Anda di halaman 1dari 36

PREVALENSI ANGKA KEJADIAN DISENTRI AMUBA SELAMA

SATU TAHUN DI KLINIK TJAKRA, JAKARTA TIMUR TAHUN


2017

SKRIPSI

DI SUSUN OLEH

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Disentri merupakan tipe penyakit diare yang berbahaya dan seringkali

menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit

ini dapat disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba).

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara

berkembang. Pengertian diare menurut WHO secara klinis didefinisikan sebagai

bertambahnya defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya atau lebih dari tiga

kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau

tanpa darah.¹

Sedangkan, menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, diare

adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan

konsistensi dari tinja yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi

buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan

prevalensi diare tertinggi adalah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (18,9%) dan

yang terendah adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (4,2%). Jumlah

penderita diare di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 4.261.493 penderita, pada

2
3

tahun 2007 sebanyak 3.456.123 penderita, pada tahun 2008 sebanyak 4.844.230

penderita, dan pada tahun 2009 sebanyak 4.422.427 penderita.

Angka kesakitan diare di Indonesia berdasarkan hasil survei morbiditas diare

yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan 3 tahun sekali sejak tahun 1996-

2010, angka kesakitan diare meningkat dari tahun 1996-2006, namun mengalami

penurunan pada tahun 2010. Angka kesakitan diare pada tahun 1996 (280 per

1.000 penduduk), pada tahun 2000 (301 per 1.000 penduduk), pada tahun 2003

(374 per 1.000 penduduk), pada tahun 2006 (423 per 1.000 penduduk), dan pada

tahun 2010 (411 per 1.000 penduduk).2

Angka kesakitan diare khususnya di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2013,

dari sekitar 9,6 juta total penduduk DKI Jakarta, diperkirakan 390 ribu diantaranya

menderita diare. Perkiraan ini dihitung dengan berdasarkan angka morbiditas diare

nasional, yaitu 411 per 1.000 jumlah penduduk. Berdasarkan hasil survei, wilayah

Jakarta Timur merupakan wilayah dengan kasus diare tertinggi. Sedangkan Jakarta

Pusat merupakan wilayah dengan kasus diare terendah.3

Angka kematian diare di Indonesia dihitung berdasarkan jumlah penderita

diare yang meninggal dunia pada saat terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) diare,

yaitu pada tahun 2005 jumlah penderita KLB diare sebanyak 5.746 penderita dan

jumlah kematiannya sebanyak 140 orang. Pada tahun 2006 jumlah penderita KLB

diare sebanyak 13.451 penderita dan jumlah kematiannya sebanyak 291 orang.

Pada tahun 2007 jumlah penderita KLB diare sebanyak 3.659 penderita dan jumlah

kematinnya sebanyak 69 orang.


3
4

Pada tahun 2008 jumlah penderita KLB diare sebanyak 8.133 penderita dan

jumlah kematiannya sebanyak 239 orang. Pada tahun 2009 jumlah penderita KLB

diare sebanyak 5.756 penderita dan jumlah kematiannya sebanyak 100 orang. Pada

tahun 2010 jumlah penderita KLB diare sebanyak 4.204 penderita dan jumlah

kematiannya sebanyak 73 orang.2

Penyakit infeksi saluran pencernaan yang menyebabkan diare, dapat

disebabkan oleh bakteri dan protozoa. Infeksi saluran pencernaan yang disebabkan

oleh bakteri dikenal sebagai disentri basiler, sedangkan infeksi yang disebabkan

oleh protozoa dikenal sebagai disentri amuba. Penyebab disentri basiler adalah

Shigella, khususnya S.flexneri dan S.dysenteriae. Entamoeba histolytica

merupakan penyebab disentri amuba.4

Shigellosis endemik di seluruh dunia, yaitu sekitar 120 juta kasus disentri

yang parah dengan darah dan lender dalam tinja. Mayoritas penderita shigellosis

adalah anak-anak dengan usia kurang dari lima tahun. Sekitar 1,1 juta orang

diperkirakan meninggal akibat infeksi shigella setiap tahunnya dengan 60% dari

kematian yang terjadi adalah anak di bawah usia 5 tahun. Di Jakarta Utara,

Indonesia dimana sebuah penelitian surveilans yang dilakukan antara Agustus

tahun 2001 dan Juli tahun 2003 menemukan bahwa anak usia 1 sampa 2 tahun

memiliki insiden tinggi shigellosis, yaitu 32 per 1.000 penduduk per tahun.1

Disentri amuba dapat ditemukan di seluruh dunia dengan insidensi 3-10%.1

Disentri amuba banyak ditemukan terutama di negara berkembang yang berada di

daerah tropis. Hal ini dikarenakan faktor kepadatan penduduk, higienitas individu
4
5

dan sanitasi lingkungan yang buruk, serta keadaan sosial ekonomi yang rendah.4

Di Indonesia, amubiasis intestinalis banyak dijumpai secara endemis dengan

insidensi berkisar antara 10-18%. Dari berbagai survei parasit intestinal, hasil

pemeriksaan tinja diketahui prevalensi amebiasis antara 1-14%.1 Sebagai sumber

penularan adalah tinja yang mengandung kista amuba. Kista ini memegang

peranan dalam penularan penyakit lebih lanjut bila terbawa ke bahan makanan atau

air minum dan kemudian tertelan oleh manusia.

