Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

MIOMA UTERI
DI IBS RSUD NGUDI WALUYO WLINGI

Oleh
ARFIANI RACHMAWATI
(NIM. 1301460055)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN MALANG
2017
KONSEP MIOMA UTERI

A. Konsep Mioma Uteri


1. Pengertian
Mioma uteri adalah adalah tumor jinak yang berasal dari sel-sel otot polos
yang mengandung sejumlah jaringan ikat yang berbeda yang terdiri dari
sel-sel otot polos yang telah mengalami degenerasi dan dapat berupa tumor
tunggal atau multiple (Wiknjosastro, 2011).
Menurut Manuaba (2012), tumor jinak rahim ini sebagian besar
berasal dari sel muda otot rahim, yang mendapat rangsangan terus-menerus
dari hormon estrogen sehingga terus bertumbuh dan bertambah menjadi besar.
Oleh karena itu tumor jinak otot rahim sebagian besar terjadi pada masa
reproduktif aktif, yaitu saat wanita masih menstruasi.
Menurut Proverawati dan Misaroh (2009), mioma uteri adalah tumor
jinak yang terutama terdiri dari sel-sel otot polos, tetapi juga jaringan ikat.
Sel-sel ini tersusun tersusun dalam bentuk gulungan, yang bila membesar
akan menekan otot uterus normal.

2. Anatomi Uterus
a. Terletak di panggul kecil diantara rektum dan di depannya terletak
kandung kemih. Hanya bagian bawahnya disangga oleh ligamen yang
kuat, sehingga bebas untuk tumbuh dan berkembang saat kehamilan.
b. Fungsi Uterus :
 Sebagai alat tempat terjadinya menstruasi
 Sebagai alat tumbuh dan berkembangnya hasil konsepsi
 Tempat pembuatan hormon misal HCG
c. Bentuk rahim :
 Seperti buah pir/alpukat
 Berat sekitar 30 gram
 Ukuran panjang uterus 7-7,5cm
 Lebar 5,25cm, tebal 2,5cm, tebal dinding 1,25 cm
d. Uterus terdiri atas :
1. Fundus uteri
 Segmen atas berbentuk cembung di antara kedua tempat insersi
tuba fallopi.
 Didalam klinik penting untuk mengetahui sampai dimana
fundus uteri berada oleh karena tuanya kehamilan.
2. Korpus uteri
 Bagian uterus yg terbesar
 Pada kehamilan bagian ini
 mempunyai fungsi utama sebagai
 tempat janin berkembang

