Anda di halaman 1dari 16

FOSIL PROBOSCIDEA DARI SITUS SEMEDO:

Hubungannya Dengan Biostratigrafi dan


Kehadiran Manusia di Jawa

PROBOSCIDEA FOSSIL FROM SEMEDO SITE:


Its Correlation With Biostratigraphy and
Human Arrival in Java

Siswanto dan Sofwan Noerwidi


Balai Arkeologi Yogyakarta
siswanto.balar@gmail.com
noerwidi@arkeologijawa.com

ABSTRACT
Semedo site is rich on vertebrate fossils, with huge percentage come from Ordo Proboscidea. The
aim of this paper is to identify the taxonomy of Proboscidean fossils important for reconstruction on
Biostratigraphy of Java. This research uses a descriptive comparative method on morphological and
morphometry characters, compared to similar data from Java and others related places. Based on this
research we know that in Semedo site there are several species of Proboscidean, i.e.: Sinomastodon
bumiayuensis, Stegodon trigonocephalus, Stegodon ”pygmy” semedoensis, Stegodon hypsilophus, Elephas
(Archidiskodon) planifrons, and Elephas Hysudrindicus. This reflects that a long environmental changes or
the history of ancient environment has been recorded in Semedo, related with ecological context of hominid
appearance in this region.

Keywords: Proboscidea, Biostratigraphy, Pleistocene, Human Migration

ABSTRAK
Situs Semedo kaya akan fosil vertebrata darat, dengan persentase terbesar berasal dari Ordo
Proboscidea. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi taxonomi fosil Proboscidea yang posisinya
sangat penting bagi rekonstruksi biostratigrafi Jawa. Penelitian ini menggunakan deskriptif komparatif pada
karakter morfologi dan karakter morfometri, dengan analisis perbandingan pada data sejenis dari Jawa dan
tempat lainnya yang berkaitan. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa di Situs Semedo
terdapat beragam jenis fosil Proboscidea, yaitu: Sinomastodon bumiayuensis, Stegodon trigonocephalus,
Stegodon ”pygmy” semedoensis, Stegodon hypsilophus, Elephas (Archidiskodon) planifrons, dan Elephas
Hysudrindicus. Kondisi ini memperlihatkan bahwa Semedo merekam perubahan lingkungan yang cukup
panjang atau sejarah lingkungan purba, dan berkaitan dengan konteks ekologi kehadiran manusia purba di
kawasan tersebut.

Kata kunci: Proboscidea, Biostratigrafi, Plestosen, Migrasi Manusia

Tanggal masuk : 1 September 2014


Tanggal diterima : 3 November 2014

Fosil Probocidea Dari Situs Semedo : Hubungannya Dengan Biostratigrafi 115


dan Kehadiran Manusia di Jawa (Siswanto-Sofwan Noerwidi)
PENDAHULUAN manusia purba pertama dari Situs
Semedo oleh Dakri. Berdasarkan hasil
Situs Semedo secara administratif identifikasi oleh Widianto (2011)
terletak di Desa Semedo Kec. diketahui bahwa fragmen atap
Kedungbanteng, Kab. Tegal, Propinsi tengkorak tersebut berasal dari anggota
Jawa Tengah. Situs ini mulai dikenal kelompok Homo erectus tipik (classic),
sejak tahun 2005 setelah terbukanya berumur sekitar 0.7 juta tahun yang lalu
lahan situs yang semula tertutup oleh (Widianto 2011). Kemudian Balai
vegetasi tanaman milik PT. Perhutani. Pelestarian Situs Manusia Purba
Temuan arkeologis yang muncul ke (BPSMP) Sangiran pada tahun 2012
permukaan tanah antara lain sisa-sisa berhasil melacak lokasi penemuan atap
fauna berupa fosil dan beberapa alat tengkorak tersebut yang berasal dari
litik. Mengingat temuan ini merupakan endapan teras “Kalen Kawi”, namun
temuan yang penting dan dapat belum dapat diketahui lokasi
memberikan gambaran mengenai pengendapan aslinya (Widiyanto dan
evolusi faunal dan lingkungan purba Hidayat 2012).
pada Kala Plestosen di Jawa, maka Perlahan namun pasti,
Balai Arkeologi Yogyakarta segera perkembangan hasil yang ditemukan di
memutuskan untuk melakukan Semedo membuat situs ini memiliki nilai
peninjauan ke lokasi penemuan guna tinggi untuk terus diteliti. Pada tahun
melakukan identifikasi temuan dan 2013 Balai Arkeologi Yogyakarta
pengelolaan situs secara lebih lanjut. kembali mengadakan penelitian. Pada
Penelitian eksplorasi di situs awalnya penelitian tersebut akan
Semedo dilaksanakan oleh Balai dilakukan dalam bentuk ekskavasi dan
Arkeologi Yogyakarta bekerjasama survei namun karena data fosil temuan
dengan Dinas Pendidikan dan masyarakat yang telah terkumpul cukup
Kebudayaan Kabupaten Tegal, pada banyak dan perlu penanganan, maka
tahun 2005 dan 2008. Tujuan kegiatan kegiatan penelitian difokuskan pada
tersebut adalah untuk mengetahui lebih identifikasi seluruh data fauna maupun
jauh data arkeologis beserta data tinggalan budayanya. Hasil yang
persebarannya, dan dilaksanakan dalam diperoleh cukup signifikan, karena selain
bentuk survei permukaan, pemetaan, menambah kuantitas juga menambah
dan ekskavasi (Widianto dan Hidayat kualitas, terutama telah ditemukan
2006). Hasil penelitian cukup beberapa spesies yang sangat langka
memberikan informasi yang signifikan ditemukan di situs sebelumnya, maupun
terhadap perkembangan kajian Kala spesies baru yang belum pernah
Plestosen di Jawa, yang dapat ditemukan di situs Plestosen lainnya.
disejajarkan signifikansinya dengan
situs-situs serupa di Jawa. DATA PALEONTOLOGI SITUS
Berdasarkan hasil penelitian SEMEDO
tersebut dapat diketahui bahwa sebaran
fosil fauna vertebrata di situs Semedo Berdasarkan penelitian Balai
diperkirakan mencapai luas 2.5 km2, Arkeologi Yogyakarta tahun 2013
yang terkonsentrasi di sebelah selatan berhasil diindentifikasi temuan
Desa Semedo. Alat batu dengan ciri paleontologi berupa fosil-fosil vertebrata
teknologi Paleolitik, seperti alat serpih dan avertebrata di Situs Semedo yang
dan serut juga ditemukan di situs sangat signifikan dan menunjang
Semedo, khususnya pada sedimen rekonstruksi sejarah hunian di situs
teras sungai. Sebagian besar dari alat tersebut. Tercatat bahwa telah
batu tersebut berasal dari bahan rijang diidentifikasi sebanyak 1537 keping fosil
dan batugamping kersikan (Widianto yang terdiri dari 1331 fosil vertebrata
dan Hidayat, 2006). dan 207 fosil invertebrata. Pada
Dalam perkembangan penelitian, umumnya fosil-fosil tersebut ditemukan
tercatat kemudian pada bulan Mei tahun dalam bentuk pecahan atau fragmen,
2011 ditemukan fragmen atap tengkorak terutama fosil-fosil fauna vertebrata.

