Anda di halaman 1dari 25

PENGKAJIAN FISIK

SISTEM SENSORI PERSEPSI


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengkajian Fisik Sistem
SensoriPersepsi”.Makalah ini disusun dalam rangka melengkapi tugas perkuliahan Program
Studi Ilmu Keperawatan Stikes Wira Medika.
Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak terkait dalam penyusunan makalah
ini.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran sari smeua pihak demi kesempurnaan makalah
ini.Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..
iv
BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………. 1
1.2 Tujuan ………………………………………………………………………….. 1
1.3 Implikasi Keperawatan………………………………………………….. 2
BAB 2. TINJAUAN TEORI……………………………………………………………. 3
2.1 Pengertian……………………………………………………………………… 3
2.2 Jenis Pemeriksaan Fisik Sensori …………………………………….7
BAB 5. PENUTUP………………………………………………………………………… 27
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………………. 27
5.2 Saran………………………………………………………………………….. 27

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………. 28
LAMPIRAN …………………………………………………………………………………
29
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan persepsi sensori merupakan permasalahan yang sering ditemukan
seiring dengan perubahan lingkungan yang terjadi secara cepat dan tidak terduga.
Pertambahan usia, variasi penyakit, dan perubahan gaya hidup menjadi faktor penentu
dalam penurunan sistem sensori. Seringkali gangguan sensori dikaitkan dengan
gangguan persepsi karena persepsi merupakan hasil dari respon stimulus (sensori) yang
diterima.
Persepsi merupakan respon dari reseptor sensoris terhadap stimulus eksternal,
juga pengenalan dan pemahaman terhadap sensoris yang diinterpretasikan oleh stimulus
yang diterima (Nasution, 2003). Persepsi juga melibatkan kognitif dan emosional
terhadap interpretasi objek yang diterima organ sensori (indra). Adanya gangguan
persepsi mengindikasikan adanya gangguan proses sensori pada organ sensori, yaitu
penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Untuk itu, perlu
adanya pemeriksaan fisik sistem sensori untuk mengukur derajat gangguan sistem
sensori tersebut.
Adanya makalah ini diharapkan pembaca bisa sedikit mengetahui berbagai
macam dan teknik pemeriksaan sistem sensori. Dengan mengetahui pemeriksaan fisik
sistem sensori diharapkan permasalahan yang muncul dari hasil pemeriksaan tersebut
dapat teridentifikasi secara akurat sehingga dapat menentukan asuhan keperawatan
yang berkualitas.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini, yaitu untuk mengetahui berbagai macam
dan teknik pemeriksaan fisik sistem sensori pada dewasa dan anak.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui definisi sistem sensori

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sistem sensori

c. Untuk mengetahui tanda dan gejala gangguan sistem sensori

d. Untuk mengetahui definisi sistem sensori


e. Untuk mengetahui bentuk perubahan sensori

f. Untuk mengetahui tujuan pemeriksaan fisik sistem sensori

g. Untuk mengetahui jenis pemeriksaan fisik sistem sensori beserta masalah yang
ditemukan.

