Anak yang telah
diperkosa berhak melanjutkan sekolahnya. Jika saat mengalami kehamilan
harus berhenti atau cuti sekolah, maka setelah selesai melahirkan, perlu
memperoleh haknya kembali bersekolah seperti anak lain. Misalnya anak
yang masih duduk disekolah menengah, bisa menyelesaikan sekolahnya
hingga tamat. Mengapa sekolah itu penting? Dengan bersekolah lagi, mereka
memiliki kesibukan dan tidak larut dalam kesedihan yang menimpanya.
Dengan kembali ke bangku sekolah, ada harapan masa depan anak jauh lebih
baik, dari pada diam dirumah.
(4) Konselor perlu melakukan meningkatkan kerjasama dengan pemegang
kebijakan. Keberadaan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) perlu ditingkatkan
eksistensinya dengan memanfaatkan layanan bimbingan yang berfungsi
pencegahan, pengembangan dan pengobatan.

50
Perempuan korban kekerasan seksual mengalami keterguncangan jiwa, yang
semuanya itu tampak dari perilakunya yang didominasi dengan perasaan khawatir,
putus asa ataupun perilaku menyimpang lainnya maka dapat dilakukan konseling
Islam dengan langkah-langkah yang diantaranya (Nafisah, 2015) :
a. Membangun hubungan yang kuat dan baik yang didasari dengan saling
menghargai, membuka diri, dan juga saling percaya antara konselor dengan
klien.
b. Membantu individu menemukan alternatif pemecahan masalah.
c. Membantu individu mengembangkan kemampuan untuk mengantisipasi
masa depan, sehingga mampu memperkirakan kemungkinan yang akan
terjadi berdasarkan keadaan sekarang.

51
BAB 3
METODE PENULISAN

3.1 Sumber dan Jenis Data


Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal
dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah buku pelajaran
kedokteran, jurnal imiah edisi cetak maupun edisi online, dan artikel ilmiah yang
bersumber dari internet.Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat kualitatif
maupun kuantitatif.
3.2 Pengumpulan Data
Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi didapatkan dari berbagai
literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang diperoleh.
Penulisan diupayakan saling terkait antar satu sama lain dan sesuai dengan topik
yang dibahas.
3.3 Analisis Data
Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik kajian.
Kemudian dilakukan penyusunan karya tulis berdasarkan data yang telah
dipersiapkan secara logis dan sistematis. Teknik analisis data bersifat deskriptif
argumentatif.
3.4 Penarikan Kesimpulan
Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan masalah,
tujuan penulisan, serta pembahasan.Simpulan yang ditarik mempresentasikan
pokok bahasan karya tulis, serta didukung dengan saran praktis sebagai
rekomendasi selanjutnya.

52
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Kejahatan Seksual


4.1.1 Definisi Kejahatan Seksual
Terdapat beberapa definisi kejahatan seksual, baik definisi legal, sosial,
maupun medis. Salah satu definisi yang luas mengartikan kejahatan seksual
sebagai segala jenis kegiatan atau hubungan seksual yang dipaksakan dan/atau
tanpa persetujuan (consent) dari korban. Sedangkan definisi yang lebih sempit
menyamakan kejahatan seksual dengan perkosaan (rape), dan mengharuskan
adanya persetubuhan, yaitu penetrasi penis ke dalam vagina (Meilia, 2012). Di
Indonesia, pada umumnya definisi dan jenis kejahatan seksual yang dianut
diambil dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya dalam
Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan (Meilia, 2012).

4.1.2 Landasan Hukum Kejahatan Seksual


Landasan hukum untuk jaminan perlindungan dari tindak kejahatan
seksual nasional
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286, 287, 290, 291
2. UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48
3. UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang pasal 1 (3,7)
4. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 dan
66 (1,2), 69, 78 dan 88

Internasional
1) Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1&2, Pasal 68
2) Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik Bersenjata
3) Deklarasi penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (ICPD) pada
bulan Desember 1993
4) Deklarasi Wina Tahun 1993

53
4.2 Pemeriksaan pada Kejahatan Seksual
Data yang perlu di cantumkan dalam bagian pendahuluan Visum et
Repertum delik Kesusilaan adalah (Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1997) :
 Instansi polisi yang meminta pemeriksaan
 Nama dan pangkat polisi yang mengantar korban
 Nama, umur, alamat dan pekerjaan korban seperti yang tertulis dalam surat
permintaan
 Nama dokter yang memeriksa
 Tempat, tanggal, dan jam pemeriksaan dilakukan
 Nama perawat yang menyaksikan pemeriksaan
Secara umum tujuan pemeriksaan korban kejahatan seksual adalah untuk
(National Center for Women & Policing., 2001) :
• melakukan identifi kasi, termasuk memperkirakan usia korban;
• menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya, bila
mungkin;
• menentukan adanya tanda-tanda kejahatan, termasuk tanda intoksikasi
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA)
• menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin, termasuk tingkat
perkembangan seksual; dan
• membantu identifi kasi pelaku.

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban


kejahatan seksual (World Health Organization., 2003; Newton, Deborah, &
Marry, 2005)
• Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan
menunggu terlalu lama. Hal ini penting untuk mencegah rusak atau berubah
atau hilangnya barang bukti yang terdapat di tubuh korban, serta untuk
menenangkan korban dan mencegah terjadinya trauma psikis yang lebih
berat.
• Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis
kelaminnya dengan korban (biasanya wanita) atau bidan. Tujuannya adalah

54
untuk mengurangi rasa malu korban dan sebagai saksi terhadap prosedur
pemeriksaan dan pengambilan sampel. Selain itu, hal ini juga perlu demi
menjaga keamanan dokter pemeriksa terhadap tuduhan palsu bahwa dokter
melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap korban saat pemeriksaan.
• Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap
seluruh bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.
• Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.

Langkah-langkah pemeriksaan adalah sebagai berikut (World Health


Organization., 2003; National Center for Women & Policing., 2001) :
Anamnesis
Pada korban kejahatan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa
awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah
yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin
terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan khusus.
Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis umum mencakup, antara lain
(National Center for Women & Policing., 2001; Newton, Deborah, & Marry,
2005; World Health Organization., 2003) :
• Umur atau tanggal lahir,
• Status pernikahan,
• Riwayat paritas dan/atau abortus,
• Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid),
• Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau
setelahkejadian kejahatan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau
alat kontrasepsi lainnya),
• Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),
• Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu),
• Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.

Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian


kejahatan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti
(World Health Organization., 2003):

55
What & How:
 jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya),
 adanya kejahatan dan/atau ancaman kejahatan, serta jenisnya,
 adanya upaya perlawanan,
 apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,
 adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau
setelah kejadian,
 adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),
 apakah ada nyeri di daerah kemaluan,
 apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar,
 adanya perdarahan dari daerah kemaluan,
 adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina,
 penggunaan kondom
 tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban
sudah buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan
sebagainya.
When:
 tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor
 apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
Where:
 tempat kejadian
 jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari
tempat kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).
Who:
 apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak
 jumlah pelaku
 usia pelaku
 hubungan antara pelaku dengan korban
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan
umum dan khusus (National Center for Women & Policing., 2001; World Health
Organization., 2003).

56
Pemeriksaan fisik umum mencakup:
• tingkat kesadaran,
• keadaan umum,
• tanda vital,
• penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),
• afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya),
• pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
• status generalis,
• tinggi badan dan berat badan,
• rambut (tercabut/rontok)
• gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga),
• kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang
tercabut atau patah),
• tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
• tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta
• status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah
kemaluan.
Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram
tubuh seperti pada gmbar 4.1

Gambar 4.1. Diagram tubuh manusia untuk pencatatan luka


57
Pemeriksaan Fisik Khusus
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait
dengan tindakan kejahatan seksual yang diakui korban dan mencakup
pemeriksaan:
• daerah pubis (kemaluan bagian luar),
adanya perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani;
• penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan),
apakah adanya rambut pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku,
penggumpalan atau perlengketan rambut pubis akibat cairan mani;
• daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam
adanya perlukaan pada jaringan lunak, bercak cairan mani
• labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil)
apakah ada perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani;
• vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian
bawah), apakah ada perlukaan;
• hymen (selaput dara)
catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan, adanya perlukaan
seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi. Apabila ditemukan robekan
hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada
jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai
dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan atau tanda penyembuhan
pada tepi robekan;
• vagina (liang senggama),
cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
• serviks dan porsio (mulut leher rahim),
cari tanda-tanda pernah melahirkan dan adanya cairan atau lendir;
• uterus (rahim),
periksa apakah ada tanda kehamilan;
• anus (lubang dubur) dan daerah perianal,
apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis;
• mulut,
apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,

58
• daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain),
untuk mencari bercak mani atau air liur dari pelaku
• tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.

Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah


pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi .
Pada jenis-jenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat menyerupai
robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan traksi lateral dari
labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan penelusuran tepi selaput dara
dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan robekan. Pada
penelusuran tersebut, umunya lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap
tampak dengan tepi yang tajam.
Foto-foto dapat membantu dokter membuat visum et repertum. Dengan
pemotretan, korban juga tidak perlu diperiksa terlalu lama karena foto-foto
tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan secara detil setelah
pemeriksaan selesai.

Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus kejahatan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
sesuai indikasi untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban.
Sampel untuk pemeriksaan penunjang dapat diperoleh dari, antara lain (National
Center for Women & Policing., 2001; World Health Organization., 2003;
Newton, Deborah, & Marry, 2005) :
• pakaian yang dipakai korban saat kejadian
diperiksa lapis demi lapis untuk mencari adanya trace evidence yang mungkin
berasal dari pelaku, seperti darah dan bercak mani, atau dari tempat kejadian,
misalnya bercak tanah atau daun-daun kering;
• rambut pubis
yaitu dengan menggunting rambut pubis yang menggumpal atau mengambil
rambut pubis yang terlepas pada penyisiran;
• kerokan kuku

59
apabila korban melakukan perlawanan dengan mencakar pelaku maka
mungkin terdapat sel epitel atau darah pelaku di bawah kuku korban;
• swab
dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mani atau air liur dari kulit
sekitar vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks posterior, kulit bekas gigitan
atau ciuman, rongga mulut (pada seks oral), atau lipatan-lipatan anus (pada
sodomi), atau untuk pemeriksaan penyakit menular seksual;
• darah
sebagai sampel pembanding untuk identifikasi dan untuk mencari tanda-tanda
intoksikasi NAPZA
• urin
untuk mencari tanda kehamilan dan intoksikasi NAPZA.

Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang
bukti dari sampel yang diambil (chain of custody). Semua pengambilan,
pengemasan, dan pengiriman sampel harus disertai dengan pembuatan berita acara
sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih penting apabila sampel akan dikirim
ke laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter sendiri.

4.2.1 Forensik Serologi


Pendahuluan
Penentuan jenis dan asal cairan tubuh yang ditemukan di TKP dapat
memberikan wawasan penting ke rekonstruksi TKP dengan memeriksa hubungan
antara sampel korban dan pelaku tindak pidana yang sebenarnya. Selama lebih
dari satu abad, banyak jenis metode identifikasi cairan tubuh telah dikembangkan,
seperti tes kimia, tes imunologi, protein tes aktivitas katalitik, metode
spektroskopi dan mikroskopi (Lisa Gefrides & Katie Welch, 2011).
Metode identifikasi cairan tubuh secara konvensional sebagian besar
masih meragukan, dan dilakukan hanya untuk satu cairan tubuh pada suatu waktu.
Oleh karena itu, pendekatan genetika berbasis profil RNA atau deteksi metilasi
DNA belakangan ini diusulkan untuk menggantikan metode identifikasi cairan
tubuh secara konvensional.Tujuan dari bukti forensik adalah untuk membuktikan

60
hubungan fisik antara korban dan pelaku melalui bukti benda-benda yang
didapatkan pada tempat kejadian perkara. Bukti tersebut memerlukan analisis
tertentu serta keterampilan ilmiah khusus (Lisa Gefrides & Katie Welch, 2011;
World Health Organization., 2003).
Keberadaan pelaku, korban dan TKP dapat mengakibatkan pertukaran
bukti jejak (prinsip Locard). Jejak biologis (seperti rambut, darah, cairan semen,
fragmen kulit dapat ditemukan pada kedua korban dan juga pelaku; misalnya,
darah korban bisa mengenai pakaian pelaku. Fragmen dari tempat kejadian
(misalnya lumpur, vegetasi) dapat menghubungkan korban dan pelaku ke lokasi
tertentu, atau mereka mungkin masing-masing telah meninggalkan jejak pakaian
atau jejak biologis di TKP (World Health Organization., 2003).