116 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 115-130


Gambar 1. Peta keletakan Situs Semedo di Kabupaten Tegal
(Sumber: www.pemkabtegal.go.id)

Secara kualitatif temuan fosil persentase sebagian besar fosil


vertebrata teridentifikasi 14 familia vertebrata yang ditemukan di Situs
meliputi Familia Mastodontidae, Semedo memperlihatkan karakter
Stegodontidae, Elephantidae, ekologi daratan. Lebih jauh lagi, porsi
Rhinoceritidae, Hippopotamidae, terbesar fosil vertebrata darat yang
Bovidae, Cervidae, Suidae, Canidae, ditemukan berasal dari Ordo
Felidae, Hyaenidae, Crocodilidae, Proboscidea, sehingga perlu dilakukan
Testudinidae, dan Lamnidae. Kemudian analisis lebih lanjut terhadap fosil-fosil
temuan sisa avertebrata meliputi phylum Proboscidea tersebut. Kemudian, tulisan
Ceolenterata, Echinodermata, dan ini bertujuan untuk mengkaji lebih jauh
Moluska. Jenis binatang yang paling fosil Proboscidea dari Situs Semedo
banyak ditemukan dalam proses yang posisinya sangat penting bagi
identifikasi pada tahapan ini adalah rekonstruksi biostratigrafi Jawa.
anggota Ordo Proboscidea 241 Suatu hal lainnya yang menarik
fragmen, Bovidae 243 fragmen, adalah dengan ditemukannya fossil
Cervidae 223 fragmen, dan Chelonia molar Mastodon atau kemungkinan
sejumlah 196 fragmen. adalah Cryptomastodon di situs
Jenis temuan fauna di Situs Semedo. Namun demikian, masih perlu
Semedo yang bervariasi tersebut dilakukan studi yang lebih detil
menunjukkan habitat atau lingkungan mengenai fosil molar Mastodon
yang beragam. Adanya avertebrata dari tersebut. Dengan ditemukannya fosil
phylum Ceolenterata, Echinodermata, molar Mastodon sangat menarik karena
Moluska, dan vertebrata dari phylum fauna ini hanya hadir pada masa yang
Lamnidae (hiu putih) menunjukkan paling tua dalam suksesi biostratigrafi
adanya kelompok hewan berhabitat laut. fauna di Jawa, yaitu berada pada kurun
Temuan-temuan sisa famillia Fauna Satir (2-1.5 Ma), dan tidak hadir
Crocodilidae yang sebagian pada masa selanjutnya. Hal tersebut
terindentifikasi spesies buaya muara, memberikan indikasi bahwa situs
dapat menggambarkan habitat antara Semedo adalah situs prasejarah kuarter
daratan dan laut. Seperti ditunjukan dari yang tertua di Jawa. Kebetulan lokasi
hasil penelitian tersebut di atas, maka situs Semedo juga berdekatan dengan

Fosil Probocidea Dari Situs Semedo : Hubungannya Dengan Biostratigrafi 117


dan Kehadiran Manusia di Jawa (Siswanto-Sofwan Noerwidi)
wilayah Bumiayu yang pernah
ditemukan gigi molars Sinomastodon
bumiajuensis oleh Van den Maarel pada
tahun 1932 (van der Maarel 1932).

METODE PENELITIAN

Penelitian mengenai paleontologi


ini bersifat deskriptif komparatif dengan
cara mendeskripsikan data secara
sistematis untuk kemudian dilakukan
analisis perbandingan dengan data dari
penelitian serupa yang pernah dilakukan
di Jawa pada khususnya maupun di
tempat lainnya. Data utama yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah
gigi Molar dari anggota Ordo
Proboscidea yang ditemukan di Situs
Semedo. Sebagai data pembanding
akan digunakan studi terdahulu dari
Hooijer dan van den Bergh.
Deskripsi dilakukan secara Gambar 2. Beberapa terminologi pengukuran
kualitatif terhadap karakter morfologi pada molar Proboscidea
yang mencakup aspek bentuk dan (Sumber: van den Berg 1999)
karakter morfometri yang meliputi aspek
dimensional. Guna keselarasan dengan FOSIL PROBOSCIDEA DARI SITUS
kajian komparasi yang akan dilakukan SEMEDO
dalam penelitian ini, maka digunakan
metode deskripsi morfologi dan Proboscidea berasal dari bahasa
morfometri yang pernah dilakukan oleh latin Latin yaitu ”Proboscis” yang secara
para peneliti sebelumnya, seperti umum berarti bagian tubuh yang
misalnya oleh Hooijer dan van den Berg memanjang dari kepala hewan, baik
(1999). Karakter morfologi meliputi vertebrata maupun invertebrata.
bentuk umum gigi, akar, talon, pilar gigi Proboskis yang juga dikenal sebagai
(lamella), kemuncak (cuspic) pada pilar belalai digunakan sebagai semacam
gigi, dan tingkat keausan. Kemudian pipa untuk menghisap dan menyalurkan
definisi karakter morfometri meliputi : makanan. Ordo Proboscidea pertama
h : tinggi pilar gigi (basal - occlusal) kali dideskripsikan oleh J. Illiger tahun
secara individual dalam milimeter 1811 untuk menyebut mamalia
w : lebar pilar gigi (bucco - lingual) berbelalai. Proboscidea merupakan ordo
secara individual dalam milimeter taksonomi yang terdiri dari satu famili
L : panjang maksimal molar, diukur yang saat ini masih lestari yaitu
sepanjang longitudinal axis Elephantidae, dan beberapa famili yang
dalam milimeter sudah punah seperti Mastodontidae dan
W : lebar maksimal molar, diukur Stegodontidae (Shoshani, et.al. 2005).
medio – lateral pada sisi terlebar Di Situs Semedo terdapat tiga
dalam millimeter familia anggota Ordo Proboscidea, yaitu
I, II, dst : Angka Romawi yang Familia Gomphotheriidae,
menunjukkan nomer urut Stegodontidae, dan Elephantidae.
pilar dihitung dari sisi Berikut ini adalah deskripsi dan analisis
posterior komparasi dari fauna-fauna tersebut.

