Tugas Ibu Tuti
Tugas Ibu Tuti
Periode sensorimotor
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk
mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut.
Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa
tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam
sub-tahapan:
1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan
terutama dengan refleks.
2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan
berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan
berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas
bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen
walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas
bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
Tahapan praoperasional
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan
permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara
kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget
adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini
adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak
belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata.
Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang
lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua
benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau
warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul
antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan
berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar.
Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan
tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di
dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami
bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk
memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di
saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
Teori Erik Erikson membahas tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori
perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori
kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian
berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial
Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita
kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah
berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang
lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu
perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori
perkembangan psikososial.
Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erikson merupakan salah satu teori yang
memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson mendapat
posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia
mulai dari lahir hingga lanjut usia, satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud. Selain itu karena
Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang
membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan
pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa
pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud.
Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi,
teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah
seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia
sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak
ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-
psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud.
Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan
dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Pusat dari teori Erikson
mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumsi mengenai perkembangan setiap manusia yang
merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia.
Erikson memberi jiwa baru ke dalam teori psikoanalisis, dengan memberi perhatian yang lebih
kepada ego dari pada id dan superego. Dia masih tetap menghargai teori Freud, namun
mengembangkan ide-ide khususnya dalam hubungannya dengan tahap perkembangan dan peran
sosial terhadap pembentukan ego. Ego berkembang melalui respon terhadap kekuatan dalam dan
kekuatan lingkungan sosial. Ego bersifat adaptif dan kreatif, berjuang aktif (otonomi) membantu
diri menangani dunianya. Erikson masih mengakui adanya kualitas dan inisiatif sebagai bentuk
dasar pada tahap awal, namun hal itu hanya bisa berkembang dan masak melalui pengalaman
sosial dan lingkungan. Dia juga mengakui sifat rentan ego, defense yang irasional, efek trauma-
anxieO-guilt yang langgeng, dan dampak lingkungan yang membatasi dan tidak peduli terhadap
individu. Namun menurutnya ego memiliki sifat adaptif, kreatif, dan otonom (adaptable,
creative, dan autonomy). Dia memandang lingkungan bukan semata-mata menghambat dan
menghukum (Freud), tetapi juga mendorong dan membantu individu. Ego menjadi mampu –
terkadang dengan sedikit bantuan dari terapis – menangani masalah secara efektif.
Erikson menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego, yang tidak ada pada
psikoanalisis Freud, yakni kepercayaan dan penghargaan, otonomi dan kemauan, kerajinan dan
kompetensi, identitas dan kesetiaan, keakraban dan cinta, generativitas dan pemeliharaan, serta
integritas. Ego semacam itu disebut juga ego-kreatif, ego yang dapat menemukan pemecahan
kreatif atas masalah baru pada setiap tahap kehidupan. Apabila menemui hambatan atau konflik,
ego tidak menyerah tetapi bereaksi dengan menggunakan kombinasi antara kesiapan batin dan
kesempatan yang disediakan lingkungan. Ego bukan budak tetapi justru menjadi tuan/pengatur
id, superego dan dunia luar. Jadi, ego di samping basil proses faktor-faktor genetik, fisiologik,
dan anatomis, juga dibentuk oleh konteks kultural dan historik. Ego yang sempurna,
digambarkan Erikson memiliki tiga dimensi, faktualitas, universalitas, dan aktualitas:
Faktualitas adalah kumpulan fakta, data, dan metoda yang dapat diverifikasi dengan metoda
kerja yang sedang berlaku. Ego berisi kumpulan fakta dan data basil interaksi dengan
lingkungan.
Universalitas berkaitan dengan kesadaran akan kenyataan (sells of reality) yang menggabungkan
hal yang praktis dan kongkrit dengan pandangan semesta, mirip dengan prinsip realita dari
Freud.
Aktualitas adalah cara baru dalam berhubungan satu dengan yang lain, memperkuat hubungan
untuk mencapai tujuan bersama. Ego adalah realitas kekinian, terus mengembangkan cara baru
dalam memecahkan masalah kehidupan, yang lebih efektif, prospektif, dan progresif.
Menurut Erikson, ego sebagian bersifat taksadar, mengorganisir dan mensintesa pengalaman
sekarang dengan pengalaman diri masa lalu dan dengan diri masa yang akan datang. Dia
menemukan tiga aspek ego yang saling behubungan, yakni body ego (mengacu ke pangalaman
orang dengan tubuh/fisiknya sendiri), ego ideal (gambaran mengenai bagaimana seharusnya diri,
sesuatu yang bersifat ideal), dan ego identity (gambaran mengenai diri dalam berbagai peran
sosial). Ketiga aspek itu umumnya berkembang sangat cepat pada masa dewasa, namun
sesungguhnya perubahan ketiga elemen itu terjadi pada semua tahap kehidupan.
