Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
Intraserebral hematoma (ICH) adalah perdarahan di dalam parenkim otak.
ICH adalah suatu kegawatdaruratan medis yang membutuhkan penanganan segera
dan berpotensi menyebabkan kematian. ICH dapat terjadi secara spontan atau non
traumatik dan menimbulkan gejala stroke hemoragik maupun bersifat traumatik.1

Stroke adalah defisit neurologis penyebab disabilitas terbanyak di dunia.


Menurut European Stroke Initiative dan American Heart Association, stroke adalah
penyebab kematian ketiga di negara maju setelah penyakit kardiovaskular dan
keganasan.2 ICH non traumatik mencakup sekitar 10-15% kejadian stroke di Eropa,
Amerika Serikat dan Australia. Sementara di Asia, angka tersebut dapat mencapai
sekitar 20 hingga 30%. Insidens global ICH bervariasi antara 10 hingga 20 kasus per
100.000 penduduk dan ikut meningkat seiring bertambahnya usia. ICH lebih sering
terjadi pada laki-kaki dibandingkan perempuan, terutama mereke yang berusia 55
tahun ke atas.3 Selain stroke hemoragik, ICH juga dapat dsisebabkan oleh trauma
maupun operasi kepala. Trauma kepala dapat menyebabkan baik perdarahan
ekstraserebral (epidural, subaraknoid maupun subdural) maupun perdarahan
parenkim (ICH) dan diffuse axonal injury akibat kontusio parenkim otak.1

ICH non traumatik dapat diklasifikasikan menjadi ICH primer maupun


sekunder, bergantung pada penyebab terjadinya perdarahan. ICH primer adalah yang
paling sering ditemukan (78-88% kasus) dan terutama disebabkan akibat hipertensi
kronik maupun angiopati amyloid. ICH sekunder lebih jarang ditemukan, dan
umumnya disebabkan oleh kelainan pembuluh darah (aneurisma dan malformasi
arteriovenosa), gangguan koagulasi dan tumor.3

Sekitar setengah kasus kematian pada ICH terjadi 24 jam setelah perdarahan
utama. Dikarenakan angka kematian dari ICH yang cukup tinggi, diagnosis dan
penatalaksanaan harus dilaksanakan dengan cepat dan tepat. Penatalaksanaan yang
tepat pasien dengan kecurigaan klinis ICH sangatlah ditentukan oleh hasil

1
pemeriksaan radiologis dan modalitas pencitraan yang digunakan. Dengan demikian,
laporan kasus ini akan membahas mengenai pemeriksaan radiologis pada pasien
dengan ICH non traumatik akibat stroke hemoragik di RSUP Prof RD Kandou
Manado.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Otak


Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak dan terdiri dari belahan kanan dan
kiri.Ini melakukan fungsi yang lebih tinggi seperti menafsirkan sentuhan,
penglihatan dan pendengaran, serta pidato, penalaran, emosi, belajar, dan kontrol
baik dari gerakan.Cerebellum terletak di bawah otak besar.Fungsinya adalah
untuk mengkoordinasikan gerakan otot, menjaga postur tubuh, dan
keseimbangan.Batang otak termasuk otak tengah, pons, dan medula. Ini bertindak
sebagai pusat estafet menghubungkan otak dan cerebellum ke sumsum tulang
belakang.Ia melakukan banyak fungsi otomatis seperti bernapas, denyut jantung,
suhu tubuh, bangun dan tidur siklus, pencernaan, bersin, batuk, muntah, dan
menelan. Sepuluh dari dua belas saraf kranial berasal di batang otak.4

Gambar. Otak terdiri dari tiga bagian: batang otak, cerebrum, dan cerebelum.
Cerebrum dibagi menjadi empat lobus: frontal, parietal, temporal dan
oksipital.4

3
B. Anatomi dan Fisiologi Sirkulasi Darah Otak
Suplai darah serebral berasal dari dua arteri utama yaitu sistem arteri karotis
interna dan sistem vertebrobasiler. Dua pertiga depan kedua belahan otak
(sirkulasi anterior) dan struktur subkortikal mendapat darah dari sepasang arteri
karotis interna, sedangkan 1/3 bagian belakang (sirkulasi posterior) yang meliputi
serebelum, korteks oksipital bagian posterior dan batang otak, memperoleh darah
dari sepasang arteri vertebralis kanan dan kiri yang kemudian bersatu menjadi
arteri basilaris (sistem vertebrobasiler).5
Arteri karotis interna pada kedua sisi menghantarkan darah ke otak melalui
percabangan utamanya, arteri serebri media dan arteri serebri anterior serta arteri
khoroidalis anterior. Kedua arteri vertebralis bergabung di garis tengah pada batas
kaudal pons untuk membentuk arteri basilaris, yang menghantarkan darah ke
batang otak dan serebelum, serta sebagian hemisfer serebri melalui cabang
terminalnya, arteri serebri posterior. Sirkulasi anterior dan posterior berhubungan
satu dengan lainnya melalui sirkulus arteriosus Willisi. Sirkulus ini merupakan
lingkaran terutup dan berada di dasar hipotalamus dan khiasma optikum. Sirkulus
ini, mempunyai salah cabang yang menjadi arteri perforata.6
Terdapat pula banyak hubungan anastomosis lain di antara arteri-arteri yang
mendarahi otak, dan antara sirkulasi intrakranial dan ekstrakranial; sehingga
oklusi pada sebuah pembuluh darah besar tidak selalu menimbulkan stroke karena
jaringan otak di bagian distal oklusi mungkin mendapatkan perfusi yang adekuat
dari pembuluh darah kolateral.5