3. Klasifikasi
Menurut Wiknjosastro (2008), berdasarkan letak atau lokasinya, mioma
dapat dibagi sebagai berikut :
1. Mioma submukosa di uterus, adalah mioma uteri yang terdapat dilapisan
mukosa uterus dan dan tumbuh kearah kavum uterus, mioma submukosa
ini dapat pula bertangkai dan keluar ke vagina melalui kanalis servikalis
yang disebut myomagebrut.
2. Mioma intramural, terdapat di dinding uterus di antara serabut
myometrium. Mioma ini dalam pertumbuhannya dapat mengenai
komponen subserosa atau submukosa.
3. Mioma subserosa, adalah miomauteri yang terdapat di lapisan serosa
uterus dan tumbuh ke arah rongga rongga peritoneum, mioma subserosa
dapat bertangkai yang disebut mioma pedunkularis, dan apabila terlepas
dari induknya dapat menempel pada rongga peritoneum. Mioma ini juga
dapat tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma
intra ligamentum.
Mioma intraligamentum, adalah mioma subserosa yang tumbuh
menempel pada jaringan lain, misalnya ke ligamentum atau omentum dan
kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga disebut
mondering/parasitic fibroid.
4. Etiologi
Menurut Proverawati dan Misaroh (2009), penyebab dari mioma uteri
belum diketahui secara pasti. Namun diduga ada beberapa faktor yang
berhubungan dengan pertumbuhan mioma uteri, antar lain :
1) Faktor hormonal yaitu adanya hormon estrogen dan progesteron berperan
dalam perkembangan mioma uteri. Mioma jarang timbul sebelum masa
pubertas, meningkat pada usia reproduktif dan mengalami regresi setelah
menopause. Semakin lama terpapar dengan estrogen seperti obesitas dan
menarce dini akan meningkatkan kejadian mioma uteri.
2) Faktor genetik yaitu mioma memiliki sekitar 40% kromosom yang
abnormal, yaitu adanya translokasi anatara kromosom 12 dan 14, delesi
kromosom 7 dan trisomidari kromosom 12.
3) Faktor pertumbuhan yaitu berupa protein atau polipeptida yang diproduksi
oleh sel otot polos dan fibroblas, mengontrol poliferasi sel dan merangsang
pertumbuhan dari mioma.
4) Umur yaitu kebanyakan wanita mulai didiagnosa mioma uteri pada usia
35-45 tahun.
5) Menarche dini yaitu kurang 10 tahun akan meningkatkan resiko kejadian
mioma 1,24 kali.
6) Ras yaitu wanita keturunan afrika-amerika memiliki resiko 2,9 kali lebih
besar untuk menderita mioma uteri dibandingkan dengan wanita
Caucasian.
7) Riwayat keluarga, jika memiliki riwayat keturunan yang menderita mioma
uteri akan meningkatkan resiko 2,5 kali lebih besar.
8) Berat badan, dari hasil penelitian didapatakan bahwa resiko mioma
meningkat pada wanita yang memiliki berat badan lebih atau obesitas
berdasarkan indeks masa tubuh.

5. Tanda dan Gejala


Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang
dikeluhkan sangat tergantung pada tempat sarang mioma berada (serviks,
intramural, submukus, subserus), besarnya tumor, perubahan dan komplikasi
yang terjadi (Wiknjosastro, 2008). Tanda dan gejala tersebut dapat digolongkan
sebagai berikut :
1) Perdarahan abnormal
Gangguan perdarahan yang terjadi adalah gangguan haid seperti
hipermenorea, menoragia, metroragia atau menometroragia yang
disebabkan oleh :
a. Permukaan endometrium yang lebih luas dari pada biasa
b. Atrofi endometrium di atas mioma submukosa
c. Myometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang
mioma diantara serabut myometrium, sehingga tidak dapat menjepit
pembuluh darah yang melaluinya dengan baik.
2) Rasa nyeri
Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas tetapi dapat timbul karena gangguan
sirkulasi darah pada sarang mioma yang disertai nekrosis dan peradangan.
Pada pengeluaran mioma submukosa yang akan dilahirkan dan
pertumbuhan yang menyempit pada kanalis servikalis dapat menyebabkan
disminorhoe.
3) Massa di perut bawah
Penderita mengeluhkasn adanya massa atau benjolan di perut bagian
bawah.
4) Gejala dan penekanan
Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Penekanan
pada kantung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra dapat
menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rektum dapat
menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh
limfe di panggul dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.
5) Penurunan kesuburan dan abortus
Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab penurunan kesuburan
masih belum jelas. Dilaporkan sebesar 27-40% wanita dengan mioma uteri
mengalami infertilitas. Penurunan kesuburan dapat terjadi apabila sarang
mioma menutup atau menekan pars interstisialis tuba, sedangkan mioma
submukosa dapat memudahkan terjadinya abortus karena distorsi rongga
uterus. Perubahan bentuk kavum uteri karena adanya mioma dapat
menyebabkan disfungsi reproduksi. Gangguan implantasi embrio dapat
terjadi pada keberadaan mioma akibat perubahan histologi endometrium
dimana terjadi atrofi karena kompresi massa tumor. Apabila penyebab lain
infertilitas sudah disingkirkan dan mioma merupakan penyebab infertilitas
tersebut, maka merupakan suatu indikasi dilakukan miomektomi.

6. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan karena adanya mioma uteri menurut
Wiknjosastro (2008), antara lain :
a. Degenerasi ganas
Mioma uteri menjadi leimiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6% dari
seluruh mioma, serta merupakan 50-70% dari semua sarkoma uterus.
Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus
yang telah diangkat.
b. Torsi (putaran tangkai)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan
sirkulasi akut, sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah
sindroma abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan gangguan akut
tidak terjadi. Hal ini hendaknya banyak sarang mioma dalam rongga
peritoneum.

7. Diagnosis Mioma Uteri


Menurut Manuaba (2007), diagnose mioma uteri antara lain :
a) Anamnesis
1. Timbulnya benjolan di perut bagian bawah dalam waktu yang relative
lama dan pasien merasa berat pada perut bagian bawah.
2. Kadang-kadang disertai gangguan haid, buang air kecil atau buang air
besar.
3. Nyeri perut bila terinfesi, terpluntir atau pecah.
b) Pemeriksaan fisik (pemeriksaan luar)
1. Palapasi abdomen didapatkan tumor abdomen bagian bawah.
2. Konsistensi padat, kenyal, permukaan tumor umumnya rata.
3. Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin
uterus.
c) Ultrasonografi (USG)
Penggunaan USG dalam pemeriksaan ini untuk menentukan jenis tumor,
lokasi mioma, ketebalan endometrium, apakah tumor berasal dari uterus,
ovarium atau kandung kencing untuk menentukan adanya cairan bebas di
dalam rongga abdomen dan untuk membedakan tumor ovarium padat atau
kistik. Mioma juga dapat dideteksi dengan CT Scan (Tomografi Computer)
ataupun MRI (Macnetic Resonance Imaging), tetapi kedua pemeriksaan
lebih mahal dan tidak memvisualisasi uterus sebaik USG. Histeroskopi
biasanya digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa, jika
mioma kecil serta bertangkai. Mioma tersebut sekaligus dapat diangkat.
d) Pemeriksaan Laboratorium
Digunakan untuk mengetahui kadar struktur biokimia darah. Pemeriksaan
ini dapat menunjukkan keadaan umum dan adanya penyakit lain dalam
tubuh pasien. Pemeriksaan darah meliputi hitung darah lengkap, golongan
darah dan asupan darah.

8. Penatalaksanaan Medis
Penanganan mioma uteri tergantung pada usia, paritas, lokasi dan ukuran
tumor, dan terbagi atas:
1. Penanganan konservatif
Cara penanganan konserfatif dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan
b. Monitor keadaan Hb
c. Pemeriksaan zat besi
d. Penggunaan agonis GnRH, agonis GnRH bekerja dengan menurunkan
regulasi gonadotropin yang dihasilkan oleh hipofisis anterior. Akibatnya
fungsi ovarium menghilang dan diciptakan keadaan “menoupause” yang
reversible. Tidak terdapat resiko penggunaan agonis GnRH jangka
panjang. Akan tetapi setelah pemberian dihentikan, leimioma yang
lingsut akan tumbuh kembali di bawah pengaruh estrogen dalam
konsentrasi yang tinggi. Perlu diingat bahwa penderita mioma uteri
sering mengalami menoupouse yang terlambat.
2. Operatif
a. Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma tanpa pengangkatan
rahim/ uterus. Penatalaksanaan ini paling disarankan kepada wanita
yang belum memiliki keturunan setelah penyebab lain disingkirkan
(chelmow, 2005).
b. Histerektomi
Histerektomi adalah tindakan operatif yang dilakukan untuk
mengangkat rahim, baik sebagian (subtotal) tanpa serviks uteri ataupun
seluruhnya (total) dengan serviks uteri (Wiknjosastro, 2007).
Histerektomi dapat dilakukan bila pasien tidak menginginkan anak lagi
dan pada penderita yang memiliki mioma uteri yang simptomatik atau
yang sudah bergejala.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Perioperatif