Teori Ego dari Erikson yang dapat dipandang sebagai pengembangan dari teori perkembangan
seksual-infantil dari Freud, mendapat pengakuan yang luas sebagai teori yang khas, berkat
pandangannya bahwa perkembangan kepribadian mengikuti prinsip epigenetik. Bagi organisme,
untuk mencapai perkembangan penuh dari struktur biologis potensialnya, lingkungan harus
memberi stimulasi yang khusus. Menurut Erikson, fungsi psikoseksual dari Freud yang bersifat
biologis juga bersifat epigenesis, artinya psikoseksual untuk berkembang membutuhkan
stimulasi khusus dari lingkungan, dalam hal ini yang terpenting adalah lingkungan sosial.
Sama seperti Freud, Erikson menganggap hubungan ibu-anak menjadi bagian penting dari
perkembangan kepribadian. Tetapi Erikson tidak membatasi teori hubungan id-ego dalam bentuk
usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego. Menurutnya, situasi memberi makan merupakan
model interaksi sosial antara bayi dengan dunia luar. Lapar jelas manifestasi biologis, tetapi
konsekuensi dari pemuasan id (oleh ibu) itu akan menimbulkan kesan bagi bayi tentang dunia
luar. Dari pengalaman makannya, bayi belajar untuk mengantisipasi interaksinya dalam bentuk
kepercayaan dasar (basic trust), yakni mereka memandang kontak dengan manusia sangat
menyenangkan karena pada masa lalu hubungan semacam itu menimbulkan rasa aman dan
menyenangkan. Sebaliknya, tanpa basic trust bayi akan mengantisipasi interaksi interpersonal
dengan kecemasan, karena masa lalu hubungan interpersonalnya menimbulkan frustrasi dan rasa
sakit
Kepercaayaan dasar berkembang menjadi karakteristik ego yang mandiri, bebas dari dorongan
drives darimana dia berasal. Hal yang sama terjadi pada fungsi ego seperti persepsi, pemecahan
masalah, dan identias ego, beroperasi independen dari drive yang melahirkan mereka. Ciri khas
psikologi ego dari Erikson dapat diringkas sebagai berikut:
Erikson menekankan kesadaran individu untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh sosial. Pusat
perhatian psikologi ego adalah kemasakan ego yang sehat, alih-alih konflik salah suai yang
neurotik.
Erikson berusaha mengembangkan teori insting dari Freud dengan menambahkan konsep
epigenetik kepribadian.
Erikson secara eksplisit mengemukakan bahwa motif mungkin berasal dari impuls id yang
taksadar, namun motif itu bisa membebaskan diri dari id seperti individu meninggalkan peran
sosial di masa lalunya. Fungsi ego dalam pemecahan masalah, persepsi, identitas ego, dan dasar
kepercayaan bebas dari Id, membangun sistem kerja sendiri yang terlepas dari sitem kerja id.
Erikson menganggap ego sebagai sumber kesadaran diri seseorang. Selama menyesuaikan diri
dengan realita, ego mengembangkan perasaan keberlanjutan diri dengan masa lalu dan masa
yang akan datang.
KeraguanTahapan 3
(4 s.d 5 tahun)Lokomotor-GenitalBisakah aku mandiri dari orang tuaku dan menjelajahi batas-
batas kemampuanku?Dorongan, kesempatan
Rasa bersalahTahapan 4
Pendidikan atau palatihan yang buruk, kurangnya pengarahan dan dukunganRasa mantap
(12 s.d 18 tahun)Pubertas dan Masa RemajaSiapa saya? Seperti apa keyakinanku, perasaanku,
dan sikap-sikapku?Stabilitas internal dan kesinambungan, model-model seks yang tepat, dan
umpan balik yang positif
Kekacauan tujuan, umpan balik yang tidak jelas, harapan-harapan yang tidak tepatIdentitas
(awal masa dewasa)Awal Masa DewasaBisakah aku memberikan diriku sepenuhnya bagi orang
lain?Sikap hangat, pemahaman, rasa percaya
Kesepian, perasaan terasingKedekatan
KeterkucilanTahapan 7
Generativitas
KemandekanTahapan 8
Konflik-konflik ini tidak berlangsung dalam situasi “sekali untuk selamanya” melainkan
berlangsung sebagai proses di sepanjang rangkaian (kontinum) psikologis. Titik-titik ekstrem
dalam kontinum ini tidak ada dalam kenyataan, namun bagian-bagian dari setiap titik ekstrem itu
seringkali bisa ditemukan pada semua individu dalam tahapan mana pun. Sebagai contoh, tidak
ada anak yang tumbuh dengan rasa percaya (trust) sepenuhnya atau rasa tidak percaya (distrust)
sepenuhnya – masing-masing individu beradaptasi sesuai dengan apa yang digariskan oleh
tuntutan-tuntutan sosial.