118 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 115-130


Gomphotheriidae et al. (1986) berdasarkan temuan fosil
Proboscidean yang ditemukan di Yüshe
Gomphotherium (Welded Beast) Basin, Provinsi Shansi, China Utara.
adalah salah satu familia anggota ordo Sejauh ini sudah ada empat spesimen
proboscidea yang telah punah. Fauna yang dapat diidentifikasi sebagai
ini berevolusi di Amerika Utara pada anggota genus Sinomastodon dari Situs
awal Miosen sejak 13.6 hingga 3.6 juta Semedo (lihat tabel 1.).
tahun yang lalu, atau bertahan hidup Berdasarkan pengamatan pada
selama 10 juta tahun. Dari Amerika morfologi gigi Molar 2 tersebut dapat
Utara kemudian mereka menyebar ke diketahui bahwa specimen tersebut
benua Asia, Eropa dan Afrika pada saat termasuk dalam spesies Sinomastodon
iklim glasial (jaman es) ketika bumiayuensis (van der Maarel, 1932).
menurunnya ketinggian air laut yang Molar tersebut memiliki karakter
memungkinkan mereka untuk bunodont yang sederhana yaitu bentuk
menyeberang. Mereka bertahan hingga pilar yang saling terisolasi dengan
Pliosen, dan sisa-sisanya telah kemuncak yang membundar. Pilar
ditemukan di banyak tempat di dunia intermediates seharusnya memiliki
termasuk Indonesia, kecuali Australia karakter trilophodont, namun karena
dan Afrika bagian selatan (Alberdi et al. jejak atrisi gigi yang sangat intensif,
2007). karakter ini sulit diamati.
Pada perbandingan morfometri
Sinomastodon bumiayuensis (van der dapat diketahui bahwa Sinomastodon
Maarel) bumiayuensis berukuran sedikit lebih
kecil dari pada genus Sinomastodon
Sinomastodon atau “Chinese dari China yang dideskripsikan oleh
mastodont" adalah salah satu anggota Wang et al. (2012). Panjang maksimal
familia Gomphothere yang telah punah. (L) M2 inf specimen dari China adalah
Mereka hidup antara Miosen akhir dan antara 112 – 114 mm dengan lebar
Plestosen awal yang tersebar di Asia maksimal (W) antara 72 – 74 mm,
Timur daratan dan kepulauan. Salah sedangkan Sinomastodon bumiayuensis
satu anggota ordo Gomphotherium yang memiliki L antara 71 – 80 mm dan W
ditemukan di Jawa adalah sekitar 54 mm. namun demikian,
Sinomastodon. Genus Sinomastodon keduanya memiliki karakter morfologi
pertama kali diperkenalkan oleh Tobien yang identik.

Tabel 1. Empat specimen Sinomastodon dari Situs Semedo.

No. Nama Spesimen Lokasi Penemuan Elemen Anatomi Elemen Tersisa


1 Semedo 1551 Petak 24, Ger Arca M2 inf sin 1 Lamella Anterior
2 Semedo 1552 Petak 28, Rengas M2 inf sin Utuh
3 Semedo 1553 Petak 27 M2 inf sin Talon & 2 Lamella
4 Semedo 3224 Semedo M2 inf dex Utuh

Tabel 2. Morfometri Sinomastodon bumiayuensis

Talonid I II III L W
No. Nama Spesimen
w h w h w h w h
1 Semedo 1551 33 15 54 15 53 24 48 20 71 54
2 Semedo 1552 - - - - - - 54 16 - -
3 Semedo 1553 40 26 64 28 64 22 - - - -
4 Semedo 3224 40 26 54 28 54 28 51 26 80 54

Fosil Probocidea Dari Situs Semedo : Hubungannya Dengan Biostratigrafi 119


dan Kehadiran Manusia di Jawa (Siswanto-Sofwan Noerwidi)
Gambar 3. M2 inf sin Sinomastodon dari Semedo (kiri) dan Jiangnan, China (kanan)
(Sumber: Dok. Balar Yogya (kiri) dan Wang, et al. 2012 (kanan))

Selain di Indonesia, fosil morfologi sebagai Stegodon


Sinomastodon juga ditemukan di China, trigonocephalus ditampilkan pada tabel
yaitu Sinomastodon hanjiangensis, 3.
Sinomastodon yangziensis dan
Sinomastodon jiangnanensis yang Tabel 3. Elemen anatomi Stegodon
terakhir ditemukan pada tahun 2012. trigonocephalus
Selain itu juga terdapat Sinomastodon
sendaicus dari Jepang yang sisa No. Elemen Anatomi Jumlah
dentarynya ditemukan dalam endapan 1 Mandible 13
Pliosen (Wang et al. 2012). 2 Maxilla 1
3 Molar 122
4 Gading 7
Stegodontidae
Total 143
Stegodontidae adalah salah satu
Secara umum morfologi dentary
familia anggota Ordo Proboscidea yang
khususnya pada M3 Stegodon
sudah punah, hidup sejak Miosen
trigonocephalus yang ditemukan di
hingga Pleistosen, dan berkembang
Semedo adalah memiliki jumlah lamella
secara endemik di Afrika dan Asia.
(pilar) sebanyak 13 baris, jarak antar
Stegodon berarti bergigi mahkota,
pilar cukup renggang, dengan orientasi
umumnya dianggap sebagai familia
pilar sedikit miring. Bentuk cuspic
Stegodontidae (R. L. Carroll 1988),
(kemuncak) seperti mahkota, dengan
namun seringkali dianggap sebagai
variasi rekahan khususnya pada bagian
subfamili dari Elephantidae (Abel 1919).
intermediate, jumlah kemuncak pada
Berikut ini adalah beberapa jenis
tiap pilar enam sampai delapan, dan
Stegodon yang berhasil diidentifikasi
posisinya saling berhimpitan.
dari Semedo, yaitu:
Berdasarkan morfometrinya,
Stegodon trigonocephalus memiliki lebar
Stegodon trigonocephalus (Martin)
maksimal (W) molar antara 65 - 95 mm,
kemudian tinggi maximal (H) pilar antara
Elemen tersisa dari genus
45 - 70 mm. Hasil ini baru didasarkan
Stegodon terdapat sejumlah 143
pada pengukuran dengan sampel acak
spesimen. Pada spesimen tersebut tidak
gigi molar dari spesies tersebut. Analisis
dilakukan studi morfometri secara detail,
morfometri mendetil masih terbuka lebar
karena identifikasi berdasarkan karakter
untuk dilakukan pada penelitian
morfologi cukup jelas bahwa sebagian
selanjutnya guna menjajaki adanya
besar termasuk ke dalam spesies
penemuan spesies baru lainnya,
Stegodon trigonocephalus. Rincian
mengingat di Jawa terdapat beberapa
elemen anatomi yang dapat
spesies dan subspesies Stegodon yang
diidentifikasi berdasarkan karakter
hidup pada kala Plestosen, seperti yang