4
Gambar 2.1 Jalur ekstrakranial arteri utama yang menyuplai otak4

Arteri serebri anterior berjalan melalui bagian medial atas dari khiasma
optikum dan selanjutnya terletak di fisura longitudinalis dan parietalis, baik untuk
korteks sensorik maupun motorik. Arteri serebri anterior kiri berhubungan dengan
arteri serebri anterior kanan melalui arteri komunikans anterior yang merupakan
bagian sirkulus arteriosus Willisi.5
Arteri serebri media yang merupakan arteri terbesar, terbagi dan bercabang
untuk memasok darah sebagian besar daerah permukaan lobus frontalis, parietalis,
dan temporalis termasuk korteks motorik, korteks sensorik, insula dan korteks
auditorik.5
Arteri vertebralis mempercabangkan arteri spinalis posterior, arteri spinalis
anterior yang memperdarahi medulla spinalis, dan arteri serebelaris posterior
inferior yang menyuplai bagian inferior serebelum sebelum bersatu menjadi arteri
basilaris. Cabang-cabang arteri basilaris adalah cabang kecil di pons dan arteri
serbelaris anterior inferior yang memperdarahi bagian inferior dan anterior
serebelum. Cabang akhir dan merupakan cabang utama arteri basilari adalah arteri
serberi posterior yang memperdarahi lobus oksipitalis termasuk korteks visual

5
dan cabang arteri serebelaris superior yang memperdarahi bagian superior
serebelum.5
Darah vena otak mengalir dari vena profunda serebri dan vena superfisialis
serebri menuju sinus venosus dura mater, dan dari sini menuju ke vena jugularis
interna kedua sisi.6

Gambar 2.2 Arteri pada basis kranii6

C. Definisi
Perdarahan intraserebral (ICH) menunjukkan perdarahan parenkimal yang
dapat meluas ke ruang ventrikel, bahkan ke ruang subaraknoid (meskipun jarang).
ICH dapat diklasifikasikan menjadi ICH primer maupun sekunder, bergantung
pada penyebab terjadinya perdarahan. ICH primer adalah yang paling sering
ditemukan (78-88% kasus) dan terutama disebabkan akibat hipertensi kronik
maupun angiopati amyloid. ICH sekunder lebih jarang ditemukan, dan umumnya

6
disebabkan oleh kelainan pembuluh darah (aneurisma dan malformasi
arteriovenosa), gangguan koagulasi dan tumor.

D. Klasifikasi, Etiologi dan Faktor Risiko


Tabel. Klasifikasi ICH

Penyebab Karakteristik/Sifat
ICH Primer
 Vaskulopati hipertensif Perdarahan di daerah striatum, thalamus,
serebelum maupun batang otak akibat
rupture arteriol
 Angiopati amiloid Deposisi amyloid A-beta pada tunika
media dan adventitia pembuluh darah
(sering berhubungan dengan ICH lobar
rekuren)
ICH sekunder
 Malformasi vaskular Rupture pembuluh darah kecil abnormal
 Malformasi arteriovena Risiko tinggi ICH rekuren dapat
- Fistula dural arteriovena dikurangi dengan reseksi bedah,
- Angioma kavernosa embolisasi endovascular maupun
- Angioma venosa pembedahan stereotaktik
 Aneurisma intrakranial Rupture dilatasi sakuler arteri berukuran
sedang
 Thrombosis sinus venosus serebral Akibat infark vena hemoragik
 Tumor otak Akibat nekrosis dan perdarahan dalam
parenkim tumor
 Koagulopati Akibat penggunaan antikoagulan
maupun trombolitik, trombositopenia,
hemophilia, KID
 Stroke iskemik dengan Akibat kerusakan iskemik sawar darah
transformasi hemoragik otak
 Penggunaan obat simpatomimetik
dan alkohol
 Traumatik

Sejumlah faktor risiko dapat menyebabkan ICH: hipertensi (faktor risiko


utama yang paling sering), angiopati amyloid serebral, riwayat penggunaan
antikoagulan, intake alkohol berlebihan, dan faktor risiko lainnya seperti kadar
kolesterol serum dan sejumlah faktor genetis lainnya.3

7
Suatu ICH non traumatik akut teridentifikasi sebagai daeah hiperdens
intraaksial yang berlokasi terutama pada ganglia basalis, serebelum ataupun lobus
oksipital.7 Mayoritas ICH akibat hipertensi terjadi pada atau berdekatan dengan
percabangan small penetrating artery yang berasal dari arteri basilaris, arteri
serebri anterior, media maupun posterior. Sejumlah lesi rupture dapat ditemukan
pada percabangan pembuluh darah kecil berdiameter 50-700 μm, dimana
beberapa lesi rupture tersebut disertai dengan lapisan agregat fibrin dan trombosit.
Lesi ini menyebabkan kerusakan lamina elastika, atrofi dan fragmentasi otot polos
pembuluh darah, diseksidan degenerasi sel vesikuler maupun granuler.3,7
Pada pasien lansia dengan ICH, terutama dengan perdarahan lobaris, dan
tanpa adanya riwayat hipertensi sebelumnya, maka angiopati amyloid dapat
dipertimbangkan sebagai penyebab ICH. Angiopati amyloid serebral ditandai oleh
adanya deposisi peptide amyloid-A dan perubahan degeneratif kapiler, arteriol
maupun pembuluh darah kecil, leptomeningen dan serebelum.3
ICH non-traumatik yang berlokasi di korteks harus dipertimbangkan
penyebab selain hipertensi. Begitu juga pasien ICH non traumatik yang berusia di
bawah 50 tahun harus dicari kemungkinan penyebab lain seperti neoplasma
ataupun malformasi vascular.7

E. Epidemiologi
ICH non traumatik mencakup sekitar 10-15% kejadian stroke di Eropa,
Amerika Serikat dan Australia. Sementara di Asia, angka tersebut dapat mencapai
sekitar 20 hingga 30%. Insidens global ICH bervariasi antara 10 hingga 20 kasus
per 100.000 penduduk dan ikut meningkat seiring bertambahnya usia. ICH lebih
sering terjadi pada laki-kaki dibandingkan perempuan, terutama mereke yang
berusia 55 tahun ke atas.3 Selain stroke hemoragik, ICH juga dapat dsisebabkan
oleh trauma maupun operasi kepala. Trauma kepala dapat menyebabkan baik
perdarahan ekstraserebral (epidural, subaraknoid maupun subdural) maupun
perdarahan parenkim (ICH) dan diffuse axonal injury akibat kontusio parenkim
otak.1