Namun, ironisnya penyebab kesakitan dan kematian akibat diare di

Indonesia tidak dapat diketahui secara spesifik. Hal ini dikarenakan, sebagian

besar diagnosis yang dilakukan oleh tenaga medis tidak berbasiskan hasil

pemeriksaan laboratorium tetapi hanya berdasarkan diagnosis klinis. Diketahuinya

dengan pasti prevalensi penyebab diare oleh protozoa adalah dari hasil

pemeriksaan laboratorium para penderita rawat inap di rumah sakit.

Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan

kematian.4 Kematian akibat amebiasis diperkirakan sekitar 40 juta sampai 50 juta

kasus amebiasis terjadi di seluruh dunia dengan CFR berkisar antara 1,9-9,1%.

Kematian yang umum terjadi adalah akibat adanya dehidrasi berat.1

B. Rumusan Masalah

Pengetahuan penulis dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah

yang menjadi rumusan dalam penelitian ini, yaitu bagaimana pengaruh perilaku

individu terhadap penyakit disentri amuba.


5
6

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Membantu dalam mengetahui pengaruh perilaku individu terhadap timbulnya

penyakit disentri amuba.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perilaku individu terhadap

timbulnya penyakit disentri amuba.

b. Untuk mendiagnosis secara pasti penyakit disentri amuba.

c. Mengetahui pencegahan penyakit disentri amuba.

D. Manfaat Penelitian

1. Menambah pengetahan masyarakat untuk lebih peduli terhadap kebersihan diri

dan lingkungan agar penderita disentri amuba setiap tahunnya tidak terus

meningkat.

2. Membantu mendiagnosis penyakit disentri amuba secara tepat agar tercapai

penanganan yang optimal.

3. Dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman belajar membuat suatu

penelitian.

6
7

4. Referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian mengenai

penyakit disentri amuba.

7
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron

(usus), yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala

buang air besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume yang sedikit,

buang air besar dengan tinja bercampur lendir (mukus) dan nyeri saat buang air

besar (tenesmus).4

Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit

perut dan buang air besar yang encer secara terus-menerus (diare) yang bercampur

lendir dan darah.5

Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang

menyebabkan tukak terbatas di kolon yang ditandai dengan gejala khas yang

disebut sebagai sindroma disentri, yakni sakit perut yang sering disertai dengan

tenesmus, diare, tinja mengandung darah dan lendir, dan suhu tubuh meningkat.

Adanya darah dan leukosit dalam tinja merupakan suatu bukti bahwa kuman

penyebab disentri tersebut menembus dinding kolon dan bersarang di bawahnya.6,7

8
9

B. Sejarah

Entamoeba histolytica pertama kali ditemukan oleh Losch tahun 1875 dari

tinja penderita disentri di Leningrad, Rusia. Pada autopsi, Losch menemukan

E.histolytica stadium trofozoit dalam ulkus usus besar, tetapi ia tidak mengetahui

hubungan kausal antara parasit dengan kelainan ulkus tersebut.

Pada tahun 1893 Quinche dan Roos menemukan E.histolytica stadium kista,

sedangkan Schaudinn (tahun 1903) memberi nama spesies Entamoeba histolytica

dan membedakannya dengan amuba yang juga hidup dalam usus besar, yaitu

Entamoeba coli.

Sepuluh tahun kemudian, Walker dan Sellards di Filipina membuktikan

dengan eksperimen pada sukarelawan, bahwa E.histolytica merupakan penyebab

kolitis amebik dan E.coli merupakan parasit komensal dalam usus besar manusia.

Pada tahun 1979, Brumpt menyatakan bahwa walaupun E.histolytica dan

E.dispar tidak dapat dibedakan secara morfologi, hanya E.histolytica yang bersifat

sebagai patogen.8,9,10 Sejak tahun 1993, kedua spesies tersebut secara resmi

dibedakan sebagai patogen (E.histolytica) dan apatogen (E.dispar).11

C. Epidemiologi

Amebiasis terdapat di seluruh dunia. Prevalensi tertinggi terutama di daerah

tropis dan subtropis, khususnya di negara yang keadaan sanitasi lingkungan dan

keadaan sosio-ekonominya buruk. Di beberapa negara tropis, prevalensi antibodi

terhadap E.histolytica mencapai 50%.


9
10

Di Indonesia, amebiasis kolon banyak ditemukan dalam keadaan endemis.

Prevalensi E.histolytica di berbagai daerah di Indonesia sekitar 10%-18%. Di

RRC, Mesir, India dan Belanda berkisar 10,1%-11,5%, di Eropa Utara 5-20%, di

Eropa Selatan 20-51% dan di Amerika Serikat 4%-21%.

Penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa rendahnya status sosial

ekonomi dan kurangnya sanitasi merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya

infeksi.13

D. Morfologi dan Siklus Hidup

Dalam siklus hidupnya, E.histolytica mempunyai dua stadium, yaitu stadium

trofozoit dan stadium kista.

Gambar 1. Entamoeba histolytica stadium trofozoit14

10
11

Gambar 2. Morfologi Entamoeba histolytica stadium trofozoit15

Gambar 3. Entamoeba histolytica stadium kista16


11
12

Gambar 4. Morfologi Entamoeba histolytica stadium kista15

Bila kista matang tertelan, kista tersebut tiba di lambung masih dalam

keadaan utuh karena dinding kista tahan terhadap asam lambung. Di rongga

terminal usus halus, dinding kista dicernakan, terjadi ekskistasi dan keluarlah

stadium trofozoit yang masuk ke rongga usus besar. Dari satu kista yang

mengandung 4 buah inti, akan terbentuk 8 buah trofozoit. Stadium trofozoit

berukuran 10-30 mikron (sel darah merah 7 mikron), mempunyai inti entamuba

yang terdapat di endoplasma. Ektoplasma bening homogen terdapat di bagian tepi

sel, dapat dilihat dengan nyata. Pseudopodium yang dibentuk dari ektoplasma,

besar dan lebar seperti daun, dibentuk dengan cepat, pergerakannya cepat dan

menuju suatu arah. Endoplasma berbutir halus, biasanya mengandung bakteri atau
12
13

sisa makanan. Bila ditemukan sel darah merah disebut erythrophagocytis yang

merupakan tanda patognomonik infeksi E.histolytica.12

Stadium trofozoit dapat bersifat patogen dan menginvasi jaringan usus besar.

Melalui aliran darah, menyebar ke jaringan hati, paru, otak, kulit dan vagina. Hal

tersebut disebabkan sifatnya yang dapat merusak jaringan sesuai dengan nama

spesiesnya E.histolytica (histo = jaringan, lysis = hancur). Stadium trofozoit

berkembang biak secara membelah. Secara morfologi, stadium trofozoit

E.histolytica tidak dapat dibedakan dengan E.dispar, kecuali ditemukan sel darah

merah dalam endoplasma.

Stadium kista dibentuk dari stadium trofozoit yang berada di rongga usus

besar. Ukuran kista 5-20 mikron, berbentuk bulat atau lonjong, mempunyai

dinding kista dan terdapat inti entamuba. Dalam tinja, stadium ini biasanya berinti

1 atau 4, kadang-kadang terdapat yang berinti 2. Di endoplasma terdapat benda

kromatoid yang besar. Menyerupai lisong dan terdapat vakuol glikogen. Benda

kromatoid dan vakuol glikogen dianggap sebagai makanan cadangan, karena itu

terdapat pada kista muda.17

Pada kista matang, benda kromatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada

lagi. Stadium kista tidak patogen, tetap merupakan stadium yang infektif. Dengan

adanya dinding kista, stadium kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar

tubuh manusia. Infeksi terjadi dengan menelan kista matang.

13
14

Gambar 5. Siklus Hidup Entamoeba histolytica16

Infeksi yang disebabkan oleh E.histolytica dapat ditetapkan dengan

menemukan stadium kista dan/atau trofozoit dalam tinja. Entamoeba

histolytica tidak selalu menyebabkan gejala (asimtomatik). Stadium trofozoit

dapat ditemukan pada tinja yang konsistensinya lembek atau cair, sedangkan

stadium kista bisanya ditemukan pada tinja padat.17


14
15

E. Patologi dan Gejala Klinik

Masa inkubasi bervariasi, dari beberapa hari sampai beberapa bulan atau

tahun, tetapi secara umum berkisar antara 1 sampai 4 minggu. Sebanyak 90%

individu yang terinfeksi E.histolytica tidak memperlihatkan gejala klinis dan

hospes dapat mengeliminasi parasit tanpa adanya penyakit. Walaupun demikian,

sebanyak 10% individu yang asimtomatik dapat berkembang menjadi simtomatik

dalam waktu lebih dari 1 tahun, sehingga kelompok ini harus diobati, selain itu

kelompok ini akan menjadi sumber penularan bagi sekelilingnya.18

Diare didahului dengan kontak antara stadium trofozoit E.histolytica dengan

sel epitel kolon, melalui antigen Gal/Gal Nac-lectin yang terdapat pada permukaan

stadium trofozoit.10 Sel epitel usus yang berikatan dengan stadium trofozoit

E.histolytica akan menjadi immobile dalam waktu beberapa menit, kemudian

granula dan strukur sitoplasma menghilang yang diikuti dengan hancurnya inti sel.

