s=demonstrasi
Teks Hadits:
“Iyadh bin Ganm berkata kepada Hizyam bin Hakim radhiyallahu’anhuma: Tidakkah engkau
mendengar sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: Barangsiapa yang ingin menasihati
penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih
tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang
diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati
penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-
Albani dalam Zhilalul Jannah: 1096]
Dalam riwayat Al-Hakim terdapat rawi yang lemah yaitu Ibnu Zuraiq
Dalam riwayat Ahmad terdapat Syuraih bin ‘Ubaid yang riwayatnya terputus, tidak
mendengar dari Hisyam dan ‘Iyadh
Dalam riwayat Ibnu ‘Abi Ashim dalam As-Sunnah (1096) terdapat keterputusan sanad seperti
poin (b), dan dalam As-Sunnah (1097) trdapat rawi yang lemah yaitu Muhammad bin Ismail
bin ‘Ayyash Al-Himshi, dan dalam As-Sunnah (1098) terdapat rawi yang lemah, yaitu Abdul
Hamid bin Ibrahim
Riwayat Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam lemah pada sanadnya masing-masing.
Tanggapan:
1). Dalam ta’liq Adz-Dzahabi rahimahullah terhadap Al-Mustadrak (no. 5269) karya Al-
Hakim rahimahullah beliau memang mengatakan: “Ibnu Zuraiq waahin” dan Asy-Syaikh Al-
Albani rahimahullah menjelaskan dalam Adh-Dhaifah (3/39) bahwa yang dimaksud
dengan waahin menurut Adz-Dzahabi dan Al-Asqolani adalah: “Sangat lemah.” Akan tetapi
terdapat penguat hadits ini dari jalan periwayatan yang lain yang tidak terdapat padanya Ibnu
Zuraiq, yaitu dalam riwayat Ahmad (dishahihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth), Ibnu
Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani), Ath-Thabrani
dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro dan lain-lain. Dan
sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits bahwa riwayat yang lemah terangkat menjadi kuat
dengan adanya syawahid (penguat-penguat).
2). Adapun keterputusan sanad dalam riwayat Ahmad antara Syuraih bin ‘Ubaid (tabi’in) dan
sahabat Hisyam dan ‘Iyadh, maka dalam riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (1097)
terdapat Jubair bin Nufair yang menjadi penghubung antara Syuraih dan kedua sahabat
(Hisyam dan ‘Iyadh), maka atas dasar ini Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menshahihkan
hadits ini.
3). Sangkaan Ustadz Ja’far bahwa riwayat Ibnu ‘Ashim dalam As-Sunnah (1096) terdapat
keterputusan sanad seperti poin (b), maka ini sudah terbantah sebagaimana pada tanggapan
poin (b) di atas.
Adapun dalam As-Sunnah (1097) terdapat rawi yang lemah yaitu Muhammad bin Ismail bin
‘Ayyasy Al-Himshi, maka ia menjadi kuat dengan dukungan riwayat yang sebelumnya
(1096) yang tidak terdapat padanya Muhammad bin ‘Ayyasy, demikian keterangan Asy-
Syaikh Al-Albani.
Di dalam As-Sunnah (1098) terdapat rawi yang lemah, yaitu Abdul Hamid bin Ibrahim. Akan
tetapi dengan adanya jalan periwayatan lain, ia terangkat menjadi kuat sebagaimana yang
dipahami dalam ilmu hadits.
4). Adapun ucapan Ustadz Ja’far bahwa riwayat Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam lemah pada
sanadnya masing-masing, maka telah berlalu penjelasan di atas bahwa ada beberapa jalan
yang tidak sampai pada tingkat “sangat lemah” sehingga menjadi kuat dengan seluruh jalan-
jalannya, demikian kesimpulan Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.
1) Sahabat yang mulia, Amirul Mukminin, Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu berkata,
ﻭﺍﻟﻤﻌﺎﻭﻧﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻭﺇﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﺷﻲء ﺃﺣﺐ ﺇﻟﻰ ﷲ ﻭﺃﻋﻢ ﻧﻔﻌﺎ ﻣﻦ ﺣﻠﻢ ﺇﻣﺎﻡ،ﺃﻳﺘﻬﺎ ﺍﻟﺮﻋﻴﺔ ﺇﻥ ﻟﻨﺎ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺣﻘﺎ ﺍﻟﻨﺼﻴﺤﺔ ﺑﺎﻟﻐﻴﺐ
ﻭﻟﻴﺲ ﺷﻲء ﺃﺑﻐﺾ ﺇﻟﻰ ﷲ ﻣﻦ ﺟﻬﻞ ﺇﻣﺎﻡ ﻭﺧﺮﻗﻪ،ﻭﺭﻓﻘﻪ
“Wahai rakyat, sesungguhnya kami memiliki hak atas kalian, yaitu nasihat secara
tersembunyi, dan menolong dalam kebaikan. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang lebih
dicintai oleh Allah dan lebih luas manfaatnya dibanding kesabaran seorang pemimpin dan
kelembutannya, dan tidak ada sesuatu yang lebih dimurkai oleh Allah dibanding kejahilan
seorang pemimpin dan kebodohannya.” [Diriwayatkan Hannad dalam Az-Zuhd (no. 1281),
dan Ibnu Syubbah dalam Tarikh Al-Madinah An-Nabawiyyah (2/12)]
ﺃَﻻَ ﺗَﺪْ ُﺧ ُﻞ َﻋ َﻠﻰ ﻋُﺜْ َﻤﺎﻥَ َﻓﺘ ُ َﻜ ِ ّﻠ َﻤﻪُ َﻓ َﻘﺎ َﻝ ﺃَﺗ ُ َﺮ ْﻭﻥَ ﺃ َ ِّﻧﻰ ﻻَ ﺃ ُ َﻛ ِ ّﻠ ُﻤﻪُ ِﺇﻻﱠ ﺃُﺳ ِْﻤﻌُ ُﻜ ْﻢ َﻭ ﱠ ِ َﻟ َﻘﺪْ َﻛ ﱠﻠ ْﻤﺘُﻪُ ِﻓﻴ َﻤﺎ َﺑ ْﻴ ِﻨﻰ َﻭ َﺑ ْﻴ َﻨﻪُ َﻣﺎ ﺩ ُﻭﻥَ ﺃ َ ْﻥ ﺃ َ ْﻓﺘَ ِﺘ َﺢ
ُﺃ َ ْﻣ ًﺮﺍ ﻻَ ﺃ ُ ِﺣﺐﱡ ﺃ َ ْﻥ ﺃ َ ُﻛﻮﻥَ ﺃ َ ﱠﻭ َﻝ َﻣ ْﻦ َﻓﺘ َ َﺤﻪ
ﻗﻮﻟﻪ ﻗﺪ ﻛﻠﻤﺘﻪ ﻣﺎ ﺩﻭﻥ ﺃﻥ ﺍﻓﺘﺢ ﺑﺎﺑﺎ ﺃﻱ ﻛﻠﻤﺘﻪ ﻓﻴﻤﺎ ﺃﺷﺮﺗﻢ ﺇﻟﻴﻪ ﻟﻜﻦ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻭﺍﻷﺩﺏ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺮ ﺑﻐﻴﺮ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ
ﻛﻼﻣﻲ ﻣﺎ ﻳﺜﻴﺮ ﻓﺘﻨﺔ ﺃﻭ ﻧﺤﻮﻫﺎ
“Ucapan beliau (Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu), “Sungguh aku telah berbicara
dengannya tanpa aku membuka sebuah pintu” maknanya adalah, aku telah berbicara
kepadanya dalam perkara yang kalian maksudkan tersebut, akan tetapi dengan jalan maslahat
dan adab secara rahasia, tanpa ada dalam ucapanku sesuatu yang dapat mengobarkan fitnah
atau semisalnya.” [Fathul Bari, 13/51]
ﺃﺭﺍﺩﻭﺍ ﻣﻦ ﺃﺳﺎﻣﺔ ﺍﻥ ﻳﻜﻠﻢ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺧﺎﺻﺘﻪ ﻭﻣﻤﻦ ﻳﺨﻒ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻲ ﺷﺄﻥ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﻘﺒﺔ ﻷﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻅﻬﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﺭﻳﺢ ﻧﺒﻴﺬ
ﻭﺷﻬﺮ ﺃﻣﺮﻩ ﻭﻛﺎﻥ ﺃﺧﺎ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻷﻣﻪ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺳﺎﻣﺔ ﻗﺪ ﻛﻠﻤﺘﻪ ﺳﺮﺍ ﺩﻭﻥ ﺃﻥ ﺃﻓﺘﺢ ﺑﺎﺑﺎ ﺃﻱ ﺑﺎﺏ ﺍﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺋﻤﺔ
ﻋﻼﻧﻴﺔ ﺧﺸﻴﺔ ﺍﻥ ﺗﻔﺘﺮﻕ ﺍﻟﻜﻠﻤﺔ
“Mereka menginginkan dari Usamah agar beliau berbicara kepada ‘Utsman -dan Usamah
adalah orang dekat dan disegani oleh ‘Utsman- dalam perkara Al-Walid bin ‘Uqbah, karena
muncul darinya bau nabidz (khamar) dan telah ramai dibicarakan, sedang ia adalah saudara
‘Utsman seibu dan beliau tugaskan sebagai gubernurnya. Maka Usamah berkata, “Sungguh
aku telah berbicara kepadanya secara rahasia tanpa aku membuka pintu” maknanya adalah
pintu mengingkari pemimpin secara terang-terangan, karena dikhawatirkan akan terpecahnya
persatuan.” [Fathul Bari, 13/52]
َﻗﺎ َﻝ، َﺳ ِﻌﻴﺪ ُ ْﺑﻦُ ُﺟ ْﻤ َﻬﺎﻥ َ ﺃَﻧَﺎ: ُ َﻣ ْﻦ ﺃ َ ْﻧﺖَ ؟ َﻓﻘُ ْﻠﺖ: ﻗَﺎ َﻝ ِﻟﻲ، ﺴ ﱠﻠ ْﻤﺖُ َﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َ َﻓ، ﺼ ِﺮ َ ﺃَﺗَﻴْﺖُ َﻋ ْﺒﺪَ ﷲِ ﺑْﻦَ ﺃ َ ِﺑﻲ ﺃ َ ْﻭ َﻓﻰ َﻭﻫ َُﻮ َﻣﺤْ ﺠُﻮﺏُ ْﺍﻟ َﺒ:
ﺻ ﱠﻠﻰ ﱠ ُ َﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َ ِﺳﻮ ُﻝ ﷲ ُ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ َﺭ، َ َﻟ َﻌﻦَ ﱠ ُ ﺍﻷ َﺯَ ِﺍﺭ َﻗﺔ، َ َﻟ َﻌﻦَ ﱠ ُ ﺍﻷَﺯَ ِﺍﺭ َﻗﺔ: َﻗﺎ َﻝ، ُ َﻗﺘَ َﻠﺘْﻪُ ﺍﻷَﺯَ ِﺍﺭﻗَﺔ: ُ ﻗُ ْﻠﺖ: َﻓ َﻤﺎ َﻓ َﻌ َﻞ َﻭﺍ ِﻟﺪ ُﻙَ ؟ َﻗﺎ َﻝ
َ ﻓﺈ ِ ﱠﻥ ﺍﻟﺴﱡﻠﻄﺎﻥ: ُ ﻗﻠﺖ: َﻗﺎ َﻝ. َﺑ ِﻞ ْﺍﻟﺨ ََﻮ ِﺍﺭ ُﺝ ُﻛ ﱡﻠ َﻬﺎ: ﺍﻷَﺯَ ِﺍﺭ َﻗﺔُ َﻭﺣْ ﺪَ ُﻫ ْﻢ ﺃ َ ِﻡ ْﺍﻟﺨ ََﻮ ِﺍﺭ ُﺝ ُﻛ ﱡﻠ َﻬﺎ ؟ َﻗﺎ َﻝ: ُ ﻗُ ْﻠﺖ: َﻗﺎ َﻝ، ﺎﺭ
َ ْ َ ْ ُ ِ ﺳ ﱠﻠ َﻢ ﺃ َ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ ِﻛﻼَﺏُ ﺍﻟ ﱠﻨ
َ َﻭ
َﻭ ْﻳ َﺤﻚَ َﻳﺎ ﺍﺑْﻦَ ُﺟ ْﻤ َﻬﺎﻥَ َﻋ َﻠﻴْﻚَ ِﺑﺎﻟﺴ َﱠﻮﺍ ِﺩ: ﺛ ُ ﱠﻢ َﻗﺎ َﻝ، ً ﺷﺪِﻳﺪَﺓ َ ً ﻓَﺘَﻨ ََﺎﻭ َﻝ َﻳﺪِﻱ َﻓ َﻐ َﻤﺰَ ﻫَﺎ ِﺑ َﻴ ِﺪ ِﻩ ﻏ َْﻤﺰَ ﺓ: َﻗﺎ َﻝ، َﻭ َﻳ ْﻔ َﻌ ُﻞ ِﺑ ِﻬ ْﻢ، ﺎﺱ َ ﱠ
ﻨ ﺍﻟ ﻢ
ُ ﻠ
ِ ْ
ﻈ ﻳ
َ
ُ َﻭﺇِﻻﱠ َﻓﺪَ ْﻋﻪ، َ َﻓﺈ ِ ْﻥ َﻗ ِﺒ َﻞ ِﻣ ْﻨﻚ، َﻓﺄ َ ْﺧ ِﺒ ْﺮﻩُ ِﺑ َﻤﺎ ﺗَ ْﻌ َﻠ ُﻢ، َﻓﺄ ْ ِﺗ ِﻪ ِﻓﻲ َﺑ ْﻴ ِﺘ ِﻪ، َﻄﺎﻥُ َﻳ ْﺴ َﻤ ُﻊ ِﻣ ْﻨﻚ َ ﻈ ِﻢ ﺇِ ْﻥ َﻛﺎﻥَ ﺍﻟﺴ ْﱡﻠ َ َﻋ َﻠﻴْﻚَ ِﺑﺎﻟﺴ َﱠﻮﺍ ِﺩ ﺍﻷ َ ْﻋ، ﻈ ِﻢ َ ﺍﻷ َ ْﻋ،
َ
ُ َﻓﺈ ِ ﱠﻧﻚَ َﻟﺴْﺖَ ِﺑﺄ ْﻋ َﻠ َﻢ ِﻣ ْﻨﻪ.
“Aku pernah mendatangi Abdullah bin Abi Aufa -radhiyallahu’anhu- dan beliau adalah
seorang yang buta. Aku mengucapkan salam kepadanya, lalu ia berkata kepadaku, “Siapakah
kamu?” Aku berkata, “Aku Sa’id bin Jumhan”. Beliau berkata, “Apa yang terjadi pada
bapakmu?” Aku berkata, “Kaum Khawarij Al-Azaariqoh telah membunuhnya”. Beliau
berkata, “Semoga Allah melaknat Al-Azariqoh, semoga Allah melaknat Al-Azariqoh.
Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- mengabarkan kepada kami bahwa mereka dalah
anjing-anjing neraka”. Aku berkata, “Apakah Al-Azariqoh saja atau Khawarij seluruhnya?”
Beliau berkata, “Bahkan Khawarij seluruhnya”. Aku berkata, “Sesungguhnya penguasa telah
menzalimi manusia dan semana-mena terhadap mereka”. Beliau pun menarik tanganku
dengan keras seraya berkata, “Celaka engkau wahai Ibnu Jumhan, hendaklah engkau
mengikuti as-sawaadul a’zhom (Ahlus Sunnah), hendaklah engkau mengikuti as-sawaadul
a’zhom (Ahlus Sunnah). Apabila penguasa mau mendengar nasihatmu, maka datangilah ia di
rumahnya, lalu kabarkan kepadanya apa yang kamu ketahui, semoga ia menerima nasihat
darimu. Jika tidak, maka tinggalkan ia, karena sesungguhnya engkau tidak lebih tahu
darinya.” [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/382), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (no. 6435)
dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 905), dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Zhilalul Jannah: 905]
ﺐِ ﺲ ﺇِ َﻟﻰ َﺟ ْﻨ ٌ ﺼ ﱠﻠﻰ َﻳ ْﻮ ًﻣﺎ ﺛ ُ ﱠﻢ ﺩَ َﺧ َﻞ َﻗﺎ َﻝ َﻭﺃَﺑُﻮ َﺑ ْﻜ َﺮﺓ َ َﺟﺎ ِﻟ َ ﺷ ْﻌ َﺮﻩُ َﻗﺎ َﻝ َﻓ َ ﺎﻕ ُﻣ َﺮ ِ ّﺟ ٌﻞٌ ﺎﺱ َﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ ِﺛ َﻴﺎﺏٌ ِﺭ َﻗ َ ﻄﺐُ ﺍﻟ ﱠﻨ ُ ﺎﻣ ٍﺮ َﻳ ْﺨِ َﻛﺎﻥَ َﻋ ْﺒﺪ ُ ﱠ ِ ْﺑﻦُ َﻋ
َ
ﻕ َﻓ َﺴ ِﻤ َﻌﻪُ ﺃﺑُﻮ َﺑ ْﻜ َﺮﺓ َ َﻓ َﻘﺎ َﻝ ِﻻ ْﺑ ِﻨ ِﻪِ ﱠﺎ ﺴ ُ ﻔ ْ
ﺎﻟ ﺑ
ِ ُ ﻪ ﺒ
ﱠ ﺸ
َ َ ﺘ ﻳ
َ ﻭ
َ َﺎﻕ َ
ﻗ ﺍﻟﺮ
ّ ِ ﺲ
ُ ﺒ
َ ْ
ﻠ ﻳ
َ ﻢ ﻫ
ِ
ْ ِ َ ﺪ
ِ ﻴ
ّ ﺳ
َ ﻭ ﺎﺱِ ﱠ
ﻨ ﺍﻟ ﻴﺮ
ِ ﻣ ِ َ ﺃ ﻰ َ
ﻟ ﺇ
ِ َﻥ ﻭْ َﺮ
َ ﺗ َ ﻻَ ﺃ : ﻝ
ٍ َ ﻼ ﺑ
ِ ُﻮ ﺑَ ﺃ ﺍﺱ
ٌ َْﺍﻟ ِﻤ ْﻨ َﺒ ِﺮ َﻓ َﻘﺎ َﻝ ِﻣ ْﺮﺩ
ﺻﻠﻰ ﷲ- ِ ﺳﻮ َﻝ ﱠ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌﺖُ َﺭ َ ْﻴﺮ ﺁ ِﻧ ًﻔﺎ َﻭ َﻗﺪ ِ ﺳ ِﻤ ْﻌﺖُ َﻣ َﻘﺎ َﻟﺘَﻚَ ِﻟﻸ َ ِﻣ َ ْﻉ ِﻟﻰ ﺃ َ َﺑﺎ ِﺑﻼَ ٍﻝ َﻓﺪَ َﻋﺎﻩُ َﻟﻪُ َﻓ َﻘﺎ َﻝ ﺃَﺑُﻮ َﺑ ْﻜ َﺮﺓ َ ﺃ َ َﻣﺎ ﺇِ ِّﻧﻰ َﻗﺪ َ ُ ﺍﻷ
ُ ْﺻ ْﻴ ِﻠﻊِ ﺍﺩ
َ
ُ ﻄﺎﻥَ ﱠ ِ ﺃﻫَﺎ َﻧﻪُ ﱠ ْ
َ ﺳﻠ َ
ُ َﻄﺎﻥَ ﱠ ِ ﺃ ْﻛ َﺮ َﻣﻪُ ﱠ ُ َﻭ َﻣ ْﻦ ﺃﻫَﺎﻥَ ْ
َ ﺳﻠ َ
ُ » َﻣ ْﻦ ﺃ ْﻛ َﺮ َﻡ: َﻳﻘُﻮ ُﻝ-» ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
“Dahulu Abdullah bin ‘Amir menyampaikan khutbah kepada manusia dengan mengenakan
pakaian tipis lagi tersisir rambutnya. Suatu hari beliau melakukan sholat, kemudian beliau
masuk dan Abu Bakrah duduk di samping mimbar. Mirdas Abu Bilal berkata, “Tidakkah
kalian melihat pemerintah dan pemimpin manusia yang mengenakan pakaian tipis dan
menyerupai orang-orang fasik?”. Abu Bakrah mendengarkan ucapannya, lalu ia berkata
kepada anaknya yang masih kecil, “Panggilkan Abu Bilal”. Lalu ia pun memanggilnya. Abu
Bakrah berkata kepadanya, “Sungguh aku telah mendengar ucapanmu
terhadap amir (pemimpin) tadi, dan sungguh aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memuliakan sultan (penguasa)
Allah, maka Allah akan memuliakannya, dan barangsiapa yang menghinakan sultan Allah,
maka Allah akan menghinakannya.” [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2224), Ibnu Abi
‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 1017-1018), dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-
Kubro (8/163-164), di-hasan-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 2297]
“Aku tidak akan menolong dalam menumpahkan darah seorang khalifah selamanya setelah
‘Utsman (terbunuh). Lalu dikatakan kepadanya, Wahai Abu Ma’bad (sapaan Abdullah bin
Ukaim, ed.-), apakah engkau terlibat?” Beliau berkata, “Sungguh aku menganggap bahwa
menyebutkan kejelekan-kejelakannya adalah pertolongan atas tumpahnya darah beliau.” [HR.
Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot Al-Kubro (3/80) & (6/115) dan Ad-Dulabiy dalam Al-Kuna
wal Asma’ (no. 384). Siyar A’laamin Nubala’, 3/512]
Jadi, andaikan hadits ‘Iyadh bin Ganm radhiyallahu’anhu dha’if sekalipun maka masih
banyak riwayat dari sahabat yang melarang untuk menasihati penguasa secara terbuka, maka
itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari manhaj para sahabat
radhiyallahu’anhum.
ﻭﻻ ﺑﺎﻧﺘﻘﺎﺩ, ﻭﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺼﺢ ﺍﻟﺘﺸﻬﻴﺮ ﺑﻌﻴﻮﺏ ﺍﻟﻨﺎﺱ, ﻓﺎﻟﻨﺼﺢ ﻳﻜﻮﻥ ﺑﺎﻷﺳﻠﻮﺏ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻭﺍﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﺍﻟﻤﻔﻴﺪﺓ ﻭﺍﻟﻤﺸﺎﻓﻬﺔ ﺍﻟﻤﻔﻴﺪﺓ
ﻟﻜﻦ ﺍﻟﻨﺼﺢ ﺃﻥ ﺗﺴﻌﻰ ﺑﻜﻞ ﻣﺎ ﻳﺰﻳﻞ ﺍﻟﺸﺮ ﻭﻳﺜﺒﺖ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﺑﺎﻟﻄﺮﻕ ﺍﻟﺤﻜﻴﻤﺔ ﻭﺑﺎﻟﻮﺳﺎﺋﻞ ﺍﻟﺘﻲ, ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻨﺎﺑﺮ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ
ﻳﺮﺿﺎﻫﺎ ﷲ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ
“Nasihat hendaklah dengan cara yang baik, tulisan yang bermanfaat dan ucapan yang
berfaidah. Bukanlah termasuk nasihat dengan cara menyebarkan aib-aib manusia, dan tidak
pula mengeritik negara di mimbar-mimbar dan semisalnya. Akan tetapi nasihat itu engkau
curahkan setiap yang bisa menghilangkan kejelekan dan mengokohkan kebaikan dengan
cara-cara yang hikmah dan sarana-sarana yang diridhoi Allah ‘azza wa jalla.” [Lihat Majmu’
Al-Fatawa, 7/306]
ﻭﺫﻛﺮ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻨﺎﺑﺮ; ﻷﻥ ﺫﻟﻚ ﻳﻔﻀﻲ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻔﻮﺿﻰ ﻭﻋﺪﻡ ﺍﻟﺴﻤﻊ ﻭﺍﻟﻄﺎﻋﺔ, ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﻣﻨﻬﺞ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺍﻟﺘﺸﻬﻴﺮ ﺑﻌﻴﻮﺏ ﺍﻟﻮﻻﺓ
ﺍﻟﻨﺼﻴﺤﺔ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻭﺑﻴﻦ: ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻟﻄﺮﻳﻘﺔ ﺍﻟﻤﺘﺒﻌﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺴﻠﻒ, ﻭﻳﻔﻀﻲ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺨﻮﺽ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻀﺮ ﻭﻻ ﻳﻨﻔﻊ, ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ
ﺃﻭ ﺍﻻﺗﺼﺎﻝ ﺑﺎﻟﻌﻠﻤﺎء ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺘﺼﻠﻮﻥ ﺑﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﻮﺟﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺨﻴﺮ, ﻭﺍﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﺇﻟﻴﻪ, ﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥ
“Bukan termasuk manhaj Salaf, menasihati dengan cara menyebarkan aib-aib penguasa dan
menyebutkannya di mimbar-mimbar, sebab yang demikian itu mengantarkan kepada
kekacauan dan tidak mendengar dan taat kepada penguasa dalam perkara yang ma’ruf, dan
mengantarkan kepada provokasi yang berbahaya dan tidak bermanfaat. Akan tetapi
tempuhlah jalan yang telah dilalui oleh Salaf, yaitu nasihat antara mereka dan pemerintah
(secara rahasia), dan menulis surat kepada penguasa, atau menghubungi ulama yang memiliki
akses kepadanya, sehingga ia bisa diarahkan kepada kebaikan.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa,
8/210]
Sangat banyak fatwa dan nasihat ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang melarang untuk
menasihati pemerintah secara terbuka, semoga Allah ta’ala memberikan taufiq kepada Ustadz
Ja’far untuk kembali kepada kebenaran dan bertaubat dari pemikiran Khawarij ini.
Syubhat Kedua: Sebagian Sahabat dan Tabi’in Mencerca Penguasa Secara Terbuka, Bahkan
Memberontak
Ustadz Ja’far berkata, “Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dalam shahih keduanya telah
diriwayatkan perbuatan Shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang senior bernama Abu
Said Al Khudri dan Abu Mas’ud Al Anshari yang keduanya mencerca di depan umum (yakni
di depan jama’ah shalat hari raya di lapangan) terhadap perbuatan gubernur Al Madinah An
Nabawiyah yang bernama Marwan bin Al Hakam yang melaksanakan khutbah terlebih
dahulu sebelum shalat ied (Shahih Al Bukhari hadits ke 956, juga diriwayatkan oleh Muslim
dalam Shahihnya hadits ke 889).” [hal. 32-33]
“Bagaimana mungkin sikap mencerca penguasa di depan umum itu dijadikan patokan untuk
menilai pelakunya sebagai Khawarij, padahal terdapat kalangan Shahabat dan Tabi’in yang
mencerca penguasa di depan umum dan bahkan memberontak kepada penguasa yang
dianggap telah melakukan kekafiran yang nyata. Dari kalangan Shahabat dan Tabi’in itu
antara lain ialah Abu Thufail Amir bin Watsilah Al Kinani yang memobilisasi kaum
muslimin untuk memberontak kepada Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi dan mendukung
pemberontakan Abdurrahman bin Al As’ats.” [hal. 33]
Tanggapan:
ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻭﻳﻘﻮﻝ-ًﻣﺜﻼ- ﻟﻜﻦ ﻛﻼﻣﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻣﺜﻞ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻡ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ، ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ ﺍﻟﺸﺎﺋﻌﺔ ﻓﺄﻧﻜﺮﻫﺎ:ﻓﺄﻗﻮﻝ:
ﻭﻫﻨﺎﻙ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻷﻣﻴﺮ ﺃﻭ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﺍﻟﺬﻱ ﺗﺮﻳﺪ ﺃﻥ ﺗﺘﻜﻠﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻴﻦ، ﻓﻴﺘﻜﻠﻢ ﻓﻲ ﻧﻔﺲ ﺍﻟﺤﻜﺎﻡ،ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ ﻅﻠﻤﺖ ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ ﻓﻌﻠﺖ
ﻳﺪﻳﻚ ﻭﺑﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻏﺎﺋﺒﺎً؛ ﻷﻥ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻹﻧﻜﺎﺭﺍﺕ ﺍﻟﻮﺍﺭﺩﺓ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺇﻧﻜﺎﺭﺍﺕ ﺣﺎﺻﻠﺔ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻱ ﺍﻷﻣﻴﺮ ﺃﻭ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ.
ﻭﻗﺪ، ﻭﻳﺒﻴﻦ ﻭﺟﻬﺔ ﻧﻈﺮﻩ، ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺣﺎﺿﺮﺍ ً ﺃﻣﻜﻨﻪ ﺃﻥ ﻳﺪﺍﻓﻊ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻪ.ًﻭﻫﻨﺎﻙ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﻛﻮﻥ ﺍﻷﻣﻴﺮ ﺣﺎﺿﺮﺍ ً ﺃﻭ ﻏﺎﺋﺒﺎ
ﻟﻜﻦ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻏﺎﺋﺒﺎ ً ﻭﺑﺪﺃﻧﺎ ﻧﺤﻦ ﻧﻔﺼﻞ ﺍﻟﺜﻮﺏ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻧﺮﻳﺪ ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺨﻄﻮﺭﺓ،ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺼﻴﺒﺎ ً ﻭﻧﺤﻦ ﻣﺨﻄﺌﻮﻥ،
ﻭﻣﻌﻠﻮﻡ ﺃﻥ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻟﻮ ﻭﻗﻒ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﻓﻲ ﺷﺨﺺ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﻟﻴﺲ ﻣﻦ،ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻭﺭﺩ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻛﻠﻪ ﻓﻲ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﺍﻷﻣﻴﺮ ﺃﻭ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ
ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻚ ﺧﻴﺮ ﻓﺼﺎﺭﺣﻪ ﻭﻗﺎﺑﻠﻪ، ﻫﺬﻩ ﻏﻴﺒﺔ: ﻓﺴﻮﻑ ﻳﻘﺎﻝ،ﻭﻻﺓ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﻭﺫﻛﺮﻩ ﻓﻲ ﻏﻴﺒﺘﻪ
Terdapat perbedaan antara keadaan penguasa yang dinasihati itu hadir dan tidak hadir.
Perbedaannya, jika ia hadir, maka memungkinkan baginya untuk membela dirinya dan
menjelaskan sisi pandangnya, dan bisa jadi ia benar dan kita yang salah. Akan tetapi jika ia
tidak hadir dan kita mulai merinci permasalahan sesuai apa yang kita inginkan, maka inilah
yang berbahaya. Adapun yang diriwayatkan dari Salaf seluruhnya adalah di depan
pemerintah atau penguasa (secara langsung). Dimaklumi bahwa andaikan seseorang berbicara
tentang kesalahan orang tertentu di belakangnya, sedang ia bukan termasuk pemerintah, maka
akan dikatakan, “Ini adalah ghibah”. Jika pada dirimu terdapat kebaikan, terus teranglah
kepadanya dan temui dia.” [Lihat Liqo’ Baabil Maftuh, no. 62/13]
“Barangsiapa yang melihat suatu (kemungkaran) yang ia benci pada pemimpinnya, maka
hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah
(pemerintah) sejengkal saja, kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR.
Al-Bukhari dalam Shohih-nya (7054) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 1849) dari
Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma]
“Sesungguhnya kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang
kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada
kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah
kepada Allah hak kalian.” [HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya (7052) dan Muslim dalam
Shohih-nya (no. 1843) dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]
ﺎﻥ ﺇِ ْﻧ ٍﺲ َﻗﺎ َﻝ ِ ﻴﻦ ِﻓﻰ ُﺟﺜْ َﻤِ ﺎﻁ ﺴ ﱠﻨ ِﺘﻰ َﻭ َﺳ َﻴﻘُﻮ ُﻡ ِﻓﻴ ِﻬ ْﻢ ِﺭ َﺟﺎ ٌﻝ ﻗُﻠُﻮﺑُ ُﻬ ْﻢ ﻗُﻠُﻮﺏُ ﺍﻟ ﱠ
ِ ﺸ َﻴ َ ََﻳ ُﻜﻮﻥُ َﺑ ْﻌﺪِﻯ ﺃ َ ِﺋ ﱠﻤﺔ ﻻَ َﻳ ْﻬﺘَﺪ ُﻭﻥَ ِﺑ ُﻬﺪ
ُ ﺍﻯ َﻭﻻَ َﻳ ْﺴﺘَ ﱡﻨﻮﻥَ ِﺑ
ﻅ ْﻬ ُﺮﻙَ َﻭﺃ ُ ِﺧﺬَ َﻣﺎﻟُﻚَ َﻓﺎ ْﺳ َﻤ ْﻊ َﻭﺃ َ ِﻁ ْﻊ
َ ﺏ
َ ﻴﺮ َﻭ ِﺇ ْﻥ ﺿ ُِﺮ ِ ﺳﻮ َﻝ ﱠ ِ ِﺇ ْﻥ ﺃَﺩ َْﺭ ْﻛﺖُ ﺫَﻟِﻚَ َﻗﺎ َﻝ ﺗَ ْﺴ َﻤ ُﻊ َﻭﺗ ُ ِﻄﻴ ُﻊ ِﻟﻸ َ ِﻣ ْ َ ْﻒ ﺃ
ُ ﺻ َﻨ ُﻊ َﻳﺎ َﺭ َ ﻗُ ْﻠﺖُ َﻛﻴ
“Akan ada sepeninggalku para penguasa yang tidak meneladani petunjukku dan tidak
mengamalkan sunnahku, dan akan muncul diantara mereka (para penguasa) orang-orang
yang hati-hati mereka adalah hati-hati setan dalam jasad manusia.” Aku (Hudzaifah) berkata,
“Bagaimana aku harus bersikap jika aku mengalami hal seperti ini?” Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Engkau tetap dengar dan taat kepada pemimpin itu,
meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil, maka dengar dan taatlah.” [HR.
Muslim dalam Shohih-nya (no. 1847) dari Hudzaifah Ibnul Yaman -radhiyallahu’anhu-]
َﻄﻨَﺎ َﻭ َﻣ ْﻜ َﺮ ِﻫﻨَﺎ ﺳﻮ ُﻝ ﱠ ِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ َﻓ َﺒﺎ َﻳ ْﻌﻨَﺎﻩ َﻓ َﻜﺎﻥَ ِﻓﻴ َﻤﺎ ﺃ َ َﺧﺬَ َﻋ َﻠ ْﻴﻨَﺎ ﺃَ ْﻥ َﺑﺎ َﻳ َﻌﻨَﺎ َﻋ َﻠﻰ ﺍﻟﺴ ْﱠﻤﻊ َﻭﺍﻟ ﱠ
ِ ﻄﺎ َﻋ ِﺔ ِﻓﻰ َﻣ ْﻨﺸ ُ ﺩَ َﻋﺎﻧَﺎ َﺭ
ِ
ٌ ﻉ ﺍﻷ َ ْﻣ َﺮ ﺃ َ ْﻫ َﻠﻪُ َﻗﺎ َﻝ ِﺇﻻﱠ ﺃ َ ْﻥ ﺗ ََﺮ ْﻭﺍ ُﻛ ْﻔ ًﺮﺍ َﺑ َﻮﺍ ًﺣﺎ ِﻋ ْﻨﺪَ ُﻛ ْﻢ ِﻣﻦَ ﱠ ِ ِﻓﻴ ِﻪ ﺑ ُْﺮﻫ
َﺎﻥ َﺎﺯ
َ ِ ﻨ ُ ﻧ َ ﻻ ْ
ﻥ َ ﺃ ﻭ َﺎﻨﻴْ َ
ﻠ ﻋ ﺓﺮَ ﺛَ
َ َ ٍ َ َ ِ َ ِ ُ َ ﺃ ﻭ َﺎ
ﻧ ْﺮ
ﺴ ُ ﻳﻭ َﺎ
ﻧ ْﺮ
ﺴ ﻋ ﻭ
“Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- menyeru kami, lalu kami pun membai’at beliau.
Diantara sesuatu yang beliau ambil perjanjian (bai’at) atas kami adalah, kami membai’at
beliau untuk senantiasa mendengar dan taat kepada pemimpin, baik pada saat kami senang
maupun susah; sempit maupun lapang, dan dalam keadaan hak-hak kami tidak dipenuhi, serta
agar kami tidak berusaha merebut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau bersabda, “Kecuali jika
kalian telah melihat kekafiran yang nyata, sedang kalian memiliki dalil dari Allah tentang
kekafirannya.” [HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya (7055-7056) dan Muslim dalam Shohih-
nya (no. 1709)]
ﺳﺄ َ َﻟﻪُ َﻓ َﻘﺎ َﻝ ﺃ َ َﺭﺃَﻳْﺖَ ِﺇ ْﻥ َﻛﺎﻥَ َﻋ َﻠ ْﻴﻨَﺎ ﺃ ُ َﻣ َﺮﺍ ُء َﻳ ْﻤ َﻨﻌُﻮﻧَﺎ َﺣ ﱠﻘﻨَﺎ َﻭ َﻳﺴْﺄَﻟُﻮﻧَﺎ َﺣ ﱠﻘ ُﻬﻢ َﻓ َﻘﺎ َﻝ
َ ﺳﻮ َﻝ ﱠ ِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ َﻭ َﺭ ُﺟ ٌﻞ
ُ ﺳ ِﻤ ْﻌﺖُ َﺭ
َ
ْ َ ُ َ َ
ﺳﻮ ُﻝ ﱠ ِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍ ْﺳ َﻤﻌُﻮﺍ َﻭﺃ ِﻁﻴﻌُﻮﺍ َﻓﺈ ِ ﱠﻧ َﻤﺎ َﻋﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َﻣﺎ ُﺣ ِ ّﻤﻠﻮﺍ َﻭ َﻋﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َﻣﺎ ُﺣ ِ ّﻤﻠﺘ ُ ْﻢ ُ َﺭ
“Aku mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- ketika seseorang bertanya kepada
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, “Apa pendapat anda jika para pemimpin kami tidak
memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai
pemimpin)?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin
kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah
tanggungan kalian.” [HR. Muslim (1846) dan At-Tirmidzi (2199), Ash-Shahihah: 3176]
“Kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah
kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan bagi mereka. Kami
tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada
mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka
perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Kami doakan mereka dengan kebaikan
dan keselamatan.” [Matan Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah]
ﻭﺃﺟﻤﻊ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻨﻌﺰﻝ ﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﺑﺎﻟﻔﺴﻖ ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﻓﻲ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻔﻘﻪ ﻟﺒﻌﺾ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﺃﻧﻪ ﻳﻨﻌﺰﻝ ﻭﺣﻜﻰ ﻋﻦ
ﺍﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﺃﻳﻀﺎ ﻓﻐﻠﻂ ﻣﻦ ﻗﺎﺋﻠﻪ ﻣﺨﺎﻟﻒ ﻟﻺﺟﻤﺎﻉ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎء ﻭﺳﺒﺐ ﻋﺪﻡ ﺍﻧﻌﺰﺍﻟﻪ ﻭﺗﺤﺮﻳﻢ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺎ ﻳﺘﺮﺗﺐ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ
ﺍﻟﻔﺘﻦ ﻭﺍﺭﺍﻗﺔ ﺍﻟﺪﻣﺎء ﻭﻓﺴﺎﺩ ﺫﺍﺕ ﺍﻟﺒﻴﻦ ﻓﺘﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﻔﺴﺪﺓ ﻓﻲ ﻋﺰﻟﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻨﻬﺎ ﻓﻲ ﺑﻘﺎﺋﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎء ﻋﻠﻰ ﺃﻥ
ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻻ ﺗﻨﻌﻘﺪ ﻟﻜﺎﻓﺮ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﻁﺮﺃ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺍﻧﻌﺰﻝ
“Ahlus Sunnah telah sepakat bahwa tidak boleh seorang penguasa dilengserkan karena
kefasikan (dosa besar) yang ia lakukan. Adapun pendapat yang disebutkan pada kitab-kitab
fiqh yang ditulis oleh sebagian sahabat kami (Syafi’iyah) bahwa penguasa yang fasik harus
dilengserkan dan pendapat ini juga dinukil dari kaum Mu’tazilah, maka telah salah besar.