8
ICH primer adalah yang paling sering ditemukan (78-88% kasus) dan
terutama disebabkan akibat hipertensi kronik maupun angiopati amyloid. ICH
sekunder lebih jarang ditemukan, dan umumnya disebabkan oleh kelainan
pembuluh darah (aneurisma dan malformasi arteriovenosa), gangguan koagulasi
dan tumor.3 Perdarahan intraserebral (ICH) sekunder akibat hipertensi memiliki
tingkat mortalitas yang cukup tinggi yaitu sebesar 30-50%.7

F. Patogenesis
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi
atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intrakranial
yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intrakranial yang tidak
dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial
(TIK) yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul
kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang
subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan
penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak
ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.8

G. Manifestasi Klinis
Penurunan kesadaran biasanya terjadi pada pasien dengan hematoma
berukuran besar yang menunjukkan adanya peningkatan tekanan intracranial dan
efek penekanan langsung pada reticular activating system di thalamus dan batang
otak.3,8
Pada kasus ICH supratentorial yang melibatkan putamen, nucleus kaudatus
dan thalamus dapat terjadi deficit sensorimotorik akibat keterlibatan kapsula
interna. Gangguan fungsi kortikal luhur seperti afasia, neglect, deviation
conjugee, dan hemianopia dapat terjadi akibat disrupsi serabut saraf penghubung
pada substansia alba subkortikal maupun supresi fungsional korteks serebri yang
terkena. Pada kasus ICH infratentorial, tanda-tanda disfungsi batang otak dapat
terjadi seperti gangguan pergerakan otot ekstraokuler, kelumpuhan saraf kranialis

9
maupun deficit motoric kontralateral. Adanya ataksia, nistagmus dan dismetria
menunjukkan adanya ICH pada serebelum. Gejala non spesifik lainnya mencakup
nyeri kepala dan muntah proyektil disebabkan karena peningkatan tekanan
intracranial. Meningismus dan tanda iritasi meningen terjadi akibat adanya
perdarahan intraventrikel.2,3
Satu dari empat pasien dengan ICH yang pada awalnya sadar, rentan
mengalami perburukan klinis akibat penurunan kesadaran dalam waktu 24 jam
pertama setelah onset perdarahan dimulai. Adanya hematoma berukuran besar
dan perdarahan intraventrikuler meningkatkan risiko perburukan dan kematian.
Penyebab tersering perburukan klinis pasien ICH dalam tiga jam pertama setelah
onset perdarahan adalah ekspansi ukuran hematoma. Selain itu, adanya edema
serebri penyerta juga dapat memperburuk keadaan klinis dalam 24 hingga 48 jam
pertama.3

H. Diagnosis
Pasien dengan kecurigaan klinis stroke yang datang ke unit gawat darurat
harus segera menjalani pemeriksaan CT-scan atau MRI setelah keadaan umum
pasien stabil untuk membedakan stroke iskemik dari ICH. CT scan dan atau MRI
serial biasanya dilakukan pada pasien ICH untuk mengevaluasi ekspansi ukuran
hematom dan efek massa yang terjadi akibat edema perihematom.3,7
MRI dengan gradient echo dapat mendeteksi ICH hiperakut sehingga lebih
akurat dalam mendeteksi adanya perdarahan dengan volume sedikit
(microhemorrhage), meskipun di satu sisi pemeriksaan MRI lebih memakan
waktu dan pasien harus kooperatif selama pemeriksaan. Oleh karena itu
kebanyakan rumah sakit menggunakan CT scan sebagai modalitas awal
pemeriksaan pasien dengan kecurigaan klinis ICH.3
Dalam menentukan etiologi ICH, modalitas pencitraan awal sangatlah
penting. Perdarahan pada ganglia basalis seperti putamen dan thalamus, maupun
pons dan serebelum, lebih sering disebabkan oleh karena hipertensi. Sementara,
perdarahan di daerah lobar dekat permukaan otak biasanya disebabkan oleh

10
karena malformasi vaskuler maupun angiopati amyloid. Pencitraan pasien ICH
juga dapat mengidentifikasi adanya hidrosefalus atau tanda-tanda lain
peningkatan tekanan intracranial yang membutuhkan penatalaksanaan segera.1,3
Pemeriksaan pasien ICH juga harus berfokus dalam menyingkirkan
kemungkinan penyebab ICH lainnya. Pemeriksaan fisik untuk melihat tanda-
tanda trauma kepala, seperti laserasi dan fraktur. Selain itu, pemeriksaan tanda
vital terutama tekanan darah membutuhkan penatalaksaan komprehensif.
Pemeriksaan laboratorium juga dibutuhkan untuk menyingkirkan kemungkinan
koagulopati sistemik. Urinalisis dan pemeriksaan toksikologi urin mungkin
berperan dalam menyingkirkan kasus ICH yang berkaitan dengan
penyalahgunaan kokain maupun amfetamin.3

I. Pemeriksaan Radiologis ICH


Pemeriksaan radiologis pasien dengan kecurigaan klinis ICH sangat penting
dalam menentukan penatalaksanaan yang tepat. Di banyak rumah sakit, evaluasi
radiologis pasien dengan ICH non traumatik biasanya rutin menggunakan CT-
scan, yang merupakan modalitas terbaik untuk memperlihatkan suatu perdarahan
akut.1

Pemeriksaan CT Scan
CT scan dapat membedakan stroke hemoragik dan stroke iskemik, mampu
menentukan ukuran dan lokasi perdarahan, dapat memperlihatkan penyebab
perdarahan akibat aneurisma, malformasi arteriovenosa maupun tumor otak, serta
komplikasi terkait perdarahan seperti herniasi, perdarahan intraventrikular (IVH)
dan hidrosefalus.9 Perdarahan yang dalam dan luas dapat bocor ke ventrikel
membentuk suatu hematom, yang terlihat seperti suatu blood-fluid level pada
kornu oksipital, yang dapat berubah posisinya bergantung posisi pasien.10
ICH biasanya dapat dengan mudah terdeteksi pada CT-scan, sebagai suatu lesi
hiperdens. Meskipun terkadang, perubahan iskemik yang hiperakut belum terlihat
pada CT scan dan dapat ikut terlewatkan, terutama pada beberapa jam setelah

