Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada

tahun 2005 memperkirakan terdapat 8,8 juta penderita TBC dan 1,6

diantaranya mengalami kematian. Indonesia sendiri merupakan negara

ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia dengan angka kematian satu

orang tiap lima menit. Pada tahun 2004, tercatat 211.753 kasus baru TBC di

Indonesia dan diperkirakan sekitar 300 kematian terjadi setiap hari akibat

TBC. Kasus baru TBC di Indonesia bertambah seperempat juta per tahun

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi

masalah kesehatan masyarakat adalah penyakit Tuberkulosis (TB) paru.

Berdasarkan data dari laporan Dinas Kesehatan bahwa pada tahun 2007-

2010 konversi BTA pada penderita TB paru BTA positif cenderung belum

mencapai target yang ditetapkan yaitu 80% (Alsagaff, 2010).

Masih rendahnya cakupan angka konversi berdampak negatif pada

kesehatan masyarakat dan keberhasilan pencapaian program, karena

penderita yang mengalami kegagalan konversi masih memberi peluang

menjadi sumber penularan TB pada anggota keluarga dan masyarakat

sekitarnya. Selain itu, kegagalan konversi memungkinkan terjadinya

resistensi kuman TB terhadap OAT, dapat menambah penyebarluasan

penyakit TB, meningkatkan kesakitan dan kematian akibat TB. Oleh karena

1
itu keberasilan pengobatan tidak hanya bergantung pada aspek medis tetapi

juga pada aspek sosial yang sangat berperan dalam memotivasi penderita

menjalani pengobatan (Depkes, 2008).

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit kronik yang salah satu kunci

keberhasilan pengobatannya adalah kepatuhan dari penderita (adherence).

Kemungkinan ketidak patuhan penderita selama pengobatan TB sangatlah

besar. Ketidak patuhan ini dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya

adalah pemakaian obat dalam jangka panjang, jumlah obat yang diminum

cukup banyak serta kurangnya kesadaran dari penderita akan penyakitnya.

Oleh karena itu perlu peran aktif dari tenaga kesehatan sehingga

keberhasilan terapinya dapat dicapai (Aditama, 2010).

Untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia, strategi DOTS yang

direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat

untuk saat ini, dan harus dilakukan secara sungguh-sungguh dimana salah

satu komponen dari strategi DOTS tersebut adalah pengobatan dengan

panduanOAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas

Menelan Obat (PMO) (Misniarly, 2010).

Sebagian besar penderita TB adalah penduduk yang berusia

produktif antara15-55 tahun, dan penyakit ini merupakan penyebab

kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut

pada seluruh kalangan usia. Pemerintah melalui Program Nasional

Pengendalian TB telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi

TB, yakni dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment

2
Shortcourse). World Health Organization (WHO) merekomendasikan 5

komponen strategi DOTS (Global Tuberculosis Control, 2010).

Directly Obcerved Treatment Shortcourse, strategi yang digunakan

dalam pengendalian atau penanggulangan penyakit TB melalui

peningkatandiagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis,

pengobatan dengan Pengawasan Menelan Obat (PMO), kesinambungan

persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin serta pencatatan dan

pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi

program penanggulangan TB (Depkes, 2008).

Penelitian Wardita (2011) di Kabupaten Sampang tahun 2007-2010

konversi BTA pada penderita TB paru BTA positif cenderung belum

mencapai target yang ditetapkan yaitu 80%. Masih rendahnya cakupan

angka konversi berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan

keberhasilan pencapaian program, karena penderita yang mengalami

kegagalan konversi masih memberi peluang menjadi sumber penularan TB

pada anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya. Selain itu, kegagalan

konversi memungkinkan terjadinya resistensi kuman TB terhadap OAT,

dapat menambah penyebarluasan penyakit TB, meningkatkan kesakitan dan

kematian akibat TB. Oleh karena itu keberasilan pengobatan tidak hanya

bergantung pada aspek medis tetapi juga pada aspek sosial yang sangat

berperan dalam memotivasi penderita menjalani pengobatan. Hasil

penelitian ini dapat diketahui bahwa ada hubungan antara pengetahuan

tentang TB Paru (sig=0,037), kepatuhan minum obat penderita (sig (0,001),

penyakit penyerta (sig=0,018) dan dukungan keluarga (sig=0,000) TB paru

3
dengan terjadinya konversi BTA pasca pengobatan fase intensif di

Kabupaten Sampang tahun 2011 sedangkan variabel umur (sig=0,957), jenis

kelamin (sig=0,763), pendidikan (sig=0,924), pekerjaan (sig=0,399) dan

status gizi (0,371) diperoleh tidak ada hubungannya dengan terjadinya

konversi BTA pasca pengobatan fase intensif.

Hardiansyah (2011) meneliti faktor penyebab gagal konversi pada

penderita TBA Paru positif menemukan bahwa penyakit Tuberkulosis paru

masih menjadi salah satu masalah utama kesehatan masyarakat, baik di

Indonesia maupun di dunia. Penerapan Strategi DOTS di Kabupaten Garut,

secara umum telah sesuai target program nasional penanggulangan TB,

namun di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Garut hasil cakupan

angka konversi sampai dengan tahun 2009 sebesar 75,91% masih di bawah

target nasional yaitu minimal 80%, ini disebabkan masih banyak penderita

baru TB paru BTA positif mengalami gagal konversi (BTA tetap positif)

pada akhir pengobatan tahap intensif.

