Anda di halaman 1dari 19

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

RSU. ANUTAPURA Palu


Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas al khairaat

Referat
29 Oktober 2016

REFERAT
GANGGUAN PSIKOTIK PADA ANAK

DISUSUN OLEH:

NI KADEK DESSY S.Ked (11 777 007)

PEMBIMBING:

dr. ANDI SORAYA TENRI ULENG, Sp.KJ

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA RSU ANUTAPURA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS AL KHAIRAAT
PALU
2016

1
BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah satu istilah untuk beberapa gangguan yang


ditandai dengan kekacauan kepribadian, distorsi terhadap realitas,
ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari (Atkinson
dkk, 1992), perasaan dikendalikan olehn kekuatan dari luar dirinya,
waham/delusi, gangguan persepsu (PPDGJ, 1983)

Skizofrenia hebefrenik adalah suatu bentuk skizofrenia dengan


perubahan prilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat
diramalkan,ada kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan prilaku
menunjukkan hampa prilaku dan hampa perasaan, senang menyendiri,dan
ungkapan kata yang di ulang – ulang, proses pikir mengalami disorganisasi
dan pembicaraan tak menentu serta adanya penurunan perawatan diri pada
individu. ( Rusdi Maslim,Dr.PPDGJ- III 2001: 48)

Saat ini gangguan psikotik masih menjadi masalah di Indonesia. Menurut


penelitian WHO prevalensi gangguan jiwa dalam masyarakat berkisar satu sampai
tiga permil penduduk. Misalnya Jawa Tengah dengan penduduk lebih kurang 30
juta, maka akan ada sebanyak 30.000-90.000 penderita psikotik. Bila 10% dari
penderita perlu pelayanan perawatan psikiatrik ada 3.000-9.000 yang harus
dirawat. Tetapi tidak semua bisa dirawat karena kapasitas pelayanan perawatan
psikiatrik di Jateng masih di bawah 1.000 tempat tidur. Sisa yang tidak terawat
berada dalam masyarakat dan pasien ini seharusnya perlu pengawasan yang
seksama. Pasien psikotik yang mungkin tenang terkadang tak terduga akan
menjadi agresif tanpa stressor psikososial yang jelas1.

2
BAB II
PEMBAHASAN
SKIZOFRENIA HEBEFRENIK

1. Definisi

Skizofrenia hebefrenik adalah suatu bentuk skizofrenia dengan


perubahan prilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat
diramalkan,ada kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan prilaku
menunjukkan hampa prilaku dan hampa perasaan, senang menyendiri,dan
ungkapan kata yang di ulang – ulang, proses pikir mengalami disorganisasi
dan pembicaraan tak menentu serta adanya penurunan perawatan diri pada
individu. ( Rusdi Maslim,Dr.PPDGJ- III 2001: 48)

2. Etiologi
Etiologi Skizofreni Hebefrenik pada umumnya sama seperti etiologi
skizofrenia lainnya. Dibawah ini beberapa etiologi yang sering ditemukan:

Faktor Predisposisi
beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya
respon neurobiologi seperti pada harga diri rendah antara lain :
a. Faktor Genetis
Telah diketahui bahwa secara genetis skizofrenia diturunkan melalui
kromosom-kromosom tertentu. Tetapi kromosom yang ke berapa menjadi
faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian.
Diduga letak gen skizofrenia ada dikromosom no. 6 dengan kontribusi
genetik tambahan no. 4, 8, 15 dan 22. Anak kembar identik memiliki
kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya
mengalami skizofrenia, sementara jika dizigot peluangnya sebesar 15%.
Seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia,

3
sementara bila kedua orang tuanya skizofreia maka peluangnya menjadi
35%.

b. Faktor Neurologis
Ditemukan bahwa korteks prefrotal dan korteks limbik pada klien
skizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien
skizofrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal.
Neurotransmiter yang ditemukan tidak normal khususnya dopamine,
serotonine, dan glutamat.
c. Studi Neurotransmiter
Skizofrenia diduga juga disebkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotransmiter dopamine yang berlebihan.
d. Teori Virus
Paparan virus influenza pada trimester 3 kehamilan dapat menjadi
factor predispossisi skizofrenia.
e. Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
skizofrenia antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu pencemas, terlalu
melindungi, dingin dan tidak berperasaan, sementara ayah yang mengambil
jarak dengan anaknya.