11
serangan atau ketika ukuran infark terlalu kecil maupun ketika infark serebri
berlokasi di batang otak.3 ICH biasanya dapat dengan mudah terdeteksi pada CT-
scan, sebagai suatu lesi hiperdens. Lesi kalsifikasi maupun bahan berprotein
tinggi maupun tumor dapat menunjukkan densitas yang menyerupai bekuan
darah.10
Menurut tampilan radiologis, perdarahan intraserebral dibagi lagi menjadi
beberapa fase secara kronologis:11
a. Hiperakut terjadi dalam waktu <12 jam sejak onset gejala awal. Pada fase ini
terjadi rupture pembuluh darah menyebabkan akumulasi sel darah merah
pada ruang interstitial. Sel darah merah yang intak mengandung hemoglobin
teroksigenasi (besi dalam hemoglobin berada dalam bentuk Fe2+)
b. Akut terjadi dalam waktu 12 hingga <72 jam. Pada fase ini sel darah merah
memberikan oksigen yang diangkutnya ke jaringan sekitar, SDM mulai
terdesaturasi, dan oksihemoglobin diubah menjadi deoksihemoglobin (besi
dalam hemoglobin berada dalam bentuk Fe2+).
c. Subakut awal, terjadi dalam waktu 3 hari hingga <7 hari dimana protein
intraseluler seperti hemoglobin mulai teroksidasi, Fe2+ dalam hemoglobin
berubah menjadi bentuk Fe3+ yang teroksidasi.
d. Subakut lambat, terjadi dalam waktu 7 hari hingga 1 bulan dimana cadangan
glukosa SDM mulai terpakai menyebabkan kerusakan SDM. Sel yang lisis
menyebabkan ekstravasasi methemoglobin (besi dalam hemoglobin berada
dalam bentuk Fe3+)
e. Kronis, berlangsung >1 bulan sejak onset gejala awal. Pada fase ini,
hemoglobin ekstraseluler dioksidasi oleh hemikrom menjadi hemosiderin
yang kemudian difagosit dan terakumulasi dalam lisosom makrofag (besi
dalam hemoglobin berada dalam bentuk Fe3+).

12
Gambar. Stadium perdarahan intraserebral pada CT-Scan
berdasarkan waktu.

Pada CT-scan, tampilan perdarahan intraserebral secara kronologis dapat terlihat


sebagai berikut:11
a. Hiperakut: perdarahan memiliki tampilan densitas antara 45-60 HU (masih
menyerupai area parenkim otak yang normal)
b. Akut dan subakut awal: peningkatan densitas hematom (80 HU) dikelilingi
area edema
c. Subakut lambat : densitas hematom menjadi isodense menyerupai area
parenkim otak normal
d. Kronik: hematom tampak hipodens disertai atroi parenkim sekitar dan
ventrikulomegali

Setelah beberapa hari, hematoma yang tidak diterapi densitasnya akan


berkurang, biasanya dimulai dari perifer ke sentral dan akan tampak mengecil.
Waktunya bergantung pada ukuran bekuan darah. Setelah beberapa minggu,

13
bekuan darah akan tampak hipodens dan berangsur-angsur diserap meninggalkan
suatu kavitas fokal ataupun area yang atrofi.10

Gambar. Aplikasi rumus ABC/2 dalam menghitung volume perdarahan


intraserebral (ICH)

Volume ICH dapat menjadi prediktor kuat morbiditas dan mortalitas penderita.
Menurut Broderick et al, pasien dengan volume hematoma >60 cc memiliki
tingkat mortalitas 90% dalam satu bulan pertama.12 Pemeriksaan radiologi
perdarahan intracranial di unit gawat darurat biasanya hanya terbatas pada
potongan aksial saja. Metode sederhana untuk penghitungan cepat volume
perdarahan intracranial dari gambaran CT-scan multiplanar sangat penting
dilakukan.13
Sejak tahun 1980-an, telah digunakan rumus ellipsoid yang sudah
disederhanakan yaitu ABC/2 untuk penghitungan volume ICH.13 Penghitungan
volume hematoma ddimulai dengan memilh area hematoma dengan ukuran
terbesar. Nilai A menunjukkan diameter hematoma terbesar, sementara Nilai B
merujuk pada garis yang tegak lurus dengan A; sementara C adalah jumlah
ketebalan slice yang mengandung perdarahan. Untuk jumlah ketebalan slice (C),
suatu slice dieksluksi apabila ukuran hematoma <25% ukuran hematoma terbesar.
Nilai A, B dan C kemudian saling dikalikan, kemudian hasilnya dibagi dua dan
dituliskan dalam satuan cm3.14

14
Pemeriksaan Angiografi
Indikasi angiografi pada ICH ditentukan oleh faktor klinis maupun hasil
pencitraan. Misalnya, ICH yang terjadi pada pasien muda dan normotensif
mungkin dapat dilakukan angiografi karena kecurigaan adanya malformasi
arteriovenous. Angiografi juga bermanfaat pada ICH akibat penyalahgunaan
narkotika seperti kokain dan amfetamin. Waktu pelaksanaan angiografi
bergantung ukuran dan efek massa hematoma.10

Gambaran CT kepala tanpa kontras (A) menunjukkan lesi hiperdens berukuran besar
berlokasi pada ganglia basalis kanan. Gambaran CT angiografi pada fase arterial
menunjukkan suatu area ekstravasasi kontras di dalam hematoma (“spot sign”) yang
terpisah dari pembuluh darah sekitar (B). Fase lambat CTA menunjukkan pooling
kontras di dalam area yang sama yang menunjukkan perdaraha aktif.