Penelitian Nauli (2013) di kota Medan tentang faktor yang

berhubungan dengan gagal konversi pasien TB paru kategori I pada akhir

pengobatan fase intensif di kota Medan, dimana metode penelitian adalah

analitik observasional dengan pendekatan Cross sectional, kasus diambil

dari penderita tuberkulosis paru yang sudah mendapat pengobatan akhir fase

intensif di puskesmas kota Medan, RSHAM dan Klinik Jemadi pada

Desember-Februari 2013, jumlah sampel sebanyak 114. Hasil penelitian,

dari 114 responden, 36 orang (31,6%) terjadi gagal konversi. Delapan faktor

berhubungan gagal konversi berdasarkan uji Chi-Square yaitu tingkat

4
pendapatan kurang (p-value 0,001), pendidikan rendah (p-value 0,011),

status gizi kurang (p-value 0,022), kebiasaan merokok (p-value 0,05),

penyakit penyerta (p-value 0,007), kepatuhan berobat (p-value 0,000), peran

PMO (p-value 0,000) dan petugas kesehatan (p-value 0,000), sedangkan dua

faktor lain yang diteliti yaitu umur (p-value 0,932 > 0.05) dan jenis kelamin

(p-value 0,965) tidak berhubungan dengan kejadian gagal konversi. Analisa

multivariat regresi logistic:faktor yang dominan mempengaruhi gagal

konversi adalah PMO dan kepatuhan berobat.

Sehubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

konversi BTA pada TB Paru dengan strategi DOT kategori 1, hasil

penelitian Metaniarsih (2011) menunjukkan bahwa responden yang

memiliki tingkat pengetahuan yang lebih rendah mengalami resiko yang

lebih tinggi terhadap gagal konversi dibandingkan dengan orang yang

memiliki tingkat pengetahuan yang baik dan responsn yang kurang patuh

dalam pengobatan mengalami resiko tidak sembuh yang lebih tinggi

daripada responden yang patuh dan demikian halnya dengan peranan

pengawas obat.

Berdasarkan buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis

tahun 2008, pengobatan penderita TBC diberikan dalam dua tahap yaitu

tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif penderita harus minum

OAT setiap hari sebanyak 8 butir dari 4 jenis OAT (HRZE) selama dua

bulan (60 hari). Kemudian akhir bulan kedua dievaluasi berupa pemeriksaan

dahak penderita sehingga dapat diketahui BTA dahak penderita telah

konversi (dari BTA positif berubah menjadi BTA negative) atau mengalami

5
kegagalan konversi (dari BTA positif tetap BTA positif). Hasil evaluasi

akhir bulan kedua tersebut menentukan paket OAT penderita fase lanjutan,

menghitung cakupan angka konversi dan menilai kinerja petugas TBC paru

Puskesmas dan Kota .Beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor-faktor

risiko terjadinya kegagalan konversi disebabkan oleh beberapa hal

diantaranya pengetahuan dan tingkat pendidikan penderita, peran

penyuluhan kesehatan, ketersediaan obat, Pengawas Menelan Obat (PMO),

kepatuhan berobat, efek samping obat dan merasa sehat (Depkes, 2008).

Berdasarkan uraian dan latarbelakang diatas, peneliti tertarik

melakukan penelitian tentang “Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

konversi BTA pada TB Paru dengan kategori 1 di wilayah kerja

puskesmas Kisaran.”

B.Perumusan Masalah

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian konversi BTA pada TB

Paru dengan kategori 1 mencakup banyak hal. Berdasarkan uraian pada

latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana faktor pengetahuan yang mempengaruhi kejadian konversi

BTA pada TB Paru dengan kategori 1 wilayah kerja puskesmas

Kisaran?”

b. Bagaimana faktor kepatuhan minum obat yang mempengaruhi

kejadian konversi BTA pada TB Paru dengan kategori 1 di wilayah

kerja puskesmas Kisaran?”

6
c. Bagaimana faktor status gizi yang mempengaruhi kejadian konversi

BTA pada TB Paru dengan kategori 1 di wilayah kerja puskesmas

Kisaran?”

d. Bagaimana faktor pengawasan DOT yang mempengaruhi kejadian

konversi BTA pada TB Paru dengan kategori 1 di wilayah kerja

puskesmas Kisaran?”

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui faktor pengetahuan yang mempengaruhi kejadian

konversi BTA pada TB Paru dengan kategori 1 di wilayah kerja

puskesmas Kisaran.

b. Untuk mengetahui faktor kepatuhan yang mempengaruhi kejadian

konversi BTA pada TB Paru dengan kategori 1 di wilayah kerja

puskesmas Kisaran.

c. Untuk mengetahui faktor status nutrisi yang mempengaruhi kejadian

konversi BTA pada TB Paru dengan kategori 1 di wilayah kerja

puskesmas Kisaran.

d. Untuk mengetahui faktor peranan pengawas DOT yang mempengaruhi

kejadian konversi BTA pada TB Paru dengan kategori 1 di wilayah

kerja puskesmas Kisaran.

D.Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

7
Bagi Peneliti

Sebagai dasar untuk pengembangan penelitian lebih lanjut tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian konversi BTA pada TB paru

dengan kategori 1.

Bagi masyarakat

Dengan diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

konversi BTA pada TB Paru dengan kategori 1, maka masyarakat dapat

berperan aktif untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan TB paru.