Orang yang berpendapat demikian menyelisihi ijma’.
Para ulama telah berkata, “Sebab tidak bolehnya penguasa zalim dilengserkan dan haramnya
memberontak kepadanya karena akibat dari hal itu akan muncul berbagai macam fitnah
(kekacauan), ditumpahkannya darah dan rusaknya hubungan, sehingga kerusakan dalam
pencopotan penguasa zalim lebih banyak disbanding tetapnya ia sebagai penguasa”. Al-
Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata, “Ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak sah bagi
orang kafir, dan jika seorang pemimpin menjadi kafir harus dicopot.” [Lihat Syarh Muslim,
12/229]
ﻭﻗﺪ ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎء ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﻁﺎﻋﺔ ﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﺍﻟﻤﺘﻐﻠﺐ ﻭﺍﻟﺠﻬﺎﺩ ﻣﻌﻪ ﻭﺃﻥ ﻁﺎﻋﺘﻪ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻴﻪ ﻟﻤﺎ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺣﻘﻦ
ﺍﻟﺪﻣﺎء ﻭﺗﺴﻜﻴﻦ ﺍﻟﺪﻫﻤﺎء
“Dan telah sepakat fuqoha atas wajibnya taat kepada penguasa yang sedang berkuasa dan
berjihad bersamanya, dan (mereka juga sepakat) bahwa taat kepadanya lebih baik disbanding
memberontak, sebab dengan itu darah terpelihara dan membuat nyaman kebanyakan
orang.” [Lihat Fathul Bari, 13/7]
“Al-Qo’adiyah adalah satu kaum dari golongan Khawarij yang dahulu berpendapat dengan
ucapan mereka, dan mereka tidak memandang untuk memberontak, akan tetapi mereka
memprovokasi untuk melakukannya (dengan kata-kata).” [Fathul Bari, 1/432]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
ﻫﺬﻩ ﻗﺴﻤﺔ ﻣﺎ ﺃﺭﻳﺪ ﺑﻬﺎ ﻭﺟﻪ ﷲ: ﻭﻗﻴﻞ ﻟـﻪ، ﺍﻋﺪﻝ: ﻗﻴﻞ ﻟـﻪ، ﺑﻞ ﺍﻟﻌﺠﺐ ﺃﻧﻪ ُﻭ ّﺟﻪ ﺍﻟﻄﻌﻦ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ.
ﻫﺬﺍ ﻣﺎ ﺃﺧﺬ ﺍﻟﺴﻴﻒ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ: ﻳﻌﻨﻲ،ﻭﻫﺬﺍ ﺃﻛﺒﺮ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻳﻜﻮﻥ ﺑﺎﻟﺴﻴﻒ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺑﺎﻟﻘﻮﻝ ﻭﺍﻟﻜﻼﻡ
ﻟﻜﻨﻪ ﺃﻧﻜﺮ ﻋﻠﻴﻪ،ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ.
ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ.ﻭﻧﺤﻦ ﻧﻌﻠﻢ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ ﺑﻤﻘﺘﻀﻰ ﻁﺒﻴﻌﺔ ﺍﻟﺤﺎﻝ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ ﺧﺮﻭﺝ ﺑﺎﻟﺴﻴﻒ ﺇﻻ ﻭﻗﺪ ﺳﺒﻘﻪ ﺧﺮﻭﺝ ﺑﺎﻟﻠﺴﺎﻥ ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ
ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻰ. ﻻ ﺑﺪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻫﻨـﺎﻙ ﺷﻲء ﻳﺜـﻴﺮﻫﻢ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻜﻼﻡ،ﺃﻥ ﻳﺄﺧﺬﻭﺍ ﺳﻴﻮﻓﻬﻢ ﻳﺤﺎﺭﺑﻮﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺑﺪﻭﻥ ﺷﻲء ﻳﺜﻴﺮﻫﻢ
ﺩﻟﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺩﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻮﺍﻗﻊ،ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺑﺎﻟﻜﻼﻡ ﺧﺮﻭﺟﺎ ً ﺣﻘﻴﻘﺔ
Kita tahu dengan pasti bahwa kenyataannya, tidak mungkin terjadi pemberontakan dengan
senjata, kecuali telah didahului dengan pemberontakan dengan lisan dan ucapan. Manusia
tidak mungkin mengangkat senjata untuk memerangi penguasa tanpa ada sesuatu yang bisa
memprovokasi mereka. Mesti ada yang bisa memprovokasi mereka, yaitu dengan kata-kata.
Jadi, memberontak terhadap penguasa dengan kata-kata adalah pemberontakan secara hakiki,
berdasarkan dalil As-Sunnah dan kenyataan.” [Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, hal. 96]
ﺃﻥ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻌﺚ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺼﻼﺡ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺎﺵ ﻭﺍﻟﻤﻌﺎﺩ ﻭﺃﻧﻪ ﺃﻣﺮ ﺑﺎﻟﺼﻼﺡ ﻭﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﻓﺈﺫﺍ
ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻓﻴﻪ ﺻﻼﺡ ﻭﻓﺴﺎﺩ ﺭﺟﺤﻮﺍ ﺍﻟﺮﺍﺟﺢ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻓﺈﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺻﻼﺣﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻓﺴﺎﺩﻩ ﺭﺟﺤﻮﺍ ﻓﻌﻠﻪ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻓﺴﺎﺩﻩ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ
ﺻﻼﺣﻪ ﺭﺟﺤﻮﺍ ﺗﺮﻛﻪ ﻓﺈﻥ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻌﺚ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺘﺤﺼﻴﻞ ﺍﻟﻤﺼﺎﻟﺢ ﻭﺗﻜﻤﻴﻠﻬﺎ ﻭﺗﻌﻄﻴﻞ ﺍﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻭﺗﻘﻠﻴﻠﻬﺎ
ﻓﺈﺫﺍ ﺗﻮﻟﻰ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﻠﻔﺎء ﻛﻴﺰﻳﺪ ﻭﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﻭﺍﻟﻤﻨﺼﻮﺭ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻓﺈﻣﺎ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ ﻳﺠﺐ ﻣﻨﻌﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻻﻳﺔ ﻭﻗﺘﺎﻟﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﻮﻟﻰ
ﻏﻴﺮﻩ ﻛﻤﺎ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﻣﻦ ﻳﺮﻯ ﺍﻟﺴﻴﻒ ﻓﻬﺬﺍ ﺭﺃﻯ ﻓﺎﺳﺪ ﻓﺈﻥ ﻣﻔﺴﺪﺓ ﻫﺬﺍ ﺃﻋﻈﻢ ﻣﻦ ﻣﺼﻠﺤﺘﻪ ﻭﻗﻞ ﻣﻦ ﺧﺮﺝ ﻋﻠﻰ ﺇﻣﺎﻡ ﺫﻱ ﺳﻠﻄﺎﻥ ﺇﻻ
ﻛﺎﻥ ﻣﺎ ﺗﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﻓﻌﻠﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮ ﺃﻋﻈﻢ ﻣﻤﺎ ﺗﻮﻟﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻛﺎﻟﺬﻳﻦ ﺧﺮﺟﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻭﻛﺎﺑﻦ ﺍﻷﺷﻌﺚ ﺍﻟﺬﻱ ﺧﺮﺝ ﻋﻠﻰ
ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺑﺎﻟﻌﺮﺍﻕ ﻭﻛﺎﺑﻦ ﺍﻟﻤﻬﻠﺐ ﺍﻟﺬﻱ ﺧﺮﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﺑﻨﻪ ﺑﺨﺮﺍﺳﺎﻥ ﻭﻛﺄﺑﻲ ﻣﺴﻠﻢ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺍﻟﺬﻱ ﺧﺮﺩ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﺨﺮﺍﺳﺎﻥ
ﺃﻳﻀﺎ ﻭﻛﺎﻟﺬﻳﻦ ﺧﺮﺟﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻨﺼﻮﺭ ﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻭﺍﻟﺒﺼﺮﺓ ﻭﺃﻣﺜﺎﻝ ﻫﺆﻻء ﻭﻏﺎﻳﺔ ﻫﺆﻻء ﺇﻣﺎ ﺃﻥ ﻳﻐﻠﺒﻮﺍ ﻭﺇﻣﺎ ﺃﻥ ﻳﻐﻠﺒﻮﺍ ﺛﻢ ﻳﺰﻭﻝ
ﻣﻠﻜﻬﻢ ﻓﻼ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻬﻢ ﻋﺎﻗﺒﺔ ﻓﺈﻥ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﻭﺃﺑﺎ ﻣﺴﻠﻢ ﻫﻤﺎ ﺍﻟﻠﺬﺍﻥ ﻗﺘﻼ ﺧﻠﻘﺎ ﻛﺜﻴﺮﺍ ﻭﻛﻼﻫﻤﺎ ﻗﺘﻠﻪ ﺃﺑﻮ ﺟﻌﻔﺮ ﺍﻟﻤﻨﺼﻮﺭ ﻭﺃﻣﺎ
ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﺮﺓ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻷﺷﻌﺚ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﻬﻠﺐ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻓﻬﺰﻣﻮﺍ ﻭﻫﺰﻡ ﺃﺻﺤﺎﺑﻬﻢ ﻓﻼ ﺃﻗﺎﻣﻮﺍ ﺩﻳﻨﺎ ﻭﻻ ﺃﺑﻘﻮﺍ ﺩﻧﻴﺎ ﻭﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻻ ﻳﺄﻣﺮ ﺑﺄﻣﺮ
ﻻ ﻳﺤﺼﻞ ﺑﻪ ﺻﻼﺡ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﻻ ﺻﻼﺡ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻓﺎﻋﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺃﻭﻟﻴﺎء ﷲ ﺍﻟﻤﺘﻘﻴﻦ ﻭﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺠﻨﺔ
Pada umumnya, tidaklah mereka memberontak kepada penguasa, kecuali timbul kejelekan
yang lebih besar dibanding kebaikan, seperti mereka yang memberontak kepada Yazid di
Madinah, pemberontakan Ibnul ‘Asy’ats terhadap Abdul Malik di Iraq, pemberontakan Ibnul
Mulhab terhadap anaknya Abdul Malik di Khurasan, pemberontakan Abu Muslim yang
menyerukan pemberontakan terhadap penguasa di Khurasan, juga pemberontakan terhadap
Al-Manshur di Madinah dan Bashroh dan yang semisalnya. Pada akhirnya dua kemungkinan,
mereka dikalahkan atau mereka menang, lalu berakhir kekuasaan pemerintah sebelumnya.
Namun yang terjadi adalah tidak ada hasil yang baik bagi para pemberontak tersebut.
Abdullah bin Ali dan Abu Muslim yang melakukan pemberontakan dengan membunuh
banyak orang, akhirnya keduanya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Manshur. Adapun penduduk
Al-Harah, Ibnul Asy’ats, Ibnul Mulhab dan selain mereka, akhirnya menderita kekalahan,
demikian pula pasukan-pasukannya, sehingga mereka tidaklah menegakkan agama dan tidak
pula menyisakan dunia. Padahal Allah -ta’ala- tidak memerintahkan suatu perkara yang tidak
menghasilkan kebaikan bagi agama ataupun dunia, meskipun yang memberontak itu dari
kalangan wali Allah yang bertakwa dan termasuk penduduk surga (perbuatan mereka tidak
dapat dibenarkan).” [Lihat Minhaajus Sunnah, 4/313-315]
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻭﻗﻴﻞ ﺃﻥ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﻼﻑ ﻛﺎﻥ ﺃﻭﻻ ﺛﻢ ﺣﺼﻞ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻊ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﷲ ﺍﻋﻠﻢ
“Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Dikatakan bahwa khilaf ini terjadi dahulu,
kemudian telah sepakat (ijma’ ulama) tentang dilarangnya pemberontakan, wallaahu
a’lam.”[Syarah Muslim, 12/229]
ﻭﻗﻮﻟﻬﻢ ﻛﺎﻥ ﻳﺮﻯ ﺍﻟﺴﻴﻒ ﻳﻌﻨﻲ ﻛﺎﻥ ﻳﺮﻯ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﺑﺎﻟﺴﻴﻒ ﻋﻠﻰ ﺍﺋﻤﺔ ﺍﻟﺠﻮﺭ ﻭﻫﺬﺍ ﻣﺬﻫﺐ ﻟﻠﺴﻠﻒ ﻗﺪﻳﻢ ﻟﻜﻦ ﺍﺳﺘﻘﺮ ﺍﻻﻣﺮ ﻋﻠﻰ
ﺗﺮﻙ ﺫﻟﻚ ﻟﻤﺎ ﺭﺃﻭﻩ ﻗﺪ ﺍﻓﻀﻰ ﺇﻟﻰ ﺃﺷﺪ ﻣﻨﻪ ﻓﻔﻲ ﻭﻗﻌﺔ ﺍﻟﺤﺮﺓ ﻭﻭﻗﻌﺔ ﺍﺑﻦ ﺍﻻﺷﻌﺚ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻋﻈﺔ ﻟﻤﻦ ﺗﺪﺑﺮ
“Dan ucapan para Ulama, “(”)ﻛﺎﻥ ﻳﺮﻯ ﺍﻟﺴﻴﻒ, maknaknya adalah, dia (Al-Hasan bin Shalih)
berpendapat boleh memberontak dengan pedang terhadap penguasa yang zalim. Pendapat ini
dahulu merupakan mazhab sebagian Salaf. Akan tetapi setelah itu, telah tetap pendapat Salaf
tentang tidak bolehnya melakukan pemberontakan, karena mereka telah melihat bahwa
pemberontakan hanya mengantarkan kepada kondisi yang lebih buruk. Pada peristiwa Al-
Harah, pemberontakan Ibnul Asy’ats dan lainnya terdapat pelajaran bagi orang yang
merenunginya.” [Lihat Tahzibut Tahzib, 2/250]
Penyebutan adanya khilaf Salaf sebelum terjadinya ijma’ dinilai tidak benar oleh Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, bahkan ulama sejak dulu telah sepakat akan haramnya
pemberontakan
Adapun semua contoh pemberontakan Salaf pada hakikatnya bukan pemberontakan, seperti
sahabat yang mulia Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu’anhuma, hakikatnya beliau tidak
memberontak, sebab beliau adalah amir, pemerintah yang sah ketika itu
Pintu ini jika dibuka akan menjadi syubhat bagi orang-orang yang ingin memberontak
Andaikan kita sepakat bahwa ada sebagian Salaf yang memberontak maka setelah itu telah
terjadi ijma’, maka tidak ada pintu lagi untuk berdalih dengannya.
Ta’liq Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah hafizhahullah[2]
Selain itu, adanya sikap demikian dari sebagian sahabat dalam mengingkari pemerintah
merupakan perkara yang bersifat kasuistik dan incidental, bukan menjadi manhaj mereka
dalam kehidupan mereka. Karena itu, tidak setiap kali mereka menemukan kemungkaran
yang muncul dari pemerintah, maka mereka mengeritiknya di depan publik. Mereka
melakukannya karena hajat yang mendesak pada saat itu.
Adapun adanya sebagian kecil salaf yang melakukan pemberontakan, maka para sahabat dan
salaf telah mengingkarinya, karena bertentangan dengan manhaj yang mereka terima dari
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Selain itu, diantara mereka ada yang telah bertobat
dan rujuk. Semua ini menunjukkan bahwa pemberontakan bukanlah manhaj yang mereka
bolehkan. Wallahu A’lam.
Manhaj yang agung di sisi mereka adalah senantiasa menaati, memuliakan, membantu dan
mendoakan kebaikan bagi para pemerintah, serta memberikan nasihat yang lembut lagi
rahasia, tidak dipublikasikan.
Manhaj yang agung ini, terpancar jelas dari lentera Al-Kitab dan Sunnah menurut bimbingan
para salaf sholih. Oleh karena itu, tak layak bagi kaum Khawarij untuk berpegang dengan
sikap sebagian sahabat (seperti, Abu Sa’id Al-Khudriy) tersebut yang sifatnya masih
mutasyabih dan memiliki banyak ihtimal (kemungkinan), lalu dalam waktu yang sama
mereka (kaum Khawarij) meninggalkan dan membuang semua nash-nash Al-Qur’an dan
Sunnah yang bersifat muhkam (jelas) dalam melarang memberontak dan melawan
pemerintah atau menghinakannya. Ini adalah jalannya orang-orang yang sesat.
ﺏ َﻭﺃُﺧَ ُﺮ ُﻣﺘَﺸَﺎ ِﺑ َﻬﺎﺕٌ َﻓﺄ َ ﱠﻣﺎ ﺍ ﱠﻟﺬِﻳﻦَ ِﻓﻲ ﻗُﻠُﻮ ِﺑ ِﻬ ْﻢ ﺯَ ْﻳ ٌﻎ َﻓ َﻴﺘﱠ ِﺒﻌُﻮﻥَ َﻣﺎ
ِ َﺎﺏ ِﻣ ْﻨﻪُ ﺁ َﻳﺎﺕٌ ُﻣﺤْ َﻜ َﻤﺎﺕٌ ﻫ ﱠُﻦ ﺃ ُ ﱡﻡ ْﺍﻟ ِﻜﺘَﺎ
َ ﻫ َُﻮ ﱠﺍﻟﺬِﻱ ﺃ َ ْﻧﺰَ َﻝ َﻋ َﻠﻴْﻚَ ْﺍﻟ ِﻜﺘ
[7 : ﺗَﺸَﺎ َﺑﻪَ ِﻣ ْﻨﻪُ ﺍ ْﺑ ِﺘﻐَﺎ َء ْﺍﻟ ِﻔﺘْ َﻨ ِﺔ َﻭﺍ ْﺑ ِﺘﻐَﺎ َء ﺗَﺄ ْ ِﻭﻳ ِﻠ ِﻪ ]ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-
ayat yang muhkamaat(terang), itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat (samar). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat darinya untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya”. (QS. Ali Imraan : 7)
[1] Disampaikan secara lisan, dan tulisannya dari kami secara makna
[2] Disampaikan secara tertulis, dan bagian akhir artikel ini seluruhnya dari beliau
hafizhahullah
http://kajiansunnah.info/syubhat-hukum-bolehnya-mencerca-pemerintah-di-depan-umum/
Demonstrasi – Kacamata Islam
Update Videoxadmin22November 6, 2016
“Ibadah dimasa fitnah/ujian: (pahalanya) seperti Hijrah kepadaku.” HR. Muslim (no. 7588).
Hadits ini sebagai arahan dari Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang mulia; bahwa: justru
dalam masa fitnah ini kita diharuskan banyak beribadah, dan itulah yang menolong kaum
muslimin. Bukan berkata dan berbuat gegabah yang jelas dilarang oleh Rasulullah -
shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Bahkan Allah -Ta’aalaa- berfirman:
ٌ ﺷ ْﻴﺌًﺎ ِﺇ ﱠﻥ ﱠ َ ِﺑ َﻤﺎ َﻳ ْﻌ َﻤﻠُﻮﻥَ ُﻣ ِﺤ
…ﻴﻂ َ ﺼ ِﺒ ُﺮﻭﺍ َﻭﺗَﺘﱠﻘُﻮﺍ ﻻَ َﻳﻀ ﱡُﺮ ُﻛ ْﻢ َﻛ ْﻴﺪ ُ ُﻫ ْﻢ
ْ ََﻭ ِﺇ ْﻥ ﺗ
“…Jika kamu bersabar dan bertakwa; niscaya tipu daya mereka tidak akan
membahayakanmu sedikitpun. Sungguh, Allah Maha Meliputi segala apa yang mereka
kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 120)
Dalam ayat ini pun Allah menerangkan dan menegaskan kepada kita bahwa: Dia mengetahui
makar orang kafir dan akan menolong orang beriman; dengan syarat SABAR dan TAKWA
(melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
Kita katakan bahwa: kita serahkan pada Ustadz Kibar tentang permasalahan ini; yang bisa
langsung menasehati pemerintah. Dan siapa bilang kita diam saja?! Apakah apabila kami dan
Ustadz kami menasehati pemerintah; kemudian harus bilang ke wartawan untuk direkam,
difoto, disebarkan, bawa bendera partai, bawa spanduk buat promosi, dan lain-lain. Manhaj
macam apa ini?!