120 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 115-130


diajukan oleh von Koenigswald (1933), Gigi molar dari Semedo berada
yaitu : Stegodon trigonocephalus dalam kumpulan molar bernomer 1082 –
trigonocephalus dan Stegodon 1147, adalah fragmen bagian posterior
trigonocephalus praecursor. M3 sup sin, yaitu talonid posterior dan
lima baris lamella (pilar). Molar tersebut
diidentifikasi sebagai Stegodon
hypsilophus karena memiliki bentuk pilar
yang tinggi dan vertikal, berbeda
dengan bentuk pilar S. trigonocephalus
yang cenderung pendek dan
berorientasi miring. Jumlah cuspic
(kemuncak) pada dua pilar posterior
berjumlah tiga, dan pilar seterusnya
berjumlah empat sampai enam, lebih
sedikit dari pada kemuncak S.
trigonocephalus yang sampai berjumlah
delapan.
Sayangnya, belum ditemukan
bagian anterior dari Molar 1082 ini,
sehingga tidak dapat diketahui jumlah
maksimal pilar pada gigi tersebut.
Namun berdasarkan perbandingan
dengan identifikasi S. hypsilophus dari
Jawa Timur, diperkirakan bahwa
spesies sejenis dari Semedo memiliki 11
baris pilar pada M3, berbeda dengan S.
Gambar 4. M3 Stegodon trigonocephalus dari trigonocephalus yang memiliki 13 baris
Semedo, sisi Occlusal (atas), Lateral (bawah) pilar (Hooijer 1954)
(Dok. Balar Yogya) Berdasarkan komparasi
morfometri M3 sup sin, Stegodon
Stegodon hypsilophus (Hooijer) hypsilophus dari Semedo memiliki
ukuran yang identik dengan spesimen
Salah satu gigi molar dari Semedo sejenis yang dianalisis oleh Hooijer
dapat diidentifikasi sebagai Stegodon (1954), yaitu memiliki lebar pilar (w)
hypsilophus, yaitu jenis Stegodon antara 45 - 58 mm, dan tinggi pilar (h)
berukuran kecil yang pernah hidup di antara 35 - 46 mm. Oleh karena itu
Jawa pada Plestosen tengah. Spesies maka keberadaan spesies Stegodon
ini pertama kali dipublikasikan oleh hypsilophus di Semedo telah didukung
Hooijer (1954) berdasarkan temuan oleh analisis komparasi morfologi dan
sepasang M3 sup sin dan dex dari Desa morfometri (tabel 4.) .
Jetis dan Perning, Jawa Timur.

Gambar 5. M3 sup sin Stegodon hypsilophus dari Semedo (kiri) dan Kedungbrubus (kanan)
(Sumber: Dok. Balar Yogya (kiri) dan Hooijer 1954 (kanan))

Fosil Probocidea Dari Situs Semedo : Hubungannya Dengan Biostratigrafi 121


dan Kehadiran Manusia di Jawa (Siswanto-Sofwan Noerwidi)
Tabel 4. Analisis komparasi morfologi - morfometri Stegodon hypsilophus di Semedo

Talonid I II III IV V
No. Nama Spesimen
w h w h w h w h w h w h
1 Semedo 1082 31 22 45 35 47 38 53 42 56 44 58 46
S. hypsilophus
2 32 34 41 39 45 44 53 49 59 52 62 54
(Hooijer, 1954)

Tabel 5. Elemen anatomi Stegodon ”pygmy”

No. Nama Spesimen Lokasi Penemuan Elemen Anatomi Elemen Tersisa


1 Semedo 1047 Petak 26 M3 inf (?) Talonid + 3 Lamella
2 Semedo 1554 Petak 27, Gondang M2 sup (?) 3 Lamella

Gambar 6. M3 inf Stegodo semedoensis nov. spec. dari Semedo sisi Occlusal (kiri) dan lateral (kanan).
(Dok. Balar Yogya)

Stegodon ”pygmy” (semedoensis (kemuncak) dilengkapi dengan mahkota,


nov. spec.) terdapat variasi rekahan, jumlah
kemuncak pada tiap pilar enam sampai
Selain Stegodon hypsilophus yang delapan yang posisinya saling
telah dibahas di atas, di Semedo juga berhimpitan. Namun ukurannya yang
terdapat tiga specimen Molar yang sangat kecil, menjadikannya tidak bisa
berukuran sangat kecil. Diperkirakan dimasukan dalam kelompok spesies
bahwa specimen ini merupakan anggota Stegodon trigonocephalus
Ordo Stegodontidae yang “pygmy”. Untuk melakukan identifikasi,
Elemen anatomi tersisa dari jenis maka diperlukan studi komparasi
tersebut ditampilkan pada tabel 5. morfometri dengan beberapa spesies
Secara umum, morfologi dua Stegodon “pygmy” yang telah ditemukan
spesimen dentary ini mirip dengan Molar di Indonesia, seperti misalnya S.
spesies Stegodon trigonocephalus, yaitu timorensis, S. mindanensis, S.
memiliki jarak antar lamella (pilar) yang sampoensis, dan S. florensis. Hasil
cukup renggang, dengan orientasi pilar pengukuran lebar maksimum Molar (W)
sedikit miring. Bentuk cuspic dan tinggi pilar (h) ditampilkan pada
tabel 6.