Tabel 1. Lokasi pengambilan sampel serologi (World Health Organization,


2003)
Daerah Material Peralatan Instruksi Pengambilan
Pemeriksaan Sampel
Anus Semen & Lubrikasi Cotton swab Menggunakan swab dan
(rectum) & slide slide untuk
mikroskop mengumpulkan material.
Darah Obat-obat dan DNA Tabung Kumpulkan 10 mL darah
vena
Pakaian Material benda asing Tas kertas Pakaian harus
(contoh semen, darah, ditempatkan di dalam tas
rambut) kertas. Kumpulkan
kertas atau pakaian.
Barang basah harus
dikumpulkan secara
terpisah.
Genitalia Semen Cotton swab Gunakan swab & slide
& slide untuk mengumpulkan
mikroskop material dari genitalia
eksterna, vagina &

61
serviks.
Rambut Membandingkan Wadah steril Potong kira-kira 20
rambut yang rambut dan letakan
ditemukan di TKP dalam wadah steril
Mulut Semen & DNA Cotton swab Oles/ swab beberapa
(korban) dan wadah bagian dari mulut
steril dengan satu atau
beberapa swab. Untuk
mendapatkan sampel
oral, bilas mulut dengan
10 mL air dan simpan
dalam wadah steril
Kuku Kulit, darah, serat dll Tusuk gigi Gunakan tusuk gigi
(dari pelaku) steril atau untuk mengumpulkan
sejenisnya material dari bawah
atau kuku, atau kuku dapat
pemotong dipotong dengan
kuku pemotong kuku lalu
ditempatkan dalam
wadah steril
Pembalut Material asing (seperti Wadah steril Kumpulkan jika
semen, darah, dan digunakan selama atau
rambut) setelah penetrasi vagina
atau oral
Kulit Semen, saliva, darah, Cotton swab Swab bagian dimana
material asing lainnya semen didapatkan,
(rambut, rambut simpan dalam wadah
pelaku) steril
Urine Obat-obatan Wadah steril Kumpulkan 100 mL
urine

62
Ketika mengumpulkan spesimen tubuh untuk analisis forensik, prinsip-
prinsip berikut harus dipenuhi (World Health Organization., 2003):
1. Hindari kontaminasi. Pastikan bahwa spesimen tidak terkontaminasi oleh
bahan-bahan lain. Pakailah sarung tangan setiap saat. Sistem DNA Assay
modern yang sangat sensitif dan dapat mendeteksi sejumlah kecil bahan
asing.
2. Kumpulkan sampel sesegera mungkin. Cobalah untuk mengumpulkan
spesimen forensik sesegera mungkin. Kemungkinan mengumpulkan bahan
pembuktian semakin berkurang seiring dengan berlalunya waktu. Idealnya,
spesimen harus dikumpulkan dalam waktu 24 jam dari serangan; setelah 72
jam, hasil yang mungkin diperoleh akan jauh berkurang.
3. Menangani sampel dengan tepat. Pastikan bahwa spesimen yang dikemas,
disimpan dan ditranspor dengan benar. Analisis laboratorium harus mampu
memberikan persyaratan khusus untuk penanganan spesimen dan
penyimpanannya. Spesimen cairan harus didinginkan.
4. Label akurat. Semua spesimen harus diberi label yang jelas dengan nama
pasien dan tanggal lahir, nama tenaga kesehatan yang memeriksa, jenis
spesimen, tanggal dan waktu pengumpulan.
5. Pastikan keamanan. Spesimen harus dikemas untuk memastikan bahwa
mereka aman sebagai barang bukti. Pastikan hanya orang-orang berwenang
yang bisa dipercayakan untuk mengurus spesimen tersebut.
6. Menjaga kontinuitas. Setelah spesimen dikumpulkan maka yang selanjutnya
perlu dilakukan adalah pencatatan sampel. Rincian transfer spesimen juga
harus dicatat dengan jelas. Dianjurkan untuk membuat suatu protokol untuk
pencatatan informasi tersebut.
7. Koleksi dokumen. Hal ini merupakan langkah yang penting untuk membuat
daftar terperinci dalam catatan medis pasien atau laporan dari semua
spesimen yang dikumpulkan dengan menyertakan rincian kapan, dan kepada
siapa spesimen dipindahkan.

63
Identifikasi Semen
Identifikasi cairan semen penting dalam banyak kasus dugaan kejahatan
seksual. Untuk tujuan forensik, komposisi semen dapat disederhanakan menjadi
dua komponen yaitu cairan semen dan spermatozoa. Cairan semen merupakan
cairan tubuh yang kaya akan protein terutama dari prostat dan glandula vesikulo
seminalis. Tidak semua pria menghasilkan spermatozoa. Pada pria yang telah
vasektomi, cacat lahir tertentu, atau beberapa penyakit, cairan semen tidak
mengandung spermatozoa atau hanya sangat sedikit (Lisa Gefrides & Katie
Welch, 2011).
Identifikasi cairan semen biasanya dilakukan pada korban kejahatan
seksual. Poin penting yang perlu diingat ketika melakukan pemeriksaan dari
korban kejahatan seksual dengan maksud untuk memperoleh bukti forensik,
adalah sebagai berikut (World Health Organization., 2003):
1. Bentuk persetujuan diperlukan, berupa informed consent, khususnya kepada
korban atau keluarganya, surat dari aparat penegak hukum (yaitu polisi) dan
peradilan pidana jika pasien melanjutkan tindakan hukum pada kasus ini.
2. Perlu waktu untuk melakukan pemeriksaan forensik menyeluruh;
Pemeriksaan biasanya dilakukan secara "top to-toe” pemeriksaan kulit dan
pemeriksaan genito-anal.
3. Dokumentasi yang rinci diperlukan; informasi yang dapat direkam bisa
digunakan dalam proses pidana.
4. Daerah-daerah tertentu dari tubuh (misalnya ketiak, belakang telinga, di
mulut, telapak kaki) harus diperiksa.
5. Spesimen yang tidak biasa, seperti pakaian, dan rambut, yang dikumpulkan
sebagai bagian dari sebuah pemeriksaan forensik.
6. Spesimen harus didokumentasikan.
7. Pemeriksaan ulang mungkin tidak lagi ada, sehingga penting untuk membuat
pemeriksaan secara menyeluruh.

64
Gambar 4.2. Cara mengambil swab pada gigi-geligi dan vagina (World
Health Organization., 2003)
Apabila didapatkan atau diduga cairan semen dapat dikonfirmasi dengan
mengambil swab diikuti oleh tes presumtif dan konfirmatif. Spermatozoa dan
cairan semen cenderung untuk mengumpul di ruang antara gigi dan gingiva
margin rahang bawah, pengambilan swab kering harus tegas tapi tetap lembut
diambil pada ruang antara gigi. Swab ini harus dikeringkan, ditutup dan diberi
label (World Health Organization., 2003).

Metode Pemeriksaan Cairan Semen


Secara umum pemeriksaan forensik serologi dapat dibagi menjadi dua,
yaitu pemeriksaan presumtif (penyaringan) dan konfirmatif (penentuan). Untuk
pemeriksaan serologi cairan semen, pemeriksaan presumtif berupa pemeriksaan
visual ultraviolet, pemeriksaan asam fosfatase, pemeriksaan florence, dan
pemeriksaan barberio. Sementara, pemeriksaan konfirmatif dapat berupa
pemeriksaan PSA dan pemeriksaan mikroskopik.

Pemeriksaan Presumtif
a. Pemeriksaan Visual, Ultra Violet & Taktil (Raba)
Jika area yang akan diperiksa dan dianalisa untuk semen lebih besar dari
pengambilan swab, para ilmuwan forensik akan segera mempergunakan
identifikasi visual. Pakaian, pakaian dalam, dan tempat tidur dapat dengan cepat
diperiksa untuk potensi noda semen dengan menggunakan mata telanjang. Noda
semen kering sering berwarna putih pucat sampai kuning. bercak mani

65
berbatastegas dan lebih gelapdari sekitarnya. Bercak yang sudah agak tua
berwarna agak kekuning-kuningan (Kho & Bee-Ee, 2010).
Di bawah sinar ultraviolet bercak semen menunjukkan fluoresensi putih.
Hasil pemeriksaan ini kurang memuaskan untuk bercak pada sutera buatan atau
nylon karena mungkin tidak memberi fluoresensi. Fluoresensi terlihat jelas pada
bercak mani yang melekat di bahan tekstil yang terbuat dari serabut katun. Bahan
makanan, urin, sekret vagina dan serbuk detergen yang tersisa pada pakaian sering
menunjukkan fluoresensi juga (Kho & Bee-Ee, 2010).
Pada bahan sutera atau nilon batasnya sering tidak jelas, tetapi selalu lebih
gelap dari sekitarnya. Pada tekstil yang tidak menyerap bercak yang segar akan
menunjukkan permukaan mengkilat dan translusen, kemudian akan mengering.
Dalam waktu kira-kira 1 bulan akan berwarna kuning sampai coklat. Pada tekstil
yang menyerap bercak yang segartidak berwarna atau bertepi kelabu yang
berangsur-angsur akan berwarna kuning sampai coklat dalam waktu 1 bulan.
Secara taktil (perabaan) bercak mani teraba memberi kesan kaku seperti kanji.
Pada tekstil yang tidak menyerap, bila tidak teraba kaku, kita masih dapat
mengenalinya karena permukaan bercak akan teraba kasar (Kho & Bee-Ee, 2010).

b. Pemeriksaan Cahaya Alternatif (ALS)


Tidak semua noda cairan semen yang terlihat dengan mata telanjang,
tergantung pada jumlah air mani yang disimpan dan kainnya. Akan memakan
waktu dan mahal, untuk menguji area luas yang akan diperiksa secara
menyeluruh untuk membuktikan adanya asam fosfatase (AP) yang menggunakan
uji Brentamine. Untuk mengidentifikasi daerah-daerah bernoda tidak terlihat,
metode yang digunakan dengan memanfaatkan sumber cahaya alternatif (Lisa
Gefrides & Katie Welch, 2011) (Kho & Bee-Ee, 2010).
Semen juga dapat divisualisasikan menggunakan cahaya biru, sinar
ultraviolet (juga dikenal sebagai Lampu Wood), atau sumber cahaya modern
seperti Crime Scope yang dikonfigurasi dengan benar dengan filter panjang
gelombang yang optimal. Banyak cairan tubuh berfluoresensi saat terkena cahaya
pada panjang gelombang 450 nm. Noda semen memiliki kecenderungan untuk
berfluoresensi lebih tinggi daripada kebanyakan cairan tubuh lainnya. Dengan

66
cara ini, daerah fluorescing item dapat diidentifikasi dan diuji untuk tes AP. Di
bawah lampu-lampu khusus, air mani akan berfluoresensi karena adanya molekul
seperti Flavin dan protein Kolin-terkonjugasi. Warna fluoresensi ini akan
bervariasi dari biru menjadi kuning, tergantung pada peralatan cahaya yang
digunakan. Ada banyak molekul (alami dan buatan) yang akan berfluoresensi
dengan cara yang sama seperti semen, dan karena itu, teknik deteksi ini bersifat
presumtif (Lisa Gefrides & Katie Welch, 2011) (Kho & Bee-Ee, 2010).
Fluoresensi adalah emisi radiasi (cth. Cahaya) oleh suatu zat, biasanya
terhadap paparan radiasi eksternal (laser, sinar-X, sinar UV). Bahan ini menyerap
cahaya dan memancarkan cahaya dalam panjang gelombang yang lebih panjang
(energi yang lebih rendah) dibandingkan dengan sumber cahayanya. Referensi asli
untuk fluoresen oleh sel-sel spermatazoa manusia dihasilkan dari tes menunjukkan
fluoresensi terlihat dari kromosom Y saat diberi stain quinacryne . Dengan
demikian, cairan semen mengandung bahan kimia dalam kromosom Y yang akan
berfluoresensi bila diwarnai dengan quinacryne (Kho & Bee-Ee, 2010) (Dale L.
Laux, Tambasco, & Elisabeth A. Benzinger, 2000).