CT angiografi (CTA) dapat menjadi alternative DSA pada kasus-kasus


emergensi untuk mendeteksi AVM dan aneurisma yang rupture, mengingat CTA
lebih mudah dan cepat dilakukan. Faktor penting dalam identifikasi perdarahan
yang sementara berlangsung dapat terlihat berupa adanya ekstravasasi kontras
pada CTA. Hal ini disebut dengan spot sign berupa satu atau lebih fokus
penyengatan kontras pada hematom parenkimal akut primer. Data dari sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa spot sign pada CTA dapat menjadi prediktor
terjadinya ekspansi hematom, dan berhubungan dengan perburukan gejala,
prognosis dan mortalitas.3,10

15
Pemeriksaan MRI
Pencitraan sistem saraf pusat terus mengalami kemajuan hingga saat ini seiring
ditemukannya teknologi baru seperti CT perfusion, diffuse-weighted imaging dan
lain-lain. Penelitian terbaru telah membuktikan kegunaan pencitraan MRI dalam
mendeteksi perdarahan intraserebral (ICH). Beberapa peneliti menunjukkan
sensitivitas tinggi penggunaan MRI untuk perdarahan intracranial yang hiperakut
dan cenderung lebih superior ketimbang CT scan.1 Meskipun begitu, modalitas
CT scan masih menjadi pilihan utama, karena pemeriksaan yang lebih cepat dan
relative lebih murah.9
MRI adalah suatu teknik pencitraan berdasarkan prinsip resonansi magnetic
partikel proton atom hydrogen. Dalam keadaan normal proton hydrogen dalam
tubuh tersusun secara acak sehingga tidak menghasilkan jaringan magnetisasi.
Namun ketika pasien dimasukkan ke dalam medan magnet pesawat MRI, arah
dari magnetic dipole proton tubuh pasien akan berada searah dengan kutub medan
magnet utama (fase precision). Pada saat pulsa radiofrekuensi dipancarkan oleh
amplifier maka proton tubuh akan menyerap energy dan mulai bergerak
meninggalkan arah longitudinal yang sejajar dengan arah kutub magnet pesawat
MRI menuju ke arah tegak lurus (transversal)(fase resonansi). Ketika sinyal
radiofrekuensi dihentikan, maka proton-proton akan kembali pada posisi awal dan
menginduksikan signal dalam bentuk elektromagnetik yang dikenal dengan nama
Free Induction Decay yang dapat diubah dalam bentuk gambar (fase relaksasi).15
Fase relaksasi adalah waktu yang dibutuhkan proton kembali pada posisi
longitudinal dan dibagi menjadi dua pembagian yaitu T1 dan T2, yang akan
menimbulkan intensitas signal yang berbeda pada gambaran MRI. T1
didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan proton-proton untuk kembali pada
posisi longitudinal dan mencerminkan tingkat transfer energy radiofrekuensi dari
proton keseluruhan jaringan (spin-lattice relaxation), besar T1 tergantung pada
kepadatan dan struktru jaringan yang diperiksa. T2 merupakan waktu yang
diperlukan proton-proton untuk mencapai dephasing dan disebabkan karena
adanya interaksi antar proton (spin-spin interaction).15

16
Pemeriksaan MRI perdarahan intracranial sering menjadi tantangan tersendiri
oleh karena tampilan yang bervariasi dari hematoma, bergantung pada sejumlah
faktor.1
Tabel. Faktor yang mempengaruhi tampilan ICH pada MRI1
Faktor teknis Faktor intrinsik Faktor fisiologis
 Pulse sequence  Onset hematom  pH dan tekanan
 Parameter sekuens  Ukuran lesi  hematocrit
 Kekuatan medan  Lokasi (intra atau  konsentrasi
magnet ekstraaksial) hemoglobin
 Etiologi  integritas sawar-
darah-otak
 suhu tubuh
 retraksi dan
pembentukan clot

Mekanisme relaksasi dapat terganggu akibat sejumlah zat atau partikel


,terutama yang bersifat paramagnetic dan superparamagnetik (kandungan besi
dalam hemoglobin, agen kontras). Metabolit darah memiliki tiga sifat magnetic
yang berbeda, yang ditentukan apakah electron pada kulit atom terluar
berpasangan atau tidak, yaitu diamagnetik, paramagnetik dan superparamagnetik.
Oksihemoglobin adalah molekul tanpa elektron yang tidak berpasangan.
Deoksihemoglobin dan methemoglobin memiliki elektron yang tidak berpasangan
pada kulit terluar sehingga bersifat paramagnetik. Ferritin dan hemosiderin, yang
keduanya mengandung besi, memiliki elektron yang tidak berpasangan dalam
jumlah besar dan bersifat paramagnetik.8
Berdasarkan penelitian in vitro dan pada hewan coba, perubahan biokimiawi
hematoma dapat diklasifikasikan sebagai berikut: segera setelah perdaraha dan
ekstravasasi darah pada fase hiperakut, hematoma hanya mengandung sel darah
merah yang intak. Setelah beberapa jam, oksihemoglobin dimetabolisme menjadi
deoksihemoglobin (fase akut) yang bersifat paramagnetik. Konversi

17
deoksihemoglobin intraseluler menjadi methemoglobin, yang juga bersifat
paramagnetik dalam jangka waktu beberapa hari pertama (fase subakut awal)
diikuti keluarnya methemoglobin intraseluler ke ekstraseluler, setelah sel darah
merah lisis. Hal ini terjadi dalam beberapa hari hingga minggu (fase subakut
lanjut). Perubahan methemoglobin menjadi hemosiderin dan ferritin, yang bersifat
superparamagnetik, dapat segera difagosit oleh makrofag namun bisa juga
menetap hingga bertahun-tahun pada jaringan interstisial (fase kronik).8
Faktor utama yang berkontribusi pada intensitas signal perdarahan adalah
adanya kandungan besi, yang memberikan sifat biokimia hematoma yang khas.
Gomori, et al menekankan peran besi berhubungan dengan dengan hemoglobin,
edema dan perubahan struktural hematoma dalam menentukan mekanisme
relaksasi yang mendasar pola perubahan gambaran MRI.8

Gambar. Stadium perdarahan intraserebral pada MRI sesuai sekuens yang


rutin digunakan.11

18
Pada MRI, tampilan perdarahan intraserebral secara kronologis dapat terlihat
sebagai berikut:11
a. Hiperakut : hipo- atau isointens pada sekuens T1-weighted dan hiperintens
pada sekuens T2-weighted
b. Akut: sedikit hipo atau isointens pada sekuens T1-weightedi dan intensitas
signal rendah pada sekuens T2-weighted
c. Subakut awal : intensitas signal tinggi pada sekuens T1-weighted, intensitas
signal rendah pada T2-weighted
d. Subakut lambat: intensitas signal tetap tinggi pada sekuens T1-weighted dan
intensitas signal tinggi pada T2-weighted.
e. Kronis : hemosiderin terlihat agak hipointens pada T1 dan sangat hipointens
pada T2.