C. Implikasi Keperawatan
Peran perawat dalam melakukan pemeriksaan fisik pada sistem sensori disini yaitu
sebagai care giver, educator, advokasi, konselor dan peneliti. Care giver disini perawat
berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan yang didasarkan pada hasil temuan
masalah yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sistem sensori. Perawat sebagai
educator yaitu sebagai pendidik yang dapat mengajarkan pihak pasien atau keluarga
tentang penanganan masalah secara mandiri yang berfokus pada pemanfaatan potensi
individu maupun keluarga untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Peran perawat
sebagai advokasi yaitu perawat sebagai pelindung hak-hak pasien dari pihak-pihak yang
dapat merugikan pasien. Konselor yaitu perawat memberikan konseling pada pihak
keluarga atau pasien mengenai terapi maupun penyelesaian masalah gangguan sensori
yang ditemui. Peran peneliti yaitu perawat dapat menemukan penanganan yang baik dan
maksimal mengenai gangguan sistem sensori melalui penelitian sehingga dihasilkan
kualitas asuhan yang optimal.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Sensori merupakan stimulus, baik secara internal maupun eksternal yang masuk
melalui organ sensori berupa indra. Sistem sensori berperan penting dalam hantaran
informasi ke sistem saraf pusat mengenai lingkungan sekitarnya (Wilson & Hartwig,
2002 dalam Price & Wilson, 2002). Sistem sensori lebih kompleks dari sistem motorik
karena modal dari sensori memiliki perbedaan traktus, lokasi yang berbeda pada medulla
spinalis (Smeltzer & Brenda, 1996) sehingga pengkajiannya dilakukan secara subyektif
dan penguji dituntut untuk mengenali penyebaran saraf perifer dari medulla spinalis.
Pengkajian sistem sensori difokuskan pada bentuk subyektif dikarenakan sistem
sensori memiliki hubungan erat dengan persepsi. Persepsi merupakan kemampuan
mengidentifikasi sesuatu melalui proses mengamati, mengetahui, dan mengartikan
stimulus yang diterima melalui indra. Untuk itu, data subyektif yang diterima
berdasarkan persepsi individu dapat menentukan kenormalan dari sistem sensori tersebut.
Adanya abnormalitas (penurunan/gangguan) sensori mengindikasikan gangguan
neuropati perifer dan kerusakan otak akibat lesi yang luas sehingga menyebabkan
hilangnya sensasi yang dapat mengganggu seluruh sisi tubuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi sensori
1. Usia
Bayi memiliki jalur saraf yang belum matang sehingga tidak bisa membedakan
stimulus sensori. Sedangkan pada lansia mengalami perubahan degeneratif pada
organ sensori dan fungsi persyarafan sehingga mengalami penurunan fungsi pada
organ sensori, yaitu penurunan penglihatan, pendengaran, kesulitan persepsi,
penurunan diskriminatif rasa dan sensitivitas bau, perubahan taktil, gangguan
keseimbangan, dan disorientasi tempat dan waktu.
2. Medikasi
Beberapa antibiotik seperti streptomisin, gentamisin dapat merusak syaraf
pendengaran. Kloramfenikol mengiritasi syaraf optik. Obat analgesik, narkotik,
sedatif dan antidepresan dapat mengubah persepsi stimulus.
3. Lingkungan
Stimulus lingkungan yang terlalu ramai dan bising dapat membuat kebingungan,
disorientasi dan tidak mampu mebuat keputusan.Stimulus lingkungan yang
terisolasimengarah pada deprivasi sensori.Kualitas lingkungan yang buruk dapat
memperparah kerusakan sensori.
4. Tingkat kenyamanan
Nyeri dan kelelahan dapat merubah persepsi seseorang dan bagaimana dia
bereaksi terhadap stimulus.
5. Penyakit yang diderita
Penyakit seperti katarak menurunkan fungsi penglihatan. Infeksi telinga
menurunkan fungsi pendengaran. Penyakit vascular perifer menyebabkan
penurunan sensasi pada ekstrimitas dan kerusakan kognisi. Penyakit diabetes
kronik menurunkan penglihatan, kebutaan, maupun neuropati perifer. Penyakit
stroke menimbulkan penurunan kemampuan verbal, kerusakan fungsi motorik,
dan penerimaan sensori.
6. Merokok
Penggunaan tembakau mengakibatkan atrofi pada saraf pengecap sehingga
menurunkan persepsi rasa.
7. Tindakan medis
Intubasi endotrakea menyebabkan kehilangan berbicara sementara.
8. Tingkat kebisingan
Paparan kostan pada tingkat kebisingan tinggi mengakibatkan penurunan
pendengaran.

Tanda dan gejala seseorang yang mengalami gangguan sistem sensorik bermacam-
macam tergantung dari saraf yang mengalami gangguan. Tanda dan gejala yang umum
timbul antara lain:
1. Tidak dapat merasakan dan membedakan berbagai macam sensasi yang diberikan
pada tubuh.

2. Munculnya tanda romberg yaitu mengalami ketidakseimbangan tubuh pada saat


menutup mata.

Sedangkan beberapa bentuk perubahan sensori yang diketahui ada 3 jenis, yaitu
deficit sensori, deprivasi sensori, dan beban sensori berlebih
1. Defisit Sensori.