Seperti dijelaskan pada jawaban di atas bahwa, Erikson adalah murid dari Freud sehingga
Erikson adalah pengembang teori Freud dan mendasarkan kunstruk teori psikososialnya dari
psiko-analisas Freud. Kalau Freud memapar teori perkembangan manusia hanya sampai masa
remaja, maka para penganut teori psiko-analisa (freud) akan menemukan kelengkapan penjelasan
dari Erikson, walaupun demikian ada perbedaan antara psikoseksual Freud dengan psikososial
Erikson. Beberapa aspek perbedan tersebut dapat dilihat di bawah ini:
Hubungan-hubungan yang penting lebih luas, Hubungan segitiga antara anak, ibu dan ayah
karena mengikutsertakan pribadi-pribadi lain menjadi landasan yang terpenting dalam
yang ada dalam lingkungan hidup yang langsung
pada anak. Hubungan antara anak dan orang tua perkembangan kepribadian.
melalui pola pengaturan bersama (mutual
regulation).
Konflik timbul antara ego dengan lingkungan Timbulnya berbagai hambatan dalam ke-hidupan
sosial yang disebut: konflik sosial. psikisnya karena konflik internal, antara id dan
super ego.
“Menempatkan titik tekan yang lebih “Menempatkan titik tekan yang lebih
besar pada dimensi sosialisasi” besar pada dimensi psikologi”
Padangan teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah
satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud,
Erikson mendapat posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap
perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia; satu hal yang tidak dilakukan oleh
Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran manusia,
sementara teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap
lebih realistis.
Seperfi teori Freud, teori Erikson juga membagi proses-proses perkembangan ke dalam
serangkaian tahapan yang diatur oleh kekuatan-kekuatan maturasional dan ditandai oleh adanya
konflik. Teori Erikson terdiri atas delapan tahapan semacam itu, yang masing-masingnya terkait
dengan krisis yang harus diselesaikan oleh individu untuk bisa berpindah ke tahapan berikutnya.
Dalam pandangan Erikson, proses pematangan (maturational) bisa jadi merupakan faktor
pendorong munculnya tahapan baru; adapun tuntutan sosial, yang telah ada sejak manusia dalam
kandungan hingga kematian, bertindak sebagai kekuatan penengah dan pembentuk.
Apabila teori Freud bertumpu pada hubungan antara energi kehidupan (libido) dengan
fungsi-fungsi psikologis individu, teori Erikson menekankan pentingnya kedudukan ego. Bagi
Erikson, ego merupakan struktur penyatu, dan kekuatan ego merupakan lem yang merekatkan
berbagai aspek atau dimensi fungsi-fungsi psikologis. Pandangan Erikson mengenai ego ini
serupa dengan yang ada pada Freud: ego adalah pelaksana tindakan pencapaian-tujuan realistis
dan menjadi penengah antara dorongan biologis id dan batasan masyarakat berupa superego.
Namun sifat perkembangan yang ada dalam teori Erikson menjadikan ego sebagai struktur yang
paling penting. Melalui ego, manusia mengalami dan menyelesaikan krisis-krisis perkembangan
tertentu. Ketika ego goyah dan tidak bisa menangani suatu krisis, maka perkembangan pun
menjadi terancam.
Seperti Freud, Erikson yakin bahwa meskipun dorongan biologis memiliki arti yang amat
penting, namun tekanan sosial dan kekuatan lingkungan memiliki dampak yang lebih besar.
Pengamatan terperinci atas kekuatan-kekuatan seperti ini dalam kehidupan individu akan
memperlihatkan apa yang oleh Erikson disebut sebagai psikohistori (psychohistory) -yakni
riwayat kejadian-kejadian sosial yang berinteraksi dengan proses-proses biologis sehingga
menghasilkan perilaku. Teknik yang banyak digunakan Erikson adalah menghubungkan antara
pengalaman masa lalu individu dengan perilaku mereka sekarang sebagai upaya untuk
memahami faktor-faktor motivasi, hasil-hasil perilaku, dan kebutuhan-kebutuhan individu pada
masa berikutnya. Apabila tahapan-tahapan perkembangan dalam teori Freud mengandung ciri
psikoseksual, maka tahapan-tahapan Erikson mengandung ciri psikososial, lantaran
pengamatannya yang serius terhadap faktor-faktor tersebut.