Kita hanya meneladani para Shahabat dan para Salaf, oleh karena itulah kita disebut
SALAFI!
ﺃَﺗ ُ َﺮ ْﻭﻥَ ﺃ َ ِّﻧﻰ ﻻَ ﺃ ُ َﻛ ِ ّﻠ ُﻤﻪُ ِﺇﻻﱠ ﺃُﺳ ِْﻤﻌُ ُﻜ ْﻢ؟:َﻋﺜْ َﻤﺎﻥَ ؛ َﻓﺘ ُ َﻜ ِ ّﻠ َﻤﻪُ؟ َﻓ َﻘﺎﻝ
ُ ﻋ َﻠﻰ َ ُ َﻋ ْﻦ ﺃ،ﻖ
َ ﺃَﻻَ ﺗَﺪْ ُﺧ ُﻞ:ُ ِﻗ ْﻴ َﻞ ﻟَﻪ:َ ﻗَﺎﻝ،ٍﺳﺎ َﻣﺔَ ﺑ ِْﻦ ﺯَ ْﻳﺪ ٍ ﺷ ِﻘﻴ َ ! َﻋ ْﻦ
َ
ﻰ ﺃ ِﻣﻴ ًْﺮﺍ َ ُ َ َ َ َ ُ َ َ ُ َ َ ْ َ َ ﱠ
َﻭﻻ ﺃﻗ ْﻮ ُﻝ ﻷ َﺣ ٍﺪ َﻳﻜ ْﻮﻥُ َﻋﻠ ﱠ،َُﻭ ﱠ ِ! َﻟ َﻘﺪْ َﻛﻠ ْﻤﺘﻪُ ِﻓ ْﻴ َﻤﺎ َﺑ ْﻴ ِﻨ ْﻲ َﻭ َﺑ ْﻴ َﻨﻪُ؛ َﻣﺎ ﺩ ُْﻭﻥَ ﺃ ْﻥ ﺃﻓﺘَ ِﺘ َﺢ ﺃ ْﻣ ًﺮﺍ ﻻ ﺃ ِﺣﺐﱡ ﺃ ْﻥ ﺃﻛ ْﻮﻥَ ﺃ ﱠﻭ َﻝ َﻣ ْﻦ ﻓﺘَ َﺤﻪ
َ ُ ُ
ﺎﺱِ ِﺇ ﱠﻧﻪُ َﺧﻴ ُْﺮ ﺍﻟ ﱠﻨ
Dari Syaqiq, dari Usamah bin Zaid, ada yang berkata kepadanya: Kenapa anda tidak masuk
menemui ‘Utsman dan engkau menasehatinya?” Maka dia berkata: “Apakah kalian
menganggap bahwa jika aku berbicara padanya (‘Utsman) lantas aku harus
memperdengarkannya kepada kalian?! Demi Allah! Aku telah berbicara empat mata
dengannya; tanpa perlu saya membuka satu perkara yang saya tidak suka menjadi orang
pertama yang membukanya (yaitu menasehati pemimpin terang-terangan), dan tidakklah aku
mengatakan kepada seorang: saya memiliki pemmpin yang dia adalah manusia terbaik.” HR.
Muslim (no. 7674).
Kita katakan: Anda dan orang semisal anda; pada hakikatnya berdemo kepada pemerintah
yang di atas Ahok -yaitu: Presiden- agar Ahok diadili. Bukankah ini demo terhadap
pemerintahan muslim??!!
Kalaupun pemerintah anda adalah kafir -di Cina, Rusia, Amerika, dan lainnya- tidak lantas
menjadi halal mendemo mereka karena mudharat yang ditimbulkan akan besar, dan hukum
asal demo adalah perbuatan haram.
Lihat kepada Suriah sekarang ini! Pemerintah Basyar Assad dari dulu memang sudah kafir;
akan tetapi Ulama Rabbani -seperti Syaikh Al-Albani, Syaikh Bin Baz, dan Syaikh
‘Utsaimin- tidak memerintahkan masyarakat Suriah untuk berdemo dan menggulingkan
pemerintahan. Karena mereka mengerti keadaan umat yang lemah apabila memberontak,
namun terjadilah apa yang kita lihat sekarang.
Kalaupun mau menggulingkan pemerintahan kafir; maka lakukanlah dengan cara yang benar,
dan ukurlah kekuatan, serta mintalah fatwa dari Ulama Rabbani. Karena ini menyangkut
darah kaum muslimin yang akan tercecer. Jangan sampai sia-sia dan banyak memakan
korban!
Lihatlah Nabi Musa dan Nabi Harun -‘alaihimas salaam- yang berdakwah langsung bertemu
dengan penista agama terbesar: Fir’aun. Tidaklah mereka berdua berdemonstrasi, padahal
Bani Isra-il amat banyak. Akan tetapi; inilah perintah langsung dari Allah -Ta’aalaa-:
“Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Firaun, karena dia benar-benar telah
melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata
yang lemah lembut; mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thaha: 43-44)
Kita katakana: Terserah kalian mau menamakan aksi kalian dengan nama apa saja, karena
Islam menghukumi sesuatu bukan dari namanya; akan tetapi melihat kepada hakikatnya.
Apakah kalian namakan aksi damai, protes atau lainnya -atau bahkan: Jihad???!!!-
HAKIKATNYA ADALAH DEMONSTRASI!!!
Di antara tipu daya iblis dan bala tentaranya -untuk menjerumuskan manusia ke dalam
kesesatan- adalah: dengan teknik branding strategi, memberi nama baru untuk mengaburkan
hakikat. Riba sekarang dinamakan bunga oleh bank konvensional dan dinamakan sedekah
dan tabrru’ oleh kor Syari’ah dan pegadaian Syari’ah. Dan hal itu tidaklah mengubah hakikat.
Khamr dirubah namanya dengan banyak nama: anggur, arak, bir, wiski, dan lainnya; untuk
mengaburkan hakikat. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
َﺎﺱ ِﻣ ْﻦ ﺃ ُ ﱠﻣ ِﺘﻲ ْﺍﻟﺨ َْﻤ َﺮ؛ ﻳُ َﺴ ﱡﻤ ْﻮ َﻧ َﻬﺎ ِﺑ َﻐﻴ ِْﺮ ﺍﺳ ِْﻤ َﻬﺎ
ٌ َﻟ َﻴ ْﺸ َﺮ َﺑ ﱠﻦ ﻧ
“Sungguh, akan ada manusia dari umatku yang meminum khamr; dengan memberikan nama
kepadanya bukan dengan namanya (khamr)” [HR. Abu Dawud (no. 3690)]
PERTAMA: Siapa yang menjamin bahwa tidak akan terjadi kerusakan dan anarkisme dari
luapan banyak orang seperti itu?! Bisa jadi ada penyusup yang merusak dari dalam -
sebagaimana dalam perang Jamal-.
KEDUA: kerusakan apalagi yang lebih besar dari bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya:
Abu Bakar bin ‘Ayasy berkata tentang ayat ini: “Allah mengutus Muhammad -shallallaahu
‘alaihi wa sallam- ke permukaan bumi, sedangkan mereka (manusia) berada dalam
keburukan. Maka Allah memperbaiki mereka dengan Muhammad -shallallaahu ‘alaihi wa
sallam-. Sehingga, barangsiapa yang mengajak manusia kepada hal-hal menyelisihi apa yang
datang dari Nabi; maka dia termasuk orang yang berbuat kerusakan di muka bumi.” [Lihat
Ad-Durr Al-Mantsuur (III/476)]
Silahkan anda lihat tafsiran ulama lainnya yang bertebaran; yang menunjukkan bahwa
berbuat kerusakan yang dimaksud di sini adalah: bermaksiat.
Ini Hujjah yang lemah sekali, tidaklah apa yang dibolehkan oleh pemerintah lantas semua
menjadi halal. Bahkan yang diperintahkan oleh pemerintah pun harus dilihat: apakah itu
suatu hal yang ma’ruf atau justru kemungkaran.
Nabi bersabda:
“Sesungguhnya keta’atan itu hanya dalam hal yang ma’ruf” [HR. Al-Bukhari (no. 7257)]
Ada Perda tentang bolehnya tempat hiburan dan diskotek, lantas apa kemudian menjadi
halal?! Ada juga Perda tentang bolehnya khamr -dengan ketentuan khusus-; lantas apa
kemudian menjadi boleh??!! Silahkan jawab sendiri…
Subhaanallah! Ulama mana dulu yang berfatwa membolehkan demonstrasi, apakah ad-
Damiji yang punya kitab Al-Imaamah Al-‘Uzhmaa yang dilarang terbit di Saudi, atau
fatwanya Salman Al-‘Audah dan teman-temannya?? PERMASALAHANNYA ADALAH
BUKAN BANYAKNYA FATWA, AKAN TETAPI KUALITASNYA
(KESELARASANNYA DENGAN DALIL-DALIL DAN KAIDAH-KAIDAH
SYARI’AT)!!!
Kalaupun ulama berfatwa; maka tidak ditelan mentah-mentah sebagai landasan hukum, akan
tetapi dilihat dalil pendukungnya.
Kalau kalian menuduh ulama yang berfatwa tentang Indonesia dari negeri lain tidak tahu
keadaan sini, bagaimana dengan Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi dan Syaikh Sulaiman Ar-
Ruhaily yang belasan tahun mondar-mandir di negeri kita ini; untuk membahas masalah
Dakwah di Indonesia. Apakah anda juga menuduhnya tidak paham Waqi’ (realita)???!!!
Cukuplah dalil yang sudah kami paparkan (pada bagian pertama tulisan ini) sebagai asas
dilarangnya Demonstrasi. Fatwa siapapun apabila berbenturan dengan dalil; maka buanglah
dia ke belakangmu.
Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahullaah-; (beliau adalah ulama yang paling mengumpulkan
As-Sunnah dan paling berpegang kepadanya) beliau berkata:
“Janganlah engkau taqlid kepadaku, jangan pula kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i,
ataupun Ats-Tsauri! Ambillah (hukum) dari sumber yang mereka mengambil darinya (yakni:
dalil-dalil)!!”
[Lihat: Shifatush Shalaatin Nabiyy (hlm. 47), karya Imam Al-Albani -rahimahullaah-]
ُ ﻗُ ْﻠﺖ.ﺎﻥ ﺇِ ْﻧ ٍﺲ
ِ ﺎﻁﻴ ِْﻦ ﻓِ ْﻲ ُﺟﺜْ َﻤ ﺳ َﻴﻘُ ْﻮ ُﻡ ِﻓ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﺭ َﺟﺎ ٌﻝ ﻗُﻠُ ْﻮﺑُ ُﻬ ْﻢ ﻗُﻠُﻮﺏُ ﺍﻟ ﱠ
ِ ﺸ َﻴ َ َِﻱ ﺃ َ ِﺋ ﱠﻤﺔٌ ﻻَ َﻳ ْﻬﺘَﺪ ُْﻭﻥَ ِﺑ ُﻬﺪ
ُ َﻭﻻَ َﻳ ْﺴﺘَ ﱡﻨ ْﻮﻥَ ِﺑ،ﺍﻱ
َ َﻭ،ﺴ ﱠﻨ ِﺘ ْﻲ ْ َﻳ ُﻜ ْﻮﻥُ َﺑ ْﻌﺪ:
ُ
َﻭﺃ َ ِﻁ ْﻊ،ﻅ ْﻬ ُﺮﻙَ َﻭﺃ ِﺧﺬَ َﻣﺎﻟُﻚَ ؛ َﻓﺎ ْﺳ َﻤ ْﻊ َ ﺏ ٰ
َ َﻭ ِﺇ ْﻥ ﺿ ُِﺮ، ﺗَ ْﺴ َﻤ ُﻊ َﻭﺗ ُ ِﻄ ْﻴ ُﻊ ِﻟﻸ َ ِﻣﻴ ِْﺮ:َﺳ ْﻮ َﻝ ﱠ ِ ِﺇ ْﻥ ﺃَﺩ َْﺭ ْﻛﺖُ ﺫﻟِﻚَ ؟ َﻗﺎﻝ ُ ﺻ َﻨ ُﻊ َﻳﺎ َﺭ ْ َ ْﻒ ﺃ
َ َﻛﻴ
[Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:] “Akan ada setelahku para imam
(pemimpin) yang tidak mengambil petunjuk dariku, dan tidak mengambil Sunnah-ku. Dan
akan ada sekelompok lelaki di antara mereka yang hati mereka adalah hati setan dalam tubuh
manusia.” Aku berkata: Apa yang aku lakukan wahai Rasulullah apabila aku menemui yang
demikian? Beliau bersabda: “Engkau dengar dan engkau ta’at kepada pemimpin, walaupun
dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka dengar dan ta’atlah!” HR. Muslim
(no. 4891)
Adapun kaidah:
a. Apabila ijtihad tersebut jelas-jelas bertabrakan dengan dalil yang Shahih; maka tidak boleh
kita mengambil ijtihad dan meninggalkan Nash/dalil.
Contoh: dalam masalah nikah dengan tanpa wali; maka jelas bertentangan dengan dalil,
sehingga kita wajib untuk menolak dan membantahnya.
Ijtihad yang menghalalkan musik, isbal dan lain-lain; maka wajib kita membantah ijtihad
tersebut.
b. Apabila ijtihad tersebut menggunakan dalil yang lemah; maka kita juga boleh menjelaskan
kelemahannya -bahkan membantahnya-.
c. Apabila perbedaan pendapat memiliki dalil yang sama kuat; maka di sini berlaku: Tidak
mengingkari perbedaan -itu pun tetap harus berpegang dengan dalil (tidak hanya mencari-cari
rukhshah atau pendapat yang sesuai keinginan (hawa nafsu)-.
Adapun kalau anda mengatakan ini adalah masalah furu’ (cabang) dan bukan ushul (prinsip);
maka yang benar dalam Islam adalah tidak membedakan masalah ushul dan furu’ dalam
penting atau tidaknya; yakni: bahwa semuanya adalah penting. Betapa banyak hal-hal yang
dianggap kecil akan berubah menjadi bencana dan fitnah yang hebat ketika diremehkan.
Lihat saja kisah dzikir jama’ah dengan kerikil yang diingkari oleh Abdullah bin Mas’ud;
yang mereka mengatakan bahwa tujuan mereka adalah baik. Akhirnya perbuatan bid’ah yang
kecil berubah tersebut berubah menjadi bencana besar, dan orang-orang tersebut semuanya
ada di barisan pemberontak melawan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ‘anhu-.
Lihat pembahasan ini dalam Kitab: ‘Ilmu Ushulil Bida’; Baab: Baina Qisyr Wal Lubaab
(antara kulit dan inti) (hlm. 247), karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah-.
10. ULAMA TERDAHULU -SEPERTI: SYAIKHUL ISLAM IBNU
TAIMIYYAH- TELAH BERDEMO KETIKA ADA PENCACI RASUL;
SEHINGGA BELIAU MENULIS KITAB ASH-SHAARIM AL-MASLUUL,
DAN ASY-SYIRAZI (JUGA BERDEMO), DAN LAIN-LAIN.
“Tidak halal bagi siapapun untuk mengambil pendapat kami, selama dia tidak mengetahui
darimana kami mengambil (dalil)nya”
“Para ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa barangsiapa yang jelas sunah Rasulullah -
shallallaahu alaihi wa salam- baginya; maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan Sunnah
tersebut dikarenakan mengikuti perkataan seseorang.”
Dan juga telah kita sebutkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullaah-:
“Janganlah engkau taqlid kepadaku, jangan pula kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i,
ataupun Ats-Tsauri! Ambillah (hukum) dari sumber yang mereka mengambil darinya (yakni:
dalil-dalil)!!”
Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh ke dalam
kesalahan. Terkadang masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah
karena bertentangan dengan dalil. Mereka terkadang tergelincir dalam kesalahan. Imam
Malik -rahimahullaah- berkata:
Orang yang hatinya berpenyakit; maka dia akan mencari-cari pendapat yang salah dan aneh
dari para ulama; demi untuk mengikuti nafsunya dalam menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal. Sulaiman At-Taimi -rahimahullaah- berkata:
ُﺸ ﱡﺮ ُﻛ ﱡﻠﻪ
ﺼ ِﺔ ُﻛ ِّﻞ َﻋﺎ ِﻟ ٍﻢ ﺃ َ ْﻭ ﺯَ ﻟﱠ ِﺔ ُﻛ ِّﻞ َﻋﺎ ِﻟ ٍﻢ؛ ﺍﺟْ ﺘَ َﻤ َﻊ ِﻓﻴْﻚَ ﺍﻟ ﱠ
َ َﻟ ْﻮ ﺃ َ َﺧﺬْﺕَ ِﺑ ُﺮ ْﺧ
“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau
mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama; pasti akan terkumpul padamu
seluruh keburukan.” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172]
Inilah perkataan mereka, dan di antara yang mereka bawakan adalah Hadits dari Abu Sa’id
Al-Khudri -radhiyallaahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
ﻀﻓَﺃ
ْ َﻄﻠُﺳ َﺪْﻨِﻋ ٍﻝْﺪَﻋ ُ َﺔ ِﻤﻠَﻛ ِﺩﺎَ ِﻬﺠْﻟﺍ ُﻞ
ْ ٍَﺮِﺋﺎَﺟ ٍﺮْ ِﻴﻣَﺃ ْﻭَﺃ ٍﺮِﺋﺎَﺟ ٍﻥﺎ
“Jihad yang paling utama adalah: mengatakan perkataan yang ‘adil di sisi penguasa atau
pemimpin yang zhalim.”
HR. Abu Dawud (no. 4344), At-Tirmidzi (no. 2174), dan Ibnu Majah (no. 4011).
Hadits ini Shahih. Lihat Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah (no. 491), karya Imam Al-
Albani -rahimahullaah-
Bahkan jika seseorang mati karena dibunuh oleh penguasa yang zhalim -disebabkan amar
ma’ruf nahi munkar-; maak dia termasuk pemimpin para Syuhada.
“Penghulu para Syuhada adalah: Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, dan orang yang berkata
melawan penguasa kejam, dimana dia melarang dan memerintah (penguasa tersebut), namun
akhirnya dia mati terbunuh.”
HR. Al-Hakim (no. 4872), daa menyatakan Shahih, akan tetapi Al-Bukhari dan Muslim tidak
meriwayatkannya. Adz-Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Al-Albani mengatakan: Hasan.
Lihat Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah (no. 374).
Demikian dalam riwayat kedua kata ٍﺟﻞٌ ﻗَﺎﻝَ ﺇِﻟَﻰ ﺇِﻣَﺎﻡٍ ﺟَﺎ ِﺋﺮ
ُ َ ﺭdan lelaki yang berkata dan datang
kepada imam yang dzolim. Ada kata ( )ﺇﻟﻰberarti kata di Tadhmin; memiliki makna:
mendatangi, bukan turun ke jalan dan demonstrasi.
Kalau memang anda mampu; maka silahkan datang langsung ke dalam istana dan amar
ma’ruf & nahi munkar kepada pemerintah walaupun sampai terbunuh. Itu baru sesuai dengan
Hadits, bukan demo di jalanan yang tidak sesuai dengan Hadits di atas.