J. Komplikasi
Komplikasi ICH tersering adalah membesanya ukuran hematoma yang dapat
diamati pada 70% kasus baik volume intraparenkimal maupun invasi
intraventrikuler. Brot menemukan bahwa mayoritas pembesaran hematoma yang
signifikan (didefinisikan sebagai peningkatan ukuran hematoma 33%
dibandingkan ukuran pada CT scan awal) terjadi pada 26 kasus dalam 4 jam
pertama setelah onset gejala sementara 12% lainnya mengalami penambahan
ukuran hematom yang signifikan dalam 21 jam berikutnya.3

K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pasien ICH idealnya dilakukan di unit perawatan
intensif yang memungkinan monitoring ketat keadaan neurologis penderita.
Penanganan awal terdiri dari bantuan jalan napas, mengontrol tekanan darah,
penatalaksanaan peningkatan tekanan intracranial, dan penatalaksanaan gangguan
koagulasi. Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 30% pasien dengan perdarahan
supratentorial dan hampir semua pasien dengan perdarahan infratentorial (batang

19
otak dan serebelum) mengalami penurunan kesadaran dan disfungsi otot bulbar
yang membutuhkan intubasi segera.1,2,3
Pada keadaan dimana terjadi perburukan berupa bukti klinis adanya herniasi
transtentorial, efek massa maupun hidrosefalus obstruktif pada pencitraan
membutuhkan konsultasi bedah saraf agar segera dilakukan pemsangan kateter
intraventrikuler bersamaan dengan hiperventilasi dan manitol intravena.3
Penatalaksaan untuk membatasi ekspansi dan perluasan hematoma dibagi
menjadi dua yaitu pendekatan non bedah maupun pendekatan bedah, dimana
keduanya dapat saling melengkapi satu dengan lainnya.2,3
a. Pendekatan non-bedah yang mencakup penatalaksanaan hipertensi,
penatalaksaanan peningkatan tekanan intracranial, hiperglikemia, menurunkan
demam, mengatasi kejang maupun profilaksis thrombosis vena dalam.3
b. Pendekatan bedah
Intervensi bedah saraf pada pasien ICH memiliki tujuan sebagai berikut:
menghentikan sumber perdarahans maupun menghilangkan efek massa.
Pengangkatan hematoma dapat dilakukan melalui prosedur kraniotomi
ataupun aspirasi stereotaktik.3

20
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas pasien
Nama : HNY
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir/umur : 19 Mei 1948 / 69 tahun
Alamat : Kairagi II Lingkungan IX
Agama : Kristen Protestan
Tanggal MRS : 12 Februari 2018
B. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran tiba-tiba kurang lebih 4 jam sebelum masuk rumah sakit

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Awalnya penderita sedang duduk di ruang keluarga, kemudian penderita
beberapa saat kemudian mengeluhkan pusing, kemudian penderita muntah
berisi cairan dan makanan dengan frekuensi empat kali. Penderita lalu tampak
mengantuk dan mulai tertidur tetapi masih dapat dibangunkan. Keluarga
kemudian membawa penderita ke RSUP Prof Kandou, sementara dalam
perjalanan, kesadaran penderita makin menurun.

D. Riwayat penyakit dahulu


Riwayat hipertensi lama, tidak terkontrol. Riwayat diabetes mellitus, penyakit
jantung, ginjal disangkal

E. Riwayat penyakit keluarga


Riwayat hipertensi dalam keluarga. Saudara laki-laki penderita baru
meninggal setahun lalu akibat stroke.

21
F. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : berat
Kesadaran : koma
GCS : E1M1x (intubasi)
TD : 180/90 mmHg
N : 80 x/m
R : 22 x/m
S : 36,5°C
SpO2 : 98%

Status Generalis
Kepala
Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : gerak dinding dada kanan dan kiri simetris
Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara pernapasan vesikuler normal, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Bunyi jantung reguler, murmur (-)
Abdomen
Bising usus (+), nyeri tekan (-)
Extremitas
Akral hangat, edema (-), CRT<2 detik
Genitalia dan anus
Dalam batas normal

22
Status Neurologis
Kesadaran : berat
Keadaan umum : koma
GCS : E1M1Vx (intubasi)
Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk (-), Lasegue >70°/>70°, Kernig
>135°/>135°
Nervus cranialis : kesan paresis (-)
Status motorik :
TO : Refleks fisiologis: +/+/+ +/+/+

+/+ +/+

Refleks patologis:
- -
- -

Status sensorik : tidak dievaluasi


Status otonom : BAK via kateter

G. Penatalaksanaan
Bidang Neurologi
- Bed rest + elevasi kepala 30°
- Mobilisasi miring kiri dan kanan tiap 2 jam
- Chest physiotherapy + oral hygiene
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Ranitidin 2 x 50 mg IV
- Amlodipin 10 mg I – 0 – 0 per oral
- Simvastatin 20 mg 0 – 0 – I per oral
- Paracetamol 3 x 500 mg per oral
- Manitol 20% bolus 350 cc lanjut 4 x 150 cc tiap 6 jam

23
H. Hasil pemeriksaan Radiologis
a. CT-Scan kepala

24
b. Foto Thorax

25
I. Hasil laboratorium
Tanggal : 12 Februari 2018
Darah rutin Hasil Satuan nilai rujukan
Leukosit 18500 /mm3 4.000-10.000
Eritrosit 4.94 106/ uL 4.70-6.10
Hemoglobin 13 g/ dL 11.5 – 16.5
Hematokrit 38,7% % 37 – 47
Trombosit 293 103/ ul 150 – 450
MCH 26.3 pg 27.0-35.0
MCHC 33.6 g/dL 30.0-40.0
MCV 78.3 fL 80.0-100.0
Glukosa Darah Sewaktu 193 mg/dL 70-125
Natrium 135 mEq/L 135-153
Kalium 3.52 mEq/L 3.5-5.3
Chlorida 96.6 mEq/L 98-109