Teori perkembangan psikoseksual Sigmund Freud adalah salah satu teori yang paling
terkenal, akan tetapi juga salah satu teori yang paling kontroversial. Freud percaya kepribadian
yang berkembang melalui serangkaian tahapan masa kanak-kanak di mana mencari kesenangan-
energi dari id menjadi fokus pada area sensitif seksual tertentu. Energi psikoseksual, atau libido ,
digambarkan sebagai kekuatan pendorong di belakang perilaku.
Menurut Sigmund Freud, kepribadian sebagian besar dibentuk oleh usia lima tahun. Awal
perkembangan berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan terus mempengaruhi
perilaku di kemudian hari.
Jika tahap-tahap psikoseksual selesai dengan sukses, hasilnya adalah kepribadian yang sehat.
Jika masalah tertentu tidak diselesaikan pada tahap yang tepat, fiksasi dapat terjadi. fiksasi
adalah fokus yang gigih pada tahap awal psikoseksual. Sampai konflik ini diselesaikan, individu
akan tetap “terjebak” dalam tahap ini. Misalnya, seseorang yang terpaku pada tahap oral
mungkin terlalu bergantung pada orang lain dan dapat mencari rangsangan oral melalui
merokok, minum, atau makan.
1. Fase Oral
Pada tahap oral, sumber utama bayi interaksi terjadi melalui mulut, sehingga perakaran dan
refleks mengisap adalah sangat penting. Mulut sangat penting untuk makan, dan bayi berasal
kesenangan dari rangsangan oral melalui kegiatan memuaskan seperti mencicipi dan mengisap.
Karena bayi sepenuhnya tergantung pada pengasuh (yang bertanggung jawab untuk memberi
makan anak), bayi juga mengembangkan rasa kepercayaan dan kenyamanan melalui stimulasi
oral.
Konflik utama pada tahap ini adalah proses penyapihan, anak harus menjadi kurang bergantung
pada para pengasuh. Jika fiksasi terjadi pada tahap ini, Freud percaya individu akan memiliki
masalah dengan ketergantungan atau agresi. fiksasi oral dapat mengakibatkan masalah dengan
minum, merokok makan, atau menggigit kuku.
2. Fase Anal
Pada tahap anal, Freud percaya bahwa fokus utama dari libido adalah pada pengendalian
kandung kemih dan buang air besar. Konflik utama pada tahap ini adalah pelatihan toilet – anak
harus belajar untuk mengendalikan kebutuhan tubuhnya. Mengembangkan kontrol ini
menyebabkan rasa prestasi dan kemandirian.
Menurut Sigmund Freud, keberhasilan pada tahap ini tergantung pada cara di mana orang tua
pendekatan pelatihan toilet. Orang tua yang memanfaatkan pujian dan penghargaan untuk
menggunakan toilet pada saat yang tepat mendorong hasil positif dan membantu anak-anak
merasa mampu dan produktif. Freud percaya bahwa pengalaman positif selama tahap ini
menjabat sebagai dasar orang untuk menjadi orang dewasa yang kompeten, produktif dan kreatif.
Namun, tidak semua orang tua memberikan dukungan dan dorongan bahwa anak-anak perlukan
selama tahap ini. Beberapa orang tua ‘bukan menghukum, mengejek atau malu seorang anak
untuk kecelakaan. Menurut Freud, respon orangtua tidak sesuai dapat mengakibatkan hasil
negatif. Jika orangtua mengambil pendekatan yang terlalu longgar, Freud menyarankan bahwa-
yg mengusir kepribadian dubur dapat berkembang di mana individu memiliki, boros atau
merusak kepribadian berantakan. Jika orang tua terlalu ketat atau mulai toilet training terlalu
dini, Freud percaya bahwa kepribadian kuat-analberkembang di mana individu tersebut ketat,
tertib, kaku dan obsesif.
3. Fase Phalic
Pada tahap phallic , fokus utama dari libido adalah pada alat kelamin. Anak-anak juga
menemukan perbedaan antara pria dan wanita. Freud juga percaya bahwa anak laki-laki mulai
melihat ayah mereka sebagai saingan untuk ibu kasih sayang itu. Kompleks
Oedipusmenggambarkan perasaan ini ingin memiliki ibu dan keinginan untuk menggantikan
ayah.Namun, anak juga kekhawatiran bahwa ia akan dihukum oleh ayah untuk perasaan ini,
takut Freud disebut pengebirian kecemasan.