Proses ini diakibatkan oleh amoebapores, yang terdapat pada sitoplasma trofozoit

E.histolytica.9,19-21

Selanjutnya, invasi amuba ke dalam jaringan ekstra sel terjadi melalui sistein

proteinase yang dikeluarkan stadium trofozoit parasit. Sistein proteinase

E.histolytica yang terdiri atas amubapain dan histolisin akan melisiskan matriks

protein ekstra sel, sehingga mempermudah invasi trofozoit ke jaringan

submukosa.9,19-21 Stadium trofozoit memasuki submukosa dengan menembus

lapisan muskularis mukosa, bersarang di submukosa dan membuat kerusakan yang

lebih luas daripada di mukosa usus. Akibatnya terjadi luka yang disebut ulkus
15
16

amuba. Lesi biasanya merupakan ulkus kecil yang letaknya tersebar di mukosa

usus. Bentuk rongga ulkus seperti botol dengan lubang sempit dan dasar yang

lebar, dengan tepi yang tidak teratur agak meninggi dan menggaung. Proses ini

dapat meluas di submukosa dan melebar ke lateral sepanjang sumbu usus, maka

kerusakan dapat menjadi luas sekali sehingga ulkus saling berhubungan dan

terbentuk sinus-sinus di bawah mukosa. Stadium trofozoit E.histolytica ditemukan

dalam jumlah besar di dasar dan dinding ulkus. Dengan peristaltik usus, stadium

trofozoit dikeluarkan bersama isi ulkus ke rongga usus kemudian menyerang lagi

mukosa usus yang sehat atau dikeluarkan bersama tinja. Itu disebut tinja disentri,

yaitu tinja yang bercampur lendir dan darah. Tempat yang sering dihinggapi

(predileksi) adalah sekum, rektum dan sigmoid. Seluruh kolon dan rektum dapat

dihinggapi bila infeksi berat.

Bentuk klinis yang dikenal adalah amebiasis intestinal dan amebiasis ekstra-

intestinal.

1. Amebiasis intestinal (amebiasis usus, amebiasis kolon) terdiri atas:

a. Amebiasis kolon akut

Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan diare yang

dapat berupa tinja cair, tinja berlendir atau tinja berdarah. Frekuensi diare

dapat mencapai 10 kali per hari. Pasien terkadang tidak napsu makan

sehingga berat badannya dapat menurun.

Pada stadium akut, di tinja dapat ditemukannya darah, dengan

sedikit leukosit serta stadium trofozoit E.histolytica.


16
17

Diare yang disebabkan E.histolytica secara klinis sulit dibedakan

dengan diare yang disebabkan bakteri (Shigella, Salmonella, Escherichia

coli, Campylobacter) yang sering ditemukan di daerah tropis.10,12

b. Amebiasis kolon menahun

Amebiasis kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu

jelas. Biasanya terdapat gejala usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak

di perut, diare yang diselingi obstipasi (sembelit). Gejala tersebut dapat

diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara periodik. Dasar penyakit ialah

radang usus besar dengan ulkus menggaung, disebut juga kolitis ulserosa

amebik.

Pada pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit E.histolytica sulit

ditemukan, karena sebagian besar parasit sudah masuk ke jaringan usus.

Karena itu, dilakukan uji serologi untuk menemukan zat anti amuba atau

antigen E.histolytica. Sensitivitas uji serologi zat anti amuba mencapai

75%, sedangkan deteksi antigen mencapai 90% untuk mendiagnosis

amebiasis menahun.11,12 Pemeriksaan biopsi kolon hasilnya sangat

bervariasi, dapat ditemukan penebalan mukosa yang non-spesifik tanpa

atau dengan ulkus, ulserasi fokal dengan atau tanpa E.histolytica, ulkus

klasik yang berbentuk seperti botol (flask-shaped appearance), nekrosis

dan perforasi dinding usus.

Predileksi terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali

ditemukan di sigmoid. Komplikasi amebiasis intestinal dapat berupa acute


17
18

necrotizing colitis, toxic megacolon, ameboma, amebiasis kulit dan ulkus

perianal yang dapat membentuk fistula. Penderita dengan acute

necrotizing colitis sangat jarang ditemukan, tetapi angka kematian

mencapai 50%. Penderita terlihat sakit berat, demam, diare dengan lendir

dan darah, nyeri perut dengan tanda iritasi peritoneum. Bila terjadi

perforasi usus atau pemberian anti amuba tidak memperlihatkan hasil,

maka dilakukan tindakan bedah. Toxic megacolon juga sangat jarang

ditemukan, biasanya berhubungan dengan penggunaan kortikosteroid.

Penderita memerlukan tindakan bedah, karena biasanya pemberian anti

amuba saja tidak memperlihatkan perbaikan. Ameboma berasal dari

pembentukan jaringan granulasi kolon yang berbentuk seperti cincin

(annuler), dapat tunggal atau multipel. Biasanya ditemukan di sekum atau

kolon asenden.

Gambaran histologi menunjukkan jaringan kolagen dan fibroblas

dengan tanda peradangan menahun disertai granulasi. Ameboma ini

menyerupai karsinoma kolon. Amebiasis kolon bila tidak diobati akan

menjalar keluar dari usus dan menyebabkan amebiasis ekstra-intestinal.