3. Gejala Klinis

Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase


prodromal, fase aktif dan fase residual.

a. fase prodromal

biasanya timbul gejala gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu,
bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas.
Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi
penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan perubahan

4
ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman,
mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”. Semakin lama
fase prodromal semakin buruk prognosisnya.1,2

b. fase aktif

gejala positif / psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik,


inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua
individu datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala
gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau
terus bertahan.1,2

c. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual

dimana gejala gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala


positif / psikotiknya sudah berkurang. Disamping gejala gejala yang terjadi
pada ketiga fase diatas, penderita skizofrenia juga mengalami gangguan
kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa,
kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial).2

Pada Skizofrenia Hebefrenik kita dapat melihat tanda dan gejala yang
khas, antara lain;


Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti
apa maksudnya.

Alam perasaan yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi atau
ketolol-tololan.

Perilaku dan tertawa kekenak-kanakan, senyum yang menunjukkan
rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.

Waham yang tidak jelas dan tidak sistematik tidak terorganisasi
sebagai suatu kesatuan.

Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisasi
sebagai satu kesatuan.

Gangguan proses berfikir

5

Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-
gerakan aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang diulang-ulang
dan cenderung untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan
sosial.2
Beberapa tanda dan gejala yang paling sering ditemukan pada pasien-
pasien Skizofrenia Hebefrenik adalah,

 Waham
 Halusinasi

4. Diagnosis

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia berdasarkan PPDGJ III:


Diagnosis hebefrenik untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).

Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis. Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya
diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk
memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar
bertahan : Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat
diramalkan, serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu
menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan
hampa perasaan;

Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering
disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-
satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap
tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces),
mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan

6
hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrases)

Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren. Gangguan afektif dan dorongan kehendak,
serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan
waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and
fragmentary delusions and hallucinations).

Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita
memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan
tanpa maksud (empty of purpose).

Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat
terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien. Menurut DSM-
IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.2,6,7

Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR Subtipe Skizofrenia


Tipe Hebefrenik (Disorganised)
A. Semua hal dibawah ini prominen
1. Bicara kacau
2. Prilaku kacau
3. Afek datar atau afek tidak sesuai
B. Tidak memenuhi krtiteria tipe katatonik

5. Penatalaksanaan

A. Terapi Somatik (Medikamentosa)

Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut


antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan
perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia Terdapat 2

7
kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu : antipsikotik
konvensional dan newer atypical antipsycotics.1

1. Antipsikotik Konvensional

Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut


antipsikotik konvensional.Walaupun sangat efektif, antipsikotik
konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius. Contoh
obat antipsikotik konvensional antara lain :

1. Haldol (haloperidol) 5. Stelazine (trifluoperazine)

2. Mellaril (thioridazine) 6. Thorazine (chlorpromazine)

3. Navane (thiothixene) 7. Trilafon (perphenazine)

4. Prolixin (fluphenazine)

Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh


antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan
penggunaan newer atypical antipsycotic.3

Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotik


konvensional). Pertama, pada pasien yang sudah mengalami
perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik
konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli
merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipskotik
konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum pil
secara reguler. Prolixin dan Haldol injeksi dapat diberikan dalam
jangka waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu
(disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat
dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan
secara perlahan-lahan.

8
2. Newer Atypcal Antipsycotic4

Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal


karena prinsip kerjanya tidak spesifik bekerja pada reseptor
Dopamine dan juga bekerja pada neurotransmitter lain, serta sedikit
menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan antipsikotik
konvensional.

Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara


lain

 Risperdal (risperidone)
 Seroquel (quetiapine)
 Zyprexa (olanzopine)

Para ahli banyak merekomendasikan obat-obat ini untuk


menangani pasien-pasien dengan Skizofrenia.1,4

c. Clozaril

---- Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan


antipsikotik atipikal yang pertama. Sangat disayangkan, Clozaril
memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada
kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah
sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Ini artinya,
pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel darah
putihnya tiap bulan. Para ahli merekomendaskan penggunaan
Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman
tidak berhasil.4

 Cara Penggunaan
 Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer
(efek klinis) yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan
terutama pada efek samping sekunder.

9
 Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala
psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat
disesuaikan dengan dosis ekuivalen.
 Apabila obat anti psikosis tertentu tidak memberikan respon
klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu
yang memadai, dapat diganti dengan obat psikosis lain
(sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis
ekivalennya dimana profil efek samping belum tentu sama.
 Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis
sebelumnya jenis obat antipsikosis tertentu yang sudah terbukti
efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat dipilih
kembali untuk pemakaian sekarang
 Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
o Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu

o Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam

o Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)

o Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi


dampak efek samping(dosis pagi kecil, dosis malam lebih
besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup
pasien.1,4

 Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama

----Newer atypical antipsychotic merupakan terapi pilihan untuk


penderita Skizofrenia episode pertama karena efek samping yang
ditimbulkan minimal dan resiko untuk terkena tardive dyskinesia
lebih rendah.

----Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa


saat untuk mulai bekerja. Sebelum diputuskan pemberian salah satu
obat gagal dan diganti dengan obat lain, para ahli biasanya akan

10
mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih lama
pada Clozaril)

 Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)

Biasanya timbul bila penderita berhenti minum obat, untuk


itu, sangat penting untuk mengetahui alasan mengapa penderita
berhenti minum obat. Terkadang penderita berhenti minum obat
karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila
hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat
untuk efek sampingnya, atau mengganti dengan obat lain yang efek
sampingnya lebih rendah.

--Apabila penderita berhenti minum obat karena alasan lain,


dokter dapat mengganti obat oral dengan injeksi yang bersifat long
acting, diberikan tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat dengan injeksi
lebih simpel dalam penerapannya.

--Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah


mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang
tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain, misalnya
antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer atypical
antipsychotic atau diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya.
Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi
dengan obat-obatan diatas gagal.4

 Pengobatan Selama fase Penyembuhan

----Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan


walaupun setelah sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5
pasien yang berhenti minum obat setelah episode petama
Skizofrenia dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-
pasien Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat
antipskotik selama 12-24 bulan sebelum mencoba menurunkan

11
dosisnya. Pasien yang menderita Skizofrenia lebih dari satu
episode, atau balum sembuh total pada episode pertama
membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Perlu diingat, bahwa
penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering
kekambuhan dan makin beratnya penyakit.4

Efek Samping Obat-obat Antipsikotik

---- Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka


waktu yang lama, sangat penting untuk menghindari dan mengatur
efek samping yang timbul. Mungkin masalah terbesar dan tersering
bagi penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional yaitu
gangguan (kekakuan) pergerakan otot-otot yang disebut juga Efek
samping Ekstra Piramidal (EEP). Dalam hal ini pergerakan menjadi
lebih lambat dan kaku, sehingga agar tidak kaku penderita harus
bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak dapat
beristirahat. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor
pada tangan dan kaki. Kadang-kadang dokter dapat memberikan
obat antikolinergik (biasanya sulfas atropin) bersamaan dengan
obat antipsikotik untuk mencegah atau mengobati efek samping
ini.5

---- Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive


dyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat
dikontrol, protruding tongue, dan facial grimace. Kemungkinan
terjadinya efek samping ini dapat dikurangi dengan menggunakan
dosis efektif terendah dari obat antipsikotik. Apabila penderita yang
menggunakan antipsikotik konvensional mengalami tardive
dyskinesia, dokter biasanya akan mengganti antipsikotik
konvensional dengan antipsikotik atipikal.

Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan


gangguan fungsi seksual, sehingga banyak penderita yang

12
menghentikan sendiri pemakaian obat-obatan tersebut. Untuk
mengatasinya biasanya dokter akan menggunakan dosis efektif
terendah atau mengganti dengan newer atypical antipsycotic yang
efek sampingnya lebih sedikit.5

Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita


Skizofrenia yang memakan obat. Hal ini sering terjadi pada
penderita yang menggunakan antipsikotik atipikal. Diet dan olah
raga dapat membantu mengatasi masalah ini.1

Efek samping lain yang jarang terjadi adalah neuroleptic


malignant syndrome, dimana timbul derajat kaku dan termor yang
sangat berat yang juga dapat menimbulkan komplikasi berupa
demam, penyakit-penyakit lain. Gejala-gejala ini membutuhkan
penanganan yang segera.

B. Terapi Psikososial

1. Terapi perilaku

Terapi perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan


ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial,
kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi
interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau
hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti
hak istimewa. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di
masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat diturunkan.

2. Terapi berorientasi-keluarga

13
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, dimana pasien
skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi
keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode
pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan
kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang
jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk
melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu
optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat
skizofrenia dan dari penyangkalan tentang keparahan
penyakitnya.-Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien
mengerti skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati.
Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga
adalah efektif dalam menurunkan relaps.

3. Terapi kelompok

Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada


rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata.
Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara
psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif
dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan
meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang
memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif,
tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia.

C. Psikoterapi individual

14
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi
individual dalam pengobatan skizofrenia telah memberikan data
bahwa terapi akan membantu dan menambah efek terapi
farmakologis. Suatu konsep penting di dalam psikoterapi bagi
pasien skizofrenia adalah perkembangan suatu hubungan terapetik
yang dialami pasien. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat
dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan
pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan
oleh pasien.

Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang


ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan
hubungan seringkali sulit dilakukan, pasien skizofrenia seringkali
kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan
kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika
seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan
rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan
kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada
informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama yang
merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang
berlebihan adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai
usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi.1,2

V. PROGNOSIS

15
Prognosis untuk skizofrenia hebefrenik sama dengan skizofrenia
tipe lainnya, prognosisnya pada umumnya kurang begitu
menggembirakan. Sekitar 25% pasien dapat kembali pulih dari episode
awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat prodromal (sebelum
munculnya gangguan tersebut). Sekitar 25% tidak akan pernah pulih
dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada
diantaranya, ditandai dengan kekambuhan periodik dan
ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang
singkat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis skizofrenia

1. Keluarga
Pasien membutuhkan perhatian dari masyarakat, terutama dari
keluarganya. jangan membeda-bedakan antara orang yang
mengalami Skizofrenia dengan orang yang normal, karena orang
yang mengalami gangguan Skizofrenia mudah tersinggung.
2. Inteligensi
Pada umumnya pasien Skizofrenia yang mempunyai Inteligensi
yang tinggi akan lebih mudah sembuh dibandingkan dengan orang
yang inteligensinya rendah.
3. Pengobatan
Obat memiliki dua kekurangan utama. Pertama hanya sebagian
kecil pasien (kemungkinan 25%) cukup tertolong untuk
mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang cukup normal.
Kedua antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek merugikan
yang mengganggu dan serius. Namun pasien skkizofrenia perlu di
beri obat Risperidone serta Clozapine.
4. Reaksi Pengobatan
Dalam proses penyembuhan skizofrenia, orang yang bereaksi
terhadap obat lebih bagus perkembangan kesembuhan daripada
orang yang tidak bereaksi terhadap pemberian obat.4,8

16
Prognosis Baik Prognosis Buruk

Onset lambat Onset muda

Faktor pencetus Tidak ada factor pencetus


yang jelas
Onset tidak jelas
Onset akut
Riwayat social dan pekerjaan
Riwayat sosial, premorbid yang buruk
seksual dan
Prilaku menarik diri atau autistic
pekerjaan
premorbid yang Tidak menikah, bercerai atau janda/
baik duda

Gejala gangguan Sistem pendukung yang buruk


mood (terutama
Gejala negatif
gangguan depresif)
Tanda dan gejala neurologist
Menikah
Riwayat trauma perinatal
Riwayat keluarga
gangguan mood Tidak ada remisi dalam 3 tahun

Sistem pendukung Banyak relaps


yang baik
Riwayat penyerangan
Gejala positif

BAB III
KESIMPULAN

Skizofrenia hebefrenik adalah suatu bentuk skizofrenia dengan


perubahan prilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat
diramalkan,ada kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan prilaku
menunjukkan hampa prilaku dan hampa perasaan, senang
menyendiri,dan ungkapan kata yang di ulang – ulang, proses pikir

17
mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta adanya
penurunan perawatan diri pada individu dan merupakan suatu gangguan
yang yang ditandai dengan regresi dan primitif, afek yang tidak sesuai,
serta menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial. Gangguan jiwa
skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang berat dan gawat yang dapat
dialami manusia sejak muda dan dapat berlanjut menjadi kronis dan
lebih gawat ketika muncul pada lanjut usia (lansia) karena menyangkut
perubahan pada segi fisik, psikologis dan sosial-budaya. 1,2

DAFTAR PUSTAKA

1. Kusumawardhani A, Husain AB, dkk. Buku Ajar Psikiatrik. Jakarta: Balai


Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal 13
2. Nurmah, Islamiyah N, dkk. Psikotik dan Skizofrenia. 12 April 2011.
Diunduh dari: http://id.scribd.com/doc/74666207/PSIKOTIK-lengkap
3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
ke-2. Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010. Hal
147-16

18
4. Tirtakusuma A, Nugraha A, dkk. Bisikan Gaib. 29 Februari 2012. Diunduh
dari: http://id.scribd.com/doc/83142602/4/Menjelaskan-definisi-gangguan-
psikotik
5. News Medical. Apa Penyebab Psikosis. 1 November 2012. Diunduh dari:
http://www.news-medical.net/health/What-Causes-Psychosis-
(Indonesian).aspx
6. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
ke-2. Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010. Hal
169-187
7. News Medical. Psikosis Patofisiologi. 1 November 2012. Diunduh dari:
http://www.news-medical.net/health/Psychosis-Pathophysiology-
(Indonesian).aspx
8. Kusumawardhani A, Husain AB, dkk. Buku Ajar Psikiatrik. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal 38
9. Hawari HD. Pendekatan holistic pada gangguan jiwa skizofrenia. Edisi ke-
2. Cetakan 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2006
10. Maramis WF. Ilmu kedokteran jiwa. Cetakan 6. Jakarta: Airlangga
University Press, 1994

19

Anda mungkin juga menyukai