Istilah Electra kompleks telah digunakan untuk menggambarkan satu set sama perasaan yang
dialami oleh gadis-gadis muda. Freud, bagaimanapun, percaya bahwa gadis-gadis bukan iri
pengalaman penis.
Akhirnya, anak menyadari mulai mengidentifikasi dengan induk yang sama-seks sebagai alat
vicariously memiliki orang tua lainnya. Untuk anak perempuan, Namun, Freud percaya bahwa
penis iri tidak pernah sepenuhnya terselesaikan dan bahwa semua wanita tetap agak terpaku pada
tahap ini. Psikolog seperti Karen Horney sengketa teori ini, menyebutnya baik tidak akurat dan
merendahkan perempuan. Sebaliknya, Horney mengusulkan bahwa laki-laki mengalami perasaan
rendah diri karena mereka tidak bisa melahirkan anak-anak.
4. Fase Latent
Periode laten adalah saat eksplorasi di mana energi seksual tetap ada, tetapi diarahkan ke daerah
lain seperti pengejaran intelektual dan interaksi sosial. Tahap ini sangat penting dalam
pengembangan keterampilan sosial dan komunikasi dan kepercayaan diri.
Freud menggambarkan fase latens sebagai salah satu yang relatif stabil. Tidak ada organisasi
baru seksualitas berkembang, dan dia tidak membayar banyak perhatian untuk itu. Untuk alasan
ini, fase ini tidak selalu disebutkan dalam deskripsi teori sebagai salah satu tahap, tetapi sebagai
suatu periode terpisah.
5. Fase Genital
Pada tahap akhir perkembangan psikoseksual, individu mengembangkan minat seksual yang
kuat pada lawan jenis. Dimana dalam tahap-tahap awal fokus hanya pada kebutuhan individu,
kepentingan kesejahteraan orang lain tumbuh selama tahap ini. Jika tahap lainnya telah selesai
dengan sukses, individu sekarang harus seimbang, hangat dan peduli. Tujuan dari tahap ini
adalah untuk menetapkan keseimbangan antara berbagai bidang kehidupan.
TEORI PERKEMBANGAN MORAL MENURUT KOHLBERG
Posted on May 29, 2010 by Rofiah
Standard
Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada
penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori
perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada
pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara
, anak-anak diberi serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut
ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang
menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini
ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang
apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan
1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap
orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya
setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar
apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya
kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan
uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi
istrinya.”
Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi
hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab
serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat
tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran
yang diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain. Dengan adanya
cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-
masing ditandai oleh 2 tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi
yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang
dikendalikan secara internal.
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap
pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :
Tingkat Satu : Penalaran Prakonvensional.
Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral
Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral
dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh
orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk
mendapatkan hukuman.
Yaitu : tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak
taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan sendiri. Anak-anak
taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang
benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana seseorang
tersebut menaati stándar-stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang
lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.
Yaitu : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain sebagai
landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya
sebagai yang terbaik.
Yaitu : dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukum-hukum,
keadilan, dan kewajiban.
Yaitu : nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu
orang ke orang lain.
Yaitu : seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia
universal. Dalam artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang
akan mengikuti suara hati.
Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa dalam ketentuan diatas
terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia. Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung
pada prakonvensional. Pada masa awal remaja cenderung pada konvensional dan pada awal masa
dewasa cenderung pada pascakonvensional. Demikian hasil teori perkembangan moral menurut
kohlberg dalam psikologi umum.
Ketika kita khususkan dalam memandang teori perkembangan moral dari sisi pendidikan pada peserta
didik yang dikembangkan pada lingkungan sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :
Yaitu : ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana mulai dari usia 4-10 tahun yang
belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak masih belum
menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan anak-anak taat karena orang-orang
dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum.
Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat
hukuman akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan penghindaran
dari hukuman.
Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa
mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana pada usia 10-13 tahun
yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
· Maksudnya : anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar dapat
memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman.
· Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi ada perkembangan kesadaran
terhadap perlunya aturan. Dalam hal ini terdapat pada pendidikan anak.
Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma Interpernasional ialah : dimana seseorang
menghargai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-
pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil
mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak yang baik.
· Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap wewenang dan aturan.
Yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana dari mulai usia 13
tahun ke atas yang memandang moral lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian disini
mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai yang harus dipakai dalam
segala situasi.
Pada perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu :
· Maksudnya dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah remaja dan dewasa mengartikan perilaku
baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan ddan patokan sosial.
· Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling
baik.
· Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan
dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya
uang boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa
melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu
sendiri.