1) Fase Pre Operatif
a. Pengkajian Pre Operatif
Pengkajian pre operatif meliputi:
1. Pengkajian Umum
- Identitas pasien.
- Jenis pekerjaan.
- Persiapan umum (inform consent, formulir checklist).
2. Riwayat Kesehatan
- Riwayat alergi.
- Kebiasaan merokok, alkohol, narkoba.
- Pengkajian nyeri.(PQRST).
3. Pengkajian Psikososiospiritual
- Kecemasan pra operatif.
- Perasaan.
- Konsep diri, citra diri.
- Sumber koping.
- Kepercayaan spiritual.
- Pengetahuan, persepsi, dan pemahaman.
4. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum dan tanda- tanda vital.
- Pengkajian tingkat kesadaran.
5. Pengkajian Diagnostik
- Pemeriksaan darah lengkap.
-Analisis elektrolit serum, koagulasi, kreatinin serum, dan urinalisis.
- Pemeriksaan skrining tambahan apabila usia di atas 40 tahun, atau
pasien yang mempunyai riwayat penyakit jantung, maka
diperlukan pemeriksaan foto dada, EKG atau pemeriksaan yang
lainnya sesuai dengan kebutuhan diagnosis pra bedah.
b. Diagnosis Perawatan Pre Operatif
1) Kecemasan berhubungan dengan suasana menjelang pembedahan.
2) Risiko tinggi injury berhubungan dengan transfer dan transport
pasien ke branchart/ meja operasi.
3) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan.
c. Rencana Intervensi Pre Operatif dan Kriteria Evaluasi
1) Diagnosa 1
Kecemasan berhubungan dengan suasana menjelang pembedahan
Tujuan :
 Dalam waktu 1 x 24 jam kecemasan pasien hilang/berkurang
Kriteria evaluasi :
 Pasien melaporkan kecemasan menurun sampai tingkat yang
dapat ditangani
Intervensi:
(1) Mandiri : saat pasien masuk ruang sementara sambut dan
panggil namanya.
(2) Beri lingkungan yang tenang, jangan bicara tentang
pembedahan
(3) Orientasikan pasien terhadap prosedur pra-induksi dan aktivitas
yang diharapkan
(4) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan kecemasannya
(5) Kolaborasi berikan obat anti cemas sesuai indikasi
2) Diagnosa 2
Resiko tinggi injury berhubungan dengan transfer dan trasport
pasien ke branchart/meja operasi
Tujuan :
 Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi injury pada pasien
Kriteria Evaluasi :
 Persiapan pra bedah terlaksana dengan optimal
Intervensi:
(1) Bantu pasien berpindah dari branchart ke kursi roda kamar
operasi
(2) Angkat pasien dari branchart ke meja operasi dengan 3 orang
(3) Dorong pasien ke ruang tindakan dengan hati-hati
3) Diagnosa 3
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya infoemasi
tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
Tujuan :
 Dalam waktu 1 x 24 jam pemahaman pasien terhadap informasi
terpenuhi
Kriteria evaluasi:
 Adanya saling pengertian tentang prosedur pembedahan dan
penanganannya, pasien berpartisipasi dalam program
penanganan.
Intervensi:
(1) Dorong pasien mengekspresikan pikiran, perasaan dan
pandangan dirinya
(2) Dorong pasien untuk bertanya mengenai masalah penanganan,
perkembangan dan prognosa kesehatan
(3) Berikan informasi yang dapat dipercaya dan diperkuat dengan
informasi yang diberikan
2) Fase Intra Operatif
a. Pengkajian Intra Operatif
Pengkajian keperawatan yang dilakukan selama tahap intra operatif
meliputi 4 hal, yaitu:
1) Safety manajemen
2) Pengaturan posisi pasien
3) Monitoring fisiologis
a) Melakukan balance cairan (intake output).
b) Memantau kondisi cardio pulmunal (fungsi pernapasan, pulse,