Gambar 4.3. Pemeriksaan cairan semen menggunakan sumber cahaya


alternatif (Dale L. Laux, Tambasco, & Elisabeth A. Benzinger, 2000)

Dalam kondisi standar iluminasi cahaya tampak (500 nm), semen kering
menghasilkan emisi band lebar 350-400 nm, tepat di bawah kisaran visibilitas
dengan mata telanjang. Iluminasi gelombang panjang UV (350 nm) dari semen
kering yang tidak diobati menghasilkan sebuah emisi band yang lebih sempit
berpusat dekat daerah warna biru. Iluminasi semen kering dengan band yang
terlihat (450 nm) cahaya menghasilkan fluoresensi yang jelas terlihatdengan band
maksimum sekitar 520 nm (oranye) (Kho & Bee-Ee, 2010) (Dale L. Laux,
Tambasco, & Elisabeth A. Benzinger, 2000).
67
Tidak semua noda semen akan berfluoresensi di bawah lampu khusus.
Pemaparan sampel terhadap faktor seperti panas, kelembaban, zat pengoksidasi,
dan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur dapat mempengaruhi aktivitas neon
ini. Fluoresensi semen juga dapat ditutupi oleh jenis kain tertentu dan perawatan
kain. Skrining cahaya alternatif bekerja dengan baik pada kain berwarna terang
namun kain berwarna gelap dan kasar yang sangat sulit untuk memeriksa di
bawah cahaya tampak atau alternatif (Lisa Gefrides & Katie Welch, 2011) (Kho &
Bee-Ee, 2010).

c. Pemeriksaan Klasik Florence


Reagen yang digunakan adalah larutan yodium terkonsentrasi dalam
iodine-potassium, dalam kadar tertentu yang membuat garam dapat terkonsentrasi.
Reagen triiodurateini apabila kontak dengan cairan sperma, menyebabkan
pembentukan kristal kuning yang kuat. Reaksinya konstan, sederhana, sangat
sensitif dan dapat dibiarkan dengan mudah kering seperti sperma cair, sperma
segar serta sperma yang telah lama (Lisa Gefrides & Katie Welch, 2011).
Tes klasik florence dilakukan dengan mengambil ekstrak noda dan
direaksikan dengan larutan iodine-potassium iodide yang diletakkan pada slide
mikroskop. Reaksi ini disebabkanoleh adanya kolin, yang timbul karena degradasi
produk lesitin yang ditemukan dalam cairan semen dalam jumlah yang cukup.
Sebelum ada hasil tes florence positif terjadi dekomposisi air mani, dan dengan
demikian tes sering gagal karena itu diperlukan noda semen segar. Lesitin juga
bisa terjadi pada bahan biologis lainnya maka reaksi ini tidak spesifik. Didapatkan
juga cairan vagina menghasilkan reaksi positif (Lisa Gefrides & Katie Welch,
2011).

d. Pemeriksaan Barberio
Prinsip reaksi ini adalah menentukan adanya spermin dalam semen.
Spermin yang terkandung pada cairan mani akan bereaksi dengan larutan asam
pikrat jenuh membentuk kristal spermin pikrat. Cara pemeriksaan yaitu, sampel
digunting dengan ukuran 1 cm x 1 cm lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi
dan diteteskan 1 ml akuades, tabung reaksi yang berisi sampel tersebut

68
disentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 1000 rotation per minute (rpm).
Setelah disentrifuge supernatan diambil dengan menggunakan pipet tetes dan
ditaruh di kaca objek, biarkan mengering di udara lalu ditutup dengan kaca
penutup. Reagen berberio dialirkan di bawah kaca penutup pada satu sisi,
kemudian lihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x. Hasil positif berupa
tampak kristal spermin pikrat kekuniangan berbentuk jarum dengan ujung tumpul.
Kristal mungkin pula berbentuk ovoid (Albizar, Indrayana, & Azrin, 2014).

Gambar 4.4. Pemeriksaan Barberio (Albizar, Indrayana, & Azrin, 2014)

Hasil pemeriksaan cairan semen dengan uji Barberio berupa kristal


spermin pikrat yang ditunjuk oleh jarum dengan perbesaran 400x.
a. hari pertama (air),
b. hari pertama (air deterjen rinso),
c. hari kedua (air),
d. hari kedua (air deterjen rinso),
e. hari ketiga (air),
f. hari ketiga (air deterjen rinso),
69
g. hari keempat (air),
h. hari keempat (air deterjen rinso),
i. hari kelima (air),
j. hari kelima (air deterjen rinso),
k. hari keenam (air),
l. hari keenam (air deterjen rinso),
m. hari ketujuh (air),
n. hari ketujuh (air deterjen rinso),
o. kontrol positif,
p. kontrol negatif.
Banyak metode untuk identifikasi semen, mengikat spermin dengan asam
yang berbeda. Dengan cara ini Barberio (1911) menggunakan asam picric sebagai
agen mengkristal, tapi pengalaman telah membuktikan bahwa reaksi tersebut
sangat diragukan. Dalam penyelidikan komparatif Ziemke, reaksi Florence
ditemukan positif pada 70%, dan reaksi Barberio positif di 26%, dari kasus yang
diselidiki.

e. Pemeriksaan Asam Fosfatase


Kelenjar prostat laki-laki memproduksi dan mensekresi menjadi semen
dengan jumlah enzim asam fosfatase (AP) yang tinggi. Tes asam fosfat
merupakan tes untuk mendeteksi cairan semen, bergantung pada identifikasi
enzim yang dikenal sebagai asam fosfatase (AP). Cairan tubuh seperti darah, air
liur, urin, cairan vagina, dan cairan lain juga mengandung asam fosfatase. Namun,
jumlah AP dalam cairan semen lebih besar daripada yang ditemukan dalam
jaringan lainnya. Hal ini membuat AP penting untuk penyaringan cairan semen
(Lisa Gefrides & Katie Welch, 2011) (Kho & Bee-Ee, 2010).
Deteksi asam fosfatase hanya dianggap sebagai tes presumtif, yaitu
identifikasi dugaan cairan semen karena cairan tubuh lain juga mungkin
memberikan reaksi positif; oleh karena itu, hasil tes positif menunjukkan
kemungkinan adanya cairan semen namun sebenarnya harus dikonfirmasi dengan
metode pengujian lainnya (tes konfirmatif) (Lisa Gefrides & Katie Welch, 2011).

70
Kecepatan dan intensitas reaksi perubahan warna dapat digunakan untuk
menentukan jika noda yang dimaksud adalah cairan semen. Perubahan warna
yang cepat dengan warna intens sangat menunjukkan bahwa noda cairan semen.
Perubahan warna yang lambat dan lemah mungkin menunjukkan baik sejumlah
kecil cairan semen atau kehadiran tubuh yang berbeda. Karena tes untuk asam
fosfatase sangat sensitif, kurangnya perubahan warna dapat menunjukkan bahwa
tidak ada cairan mani hadir; namun demikian, itu juga dapat menunjukkan bahwa
tingkat AP berada di bawah batas deteksi tes (Lisa Gefrides & Katie Welch,
2011).
Dengan menggunakan reaksi kimia standar, laboratorium forensik dapat
menganalisis noda yang diberikan untuk membuktikan adanya enzim tersebut.
Jika dicampurkan dengan cairan Alpha-Naftil fosfat asam dan Brentamine Fast
Blue, AP akan menghasilkan warna ungu gelap dalam waktu kurang dari satu
menit (tes juga dikenal sebagai tes Brentamine Spot) (Kho & Bee-Ee, 2010).
Tes untuk AP tetap sangat presumtif karena berhubungan dengan fakta
bahwa cairan vagina dan cairan tubuh lainnya juga mengandung kadar enzim yang
dapat terdeteksi. Reaktivitas enzim AP non-semen tentunya lebih lambat bila
menggunakan tes yang disebutkan di atas, karena tidak semua enzim AP dalam
tubuh yang sama sesuai dengan tingkat aktivitasnya. AP telah terdeteksi pada
sampel yang dikeringkan beberapa tahun setelah noda diendapkan. Namun,
kelembaban dan panas akan mengakibatkan pemecahan AP dalam hitungan hari.
Analisis swab vagina pasca-coital menunjukkan bahwa aktivitas AP nyata akan
menurun setelah 24 jam dan berkurang setelah 48 jam (Kho & Bee-Ee, 2010).
Berbagai metode pengujian yang dilakukan oleh Dale L. Laux, M.S dari
Serologis Research Institute (SERI) tentang deteksi asam fosfatase, pengambilan
sampel untuk menunjukkan asam fosfatase. Reaksi enzimatik natrium-α-naftil
fosfat oleh asam fosfatase dan konversi berikutnya o-dianisidine untuk senyawa
berwarna adalah prosedur tes yang dilakukan untuk mendeteksi cairan semen.
Serologis Research Institute (SERI) menghasilkan bubuk yang disebut tes ap spot.
Ketika bubuk dilarutkan dalam air, dapat digunakan untuk membuktikan adanya
cairan semen (Dale L. Laux, Tambasco, & Elisabeth A. Benzinger, 2000).

71
Asam fosfatase diperoleh dari Sigma Chemical Company. Nomor produk
adalah P-1146, Lot 051K7038 dan diisolasi dari kentang. 50 unit kentang yang
dibeli, yang terdiri dari 7,5 mg memiliki aktivitas 6,7 unit/ mg (50,25 unit).
Padatan dilarutkan dalam 200 mL air deionisasi sehingga menghasilkan
pengenceran kapas swab kering memiliki unit berikut asam fosfatase: 25, 17, 5.6,
1.8, 0.6, 0.2, 0,05 dan 0,02 (Dale L. Laux, Tambasco, & Elisabeth A. Benzinger,
2000).
Pengujian swab kering untuk menguji sensitivitas dari tes asam fosfatse
dilakukan dengan cara sebagai berikut; Air deionisasi ditambahkan ke sepotong
kecil kertas saring Whatman. Setiap swab ditekan terhadap kertas saring kuat
antara ibu jari dan telunjuk selama sepuluh detik. Setetes baru disiapkan uji SERI
ap spot ditambahkan ke setiap bagian dari kertas saring whatman dan warna
perubahan dicatat setelah 10 menit (Dale L. Laux, Tambasco, & Elisabeth A.
Benzinger, 2000).

Gambar 4.5. Satu tetes larutan deionisasi ditambahkan ke kertas saring


whatman kemudiandiambil swab asam fosfatase yang diencerkan (25-0,02
unit). Reaksi positif (perubahan warna ungu) diperoleh pada 0,6 unit asam
fosfatase (Dale L. Laux, Tambasco, & Elisabeth A. Benzinger, 2000).