Hal ini dapat terjadi secara hematogen (melalui aliran darah) atau

perkontinuitatum (secara langsung). Cara hematogen terjadi bila amuba

telah masuk submukosa kemudian ke kapiler darah, dibawa oleh aliran

darah melalui vena porta ke hati dan menimbulkan abses hati.

18
19

2. Amebiasis ekstra-intestinal

Abses hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang paling sering

ditemukan. Sebagian besar penderita memperlihatkan gejala dalam waktu

yang relatif singkat (2-4 minggu). Penderita memperlihatkan gejala demam,

batuk dan nyeri perut kuadran kanan atas.

Bila permukaan diafragma hati terinfeksi, maka pada penderita dapat

terjadi nyeri pleura kanan atau nyeri yang menjalar sampai bahu kanan. Pada

10%-35% penderita dapat ditemukan gangguan gastrointestinal berupa mual,

muntah, kejang otot perut, perut kembung, diare dan konstipasi. Pada

pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali. Pada fase sub-akut dapat

ditemukan penurunan berat badan, demam, dan nyeri abdomen yang difus.

Abses hati lebih banyak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan

anak-anak. Kebanyakan abses terbentuk di lobus kanan hati, biasanya soliter.

Abses berisi nanah yang berwarna cokelat.

Pada pemeriksaan tinja, E.histolytica hanya ditemukan pada sebagian

kecil penderita abses hati. Dapat ditemukan leukositosis pada pemeriksaan

darah. Komplikasi abses hati dapat berupa penjalaran secara langsung ke

pleura dan/atau perikardium, abses otak dan amebiasis urogenitalis. Cara

perkontinuitatum terjadi bila abses hati tidak diobati sehingga abses pecah.

Amuba yang keluar dapat menembus diafragma, masuk ke rongga pleura dan

paru, menimbulkan abses paru. Abses hati dapat juga pecah ke dalam rongga

perut dan menyebabkan peritonitis atau pecah ke dalam dinding perut,


19
20

menembus dinding perut sampai ke kulit dan menimbulkan amebiasis kulit

dinding perut.

Amebiasis rektum bila tidak diobati, dapat menyebar ke kulit disekitar

anus, menyebabkan amebiasis perianal; dapat juga menyebar ke perineum,

menyebabkan amebiasis perineal atau ke vagina, menyebabkan amebiasis

vagina. Di kulit dan vagina, amuba ini menimbulkan ulkus.

Melalui aliran darah, stadium trofozoit dapat mencapai jaringan paru

dan otak dan menimbulkan abses paru dan otak.17

F. Diagnosis

Diagnosis yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena 90%

penderita asimtomastik E.histolytica dapat menjadi sumber infeksi bagi

sekitarnya.

1. Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan berdasarkan satu kali pemeriksaan tinja sangat tidak

sensitif. Sehingga, pemeriksaan mikroskopik sebaiknya dilakukan paling

sedikit 3 kali dalam waktu 1 minggu, baik untuk kasus akut maupun kronik.12

Adanya sel darah merah dalam sitoplasma E.histolytica stadium trofozoit

merupakan indikasi terjadinya invasif amebiasis yang hanya disebabkan oleh

E.histolytica. Selain itu, motilitas stadium trofozoit akan menghilang dalam

waktu 20-30 menit. Karena itu, bila tidak segera diperiksa, sebaiknya tinja

disimpan dalam pengawet polyvinyl alcohol (pva) atau pada suhu 4°C.12
20
21

Stadium trofozoit dapat terlihat aktif sampai 4 jam. Selain itu, pada sediaan

basah dapat ditemukan sel darah merah.

Hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan mikroskopik adalah

keterlambatan waktu pemeriksaan, jumlah tinja yang tidak mencukupi, wadah

tinja yang terkontaminasi urin atau air, penggunaan antibiotik (tetrasiklin,

sulfonamide), laksatif, antasid, preparat anti diare (kaolin, bismuth), frekuensi

pemeriksaan dan tinja tidak diberi pengawet.12

2. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi

Sebagian besar orang yang tinggal di daerah endemis E.histolytica akan

terpapar parasit berulang kali. Kelompok tersebut sebagian besar akan

asimtomatik dan pemeriksaan antibodi sulit membedakan antara current atau

previous infections. Pemeriksaan antibodi akan sangat membantu

menegakkan diagnosis pada kelompok yang tidak tinggal di daerah endemis.

Sebanyak 75-80% penderita dengan gejala yang disebabkan E.histolytica

memperlihatkan hasil yang positif pada uji serologi antibodi terhadap

E.histolytica. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam uji serologi

seperti IHA, lateks aglutinasi, counter-immunoelectrophoresis, gel diffusion

test, uji komplemen dan ELISA.8,12

Biasanya yang merupakan uji standar adalah IHA, sedangkan ELISA

merupakan alternatif karena lebih cepat, sederhana dan juga lebih sensitif.

Antibodi IgG terhadap antigen lektin dapat dideteksi dalam waktu 1 minggu
21
22

setelah timbul gejala klinis baik pada penderita kolitis maupun abses hati

amuba.12 Bila hasilnya meragukan, uji serologi tersebut dapat diulang.