TD, saturasi oksigen, perdarahan).
4) Monitoring psikologis (bila pasien dalam keadaan sadar)
a) Memberi dukungan emosional kepada pasien.
b) Mengkaji status emosional pasien dan mengkomunikasikannya
kepada tim bedah bila terjadi adanya suatu perubahan yang
tidak diharapkan.
(Baradero, Mary, 2008).
b. Diagnosis Perawatan Intra Operatif
1) Resiko tinggi cedera intra operatif berhubungan dengan pengaturan
posisi bedah dan prosedur invasif bedah.
2) Resiko infeksi intra operatif berhubungan dengan adanya port de
entree prosedur bedah.
c. Rencana Intervensi
1) Diagnosa I
Resiko tinggi cidera intra operatif berhubungan dengan pengaturan
posisi bedah dan prosedur invansif bedah
Tujuan :
Resiko cidera intra operatif sekunder pengaturan posisi bedah tidak
terjadi
Kriteria evaluasi :
- Selama intra operatif tidak terjadi gangguan hemodinamik
- Penghitungan sponges dan instrumen sesuai dengan jumlah
yang dikeluarkan
- Pasca operasi tidak ditemukan cedera tekan dan cedera listrik
Intervensi:
(1) Kaji ulang identitas pasien
(2) Siapkan kamar bedah sesuai dengan jenis pembedahan pasien
(3) Siapkan sarana pendukung pembedahan
(4) Siapkan alat hemostasis dan cadangan dalam kondisi siap pakai
(5) Lakukan pemasangan katheter dengan tehnik steril
(6) Lakukan pengaturan posisi bedah
(7) Bantu ahli bedah pada saat memulai insisi, melakukan
intervensi hemostasis, membuka jaringan lapis demi
lapis,lakukan penghisapan bila diperlukan, dan bantu ahli bedah
pada saat akses bedah tercapai sesuai dengan tujuan
pembedahan yang dilakukan sampai menutup jaringan
2) Diagnosa 2
Resiko infeksi intra operatif berhubungan dengan adanya port de
antry prosedur bedah.
Tujuan :
Optimalisasi tindakan asepsis dapat dilaksanakan selama
prosedurbedah
Kriteria evaluasi ;
Luka pasca operasi tertutup rapi dengan kasa steril
Intervensi:
(1) Siapkan sarana scrub
(2) Siapkan instrumen sesuai dengan jenis pembedahan
(3) Lakukan manajemen asepsis pra bedah
(4) Lakukan manajemen asepsis intra operatif
(5) Lakukan penutupan luka pembedahan
3) Fase Post Operatif
a. Pengkajian
Pedoman Pengkajian Post Operatif.
Pengkajian Implikasi dan Hasil Pengkajian
Pengkajian Pengkajian awal post operatif adalah sebagai berikut:
Awal  Diagnosis medis dan jenis pembedahan yang
dilakukan.
 Usia dan kondisi umum pasien, kepatenan jalan napas,
TTV.
 Anesthesi dan medikasi lain yang digunakan.
 Semua masalah yang terjadi di ruang operasi yang
mungkin mempengaruhi perawatan post operatif (henti
jantung, perdarahan, syok).
 Cairan yang diberikan, kehilangan,penggantian.
 Segala selang, drain, katheter atau alat bantu
pendukung lainnya.
 Informasi spesifik tentang siapa ahli bedahatau ahli
anesthesi yang akan diberitau.
Sistem Kontrol Pernapasan
Pernapasan  Obat anesthesi tertentu dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Perawat perlu waspada pernapasan yang
dangkal dan lemah.
 Perawat mengkaji frekuensi, irama, kedalaman
pernapasan, kesimetrisan gerakan dinding dada, bunyi
napas, warna membran mukosa.
 Kepatenan Jalan Napas
 Oral airway masih dipasang untuk mempertahankan
kepatenan jalan napas sampai tercapai pernapasan
yang nyaman dengan kecepatan normal.
 Salah satu kekhawatiran perawat adalah obstruksi jalan
napas akibat aspirasi muntah, akumulasi sekresi
mukosa di faring, atau spasme faring.