Bagi Dinas Kesehatan dan institusi terkait lainnya

Hasil penelitian ini kiranya dapat digunakan sebagai salah satu

pertimbangan dalam kebijakan penanggulangan penderita TB paru secara

dini untuk meningkatkan tingkat keberhasilan pengobatan dan bermanfaat

sebagai bahan masukan untuk penanganan kejadian konversi BTA pada

TB Paru dengan kategori 1.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.TB Paru

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang menular yang

disebabkan oleh Basil Mikobakterium Tuberkulosa. Penularan penyakit TB

biasanya melalui udara dengan inhalasi droplet nucleus yang mengandung

basil tuberkulosis berukuran 1-5 mikro meter yang dapat melewati atau

menembus sistem mukosilier saluran nafas, sehingga dapat mencapai dan

bersarang dibronkhiolus dan alveolus. Kuman TB menyebar dari seorang

penderita TB paru terbuka kepada orang lain. Penyakit yang ditimbulkannya

bersifat menahun, sebagian besar mengenai organ paru dan bisa juga organ

lain ditubuh selain paru, usia yang sering terkena adalah usia produktif (15-

40) tahun, sehingga dampak kerugian ekonomi bagi kesehatan masyarakat

cukup besar berupa menurunnya produktivitas SDM dan mahalnya biaya

pengobatan.

Kuman Tuberkulosis hidup dan berkembang biak pada tekanan O2

sebesar 140 mm H2O diparu dan dapat hidup di luar paru dalam lingkungan

mikroaerofilik. Droplet infeksius secara inhalasi masuk ke alveolus

menimbulkan bronkopneumonia non spesifik yang merupakan fokus primer.

Gejala klinis tidak ditemukan tetapi uji tuberkulin positif. Kuman TB dari

fokus primer memasuki kelenjar getah bening regional, selanjutnya melalui

aliran limfatik memasuki sirkulasi sistemik. Sebesar 5% dari penderita

infeksi TB primer berkembang menjadi penyakit paru progresif dengan

gejala klinik dan radiologik sesuai TB paru. Penyebaran limfohematogen

9
mengakibatkan TB milier dan TB ektra pulmonar. Sebagian besar penderita

infeksi TB paru primer sembuh dan berbentuk granuloma, keadaan ini

tergantung pada beberapa keadaan seperti jumlah kuman yang masuk sedikit

dan telah terbentuk daya tahan tubuh yang spesifik terhadap basil

tuberkulosis.

Tuberkulosis dibedakan atas tuberkulosis primer dan tuberkulosis post

primer. Pada tuberkulosis primer penyebaran hematogen kebagian tubuh

lain dapat terjadi pada saat dini, bahkan dapat terjadi sebelum timbulnya

hipersensitivitas terhadap tuberkulin. Tuberkulosis paska primer prosesnya

terbatas pada paru dan penyebarannya secara bronkogen. Berdasarkan

keadaan tersebut diatas tuberkulosis primer merupakan suatu penyakit yang

berbahaya dan memerlukan pengenalan atau diagnosis sedini mungkin.

Sedangkan reaksi tubuh terhadap tuberkulosis paru post primer dapat terjadi

dalam 2 bentuk yaitu, pertama: peradangan endogen yaitu, berasal dari

fokus lama (dormant) didalam paru yang mengalami kekambuhan, kedua

peradangan eksogen yaitu karena infeksi paru yang berasal dari luar.

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan mycobacterium

tuberculosis. Kuman ini berbentuk basil dengan ukuran 0,3µ-0,6µ. Sebagian

besar kuman terdiri dari asam (lipid) sehingga kuman ini tahan terhadap

asam. Ada dua spesies Mycobakterium yang menyerang manusia yaitu

mycobacterium tuberculosis (the human strain) dan mycobacterium bovis

(Alsagaf dkk, 2008). Kuman mycobacterium masuk kedalam tubuh manusia

melalui udara, masuk kedalam saluran pernapasan, terus keparu paru dan

10
menetap di sana, atau dapat menyebar keseluruh tubuh melalui pembuluh

darah atau saluran pembuluh limfe (Crofton dkk, 2002)

1. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis TB Paru dilakukan beberapa

pemeriksaan seperti pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologik dan

pemeriksaan laboratorium (mikrobiologik).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

ditemukannya kuman TB (BTA) melalui pemeriksaan dahak mikroskopis.

 Yang seringkali merupakan petunjuk awal dari tuberkulosis adalah foto

rontgen dada. Penyakit ini tampak sebagai daerah putih yang bentuknya

tidak teratur dengan latar belakang hitam. Minimal 2 kali sputum BTA

(+) : didiagnosis sebagai TB paru BTA (+)

 Bila BTA (+) 1 kali, maka perlu dilakukan pemeriksaan rontgen dada

atau pemeriksaan dahak SPS diulang (Riyanto, 2012).

2. Gejala-Gejala Tuberkulosis

Keluhan yang dirasakan penderita TB Paru dapat bermacam macam

atau malah tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang terbanyak adalah

(Alsagaff dkk, 2008).

1. Demam

Penderita TB Paru sering mengalami demam, yang kadang-kadang panas

badan dapat mencapai 40-410C. Demam dapat hilang/timbul sehingga

penderita tidak terbebas dari demam yang menyerupai influenza.