Walaupun demikian, hasil pemeriksaan tidak dapat membedakan current

infection dan previous infection. IgM anti-lektin terutama dapat dideteksi pada

minggu pertama sampai minggu ketiga pada seorang penderita kolitis amuba.

Titer antibodi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dan respon

terhadap pengobatan, sehingga walaupun pengobatan yang diberikan berhasil,

titer antibodi tetap tidak berubah. Antibodi yang terbentuk karena infeksi

E.histolytica dapat bertahan sampai 6 bulan, bahkan pernah dilaporkan sampai

4 tahun.

3. Deteksi antigen

Antigen amuba, yaitu Gal/Gal-Naclectin dapat dideteksi dalam tinja,

serum, cairan abses dan air liur penderita. Hal ini dapat dilakukan terutama

menggunakan teknik ELISA, sedangkan dengan teknik CIEP ternyata

sensitivitasnya lebih rendah.12 Deteksi antigen pada tinja merupakan teknik

yang praktis, sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis amebiasis intestinalis.

Walaupun demikian, tinja yang tidak segar atau yang diberi pengawet akan

menyebabkan denaturasi antigen, sehingga memberikan hasil yang false

negative. Oleh karena itu, syarat melakukan ELISA pada tinja seseorang yang

diduga menderita amebiasis intestinalis adalah tinja segar atau disimpan

22
23

dalam lemari pendingin. Pada penderita abses hati amuba, deteksi antigen

dapat dilakukan pada pus abses atau serumnya.

4. Polymerase chain reaction (PCR)

Metode PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding

dengan deteksi antigen pada tinja penderita amebiasis intestinal.

Kekurangannya adalah waktu yang diperlukan lebih lama, tekniknya lebih

sulit dan juga lebih mahal. Untuk penelitian polimorfisme E.histolytica, teknik

PCR merupakan metode unggulan. Walaupun demikian, hasilnya sangat

dipengaruhi oleh berbagai kontaminan pada tinja. Selain itu, kemungkinan

terjadi false negative karena berbagai inhibitor pada tinja. Hal ini dapat juga

dilakukan pada pus penderita dengan abses hati amuba. Ekstraksi DNA dapat

dilakukan pada tinja yang sudah diberi pengawet formalin.12

Sampai saat ini, diagnosis amebiasis yang invasif biasanya ditetapkan

dengan kombinasi pemeriksaan mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila ada

indikasi, dapat dilakukan kolonoskopi dan biopsi pada lesi intestinal atau pada

cairan abses. Parasit biasanya ditemukan pada dasar dinding abses. Berbagai

penelitian memperlihatkan rendahnya sensitivitas pemeriksaan mikroskopik

dalam mendiagnosis amebiasis intestinalis atau abses hati amuba. Metode

deteksi antigen atau PCR pada tinja merupakan pilihan yang lebih tepat untuk

menegakkan diagnosis. Walaupun demikian, syarat untuk melakukan uji ini

perlu diperhatikan.
23
24

Selain itu, pemeriksaan mikroskopik tetap diperlukan untuk

menyingkirkan infeksi campuran dengan mikroorganisme lain, baik parasit

maupun non-parasit.

G. Pengobatan

Pengobatan yang diberikan pada penderita amebiasis yang invasif berbeda

dengan non-invasif. Pada penderita amebiasis non-invasif dapat diberikan

paromomisin. Pada penderita amebiasis invasif terutama diberikan golongan

nitroimidazol, yaitu metronidazol. Obat lain yang dapat diberikan adalah tinidazol,

seknidazol dan ornidazol. Lebih kurang 90% penderita dengan amebiasis kolon

ringan-sedang, penyakitnya sembuh dengan pemberian metronidazol. Pada

penderita dengan fulminant colitis, dapat ditambahkan pemberian antibiotik

spektrum luas untuk membunuh bakteri.

Setelah pemberian nitroimidazol, biasanya sebanyak 40-60% penderita

masih mengandung parasit, karena itu sebaiknya diikuti dengan pemberian

paromomisin atau diloksanid furoat untuk mengeliminasi infeksi dalam lumen

usus. Pemberian metronidazol sebaiknya tidak bersamaan dengan paromomisin,

sebab dapat menyebabkan diare sebagai efek samping obat. Pada penderita abses

hati amuba dapat dilakukan drainase abses selain pemberian obat anti amuba. Hal

ini dapat dilakukan pada penderita abses hati yang setelah pengobatan 5-7 hari

tidak memperlihatkan perbaikan klinis atau pada penderita dengan risiko tinggi

ruptur abses misalnya dengan lesi berdiameter 5 cm atau di lobus kiri.


24
25

Pemberian antibiotik pada penderita abses hati dapat dilakukan bila tidak

terjadi penyembuhan setelah pengobatan dengan anti amuba.