72
Sedangkan untuk menguji stabilitas dari pemeriksaan asam fosfatase pada
cairan semen, dapat dilakukan seperti tes berikut ini. SERI uji ap spot disiapkan
segara setiap hari dan digunakan untuk analisis pemeriksaan. Reagen
dipertahankan dalam botol yang terlindung dari cahaya pada suhu kamar.
Whatman, kertas saring yang telah deionisasi dan kapas-tipped mengandung 25
unit asam fosfatase ditekan pada 5 bidang kertas. Prosedur yang sama diikuti
dengan 17 unit asam fosfatase. Tempat uji reagen SERI ap (reagen segar, 1 hari, 2
hari, 3 hari, 4 hari dan 5 hari) ditambahkan ke kertas saring dan perubahan warna
dicatat setelah 10 menit. Metode yang sama juga dilakukan dengan reagen tes
SERI ap tempat yang disimpan beku selama 1 sampai 5 hari, untuk mengetahui
pengaruh reagen asam fosfat freeze terhadap satbilitas tes asam fosfat itu sendiri
(Dale L. Laux, Tambasco, & Elisabeth A. Benzinger, 2000).

Gambar 4.6. Kertas saring Whatman dengan tetes 25 dan 17 unit asam
fosfatase pada kondisi reagen segar, 1 hari, 2 hari, 3 hari dan 4 hari (Dale L.
Laux, Tambasco, & Elisabeth A. Benzinger, 2000)

73
Sebuah penurunan aktivitas diamati dalam uji reagen ondisi 1 hari, namun
masih bereaksi cukup baik. Pada dua hari, aktivitas reagen turun secara signifikan,
dan kondisi empat hari telah kehilangan kemampuan untuk mendeteksi 25 unit
asam fosfatase (Dale L. Laux, Tambasco, & Elisabeth A. Benzinger, 2000).
The serologis Research Institute (SERI) menjual produk mereka sebut tes
ap spot. Ini berisi natrium-α-naftil fosfat dan o-dianisidine (Fast Blue
Brentamine). Jika asam fosfatase terdapat pada sampel dan ditambahkan setetes
tes ap spot ini, enzim AP akan mengkatalisis pemecahan natrium-α-naftil fosfat
menghasilkan naftil bebas yang bereaksi dengan o-dianisidine menghasilkan
senyawa berwarna ungu (Dale L. Laux, Tambasco, & Elisabeth A. Benzinger,
2000).
Pengujian selanjutnya dilakukan untuk menentukan apakah pembekuan
reagen asam fosfatase dapat meningkatkan stabilitas pada tes pemeriksaan asam
fosfatase. Dapat dilihat pada gambar 7, pembekuan dapat meningkatkan stabilitas
reagen. Namun, reagen beku tidak dikeluakan dari freezer dan tidak dicairkan,
tapi tetap dalam freezer. Karena apabila dicairkan, reagen ini akan memiliki hasil
pemeriksaan seperti sebelumnya (Dale L. Laux, Tambasco, & Elisabeth A.
Benzinger, 2000).

Gambar 4.7. Berbagai unit asam fosfatase (25, 17, 6 dan 2 unit) disimpan di
atas kertas saring tes ap spot beku untuk berbagai hari (reagen segar, 1, 2, 5
hari) (Dale L. Laux, Tambasco, & Elisabeth A. Benzinger, 2000)

74
Interpretasi perubahan warna yang menunjukkan hasil positif bisa saja
bersifat subjektif. Jika perubahan warna ungu, terutama jika terjadi dengan cepat,
kuat menunjukkan adanya cairan semen dan akan menuntut pengujian lebih lanjut.
Hasil ringan seperti 0,6-0,18 unit (Gambar 5) mungkin merupakan hasil dari
cairan semen yang sangat lemah atau kadar asam fosfatase endogen. Tapi
perubahan warna ungu ini tidak berarti menunjukkan adanya sperma, pengujian
berikutnya untuk P30 dan bisa menunjukkan spermatozoa negatif. Analis yang
berpengalaman akan mengakui bukan perubahan warna ungu benar menunjukkan
keberadaan sperma dalam cairan semen.
Pemeriksaan asam fosfatase tetap tes penting yang dikumpulkan dari
korban kejahatan seksual dan untuk pengujian noda yang ditemukan pada pakaian
atau benda lainnya. Ahli biologi forensik yang berpengalaman tahu bahwa semua
noda yang berubah menjadi warna ungu belum tentu mengandung sperma dan
semua noda semen tidak berwarna ungu. Pemetaan asam fosfatase adalah metode
murah dan cepat untuk skrining noda yang dicurigai mengandung semen dan atau
sperma.

Pemeriksaan Konfirmatif
a. Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen (PSA/P30)
Laboratorium forensik menggunakan tes yang dikenal sebagai ABAcard
atau tes P30 untuk menyaring PSA. Beberapa metode yang berbeda dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi kehadiran p30 pada item. Tes deteksi p30
tradisional menggunakan metode elektroforesis atau difusi seperti Crossover
elektroforesis dan Ouchterlony difusi ganda, atau ELISA. Alat tes komersial
untuk p30 juga tersedia dan telah menjadi lazim di laboratorium forensik karena
sensitivitas dan kemudahan penggunaannya. Semua metode ini memerlukan
pemotongan kecil noda AP-positif diinkubasi dalam air atau saline sampai
direhidrasi. Setelah itu, cairan dipisahkan dari pemotongan dengan sentrifugasi
sehingga noda akan disimpan dalam bentuk cair bukan dikeringkan untuk
pemotongan. Pada titik ini, sebagian dari noda diekstrak dapat digunakan untuk
menguji kehadiran p30 (Lisa Gefrides & Katie Welch, 2011).

75
Tidak semua kasus di mana air mani diidentifikasi dapat dikonfirmasikan
dengan mikroskop. Jika air mani milik laki-laki yang vasectomized, atau laki-laki
dengan cacat bawaan lain dari sistem reproduksi laki-laki, spermatozoa mungkin
tidak ada dalam cairan semen. Dalam kasus seperti ini, berguna untuk mengetahui
metode untuk mengkonfirmasi adanya cairan semen. Hal ini untuk menguji
keberadaan protein tertentu dalam cairan semen yang dikenal sebagai antigen
spesifik prostat (PSA), juga disebut sebagai p30 di forensik terminologi (Lisa
Gefrides & Katie Welch, 2011).
Prostate specific antigen (PSA, juga dikenal sebagai p30), merupakan
glikoprotein yang diproduksi oleh kelenjar prostat dan disekresi ke plasma cairan
semen, merupakan penanda valid untuk mendeteksi semen bukti dari kasus pidana
ataupun sampel oleh orang yang telah di vasektomi atau individu dengan
azoospermia. Metode untuk mendeteksi PSA meliputi difusi ouchterlony ganda,
crossover elektroforesis, immunoelectrophoresis, imunodifusi radial, dan ELISA
(Hochmeister, et al.).
Namun, beberapa prosedur ini memiliki sensitivitas rendah atau rumit dan
memakan waktu. Untuk skrining klinis peningkatan kadar PSA dalam serum yang
mungkin menunjukkan adanya kanker prostat, beberapa Tes PSA sensitif berbasis
membran telah dikembangkan dan tersedia secara komersial. Tes-tes ini
sederhana, relatif cepat untuk dilakukan, membutuhkan peralatan minim, dan
menghasilkan hasil yang mudah untuk diketahui. Selain itu, tes ini memberikan
sensitivitas berbasis seperti Tes ELISA (Hochmeister, et al.).

76
Gambar 4.8. Reaksi Antigen-antibody complex pada pemeriksaan PSA
(Hochmeister, et al.)

Sebuah penelitian dilakukan untuk menguji sensitivitas dari tes PSA


berbasis tes ELISA ini. Kompleks antigen-antibodi yang dihasilkan bermigrasi
pada membran perangkat tes pada zona reaksi, dimana amobil poliklonal antibodi
PSA antihuman berada. Sandwich antigen-antibodi-antigen berkonsentrasi
partikel pewarna, mengakibatkan pembentukan garis, menunjukkan adanya PSA
manusia (Hochmeister, et al.).

77
Gambar 4.9. Hasil pemeriksaan PSA. Dua garis (+), satu garis (-)
(Hochmeister, et al.)

Sebuah kompleks terbentuk, berkonsentrasi partikel pewarna dan juga


menghasilkan pembentukan garis. Tes dianggap sah ketika salah satu baris di zona
kontrol diamati. Dengan hasil tes positif (0,4 ng PSA / mL), dua garis muncul,
dengan hasil negatif, hanya garis kontrol terlihat.
Tingkat serum PSA serendah 4ng / mL dapat dideteksi. Oleh karena itu,
cairan mani yang diencerkan sebanyak 1 di 1,3 juta dapat terdeteksi. Dalam
penelitian ini, deteksi PSA dalam cairan mani encer dari 1: 50,000-1: 1.000 000
memberikan sensitivitas yang sama sebagai uji berbasis ELISA. Cairan semen
dari lima spesies mamalia, berbagai cairan tubuh perempuan, air liur dan keringat
dari donor laki-laki, dan penyeka dubur semua diuji dan hasilnya negatif. Semua
noda semen pada kain katun yang disimpan pada suhu kamar sejak 2-30 tahun
dinyatakan positif. Seperti yang diharapkan, beberapa sampel urin laki-laki diuji
positif sementara yang lain diuji negatif (Hochmeister, et al.).
Deteksi PSA dalam sampel urin positif dapat disebabkan baik oleh
sedikitnya jumlah cairan prostat, sebuah proses inflamasi di prostatitis, atau
benign prostatic hyperplasia. 50 swab vagina dari kasus yang pertama kali
dianalisis menggunakan uji Asam fosfatase, hasilnya tiga puluh lima dinyatakan
positif. Kemudian dilakukan uji PSA, semua yang positif uji AP juga positif untuk
PSA, dan tujuh dari sampel negatif uji AP positif untuk PSA. Graves et al.
menjelaskan bahwa PSA antigen terdeteksi dalam cairan vagina untuk jangka
waktu rata-rata 27 jam setelah coitus, jika dibandingkan dengan hanya 14 jam
untuk uji asam fosfatase. Secara umum, tidak ada hubungan hasil tes positif untuk
uji AP atau rendahnya hasil uji AP berhubungan dengan kurangnya sperma
(karena tingkat endogen AP terkadang terdeteksi dalam cairan vagina). Karena
PSA biasanya tidak terdeteksi dalam cairan vagina, bahkan pada tingkat yang
rendah dapat menjadi indikasi kehadiran sperma. Oleh karena itu tes PSA

78
merupakan indikator yang lebih konfirmatif untuk menentukan adanya sperma
dalam cairan semen (Hochmeister, et al.).

Gambar 4.10. Hasil tes negatif palsu, pada konsentrasi PSA lebih dari
50.000 ng /mL (Hochmeister, et al.)

Sebuah hasil negatif dalam tes PSA mungkin mengindikasikan adanya


antigen, antigen di bawah tingkat deteksi, atau kelebihan antigen dalam sampel.
Seperti dijelaskan oleh Hochmeister et al terkait efek dosis tinggi, harus
dipertimbangkan ketika melakukan immunoassay berbasis membran. Dosis tinggi
telah diamati pada konsentrasi PSA lebih dari 50.000 ng /mL. Berdasarkan
pengamatan ini, maka direkomendasikan bahwa pengenceran cairan sperma
setidaknya untuk 1: 100 harus digunakan untuk menghindari dosis tinggi. Hal ini
dapat dicapai baik dengan mengekstraksi lebih kecil porsi sampel, dengan
meningkatkan volume ekstraksi, atau dengan cara pengenceran ekstrak sebelum di
uji.

Gambar 4.11. High dose hook effect pada hasil tes negatif palsu.
(Hochmeister, et al.)