122 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 115-130


Tabel 6. Pengukuran lebar maksimum karena itu, kelima specimen dari
Molar (W) dan tinggi pilar (h). Semedo ini dapat diidentifikasi sebagai
Molar cadangan (supernumerary)
No. Nama Spesimen W h spesies Stegodon trigonocephalus
1 Semedo 1047 32 13 .
2 Semedo 1554 42 20
3 Cariang (Zaim 2004) 34.2 -
4 S. timorensis 45 35
(Hooijer 1969)
5 S. mindanensis 37 -
(Hooijer 1969)
6 S. sampoensis 60 -
(Hooijer 1969)
7 S. florensis 51 -
(Hooijer,1969)

Berdasarkan hasil komparasi


morfometri Molar, dapat diketahui
bahwa Semedo 1047 dekat dengan
spesimen Cariang yang ditemukan oleh
Zaim (2004), dan S. mindanensis dari
Mindanao yang dipublikasikan oleh
Naumann. Kemudian Semedo 1554
dekat dengan S. timorensis yang
diperkenalkan oleh Sartono (1969).
Karena spesimen yang pernah
ditemukan di Cariang belum diberikan
nama khusus, maka diajukan untuk
menggunakan nama Stegodo
semedoensis nov. spec. berdasarkan Gambar 7. Molar cadangan (supernumerary)
dua fragmen yang ditemukan di Semedo Stegodon trigonocephalus dari Semedo
tersebut. (Sumber: Dok. Balar Yogya (atas) dan
von Koenigswald 1933 (bawah))
”Cryptomastodon” (Koenigswald)
Elephantidae
Sampai saat ini, terdapat
sedikitnya 5 spesimen dari Semedo Elephantidae adalah kelompok
yang disimpan di Museum Sekolah dan familia yang terdiri dari kelompok gajah
diidentifikasi sebagai dentary dan mamut. Sebagian anggota familia
Cryptomastodon. Von Koenigswald ini telah punah, kecuali genus
(1933) adalah yang pertama kali Loxodonta (gajah Afrika) dan Elephas
mempublikasikan dua fragmen Molar (gajah Asia) yang masih lestari. Familia
yang bentuknya tidak biasa (anomaly) ini pertama kali didefinisikan oleh John
dari Sangiran dan Patiayam sebagai Edward Gray (1821), dan kemudian
jenis Mastodon yang enigmatic secara urutan taksonomi dimasukan
(misterius). Namun Hooijer (1984) dalam ordo Proboscidea. Familia
menyatakan bahwa gigi tersebut milik Elephantidae yang ditemukan di
Stegodon trigonocephalus. Kemudian, Semedo adalah Elephas hysudrindicus
van Essen et.al. (2006) berhasil dan Elephas (Archidiskodon) planifrons.
mengidentifikasi gigi tersebut sebagai Berikut ini adalah bahasan mengenai
Molar yang cacat (M4). kedua spesies tersebut.
Secara morfologi, Molar ini terdiri
dari sekumpulan cuspic yang tumbuh Elephas hysudrindicus (Dubois)
cenderung melingkar, tanpa bentuk pilar
yang jika normal seharusnya Elemen anatomi yang tersisa dari
berkembang ke arah transversal. Oleh genus Elephas dari situs Semedo

Fosil Probocidea Dari Situs Semedo : Hubungannya Dengan Biostratigrafi 123


dan Kehadiran Manusia di Jawa (Siswanto-Sofwan Noerwidi)
dijumpai sejumlah 93 spesimen. Pada planifrons, E. celebensis, E.
spesimen ini tidak dilakukan studi indonesicus, dan E. maximus.
morfometri secara detil, karena analisis
berdasarkan karakter morfologi sudah
cukup jelas untuk menyimpulkan bahwa
sebagian besar spesimen tersebut
teridentifikasi ke dalam spesies Elephas
hysudrindicus. Berikut ini adalah tabel
rincian elemen anatomi yang dapat
diidentifikasi berdasarkan karakter
morfologinya sebagai Elephas
hysudrindicus:

Tabel 7. Elemen anatomi Elephas


hysudrindicus

No. Elemen Anatomi Jumlah


1 Mandible 2
2 Molar 59
3 Gading 32
Total 93

Secara umum morfologi dentary


Elephas hysudrindicus yang ditemukan
di Semedo adalah memiliki bentuk
lamella (pilar) yang sangat khas yaitu Gambar 8. M3 Elephas hysudrindicus dari Semedo,
tinggi (hypsodont) dan ramping, jarak sisi Occlusal (atas) dan sisi Lateral (bawah)
antar pilar cukup rapat, dengan orientasi (Dok. Balar Yogya)
pilar cenderung vertikal. Penampang
pilar berbentuk linier memanjang, Elephas (Archidiskodon) planifrons
dengan ukuran yang cenderung (Falconer et Cautley)
seragam, dan dengan banyak rekahan
khususnya pada seluruh permukaan Satu gigi molar dari Semedo dapat
occlusal. Bentuk individualisasi cuspic diidentifikasi sebagai Elephas
(kemuncak) yang tidak jelas, terbuka, (Archidiskodon) planifrons, yaitu jenis
dan posisinya saling berhimpitan. Elephas berukuran kecil yang pernah
Berdasarkan morfometrinya, hidup di Jawa pada awal Plestosen.
Elephas hysudrindicus memiliki lebar Spesies ini sebelumnya juga pernah
maksimal (W) molar sekitar 74 mm, ditemukan oleh van der Maarel (1932)
kemudian tinggi minimum pilar adalah yaitu berupa sebuah Molar dari Sungai
77+ mm (van den Berg, 1999). Karakter Ci Panglosoran, dekat Bumiayu.
ini mirip dengan beberapa sample Dentary bernomor 1085 dari
spesimen gigi molar dari Semedo, Semedo adalah sebuah fragmen DM inf,
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdiri dari tiga baris lamella (pilar), yang
sebagian besar spesimen Elephas dari diapit oleh dua pilar yang fragmentaris.
Semedo termasuk dalam jenis spesies Gigi tersebut diidentifikasi sebagai
E. hysudrindicus. Analisis morfometri Elephas (Archidiskodon) planifrons
yang lebih detail sangat mungkin untuk karena memiliki bentuk pilar yang agak
dilakukan pada penelitian berikutnya tinggi dan cenderung vertikal, dengan
guna mengeksplorasi kemungkinan jarak antar pilar yang cukup renggang,
penemuan spesies baru lainnya, dan ukuran enamel yang tebal terdiri
mengingat di Jawa terdapat beberapa dari dua lapisan enamel sehingga
spesies Elephas yang hidup selama kesannya mirip dengan jenis Stegodon
Plestosen, seperti yang disarankan oleh atau berkarakter stegodontine. Bentuk
Maglio (1973), yaitu : E. (Archidiskodon) penampang occlusal pilar sangat khas,