Adalah suatu kerusakan dalam fungsi normal penerimaan dan pesepsi sensori.
Individu tidak mampu menerima stimulus tertentu (misalnya kebutaan atau tuli),
atau stimulus menjadi distorsi (misalnya penglihatan kabur karena katarak).
Kehilangan sensori secara tiba-tiba dapat menyebabkan ketakutan, marah, dan
perasaan tidak berdaya.Pada awalnya individu bersikap menarik diri dengan
menghindari komunikasi atau sosialisasi dengan orang lain dalam suatu usaha
untuk mengatasi kehilangan sensori. Klien yang mengalami deficit sensori dapat
mengubah perilaku dalam cara-cara yang adaptif atau maladaptif
2. Deprivasi Sensori.
Sistem pengaktivasi reticular dalam batang otak menyebabkan semua stimulus
sensori ke korteks serebral, sehingga meskipun saat tidur yang nyenyak, klien
mampu menerima stimulus. Jika seseorang mengalami suatu stimulasi yang tidal
adekuat kualitas dan kuantitasnya seperti stimulus yang monoton atau tidakl
bermakna maka akan terjadi deprivasi sensori. Tiga jenis deprivasi sensori adalah
kurangnya input sensori (karena kehilangan penglihatan dan pendengaran ),
Eliminasi perintah atau makna dari input ( misal terpapar pada lingkungan asing )
dan Restriksi dari lingkungan ( misalnya tirah baring atau berkuranya variasi
lingkungan ) yang menyebabkan monoton dan kebosanan.

Efek dari deprivasi sensori adalah :


1. Kognitif
Penurunan kapasitas belajar, ketidakmampuan berpikir atau menyelesaikan
masalah, penampilan tugas buruk, disorientasi, berpikir aneh, regresi.

2. Afektif.
Kebosanan, kelelahan, peningkatan kecemasan, kelabilan emosi, dan peningkatan
kebutuhan untuk stimulasi fisik.

3. Persepsi.
Disorganisasi persepsi terjadi pada koordinasi visual, motorik, persepsi warna,
pergerakan nyata, keakuratan taktil, kemampuan untuk mempersepsikan ukiran
dan bentuk, penilaian mengenai ruang dan waktu.

4. Beban Sensori yang berlebihan

Adalah suatu kondisi dimana individu menerima banyak stimulus sensori dan
tidak dapat secara perceptual tidak menghiraukan beberapa stimulus. Pada
kondisi ini dapat mencegah otak untuk berespon secara tepat atau mengabaikan
stimulus tertentu. Sehingga individu tidak lagi mempersepsikan lingkungan
secara rasional. Kelebihan sensori mencegah respon yang bermakna oleh otak,
menyebabkan respon yang berpacu, perhatian bergerak pada banyak arah dan
menjadi lelah. Kelebihan sensori adalah individual, karena jumlah stimulus yang
dibutuhkan untuk berfungsi sehat bervariasi. Toleransi seseorang pada bebab
sensori yang berlebihan dapat bervariasi oleh tingkat kelelahan, sikap, dan
kesehatan emodional dan fisik. Perubahan perilaku yang berhubungan dengan
beban sensori yang berlebihan dapat dengan mudah menjadi bingung atau
disorientasi sederhana.

Pemeriksaan fisik pada sistem sensori berfokus pada fungsi neurologisnya klasifikasi
dari pemeriksaan fisik sistem sensori didasarkan pada organ sensori berupa sistem indra.
Sistem indra yang dikenal berupa pancaindra, yaitu:
1. Indra penglihatan (visual)

2. Indra pendengaran (auditori)

3. Indra perabaan (taktil)

4. Indra penciuman (olfaktori)

5. Indra pengecap (gustatory)

Adanya pemeriksaan fisik sistem sensori bertujuan sebagai berikut.