79
Semua metode yang mendeteksi p30 bergantung pada pembentukan
antibodi-antigen kompleks. Jika air mani hadir dalam noda, pengikatan p30 untuk
antibodi uji menghasilkan hasil visual. Kurangnya hasil di salah satu tes akan
menunjukkan bahwa noda tidak mengandung air mani atau yang tidak cukup hadir
untuk memfasilitasi terlihat Reaksi. Tes ini dapat digunakan sendiri untuk
mengkonfirmasi semen, atau dapat digunakan bersama dengan metode
mikroskopis yang akan dijelaskan (Lisa Gefrides & Katie Welch, 2011)
(Hochmeister, et al.).

b. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan cairan semen dengan hasil positif yang telah diuji dengan tes
asam fosfatase (AP) dapat dikonfirmasi ulang dengan deteksi mikroskopis
spermatozoa. Swab positif atau potongan kecil dari noda yang positif dapat
dioleskan ke slide mikroskop dan kemudian diwarnai untuk visualisasi. Dua
larutan yang umum digunakan untuk visualisasi spermatozoa yang cepat yaitu
nuklir merah (larutan merah) dan picroindigocarmine (larutan hijau) dan kadang-
kadang disebut sebagai larutan pohon Natal karena kombinasi warna merah-hijau.
Saat diteteskan, sel-sel epitel dan spermatozoa memiliki penampilan khusus (Lisa
Gefrides & Katie Welch, 2011).

Gambar 4.12. Pemeriksaan mikroskopik pada cairan semen (Lisa Gefrides &
Katie Welch, 2011)

80
Inti dari sel epitel akan berubah menjadi merah sementara sitoplasma
menjadi hijau atau biru. Kepala spermatozoa akan berubah menjadi merah dengan
ringan atau ujung putih sedangkan ekor, jika ada, akan berubah menjadi biru-hijau
(Lisa Gefrides & Katie Welch, 2011).
Mikroskopis mengidentifikasi spermatozoa merupakan indikator mutlak
adanya cairan semen pada sampel. Hal ini juga berguna karena jumlah relatif
spermatozoa dan sel epitel dapat dinilai. Penentuan ini menjadi penting selama
analisis DNA berikutnya karena spermatozoa mengandung DNA laki-laki
sementara sebagian besar epitel, sel-sel seksual pria-wanita akan mengandung
DNA perempuan dari pelapor. Kelemahan menggunakan mikroskop untuk
identifikasi spermatozoa adalah bahwa hal itu dapat lebih memakan waktu
daripada metode konfirmasi protein (uji PSA) yang telah dijelaskan sebelumnya
dan belum tentu spesifik untuk spermatozoa manusia saja (Lisa Gefrides & Katie
Welch, 2011).

4.3 Penyidikan forensik pada Kejahatan Seksual


Terkait dengan penyidikan suatu tindak pidana,jenis tindak pidana ini
pada umumnya diketahui dari adanya pengaduan atau laporan yang dilakukan
oleh korban, orang tua korban, atau keluarga korban lainnya. pengaduan dalam
hal ini yaitu sebagaimana dimaksudkan pada KUHAP Pasal 1 butir 25 yaitu
pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada
pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah
melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. sedangkan laporan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 butir 24 KUHAP yaitu
pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban
berdasarkan Undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau
sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
Terhadap pengaduan atau laporan mengenai terjadinya tindak pidana
kejahatan seks, kemudian dilakukan tindakan lebih lanjut oleh penyidik yaitu
serangkaian tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. tindakan penyidikan terhadap tindak pidana

81
kejahatan seks sebagai salah satu jenis tindak pidana kesusilaan dalam
pelaksanaannya mempunyai kekhususan karena bentuk dari tindak pidana
tersebut.
Tindak pidana kejahatan seks yang diatur dalam Pasal 285 KUHAP
mensyaratkan adanya perbuatan memaksa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan terhadap seorang wanita untuk bersetubuh dengan dirinya di luar
pernikahan, dengan sendirinya penyidikan terhadap tindak pidana ini akan
mengusut suatu perbuatan asusila mengenai persetubuhan yang menimbulkan
korban seorang wanita. terhadap tindak pidana ini pada umumnya petugas
penyidik terdiri dari penyidik wanita yang diharapkan mampu melakukan
pendekatan terhadap wanita korban kejahatan seks yang sering mengalami
trauma psikologis akibat kejahatan seks yang dialami, dengan tujuan dapat
mengumpulkan keterangan dan bukti selengkap mungkin dalam rangka
menemukan kebenaran materiil perkara tersebut.
Visum et repertum yang dibuat oleh dokter dari hasil pemeriksaan
medis yang dilakukannya terhadap korban kejahatan seks merupakan bentuk
keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam kedua Pasal KUHAP tersebut
yang diberikan dalam bentuk keterangan tertulis. Pada proses penyidikan,
penyidik mempunyai tugas yang sangat penting yaitu mencari dan
mengumpulkan bukti-bukti serta menemukan tersangkanya.
Dari bukti-bukti tersebut akan semakin jelas diketahui terjadinya suatu
tindak pidana. bukti-bukti ini pula yang diajukan ke persidangan oleh penuntut
umum sebagai alat bukti yang sah. oleh karena itu bukti yang dikumpulkan
oleh penyidik harus kuat, apabila penyidik mengalami kesulitan dalam
pemeriksaan karena sifat perkaranya memiliki kekhususan seperti pada perkara
tindak pidana kejahatan seks dimana harus dibuktikan adanya unsur
persetubuhan, penyidik dapat meminta bantuan dokter spesialis untuk membuat
visum et repertum dalam rangka memastikan unsur tersebut.
Mengenai barang bukti berupa visum et repertum, dalam kasus
kejahatan seks hal ini dimintakan segera setelah diterimanya pengaduan oleh
penyidik. atas pengaduan yang diterima, oleh penyidik kemudian dibuatkan
Laporan Polisi yaitu laporan tertulis yang dibuat oleh petugas Polri tentang

82
adanya pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau
kewajiban berdasarkan Undang-undang, bahwa telah atau sedang terjadi
peristiwa pidana.
Setelah dibuat laporan polisi kemudian dilakukan prosedur untuk
memperoleh visum et repertum yang bertujuan untuk mengetahui keadaan
korban terutama terkait dengan pembuktian unsur-unsur persetubuhan dan
ancaman kekerasan. kekerasan dalam tindak pidana kejahatan seks. pembuatan
visum et repertum harus dilakukan segera setelah diterimanya pengaduan
tindak pidana kejahatan seks agar keadaan korban tidak begitu banyak
mengalami perubahan dan dapat diketahui secepat mungkin setelah terjadinya
tindak pidana kejahatan seks. dalam prosedur untuk mendapatkan visum et
repertum tersebut, hal ini hanya dilakukan oleh penyidik sebagaimana tugas
dan wewenanya yang telah diatur dalam Undang-undang. dalam perkara pidana
khususnya pada tahap penyidikan yang berhak meminta visum et repertum
adalah sebagai berikut :
a. Penyidik sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP yaitu pejabat
polisi RI dengan syarat kepangkatan serendah-rendahnya Pembantu Letnan
Dua Polisi (sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a jo.
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1983) yang
sekarang dengan berdasarkan Surat Keputusan No. Pol. : Skep/82/VI/2000
tentang Penetapan Berlakunya Kembali Penggunaan Pakaian Dinas Harian
di Lingkungan POLRI berubah menjadi Inspektur Polisi II (AIPDA Pol).
b. Penyidik Pembantu, sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) KUHAP yaitu
pejabat kepolisian RI dengan syarat kepangkatan serendah-rendahnya.
Sersan Dua Polisi (sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a
Peraturan pemerintah No.27 Tahun 1983) yang sekarang berubah menjadi
Brigadir Dua Polisi (BRIPDA Pol.)

Berdasarkan ketentuan yang ada, tata cara dalam permintaan visum et


repertum dalam perkara pidana adalah sebagai berikut:
 Permintaan harus diajukan secara tertulis, tidak dibenarkan mengajukan
permintaan secara lisan atau melalui telepon atau melalui pos.

83
 Surat permintaan harus dibawa sendiri oleh penyidik bersama-sama korban
atau barang buktinya ke Rumah Sakit, Puskesmas atau Dokter.
 Tidak dibenarkan meminta visum et repertum tentang keadaan atau
peristiwa yang lampau. hal ini mengingat akan adanya kewajiban
menyimpan rahasia Kedokteran bagi seorang Dokter.
 Di dalam Surat Permintaan Visum et Repertum harus dicantumkan :
a. jenis surat permintaan visum et repertum
b. Identitas korban sedapatnya sejelas mungkin
c. Keterangan tentang peristiwa kejadian dan keterangan lain
 Untuk korban luka yang meninggal dalam perawatan harus segera disusulkan
Surat Permintaan Visum et Repertum jenazah.
 Untuk permintaan visum et repertum jenazah, maka berarti bahwa jenazah
harus dioutopsi. tidak dibenarkan meminta visum et repertum luar saja, oleh
karena Dokter tidak mungkin memberikan Kesimpulan tentang sebab
kematiannya tanpa outopsi.
 POLRI bertanggung jawab atas keamanan Dokter selama melakukan outopsi,
sebab masih ada hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat terjadi akibat
keluarga jenazah menolak dilakukan outopsi. untuk ini sesuai dengan Pasal
134 ayat (2) KUHAP, perlu diberikan penjelasan oleh Penyidik tentang
perlunya outopsi tersebut. bahkan apabila dipandang perlu dapat ditegakkan
Pasal 222 KKUHAP.
 Sesuai dengan Pasal 133 ayat (3) KUHAP serta untuk mencegah
terjadinya kekeliruan, maka dalam pengiriman barang bukti termasuk jenazah
harus diberikan label yang bersegel.
Dalam prosedur untuk mendapatkan visum et repertum korban kejahatan
seks, sebagaimana ketentuan yang ada penyidik membuat Surat Permintaan
Visum et Repertum (SPVR) Korban Kejahatan seks yang secara administratif
ditujukan kepada Kepala Rumah Sakit tempat dilakukan pemeriksaan medis
terhadap korban. dalam surat tersebut termuat keterangan mengenai korban
sebagai berikut :
1. Nama,tanggal lahir/umur, kewarganegaraan, pekerjaan, agama dan alamat.
2. Tempat dan waktu terjadinya kejahatan seks

84
3. Tanggal dan jam pengaduan atau pelaporan kepada Polisi atau ditemukan
Polisi
4. Dibawa/datang ke kantor Polisi oleh siapa,tanggal dan jamnya atau
ditemukan oleh Polisi
5. Barang bukti yang disertakan agar disebutkan secara lengkap dan jelas

Pembuatan SPVR korban kejahatan seks ini sebagaimana pelaksanaan


ketentuan Pasal 133 ayat (2) KUHAP mengenai bentuk permintaan keterangan
oleh penyidik dimana disebutkan bahwa “Permintaan keterangan ahli
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam
surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan
mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat”. Permintaan visum et repertum ini
tidak hanya dapat dimintakan pada Rumah Sakit pemerintah namun juga dapat
dimintakan pada Rumah Sakit swasta. setelah dipenuhinya syarat administrasi
pembuatan SPVR oleh penyidik, kemudian oleh penyidik korban diantar ke
rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. selama pemeriksaan medis tersebut,
petugas harus memastikan bahwa benar telah dilakukan pemeriksaan medis
terhadap korban yang dimaksud.
Dalam pembuatan visum et repertum kejahatan seks, pemeriksaan
medis terhadap korban dilakukan oleh dokter yang memiliki keahlian/spesialis
kandungan dan penyakit kebidanan (Spesialis Obstetri Ginekologi) yang
memang berkompeten dalam melakukan pemeriksaan untuk membuktikan
unsur persetubuhan yang dialami korban kejahatan seks, yang dengan
sendirinya pemeriksaan medis, terhadap hal ini akan lebih terkonsentrasi pada
alat kelamin korban.
Sebagaimana prosedur yang telah dilakukan untuk mendapatkan visum
et repertum diatas, hasil visum et repertum baru dapat diketahui oleh penyidik
dalam jangka waktu antara 2 minggu sampai 1 bulan setelah pemeriksaan
terhadap korban. Hal ini mengingat bahwa dalam pembuatan visum et repertum
tersebut, juga dilakukan beberapa test laboratorium terhadap beberapa hal yang
ditemukan pada korban saat pemeriksaan.