124 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 115-130


linier memanjang dengan pelebaran di REKONSTRUKSI BIOSTRATIGRAFI
bagian median berbentuk membundar. DAN INDIKASI KEHADIRAN MANUSIA
DI JAWA

Berdasarkan hasil identifikasi


morfologi dan morfometri di atas, maka
dapat diketahui bahwa Situs Semedo
menghasilkan beragam jenis fosil
Proboscidea, yaitu : dari familia
Gomphotheriidae adalah spesies
Sinomastodon bumiayuensis, dari
familia Stegodontidae adalah spesies
Stegodon trigonocephalus, Stegodon
”pygmy” semedoensis, dan Stegodon
hypsilophus, kemudian dari familia
Elephantidae adalah Elephas
(Archidiskodon) planifrons, dan Elephas
Hysudrindicus. Potensi ini
memperlihatkan bahwa Situs Semedo
merekam perubahan lingkungan yang
cukup panjang atau sejarah lingkungan
Gambar 9. Molar Elephas (Archidiskodon) purba, sehingga berkaitan dengan
planifrons dari Semedo (atas) dan Karangjati (bawah) konteks ekologi kehadiran manusia
(Sumber: Dok. Balar Yogya (atas) dan purba di kawasan tersebut.
Hooijer 1954 (bawah)). Sebelum teridentifikasi di Semedo,
Sinomastodon bumiayuensis telah
Hasil komparasi morfometri M, ditemukan pada bagian dasar Formasi
Elephas (Archidiskodon) planifrons dari Kaliglagah berupa pasir konglomeratan
Semedo menunjukan ukuran yang di Desa Satir, dekat Bumiayu, dan pada
identik dengan spesimen sejenis yang lapisan lempung hitam anggota Formasi
dianalisis oleh Hooijer (1954), yaitu Pucangan di Sangiran. Sinomastodon
memiliki lebar pilar (w) sekitar 56 - 63 bumiayuensis dijadikan sebagai salah
mm. Sayangnya belum ada data tinggi satu fauna penanda biostratigrafi Jawa
pilar (h) yang dapat dikomparasi untuk yang masuk dalam kelompok Fauna
memperkaya interpretasi tersebut. Satir berumur awal Plestosen, 2 - 1.5
Namun demikian, kehadiran spesies juta tahun yang lalu. Sampai saat ini
Elephas (Archidiskodon) planifrons di belum dapat diketahui posisi litologi asli
Semedo telah didukung oleh studi yang menghasilkan fauna ini di Semedo.
komparasi morfologi dan morfometri Namun diperkirakan Sinomastodon
dalam penelitian ini. bumiayuensis juga seumur dengan
temuan sejenis dari Bumiayu dan
Tabel 8. Komparasi morfometri M, Sangiran.
Elephas (Archidiskodon) Keberadaan Sinomastodon
planifrons bumiayuensis yang biasanya dilengkapi
dengan Hexaprotodon simplex dalam
No. Nama Spesimen W h kelompok Fauna Satir menunjukan
1 Semedo 1085 63 73 bahwa kondisi lingkungan Jawa pada
2 Coll. Dub. 3381 57 - masa tersebut masih berupa insular
(Hooijer 1955)
dengan banyak perairan, rawa, dan
3 Coll. Dub. 3413 56 -
(Hooijer 1955)
hutan mangrove. Selama ini sangat
4 Brit. Mus. 61 - jarang temuan fosil Hominid yang
(Hooijer 1955) dihasilkan dalam kurun waktu tersebut,
5 Amer. Mus. 63 - kecuali tentunya beberapa spesimen
(Hooijer 1955) Homo erectus (arkaik) Sangiran dari
Formasi Pucangan yang berumur 1.6

Fosil Probocidea Dari Situs Semedo : Hubungannya Dengan Biostratigrafi 125


dan Kehadiran Manusia di Jawa (Siswanto-Sofwan Noerwidi)
Ma dan fosil anak Mojokerto yang jika perenang, seperti misalnya Panthera
pertanggalannya bisa diterima luas dan Hyena, serta banyaknya fosil Homo
memiliki kekunaan hingga 1.8 Ma erectus (tipik) yang dihasilkan dari
(Swisher, et al. 1994; Huffman 2001). perode ini.
Elephas (Archidiskodon) planifrons Stegodon hypsilophus dan
diidentikkan dengan Elephas Elephas Hysudrindicus adalah dua jenis
indonesicus oleh van den Bergh (1992). Proboscidae yang sangat penting pada
Fauna ini kemungkinan berasal dari periode Fauna Kedungbrubus dari
masa yang sangat tua, mengingat sekitar 0.8 - 0.7 Ma, selain jenis
fosilnya ditemukan di Ci Panglosoran Stegodon trigonocephalus yang masih
pada Formasi Kali Glagah. Selain itu, survive hingga periode ini. Mengenai
fauna yang kemungkinan berasal dari banyaknya spesies Stegodon “Pygmy”
periode yang tua adalah Stegodon di Jawa, Van den Bergh (1999)
“pygmy” (semedoensis nov. spec.), berpendapat bahwa mungkin ada jenis
karena spesimen sejenis ditemukan Stegodon yang terisolasi dan berevolusi
oleh Zaim (2004) pada endapat pada beberapa subregion dalam masa
terrestrial yang mungkin sejaman penggunian mereka yang panjang di
dengan kelompok Fauna Satir atau Ci Pulau Jawa. Stegodon hypsilophus
Saat. kemungkinan adalah salah satu spesies
Periode Fauna Ci Saat (1.2 - 1.0 endemis di Jawa, percabangan dari
Ma) adalah masa peralihan antara Stegodon trigonocephalus.
lingkungan insular dengan daratan yang Masa periode peralihan antara
banyak dipengaruhi oleh pergerakan Fauna Satir dan Ci Saat (1.5 - 1.2 Ma),
tektonik dan vulkanisme pada masa serta antara Fauna Trinil dan
tersebut. Lingkungan daratan sudah Kedungbrubus (0.9 – 0.8 Ma) adalah
mulai meluas yang dibuktikan dengan masa yang sangat penting dalam
awal kemunculan beberapa spesies dari Biostratigrafi dan sejarah penghunian
familia Cervidae, Bovidae, dan spesies Pulau Jawa. Pada masa tersebut terjadi
Stegodon trigonocephalus. Kehadiran dua gelombang migrasi fauna Siva-
manusia purba di Jawa semakin nyata Malaya dari Asia Selatan ke Kepulauan
dengan banyaknya temuan fosil Homo Indonesia. Stegodon trigonocephalus
erectus (arkaik) dari bagian atas yang datang pada awal periode Cisaat
Formasi Pucangan, beserta bukti-bukti (1.2 Ma) berkerabat dekat dengan
budayanya yang berumur hingga 1.2 Stegodon ganesa, sedangkan Elephas
Ma, seperti yang ditunjukan di lokalitas hysudrindicus yang hadir pada awal
Dayu, Sangiran. periode Kedungbrubus (0.8 Ma) identik
Temuan Stegodon dengan Elephas hysudricus dari anak
trigonocephalus adalah spesimen yang benua India.
paling dominan berdasarkan fragmen Suksesi fauna pada kala
elemen anatomi tersisa fosil Plestosen mengindikasikan pergantian
Proboscidea di Semedo. Selain itu, juga iklim yang berimplikasi pada perubahan
ditemukan Molar ”Cryptomastodon” lingkungan yang mendorong migrasi
yang sesungguhnya adalah gigi fauna dan manusia munuju kawasan
tambahan Stegodon trigonocephalus. tropis, dan perubahan kondisi geografis
Sampai saat ini belum diketahui faktor yang memungkinkan mereka mencapai
penyebab yang merangsang tumbuhnya daerah katulistiwa, dalam hal ini
gigi tersebut. Habitat utama Stegodon Kepulauan Indonesia. Migrasi manusia
trigonocephalus adalah hutan terbuka pada masa itu tentunya diikuti dengan
dan savanna yang menunjukan periode kehadiran artefak sebagai jejak budaya
kelompok Fauna Trinil H.K (0.9 Ma). yang mereka bawa, dan cerminan dari
Koneksi dengan Asia daratan semakin pola subsistensi yang mereka
intensif, yang ditunjukan dengan kembangkan.
kehadiran carnivore dan predator non