1. Menentukan derajat gangguan sensori dalam hubungannya dengan gangguan
gerak

2. Sebagai acuan untuk re-edukasi sensori

3. Mencegah terjadinya komplikasi sekunder

4. Menyusun sasaran dan rencana terapi (Pudjiastuti & Utomo, 2002)

B. Jenis Pemeriksaan Fisik Sensori


Pemeriksaan sistem sensori dilakukan dengan memeriksa kondisi kelima sistem indra
yaitu penglihatan, pendengaran, pembau, pengecap, dan peraba.
1. Pemeriksaan Fisik Indra Penglihatan
Pemeriksaan fisik mata dapat dilakukan dengan beberapa cara. Berikut ini akan
dijelaskan cara melakukan pemeriksaan mata yaitu:
a. Pemeriksaan ketajaman penglihatan (pemeriksaaan visus)
Mata merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai indera penglihatan
sehingga pemeriksaan ketajaman mata sangat penting untuk bisa mengetahui
fungsi mata. Pemeriksaan ketajaman mata dilakukan paling awal sebelum
melakukan pemeriksaan mata lebih lanjut.
Ketajaman penglihatan dituliskan dalam rasio perbandingan jarak penglihatan
normal seseorang dengan jarak penglihatan yang dapat dilihat oleh orang
seseorang. Misalnya ketajaman penglihatan 20/30 yang berarti seseorang
dapat melihat dengan jarak 20 kaki sedangkan pada penglihatan normal dapat
dilihat dengan jarak 30 kaki. Orang dengan mata normal memiliki nilai
ketajaman mata 20/20.
b. Alat:
1) Kartu Snellen
2) Lampu senter
3) Karton untuk menutup mata
Indikasi: pada pasien yang diduga mengalami gangguan sensori.

Kontraindikasi: –
Cara melakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan menggunakan kartu snellen
ini yaitu:
1. Pasien berdiri sejauh 6 meter (20 kaki) dari kartu snellen.
2. Minta pasien untuk menutup salah satu mata dengan karton.

3. Minta pasien untuk membaca huruf yang ada pada kartu sampai pasien tidak
dapat membaca lagi huruf tersebut.

Menilai pasien dengan penglihatan buruk


Jika pasien tidak dapat membaca huruf yang ada pada kartu snellen, maka pasien
harus diperiksa menggunakan kemampuan membaca jari tangan. Cara
pemeriksaan menggunakan kemampuan membaca jari tangan yaitu:
1. Tutup salah satu mata pasien.

2. Perawat berdiri di depan pasien dengan menunjukkan angka pada jari


perawat.