85
Visum et repertum yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan medis
terhadap korban kejahatan seks mempunyai fungsi yang penting bagi penyidik
khusunya untuk mengetahui adanya unsur persetubuhan yang terjadi pada
korban. mengingat penyidik tidak mempunyai kemampuan dan keahlian untuk
membuktikan adanya tanda persetubuhan pada diri korban kejahatan seks,
maka fungsi visum et repertum
sangat penting untuk membuktikan hal tersebut, pemeriksaan yang
dillakukan penyidik terhadap korban kejahatan seks hanya sebatas pada
pemeriksaan luar fisik dan tidak mungkin dapat mengetahui tanda
persetubuhan yang terdapat dalam alat kelamin korban.
Disamping untuk membuktikan adanya tanda persetubuhan pada diri
korban, visum et repertum juga dapat memuat hasil pemeriksaan terhadap
adanya tanda kekerasan pada diri korban. terhadap unsur ini merupakan unsur
yang juga penting disamping unsur persetubuhan dalam tindak pidana
kejahatan seks. kedua unsur tersebut merupakan unsur utama yang harus dicari
dan ditemukan oleh penyidik dalam mengungkap suatu kasus kejahatan seks.
Visum et repertum yang memuat hasil pemeriksaan medis mengenai
keadaan korban yang dilakukan oleh dokter yang berwenang merupakan salah
satu barang bukti yang penting bagi penyidik untuk mengadakan tindakan lebih
lanjut dalam penyidikannya, seperti melakukan penggeledahan, penyitaan,
penahanan, atau tindakan penyidikan lainnya.
Berikut hal-hal yang secara umum termuat dalam visum et repertum
yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap korban tindak pidana
kejahatan seks yang dapat membantu penyidik dalam mengungkap terjadinya
tindak pidana kejahatan seks.
1. Pada bagian Pemberitahuan atau Hasil Pemeriksaan
Dalam visum et repertum yang dimintakan untuk penyidikan kasus
kejahatan seks, hasil pemeriksaan medis terhadap korban yang termuat pada
bagian ini pada umumnya adalah sebagai berikut :
a. Keterangan mengenai waktu dan keadaan fisik luar korban yang dilihat pada
saat dilakukan pemeriksaan oleh dokter. keadaan luar korban seperti
mengenai pakaian yang dikenakan (meliputi pakaian dalam), alas kaki yang

86
dikenakan, dan barang lain yang dikenakan korban. mengenai barang yang
dikenakan korban, hal ini diuraikan sejelas mungkin oleh dokter pemeriksa
mengingat hal tersebut juga penting bagi penyidik untuk menjadikan barang
tersebut sebagai barang bukti jika pakaian atau benda lainnya tersebut
dikenakan korban pada saat lainnya tersebut dikenakan korban pada saat
terjadinya tindak pidana kejahatan seks.
b. Hasil pemeriksaan medis terhadap adanya tanda kelainan dan atau tanda
kekerasan pada bagian tubuh yang meliputi : kepala, leher, dada, perut,
punggung, anggota gerak atas kiri dan kanan, anggota gerak bawah kiri dan
kanan.
c. Hasil pemeriksaan alat kelamin dengan colok dubur, meliputi pemeriksaan
terhadap :
- Otak Lingkar dubur (regangan baik atau tidak)
- Selaput lender poros usus (licin atau tidak)
- Selaput dara (mengalami robekan atau tidak, lama atau baru robekan
tersebut, pada arah jam berapa robekan tersebut berada)
- Kerampang kemaluan (terdapat luka atau tidak)
- Rahim (dalam ukuran normal atau mengalami pembesaran karena
kehamilan)
d. Hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap
- Lendir liang senggama (apakah didapati sel mani atau tidak)
- Air seni untuk pemeriksaan adanya kehamilan (positif atau negatif)

2. Pada bagian Kesimpulan


Bagian ini merupakan kesimpulan yang diambil dari hasil pemeriksaan
terhadap korban, pada umumnya berisi keterangan tentang :
a. Keadaan selaput dara penderita (pernah mengalami persetubuhan atau
tidak)
b. Adanya kehamilan atau tidak dan jika ada berapa usia kehamilan tersebut
c. Adanya tanda kekerasan atau tidak pada tubuh korban
d. Ditemukan sel mani atau tidak dalam liang senggama korban.

87
Bagian Pemberitahuan atau hasil pemeriksaan merupakan bagian yang
terpenting dari visum et repertum karena memuat hal-hal yang ditemukan pada
korban saat dilakukan pemeriksaan oleh dokter. bagian ini merupakan yang
paling obyektif dan menjadi inti visum et repertum karena setiap dokter
diharapkan dapat memberikan keterangan yang selalu sama sesuai dengan
pengetahuan dan pengalamannya. setiap bentuk kelainan yang terlihat dan
dijumpai langsung dituliskan apa adanya tanpa disisipi pendapat-pendapat
pribadi. pada bagian ini terletak kekuatan bukti suatu visum et repertum yang
bila perlu dapat dipakai sebagai dasar oleh dokter lain sebagai pembanding
untuk menentukan pandapatnya.
Dengan membaca hal-hal yang termuat dalam visum et repertum
terutama pada bagian Pemberitahuan seperti tersebut diatas, penyidik dapat
memperoleh gambaran yang cukup penting dan tidak sedikit mengenai tindak
pidana kejahatan seks yang terjadi pada korban.
Berdasarkan hasil pemeriksaan korban yang termuat dalam visum et
repertum penyidik dapat menjadikannya gambaran petunjuk mengenai hal-hal
sebagai berikut
1. Terdapatnya Unsur Persetubuhan Pada Diri Korban.
Unsur persetubuhan merupakan unsur penting yang harus dibuktikan
oleh penyidik dalam mengungkap suatu tindak pidana kejahatan seks. menurut
Ilmu Kedokteran Forensik persetubuhan diartikan suatu peristiwa dimana
terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau
tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai ejakulasi. Pemeriksaan unsur
persetubuhan dalam ini dipengaruhi dari bentuk dan elastisitas selaput dara,
besarnya penis dan derajat penetrasinya, ada tidaknya ejakulasi dan keadaan
ejakulasi itu sendiri, posisi persetubuhan, serta keaslian keadaan korban pada
waktu pemeriksaan.
Terhadap unsur persetubuhan, dalam visum et repertum tanda
terjadinya persetubuhan dapat dilihat pada hasil pemeriksaan selaput dara
korban, apabila terjadi robekan kemungkinan besar korban telah mengalami
persetubuhan, namun demikian tidak terdapatnya robekan juga tidak berarti
korban tidak mengalami persetubuhan. elastisitas selaput dara, besar kecilnya

88
penis, derajat penetrasi penis, serta posisi persetubuhan, dapat mempengaruhi
hasil pemeriksaan selaput dara korban.
Namun apabila menurut hasil pemeriksaan laboratorium terhadap lendir
liang senggama korban ditemukan sel mani maka hal ini merupakan tanda pasti
telah terjadi persetubuhan pada korban. demikian juga apabila terjadi
kehamilan serta adanya penyakit kelamin tertentu yang hanya menular dari
persetubuhan jelas merupakan tanda pasti akibat adanya persetubuhan.
Mengenai unsur persetubuhan apakah korban seperti wanita yang belum atau
pernah bersetubuh, hal ini selalu dinyatakan oleh Dokter pada bagian
kesimpulan visum et repertum tersebut. untuk mengetahui dan membuktikan
adanya unsur persetubuhan, pada umumnya penyidik mengacu pada hasil
pemeriksaan selaput dara di bagian Hasil Pemeriksaan serta pendapat dokter di
bagian hasil kesimpulan visum et repertum.
Dengan demikian terkait dengan hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan selaput dara untuk menentukan tanda persetubuhan sebagaimana
tersebut diatas, hal ini tidak begitu diperhatikan oleh penyidik, penyidik hanya
berpatokan pada hasil pemeriksaan yang sudah termuat dalam visum et repertum
tersebut.
2. Perkiraan Saat Terjadinya Persetubuhan Terhadap Korban
Saat terjadinya persetubuhan penting diketahui oleh penyidik dalam hal
memeriksa alibi tersangka yang dapat mengelak tindak pidana kejahatan seks
yang disangkakan. ada tidaknya sel mani pada liang senggama korban yang
dapat termuat dalam visum et repertum dapat menunjukkan saat terjadinya
persetubuhan. mengenai hal ini terdapat dasar pemeriksaan sperma yang
menunjukkan bahwa sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak dalam
waktu 4-5 jam post-coital.
Sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam
post-coital, dan bila wanitanya mati masih akan dapat ditemukan sampai 7-8
hari. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap lendir liang
senggama korban yang termuat dalam visum et repertum , hal ini dapat
dijadikan petunjuk bagi penyidik untuk memperkirakan saat terjadinya
persetubuhan dalam suatu tindak pidana kejahatan seks. demikian pula

89
mengenai hasil pemeriksaan terhadap umur kehamilan, hal ini juga dapat
dijadikan petunjuk oleh penyidik dalam hal menentukan kebenaran kapan
tindak pidana kejahatan seks dilakukan.
3. Adanya Unsur Kekerasan Pada Tubuh Korban
Unsur kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam penyidikan tindak
pidana kejahatan seks harus dapat ditemukan dan dibuktikan oleh penyidik agar
dapat memproses perkara tersebut lebih lanjut. adanya unsur persetubuhan
tanpa ditemukan adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan pada diri
korban, dapat menjadikan perkara tersebut dihentikan penyidikannya. visum et
repertum yang menerangkan mengenai tanda kekerasan pada tubuh korban
merupakan bukti yang dapat menunjukkan unsur kekerasan pada pengungkapan
tindak pidana kejahatan seks.
Untuk pembuktian adanya kekerasan pada tubuh korban kejahatan seks,
sebelumnya perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering ditemukan, yaitu
seperti di daerah mulut dan bibir, leher, putting susu, pergelangan tangan,
pangkal paha serta disekitar dan pada alat genital. luka-luka akibat kekerasan
pada kejahatan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku, bekas gigitan
serta luka-luka memar.
Di dalam hal pembuktian adanya kekerasan tidak selamanya kekerasan
meninggalkan jejak atau bekas yang berbentuk luka. oleh karena tindakan
pembiusan dikategorikan pula sebagai tindakan kekerasan, maka dengan
sendirinya diperlukan pemeriksaan medis untuk menentukan ada tidaknya obat-
obat atau racun yang sekiranya dapat membuat wanita menjadi pingsan. Dalam
visum et repertum tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban dapat diketahui
dari hasil pemeriksaan terhadap kepala, leher, dada, perut, punggung, anggota
gerak atas kiri dan kanan, anggota gerak bawah kiri dan kanan serta keadaan
kerampang kemaluan korban yang selalu termuat pada bagian pemberitaan.
4. Hasil pemeriksaan terhadap korban barang bukti lain yang terkait
dengan tindak pidana kejahatan seks
Dalam pembuatan visum et repertum yang dilakukan terhadap korban
kejahatan seks, biasanya disertakan barang bukti yang dapat menunjukkan
bekas terjadinya tindak pidana kejahatan seks, seperti misalnya celana dalam

90
korban, pakaian korban yang dipakai pada saat kejadian. pemeriksaan terhadap
benda-benda tersebut dimaksudkan untuk memeriksa adanya bekas darah atau
sperma yang dapat dicocokkan dengan darah dan sperma pelaku, disamping
kemungkinan adanya bekas perlawanan/tanda kekerasan yang terdapat pada
pakaian tersebut.
Hasil pemeriksaan barang bukti ini dengan sendirinya dapat
menguatkan kedudukan benda-benda tersebut sebagai salah satu barang bukti
yang terpenting, baik dalam tahap penyidikan maupun dalam tahap
pemeriksaan persidangan perkara tersebut. fungsi atau manfaat visum et
repertum sebagaimana terurai diatas menunjukkan fungsi teknis visum et
repertum yang dapat membantu dan member petunjuk bagi penyidik dalam
mengungkap suatu tindak pidana kejahatan seks. kelengkapan hasil
pemeriksaan terhadap korban yang tercantum dalam visum et repertum.
Serta kemampuan dan keterampilan penyidik dalam membaca dan
menerapkan hasil visum et repertum, menjadi hal yang penting dalam
menemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin pada pemeriksaan
suatu perkara tindak pidana kejahatan seks. visum et repertum dalam
penyidikan tindak pidana kejahatan seks membantu penyidik dalam upaya
mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang cukup disamping bukti-bukti
lainnya seperti keterangan dari korban, saksi, tersangka, serta pemeriksaan
barang bukti lainnya. Dengan adanya visum et repertum yang memuat hasil
pemeriksaan medis terhadap seorang wanita yang diduga sebagai korban
kejahatan seks, seorang penyidik akan memperoleh suatu keyakinan bahwa
suatu tindak pidana yang dimaksud benar telah terjadi atau sebaliknya.
Fungsi visum et repertum dalam pengungkapan tindak pidana kejahatan
seks pada tahap penyidikan, tentunya harus didukung dengan pemeriksaan
bukti-bukti lainnya agar dicapai kebenaran materiil yang sejati dalam
pemeriksaan perkara tersebut. terdapat keterbatasan hasil visum et repertum
dalam fungsinya membantu penyidik dalam mengungkap suatu tindak pidana
kejahatan seks, hal ini terjadi khususnya terkait dengan keaslian keadaan
korban kejahatan seks pada waktu pemeriksaan.