Sistem
Sirkulasi
Pengkajian Implikasi dan Hasil Pengkajian
 Respon Perdarahan post Operatif
 Masalah sirkulasi yang sering terjadi adalah
perdarahan.
 Perdarahan dapat mengakibatkan turunnya TD,
meningkatnya denyut jantung dan pernapasan, pulse
lemah, kulit dingin, pucat dan gelisah.
 Perawat harus selalu waspada dengan drainage di
bawah tubuh pasien.

Kontrol  Lingkungan ruang operasi dan ruang pemulihan sangat


Suhu dingin.
 Ukur suhu tubuh pasien dan berikan selimut hangat.
Menggigil mungkin disebabkan oleh pengaruh obat
anesthesi tertentu.

Status  Bersamaan dengan hilangnya efek anesthesi maka


Neurologi refleks, kekuatan otot dan tingkat orientasi pasien akan
kembali normal.
 Perawat mengkaji tingkat kesadaran pasien (berespon,
bingung, atau disorientasi).
 Perawat dapat memeriksa pupil, reflek muntah.
 Kaji tingkat respon sensibilitas dengan
membandingkan peta dermatom untuk menilai
kembalinya fungsi sensasi taktil.
 Jelaskan bahwa pembedahan telah selesai dan beri
gambaran tentang prosedur dan tindakan perawatan di
ruang pulih sadar.

Respon  Nyeri mulai terasa sebelum kesadaran pasien kembali


Nyeri penuh. Nyeri akut akibat insisi menyebabkan pasien
gelisah TTV berubah.
 Skala nyeri merupakan metode efektif untuk mengkaji
nyeri post operatif, digunakan sebagai dasar bagi
perawat untuk mengevaluasi efektivitas intervensi
selama pemulihan.

Genitourinari  Dalam waktu 6-8 jam setelah anesthesi pasien akan


mendapatkan kontrol fungsi berkemih secara volunter.
 Kandung kemih yang penuh menyebabkan nyeri.
 Bila telah terpasang katheter sedikitnya harus
2cc/kgBB/jam untuk dewasa dan 1cc/kgBB/jam untuk
anak- anak.
 Observasi warna dan bau urine.
 Pembedahan yang melibatkan saluran perkemihan
akan menyebabkan urine mengandung darah ± selama
12-24 jam setelah pembedahan.
Sistem  Anesthesi memperlambat motilitas usus dan
Gastrointes- menyebabkan mual.
Tinal  Kaji adanya distensi abdomen yang mungkin terjadi
akibat akumulasi gas, perdarahan internal.

Keseimba-ngan  Kaji status hidrasi, monitor fungsi jantung dan


cairan dan neurologi untuk melihat adanya perubahan elektrolit.
elektrolit  Satu- satunya sumber asupan cairan untuk pasien
segera setelah pembedahan adalah melalui infus. Jaga
kepatenan infus IV.
 Catatan intake output berguna membantu proses
pengkajian fungsi ginjal dan sirkulasi.
Integritas Kulit,  Kaji kondisi kulit pasien, melihat adanya kemerahan,
Kondisi Luka, ptekie, abrasi atau luka bakar.
dan Drainage  Kemerahan menunjukkan adanya sensitivitas terhadap
obat atau alergi.
 Abrasi dan ptekie dapat terjadi karena posisi yang
kurang tepat atau pengikatan yang menyebabkan
cedera pada lapisan kulit.
 Luka bakar menunjukkan bahwa bantalan arde couter
listrik tidak terpasang dengan benar.
 Observasi jumlah, warna, bau, dan konsistensi
drainage.

(Sumber: Arif Muttaqin, 2008)


Di bawah ini merupakan petunjuk perawatan/ observasi di ruang pemulihan:
1) Pasien dengan general anesthesi posisi kepala lebih rendah dan
dimiringkan. Pada pasien dengan anesthesi regional posisi semi fowler.
2) Pasang pangaman pada tempat tidur.
3) Monitor TTV setiap 15 menit.
4) Penghisapan lendir pada mulut dan trachea.
5) Beri oksigen 2-3 liter sesuai program.
6) Observasi adanya muntah.
7) Catat intake output cairan.