11
2. Batuk

Batuk yang terus menerus dan berdahak 3 minggu atau lebih terjadi karena

adanya iritasi pada bronkus. Batuk dapat bersifat kering (non produktif)

kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan

sputum). Keadaan lebih lanjut adalah batuk bercampur darah karena

terdapat pembuluh darah yang pecah, hal ini terjadi pada kavitas atau

pada ulkus dan dinding bronkus.

3. Sesak nafas

Pada penyakit ringan (baru kambuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak

nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasi

sudah terjadi setengah bagian paru-paru.

4. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul apabila infiltrasi

radang sudah sampai pada pleura, sehingga menimbulkan pleuritis.

5. Badan lemah (malaise), nafsu makan berkurang, tidak enak badan,

berkeringat pada malam hari walaupun tanpa kegiatan, serta berat badan

menurun, demam mering lebih dari sebulan.

3. Klasifikasi Penyakit

Penentuan klasifikasi dan tipe penderita penting dilakukan untuk

menetapkan paduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan

dimulai. Klasifikasi penderita TB paru adalah (Depkes 2003).

12
3.1. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru tidak termasuk pleura.

Penderita ini paling banyak ditemukan sekitar 80% adalah penderita TB dan

TB paru tipe ini yang paling menular (Aditama, 2002)

3.2. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberculosis yang menyerang organ

tubuh selain paru-paru seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, saluran

kencing, kulit, susunan saraf dan perut (Crofton dkk, 2002), sedangkan

untuk menentukan tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat

pengobatan sebelumnya, yaitu :

1. Kasus Baru

Penderita yang digolongkan ke pada kasus baru adalah penderita yang

belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah minum OAT

tetapi kurang dari satu bulan.

2. Kambuh (relaps)

Tipe kambuh adalah penderita tuberculosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh,

kemudian kembali lagi dan berobat dengan hasil pemeriksaan dahak

BTA positif.

3. Pindahan (Transfer in)

Pindahan adalah penderita yang mendapat pelayanan pengobatan di satu

kota dan kemudian pindah berobat ke kota lain.

4. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/droup out)

13
Kasus berobat lalai adalah penderita yang sudah berobat paling kurang

1 bulan, dan berhenti berobat 2 bulan atau lebih kemudian datang lagi

berobat.

5. Gagal

Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau

kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5, atau penderita dengan

hasil BTA negative, rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir

bulan ke 2 pengobatan.

6. Kronis

Kronis adalah pengobatan penderita dengan hasil pemeriksaan masih

BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.

4. Etiologi

Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium Tuberkulosis. Kuman

Mycobacterium Tuberkulosis adalah kuman berbentuk batang aerobik tahan

asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar

ultraviolet. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid

inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan

terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman dapat tahan hidup pada udara

kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam

lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant.Dari

sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberculosis

aktif lagi.

Sifat lain kuman ini adalah kuman aerob, sifat ini menunjukkan

bahwa kuman lebih menyenani jaringan yang lebih tinggi kandungan

14
oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru

lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal inimerupakan

tempat prediksi penyakit tuberculosis (Crofton dkk, 2002).

Kuman TBC menyebar melalui udara (batuk, tertawa dan bersin) dan

melepaskan droplet. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman, akan

tetapi kuman dapat hidup beberapa jam dalam suhu kamar (Dep Kes RI

2002).

5. Patogenesis

Tempat masuk kuman M. Tuberculosis adalah saluran pernafasan,

saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi

tuberkulosis (TBC) terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang

mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang

terinfeksi (Aditama, 2002).

Ketika seorang penderita tuberkulosis paru batuk, bersin,

berbicara maka tanpa sengaja keluarlah droplet nucleus dan jatuh ke

tanah atau ke lantai dan sebagainya. Akibat terkena sinar matahari atau

suhu udara yang panas, droplet nucleus tadi menguap, maka kuman

tuberkulosis yang terkandung dalam droplet nucleus akan beterbangan ke

udara. Apabila kuman tersebut terhisap oleh orang sehat, maka orang

tersebut berpotensi terkena tuberkulosis. Pada titik lokasi dimana terjadi

implantasi kuman, multiplikasi kuman tuberkulosis dan fokus ini disebut

dengan fokus primer atau lesi primer (Crofton dkk, 2002).

15
Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke

seluruh tubuh melalui berbagai jalan, yaitu :

a. Percabangan bronkus.

Penyebaran infeksi lewat percabangan bronkus dapat mengenai area paru

atau melalui sputum menyebar ke laring (menyebabkan ulserasi laring)

maupun ke traktus gastrointestinal.

b. Sistem saluran limfe.

Penyebaran melalui saluran limfe menyebabkan limfadenopari regional

atau akhirnya secara tidak langsung mengakibatkan penyebaran lewat

darah melalui duktus limfatikus sehingga menimbulkan tuberkulosis

miller.

c. Aliran darah

Aliran darah vena pulmonis yang melewati lesi paru dapat membawa

atau mengangkut material yang mengandung kuman tuberkulosis dan

kuman ini dapat mencapai berbagai organ melalui darah yaitu tulang,

ginjal, kelenjar adrenal, otak dan meningen.

d. Reaktivasi infeksi primer (infeksi post primer).

Karena pertahanan tubuh atau host yang kuat, maka infeksi primer tidak

berkembang lebih jauh dan kuman tuberkulosis tidak dapat berkembang

biak atau disebut dorman atau tidur. Ketika suatu saat kondisi dari host

menjadi lemah, maka kuman tuberkulosis yang dorman dapat aktif

kembali. Inilah yang disebut dengan reaktivasi infeksi primer atau infeksi

post primer.