91
Keadaan lainnya yang sudah terjadi pada diri korban sebelum tindak
pidana kejahatan seks terjadi (misalnya korban sebelumnya dalam keadaan
tidak virgin), serta jangka waktu diketahuinya atau dilaporkannya tindak pidana
tersebut. adanya kemungkinan hal-hal yang bisa mempengaruhi hasil
pemeriksaan terhadap korban yang termuat dalam visum et repertum tersebut,
maka diperlukan tindakan lain oleh penyidik agar hasil visum et repertum
justru tidak ditafsirkan dengan salah. tindakan lain seperti dengan mencari
keterangan dari korban, tersangka, saksi-saksi, pemeriksaan barang bukti dan
bila perlu pemeriksaan terhadap tempat kejadian perkara.
Visum et repertum yang didalamnya memuat hasil pemeriksaan yang
menyebutkan adanya tanda persetubuhan dan kekerasan pada diri korban,
apabila terdapat kesesuaian dengan pengaduan dan laporan tindak pidana
tersebut, hal ini mempunyai peran yang sangat penting bagi penyidik dalam
mengungkap lebih jauh tindak pidana kejahatan seks. visum et repertum dapat
menjadi bukti permulaan yang cukup yang menjadi dasar penyidik untuk
melakukan penindakan. bukti permulaan yang cukup yaitu alat bukti untuk
menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyarakatkan adanya minimal
Laporan Polisi ditambah salah satu alat bukti yang sah. penindakan yaitu setiap
tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang maupun benda yang ada
hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi, seperti pemanggilan tersangka
dan saksi, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
Menurut penyidik visum et repertum dalam pemeriksaan perkara pidana
di persidangan dianggap sebagai alat bukti surat. sebagaimana jenis-jenis alat
bukti yang sah yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP juncto Pasal
187 KUHAP tentang penjelasan yang dimaksud dengan alat bukti surat, visum
et repertum telah memenuhi kriteria alat bukti tersebut. pembuatan visum et
repertum yang dilakukan oleh dokter spesialis kandungan dan kebidanan dan
permintaan pembuatannya yang dilakukan dengan mengajukan SPVR (Surat
Permintaan Visum et Repertum) korban kejahatan seks. hal ini telah memenuhi
ketentuan mengenai bantuan keterangan ahli yang dapat dimintakan penyidik
sebagaimana diatur dalam Pasal 133 ayat (1) dan (2) KUHAP.

92
Berdasarkan fungsi yang dapat diberikan visum et repertum dalam
penyidikan tindak pidana kejahatan seks sebagaimana terurai diatas, hal ini
menyebabkan kedudukan visum et repertum menjadi salah satu alat bukti yang
penting dan harus ada dalam pemeriksaan perkara tersebut sampai di tahap
persidangan. Pembuatan visum et repertum dalam tahap penyidikan tindak
pidana kejahatan seks adalah hal yang mutlak dan harus dilaksanakan.
Tidak adanya visum et repertum dalam berkas perkara tindak tindak
pidana kejahatan seks yang dibuat penyidik yang kemudian diserahkan kepada
penuntut umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2)
KUHAP, dapat menyebabkan berkas perkara tersebut dianggap tidak lengkap/
tidak sempurna dan akan dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik.
penuntut umum mempunyai pandangan yang sama dalam melihat visum et
repertum pada pemeriksaan tindak pidana kejahatan seks, terhadap pembuktian
adanya unsur persetubuhan hal ini secara lebih pasti dan lebih dapat
dipertanggungjawabkan hanya dapat dibuktikan dari hasil visum et repertum
yang dilakukan terhadap korban.
Berdasarkan Pasal 138 (2) KUHAP yaitu apabila hasil penyidikan
ternyata oleh penuntut umum dianggap belum lengkap maka penuntut umum
akan akan mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai dengan
petunjuk mengenai hal yang harus dilengkapi. hal ini berarti bahwa bukti-bukti
yang dikumpulkan oleh penyidiklah yang akan diajukan oleh penuntut umum
ke pengadilan. beban pembuktian dalam pemeriksaan perkara pidana pada
hakekatnya dilaksanakan oleh penyidik, karena itu penyidik akan berupaya
semaksimal mungkin untuk mengumpulkan alat-alat bukti yang selanjutnya
akan diperiksa kembali oleh penuntut umum apakah alat bukti tersebut telah
cukup kuat dan memenuhi syarat pembuktian dalam KUHAP untuk diajukan
ke persidangan.
Adanya visum et repertum dalam penyidikan suatu tindak pidana
kejahatan seks, merupakan salah satu bentuk upaya penyidik untuk
mendapatkan alat bukti yang selengkap dan semaksimal mungkin yang
nantinya akan dipakai dalam pemeriksaan perkara tersebut di persidangan.
visum et repertum sebagai suatu alat bukti yang dibuat berdasarkan sumpah

93
jabatan seorang dokter berfungsi member keyakinan dan pertimbangan bagi
hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. terhadap unsur
persetubuhan dan kekerasan atau ancaman kekerasan yang harus ada dalam
tindak pidana kejahatan seks. hal ini salah satunya dapat dilihat dan dibuktikan
dalam visum et repertum terhadap korban. hakim dapat mempunyai keyakinan
dan melihat terbuktinya unsur persetubuhan dan kekerasan pada diri korban
serta petunjuk lainnya dari hasil visum et repertum yang disertakan sebagai alat
bukti dipersidangan.
Melihat fungsi visum et repertum dalam pemeriksaan suatu tindak
pidana kejahatan seks yang tidak hanya berperan dalam membantu penyidik
mengungkap tindak pidana tersebut, bahkan hal ini juga penting dalam
pemeriksaan persidangan perkara tersebut, maka upaya penyidik untuk
meminta pembuatan visum et repertum sejak tahap awal pemeriksaan perkara
tersebut merupakan hal yang penting dan harus dilakukan. kedudukan visum et
repertum sebagai suatu alat bukti surat dalam pemeriksaan persidangan perkara
tersebut, dapat menjadi pertimbangan dari minimal dua alat bukti yang
disyaratkan bagi hakim dalam memutus suatu perkara sebagaimana hal ini
ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. dalam hal ini diharapakan visum et
repertum dapat berfungsi secara optimal dalam membantu hakim menjatuhkan
putusan yang tepat atas perkara tindak pidana kejahatan seks yang
diperiksanya.

4.3.1 Peranan Visum Et Repertum Dalam Proses Penyidikan


Terkait dengan peranan Visum Et Repertum, sebelum kita mengulas
tentang bagaimana peranan Visum Et Repertum maka kita akan telaah terlebih
dahulu dengan apa yang di maksud dengan kata “peranan”. Dalam kamus
Besar Bahasa Indonesia kata “peran” diartikan sebagai seperangkat tingkat
yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat”.
Sedangkan kata “peranan” diartikan yaitu “bagian dari tugas yang harus
dijalankan”. Kata “pemeranan” diartikan “proses, cara, perbuatan memahami,
perilaku yang diharapkan dan diikatkan dengan kedudukan seseorang.

94
Dari definisi tentang “peranan” di atas yang berartikan sebagai tugas
yang harus dijalankan, maka kemudian ketika kata “peranan” disandingkan
dengan kalimat Visum Et Repertum maka yang di maksud adalah tugas, fungsi
dari pada Visum et repertum yang khususnya dalam skripsi ini lebih di
tekankan pada perkara pidana pencabulan.
Menurut H.M. Soedjatmiko, sebagai suatu keterangan tertulis yang
berisi hasil pemeriksaan seorang dokter ahli terhadap barang bukti yang ada
dalam suatu perkara pidana, maka visum et repertum mempunyai peran
sebagai berikut:
a. Sebagai alat bukti yang sah.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam KUHAP pasal 184 ayat (1)
b. Bukti penahanan Tersangka
Didalam suatu perkara yang mengaharuskan penyidik melakukan
penahanan tersangka pelaku tindak pidana, maka penyidik harus
mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut. Salah
satu bukti adalah akibat tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka
terhadap korban. Visum Et Repertum yang dibuat oleh dokter dapat dipakai
oleh penyidik sebagai pengganti barang bukti untuk melengkapi surat perintah
penahanan tersangka.
c. Sebagai bahan pertimbangan hakim.
Meskipun bagian kesimpulan Visum Et Repertum tidak mengikat
hakim, namun apa yang diuraikan di dalam bagian pemberitaan sebuah
Visum Et Repertum adalah merupakan bukti materiil dari sebuah akibat tindak
pidana, disamping itu bagian pemberitaan ini adalah dapat dianggap
sebagai pengganti barang bukti yang telah dilihat dan ditemukan oleh dokter.
Dengan demikian dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi hakim yang
sedang menyidangkan perkara tersebut. (Soedjatmiko,2001)

95
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Ilmu Kedokteran Forensik juga dikenal dengan nama Legal Medicine
adalah salah satu cabang spesialistik dari llmu Kedokteran yang mempelajari
pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta
keadilan. Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran
Forensik adalah apa yang dilihat dan diketemukan. Tujuan dari Visum Et
Repertum adalah untuk memberikan kepada hakim suatu kenyataan atau fakta-
fakta dari barang bukti tersebut atas semua keadaan sebagaimana tertuang dalam
bagian pemberitaan,
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Ada
empat sifat kekerasan, yaitu: pertama, kekerasan terbuka (overt). Kedua,
kekerasan tertutup (covert). Ketiga, kekerasan agresif. Keempat, kekerasan
defensif (Putri, 2006). Proses peradilan tentang kekerastan diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XX tentang penganiayaan.
Definisi dan jenis kejahatan seksual yang dianut diambil dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya dalam Bab XIV tentang
Kejahatan terhadap Kesusilaan (Meilia, 2012). Kejahatan seksual ini dapat
dilakukan dengan pemaksaan atau tanpa pemaksaan, baik berupa kejahatan fisik
maupun ancaman kejahatan. Dalam KUHP Pasal 285 tentang Perkosaan. Dalam
pasal 289 sampai 294 KUHP, juga diatur tentang perbuatan cabul sebagai salah
satu kejahatan terhadap kesusilaan. Secara internasional, masalah kejahatan
seksual ini juga diatur dalam Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1&2,
Pasal 68, Resolusi PBB 1820.
Ada 15 jenis kejahatan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan dari
hasil pemantauannya selama 15 tahun (1998– 2013), yaitu Perkosaan, Intimidasi
Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan, Pelecehan Seksual,
Eksploitasi Seksual, Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual, Prostitusi
Paksa, Perbudakan Seksual, Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung,
Pemaksaan Kehamilan, Pemaksaan Aborsi, Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi,

96
Penyiksaan Seksual, Penghukuman tidak manusiawi danbernuansa seksual,
Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi
perempuan, Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan
moralitas dan agama.
Secara umum pengertian kejahatan seksual pada anak adalah keterlibatan
seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak
mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum Kejahatan seksual
cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang
dewasa. Kejahatan seksual yang diatur dalam undang–undang diantaranya adalah
perkosaaan dan pencabulan.
Pada kasus kejahatan seksual tugas dokter adalah mencari adanya tanda-
tanda kejahatan dan adanya tanda-tanda persetubuhan. Pembuktian persetubuhan
dilakukan dengan dua cara yaitu membuktikan adanya penetrasi (penis) kedalam
vagina dan atau anus/oral dan membuktikan adanya ejakulasi atau adanya air mani
didalam vagina/anus. Pembuktian ini memerlukan waktu yang sangat singkat
antara kejadian dengan pemeriksaan/pengambilan barang bukti.