KEDUA: Hadits Nabi adalah saling menjelaskan satu sama lainnya; sehingga terbentuklah
pemahamannya benar. Maka Hadits di atas dijelaskan dengan cara: menasehati pemimpin
dengan cara yang baik dan benar dengan tidak dengan terang-terangan. Dan ber-amar ma’ruf
serta nahi munkar kepadanya adalah dengan mendatanginya secara langsung -sebagaimana
pemahaman dan pengamalan para Shahabat-.
KITA JAWAB: Kisahnya lemah sekali, Syaikh Al-Albani mengatakan: Munkar; sehingga
tidak bisa dijadikan hujjah. [Lihat: Silsilah Al-Ahaadiits Adh-Dha’iifah (no. 6531)]
Kalaupun Shahih; maka bukanlah menjadi dalil untuk demonstrasi; karena ini adalah
pengumuman Islamnya Hamzah dan ‘Umar; maka di mana letak demonstrasinya? Dan dalam
rangka menentang apa?
Bantahan kedua: Ini terjadi bukan karena kesepakatan, bahkan hanya kebetulan banyak para
wanita yang mengadukan kepada Nabi perihal suami mereka. Lantas bagaimana dengan
demonstrasi yang menggerakkan masa?? Alangkah jauhnya perbedaan antara keduanya!
Masih banyak syubhat (kerancuan) dalam masalah Demonstrasi -yang lebih lemah dari
Syubhat di atas-; Insyaa Allaah -jika masih ada kesempatan- akan ada bantahan jilid
selanjutnya terhadap Sybhat mereka.
Semoga bermanfaat.
Sumber : https://www.facebook.com/dika.wahyudi.140/posts/764094400411089
http://kajiansunnah.info/demonstrasi-bagian-kedua-bantahan-atas-pembolehan-demonstrasi/
Tentu ada pengecualiannya dari kalangan oknum – baik individu maupun kelompok, besar
atau kecil – yang menyimpang dari garis normal tersebut. Di satu sisi mereka dengungkan
secara keras keberagaman dan toleransi secara eksternal, di sisi lain sangat primitif dalam
masalah toleransi secara internal.
Betapa tidak ?!.
Dengan suka dan rela gereja-gereja dijaga dan diamankan, agar orang yang melakukan
ibadah kesyirikan di dalamnya merasa nyaman. Sementera saya yakin mereka pernah
melewati bacaan ayat Al-Qur’an:
َ َﻦ ﻣَﺮۡ ﻳ
ﻢ َ ﻫ َﻮ ۡٱﻟ
ُ ﻤﺴِﻴ
ُ ﺢ ۡٱﺑ ُ َﻥٱ ﱠ ُ ﻟﱠ َﻘ ۡﺪ َﻛ َﻔ َﺮ ٱﻟﱠ ِﺬﻳﻦَ َﻗ
ﺎﻟﻮ ْٓﺍ ﺇ ﱠ
ِ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al-
Masih putra Maryam’” [QS. Al-Maaidah : 17 & 72].
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah salah satu dari yang
tiga, padahal sekali-kali tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Rabb Yang Esa.
Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir
di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih” [QS. Al-Maaidah : 73].
Dengan suka dan rela mereka melakukan doa bersama lintas agama dengan berbagai
motif untuk sekedar simbol toleransi dan persatuan[2]. Mungkin saja prinsipnya ‘berbeda-
beda tuhan namun tetap dikabulkan jua’. Saya yakin, Anda tidak membenarkan apa yang
mereka lakukan karena MUI telah mengeluarkan fatwa bid’ah dan haramnya acara
tersebut dengan rincian:
1. Doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-muslim tidak dikenal dalam Islam.
Oleh karenanya, termasuk bid’ah.
2. Doa Bersama dalam bentuk “Setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran” maka orang
Islam haram mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin oleh non-muslim.
3. Doa Bersamadalam bentuk “Muslim dan non-muslim berdo’a secara serentak” (misalnya
mereka membaca teks doa bersama-sama) hukumnya haram.
4. Doa Bersama dalam bentuk “Seorang non-Islam memimpin doa” maka orang Islam haram
mengikuti dan mengamininya.
5. Doa Bersama dalam bentuk “Seorang tokoh Islam memimpin doa” hukumnya mubah.
6. Doa dalam bentuk “Setiap orang berdo’a menurut agama masing-masing” hukumnya
mubah.
[selengkapnya : http://ift.tt/2eNgE3S].
Bagaimanakah sikap mereka terhadap kaum muslimin yang berbeda paham dengan
mereka ?. Saya ajak membaca sebagian fakta sempat booming:
5. Demo pada bulan Mei 2014 terhadap pengurus Mushalla An-Nurjannah Desa Yunyang,
Kecamatan Modo, Kab. Lamongan (H. Darim) yang dikatakan ‘mendominasi’ kegiatan
masjid. Para pendemo berhasil menonaktifkan H. Darim dan melarangnya menjadi imam.
Padahal H. Darim hanya mengaktifkan mushalla yang selama ini cenderung vakum dan
kemudian mengadakan pengajaran agama untuk warga sekitar. Kegiatan ini sudah
berlangsung selama 14 tahun tanpa ada warga sekitar yang protes dan merasa terganggu.
Lalu datanglah kelompok yang mengatasnamakan warga (?) yang melakukan apa yang
mereka lakukan.
Setelah 2 bulan dilarang melakukan aktivitas, datang bantuan dari Yayasan Bina
Muwahhidin untuk membangunkan masjid di tempat tersebut. Masjid tersebut sekarang
telah berdiri dan dinamakan Masjid Jauharo Ali Muhammadiyah (https://goo.gl/sCFFjF).
Warga Muhammadiyyah mengakui Wahabi era dulu sangat diidentikkan dengan mereka
(https://goo.gl/U814uX). Begitu juga kaum kaum tradisionalis aswaja yang dalam hal ini
diwakili oleh suara Habib Munzir ketika menjawab pertanyaan kaitan Muhammadiyyah
dengan Wahabi. Habib Munzir secara jelas menyatakan : “Muhammadiyyah tidak
termasuk salah satu dari Madzhab Ahlussunnah waljamaah, karena banyak hal yg mereka
tentang, dan Muhammadiyyah ini hanya ada di indonesia saja, di negeri lain dikenal
dengan sebutan wahabi, dan faham wahabi ini bertentangan dengan 4 Madzhab
Ahlussunnah waljamaah” (https://goo.gl/K4ZUCt atau https://goo.gl/DjUY8Q). Walhasil,
kaitan Muhammadiyyah dengan stigma Wahabi di sini valid karena ada statement dari
objek maupun subjeknya.
Telinga kaum tradisonalis aswaja (NU) kerap memerah apabila mendeteksi sinyal 4G
dakwah Wahabi Muhammadiyyah memberantas TBC, takhayyul-bid’ah-churafat. Menilik
sejarahnya, tidak terlalu mengherankan karena pemicu didirikannya NU sendiri
diantaranya adalah untuk menghadapi ‘Wahabisme’ yang kala itu – menurut Masdar F.
Mas’udi – menguasai Arab Saudi (https://goo.gl/9HyGm7). Sentimen yang terjadi di Timur
Tengah ditarik ke dalam negeri untuk mengimbangi ormas yang lebih dahulu lahir yang
diklaim sebagai duplikasi Wahabi Saudi.
Konflik fisik berupa penyerangan dan pengusiran oleh oknum Aswaja (NU) yang merasa
mayoritas bukan sesuatu yang aneh buat warga Muhammadiyyah. Sebagian konflik ini
telah direkam dalam beberapa tulisan/penelitian akademik, diantaranya:
Beberapa masalah yang sering dijadikan media provokasi umat antara lain bid’ah, maulid,
tahlil, yasinan, qunut Shubuh, tawassul, ngalap berkah (tabaruk), istighatsah, dan
beberapa budaya lokal yang dilakukan masyarakat. Mari kita sekilas melihat substansi
sebagian alergen mereka:
1. Bid’ah
Kaum tradisionalis aswaja (NU) maunya ada bid’ah hasanah – selain madzmumah –
berdasarkan qaul Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah:
ٌ ﺔ َﻓ ُﻬ َﻮ ﻣ َْﺬ ُﻣﻮ
ﻡ ﱡ
َ ﺍﻟﺴ ﱠﻨ َ َﺧﺎﻟ
ﻒ َ َﻭﻣَﺎ،ﻤﻮ ٌﺩ ْ ﺔ َﻓ ُﻬ َﻮ ﻣ
ُ َﺤ ﱡ
َ ﺍﻟﺴ ﱠﻨ َ َﺍﻓ
ﻖ ٌ ﺔ ﻣ َْﺬ ُﻣﻮﻣ
َ َﻓﻤَﺎ ﻭ،َﺔ ٌ َﻭﺑِ ْﺪ َﻋ،ﻤﻮﺩ ٌَﺓ
ُ َﺤ ٌ ﺑِ ْﺪ َﻋ:ِْﺍﻟ ِﺒ ْﺪ َﻋ ُﺔ ﺑِ ْﺪ َﻋﺘَﺎﻥ
ْ ﺔﻣ
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu : (1) bid’ah yang terpuji, dan (2) bid’ah yang tercela.
Maka segala hal yang sesuai dengan sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji,
sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah (bid’ah yang) tercela” [Diriwayatkan oleh Abu
Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 9/113].
َ ﻤﺖِ ْﺍﻟ ِﺒ ْﺪ َﻋ ُﺔ ﻫ
ِﻲ َ ﻧِ ْﻌ
Adapun non-tradionalis memahami bid’ah itu semuanya tercela, tidak ada yang baik
sebagaimana keumuman sabda Nabi ﷺ:
ٌ َﺿ َﻼﻟ
ﺔ ﺔ ﻭ َُﻛ ﱠ
ٍ ﻞ ﺑِ ْﺪ َﻋ
َ ﺔ ٌ ﺔ ﺑِ ْﺪ َﻋ
ٍ َﺤﺪَﺛ
ْ ﻞ ُﻣ ﺍﻷُ ُﻣﻮﺭ َﻓﺈ ﱠ
ﻥ ُﻛ ﱠ ْ ِﺤﺪَﺛَﺎﺕ
ْ ﻢ َﻭ ُﻣ ُ ﻭَﺇﻳﱠ
ْ ﺎﻛ
ِ ِ ِ
“Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena
setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih[3]].
ً َﺴ َﻨ
ﺔ ُ ﻫﺎ ﺍﻟ ﱠﻨ
َ ﺎﺱ ﺣ ٌ َﺿﻼﻟ
َ ﻭَﺇِ ْﻥ ﺭَﺁ،ﺔ ُﻛ ﱡ
ٍ ﻞ ﺑِ ْﺪ َﻋ
َ ﺔ
“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan
(bid’ah hasanah)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya
hasan].
Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu:
“Maka berhati-hatilah kalian dari segala sesuatu yang dibuat-buat (oleh manusia), karena
sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan” [Diriwayatkan
oleh Abu Daawud no. 4611; shahih].
Saya tahu kaum tradisionalis aswaja punya sanggahan. Begitu juga sebaliknya. Masing-
masing punya rincian (tafshiil) dari apa yang mereka pahami.
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu : “Ketika Nabi ﷺtiba di Madinah, beliau ﷺmelihat
orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Aasyuuraa’. Lalu beliau ﷺbersabda : ‘Apa yang
kalian lakukan ?’. Mereka (Yahudi) berkata : ‘Ini adalah hari baik. Ini adalah hari dimana
Allah menyelamatkan Bani Israaiil dari musuh mereka, lalu Muusaa pun berpuasa pada
hari itu’. Beliau ﷺbersabda : ‘Aku lebih berhak terhadap Muusaa daripada kalian’. Maka
beliau pun berpuasa dan memerintahkan (orang-orang) untuk berpuasa” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 2004 dan Muslim no. 1130].
ﻭﻟﻜﻨﻬﺎ ﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻗﺪ ﺍﺷﺘﻤﻠﺖ ﻋﻠﻰ، ﺃﺻﻞ ﻋﻤﻞ ﺍﻟﻤﻮﻟﺪ ﺑﺪﻋﺔ ﻟﻢ ﺗﻨﻘﻞ ﻋﻦ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﻭﻥ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ
ﻭﻗﺪ ﻅﻬﺮ ﻟﻲ: ﻗﺎﻝ، ﻓﻤﻦ ﺗﺤﺮﻯ ﻓﻲ ﻋﻤﻠﻬﺎ ﺍﻟﻤﺤﺎﺳﻦ ﻭﺗﺠﻨﺐ ﺿﺪﻫﺎ ﻛﺎﻥ ﺑﺪﻋﺔ ﺣﺴﻨﺔ ﻭﺇﻻ ﻓﻼ، ﻣﺤﺎﺳﻦ ﻭﺿﺪﻫﺎ
ﺗﺨﺮﻳﺠﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﺻﻞ ﺛﺎﺑﺖ ﻭﻫﻮ ﻣﺎ ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﻴﻦ
“Hukum asal peringatan maulid adalah bid’ah yang tidak ternukil dari kalangan as-
salafush-shaalih yang hidup pada tiga jaman (yang pertama). Namun demikian,
peringatan maulid ini mengandung kebaikan dan lawannya. Maka barangsiapa yang , jadi
barangsiapa yang berusaha melakukan kebaikan dalam perayaan maulid dan menjauhi
lawannya (keburukan), maka itu adalah bid’ah hasanah. Jika tidak seperti itu, maka bukan
bid’ah hasanah (tidak bolehdilakukan). Dan nampak bagiku dasar pengambilannya
(maulid) atas pokok yang shahih dari riwayat dalam Shahiihain…” [Al-Haawiy lil-
Fataawaa].
- ﻓﻘﺪ ﺯﻋﻢ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ – ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، “ﻣﻦ ﺍﺑﺘﺪﻉ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺑﺪﻋﺔ ﻳﺮﺍﻫﺎ ﺣﺴﻨﺔ: ﺳﻤﻌﺖ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﻳﻘﻮﻝ
” ﻓﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻳﻮﻣﺌﺬ ﺩﻳﻨﺎ ﻓﻼ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺩﻳﻨﺎ،{}ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻟﻜﻢ ﺩﻳﻨﻜﻢ: ﻷﻥ ﷲ ﻳﻘﻮﻝ، ﺧﺎﻥ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ
”Aku mendengar Maalik berkata : ‘Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang
ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad ﷺmengkhianati
risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu’ (QS. Al-Maaidah :5). Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu di
jaman Rasulullah ﷺbeserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari
agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tishaam
oleh Asy-Syathibi, 1/49].
Seandainya kita berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbaas, maka perbuatan yang seharusnya
dilakukan adalah berpuasa, sebagaimana dilakukan Nabi ﷺdalam riwayat tersebut. Bukan
perayaan maulid Nabi ﷺ.
Padahal, bukan dzikir dan baca Al-Qur’annya secara umum yang dilarang non-
tradisionalis, akan tetapi pelaziman kaifiyyah-nya. Kejadian ini analog dengan atsar Sa’iid
bin Al-Musayyib yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq berikut:
Jadi ketika Ibnul-Musayyib mengingatkan shalat yang dilakukan laki-laki itu tidak
disyari’atkan, tidak lantas disimpulkan dirinya melarang shalat secara umum. Akan tetapi
yang dilarang adalah dirinya menyelisihi petunjuk Rasulullah ﷺ. Melakukan apa yang tidak
dilakukan Nabi ﷺ, padahal hal yang mendorong beliau untuk itu ada namun tetap tidak
beliau lakukan.
Kaum tradisionalis aswaja juga berkata bahwa tahlilan 7 hari berturut-turut ada
landasannya dari kaum salaf sebagaimana perkataan Thaawus:
ِ ﻚ ﺍﻷَﻳﱠﺎ
ﻡ َ ﻢ ﺗ ِْﻠ
ْ ﻢ َﻋ ْﻨ ُﻬ ْ ﻮﻥ ﺃَ ْﻥ ُﻳ
َ ﻄ َﻌ َ َﺴ َﺘﺤِﺒﱡ َ َﻓ،ﺳ ْﺒ ًﻌﺎ
ْ ﻜﺎ ُﻧﻮﺍ ﻳ ْ ﻮﻥ ﻓِﻲ ُﻗ ُﺒﻮﺭِﻫ
َ ِﻢ َ ﻥ ْﺍﻟ
َ ﻤ ْﻮﺗَﻰ ُﻳ ْﻔ َﺘ ُﻨ ﺇ ﱠ
ِ
“Sesungguhnya orang yang meninggal akan terfitnah (diuji) dalam kuburnya selama 7
– Abul-Jauzaa’
hari. Dulu mereka (shahabat dan taabi’iin ) menyukai untuk memberikan
makanan dari mereka (yang meninggal) pada hari-hari tersebut” [Hilyatul-Auliyaa’4/11].
Tapi atsar ini lemah tak bisa dipakai sebagai dalil. Begitu menurut kaum non-
tradisionalis.[5]
ﻞ ِﻣﻦَ ﺍﻟ ﱠ
ِﺼﺒْﺮ ﺟ ﱠَ َﻋ ﱠﺰ َﻭT ُ ِﻦ ُﻳ َﻌ ﱠﺰﻯ ﺑِﻤَﺎ ﺃَ َﻣ َﺮ ﱠ ْ ﻟَﻜ،ِﺍﻻ ْﻧ ِﻔﺮَﺍﺩ
ِ َﺔ َﻋﻠَﻰ ُ ﻭَﺃَ ْﻥ ﺗَ ْﻨ ُﺪﺑَ ُﻪ ﺍﻟ ﱠﻨﺎﺋِﺤ،ِﻤ ِﻴّﺖِ ﺑ َْﻌ َﺪ َﻣ ْﻮﺗِﻪ َ ﺔ َﻋﻠَﻰ ْﺍﻟ َ ﻭَﺃَ ْﻛ َﺮ ُﻩ ﺍﻟ ِﻨّﻴَﺎ
َ ﺣ
..… ،ﺔ ُ ﻒ ْﺍﻟ
َ َﻤ ْﺆﻧ ُ ّ ﻜ ِﻠ
َ ﻥ َﻭ ُﻳ ُ ﺪ ُﺩ ْﺍﻟ
َ ﺤ ْﺰ ِّ ﺠ َ ِﻥ َﺫﻟ
َ ﻚ ُﻳ َﻓﺈ ﱠ،ﻜﺎ ٌء
ِ ْ ﻦ ﻟَ ُﻬ
َ ﻢ ُﺑ ْ ﻢ ﻳ َُﻜ
ْ َ ﻭَﺇِ ْﻥ ﻟ،ﺠﻤَﺎ َﻋ ُﺔ َ ﻲ ْﺍﻟ َ ﻫ ِ ﻢ َﻭ َ َ ﻭَﺃَ ْﻛ َﺮ ُﻩ ْﺍﻟﻤ َْﺄﺗ،ِﺳ ِﺘ ْﺮﺟَﺎﻉ ْ َﺍﻻ ِ ﻭ
4. Tawassul
Tawassul yang dilakukan kaum tradisionalis aswaja cenderung sangat longgar dengan
berbagai bentuknya. Adapun non-tradionalis lebih ketat. Diantara titik perbedaan (dan ini
bukan pembatas) adalah masalah tawassul dengan kedudukan/hak Nabi ﷺatau orang-
orang shalih seperti ucapan : “Aku memohon kepada-Mu ya Allah dengan kedudukan/hak
Nabi ﷺatau Fulaan…..demikian dan demikian…”.