3. Jika pasien tidak dapat melihat jari perawat maka dilakukan pemeriksaan
menggunakan cahaya.

Namun seringkali pemeriksaan sistem penglihatan menghadapi kendala pada


pasien anak-anak, orang dengan gangguan mental, dan orang yang berpura-pura
tidak melihat karena pemeriksaan ini berfokus pada subyektif,yaitu interpretasi
dari respon yang dirasakan pasien. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu
teknik pemeriksaan yang berfokus pada objektif dan memiliki korelasi dengan
daya penglihatannya melalui alat yang disebut nystagmometer.
Nystagmometer merupakan alat pemeriksaan visus secara objektif yang
disasarkan pada gejala faal yang dikenal dengan nama “pursuit eye movement”,
yaitu bahwa mata seseorang akan bergerak mengikuti suatu benda yang menjadi
perhatiannya, apabila benda tersebut bergerak (Sarwono: 1982). Peristiwa
tersebut disebut sebagai optokinetik nystagmus. Intinya, seseorang akan
mengikuyi objek penyebab nystagmug-nya tersebut. Semakin kecil objek yang
dapat menimbulkan gerakan bola mata akibat mata yang mengikuti gerakan objek
tersebut, semakin baik daya penglihatan orang tersebut.
Kelainan pada mata:
1. Astigmatis
Astigmatis atau yang sering dikenal dengan mata silindris merupakan suatu
kelainan mata yang menyebabkan mata penderitanya menjadi kabur. Gangguan ini
terjadi akibat penderita tidak dapat melihat garis horizontal dan vertical secara
bersamaan. Kornea pada penderita astigmatis berbentuk abnormal. Kornea normal
berbentuk bulat seperti bola, tetapi pada gangguan ini kornea mata memiliki
lengkungan yang terlalu besar pada salah satu sisinya. Cara menangani astigmatis
ini adalah dengan menggunakan kacamata silinder atau lensa kontak.
2. Miopi
Miopi atau rabun jauh merupakan kelainan mata yang menyebabkan penderitanya
tidak dapat melihat dalam jarak jauh. Penyebab dari miopi adalah bola mata yang
terlalu panjang dan bayangan benda yang jatuh di depan bintik kuning. Cara
menangani miopi yaitu dengan menggunakan kacamata cekung (negative).
3. Hipermetropi
Hipermetropi atau rabun dekat merupakan gangguan pada mata yang ditandai
dengan penderita tidak dapat melihat dengan jelas dalam jarak dekat. Penyebab
dari hipermetropi ini yaitu adanya kelainan bola mata yang terlalu pendek dan
bayangan jatuh di belakang bintik kuning. Cara menangani gangguan ini adalah
dengan memakai kacamata lensa cembung (positif).
4. Presbiopi
Presbiopi atau rabun dekat dan jauh merupakan gangguan mata yang ditandai
dengan penderita tidak dapat melihat dalam jarak dekat dan jauh. Penyebab dari
gangguan ini adalah semakin berkurangnya daya akomodasi dari mata. Cara
mengatasi gangguan ini adalah dengan memakai kacamata berlensa rangkap (atas
negative, bawah positif).
5. Rabun senja
Gangguan ini ditandai dengan penderitanya tidak dapat melihat dengan baik saat
malam hari atau kurang cahaya. Penyebab dari gangguan ini adalah kurangnya
vitamin A. cara mencegah dan mengatasi masalah ini adalah dengan
mengkonsumsi makanan kaya vitamin A.
6. Keratomalasi
Gangguan ini ditandai dengan kornea mata yang keruh yang penyebabnya
kekurangan vitamin A yang sangat parah sehingga penyakit ini merupakan tingkat
lanjut dari rabun senja. Apabila hal ini tidak segera diatasi akan menyebabkan
kebutaan.
7. Katarak
Kelainan pada lensa mata karena lensa mata menjadi kabur dan keruh yang
menyebabkan cahaya yang masuk tidak dapat mencapai retina. Katarak dapat
diatasi dengan cara operasi.
8. Juling
Kelainan ini sebagai akibat ketidakserasian kerja otot penggerak bola mata kanan
dan kiri. Penyakit ini bisa diatasi dengan cara operasi pada otot mata.
9. Glaukoma
Gangguan ini ditandai dengan peningkatan tekanan di dalam bola mata karena
danya sumbatan pada saluran di dalam bola mata dan pembentukan cairan berlebih
dalam bola mata. Gangguan ini bisa diatasi dengan cara pembedahan atau obat-
obatan yang diminum seumur hidup.
10. Buta Warna
Penderita umumnya tidak dapat membedakan warna tertentu misal hijau dan biru.
Penyakit ini merupakan penyakit keturunan yang tidak dapat disembuhkan akan
tetapi ada juga penyebab lainnya misalkan saja karena kecelakaan atau trauma pada
mata.
Pemeriksaan lapangan pandangan
Cara yang paling mudah dalam melakukan pemeriksaan lapangan pandangan adalah
menggunakan metode uji telunjuk.
Indikasi: pasien yang diduga mengalami gangguan sensori.
Kontraindikasi: -
Cara:
1. Pasien dan perawat duduk berhadapan.
2. Minta pasien untuk menutup salah satu matanya.
3. Perawat juga ikut menutup salah satu matanya. Misalnya jika pasien menutup mata
kirinya, maka perawat menutu mata kanannya.
4. Minta pasien memandang hidung perawat.
5. Minta pasien menghitung jumlah jari yang ada pada bagian superior dan inferior
lirikan temporal dan nasal.
Pemeriksaan buta warna (tes isihara).
Salah satu gangguan mata yang bersifat herediter, yaitu buta warna. Buta warna
merupakan penglihatan warna-warna yang tidak sempurna, seringkali disebut sebagai
cacat penglihatan warna. Cacat penglihatan warna bersifat didapat, terkadang
merupakan gejala dini kerusakan mata. Untuk mengetahui adanya cacat penglihatan
mata perlu dilakukan tes isihara.
Tes isihara merupakan gambar-gambar pseudoisokromatik yang disusun oleh titik dan
kepadatan warna yang berbeda, berasal dari warna primer yang didasarkan warna yang
hamper sama. Titik-titik warna tersebut disusun dengan bentuk dan pola tertentu tanpa
adanya kelainan persepsi warna.
1. Alat dan bahan:

Gambar pseudoisokromatik
b. Teknik:
1. Kartu isihara diletakkan di tempat dengan penerangan baik