5.2 Saran
Tindak lanjut mengenai masalah kejahatan seksual di Indonesia belum
seluruhnya memenuhi ruang lingkup ideal, sehingga yang diperlukan adalah perlu
dilakukan penyuluhan mengenai tindak kejahatan seksual kepada masyarakat.

97
DAFTAR PUSTAKA

BKKBN. (2002). Pelecehan Seksual dan Kekerasan Seksual.


Finkelhor, D. (2012). Characteristics of crimes against juveniles. Dunham: Crimes
against Children Research Center.
Hamzah, A. (2001). Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Wewenang Kepolisian
dan Kejaksaan di bidang Penyidikan. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Hamzah, A. (2008). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Idries, A., & Tjiptomartono, A. L. (1982). Penerapan Ilmu Kedokteran
Kehakiman Dalam Proses Penyidikan. Jakarta: Karya Unipres.
Kejari. (1981). Hukum Acara Pidana, UU No 8 tahun 1981. Retrieved
from http://www.perpustakaan.depkeu.go.id/FOLDERDOKUMEN/
1252127651.pdf
KNP. (2011, November 15). Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani. Retrieved
12 21, 2016, from Komisi Nasional Perempuan:
www.komnasperempuan.go.id
KPU. (2002). Retrieved from Undang-Undang Republik Indonesia No.2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia:
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU%20KEPOLISIAN.pdf
KUHP. (2007). KUHP & KUHAP. Surat Putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007
Tentang Perubahan Pasal 154 dan 156 Dalam KUHP.
Prodjodikoro, W. (1977). Asas-asas Hukum Tatanegara di Indonesia. Jakarta:
Dian Rakyat.
Simandjuntak, B. (1981). Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. Bandung:
Tarsito.
Soesilo, R. (1980). Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal. Bogor:
Politea.
Umbara, C. (2010). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana. Bandung.

98
Mun’in Idries Abdul dan Agung Legowo Tjiptomartono, 2002 Penerapan Ilmu
Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya Unipres, Jakarta.
Hal.10.
I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman,
Rineka Cipta, Jakarta, 1992, Hal. 135.
I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman,
Rineka Cipta, Jakarta, 1992, Hal. 131.
Budiyanti , A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., Mu'nim, T. A., Sidhi, Hertian, S., . .
. Budiningsih, Y. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Muharany. (2006). Peranan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Pembuktian Tindak
Pidana Perkosaan Sebagai Kejahatan Kekerasan Seksual. Medan: USU
Respiratory.
Pertiwi, K. R. (2010). Penerapan Teknologi DNA dalam Indentifikasi Forensik.
Yogyakarta: Staf Pengajar pada Jurdik Biologi FMIPA UMY.
Sampurna, B. (2008). Peran Ilmu Forensik dalam Kasus-Kasus Asuransi.
Indonesian Journal of Legal and Forensik Sciences, 17-20.
Sampurna, B., Samsu, Z., & Siswaja, T. D. (2008). Peranan Ilmu Forensik Dalam
Penegakan Hukum: Sebuah Pengantar. Jakarta.
Kartika Ratna Pertiwi dan EvyYulianti. 2011. Pengembangan Modul Pengayaan
OSN SMP Materi Forensik. Laporan Penelitian. FMIPA UNY
Berent J. 2010. Role of experts in forensik medicine in opinioning for court and
insurance agencies. Arch Med Sadowej Kriminol. ;55(4): 247-50
Jia Jing Tao, JM Cameron, and Wang Xu. A Brief History of Forensik Medicine
in China. The Criminologist: 1988, Vol 12 p 67. 3
Ruby Hardiati Johny, 2011. Tindak Pidana Kekerasan pada Perempuan. Fakultas
Hukum Jendral Soedirman. Purwokerto (dapus 5)
Ahmad Hufad, 2003. Perilaku Kekerasan: Analisis Menurut Sistem Budaya dan
Implikasi Edukatif. Universitas Pendidikan Indonesia. Jakarta (dapus 4)
Silalahi, 2012. Kekerasan Terhadap Anak. Universitas Sumatera Utara. Medan

99
Nandika, 2009. Suatu Kajian Kriminologis Mengenai Kekerasan Terhadap
Perempuan Dalam Relasi Pacaran Heteroseksual. Jurnal Kriminologi
Indonesia Vol. 5 No. 1 Februari 2009 : 43 – 55. Jakarta
Prisca Putri, 2006 . Kekerasan Terhadap Anak. Universitas Diponegoro.
Semarang
Yaku Manfred Siraro, 2014. Mengenal Jenis-Jenis Kekerasan yang Dihadapi
Manusia. Fakultas Hukum Universitas Janabarda. Yogyakarta
Purba, 2008. Perilaku Kekerasan. Universitas Sumatera Utara. Medan
Erlya, 2014. Efek Kekerasan Pada Anak. www.alodokter.com. Diakses pada
tanggal 22 Desember 2016.
Rahmawati, 2015. Upaya Pencegahan Tindak Kekerasan di Indonesia.
www.kompasiana.com. diakses pada tanggal 22 Desember 2016.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bab
Penganiayaan.www.bphn.go.id. diakses pada tanggal 22 Desember 2016.
Fuadi, M. A. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi
Fenomenologi. Jurnal Psikologi Islam (JPI), http://psikologi.uin-
malang.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/Dinamika-Psikologis-
Kekerasan-Seksual-Sebuah-Studi-Fenomenologi.pdf.
Kalangit, A., Mallo, J., & Tomuka, D. (2013). Peran Ilmu Kedokteran Forensik
Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pemerkosaan Sebagai Kejahatan
Kekerasan Seksual.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=163630&val=1001
&title=PERAN%20ILMU%20KEDOKTERAN%20FORENSIK%20DALA
M%20PEMBUKTIAN%20TINDAK%20PIDANA%20PEMERKOSAAN%2
0SEBAGAI%20KEJAHATAN%20KEKERASAN%20SEKSUAL.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2013). Kekerasan
Seksual. http://www.komnasperempuan.go.id/wp-
content/uploads/2013/12/Kekerasan-Seksual-Kenali-dan-Tangani.pdf.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2014). 15 Bentuk
Kekerasan Seksual. Jakarta: Komnas Perempuan - Group.
Kristiani, N. M. (2014). Kejahatan Kekerasan Seksual (Perkosaan) Ditinjau Dari
Perspektif Kriminologi. Magister Hukum Udayana, 371-382.

100
Meilia, P. D. (2012). Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Korban (P3K)
Kekerasan Seksual. Cermin Dunia Kedokteran, 579-583.
Noviana, I. (2015). Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan
Penanganannya. Sosio Informa Vol. 01 Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI., 13-28.
Sulistyaningsih, E., & Faturochman. (2002). Dampak Sosial Psikologis
Perkosaan. Buletin Psikologi,
http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/JURNAL%20-%20Dampak%20Sosial-
Psikologis%20Perkosaan.pdf.
Susanti, R. (2012). Paradigma Baru Peran Dokter Dalam Pelayanan Kedokteran
Forensik. Majalah Kedokteran Andalas.
jurnalmka.fk.unand.ac.id/index.php/art/article/download/122/118.
Susiana, S. (2015). Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Dan Urgensi
Undang-Undang Tentang Kekerasan Seksual. Info Singkat Ksejahteraan
Sosial, 9-12.

Becker, J. V. (1994). Offenders : Characteristic and treatment. The future of


children, 177-197.
Center for the Study and Prevention of Violence. (2008). Juvenile sexual
aggression. Colorado: University of Colorado, Institute of Behavioral
Science.
De Luca, R. V., & Grayston, A. D. (1999). Female perpetrators of child sexual
abuse: A review of the clinical and empirical literature. Aggression and
Violent Behavior., 93-106.
Emily , D. (2008). annotated compiled bibliography by Emily Dworkin. annotated
cChild Sexual Abuse Prevention Information Packet. the National Sexual
Violence Resource Center.
Husnayain, K. I., & Utama, W. T. (2015). Tindak Kesusilaan pada Anak di
Bawah Umur. lampung: Karimah Ihda Husnayain, Winda Trijayanthi
UtaFakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Kalangit, A. (2010). PERAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DALAM
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN SEBAGAI

101
KEJAHATAN KEKERASAN SEKSUAL. PERAN ILMU KEDOKTERAN
FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN
SEBAGAI KEJAHATAN KEKERASAN SEKSUAL.
Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak. (2016). PROSEDUR
STANDAR OPERASIONAL SATUAN TUGAS PENANGANAN
MASALAH PEREMPUAN DAN ANAK. PROSEDUR STANDAR
OPERASIONAL SATUAN TUGAS PENANGANAN MASALAH
PEREMPUAN DAN ANAK.
Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. (2011). Pedoman Pencegahan
Pelecehan Seksual pada Perempuan. Pedoman Pencegahan Pelecehan
Seksual pada Perempuan.
Komnas Perempuan. (2015). Kekerasan seksual: Kenali dan tangani. Jakarta:
komnas perempuan.
Meilia, P. D. (2012). Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Korban (P3K)
Kekerasan Seksual. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran forensik dan
medikolegal Universitas Indonesia.
Nafisah, S. U. (2015). PENANGANAN PEREMPUAN KORBAN
KEKERASAN. PENANGANAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN.
Naqiyah, N. (2010). Konseling Komprehensif Mengatasi Tindak Kekerasan
Terhadap Anak Perempuan. Konseling Komprehensif Mengatasi Tindak
Kekerasan Terhadap Anak Perempuan.
Noviana, I. (2015). Kekeraan seksual terhadap anak: dampak dan
penanganannya. Jakarta: Ivo NovPusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI.
Paramastri, I., & Supriyati. (2010). Early Prevention Toward Sexual Abuse on
Children. Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children.
Simarmata, M. (2015). Proses rehabilitasi anak sebagai korban kekeran seksual.
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
spautri, r. (2015). modul forensik pemeriksaan kejahatan seksual. padang:
Universitas Andalas Padang.

102
US Departement of Justice. (2013). A National Protocol for Sexual Abuse
Medical Forensic Examinations. A National Protocol for Sexual Abuse
Medical Forensic Examinations, 135.
US Depertement of Justice. (2013). A National Protocol for Sexual Assault
Medical Forensic Examinations. A National Protocol for Sexual Assault
Medical Forensic Examinations, 111.
Widiastuti, D., & Sekartini, R. (2005, September). Deteksi Dini, Faktor Risiko,
dan Dampak Perlakuan Salah pada Anak. Sari Pediatri vol.7 no.2, pp.
105-112.
Young, M. H. (2008). Sexual Psychiiatric treatment. A Biopsychosocial
description, 1-21.

103

Anda mungkin juga menyukai