J. Follow up pasien
12-02-2018 pukul 11.45
S : penurunan kesadaran
O : hasil brain CT-scan tampak lei hiperdens region batang otak volume
24 cc
A : Cerebral hemorrhage region batang otak volume 24 cc onset H-1
Hipertensi grade II
IVH bilateral
P : Manitol 20% loading 350 cc lanjutkan 4 x 150 cc tiap 6 jam
Konsul bedah saraf

12-02-2018 pukul 15.00


S : penurunan kesadaran
O : KU : berat Kesadaran : koma

26
TD 180/80 mmHg N : 56x/m RR: 16x/m SB: 37°C SpO2 95%
GCS E1M1Vx PERRL +/+ Ø 2mm/2mm
TRM : kaku kuduk (-) Lasegue >70°/>70°, Kernig >135°/>135°
Nn. Cranialis : Kesan paresis (-)
Status motorik :
TO : Refleks fisiologis: +/+/+ +/+/+

+/+ +/+

Refleks patologis:
- -
- -
Status sensorik : tidak dievaluasi
Status otonom : BAK via kateter
A : Cerebral hemorrhage region batang otak vol. 24 cc onset hari I
Hipertensi grade II
IVH bilateral
P : KIE keluarga
Bed rest + elevasi kepala 30°
Mobilisasi kanan kiri per 2 jam
Chest physiotherapy dan oral hygiene
Konsul ICU

13-02-2018 pukul 08.00


S : penurunan kesadaran, darah pada NGT
O : KU : berat Kesadaran : koma
TD 130/50 mmHg N : 60x/m RR: 12x/m SB: 36,5°C SpO2 99%
GCS E1M1Vx PERRL +/+ Ø 5 mm/5 mm
TRM : kaku kuduk (-) Lasegue >70°/>70°, Kernig >135°/>135°
Nn. Cranialis : Kesan paresis (-)

27
Status motorik :
TO : Refleks fisiologis: +/+/+ +/+/+

+/+ +/+

Refleks patologis:
- -
- -
Status sensorik : tidak dievaluasi
Status otonom : BAK via kateter
A : Penurunan kesadaran ec ICH batang otak vol. 24 cc onset hari II
IVH bilateral
Hematemesis ec. Stress ulcer
P : Terapi lanjut sesuai cek list farmakologis
Observasi TTV/GCS/Pupil/TTIK/jam
KIE

14-02-2018 pukul 07.00


S : penurunan kesadaran
O : KU: berat Kesadaran : koma
TD 100/50 mmHg N : 90x/m RR: 28x/m SB: 36,5°C SpO2 99%
GCS E1M1Vx RC menurun/menurun Ø 5 mm/5 mm
TRM : kaku kuduk (-) Lasegue >70°/>70°, Kernig >135°/>135°
Nn. Cranialis : Kesan paresis (-)
Status motorik :
TO : Refleks fisiologis: +/+/+ +/+/+

+/+ +/+

28
Refleks patologis:
- -
- -
Status sensorik : tidak dievaluasi
Status otonom : BAK via kateter
A : Penurunan kesadaran ec ICH batang otak vol. 24 cc onset hari IV
IVH bilateral
Hematemesis ec. Stress ulcer
P : Oksigen adekuat
Terapi sesuai instruks farmakologis
Konsul TS interna
Ceftriaxone 1x2 gr IV

29
BAB IV
PEMBAHASAN

Intraserebral hematoma (ICH) adalah perdarahan di dalam parenkim otak.


ICH adalah suatu kegawatdaruratan medis yang membutuhkan penanganan segera
dan berpotensi menyebabkan kematian. ICH dapat terjadi secara spontan atau non
traumatik dan menimbulkan gejala stroke hemoragik maupun bersifat traumatik.16

Stroke hemoragik adalah adanya perdarahan spontan di dalam otak. Penyebab


utamanya adalah hipertensi kronik dan adanya degenerasi pembuluh darah cerebral.
Perdarahan dapat terjadi di dalam otak dan ruang subaraknoid karena ruptur dari
arteri atau ruptur dari aneurisma.4

Lokasi perdarahan stroke hemoragik yang paling sering: putamen dan kapsula
interna (± 50%) dari semua kasus stroke hemoragik, daerah lobus (lobus temporal,
parietal, frontal), talamus, pons, serebelum. Lokasi perdarahan bisa sebagai prediktor
keluaran stroke hemoragik.4

Penegakkan diagnosis untuk ICH meliputi anamnesis baik secara


autoanamnesis maupun alloanamnesis jika pasien dalam keadaan yang tidak
memungkinkan untuk menjawab beberapa pertanyaan, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan alloanamnesis didapatkan bahwa awalnya penderita sedang


duduk di ruang keluarga, kemudian penderita beberapa saat kemudian mengeluhkan
pusing, kemudian penderita muntah berisi cairan dan makanan dengan frekuensi
empat kali. Penderita lalu tampak mengantuk dan mulai tertidur tetapi masih dapat
dibangunkan. Sementara dalam perjalanan ke RSUP Prof Kandou, kesadaran
penderita makin menurun. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi tak terkontol sejak
lama yaitu kurang lebih 10 tahun. Pasien juga mempunyai riwayat keluarga yang
memiliki penyakit stroke.