2. Pasien diminta menyebutkan gambar atau angka pada kartu tersebut dalam 10 detik

c. Penilaian
Bila lebih dari 10 detik berarti terdapat kelainan penglihatan warna buta warna merah hijau
terdapat atrofi saraf optik, buta warna biru kuning terdapat pada retinopati hipertensif,
retinopati diabetic dan degenerasi macula senile dini. Degenerasi pada macula stargardts dan
fundus lamikulatus memberikan gangguan penglihatan warna merah-hijau.
d.Petunjuk Pengisian Gambar
No 1 : semua orang baik normal atau buta warna dapat membaca dengan benar angka 12.
Bagian ini biasanya digunakan pada awal test.
No 2 : pada orang normal terbaca “8” dengan defisiensi merah-hijau “3”.
No 3 : pada orang normal terbaca “5” dengan defisiensi merah-hijau “2”.
No 4 : pada orang normal terbaca “29” dengan defisiensi merah-hijau “70”.
No 5 : pada orang normal terbaca “74” dengan defisiensi merah-hijau “21”.
No 6-7 : pada orang normal dapat membaca dengan benar tetapi pada orang dengan defisiensi
merah hijau, susah atau tidak dapat membacanya.
No 8 : pada orang normal dengan jelas “2” tetapi bagi defisiensi merah-hijau tidak jelas.
No 9 : pada orang normal susah atau tidak terbaca tetapi kebanyakan pada orang dengan
defisiensi merah hijau melihat “2”.
No 10 : pada orang normal angka terbaca “16” tetapi bagi defisiensi merah hijau tidak dapat
membaca.
No 11 : gambar garis yang melilit diantara 2 xs. Pada orang normal, dapat mengikuti garis
ungu-hijau. Tetapi pada orang buta warna tidak dapat mengikuti atau dapat mengikuti tapi
berbeda dengan orang normal.
No 12 : pada orang normal dan defesiensi merah hijau melihat angka “35” tetapi pada
protanopia dan protanomali berat hanya dapat membaca angka “5” dan pada deuteranopia
dan deuteranopia berat terbaca angka “3”.
No 13 : pada orang normal dan defesiensi merah hijau ringan melihat angka “96” tetapi pada
protonopia dan protonopia berat hanya terbaca “6”.
No 14 : pada orang normal dapat mengikuti garis yang melilit 2 xs, ungu dan merah; pada
protanopia dan protanomali berat hanya mengikuti garis ungu dan pada protanomali ringan
kedua garis diikuti tetapi garis ungu kurang terlihat untuk diikuti; pada deuteranopia dan
deuteranomalia berat hanya garis merah yang diikuti; pada deuteranomalia ringan kedua garis
dapat diikuti tetapi garis merah kurang terlihat untuk diikuti.
Gambar: ishihara test

3.2.2 Pemeriksaan Fisik Indra Pendengaran


Sama halnya dengan pemeriksaan mata, dalam melakukan pemeriksaan telinga juga dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
1. Tes ketajaman auditorius

Tes ini akan dapat mengetahui kemampuan pasien dalam mendengarkan bisikan kata(voice
test) atau detakan jam tangan.
1. Alat: bel kecil

2. Indikasi: dapat dilakukan pada semua usia yang diduga mengalami gangguan sensori.
3. Kontraindikasi: –

4. Cara:

1)Bayi:
a) Perawat berdiri di belakang anak.
b) Bunyikan sebuah bel kecil, bunyikan jari-jari atau tepuk tangan.
c) Hasilnya: pada bayi yang kurang dari 4 bulan menunjukkan reflek terkejut. Bayi yang
berusia 6 bulan/lebih mencoba mencari suara dengan menggerakkan mata atau kepala
mereka.
2)Anak usia prasekolah:
a) Perawat berdiri 0,6 sampai 0,9 meter di depan anak.
b) Berikan instruksi tertentu pada anak.
c) Hasil: anak dengan pendengaran normal akan melakukan instruksi.
3)Anak usia sekolah
a) Berdiri kira-kira 0,3 m di belakang anak.
b) Perintahkan anak untuk menutup telinganya.
c) Bisikkan angka pada anak.
d) Perintahkan anak untuk menirukan angka yang dibisikkan.
e) Lakukan pada telinga lainnya.

1. Uji garputala

2.1 Uji weber


1. Alat: garputala.

2. Tujuan: untuk membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural.

3. Indikasi: bisa digunakan pada anak-anak dan dewasa.

4. Kontraindikasi: –

5. Cara:

1)Pukulkan garputala pada telapak tangan.