126 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 115-130


Gambar 10. Kronologi suksesi Elephantoidea
(Sumber: van den Bergh et al. 2001 dengan modifikasi berdasarkan data Semedo)

Di situs Semedo telah ditemukan Elephas (Archidiskodon) planifrons, dan


544 buah alat paleolitik, yang sebagian Elephas Hysudrindicus. Potensi ini
besar berbahan batuan rijang (chert). memperlihatkan bahwa Situs Semedo
Artefak massif terdiri dari kapak merekam sejarah perkembangan dan
perimbas (chopper), kapak penetak perubahan lingkungan yang cukup
(chopping), kapak genggam (hand axe), panjang, serta berkaitan erat dengan
bola batu (bolas), bola batu berfaset konteks ekologi yang mengindikasikan
(polyhedral), batu inti (core), dan batu kehadiran manusia purba di kawasan
pukul (percutor). Selain itu juga terdapat ini.
artefak non-massif yang terdiri dari alat Berdasarkan beberapa penelitian
serpih, serut, gurdi, dan tatal (Siswanto tersebut juga dapat diketahui posisi
et.al., 2013). Pada masa yang akan fauna situs Semedo yang berkorelasi
datang perlu dilakukan analisis lebih dengan rekonstruksi biostratigrafi dan
jauh terhadap artefak-artefak ini, suksesi fauna Jawa oleh de Vos (1983)
khususnya studi komparasi dengan dan Sondaar (1984). Dapat disimpulkan
artefak sejenis dari kawasan sekitarnya bahwa fauna situs Semedo berasal dari
guna melengkapi interpretasi yang telah kronologi Fauna Satir (2.0-1.5 Ma);
dilakukan berdasarkan data Fauna Cisaat (1.2-1.0 Ma); Fauna Trinil
paleontologis mengenai hubungan H.K. (0.9 Ma); dan Fauna
antara wilayah-wilayah tersebut. Kedungbrubus (0.8-0.7 Ma). Fauna Satir
mengindikasikan kondisi lingkungan
PENUTUP insular atau kepulauan, Fauna Cisaat,
Trinil dan Kedung Brubus mungkin
Berdasarkan hasil penelitian merepresentasikan koneksi yang lebih
hingga tahun 2013 oleh Balai Arkeologi intensif dengan Asia daratan dengan
Yogyakarta, telah terkumpul banyak kondisi lingkungan hutan terbuka dan
sekali data paleontologi dari situs yang kondisinya relatif stabil hingga
Semedo. Dari hasil analisis komparasi Fauna Ngandong (de Vos 1983; Van
morfologi dan morfometri terhadap fosil den Bergh et al. 1996).
Proboscidea dapat diketahui bahwa di Pada penelitian yang akan datang,
situs tersebut terdapat spesies perlu dilakukan analisis taxonomi yang
Sinomastodon bumiayuensis, Stegodon lebih mendalam berdasarkan elemen
trigonocephalus, Stegodon ”pygmy” anatomi lain, seperti misalnya anggota
semedoensis, Stegodon hypsilophus, tulang post-cranial. Selain itu analisis

Fosil Probocidea Dari Situs Semedo : Hubungannya Dengan Biostratigrafi 127


dan Kehadiran Manusia di Jawa (Siswanto-Sofwan Noerwidi)
taxonomi juga perlu dilakukan terhadap UCAPAN TERIMA KASIH
jenis fauna lainnya, untuk memperkaya
rekosntruksi biostratigrafi di situs Penulis ingin menyampaikan
Semedo. Ekskavasi sistematis untuk penghargaan yang tinggi atas
menentukan distribusi data secara kerjasama seluruh anggota tim Balai
vertikal sangat diperlukan untuk Arkeologi Yogyakarta yang terlibat
mengetahui posisi stratigrafis data dalam Penelitian Manusia, Budaya, dan
arkeologis dan paleontologis dalam Lingkungan pada Kala Plestosen di
konteks kronologis. Penelitian terakhir Situs Semedo, Kabupaten Tegal, Jawa
telah berhasil merekam konteks Tengah. Ucapan terima kasih juga
stratigrafi, dan menemukan sejumlah disampaikan kepada Dinas Kebudayaan
fosil fauna serta alat batu pada posisi dan Pariwisata Kabupaten Tegal,
stratigrafi aslinya (Siswanto, et.al., in masyarakat Desa Semedo, Kecamatan
press). Lebih jauh, perlu dilakukan Kedungbanteng, khususnya yang
analisis pertanggalan guna mengetahui berperan aktif pada pelestarian Situs
kronologi absolut suksesi fauna dan Semedo; Dakri, Duman, dan Sunardi.
indikasi kehadiran manusia di Situs
Semedo.

128 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 115-130


DAFTAR PUSTAKA

Alberdi M.T., J.L. Prado, E. Ortiz-Jaureguizar, P. Posadas dan M. Donato. 2007.


“Historical Biogeography of Trilophodont Gomphotheres (Mammalia, Proboscidea):
Reconstructed Applying Dispersion-Vicariance Analysis” dalam E. Díaz-Martínez e
I. Rábano (ed.) 4th European Meeting on the Palaeontology and Stratigraphy of
Latin America Cuadernos del Museo Geominero, No 8. Madrid: Instituto Geológico
y Minero de España. Hlm. 9-14.

van den Bergh, G.D., J. de Vos, P.Y. Sondaar dan F. Aziz. 1996. ”Pleistocene
zoogeographic evolution of Java (Indonesia) and glacio-eustatic sea-level
fluctuations: a background for the presence of Homo” dalam Indo-Pacific Prehist.
Assoc. Bull., 14 (Chiang Mai Papers, 1). Hlm. 7-21.

van den Bergh, G. D. 1999. “The Late Neogene elephantoid-bearing faunas of Indonesia
and their palaeozoogeographic implications. A study of the terrestrial faunal
succession of Sulawesi, Flores and Java, including evidence for early hominid
dispersal east of Wallace's line” dalam Scripta Geol., 117. Leiden: National
Natuurhistorisch Museum.

van Essen H., van den Bergh G. dan de Vos J. 2006. ”The final solution of the
Cryptomastodon problem. Morphological correlations between supernumerary
teeth in stegodonts and elephants (Proboscidea, Mammalia)” dalam Courier
Forschungsinstitut Senckenberg, 256. Hlm. 29-41.

Hooijer, D.A., 1954. “A Pygmy Stegodon from the Middle Pleistocene of Eastern Java”
dalam Zool. Meded., 33. Leiden: Rijksmuseum van Natuurlijke Historie. Hlm. 91-
102.

__________ 1955. “Fossil Proboscidea from the Malay Archipelago and India” dalam
Zool. Verh., 28. Leiden: E.J. Brill.

__________ 1969. “The Stegodon from Timor” dalam Proc. Kon. Ned. Akad. Wet., B, 72,
Amsterdam. Hlm. 201-210.

__________ 1984. “The solution of the Cryptomastodon problem” dalam Netherlands


Journal of Zoology, 34(2). Hlm. 228-231.

Huffman, Frank O. 2001. “Geologic context and age of the Perning/Mojokerto Homo
erectus, East Java” dalam Journal of Human Evolution 40 (2001). Hlm. 353–362.

von Koenigswald, G.H.R. 1933. “Beitrag zur Kenntnis der fossilen Wirbeltiere Javas”
dalam Wet. Meded. Dienst Mijnbouw Ned.-Indië, 23. Batavia: Landsdrukkerij.

van der Maarel, F.H. 1932. “Contributions to the knowledge of the fossil mammalian
fauna of Java” dalam Wet. Meded. Dienst Mijnbouw Ned.-Indië, 15. Batavia:
Landsdrukkerij.

Maglio, V.J., 1973. “Origin and evolution of the Elephantidae” dalam Trans. Amer. Phil.
Soc., N.S., 63, 3. Hlm. 1-149.

Sartono, S. 1969. “Stegodon timorensis: A Pygmy Specimen from Timor (Indonesia)”


dalam Proc. Kon. Ned. Akad. Wet., B, 72, Amsterdam. Hlm. 192-200.

Fosil Probocidea Dari Situs Semedo : Hubungannya Dengan Biostratigrafi 129


dan Kehadiran Manusia di Jawa (Siswanto-Sofwan Noerwidi)
Shoshani, J., P. Tassy. 2005. “Advances in proboscidean taxonomy & classification,
anatomy & physiology, and ecology & behavior” dalam Quaternary International
126–128 (2005). Hlm. 5–20.

Siswanto, et.al. 2013. “Penelitian Manusia, Budaya, dan Lingkungan pada Kala
Plestosen di Situs Semedo, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah”. Laporan Penelitian
Arkeologi. Yogyakarta: Balai Arkeologi

Sondaar, P.Y., 1984. “Faunal evolution and the mammalian biostratigraphy of Java”
dalam Cour. Forsch. Inst. Senckenberg, 69. Hlm. 219-235.

Tobien H, Chen G F, Li Y Q. 1986. ”Mastodonts (Proboscidea. Mammalia) from the late


Neogene and early Pleistocene of the People’s Republic of China, Part 1” dalam
Mainz Geowiss Mitt, 1986, 15. Hlm. 119-181.

de Vos, J. 1983. “The Pongo faunas from Java and Sumatra and their significance for
biostratigraphical and paleo-ecological interpretations” dalam Proc. Kon. Ned.
Akad. Wet., B, 86. Hlm. 417-425.

Wang, Yuan, Jin ChangZhu, Deng ChengLong, Wei GuangBiao, Yan YaLing. 2012. “The
first Sinomastodon (Gomphotheriidae, Proboscidea) skull from the Quaternary in
China” dalam Chin Sci Bull, 2012, 57. Hlm. 4726-4734.

Widianto, H. 2011. Nafas Sangiran, Nafas SItus-situs Hominid. Sragen: BPSMP


Sangiran.

Widianto, H. dan M. Hidayat. 2006. “Semedo, Situs Baru Kehidupan Manusia Purba
pada Kala Plestosen”. Berita Penelitian Arkeologi No. 21. Yogyakarta: Balai
Arkeologi.

Widiyanta, W. dan M. Hidayat. 2012. ”Penelitian Homo erectus SItus Semedo: Umur,
Budaya dan Lingkungan”. Laporan Eksplorasi. Sragen: BPSMP Sangiran

Zaim, Yahdi. 2004. “A New Discovery of Stegodon in Early Pleistocene Sediments from
the Sumedang Area (West Java, Indonesia” dalam 18th International Senckenberg
Conference. Weimar.

Website :
www.pemkabtegal.go.id

130 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 115-130

Anda mungkin juga menyukai