Tawassul seperti ini memang ternukil dari sebagian ulama. Namun sebagian ulama yang
lain melarang dan membencinya sebagaimana dinukil Al-Albaaniy dari kalangan
Hanafiyyah rahimahumullah:
ﻻ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ: ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ:” – ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺃﺷﻬﺮ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ – ﻣﺎ ﻧﺼﻪ630/2“ ”ﻓﻘﺪ ﺟﺎء ﻓﻲ “ﺍﻟﺪﺭ ﺍﻟﻤﺨﺘﺎﺭ
.{ﺴﻨَﻰ َﻓﺎ ْﺩ ُﻋﻮ ُﻩ ﺑِﻬَﺎ
ْ ﺤ ْ َ ﺍﻷ
ُ ﺳﻤَﺎ ُء ْﺍﻟ ْ ِ } َﻭ ِ ﱠ: ﺍﻟﻤﺄﻣﻮﺭ ﺑﻪ ﻣﺎ ﺍﺳﺘﻔﻴﺪ ﻣﻦ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ، ﻭﺍﻟﺪﻋﺎء ﺍﻟﻤﺄﺫﻭﻥ ﻓﻴﻪ،ﻳﺪﻋﻮ ﷲ ﺇﻻ ﺑﻪ
ﺍﻟﻘﺪﻭﺭﻱ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﻘﻪ ﺍﻟﻤﺴﻤﻰ “ﺑﺸﺮﺡ ﺍﻟﻜﺮﺧﻲ” ﻓﻲ ُ ﻭﻗﺎﻝ.”280/5“ ”ﻭﻧﺤﻮﻩ ﻓﻲ “ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﻬﻨﺪﻳﺔ
ﻭﺃﻛﺮﻩ ﺃﻥ، ﻻ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻮ ﷲ ﺇﻻ ﺑﻪ: ﻗﺎﻝ ﺑﺸﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ:”“ﺑﺎﺏ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ
، ﻣﻌﻘﺪ ﺍﻟﻌﺰ ﻣﻦ ﻋﺮﺷﻪ ﻫﻮ ﷲ: ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ، ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺃﺑﻲ ﻳﻮﺳﻒ، ﺃﻭ ﺑﺤﻖ ﺧﻠﻘﻚ، ﺑﻤﻌﺎﻗﺪ ﺍﻟﻌﺰ ﻣﻦ ﻋﺮﺷﻚ:ﻳﻘﻮﻝ
”.… ﻭﺑﺤﻖ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﻭﺍﻟﻤﺸﻌﺮ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ، ﺃﻭ ﺑﺤﻖ ﺃﻧﺒﻴﺎﺋﻚ ﻭﺭﺳﻠﻚ، ﺑﺤﻖ ﻓﻼﻥ: ﻭﺃﻛﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ،ﻓﻼ ﺃﻛﺮﻩ ﻫﺬﺍ
“Tercantum dalam kitab Ad-Durrul-Mukhtaar (2/630) yang merupakan salah satu kitab
masyhurmadzhab Hanafiyyah : ‘Tidak sepatutnya bagi seseorang berdoa kepada Allah
kecuali dengan-Nya. Dan doa yang diidzinkan lagi diperintahkan-Nya adalah seperti yang
tercantum dalam firman-Nya : Hanya milik Allah al-asmaaul-husnaa, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu (QS. Al-A’raaf ; 180)’. Hal yang semisal
terdapat dalam Al-Fataawaa Al-Hindiyyah (5/280).
Telah berkata Al-Quduuriy dalam kitabnya yang besar dalam permasalahan fiqh Syarhul-
Karkhiy, bab Al-Karahah : Telah berkata Bisyr bin Al-Waliid : Telah menceritakan kepada
kami Abu Yuusuf, ia berkata : Telah berkata Abu Haniifah : ‘Tidak sepatutnya bagi
seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan-Nya, dan aku membenci untuk
mengatakan : Dengan kemuliaan ‘Arsy-Mu atau Dengan hak makhluk-Mu’.
Dan inilah perkataan Abu Yuusuf : Telah berkata Abu Yuusuf : ‘Jaminan kemuliaan ‘Arsy
adalah Allah, oleh karena itu aku tidak membencinya. Namun aku membenci untuk
mengatakan : Dengan hak si Fulaan atau Dengan hak para nabi-Mu, para Rasul-Mu, ‘Al-
Baitul-Haraam, dan Al-Masy’aril-Haraam’…….” [At-Tawassul, hal. 46-47].
5. Ngalap Berkah
Sebagian kaum tradisionalis aswaja akar rumput melakukan ngalap berkah pada hal-hal
yang tidak ada dalilnya (menurut pandangan non-tradisionalis), lebih cenderung pada
tradisi. Misalnya ngalap berkah masyarakat Solo terhadap gunungan kembar hasil bumi
sebagaimana pada video di bawah: (http://ift.tt/2eNrRkM)
http://kajiansunnah.info/menggugat-arogansi-parasit-oknum-penggiat-toleransi/
Fatwa MUI : Hukum Doa Bersama Lintas Agama
Penulis Redaksi
FATWA
Tentang
DO’A BERSAMA
MENIMBANG :
a. bahwa dalam acara-acara resmi kemasyarakatan maupun kenegaraan
terkadang dilakukan do’a oleh umat Islam Indonesia dalam bentuk do’a
bersama dengan penganut agama lain pada satu tempat yang sama;
b. bahwa hal tersebut telah menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam tentang hukum
do’a bersama menurut hukum Islam;
c. bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang
do’a bersama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.
MENGINGAT :
1. Firman Allah swt, antara lain:
…Dan do`a orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka. (QS. Ghafir [40]: 50).
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan
tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan
(alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan
demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya) (QS.
al-Furqan 25]: 68).
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan
janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. (QS.
al-Baqarah [2]: 42)
Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan
aku tidak pernah menjadi penyem-bah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah
agamamu, dan untukku-lah, agamaku”. (QS. al-Kafirun [109] : 1-6).
3. Qa’idah fiqh:
“Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqifdan ittiba’(mengikuti petunjuk dan contoh
dari Nabi).”
MEMPERHATIKAN : 1. Pendapat para ulama (lihat, a.l.: Hasyiyatul Jamal
Fathul Wahhab,juz V, h. 226; Hasyiyatul Jamal, juz II, h. 119; Mughnil
Muhtaj,juz I, h. 323; dan al-Majmu’, juzV, h. 72 dan 66):
ﺍﻟ ِﺬّ ﱠﻣ ِﺔ ﺃ َ ْﻫ ُﻞ ( َﻄﻮﻥ ُ َﻳ ْﺨﺘَ ِﻠ َﻭ َﻻ
ََﻭﻻ ﺼﻼﻧَﺎ ﱠ َ ُﻣ ِﻓﻲ () ِﺑﻨَﺎ ﺎﺭ ﱠ ُ
ِ ﺍﻟﻜﻔ ْ ﺳﺎ ِﺋ ِﺮ َ ِﻣ ْﻦ َﻏﻴ ُْﺮ ُﻫ ْﻢ َﻭ َﻻ
َﻋ ﱠﻨﺎ ََﻳﺘَ َﻤﻴ ُﱠﺰﻭﻥ ، َﺫَﻟِﻚ ُﻳُ ْﻜ َﺮﻩ َ ْ َِﻋ ْﻨﺪ
ِﻓﻲ َﺑ ْﻞ ﻱْ ﺃ ِﺍﻟ ُﺨ ُﺮﻭﺝ
ِﺑ ِﻬ ْﻢ َﻳ ِﺤ ﱡﻞ َْﻗﺪ ْﺇﺫ ﺗَ َﻌﺎ َﻟﻰ ِﱠ ﺃَ ْﻋﺪَﺍ ُء ِﻷ َ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ َﻣﻜَﺎﻥ
ًِﻓﺘْ َﻨﺔ }ﻭﺍﺗﱠﻘُﻮﺍَ :ﺗَ َﻌﺎ َﻟﻰ َﻗﺎ َﻝ .ُﺼﻴﺒُﻨَﺎ ِ َﻓﻴ ِﺑ ُﻜ ْﻔ ِﺮ ِﻫ ْﻢ ٌَﻋﺬَﺍﺏ
َﻭ َﻻ [25 :]ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ {ًﺻﺔ ﱠ َﺎ
ﺧ ﻢ
ْ ُِ
ﻜ ْ
ﻨ ﻣ ﻮﺍ ﻤُ َ
ﻠ َ
ﻅ َِﻳﻦﺬ ﱠ
ﺍﻟ ﺼﻴ َﺒ ﱠﻦِ ُﺗ ﻻ
ﻲ؛ ﺍﻟﺮﻭ َﻳﺎ ِﻧ ﱡ
ﱡ َﻗﺎ َﻝ َﻛ َﻤﺎ ﺩ ُ َﻋﺎ ِﺋ ِﻬ ْﻢ َ
َﻋﻠﻰ َﻳ َُﺆ ﱠﻣﻦ ﺃ ْﻥ َ ُ َﻳ ُﺠ
ﻮﺯ
َْﻗﺪ َﻗﺎ َﻝ َﻣ ْﻦ َﻭ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ،َﻣ ْﻘﺒُﻮ ٍﻝ َﻏﻴ ُْﺮ ْﺍﻟﻜَﺎ ِﻓ ِﺮ ﺩ ُ َﻋﺎ َء ِﻷ َ ﱠﻥ
ﺎﻹ ْﻧﻈﺎﺭَ ْ
ِ ِﺑ ﻴﺲَ ﺇ ْﺑ ِﻠ ﺩ ُ َﻋﺎ ُء ﻴﺐ
َ ﺍ ْﺳﺘ ِﺠ ُ ُ َﻛ َﻤﺎ َ
ﻟ ُﻬ ْﻢ ُﻳُ ْﺴﺘَ َﺠﺎﺏ
(ﻣﻐﻨﻰ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ
Kaum zimmidan orang kafir lainnya tidak boleh bercampur dengan kita,
baik di dalam tempat salat kita maupun ketika keluar (dari kampung,
tempat tinggal); dalam arti hal itu hukumnya makruh. Mereka di tempat
terpisah dari kita, karena mereka adalah musuh Allah. Boleh jadi akan
ada azab menimpa mereka disebabkan kekufuran mereka, dan azab tersebut
dapat menimpa kita juga. Allah berfirman: “Dan peliharalah dirimu dari
siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara
kamu…” (QS. al-Anfal [8]: 25). Tidak boleh pula mengamini do’a mereka
–sebagaimana dikemukakan oleh Imam Rauyani– karena do’a orang kafir
tidak diterima (dikabulkan). Sebagian ulama berpendapat, do’a mereka
boleh jadi dikabulkan sebagaimana telah dikabulkan do’a iblis yang minta
agar ditangguhkan.
2. Rapat Komisi Fatwa MUI pada Sabtu, 13 Ramadhan 1421/9 Desember 2000.
3. Pendapat Sidang Komisi CBidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.
MEMUTUSKAN
4. Do’a Bersama dalam bentuk “Seorang non-Islam memimpin do’a” maka orang Islam
HARAM mengikuti dan mengamininya.
5. Do’a Bersama dalam bentuk “Seorang tokoh Islam memimpin do’a” hukumnya MUBAH.
6. Do’a dalam bentuk “Setiap orang berdo’a menurut agama masing-masing” hukumnya
MUBAH.
Ditetapkan di : Jakarta
28 J u l i 2005 M
Ketua
ttd
Sekretaris
ttd
Bagi umat Islam, Do’a Bersama bukan merupakan sesuatu yang baru.
Sejak belasan abad, bahkan sejak agama Islam disampaikan oleh Nabi
Muhammad s.a.w., hingga sekarang, mereka sudah terbiasa melakukannya,
baik dilakukan setelah salat berama’ah maupun pada event-event tertentu.
Do’a adalah suatu bentuk kegiatan berupa permohonan manusia kepada
Allah SWT semata (lihat antara lain QS. al-Naml [27]: 62). Dalam
sejumlah ayat al-Qur’an (lihat antara lain QS. al-Mu’min [40]: 60) Allah
memerintahkan agar berdo’a. Oleh karena itu, kedudukan do’a dalam
ajaran Islam adalah ibadah. Bahkan Nabi s.a.w. menyebutnya sebagai otak
atau intisari ibadah (mukhkh al-‘ibadah). Sebagai sebuah ibadah,
pelaksanaan do’a wajib mengikuti ketentuan atau aturan yang telah
digariskan oleh ajaran Islam. Di antara ketentuan paling penting dalam
berdo’a adalah bahwa do’a hanya dipanjatkan kepada Allah SWT semata.
Dengan demikian, di dalam do’a sebenarnya terkandung juga unsur aqidah,
yakni hal yang paling fundamental dalam agama (ushul al-din).
2. Muslim dan non-muslim berdo’a secara serentak (misalnya mereka membaca teks do’a
bersama-sama).
Do’a Bersama dalam bentuk ini hukumnya HARAM. Artinya, orang Islam tidak
boleh melakukannya. Sebab do’a seperti itu dipandang telah
mencampuradukkan antara ibadah (dalam hal do’a) yang haq (sah, benar)
dengan ibadah yang bathil (batal); dan hal ini dilarang oleh agama
(lihat antara lain QS. al-Baqarah [2]: 42).
Do’a Bersama dalam bentuk kedua ini pun sangat berpotensi mengancam
aqidah orang Islam yang awam. Cepat atau lambat, mereka akan menisbikan
status do’a yang dalam ajaran Islam merupakan ibadah, serta dapat pula
menimbulkan anggapan bagi mereka bahwa aqidah ketuhanan non-muslim sama
dengan aqidah ketuhanan orang Islam. Di sini berlakulah kaidah;“sadd
al-zari’ah”dan “daf’u al-dharar”.
D. Penutup
2. Ada tiga bentuk Do’a Bersama yang bagi orang Islam haram
melakukannya. Dua bentuk (lihat Bangka 1 dan 3) disebabkan orang Islam
mengamini do’a non-muslim, dan satu bentuk (lihat Bangka 2) disebabkan
mencam-puradukkan ibadah
dan aqidah dengan ibadah Islam dan aqidah non-muslim.
https://archive.org/details/HasilIjtimaUlamaVTahun2015
https://archive.org/download/HasilIjtimaUlamaVTahun2015/Himpunan%20Fatwa%20Releas
e/Fatwa%20Bidang%20Ibadah/27.%20Doa%20Bersama.pdf
http://sangpencerah.id/2014/10/fatwa-mui-hukum-doa-bersama-lintas-agama/
Persatuan
Artikelxadmin22January 17, 2018
Apakah Anda mengira sebagian habaaib (include : para penganut thariqah) bersama
pengikut dan simpatisan fanatiknya itu akan gembira ria dengan dakwah tauhid yang telah
berabad-abad ingin mereka musnahkan dengan stigma dakwah Wahabi (sesat) ?
Apakah Anda mengira orang Hizbut-Tahriir, Jama’ah Tabligh, LDII, dan yang lainnya
menjadi tambah sehat, gemuk-gemuk, sejahtera, dan sentausa jika dakwah tauhid atau
dahwah salafiyyah menjadi bergema di semua penjuru tempat disertai penjelasan
penyelisihan mereka terhadap manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah ?
Sebaliknya, kita pun tak akan tenang bergaul akrab dengan penggemar klenik berdalih
karamah, pelaku bid’ah, takfiri, atau oportunis politik yang gemar menggunakan label
dakwah untuk kepentingan dunia. Atau, (pasti) tidak akan tenang pula membiarkan anak,
istri, dan keluarga kita banyak memperoleh siraman rohani pencerahan dari mereka…..
Mereka akan ‘menerima’ kita dengan syarat tak mengusik/mengkritik ‘aqidah dan amalan
mereka atau – sukur-sukur – kita menerima apa yang menjadi bagian dari agama mereka.
Dan itu tak mungkin,…. karena ketika kita bicara tauhid, pasti akan menyinggung syirik
dan segala macam bentuk amalannya. Ketika kita bicara sunnah, tentu kita ikuti dengan
kebalikannya, bid’ah. Ketika bicara manhaj Ahlus-Sunnah, secara langsung atau tidak
langsung akan bicara manhaj lain yang menjadi musuhnya. Sejarah permusuhan antara
tauhid dan syirik, bid’ah dan sunnah sudah sangat tua. Lebih tua dibandingkan Prasasti
Ciaruteun di Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Jika kita ingin diterima semua golongan tanpa gesekan, PASTI ada yang dikorbankan.
Sedikit atau banyak. Silakan lihat kenyataan yang dapat diindera dengan mata dan telinga
kita, bagaimana keadaan para penyeru ‘pluralitas’ itu ….. Mulut mereka terpenjara. Mau
bilang syirik dan bid’ah; dari semula bebas, jelas, dan lantang dikatakan di setiap
pengajian; menjadi lirih, bisik-bisik, dan akhirnya blackout alias mati lampu. Sunyi dan
sepi. Sesekali terdengar suara jangkrik. Lidah yang semula sangat berat mengatakan yang
bid’ah bukan bid’ah; sekali, dua kali, dan tiga kali, menjadi terbiasa. Bahasa diplomatis
keluar : perkara khilafiyyah. Akhirnya malah berani mengatakan : Tak mengapa, atau
bahkan Sunnah.
Hati orang yang seaqidah dan semanhaj akan nyaman berkumpul dengan yang
sejenisnya. Nabi ﷺbersabda:
َ َﺍﺧﺘَﻠ
ﻒ َ ََﻑ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ ْﺍﺋﺘَﻠ
َ ﻒ َﻭﻣَﺎ ﺗَﻨ
ْ َﺎﻛ َﺮ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ ٌ ﺠ ﱠﻨﺪ
َ َﺓ َﻓﻤَﺎ ﺗَ َﻌﺎﺭ َ ﺟ ُﻨﻮ ٌﺩ ُﻣ ُ ﺍﻷ َ ْﺭﻭَﺍ
ُ ﺡ ْ
Ini adalah realitas, sunnah kauniyyah. Bukan kampanye pendikotomian antar kelompok,
tapi memang wujud riil dikotomi itu sendiri. Bukankah Allah ta’alaberfirman:
َ ﻢ ﺭَﺑﱡ
ﻚ َ ﺣ ْ ﻮﻥ ُﻣ
ْ ﺨ َﺘ ِﻠ ِﻔﻴﻦَ * ﺇِﻻ ﻣ
ِ َﻦ َﺭ ُ ﺣ َﺪ ًﺓ ﻭَﻻ ﻳَﺰ
َ َﺍﻟ ً ﻞ ﺍﻟ ﱠﻨﺎﺱَ ُﺃ ﱠﻣ
ِ ﺔ ﻭَﺍ َ ﺠ َﻌ َ ﺷﺎ َء ﺭَﺑﱡ
َ َﻚ ﻟ َ ﻭَﻟَ ْﻮ
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, akan tetapi
mereka senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu” [QS.
Huud : 118-119].
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi
Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya” [QS. An-Nahl : 93].
???
َ ﻕ َﻋﻠَﻰ ﺛَ َﻼﺙٍ ﻭ
ِ ﺛِ ْﻨﺘَﺎ: ََﺳ ْﺒ ِﻌﻴﻦ
ﻥ ُ ﺳ َﺘ ْﻔﺘَﺮ
ِ َ ﺔَ ﻫ ِﺬ ِﻩ ْﺍﻟﻤِﻠﱠ
َ ﻥ ﻭَﺇ ﱠ،ﺔ ﱠ
ِ ً َﺳ ْﺒ ِﻌﻴﻦَ ﻣِﻠ َ ﻦﻭ ُ ْ ِﻜﺘَﺎﺏ
ِ ﺍﻓ َﺘﺮَﻗﻮﺍ َﻋﻠَﻰ ﺛِ ْﻨ َﺘ ْﻴ ِ ﻞ ْﺍﻟ ْ َِﻦ ﺃ
ِ ﻫ ْ ﻢﻣ ْ َﻦ َﻗﺒْﻠَ ُﻜ
ْ ﻥﻣ ﺇ ﱠ
ِ
َ ﻲ ْﺍﻟ
ﺠﻤَﺎ َﻋ ُﺔ ِ ﺔ َﻭ
َ ﻫ َ َﺓ ﻓِﻲ ْﺍﻟ
ِ ﺠ ﱠﻨ ٌ ﺣﺪ ِ ﻮﻥ ﻓِﻲ ﺍﻟ ﱠﻨ
ِ َﻭﻭَﺍ،ﺎﺭ َ َﺳ ْﺒ ُﻌ
َ ﻭ
Dari Abu ‘Aamir Al-Hauzaniy, dari Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan bahwasannya ia
(Mu’aawiyyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata : “Ketahuilah,
sesungguhnya Rasulullah ﷺpernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda :
‘Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab (Yahudi dan
Nashrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan sesungguhnya umat ini
akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. (Adapun) yang tujuh puluh dua
akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, yaitu Al-Jama’ah” [Diriwayatkan
oleh Abu Daawud no. 4597].