Obat amebisid (anti amuba) dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu:

1. Obat yang bekerja pada lumen usus

Merupakan obat yang tidak diabsorpsi dengan baik dalam usus,

sehingga dapat membunuh stadium trofozoit dan kista yang berada dalam

lumen usus.

a. Paromomisin (humatin)

Merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang tidak

diabsorpsi dalam lumen usus. Obat tersebut hanya membunuh stadium

yang berada dalam lumen usus. Digunakan untuk mengeliminasi kista

setelah pengobatan dengan metronidazol atau tinidazol.

Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan kelainan

ginjal. Dosisnya adalah 25-35 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 8 jam, selama

7 hari.10,18 Tidak dianjurkan penggunaan dalam jangka panjang karena

toksik.

b. Diloksanid furoat (furamid, entamizol)

Merupakan obat pilihan untuk E.histolytica yang berada dalam

lumen. Efek samping yang sering ditemukan adalah kembung, mual,

muntah dan kadang-kadang diare. Dosisnya 3 kali 500 mg/hari selama 10

hari.10,18

25
26

c. Iodoquinol (Iodoksin)

Termasuk golongan hidroksikuinolin. Tidak boleh diberikan pada

penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Dosisnya 3 kali 650 mg/hari

selama 20 hari. Merupakan amebisid luminal yang bekerja di lumen.

Dapat digunakan untuk stadium kista setelah pemberian

nitroimidazol.10,18

2. Obat yang bekerja pada jaringan

a. Emetin hidroklorida

Obat ini berkhasiat terhadap stadium trofozoit E.histolytica.

Pemberian emetin ini efektif bila diberikan secara parenteral, karena pada

pemberian oral absorpsinya tidak sempurna. Dapat diberikan melalui

suntikan intramuskular atau subkutis setiap hari selama 10 hari. Pemberian

secara intravena toksisitasnya relatif tinggi, terutama terhadap otot

jantung.

Dosis maksimum untuk orang dewasa adalah 65 mg sehari,

sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun, 10 mg sehari. Lama pengobatan

4 sampai 6 hari. Pada orang tua dan orang yang sakit berat, dosis harus

dikurangi. Pemberian emetin tidak dianjurkan pada ibu hamil, dan

penderita dengan gangguan jantung dan ginjal.

Dehidroemetin relatif kurang toksisk dibandingkan dengan emetin

dan dapat diberikan secara oral. Dosis maksimum adalah 0,1 gram sehari,
26
27

diberikan selama 4 sampai 6 hari. Emetin dan dehidroemetin efektif untuk

pengobatan abses hati (amebiasis hati).10,18

b. Metronidazol (golongan nitroimidazol)

Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amebiasis kolon atau

abses hati amuba, karena efektif terhadap stadium kista maupun stadium

trofozoit dalam dinding usus dan jaringan dengan efek samping yang

minimal, antara lain mual, muntah dan pusing.

Sampai saat ini, belum dilaporkkan resistensi E.histolytica terhadap

metronidazol.25 Dosis metronidazol untuk orang dewasa adalah 3x750

mg/hari 7-10 hari. Pada ibu hamil hindari pemakaiannya pada trimester

I.10,11

c. Klorokuin

Merupakan amebisid jaringan yang efektif terhadap amebiasis hati.

Efek samping dan toksisitasnya ringan, antara lain mual, muntah, diare,

sakit kepala. Dosis untuk orang dewasa adalah 1 gram sehari selama 2

hari, kemudian 500 mg sehari selama 2 sampai 3 minggu.26

H. Pencegahan

Pencegahan amebiasis terutama ditunjukan pada kebersihan perorangan

(personal hygiene) dan kebersihan lingkungan (environmental sanitation).

Kebersihan perorangan antara lain mencuci tangan dengan bersih sesudah buang

air besar dan sebelum makan. Kebersihan lingkungan meliputi: memasak air

minum sampai mendidih sebelum diminum, mencuci sayuran sampai bersih atau
27
28

memasaknya sebelum dimakan, buang air besar menggunakan jamban, tidak

menggunakan tinja manusia sebagai pupuk, menutup dengan baik makanan yang

dihidangkan untuk menghindari kontaminasi dengan lalat dan lipas, membuang

sampah di tempat sampah yang tertutup untuk menghindari lalat.17

28
29

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Teori

Perilaku Individu
yang Buruk

Makanan/minuman tercemar
kista E. histolytica

Tertelan

Disentri Amuba

Bagan 1. Kerangka Teori

B. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Perilaku Individu Kejadian Disentri


Amuba

Bagan 2. Kerangka Konsep

29
30

C. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif dengan menggunakan data

rekam medik atau status pasien yang datang berobat di Klinik “TJAKRA”

Tahun 2017. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berfungsi untuk

mendiskripsikan atau memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti melalui

data sampel atau populasi yang ada, tanpa melakukan analisis dan membuat

kesimpulan yang berlaku untuk umum (Sugiyono, 2009).

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti

dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Subjek pada

penelitian ini ditentukan dengan pertimbangan peneliti dengan menggunakan

kriteria sebagai berikut:.