2)Letakkan garputalapada garis tengah kepala pasien.
3)Tanyakan pada pasien letak suara yang terdengar paling keras.
1. Hasil: pada pasien sensorineural, suara terdengar pada telinga yang tidak terganggu.
Ssedangkan pada tuli konduktif, suara terdengar lebih jelas pada telinga yang terganggu.
Gambar: tes weber

2.2 Uji rinne


1. Alat: garputala.

2. Tujuan: untuk membandingkan hantaran udara dan tulang.

3. Indikasi: dapat dilakukan pada anak dan dewasa.

4. Kontraindikasi:

5. Cara:

1)Pukulkan garputala pada telapak tangan.


2)Letakkan batang garputala ke tulang mastoideus pasien.
3)Ketika pasien menunjukkan bahwa suara tidak terdengar lagi, dekatkan gigi garputala ke
meatus eksternus salah satu telinga.
4)Lakukan cara yang sama pada telinga lainnya.
Gambar: rinne test
2.3 uji Scwabach
1. Alat: garputala.

2. Tujuan: untuk membandingkan hantaran bunyi dari 2 subyek.

3. Indikasi: dapat dilakukan pada anak dan dewasa.

4. Kontraindikasi: –

5. Cara:

1. Getarkan garputala yang dipegang

2. Letakkan ujung garputalapada lubang telinga pasien

3. Ketika pasien menunjukkan bahwa suara tidak terdengar lagi,

4. Lakukan cara yang sama pada telinga subyek kedua atau pemeriksa

5. Bandingkan hasilnya dari kedua subyek tersebut

6. Hasil:

1)Normal: anak akan mendengar suara garputala di meatus eksternus setelah tidak terdengar
di prosesus mastoideus dan suara dapat terdengar sama baiknya.
2)Abnormal: pada kehilangan pendengaran sensorineural memungkinkan suara yang
dihantarkan lewat udara lebih baik dari pada lewat tulang dan segala suara diterima seperti
sangat jauh dan lemah.

3.2.3 Pemeriksaan Fisik Pengecap.


Pada hakekatnya, lidah mempunyai hubungan erat dengan indera khusus pengecap. Zat yang
memberikan impuls pengecap mencapai sel reseptor lewat pori pengecapan. Ada empat
kelompok pengecap atau rasa yaitu manis, asin, asam, dan pahit.
Gangguan indera pengecap biasanya disebabkan oleh keadaan yang mengganggu tastants
atau zat yang memberikan impuls pengecap pada sel reseptor dalam taste bud (gangguan
transportasi) yang menimbulkan cedera sel reseptor (gangguan sensorik) atau yang merusak
serabut saraf aferen gustatorius serta lintasan saraf sentral gustatorius (gangguan neuron).
Manifestasi klinis dari indera pengecap apabila dilihat dari sudut pandang psikofisis,
gangguan pada indera pengecap dapat digolongkan menurut keluhan pasien atau menurut
hasil pemeriksaan sensorik yang objektif missal sebagai berikut.
1. Ageusia total adalah ketidakmampuan untuk mengenali rasa manis, asin, pahit, dan asam.