Tujuhpuluh dua golongan tersebut adalah sekte-sekte yang menyimpang dari Ahlus-
Sunnah dari kalangan ahlul-bid’ah. Sekte-sekte tersebut ada yang masih tetap dalam
keislamannya, ada yang telah keluar dari wilayah Islam (kafir).
Ketika menafsirkan ayat ‘akan tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali orang-orang
yang diberi rahmat oleh Rabbmu’ (QS. Huud : 118-119), beberapa ulama menjelaskan:
َﻖ ْ ُ ﻫ
ِ ّ ﻞ ﺍﻟﺤ ْ َ ﺃ:َ َﻗﺎﻝ،َﻢ ﺭَﺑﱡﻚ
َ ﺣ ْ ﺇِﻻ ﻣ،ِﻞ
ِ َﻦ َﺭ ْ ُ ﻫ
ِ ﻞ ﺍﻟﺒَﺎﻁ ْ َ ﺃ:َ َﻗﺎﻝ، َﺨ َﺘ ِﻠ ِﻔﻴﻦ
ْ ﻮﻥ ُﻣ ُ ﻭَﻻ ﻳَﺰ:َﻋﻦ ﺍ ْﺑﻦ َﻋﺒﱠﺎﺱ
َ َﺍﻟ ٍ ِ ِ
Dari Ibnu ‘Abbaas tentang ayat ‘akan tetapi mereka senantiasa berselisih’, ia berkata :
“Yaitu Ahlul-Baathil”; dan ayat ‘kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia
berkata : “Ahlul-Haq”.
ﺨ َﺘ ِﻠ ِﻔﻴﻦَ ﻓِﻲ ْﺍﻟ َﻬ َﻮﻯ ُ ﻻ ﻳَﺰ:َ َﻗﺎﻝ،َﻢ ﺭَﺑﱡﻚ ُ “ﻭَﻻ ﻳَﺰ:ِ ﻓِﻲ َﻗ ْﻮﻟِﻪ،ِﻜﺮ َﻣ َﺔ
ْ ﻮﻥ ُﻣ
َ َﺍﻟ َ ﺣ ْ ﻮﻥ ُﻣ
ْ ﺨ َﺘ ِﻠ ِﻔﻴﻦَ ﺇِﻻ ﻣ
ِ َﻦ َﺭ َ َﺍﻟ ِ ْ ﻦﻋ
ْ َﻋ
Dari ‘Ikrimah tentang firman-Nya ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : “Mereka senantiasa berselisih
dalam hawa nafsu”.
Dari Qataadah tentang firman-Nya ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : ‘Orang yang diberikan rahmat
Allah adalah Ahlul-Jamaa’ah, meskipun tempat tinggal dan badan-badan mereka (secara
fisik) terpisah. Sedangkan orang yang bermaksiat kepada Allah adalah Ahlul-Furqah
(orang-orang yang berpecah-belah), meskipun tempat tinggal dan badan-badan mereka
(secara fisik) berkumpul”.
Menilik ayat, hadits, dan atsar di atas dapat diambil beberapa faedah:
1. Merupakan sunnah kauniyyah umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dimana
hanya ada satu yang masuk surga, yaitu Al-Jama’ah.
2. Al-Jama’ah atau disebut Ahlur-Rahmah adalah orang-orang yang tidak berselisih dan
terpecah. Mereka adalah orang yang menetapi kebenaran meskipun terpisah badan dan
tempat tinggalnya.
3. Tidak disebut Al-Jama’ah dengan berkumpulnya fisik selama mereka berada di atas
kemaksiatan, hawa nafsu, dan kebid’ahan.
Ketika ada perintah Allah untuk mengikat persatuan di antara kaum muslimin, maksudnya
adalah persatuan di atas asas kebenaran (al-haq). Seandainya orang yang beridentitas
Islam dan mengaku muslim dengan segala ragam ‘aqidah dan manhaj semuanya
disatukan – atau bahkan dipaksa satu – tetap saja tidak dinamakan al-jama’ah, karena
al-jama’ah itu satu, yaitu orang-orang yang mengikatkan diri pada manhaj Nabi ﷺdan
para shahabatnya, sebagaimana tafsiran Al-Jama’ah itu sendiri dalam riwayat yang lain:
ْ َﻡ ﻭَﺃ
ﺻﺤَﺎﺑِﻲ ِ ﻣَﺎ ﺃَﻧَﺎ َﻋﻠَ ْﻴ
َ ﻪ ْﺍﻟﻴَ ْﻮ
“Apa yang aku dan para shahabatku ada di atasnya pada hari ini” [Diriwayatkan oleh Al-
Haakim dalam Al-Mustadrak 1/218-219].
“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu
menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap” [QS. Al-Anbiyaa’ :
18].
ً ﻫ َ ﻞ َﻛ
ُ ﺎﻥ َﺯ ِ ﻥ ْﺍﻟﺒَﺎ
ﻞﺇ ﱠ ِ ﻖ ْﺍﻟﺒَﺎ ﻞ ﺟَﺎ َء ْﺍﻟﺤ ﱡ
ْ ﻭ َُﻗ
ﻮﻗﺎ َ ﻁ ِ ُ ﻁ َ ﻫ
َ َﻖ َﻭ َﺯ
“Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya
yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” [QS. Al-Israa’ : 81].
Allah ta’ala melarang untuk mencampurk-adukkan yang haq dan yang bathil.
َ ﻤ
ﻮﻥ ْ َﻖ ﻭَﺃَ ْﻧ ُﺘ
ُ َﻢ ﺗَ ْﻌﻠ ﻤﻮﺍ ْﺍﻟﺤ ﱠ
ُ ِﻞ َﻭﺗَ ْﻜ ُﺘ ْ ﺴﻮﺍ ْﺍﻟﺤ ﱠ
ِ َﻖ ﺑِﺎﻟﺒَﺎﻁ ُ ﻭَﻻ ﺗَ ْﻠ ِﺒ
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu
sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 42].
Ketika kita mengajak berjama’ah (baca : persatuan), maka jalan yang kita tempuh adalah
berdakwah mengajak orang beragama sesuai dengan pemahaman salaf. Sesuai patron
Nabi ﷺyang murni. Inilah jama’ah yang hakiki atau persatuan yang hakiki.
:ﻝَ َﻓ َﻘﺎ، َﺎﻥُ ﻢ ْﺍﻟﺒَﻴ ُ ﻫ ُ ِﻦ ﺑَ ْﻌ ِﺪ ﺃَ ْﻥ ﺟَﺎ َءْ ﻦ ﺍﻟ ﱠﺘﻔ ﱡَﺮﻕِ ﻣ ِ ﻢ َﻋ ُ َﻭﻧَﻬَﺎ، ﻢ َﻋ ْﻨ ُﻪ
ْ ﻫ ْ ﻫُ ﺎﻻﺟ ِﺘﻤَﺎﻉِ َﻋﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺟَﺎ َء ْ ِﻙ َﻭﺗَ َﻌﺎﻟَﻰ ﺑ َ ﺗَﺒَﺎ َﺭTُﻢ ﱠ ُ ﻫُ ﻭَﺃَ َﻣ َﺮ
ﻪ َ ﻢ ﺑِﻨ ِْﻌ
ِ ﻤ ِﺘ ْ َﺤ ُﺘ
ْ ﺻﺒْ َﻢ َﻓﺄ ْ ﻒ ﺑَ ْﻴﻦَ ُﻗ ُﻠﻮﺑِ ُﻜَ ﻢ ﺃَ ْﻋﺪَﺍ ًء َﻓﺄَﻟﱠ
ْ ﻢ ﺇِ ْﺫ ُﻛ ْﻨ ُﺘ
ْ َﻋﻠَ ْﻴ ُﻜT
ِ َﺖ ﱠَ َﺍﺫ ُﻛ ُﺮﻭﺍ ﻧِ ْﻌﻤ
ْ ﺟﻤِﻴ ًﻌﺎ ﻭَﻻ ﺗَ َﻔ ﱠﺮ ُﻗﻮﺍ ﻭ
َ T ِ ْﻞ ﱠ ِ ﺤﺒ ُ ﺼ
َ ِﻤﻮﺍ ﺑ ِ َﺍﻋ َﺘْ ﻭ
َﺎﺕ ﺳﻮﺭﺓ ُ ﻢ ْﺍﻟﺒَ ِﻴ ّﻨ ُ ِﻦ ﺑ َْﻌ ِﺪ ﻣَﺎ ﺟَﺎ َء
ُ ﻫ ْ َﺍﺧﺘَﻠَ ُﻔﻮﺍ ﻣ ْ ﻭَﻻ ﺗَ ُﻜﻮ ُﻧﻮﺍ َﻛﺎﻟﱠ ِﺬﻳﻦَ ﺗَ َﻔ ﱠﺮ ُﻗﻮﺍ ﻭ: ﺳ ْﺒﺤَﺎﻧَ ُﻪ ُ ﻝ َ ﻭ ََﻗﺎ، 103 ﺧﻮَﺍﻧًﺎ ﺳﻮﺭﺓ ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ ﺁﻳﺔ ْ ِﺇ
، 105 ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ ﺁﻳﺔ
ْ ِﻒ ُﻗ ُﻠﻮ ُﺑ ُﻜ
،”ﻢ ْ ﺨ َﺘ ِﻠ ُﻔﻮﺍ َﻓﺘ
َ َﺨ َﺘﻠ َ ﻭ ََﻗﺎ، ” ﺧﻮَﺍﻧًﺎ
ْ َ ” ﻻ ﺗ: ﻝ ﷺ ْ ِ ﺇT ِ ﻭ َُﻛﻮ ُﻧﻮﺍ، ” ﻻ ﺗَ َﻘﺎﻁَ ُﻌﻮﺍ ﻭَﻻ ﺗَﺪَﺍﺑَ ُﺮﻭﺍ: ﷺT
ِ ﻋﺒَﺎ َﺩ ﱠ ِ ﻝ ﱠُ َﺳﻮ َ ﻭ ََﻗﺎ
ُ ﻝﺭ
َ ﻡ ْﺍﻟ
ﺠﻤَﺎ َﻋ َﺔ ِ ﺔ َﻓ ْﻠﻴ َْﻠ َﺰ َ ﺔ ْﺍﻟ
ِ ﺠ ﱠﻨ َ ﺣ ْ َﻦ ﺃَﺭَﺍ َﺩ ُﺑ
َ ﺤ ُﺒﻮ ْ ﻣ:ﻝﷺ َ ﻭ ََﻗﺎ
Dan Allah tabaraka wa ta’ala memerintahkan mereka untuk BERSATU di atas agama yang
turun kepada mereka (yang telah sempurna), dan melarang PERPECAHAN setelah datang
penjelasan kepada mereka. Allah ta’ala berfirman : ‘Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah) bermusuh musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang
bersaudara‘ (QS. Aali ‘Imraan : 103). Dan Allah juga berfirman : ‘Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan
yang jelas kepada mereka‘ (QS. Aali ‘Imraan : 105).
Rasulullah ﷺbersabda : ‘Janganlah kalian saling memutuskan hubungan dan jangan pula
saling memalingkan muka. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara’. Beliau
ﷺbersabda : ‘Jangan kalian berselisih sehingga hati-hati kalian berselisih’. Beliau ﷺjuga
bersabda : ‘Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, hendaklah ia menetapi
jama’ah” [As-Sunnah, hal. 43-44 no. 6].[1]
Selain itu, jama’ah juga dapat berarti : ‘berkumpul di atas pemimpin (ulil-amri) yang satu’.
Nabi ﷺbersabda:
ْ ِﻬ
ﻢ َ ﻭ َُﻟ ُﺰﻭ ُﻡ، َﻤﻴﻦ
ِ ﺟﻤَﺎ َﻋﺘ ُ ﺔ ْﺍﻟ
ْ ﻤ
ِ ﺴ ِﻠ ﺢ ِﻷَﺋِ ﱠ
ِ ﻤ ُ ﺼ ﻭ ﱡ، ِ ﺹ ْﺍﻟ َﻌﻤَﻞ ِ ﱠ
ْ َﺍﻟﻨ ِ ُ ﺧ َﻼ
ْ ِ ﺇ:ِﻢ ْ ﺉ ُﻣ
ٍ ﺴﻠ ُ ﻦ َﻗ ْﻠ
ٍ ﺐ ﺍ ْﻣ ِﺮ ﻬ ﱠ ﱡ ٌ ﺛَ َﻼ
ِ ﺙ َﻻ ُﻳﻐِﻞ َﻋﻠَ ْﻴ
“Ada tiga perkara yang membuat hati seorang muslim tidak merasa dengki terhadapnya
: ikhlash beramal karena Allah, menasehati para pemimpin kaum muslimin, dan menetapi
jama’ah mereka” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2658].
ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻭﻟﺰﻭﻡ ﺟﻤﺎﻋﺘﻬﻢ ﻫﺬﺍ ﺍﻳﻀﺎ ﻣﻤﺎ ﻳﻄﻬﺮ ﺍﻟﻘﻠﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﻞ ﻭﺍﻟﻐﺶ ﻓﺈﻥ ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻟﻠﺰﻭﻣﻪ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻳﺤﺐ ﻟﻬﻢ
ﻣﺎ ﻳﺤﺐ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻭﻳﻜﺮﻩ ﻟﻬﻢ ﻣﺎ ﻳﻜﺮﻩ ﻟﻬﺎ ﻭﻳﺴﻮﺅﻩ ﻣﺎ ﻳﺴﺆﻭﻫﻢ ﻭﻳﺴﺮﻩ ﻣﺎ ﻳﺴﺮﻫﻢ ﻭﻫﺬﺍ ﺑﺨﻼﻑ ﻣﻦ ﺍﻧﺠﺎﺯ ﻋﻨﻬﻢ
ﻭﺍﺷﺘﻐﻞ ﺑﺎﻟﻄﻌﻦ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﺍﻟﻌﻴﺐ ﻭﺍﻟﺬﻡ ﻟﻬﻢ ﻛﻔﻌﻞ ﺍﻟﺮﺍﻓﻀﺔ ﻭﺍﻟﺨﻮﺍﺭﺝ ﻭﺍﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻓﺈﻥ ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ ﻣﻤﺘﻠﺌﺔ ﻧﺤﻼ
ﻭﻏﺸﺎ ﻭﻟﻬﺬﺍ ﺗﺠﺪ ﺍﻟﺮﺍﻓﻀﺔ ﺍﺑﻌﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻻﺧﻼﺹ ﺍﻏﺸﻬﻢ ﻟﻼﺋﻤﺔ ﻭﺍﻻﻣﺔ ﻭﺍﺷﺪﻫﻢ ﺑﻌﺪﺍ ﻋﻦ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ
Dan sabda beliau ﷺ: ‘dan menetapi jama’ah mereka’; ini juga termasuk satu hal yang
bisa membersihkan hati dari sifat iri dan dengki. Karena pelakunya, dengan menetapi
jama’ah kaum muslimin, berarti dia mencintai mereka sebagaimana cintanya kepada diri
sendiri. Dan akan menyakitkannya apa yang membuat mereka sakit. Akan membuatnya
mudah (lapang) apa yang memudahkan mereka. Hal ini berbeda jauh dengan keadaan
orang yang menentang (membelot) dari imam dan menyibukkan diri dengan celaan-
celaan kepada mereka, serta (membeberkan) aib dan menghinakan mereka, seperti
tindakan Raafidlah, Khawaarij, Mu’tazillah, dan yang sejenis dengan mereka; karena hati
mereka telah dipenuhi dengan rasa dengki. Oleh karena itu kamu akan dapati bahwa
Rafidlah adalah sejauh-jauh manusia dari rasa ikhlash dan sedengki-dengki manusia
terhadap para penguasa dan rakyat jelata, serta sejauh-jauh manusia dari jama’ah kaum
muslimin….” [Miftaah Daaris-Sa’aadah, 1/72-73].
Dalam konteks pemahaman ini, terhadap orang yang tidak atau belum sepenuhnya
menetapi manhaj salaf, kita dapat bersatu di bawah pemimpin kaum muslimin (ulil-amri)
untuk mewujudkan kemaslahatan umum yang diakui syari’at Islam. Yaitu, tetap
mendengar dan taat kepada mereka (pemimpin/ulil-amri) dalam perkara yang ma’ruf.
Nabi ﷺbersabda:
“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa
yang ia cintai dan yang ia benci, selama tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Jika
ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat
(pada perintah maksiat tersebut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7144].
Tapi apa lacur, sebagian mereka pun enggan dalam prinsip ini dengan berbagai alasan.
Pemimpin jadi objek yang menyatukan mereka dalam celaan. Common enemy(selain
salafi/wahabi tentu saja he he he). Yang mengajak persatuan – yaitu mendengar dan taat
kepada ulil amri dalam perkara yang ma’ruf – mereka cibir sebagai penjilat.
Jadi kalau ada orang yang mengajak persatuan, kita tanyakan : “Persatuan dalam hal apa
dan atas dasar apa ? Persatuan untuk kemudian berpecah? Persatuan agitasi ? Persatuan
dalam demonstrasi ? Persatuan saling memaklumi kerusakan masing-masing ?”.
Mari kita serukan persatuan dengan menempuh jalannya. Bukan hanya dendangan slogan
dan yel-yel fatamorgana.
ْ َ ﺠﺮﻱ َﻋﻠ
ِ ﻰ ﺍﻟﻴَﺒ
َﺲ ِ ْ َﺔ ﻻ َ ﺗ ﱠ
َ ﺍﻟﺴ ِﻔ ْﻴ َﻨ َﺴﺎﻟ َِﻜﻬَﺎ ﺇ ﱠ
ﻥ ِ ْ ﺴ ُﻠ
َ ﻚﻣ ْ َﺟﻮ ﺍﻟ ﱠﻨﺠَﺎ َﺓ ﻭَﻟ
ْ َﻢ ﺗ ُ ﺗَ ْﺮ
“Engkau mengharapkan keselamatan, namun tidak menempuh jalan-jalannya,….
Mari kita upayakan sesuatu yang hakiki, yang langgeng. Optimis, karena ini adalah tugas
kita bersama, bukan tugas sekelompok orang.
Terakhir, seorang muslim diberikan walaa’ dan baraa’ sesuai kadar ketaatan dan
kemaksiatan mereka. Mereka kita cintai karena ketaatan mereka kepada Allah, dan kita
benci karena kemaksiatan mereka kepada Allah. Cinta dan benci karena Allah. Kita
tunaikan hak-hak mereka dan tidak boleh mendhalimi mereka, siapapun mereka. Kita
bermudarah dan tidak bermudahanah.
Wallaahu a’lam.
Baca selengkapnya
http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2018/01/persatuan.html
http://kajiansunnah.info/persatuan/
Mengkritisi Fatwa Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan terkait Penghinaan kepada Nabi (?)
ﻫﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻏﺘﻴﺎﻝ ﺍﻟﺮﺳﺎﻡ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﺮﻑ ﺑﻮﺿﻊ ﺍﻟﺮﺳﻮﻡ ﺍﻟﻤﺴﻴﺌﺔ ﻟﻠﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ؟
“Apakah diperbolehkan pembunuhan terhadap kartunis kafir yang diketahui telah membuat
gambar penghinaan terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”.