Beberapa petunjuk tentang keadaan yang memungkinkan terjadinya situasi


krisis:
a) Tekanan sistolik < 90-100mmHg atau > 150-160mmHg; diastolik
<50mmHg atau >90mmHg.
b) HR < 60 kali/ menit.
c) Suhu > 38.3 C atau kurang dari 35 C.
d) Meningkatnya kegelishan pasien.
e) Tidak BAK selama 8 jam setelah operasi.

Kriteria pemulangan dari ruang pemulihan:


a) Pasien harus pulih dari efek anesthesi.
b) TTV stabil.
c) Tidak ada drainage yang berlebihan dari tubuh.
d) Efek fisiologis dari pembiusan harus stabil.
e) Pasien harus sudah sadar dalam tingkat yang sempurna.
f) Urine yang keluar harus adekuat (pengeluaran harus dicatat).
g) Semua pesan post operasi harus sudah ditulis dan dibawa ke masing-
masing bangsal.
h) Jika keadaan pasien membaik, pernyataan persetujuan harus dibuat untuk
kehadiran pasien tersebut oleh seorang perawat khusus yang bertugas
pada unit pasien akan dipindahkan.
i) Staf dari unit di mana pasien harus dipindahkan, perlu menyiapkan dan
menerima pasien tersebut.

b. Diagnosis Perawatan Post Operatif


1) Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
kontrol pernapasan efek sekunder anesthesi.
2) Nyeri berhubungan dengan cedera jaringan lunak, kerusakan
neurovaskular pasca bedah.
c. Rencana Intervensi
1) Diagnosa 1
Resiko tinggi pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
kontrol pernafasan efek sekunder anestesi
Tujuan :
Mengefektifkan jalan nafas, mempertahankan ventilasi pulmonal,
mencegah hypoksemia ( penurunan kadar oksigen dalam darah) dan
hypercapnea ( kelebihan karbondioksida dalam darah )
Kriteria Evaluasi:
- Frekwensi pernafasan dalam batas normal
- Pasien tidak menggunakan alat bantu nafas
- Tidak terdengar suara nafas tambahan
- Oral airway dapat dilepas tanpa komplikasi
Intervensi:
(1) Atur tempat pasien dekat dengan akses oksigen dan suction
(2) Kaji dan observasi jalan nafas
(3) Pertahankan kepatenan jalan nafas
(4) Atur posisi kepala untuk mempertahankan jalan nafas
(5) Berikan oksigen 3 liter /menit atau sesuai indikasi
(6) Bersihkan sekret pada jalan nafas

2) Diagnosa 2
Nyeri berhubungan dengan cidera jaringan lunak, kerusakan
neurovaskuler pasca bedah
Tujuan :
Dalam waktu 1 x 24 jam rasan yeri teratasi
Kriteria evaluasi :
TTV dalam batas normal
Nyeri pada tingkat 0 atau 1 dari skala 0-4
Intervensi:
(1) Kaji tanda nyeri verbal/nonverbal, catat lokasi, intensitas ( skala
0-10 dan lama nyeri
(2) Letakan pasien dalam posisi semifowler. Sokong kepala/leher
dengan bantal pasir
(3) Ajarkan tehnik relaksasi dan dekstraksi
(4) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgetik
DAFTAR PUSTAKA

1. Gruendemann, BJ dan Fernsebner, B. 2006. Buku ajar Keperawatan


Perioperatif Volume 2:Praktik. Jakarta: EGC.
2. Manuaba I. A. C., I. B. G. Fajar M., dan I. B. G. Manuaba. 2012, Ilmu
Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan Edisi 2.
Jakarta: EGC.
3. Muttaqin, A. Dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Perioperatif. Banjarmasin.
4. Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta.
5. Proverawati dan Misaroh. 2009. Menarche Menstruasi Pertama Penuh
Makna.Yogyakarta: Nuha Medika.
6. Wiknjosastro, H. 2009. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4 Cetakan ke-2. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
7. Wim de Jong dan Sjamsuhidayat. 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai