PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Menurut publikasi Badan Pusat Statistik pada tahun 2011, jumlah penduduk
Kabupaten Sidoarjo berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 1.984.486 orang. Sedangkan
pada tahun 2012, jumlah penduduk Kabupaten Sidoarjo berdasarkan hasil sensus adalah
sebanyak 2.053.467 orang dan pada tahun 2013, jumlah penduduk Kabupaten Sidoarjo
berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 2.090.619 orang (BPS, 2013). Dari data tersebut
menunjukkan bahwa kebutuhan ber-Keluarga Berencana (ber-KB) sangat besar untuk
mencegah terjadinya ledakan penduduk karena setiap tahunnya di Kabupaten Sidoarjo terjadi
pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan peningkatan kualitas penduduk. Peranan
masing-masing individu pasangan suami-istri dalam kesadaran menggunakan alat kontrasepsi
sangatlah penting untuk menekan laju pertumbuhan penduduk karena berpengaruh kepada
tingkat kehidupan dan kesejahteraan penduduk (Handayani, 2010).
Sampai sekarang, program KB hanya fokus pada sikap dan perilaku wanita. Wanita
dijadikan target informasi, pendidikan dan komunikasi dalam peningkatan pengetahuan dan
pemakaian kontrasepsi. Konsekuensinya, peranan pria yang sangat besar dalam
mempengaruhi pengambilan keputusan diabaikan (Adewuyi A, 2006). Sebagian program KB
menawarkan dan mempromosikan metode kontrasepsi seperti pil dan suntik yang digunakan
wanita. Padahal, keefektifan dan keberlanjutan pemakaiannya sering tidak berhasil
disebabkan ketidaksetujuan suami mereka (Isiugu-Abanihe UC, 1994). Padahal antara pria
dan wanita mempunyai hak reproduksi yang sama, sehingga mempunyai kewajiban untuk
mulai memikirkan siapa yang akan menggunakan alat kontrasepsi. Pria yang menyadari akan
kesetaraan hak reproduksi pasti akan memikirkan bahwa saatnya pria ikut andil dalam
program KB (Mollucca Medika, 2012).
Partisipasi pria menjadi penting dalam KB dan Kesehatan Reproduksi disebabkan: (1)
pria adalah partner dalam reproduksi dan seksual, sehingga sangat beralasan apabila pria dan
wanita berbagi tanggung jawab dan peran secara seimbang untuk mencapai kepuasan
kehidupan seksual dan berbagi beban untuk mencegah penyakit serta komplikasi KB dan
Kesehatan Reproduksi, (2) pria bertanggung jawab secara sosial dan ekonomi termasuk untuk
anak-anaknya, sehingga keterlibatan pria dalam keputusan reproduksi akan membentuk
ikatan yang lebih kuat diantara mereka dan keturunannya, dan (3) pria secara nyata terlibat
dalam fertilitas dan mereka mempunyai peranan penting dalam memutuskan kontrasepsi yang
akan dipakainya dan digunakan istrinya, serta dukungan kepada pasangannya terhadap
kehidupan reproduksinya seperti pada saat, sedang dan setelah melahirkan serta selama
menyusui (Population Reports, 2003).
Bentuk partisipasi pria dalam KB dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Partisipasi pria secara langsung (sebagai peserta KB) adalah pria menggunakan
salah satu cara atau metode pencegahan kehamilan, seperti kondom, vasektomi (kontap pria),
serta KB alamiah yang melibatkan pria (metode senggama terputus dan metode pantang
berkala) (BKKBN, 2003). Partisipasi pria secara tidak langsung adalah pria mendukung istri
dalam ber-KB, sebagai motivator yang dapat memberikan motivasi untuk menjadi peserta
KB, dan merencanakan jumlah anak bersama dengan istri (BKKBN, 2007).
Keberhasilan program KB pria dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur,
tingkat pendidikan, pekerjaan, sosial budaya, dan agama. Kemajuan program KB tidak bisa
lepas dari tingkat ekonomi karena berkaitan dengan kemampuan untuk membeli alat
kontrasepsi yang digunakan (Handayani, 2010). Para pria juga masih berpikir panjang untuk
menggunakan alat kontrasepsi dengan berbagai alasan antara lain: larangan dari keluarga,
kurang pengetahuan maupun informasi tentang alat kontrasepsi pria, kurangnya kesadaran,
tidak ada dukungan dari istri (misalnya jika suami ber-KB ditakutkan suami berselingkuh),
dan kurangnya sarana dan prasarana, serta adanya rumor negatif yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya (Medicastore, 2012). Masalah vasektomi masih
memprihatinkan dengan pencapaian yang belum maksimal bila dibandingkan dengan alat
kontrasepsi lain yang memiliki kelangsungan pemakaian yang rendah seperti kondom, pil dan
suntik (BKKBN, 2012).
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keikutsertaan pria dalam Keluarga Berencana
(KB) di Kabupaten Sidoarjo.
I. 2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi keikutsertaan pria dalam Keluarga Berencana (KB)?”
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
2. 1. TUJUAN PENELITIAN
2. 1. 1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keikutsertaan pria dalam
Keluarga Berencana (KB).
2. 1. 2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui faktor individu (umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, jumlah anak,
wilayah tempat tinggal, pengetahuan tentang KB) yang mempengaruhi keikutsertaan pria
dalam Keluarga Berencana (KB).
2. Mengetahui faktor lingkungan (peranan pasangan, peranan keluarga/ tetangga/ teman,
peranan petugas, peranan tokoh masyarakat, peranan media masa) yang mempengaruhi
keikutsertaan pria dalam Keluarga Berencana (KB).
3. Menganalisis pengaruh faktor individu terhadap keikutsertaan pria dalam Keluarga
Berencana (KB).
4. Menganalisis pengaruh faktor lingkungan terhadap keikutsertaan pria dalam Keluarga
Berencana (KB).
2. 2. MANFAAT PENELITIAN
2. 2. 1. Bagi Peneliti
Bermanfaat bagi peneliti untuk menambah pengetahuan, wawasan, pengalaman dan
penerapan ilmu serta bahan bagi penelitian selanjutnya.
2. 2. 2. Bagi Responden
Memberikan informasi dan pengetahuan yang dapat membuka wawasan responden
terhadap masalah KB.
2. 2. 3. Instansi Kesehatan
Sebagai bahan masukan dan informasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, dan
Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB Kabupaten Sidoarjo sehingga bisa
digunakan dalam membuat kebijakan dalam meningkatkan keikutsertaan pria dalam Keluarga
Berencana (KB).
2. 2. 4. Kecamatan dan Puskesmas
Dapat memberikan informasi kepada pihak kecamatan dan puskesmas mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi keikutsertaan pria dalam Keluarga Berencana (KB).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya pengaruh keikutsertaan pria dalam keluarga
berencana yang dilihat dari berbagai aspek, yaitu dari sisi klien pria itu sendiri (pengetahuan,
sikap, dan praktek serta kebutuhan yang ia inginkan), faktor lingkungan yaitu sosial budaya,
dukungan istri, masyarakat (tokoh masyarakat) dan keluarga/ istri, keterbatasan informasi
dari tenaga kesehatan dan aksesibilitas terhadap pelayanan keluarga berencana pria,
keterbatasan jenis kontrasepsi pria disertai masih adanya persepsi di masyarakat mengenai
keluarga berencana pria (BKKBN, 2010).
Penelitian Dewi (2009) di Indonesia yang meneliti faktor-faktor yang memengaruhi
partisipasi pria dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi menyatakan ada
hubungan pengetahuan dengan partisipasi dalam keluarga berencana. Partisipasi pria
membuktikan bahwa ada keterlibatan yang lebih tinggi dari pasangan kelompok yang
memiliki empat anak atau lebih dibandingkan mereka yang memiliki anak lebih sedikit. Ada
hubungan cara memperoleh kondom dengan partisipasi pria dalam keluarga berencana dan
kesehatan reproduksi.
Pengetahuan pria pasangan usia subur tentang alat kontrasepsi pria
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (overt behaviour). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers 1974
dalam Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku di
dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan yakni:
a. Awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
stimulus (objek) terlebih dahulu.
b. Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus.
c. Evaluation (menimbng-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya).
Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Adoption, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan
sikapnya terhadap stimulus.
Penelitian Rogers dalam Notoatmodjo (2007) menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak
selalu melewati tahap diatas. Apabila perubahan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui
proses seperti ini yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif (long
lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka
tidak akan berlangsung lama.
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif dengan 6
tingkatan yaitu:
a. Tahu (know). Diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkah ini adalah mengingat kembali
(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami (comprehension). Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (application). Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
d. Analisis (analysis). Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materu atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur
organisasi tersebut.
e. Sintesis (Synthesis). Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (evaluation). Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau objek penilaian berdasarkan suatu kriteria yang
telah ada.
Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana
Dukungan sosial adalah suatu kegiatan untuk mencari dukungan melalui isteri, petugas
kesehatan dan tokoh masyarakat baik formal dan informal. Menurut Karr (1988) dalam
Notoatmodjo (2007) menyatakan ada lima faktor penentu perilaku yaitu adanya niat untuk
bertindak sehubungan dengan stimulus di luar diri seseorang, dukungan dari masyarakat
sekitar, tersedianya informasi yang berkaitan dengan tindakan yang dilakukan oleh seseorang,
kebebasan pribadi untuk mengambil keputusan, dan kondisi situasi yang memungkinkan
untuk bertindak. Partisipasi pria dalam keluarga berencana juga dipengaruhi oleh kelima
faktor tersebut.
Sarason dalam Sarafino (2006) lebih jauh lagi mengatakan bahwa dukungan sosial selalu
mencakup 2 hal penting, yaitu persepsi bahwa ada sejumlah orang yang dapat diandalkan
oleh individu pada saat ia membutuhkan bantuan dan derajat kepuasan akan dukungan yang
diterima berkaitan dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya terpenuhi.
Sumber-sumber dukungan sosial banyak diperoleh individu dari lingkungan sekitarnya.
Namun, perlu diketahui seberapa banyak sumber dukungan sosial ini efektif bagi individu
yang memerlukan. Sumber dukungan sosial merupakan aspek paling penting untuk diketahui
dan dipahami. Dengan pengetahuan dan pemahaman tersebut, seseorang akan tahu kepada
siapa individu akan mendapatkan dukungan sosial sesuai dengan situasi dan keinginannya
yang spesifik, sehingga dukungan sosial memiliki makna yang berarti bagi kedua belah
pihak.
Menurut Sarafino (2006), sumber-sumber dukungan sosial, yaitu:
a. Sumber artifisial
Dukungan sosial artifisial adalah dukungan sosial yang dirancang ke dalam
kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui
berbagai sumbangan sosial.
b. Sumber natural
Dukungan sosial yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam
kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya
anggota keluarga, teman dekat atau relasi. Dukungan sosial ini bersifat non-formal.
e. Umur
Umur suami mempunyai efek yang bermakna pada frekuensi senggama, yang
berhubungan langsung dengan kesempatan menjadi hamil. Tetapi sebaliknya umur suami
tampaknya hanya berpengaruh sedikit sekali pada kemampuan reproduksi, kecuali pada umur
lanjut (>60 tahun). Kelompok remaja masih tinggi frekuensi senggamanya, oleh karena itu
tidak dianjurkan untuk menggunakan metode kontrasepsi seperti kondom. Namun, justru
kebanyakan dari akseptor kondom justru dari kelompok usia remaja. Ternyata setelah
ditelusuri mereka menggunakan kondom dengan alasan mudah diperoleh, mudah digunakan
dan mereka masih bingung menentukan kontrasepsi yang efektif untuk mereka gunakan.
Kelompok pria di atas 40 tahun juga ternyata banyak yang menggunakan kondom dengan
alasan mereka sudah jarang melakukan senggama, sehingga mereka hanya butuh kontrasepsi
hanya pada saat-saat tertentu.
f. Tingkat Pendidikan
Pendidikan diperoleh dari proses belajar melalui pendidikan formal maupun informal.
Pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang dalam menerima informasi dan
pengetahuan untuk menuju hidup sehat serta mengatasi masalah kesehatan.
Tidak disangkal bahwa pendidikan seseorang itu berpengaruh dalam memberikan respon
terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan
memberikan respon yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah
atau mereka yang tidak berpendidikan, maka dalam menghadapi gagasan barupun mereka
akan lebih banyak mempergunakan rasio dari pada emosi. Masyarakat yang tidak
berpendidikan maupun berpendidikan rendah tentu akan lebih banyak memberikan respon
terhadap sesuatu gagasan baru itu dengan emosi. Karena hal yang baru dianggapnya dapat
mengguncangkan masyarakat atau merubah apa yang telah mereka lakukan pada masa yang
lalu. Tingkat pendidikan tidak saja mempengaruhi kerelaan menggunakan keluarga
berencana, tetapi juga pemilihan suatu metode. Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh
yang bermakna terhadap pemilihan kontrasepsi pada pria. Pria yang bertingkat pendidikan
rendah masih beranggapan bahwa wanitalah yang harus menggunakan kontrasepsi, karena
wanitalah yang bisa hamil. Sedangkan pria dengan tingkat pendidikan tinggi, dengan
pertimbangan beberapa hal dengan istrinya, kemungkinan besar mereka mau menggunakan
kontrasepsi.
g. Pekerjaan
h. Penghasilan
Tingkat penghasilan adalah ukuran kelayakan seseorang dalam memperoleh
penghargaan dari hasil kerjanya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Makin tinggi pendapatan seseorang dapat diasumsikan bahwa derajat kesehatannya akan
semakin baik, karena akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan akan semakin mudah.
Tingkat penghasilan akan mempengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi. Hal ini disebabkan
karena untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi yang diperlukan akseptor harus
menyediakan dana yang diperlukan. Seseorang pasti akan memilih kontrasepsi yang sesuai
dengan kemampuan mereka mendapatkan kontrasepsi tersebut.
Sejak tahun 2008, pemerintah telah memantapkan penjaminan kesehatan bagi masyarakat
miskin dengan menyediakan alat kontrasepsi gratis seperti suntik, susuk KB, kondom atau
IUD termasuk memberikan layanan gratis untuk akseptor yang ingin ber-KB secara permanen
lewat operasi medis operatif. Kontrasepsi gratis yang disediakan diharapkan dimanfaatkan
secara maksimal oleh pasangan usia subur (PUS) terutama dari kelompok keluarga
prasejahtera dan keluarga sejahtera I guna mengatur kelahirannya secara lebih baik.
Dengan diberlakukannya program tersebut, ada peningkatan terhadap partisipasi pria dalam
ber-KB walaupun hanya sedikit demi sedikit. Sampai saat ini masih diberlakukan kondom
yang dijual murah bagi masyarakat miskin khususnya di puskesmas dan ada pula fasilitas
gratis bagi pria yang bersedia melakukan vasektomi. Tingkat penghasilan masing-masing
daerah sangat bervariasi sejak diberlakukannya otonomi daerah. Indikator untuk menentukan
tingkat penghasilan seseorang adalah dipandang dari besarnya UMK.
i. Kemudahan metode
Kemudahan metode disini maksudnya adalah apakah seseorang dalam menggunakan
kontrasepsi tersebut mengalami kesulitan atau tidak. Contohnya saja vasektomi, akseptor
vasektomi membutuhkan serangkaian pemeriksaan terlebih dahulu sebelum dinyatakan boleh
menggunakan vasektomi dan untuk mendapat kontrasepsi tersebut akseptor harus
mendapatkan bantuan dari tenaga kesehatan.
Lain halnya dengan kontrasepsi kondom yang dijual bebas. Akseptor mungkin beranggapan
tidak memerlukan bantuan dari tenaga kesehatan untuk mendapatkan kontrasepsi tersebut.
BAB IV
3. 1. Kerangka Pemikiran
3. 1. 1. Kerangka Konsep
Faktor Lingkungan :
Dukungan isteri
Dukungan keluarga/ tetangga/ Faktor Sarana :
teman Ketersediaan alat Kontrasepsi
Dukungan petugas kesehatan Tenaga Pelayanan
Dukungan tokoh masyarakat/ Tempat Pelayanan
tokoh agama Biaya
Dukungan media masa
Keterangan :
= Diteliti
= Tidak diteliti
3. 1. 2. Hipotesis
3. 1. 3. Definisi Operasional
Tabel berikut menjelaskan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini,
sesuai dengan batasan atau definisi operasional dan pengkategorian dari masing-masing
variabel tersebut.
3. 2. Metodologi Penelitian
3. 2. 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik karena bertujuan menganalisa atau mencari pengaruh
antara fenomena yang akan diteliti. Berdasarkan metode yang dipakai termasuk penelitian
survei karena penelitian ini melakukan pengamatan atau pengumpulan data langsung di
masyarakat sedangkan berdasarkan waktunya, termasuk penelitian case control karena
subyek yang diteliti dikumpulkan atau diukur dalam waktu yang bersamaan.
Penelitian ini akan dilakukan di Kecamatan Taman dan Kecamatan Waru, Kabupaten
Sidoarjo pada Bulan Oktober sampai Desember 2014 dengan pertimbangan jumlah peserta
KB Pria dengan metode MOP (Vasektomi) cukup banyak.
a. Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan diteliti (Arikunto,
2002). Populasi dalam penelitian ini adalah peserta KB aktif dan peserta KB baru dengan
metode MOP (Vasektomi) pada tahun 2013 s/d September 2014 di Kecamatan Taman dan
Kecamatan Waru sebanyak 215 orang.
b. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti
dan dianggap yang mewakili seluruh populasi (Arikunto, 2002). Sampel dalam penelitian ini
menggunakan simple random sampling, hakikatnya adalah bahwa setiap anggota atau unit
dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel
(Notoatmodjo, 2005). Dengan teknik pengambilan sampel secara lotre tecnicque.
Pengambilan sampel menurut (Notoatmodjo, 2005) menggunakan rumus :
Keterangan :
n : besar sampel
N : jumlah populasi
perhitungannya :
68,25 ≈ 70
3. 2. 4. Instrumen Penelitian