16
6. Prinsip Pengobatan TB Paru

Pengobatan TB diberikan dalam kombinasi obat dari beberapa jenis,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan. Hal ini supaya semua

kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Pengobatan TB di bagi

menjadi 2 tahap yaitu tahap intesif dan tahap lanjutan. Dosis tahap intesif

dan tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut

kosong. Pemberian obat yang tidak tepat, (jenis, dosis dan jangka waktu

pengobatan tidak tepat) maka kuman TB akan berkembang menjadi kebal

terhadap obat atau resisten (Aditama, 2002)

Kepatuhan penderita minum obat serta pemeriksaan sputum sangat

diperlukan guna menjamin kesembuha penderita TB. Pengobatan pada tahap

intensif, penderita minum obat setiap hari selama 1 bulan dan diawasi oleh

PMO (pengawasan minum obat). Bila pengobatan intensif diberikan kepada

penderita TB paru secara tepat selama 2 minggu, maka penderita yang

tadinya menularkan bibit penyakit TB, menjadi tidak menular. Sebagian

besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negative (konversi) pada

akhir pengobatan intensif (Crofton dkk, 2002). Sedangkan pada tahap

lanjutan penderita mendapat obat dalam jumlah yang lebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lama. Hal ini penting untuk membunuh kuman

yang persister (dormant) sehingga mencegah kekambuhan.

17
7. Pengobatan Penderita TB Paru

Departemen Kesehatan RI (2010) menjelaskan pengobatan

penderita TB paru dengan memberikan obat standar telah mendapat

rekomendasi dari WHO dan Internatioal Union Against Tuberkulosis And

Lung Desease (IUATLD) yaitu :

1. Kategori 1. 2HRZE/4H3R3, 2HRZE/4HR, 2HRZE/6HE

Obat ini diberikan pada penderita kategori 1, yaitu tahap intensif yang terdiri

dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E).

Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE).

Kemudian diberikan pada tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H),

Rifampisin (R), diberikan 3 kali seminggu selama 4 bulan (4H3R3).

Penderita dengan kategori 1 adalah ;

 Penderita Baru TB paru BTA positif.

 Penderita paru BTA negatif roentgen positif (sakit berat)

 Penderita TB ekstra paru berat.

2. Kategori 2. 2HRZES/HRZE/5H3R3E3, 2HRZES/HRZE/5HRE

Obat ini diberikan pada penderita kategori II, tahap intensif diberikan

selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan isoniasid (H),

Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan

streptomisin setiap hari di UPK. Pemberian obat dilanjutkan 1 bulan

dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (P), Etambutol (E)

setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan 5 bulan dengan HRE yang

diberikan selama 3 kali dalam seminggu. Penderita dengan kategori 2

adalah:

18
 Penderita kambuh (relaps)

 Penderita gagal (Failure)

 Penderita denga pengobatan setelah lalai (after default)

3. Kategori 3. 2HRZ/4H3R3, 2HRZ/4HR, 2HRZ/6HE

Obat ini diberikan pada penderita kategori 3, tahap intensif yang terdiri dari

HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HEZ), diteruskan dengan

tahap lanjutan yang terdiri dari HR selama 4 bulan dan diberikan 3 kali

seminggu (4H3R3). Penderita kategori 3 adalah :

 Penderita baru BTA negative roentgen positif sakit ringan

 Penderita ekstra paru ringan, yaitu TB kelenjar Limfe, pleuritis

eksudativa unilateral, TB kulit, TB tulang kecuali tulang belakang,

sendi dan kelenjar adrenal (Aditama, 2002).

4. OAT Sisipan (HRZE)

Bila pada tahap akhir intensif pengobatan penderita baru BTA positif

dengan kategori 1 dan kategori 2 hasil pemeriksaan masih BTA positif

maka diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

a. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Depkes RI (2002) ada tiga jenis pemeriksaan untuk TB paru yaitu :

1) Pemeriksaan sputum BTA

Diagnosa TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukan

BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan

dirinya akan positif apabila sedikitnya 2 dan 3 sputum SPS (Sewaktu

Pagi Sewaktu) BTA positif. Pemeriksaan sputum juga dapat

memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.

19
2) Rontgen

Foto rontgen dada dapat menunjang menegakkan diagnosa TB. Paling

mungkin bila ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau

kelenjar paratrakeal. Gejala lain dari foto rontgen yang mencurigai TB

adalah :

a) Atelektasis

b) Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus / paratrakeal

c) Iconsolidasi (lobus)

d) Reaksi pleura atau efusi pleura

e) Bronkiektasis

f) Destroyed lung

3) Tes Montoux / Tuberculin

Tes ini sering digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa TB paru

anak-anak. Biasanya dipakai montoux tes dengan menyuntikkan 0,1 cc

tuberkulin secara intrakutan. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah

penyuntikan.

b. Penatalaksanaan Medis

Penanggulangan TB paru menurut Depkes RI (2002) adalah dengan

menggunakan obat anti TB (OAT).Dimana tujuan pemberian OAT

adalah :

1) Membuat konversi sputum BTA positif menjadi negatif secepat

mungkin melalui kegiatan bakterisid.

2) Mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah pengobatan

dengan kegiatan sterilisasi.

20
3) Menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi melalui perbaikan daya

tahan imunologis.