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum dari subjek penelitian

yang layak untuk dilakukan penelitian atau dijadikan responden. Kriteria

inklusi pada penelitian ini adalah:

 Pasien yang datang dengan diagnosis utama disentri amuba


 Pasien yang memiliki kelengkapan data rekam medik, meliputi:
o Nama
o Umur
o Jenis kelamin
o Keluhan utama

30
31

o Pemeriksaan penunjang, meliputi: pemeriksaan lab


o Terapi yang diberikan
2. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan subjek penelitian yang tidak dapat

mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian.

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

a. Pasien tidak menderita disentry amuba

b. Pasien tidak memiliki kelengkapan rekam medik.

E. Waktu dan Tempat Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan pada Pasien di Klinik Tjakra Jakarta Timur

Selama bulan Januari sampai November 2017.

F. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah Pasien di Klinik Tjakra Perempuan

dan Laki-laki yang di dalamnya terdapat orang dewasa yang menderita atau

pernah menderita disentri amuba

2. Besar sampel

Besar sampel dalam penelitian ini adalah berjumlah 70 orang.

3. Teknik pengambilan sampel

31
32

Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah

menggunakan Sample Random Sampling, yaitu metode pengambilan

sampel secara acak dimana masing-masing populasi mempunyai peluang

yang sama besar untuk terpilih sebagai sampel.

4. Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu:

1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perilaku individu pada responden

di Klinik Tjakra Jakarta Timur

2. Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian disentri amuba pada

orang dewasa di Klinik Tjakra Jakarta Timur

5. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas

Perilaku individu adalah suatu kegiatan yang biasa atau sering dilakukan oleh

seseorang yang bersangkutan dengan kebersihan diri dan lingkungan.

a. Skala pengukuran: Nominal

b. Kategori
32
33

1) Baik, jika individu selalu mencuci tangan menggunakan sabun

sebelum makan apa saja, mencuci tangan menggunakan sabun setelah

buang air besar, mencuci peralatan makan yang akan digunakan

dengan menggunakan sabun, selalu menutup makanan yang sudah

dimasak sebelum dimakan, selalu menggunting kuku apabila sudah

terlihat agak panjang, buang air besar menggunakan jamban, dan

selalu membuang sampah di tempat sampah.

2) Buruk, jika individu tidak mencuci tangan menggunakan sabun

sebelum makan apa saja, tidak mencuci tangan menggunakan sabun

setelah buang air besar, tidak mencuci peralatan makan yang akan

digunakan dengan menggunakan sabun, tidak menutup makanan yang

sudah dimasak sebelum dimakan, tidak menggunting kuku walaupun

terlihat sudah agak panjang, buang air besar tidak menggunakan

jamban, dan membuang sampah tidak di tempat sampah.

c. Variabel Terikat

Kejadian disentri amuba adalah kejadian suatu penyakit pada orang

dewasa yang menderita diare dengan konsistensi tinja lembek atau cair
33
34

disertai dengan darah dan lendir (mukus) lebih dari tiga kali sehari dalam 6

bulan terakhir.

1) Skala pengukuran: Nominal

2) Kategori

a) Disentri amuba, jika mengalami disentri amuba dalam 6 bulan

terakhir.

b) Tidak disentri amuba, jika tidak mengalami disentri amuba dalam 6

bulan terakhir.

6. Pengumpulan Data

1. Jenis data

Jenis data dalam penelitian ini berupa data kuantitatif yang diperoleh dari

wawancara menggunakan kuesioner dan observasi secara langsung mengenai

kebersihan individu dan kebersihan lingkungan.

2. Sumber data

a. Data primer

Data primer diperoleh langsung dari hasil wawancara menggunakan

kuesioner dan observasi oleh peneliti secara langsung kepada responden

mengenai perilaku individu.

b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka.


34
35

3. Cara pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan

observasi oleh peneliti secara langsung kepada responden mengenai perilaku

individu.

4. Instrumen penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Kuesioner

b. Alat tulis

c. Kamera

7. Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul, kemudian akan diolah (editing, coding, entry,

dan tabulating data).

1. Editing, yaitu memeriksa kelengkapan, kejelasan makna jawaban, konsistensi

maupun kesalahan antar jawaban pada kuesioner.

2. Coding, yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan proses pengolahan

data dengan memberikan angka satu atau dua.

3. Entry, yaitu memasukkan data untuk diolah dengan menggunakan komputer.

4. Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan diteliti

guna memudahkan analisis data.

8. Analisis Data
35
36

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Analisis univariat

Analisis univariat merupakan analisis yang digunakan untuk menggambarkan

atau mendeskripsikan dari masing-masing variabel, yaitu variabel bebas dan

variabel terikat.

2. Analisis bivariat

Dilakukan untuk menguji hubungan variabel bebas dan varabel terikat dengan

uji statistik chi square (X2) untuk mengetahui hubungan yang signifikan

antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat. Uji chi square

dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak, yaitu komputer

dengan tingkat signifikan p<0,05 (taraf kepercayaan 95%). Dasar

pengambilan keputusan dengan tingkat kepercayaan 95%:

a. Jika nilai sig p>0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.

b. Jika nilai sig p<0,05 maka hipotesis penelitian diterima.

36

Anda mungkin juga menyukai