30
Dalam literatur pula dikatakan bahwa sejumlah faktor risiko dapat
menyebabkan ICH: hipertensi (faktor risiko utama yang paling sering), angiopati
amyloid serebral, riwayat penggunaan antikoagulan, intake alkohol berlebihan, dan
faktor risiko lainnya seperti kadar kolesterol serum dan sejumlah faktor genetis
lainnya.3

Berdasarkan pemeriksaan fisik ketika pasien tiba di rumah sakit didapatkan


pasien dalam keadaan penurunan kesadaran dengan tekanan darah yang cukup tinggi
yaitu 180/90 mmHg, penilaian GCS pasien didapatkan E1M1x (intubasi). Gejala
klinis ICH umumnya adalah penurunan kesadaran, muntah, dan nyeri kepala. Semua
gejala tersebut merupakan manifestasi dari tekanan tinggi intracranial. Pada pasien
juga didapatkan gejala klinis tersbut, dimana pasien merasakan kepalanya pusing dan
muntah-muntah 4 kali ketika 4 jam sebelum pasien diantar ke Rumah Sakit.

Berdasarkan pemeriksaan penunjang utama yang dilakukan pada pasien yaitu


CT-Scan Kepala didapatkan adanya Intra Cerebral Hemorragic (ICH) pada regio
batang otak dengan volume perdarahan 24 cc.

Dalam literatur disebutkan bahwa pemeriksaan radiologis pasien dengan


kecurigaan klinis ICH sangat penting dalam menentukan penatalaksanaan yang tepat.
Di banyak rumah sakit, evaluasi radiologis pasien dengan ICH non traumatik
biasanya rutin menggunakan CT-scan, yang merupakan modalitas terbaik untuk
memperlihatkan suatu perdarahan akut.1

CT scan dapat membedakan stroke hemoragik dan stroke iskemik, mampu


menentukan ukuran dan lokasi perdarahan, dapat memperlihatkan penyebab
perdarahan akibat aneurisma, malformasi arteriovenosa maupun tumor otak, serta
komplikasi terkait perdarahan seperti herniasi, perdarahan intraventrikular (IVH) dan
hidrosefalus.17

Hipertensi menyebabkan 2/3 kasus ICH. Area yang sering terkena adalah
thalamus, ganglia basalis, pons, serebellum. Area-area ini merupakan area yang
mendapatkan vaskularisasi dari r. perforantes MCA atau a. basilaris. Sebagai respon

31
dari tekanan darah yang tinggi, maka arteri-arteri kecil ini akan mengalami
hiperplasia tunika intima, hialinisasi tunika intima, dan degenerasi tunika media, yang
meningkatkan resiko nekrosis fokal pada dinding vaskular dan akhirnya ruptur.
Selain hipoperfusi yang terjadi, parenkim otak juga terkena kerusakan akibat tekanan
intrkranial (TIK) secara keseluruhan.

ICH akut akan tampak sebagai lesi hiperdens oval atau bulat pada CT-Scan
kepala tanpa kontras. ICH sering mengalami ekstensi ke intraventrikel, terutama jika
berasal dari ganglia basalis dan batang otak. Gambaran hiperdens ICH disebabkan
oleh kandungan proteinnya yang tinggi dan massa jenisnya yang berat. Namun
terkadang ICH akut dapat tampak isodens atau bahkan hipodens, hal ini disebabkan
oleh karena anemia atau gangguan koagulasi.

32
BAB V
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

1
Ripoll MA. MRI diagnosis of intracranial hemorrhage: experimental and
clinical studies. Uppsala University. Sweden

2
Broderick J, Adams H, Barsam W. Guideline for the management of spontaneous
intracerebral hemorrhage. Stroke. 1999; 30: 905-15

3
Bumbasiveric LB, Paden V, Jovanovic DR, Stefanovic-Budmikic M. Spontaneous
intracerebral hemorrhage. Periodicum Biologorum. 2012;114(3):337-45

4
Anatomy of the brain.Mayfield Certified Health Info materials are written and
developed by the Mayfield Clinic & Spine Institute.

5
Baehr M, Frotscher M. Duus' Topical Diagnosis in Neurology. 5th ed. Stuttgart:
Thieme; 2012. Chapter 11, Blood supply and vascular disorders of the central
nervous system. p. 270-314.

6
Misbach J. Stroke: aspek diagnostik, patofisiologi, manajemen. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2011.

33
7
Heit JJ, Iv M, Wintermark M. Imaging of intracranial hemorrhage. Journal of Stroke
2017;19(1):11-27

8
Van GJ. Main groups of cerebral and spinal vascular disease: overview. In:
Ginsberg MD, Bogousslavsky J, eds. Cerebrovascular disease: pathophysiology,
diagnosis, and management. 1 ed. Malden: Blackwell Science; 1998:1369-72.

9
Zimmerman RD, Malfjian JA, Brun NC, Horvath B, Skolnick K. Radiologic
estimation of hematoma volume. Am J Neuroradiol. 2006;27:666-70

10
Dixon AK, Adam A. Grainger and Allison’s Diagnostic Radiology : A textbook of
medical imaging. 5th Ed. Volume 1. 2008

11
Scheau E, Ghergus AE, Popa G, Preda EM, Capsa RA, Lupescu IG. Intracranial
hemorrhage made easy – a semiological approach on CT and MRI. European Society
of Radiology.

12
Broderick JP, Brott T, Duldner J, Tomsick T, Huster G. Volume of intracerebral
hemorrhage: a powerful and easy-to-use predictor of 30-day mortality. Stroke.
2003;24:987-93

13
Barras CD, Tress BM, Desmond PM. Quantifying volume of intracerebral subdural
and extradural hemorrhage: as easy as ABC/2. Royal Australian and New Zealand
College of Radiologists.

14
Maeda AK, Aguiar LR, Martins C, Bichinho GL, Gariba MA. Hematoma volumes
of spontaneous intracerebral hemorrhage: the ellipse (ABC/2) method yielded
volumes smaller than those measured using planimetric method. Arq Neurpsiquiatr
2013;71(9):540-4

15
Apriantoro NH. Analisis perbedaan citra MRI Brain pada sekuen T1 SE dan T1
FLAIR. 2015. SINERGI Vol 19 No. 3:206-10

34
16
Ripoll MA. MRI diagnosis of intracranial hemorrhage: experimental and
clinical studies. Uppsala University. Sweden

17
Zimmerman RD, Malfjian JA, Brun NC, Horvath B, Skolnick K. Radiologic
estimation of hematoma volume. Am J Neuroradiol. 2006;27:666-70

35

Anda mungkin juga menyukai