Menurut Depkes RI (2002) pengobatan TB dilakukan melalui 2 fase yaitu :

1) Fase Awal Intensif

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi

langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT.

Terutama rifampicin.Bila pengobatan tahap intensif diberikan secara

tepat,biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun

waktu 2 minggu.Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi

BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.

2) Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obatlebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lebih lama.OAT yang bisa digunakan antara

lain isoniasid (INH), rifampisin (R), pirasinamid (Z) dan Streptomicin

(S) yang bersifat bakterisid dan etambutol (E) yang bersifat

bakteriostatik. Penatalaksanaan medis pada penderita TB yang

diberikan dalam kombinasi dan beberapa jenis obat dalam jumlah yang

cukup. Dosis yang tepat diberikan selama 6-8 bulan supaya kuman

dapat terbunuh. Adapun panduan OAT Ysng digunakan adalah : OAT

kategori I.II.III serta panduan obat sisispan, indikasi dan komposisi obat

TB paru adalah :

a) Kategori I (2 HRZE / 4 H3R3)

(1) Indikasi :

(a) (a)Penderita baru TB paru BTA positif

21
(b) (b)Penderita TB paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat

(c) (c)Penderita TB exstra paru

(2) Komposisi obat :

Tabel 1 : Komposisi OAT Kategori I

Dosis Perhari / kali Jumlah


INH hari/
Tahap Lamanya
@ Rifampicin Pirazinamid Ethambutol kali
Pengobatan Pengobatan
300 @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg minum
mg obat
Tahap 2 bulan 1 1 3 3 60
Intensif
(dosis
harian)
Tahap 4 bulan 2 1 - - 54
Lanjutan (3
kali/
minggu)
(Depkes RI, 2008)

b) Kategori II (2 HRZE /5 H3R3E3)

(1) Indikasi :

(a) Penderita kambuh (relaps)

(b) Penderita gagal (failure)

(c) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)

(2) Komposisi obat :

Tabel 2 : Komposisi OAT Kategori II

Ethambuto
IN l @ 250 Jml
Lama-
Tahap H Rifampici Pirazinami mg Streptomyci hari/
nya
Pengobat @ n @ 450 d @ 500 n injeksi kali
Pengo
-an 300 mg mg @ @ (gr) menela
-batan
mg 250 500 n obat
mg mg
Tahap 2 1 1 3 3 - 0,75 60
Intensif bulan 1 1 3 3 - - 30
1
bulan
Tahap 5 2 1 - 1 2 - 60
Lanjutan bulan
(Depkes RI, 2008)

22
c) Kategori III (2 HRZ / 4 H3R3)

(1) Indikasi :

(a) Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan

(b) Penderita eksta paru ringan yaitu TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatifa

unilateral, TB kulit, TB tulang.

(2) Komposisi Obat

Tabel 3 : Komposisi OAT Kategori III


Lamanya Jumlah hari
Tahap INH @ 300 Rifampicin Pirazinamid
Pengo- / kali
Pengobatan mg @ 450 mg @ 500 mg
batan minum obat
Tahap Insentif 2 bulan 1 1 3 60
(dosis harian)
Tahap 4 bulan 2 1 - 54
Lanjutan (3
kali/ minggu)
(Depkes RI, 2008)

d) Panduan OAT Sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori I dan

kategori II hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat

sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Komposisi Obat sebagai berikut :

Tabel 4: Komposisi OAT Sisipan

Jml hari
INH
Lamanya Rifampicin Pirazinamid Ethambutol / kali
Pengobatan @300
Pengobatan @450 mg @500 mg @250 mg minum
MG
obat
Tahap 1 bulan 1 1 3 3 30
Intensif
Tahap
Intensif
(dosis
harian)
(Depkes RI, 2008)

23
8. Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut

Hasil pengobatan penderita TB paru dapat dikategorikan menjadi

(Depkes 2003) yaitu :

1. Sembuh

Penderita dikatakan sembuh bila hasil pemeriksaan ulang sputum paling

sedikit 2 kali berturut-turut negatif, salah satu diantaranya haruslah

pemeriksaan akhir pengobatan. Apabila gejala muncul kembali supaya

memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap.

2. Pengobatan lengkap

Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tetapi tidak

ada pemeriksaa ulang sputum, khususnya pada akhir pengobatan (AP).

Seharusnya semua penderita BTA positif di lakukan pemeriksaan ulang

sputum.

3. Meninggal

Penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab

apapun.

4. Pindah

Penderita yang pindah berobat ke daerah kabupaten / kota lain.

5. Drop out

Penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut turut atau lebih

sebelum masa pengobatannya selesai. Tindak lanjut : Lacak penderita

tersebut dan beri penyuluhan pentingnya berobat secara teratur.

24
6. Gagal

Penderita dikatakan gagal pada pengobatan TB paru apabila :

a. Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif

atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan

intensif atau pada akhir pengobatan kategori 2.

Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan sputumnya pada akhir bulan

ke dua menjadi positif.

D.Pengobatan Tuberkulosis Paru Dengan Stategi DOTS

Directly-observed treatment short-course chemotherapy (DOTS)

adalah nama suatu strategi yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan dasar

di dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan tuberkulosis. Kunci utama

keberhasilan DOTS adalah keyakinan bahwa penderita TB meminum

obatnya sesuai dengan yang telah ditetapkan dan tidak lalai atau putus

berobat. Hal tersebut baru dapat dipastikan bila ada orang lain yang

mengawasi saat penderita minum obat (Depkes, 2008).

DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy)

adalah strategi pengobatan pasien TB dengan menggunakan paduan obat

jangka pendek dan diawasi langsung oleh seorang pengawas yang dikenal

sebagai PMO (pengawas menelan obat). Pengobatan TBC dengan strategi

DOTS ini merupakan satu-satunya pengobatan TBC yang saat ini

direkomendasikan oleh oraganisasi kesehatan sedunia (WHO) karena

terbukti paling efektif. Strategi DOTS terdiri atas 5 komponen:

25
1. Dukungan politik para pimpinan wilayah di setiap jenjang, dari tingkat

negara hingga daerah, terhadap program tuberkulosis nasional yang

permanen dan terintegrasi dalam pelayanan kesehatan primer, dengan

pimpinan teknis dari suatu unit pusat. Dengan keterlibatan pimpinan

wilayah, TB akan menjadi salah satu prioritas utama dalam program

kesehatan dan akan tersedia dana yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan

kegiatan strategi DOTS. Selain itu, kepemimpinan teknis yang efektif

membutuhkan tim multidisiplin dan keahlian dalam perancangan dan

penerapan peraturan dan perundangan yang diperlukan untuk

pelaksanaannya.

2. Mikroskop merupakan komponen utama untuk mendiagnosis penyakit TB

melalui pemeriksaan dahak penderita tersangka TB. Biakan dapat juga

digunakan sebagai alat bantu diagnostik tambahan. Perlu diingat bahwa

mikroskop baru berguna bila ada keahlian dalam menggunakannya (perlu

orang yang berpengalaman).

3. Pengawas menelan obat (PMO) akan ikut mengawasi penderita minum

seluruh obatnya. Keberadaan PMO ini untuk memastikan penderita telah

benar minum obat dan bisa diharapkan akan sembuh pada saat akhir

pengobatan. PMO merupakan orang yang dikenal dan dipercaya baik oleh

penderita maupun petugas kesehatan. Penderita TB yang dirawat di RS,

yang bertindak sebagai PMO (pengawas minum obat) adalah petugas rumah

sakit. Pada penderita yang berobat jalan, bertindak sebagai PMO bisa

dokter, petugas kesehatan, suami/istri/ keluarga/orang serumah, atau orang

lain seperti kader kesehatan, kader PPTI, kader PKK dll yang memenuhi

26
persyaratan PMO yaitu bersedia dengan sukarela membantu penderita TB

sampai sembuh selama 6 bulan. PMO ditetapkan sebelum pelaksanaan DOT

dilakukan, dan harus hadir di pusat pelayanan kesehatan untuk mendapatkan

pelatihan singkat tentang DOTS.

4. Pencatatan dan pelaporan merupakan bagian dari sistem surveillance

penyakit TB untuk mendeteksi kasus dan keberhasilan pengobatan. Dengan

rekam medik yang dicatat dengan baik dan benar, akan bisa dipantau

kemajuan pengobatan penderita, mulai sejak ditegakkan diagnosis TB,

pengobatan, pemeriksaan dahak, pemantauan dan penderita dinyatakan

sembuh atau selesai pengobatan.

5. Paduan obat jangka pendek yang benar termasuk dosis dan jangka waktu

pengobatan yang tepat, sangat penting dalam keberhasilan pengobatan

penderita. Kelangsungan persediaan obat jangka pendek harus selalu

terjamin. OAT esensial adalah INH, rifampisin, pirazinamid, streptomisin,

dan etambutol. Pengadaan obat-obat tersebut harus harus terintegrasi dalam

program obat esensial. Perencanaan distribusi dengan jumlah yang cukup

pada waktu yang tepat. Yang paling pentiing adalah tersedianya obat dengan

harga terjangkau atau bebas biaya yang diusahakan Departemen Kesehatan

RI dalam bentuk Kombipak, atau sering dikenal oleh penderita sebagai obat

Program. (Aditama, 2010).

Penelitian menunjukkan bahwa angka keberhasilan DOTS mencapai

94,5% atau dengan kata lain hanya 5,5% yang gagal, dibandingkan dengan

21% pada pemberian OAT sendiri (self-administered treatment). Dari 21%

tersebut 29% menjadi resistensi obat ganda (multi-drug resistant)

27
dibandingkan 16% pada 5,5% pasien program DOTS yang tidak sembuh.

Resistensi ganda ini merupakan masalah yang serius karena sangat sulit

diobati, dengan angka keberhasilan pengobatan hanya sekitar 50%,

sedangkan biaya pengobatan bisa meningkat sampai 100 kali lipat lebih

mahal. Oleh karena itu dukungan politik dan penyuluhan terhadap penderita

dan PMO menjadi sangat penting untuk meyakinkan penderita agar

menjalani DOTS dengan baik (Depkes, 2010).

Masalah kurang gizi pada penderita TBC merupakan masalah

penting, karena selain mempunyai resiko terhadap penyakitnya , juga dapat

mempengaruhi produktivitas kerjanya. Pentingya masalah gizi penderita

TBC sudah lama menjadi perhatian dunia kedokteran. Semula pengobatan

penderita dilakukan dengan perbaikan gizi dan tata cara kehidupan

penderita. Tindakan ini terbukti efektif dengan hasil semakin berkurangnya

angka kematian penderita. Tindakan ini akhirnya kurang mendapat

perhatian serius sejak ditemukannya obat streptomisin. Padahal para ahli

sependapat tidak ada satu regimenpun dari obat- obat anti tuberkulosis yang

dapat membunuh kuman 100 %. Dalam strategi DOTS, masalah gizi

penderita juga belum mendapat perhatian.

Penderita TBC yang kurang gizi akan mengakibatkan produksi

antibodi dan limfosit terhambat sehingga proses penyembuhan akan

terhambat pula. Sebaliknya sebagai penyakit infeksi, TBC bisa

mempengaruhi status gizi penderita karena proses perjalanan penyakitnya

yang mempengaruhi daya tahan tubuh. Menyadari hubungan antara

perjalanan penyakit TBC dengan daya tahan tubuh dan bagaimana pengaruh

28
gizi pada daya tahan tubuh sudah saatnya kita untuk tidak melihat seorang

penderita hanya dengan pengobatan atau vaksinasi semata – mata Tujuh

puluh lima persen penderita TBC paru berasal dari golongan tenaga kerja

produktif ( umur 1 – 60 tahun ) dan golongan ekonomi lemah. Sebagai

negara berkembang, Indonesia berisiko 20 – 50 kali lebih besar terhadap

TBC dibandingkan negara maju (18). Masalah gizi menjadi penting karena

perbaikan gizi merupakan salah satu upaya untuk memutus lingkaran setan

penularan dan pemberantasan TBC di Indonesia

E.Landasan Teori

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang menular yang

disebabkan oleh Basil Mikobakterium Tuberkulosa. Penularan penyakit TB

biasanya melalui udara dengan inhalasi droplet nucleus yang mengandung

basil tuberkulosis berukuran 1-5 mikro meter yang dapat melewati atau

menembus sistem mukosilier saluran nafas, sehingga dapat mencapai dan

bersarang dibronkhiolus dan alveolus. Kuman TB menyebar dari seorang

penderita TB paru terbuka kepada orang lain. Tuberkulosis adalah penyakit

menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium

Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga

mengenai organ tubuh lainnya.

Kategori-1 : Kombinasi obat mengandung Isoniazid, Rifampisin,

Pirazinamid dan Etambutol yang dipakai satu kali sehari selama 2 bulan,

dilengkapi dengan Isoniazid dan Rifampisin yang dipakai tiga kali seminggu

selama 4 bulan (2HRZE/4H3R3)

29
Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan

strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly

Observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi

penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective).Strategi

ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials),

pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi

program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan

strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga

mencegah berkembangnya MDR-TB.Fokus utama DOTS adalah penemuan

dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe

menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian

menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan

pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.

F.Kerangka Konsep

Adapun yang menjadi kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seperti

yang terlihat berikut ini :

Pengetahuan

Kepatuhan Kejadian konversi BTA pada

Status Nutrisi TB Paru dengan kategori 1

Peranan Pengawas DOTS

30
G.Hipotesis

1. Terdapat hubungan pengetahuan dengan kejadian kejadian konversi BTA

pada TB Paru dengan kategori 1 di wilayah kerja puskesmas Kisaran.

2. Terdapat hubungan kepatuhan pengobatan dengan kejadian kejadian

konversi BTA pada TB Paru dengan kategori 1 di wilayah kerja

puskesmas Kisaran.

3. Terdapat hubungan status nutrisi dengan kejadian kejadian konversi BTA

pada TB Paru dengan kategori 1 di wilayah kerja puskesmas Kisaran.

4. Terdapat hubungan peranan pengawas DOT dengan kejadian kejadian

konversi BTA pada TB Paru dengan kategori 1 di wilayah kerja

puskesmas Kisaran.

31
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah studi retrospektif (Case Control Study)

Kelompok Intervensi adalah pasien dengan TB Paru setelah pengobatan

DOTS untuk tahap intensif kategori pertama tidak terjadi pada konversi

sputum BTA pada pasien TB Paru. Kelompok kendali adalah pasien

dengan TB Paru setelah pengobatan DOTS untuk kategori pertama fase

intensif yang terjadi pada konversi sputum BTA pasien TB Paru.

B.Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja puskesmas Kisaran dari

bulan Nopember s/d Oktober 2013.

C.Populasi dan Sampel Penelitian

Jumlah responden dalam kedua kelompok Intervensi dan

Kelompok Kendali adalah 34.

D. Pengumpulan Data

1. Data Primer : Data diperoleh dari subjek penelitian dengan cara

pengisian kuesioner dari hasil wawancara dan hasil pemeriksaan fisik

penderita.

2. Data sekunder : diperoleh dari hasil pencatan penderita tuberkulosis

paru yang mendapat OAT di puskesmas.

32
E.Cara Penelitian

Alat Ukur Penelitian

1. Peralatan Laboratorium

2. Register harian, yaitu register yang digunakan untuk mencatat penderita

tersangka TB paru yang datang tiap hari di tempat pelayanan kesehatan

serta hasil pemeriksaan mikroskop pada awal pemeriksaan.

3.Kartu catatan medis untuk mendapat perkembangan penderita TB paru

dan mencatat hasil pemeriksaan secara mikroskop pada akhir fase

pengobatan awal dan akhir pengobatan sehingga dapat ditentukan

pasien sembuh atau belum.

F.Analisis Data

Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dan wawancara

dan kemudian data dianalisa dengan deskriptif dan analisis multiple

logistik regression dengan tingkat signifikansi 0.05 dan fisher exact test

33
34

Anda mungkin juga menyukai