ﻫﺬﺍ ﻟﻴﺲ ﻁﺮﻳﻘﺔ ﺳﻠﻴﻤﺔ ﺍﻻﻏﺘﻴﺎﻻﺕ ﻭﻫﺬﻩ ﺗﺰﻳﺪﻫﻢ ﺷﺮﺍ ﻭﻏﻴﻈﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻟﻜﻦ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺪﺣﺮﻫﻢ ﻫﻮ ﺭﺩ ﺷﺒﻬﺎﺗﻬﻢ ﻭﺑﻴﺎﻥ
ﻣﺨﺎﺯﻳﻬﻢ ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻨﺼﺮﺓ ﺑﺎﻟﻴﺪ ﻭﺍﻟﺴﻼﺡ ﻫﺬﻩ ﻟﻠﻮﻟﻲ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﺑﺎﻟﺠﻬﺎﺩ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﷲ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻧﻌﻢ
“Perbuatan ini bukan jalan yang benar, yaitu melakukan pembunuhan. Perbuatan ini justru
menambah kejelekan dan kemarahan (orang-orang kafir) terhadap kaum muslimin. Akan
tetapi jalan untuk menolak mereka adalah dengan membantah syubhat-syubhat mereka dan
menjelaskan perbuatan hina mereka tersebut. Adapun melakukan pembelaan dengan tangan
dan pedang, maka ini merupakan hak ulil-amri kaum muslimin melalui jihad di jalan Allah
‘azza wa jalla. Na’am” [sumber : http://www.alfawzan.af.org.sa/node/1960].
Saat fatwa beliau hafidhahullah di atas dibawakan terkait peristiwa pembunuhan staf Media
Charlie Hebdo yang telah membuat karikatur penghinaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, ada yang mengatakan bahwa fatwa tersebut keliru karena menyelisihi ijmaa’ kaum
muslimin yang mengharuskan membunuh orang yang menghina Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
Diantaranya nukilan ijmaa’ terkait hukum penghinaan terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam adalah seperti yang dikatakan Ishaaq bin Rahawaih rahimahumallah:
ﺃﻭ ﺩﻓﻊ ﺷﻴﺌﺎ ً ﻣﻤﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﷲ ﱠ، ﺃﻭ ﺳﺐﱠ ﺭﺳﻮ َﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺳﺐﱠ ﷲ
ﺃﻭ ﻗﺘﻞ، ﻋﺰ ﻭﺟ ﱠﻞ
ﺃ َ ﱠﻧﻪ ﻛﺎﻓﺮ ﺑﺬﻟﻚ ﻭﺇِ ْﻥ ﻛﺎﻥ ُﻣ ِﻘ ﱠﺮﺍ ً ﺑﻜ ِّﻞ ﻣﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﷲ،ﻧﺒ ﱠﻴﺎ ً ﻣﻦ ﺃﻧﺒﻴﺎء ﷲ
“Kaum muslimin bersepakat bahwa orang yang mencaci Allah dan Rasul-Nya shallallaahu
‘alaihi wa sallam, atau menolak sesuatu dari yang diturunkan Allah ‘azza wa jalla, atau
membunuh nabi dari nabi-nabi Allah; maka ia kafir dengan sebab itu, meskipun ia mengakui
semua (syari’at) yang diturunkan Allah” [Ash-Shaarimul-Masluul oleh Ibnu Taimiyyah, 2/15.
Juga dalam Al-Istidzkaar oleh Ibnu ‘Abdil-Barr, 4/226].
ﻭﺣﻜﻤﻪ ﻋﻨﺪ ﺍﻷ ﱠﻣﺔ،ﺟﺎﺭ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻌﺬﺍﺏ ﷲ ﻟﻪٍ ُ ﻭﺍﻟﻮﻋﻴﺪ، ﻛﺎﻓﺮ َ ﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻤﺘﻨ ِ ّﻘ
ٌ ﺺ ﻟﻪ ِّ ﺷﺎﺗﻢ ﺍﻟﻨﺒ
َ ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎء ﺃ َ ﱠﻥ:
ﻛﻔﺮﻩ ﻭﻋﺬﺍ ِﺑﻪ ﻛ َﻔﺮ
ِ ﻭﻣﻦ ﺷﻚﱠ ﻓﻲ، ﺍﻟﻘﺘﻞ
“Para ulama bersepakat bahwa orang yang mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
untuk merendahkan beliau adalah kafir. Dan ancamannya adalah adzab Allah, hukumnya di
sisi umat adalah dibunuh. Barangsiapa yang ragu akan kekafirannya dan adzabnya (kelak di
akhirat), maka kafir” [Asy-Syifaa’ oleh Al-Qaadliy ‘Iyaadl, 2/312].
Ijmaa’ ini hanyalah berkaitan dengan seorang muslim yang melakukan penghinaan terhadap
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun orang kafir, maka para ulama berbeda
pendapat.
Al-Mundziriy rahimahullah berkata setelah menyebutkan ijma’ wajib dihukum bunuh bagi
muslim yang mencela/mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
ﻈﻢ َ ﺸ ْﺮﻙ ﺃ َ ْﻋ ّ ِ َﻭ َﻗﺎ َﻝ ﺃَﺑُﻮ َﺣ ِﻨﻴ َﻔﺔ َﻻ ُﻳ ْﻘﺘَﻞ َﻣﺎ ُﻫ ْﻢ َﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ ِﻣ ْﻦ ﺍﻟ، ﻲ ﻳُ ْﻘﺘَﻞ َﻭﺗَﺒ َْﺮﺃ ِﻣ ْﻨﻪُ ﺍﻟ ِﺬّ ﱠﻣﺔ َﻓ َﻘﺎ َﻝ ﺍﻟ ﱠ، ﺎŸ َﻭ ِﺇ ﱠﻧ َﻤﺎ ْﺍﻟ ِﺨ َﻼﻑ ِﺇﺫَﺍ َﻛﺎﻥَ ﺫ ِ ِّﻣﻴ،
ّ ﺸﺎ ِﻓ ِﻌ
َ ﱠ ُ
ﺎﺭﻯ ﻗ ِﺘ َﻞ ﺇِﻻ ﺃ ْﻥ ﻳُ ْﺴ ِﻠﻢ َ ﺼ ْ ﱠ
َ ﺳﻠ َﻢ ِﻣ ْﻦ ﺍﻟ َﻴ ُﻬﻮﺩ َﻭﺍﻟ ﱠﻨ َ
َ ﺻﻠﻰ ﱠ َﻋﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭﱠ َ ﻲ َ َﻭ َﻗﺎ َﻝ َﻣﺎ ِﻟﻚ َﻣ ْﻦ
ّ ﺷﺘ ََﻢ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒ
“Perbedaan pendapat yang ada hanyalah jika orang yang mencela itu berstatus dzimmiy. Asy-
Syaafi’iy berpendapat pelakunya dibunuh dan lepas darinya jaminan (dengan sebab
perbuatannya tersebut). Abu Haniifah berpendapat pelakunya tidak dibunuh, karena
kesyirikan yang ada padanya lebih besar. Maalik berkata : Barangsiapa yang mencaci Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Yahudi dan Nashara, maka dibunuh kecuali jika
kemudian ia masuk Islam” [‘Aunul-Ma’buud, 9/394].
Jika disebut dzimmiy, artinya, orang kafir tersebut tinggal di wilayah negeri Islam yang
tunduk pada hukum-hukum Islam yang berlaku di dalamnya.
Perlu kita garis bawahai, para pelaku penghinaan terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam ini tinggal di negeri Perancis, negeri kafir. Negeri yang tidak menerapkan hukum-
hukum Islam.
Siapakah yang akan menegakkan hadd bunuh terhadap mereka (orang kafir), sementara
mereka tidak tunduk di bawah hukum Islam, negeri mereka tidak di bawah kendali
pemerintahan negeri Islam, dan status mereka bukan kafir dzimiiy ?. Selain itu, jika kita
berbicara hadd, tentu saja hal tersebut mesti dilakukan ulil-amri yang mempunyai kekuatan
dan kekuasaan untuk menegakkannya.
Apakah kaum muslimin – Perancis pada khususnya atau Eropa pada umumnya – boleh
melakukan hukum bunuh terhadap setiap orang kafir yang melakukan penghinaan terhadap
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan kondisi mereka minoritas, tidak mempunyai
kekuatan memadai, serta sangat rawan mendapat tekanan dan intimidasi ?.
Dulu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering dihina dan dicaci maki orang-orang kafir
karena mendakwahkan Islam kepada mereka. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
disebut sebagai penyair gila sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala:
Disebut penyihir:
ٌ ُﺎﺣ ٌﺮ ﺃ َ ْﻭ َﻣﺠْ ﻨ
ﻮﻥ ِ ﺳ ُ َﻛﺬَﻟِﻚَ َﻣﺎ ﺃَﺗَﻰ ﺍ ﱠﻟﺬِﻳﻦَ ِﻣ ْﻦ َﻗ ْﺒ ِﻠ ِﻬ ْﻢ ِﻣ ْﻦ َﺭ
َ ﺳﻮ ٍﻝ ﺇِﻻ َﻗﺎﻟُﻮﺍ
“Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum
mereka, melainkan mereka mengatakan: ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila”
[QS. Adz-Dzaariyaat : 52].
Disebut pendusta:
ٌﺎﺣ ٌﺮ َﻛﺬﱠﺍﺏ
ِ ﺳَ َﻭ َﻋ ِﺠﺒُﻮﺍ ﺃ َ ْﻥ َﺟﺎ َء ُﻫ ْﻢ ُﻣ ْﻨﺬ ٌِﺭ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﻭ َﻗﺎ َﻝ ْﺍﻟﻜَﺎ ِﻓ ُﺮﻭﻥَ َﻫﺬَﺍ
“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari
kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: “Ini adalah seorang ahli sihir yang
banyak berdusta” [QS. Ash-Shaad : 4].
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang menjelaskan, berkatalah
orang-orang yang mengingkari kebenaran ketika kebenaran itu datang kepada mereka: “Ini
adalah sihir yang nyata”. Bahkan mereka mengatakan: “Dia (Muhammad) telah mengada-
adakannya (Al Qur’an)” [QS. Al-Ahqaaf : 7-8].
Bahkan intimidasi secara fisik saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdakwah ke Bani
Tsaaqif di Thaaif.
Semua hinaan, cacian, dan intimidasi fisik beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam terima di
awal dakwah saat Islam baru mulai berkembang. Waktu itu, beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak membalasnya, memerintahkan shahabatnya untuk membalasnya, atau
memeranginya; padahal penghinaan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan
sesuatu yang sangat besar dalam Islam. Mengapa ?. Ibnu Katsiir rahimahullah menjawabnya:
ﻭﻛﺎﻧﻮﺍ ﻣﺄﻣﻮﺭﻳﻦ ﺑﻤﻮﺍﺳﺎﺓ, ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﺫﺍﺕ ﺍﻟﻨﺼﺐ,ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﺑﺘﺪﺍء ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻫﻢ ﺑﻤﻜﺔ ﻣﺄﻣﻮﺭﻳﻦ ﺑﺎﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺰﻛﺎﺓ
ﻭﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﺘﺤﺮﻗﻮﻥ ﻭﻳﻮﺩﻭﻥ ﻟﻮ ﺃﻣﺮﻭﺍ ﺑﺎﻟﻘﺘﺎﻝ,ﺍﻟﻔﻘﺮﺍء ﻣﻨﻬﻢ ﻭﻛﺎﻧﻮﺍ ﻣﺄﻣﻮﺭﻳﻦ ﺑﺎﻟﺼﻔﺢ ﻭﺍﻟﻌﻔﻮ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺸﺮﻛﻴﻦ ﻭﺍﻟﺼﺒﺮ ﺇﻟﻰ ﺣﻴﻦ
ﻭﻣﻨﻬﺎ, ﻗﻠﺔ ﻋﺪﺩﻫﻢ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﻛﺜﺮﺓ ﻋﺪﺩ ﻋﺪﻭﻫﻢ:ﻟﻴﺸﺘﻔﻮﺍ ﻣﻦ ﺃﻋﺪﺍﺋﻬﻢ ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺍﻟﺤﺎﻝ ﺇﺫ ﺫﺍﻙ ﻣﻨﺎﺳﺒﺎ ً ﻷﺳﺒﺎﺏ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﻣﻨﻬﺎ:
ﻓﻠﻬﺬﺍ ﻟﻢ ﻳﺆﻣﺮ ﺑﺎﻟﺠﻬﺎﺩ, ﻓﻠﻢ ﻳﻜﻦ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﻘﺘﺎﻝ ﻓﻴﻪ ﺍﺑﺘﺪﺍء ﻛﻤﺎ ﻳﻘﺎﻝ, ﺃﺷﺮﻑ ﺑﻘﺎﻉ ﺍﻷﺭﺽ, ﻭﻫﻮ ﺑﻠﺪ ﺣﺮﺍﻡ,ﻛﻮﻧﻬﻢ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻫﻢ
ﻭﺧﺎﻓﻮﺍ ﻣﻮﺍﺟﻬﺔ, ﺟﺰﻉ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻣﻨﻪ, ﻭﻣﻊ ﻫﺬﺍ ﻟﻤﺎ ﺃﻣﺮﻭﺍ ﺑﻤﺎ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻮﺩﻭﻧﻪ,ﺇﻻ ﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻟﻤﺎ ﺻﺎﺭﺕ ﻟﻬﻢ ﺩﺍﺭ ﻭﻣﻨﻌﺔ ﻭﺃﻧﺼﺎﺭ
ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺧﻮﻓﺎ ً ﺷﺪﻳﺪﺍ ً }ﻭﻗﺎﻟﻮﺍ ﺭﺑﻨﺎ ﻟﻢ ﻛﺘﺒﺖ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﺍﻟﻘﺘﺎﻝ ﻟﻮﻻ ﺃﺧﺮﺗﻨﺎ ﺇﻟﻰ ﺃﺟﻞ ﻗﺮﻳﺐ{ ﺃﻱ ﻟﻮﻻ ﺃﺧﺮﺕ ﻓﺮﺿﻪ ﺇﻟﻰ ﻣﺪﺓ ﺃﺧﺮﻯ,
ﻭﺗﺄﻳﻢ ﺍﻟﻨﺴﺎء, ﻭﻳﺘﻢ ﺍﻷﻭﻻﺩ,ﻓﺈﻥ ﻓﻴﻪ ﺳﻔﻚ ﺍﻟﺪﻣﺎء
“Dahulu kaum mukminin di masa permulaan Islam saat di kota Makkah diperintahkan untuk
shalat dan zakat, walaupun tanpa batasan tertentu. Mereka diperintahkan untuk melindungi
orang-orang faqir, diperintahkan untuk memaafkan, dan membiarkan kaum musyrikin, serta
sabar (atas kedhaliman mereka) hingga batas waktu yang ditentukan. Padahal semangat
mereka sangat membara dan senang seandainya mereka diperintahkan berperang melawan
musuh-musuh mereka. Akan tetapi, kondisi saat itu tidak memungkinkan karena beberapa
sebab. Diantaranya adalah : minimnya jumlah mereka dibandingkan banyaknya jumlah
musuh-musuh mereka, serta keberadaan mereka yang masih berada di kota mereka sendiri,
yaitu tanah haram dan tempat yang paling mulia. Sehingga belum pernah terjadi peperangan
sebelumnya di tempat itu, sebagaimana dikatakan : ’Oleh karena itu, tidak diperintahkan
jihad kecuali di Madinah ketika mereka memiliki negeri, benteng, dan dukungan’……”
[Tafsir Ibnu Katsiir , 2/359].
Baru kemudian setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madiinah serta
mendapatkan dukungan dan kekuatan, maka beliau menegakkan berbagai macam huduud
terhadap semua bentuk pelanggaran, termasuk melakukan pembunuhan terhadap Ka’b Al-
Asyraf yang melakukan penghinaan terhadap beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[1]
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengambil analog untuk setiap situasi dan
kondisi kaum muslimin yang masih lemah – sebagaimana keadaan kaum muslimin di fase
awal perkembangan Islam – disyari’atkannya untuk bersabar dan tidak melakukan
perlawanan. Beliau rahimahullah berkata:
ﻓﻤﻦ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺑﺄﺭﺽ ﻫﻮ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺴﺘﻀﻌﻒ ﺃﻭ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﻫﻮ ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺘﻀﻌﻒ ﻓﻠﻴﻌﻤﻞ ﺑﺂﻳﺔ ﺍﻟﺼﺒﺮ ﻭﺍﻟﺼﻔﺢ ﻋﻤﻦ ﻳﺆﺫﻱ ﷲ
ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺃﻭﺗﻮﺍ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﻤﺸﺮﻛﻴﻦ ﻭﺃﻣﺎ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻘﻮﺓ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﻳﻌﻤﻠﻮﻥ ﺑﺂﻳﺔ ﻗﺘﺎﻝ ﺃﺋﻤﺔ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻄﻌﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺑﺂﻳﺔ
ﻗﺘﺎﻝ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺃﻭﺗﻮﺍ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺣﺘﻰ ﻳﻌﻄﻮﺍ ﺍﻟﺠﺰﻳﺔ ﻋﻦ ﻳﺪ ﻭﻫﻢ ﺻﺎﻏﺮﻭﻥ
“Barangsiapa dari kalangan orang-orang yang beriman (mukminin) yang tinggal di bumi
dimana mereka dalam keadaan lemah atau dalam satu waktu dimana kondisi mereka lemah,
maka hendaklah ia mengamalkan ayat-ayat sabar dan menahan diri dari orang-orang yang
menyakiti[2] Allah dan Rasul-Nya dari kalangan Ahli Kitab dan kaum musyrikin. Adapun
bagi mereka yang mempunyai kekuatan, maka hendaknya ia mengamalkan ayat-ayat (yang
memerintahkan) berperang melawan pentolan-pentolan orang-orang kafir dan Ahli Kitab
yang menghina agama (Islam) hingga mereka membayar jizyah dengan penuh ketundukan
dan kerendahan” [Ash-Shaarimul-Maslul ’alaa Syaatimir-Rasuul, hal. 221].
Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan sebab kenapa harus bersabar tidak menegakkan
huduud bagi mereka (orang kafir) yang menghina/mencela beliau:
ﻷﻥ ﺇﻗﺎﻣﺔ ﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻛﺎﻥ ﻳﻔﻀﻲ ﺇﻟﻰ ﻓﺘﻨﺔ ﻋﻈﻴﻤﺔ ﻭﻣﻔﺴﺪﺓ ﺃﻋﻈﻢ ﻣﻦ ﻣﻔﺴﺪﺓ ﺍﻟﺼﺒﺮ ﻋﻠﻰ ﻛﻼﻣﺎﺗﻬﻢ.
2. Charlie Hebdo akan menerbitkan 1 juta eksemplar dari semula hanya 30 ribu
eksemplar.
Apakah penyerangan tersebut menimbulkan maslahat yang besar bagi kaum muslimin di
Perancis dan dakwah Islam yang sedang mereka emban dibanding mafsadat yang sekarang
sudah timbul dan akan diperkirakan timbul?. Apakah mereka yang minoritas mesti terus kita
provokasi agar kembali melakukan serangan atau pembunuhan serupa pada setiap orang kafir
yang menghina Allah, Nabi, Islam, dan kaum muslimin di sana?.
Dari sinilah kita mengetahui akurasi fatwa Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah
jika diterapkan dalam permasalahan ini. Inilah fatwa ulama, berbeda dengan fatwa kaum
emosional yang senantiasa mengedepankan kemarahan dan provokasi. Ini bukan soal tidak
sependapat dengan kekufuran perbuatan penghinaan terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dan konsekuensi hukum bunuh bagi pelakunya, akan tetapi ketidaksetujuan terhadap
perbuatan yang dilakukan bukan pada waktu dan kondisi yang tepat sehingga dapat
menimbulkan mafsadat yang lebih besar bagi kaum muslimin.
Wallaahul-musta’aan.
http://kajiansunnah.info/mengkritisi-fatwa-asy-syaikh-shaalih-al-fauzaan-terkait-penghinaan-
kepada-nabi/