2. Ageusia parsial adalah kemampuan mengenali sebagian rasa saja.

3. Ageusia spesifik adalah ketidakmampuan untuk mengenali kualitas rasa pada zat tertentu.

4. Hipogeusia total adalah penurunan sensitivitas terhadap semua zat pencetus rasa.

5. Hipogeusia parsial adalah penurunan sensitivitas terhadap sebagian pencetus rasa.

6. Disgeusia adalah kelainan yang menyebabkan persepsi yang salah ketika merasakan zat
pencetus rasa.

Pasien dengan keluhan hilangnya rasa bisa dievaluasi secara psikofisis untuk fungsi
gustatorik selain menilai fungsi olfaktorius. Langkah pertama melakukan tes rasa seluruh
mulut untuk kualitas, intensitas, dan persepsi kenyamanan dengan sukrosa, asam sitrat,
kafein, dan natrium klorida. Tes rasa listrik (elektrogustometri) digunakan secara klinis untuk
mengidentifikasi defisit rasa pada kuadran spesifik dari lidah. Biopsi papilla foliate atau
fungiformis untuk pemeriksaan histopatologik dari kuncup rasa masih eksperimental akan
tetapi cukup menjanjikan mengetahui adanya gangguan rasa.
3.2.4 Pemeriksaan Fisik Peraba.
Pemeriksaan fisik indra perabaan didasarkan pada sensibilitas. Pemeriksaan fisik sensori
indra perabaan (taktil) terbagi atas 2 jenis, yaitu basic sensory modalities dan testing higher
integrative functions. Basic sensory modalities(pemeriksaan sensori primer) berupa uji
sensasi nyeri dan sentuhan, uji sensasi suhu, uji sensasi taktil, uji propiosepsi (sensasi letak),
uji sensasi getar (pallestesia), dan uji sensasi tekanan. Sedangkan testing higher integrative
functions (uji fungsi integratif tertinggi) berupa stereognosis, diskriminasi 2 titik, persepsi
figure kulit (grafitesia), ekstinksi, dan lokalisasi titik.
Sensasi raba dihantarkan oleh traktus spinotalamikus ventralis. Sedangkan sensasi nyeri dan
suhu dihantarkan oleh serabut saraf menuju ganglia radiks dorsalis dan kemudian serabut
saraf akan menyilang garis tengah dan akan masuk menuju traktus spinotalamikus lateralis
kontralateral yang akan berakhir di talamus sebelum dihantarkan ke korteks sensorik dan
diinterpretasi. Adanya lesi pada traktus-traktus tersebutlah yang dapat menyebabkan
gangguan sensorik tubuh.

1. Basic sensory modalities(pemeriksaan sensori primer)


1. Uji sensasi nyeri dan sentuhan

Uji sensasi nyeri dan sentuhan terbagi menjadi 2 macam, yaitu nyeri superficial (tajam-
tumpul) dan nyeri tekan.
1) Nyeri superficial
Merupakan metode uji sensasi dengan menggunakan benda yang memiliki 2 ujung, yaitu
tajam dan tumpul. Benda tersebut dapat berupa peniti terbuka maupun jarum pada reflek
hammer. Pasien dalam keadaan mata terpejam saat dilakukan uji ini dan dilakukan
pengkajian respon melalui pertanyaan “apa yang anda rasakan?” dan membandingkan sensasi
2 stimulus yang diberikan. Apabila terjadi keraguan respon maupun kesulitandan
ketidakmampuan dalam membedakan sensasi, maka hal ini mengindikasikan adanya deficit
hemisensori berupa analgesia, hipalgesia, maupun hiperalgesia pada sensasi nyeri. Sedangkan
gangguan pada sensasi sentuhan berupa anestesia dan hiperestesia.
2) Nyeri tekan
Merupakan metode uji sensori dengan mengkaji nyeri melalui penekanan pada tendon dan
titik saraf. Metode ini sering digunakan dalam uji sensori protopatik (nyeri superficial, suhu,
dan raba) dan uji propioseptik (tekanan, getar, posisi, nyeri tekan). Misalnya,
berdasarkan Abadie sign pada daerah dorsalis, tekanan ringan yang diberikan pada tendon
Achilles normalnya adalah ‘hilang’. Dengan kata lain tidak dapat dirasakan sensasi nyeri bila
diberikan tekanan ringan pada tendon Achilles.
1. Uji sensasi suhu
Uji sensasi suhu pada dasarnya lebih direkomendasikan apabila pasien terindikasi gangguan
sensasi nyeri. Hal ini dikarenakan pathways dari indra nyeri dan suhu saling berbuhungan.
Metode ini menggunakan gelas tabung yang berisi air panas dan dingin. Pasien diminta untuk
membedakan sensasi suhu yang dirasakan tersebut. Apabila pasien tidak dapat membedakan
sensasi,maka pasien dapat diindikasikan mengalami kehilangan “slove and stocking”
(termasuk dalam gangguan neuropati perifer).
1. Uji sensasi taktil

Uji sensasi taktil dilakukan dengan menggunakan sehelai dawai (senar) steril atau dapat juga
dengan menggunakan bola kapas. Pasien yang dalam keadaan mata terpejam akan diminta
menentukan area tubuh yang diberi rangsangan dengan memberikan hapusan bola kapas pada
permukaan tubuh bagian proksimal dan distal. Perbandingan sensitivitas dari tubuh proksimal
dan distal akan menjadi tolak ukur dalam menentukan adanya gangguan sensori. Indikasi dari
gangguan sensori pada uji sensasi taktil ini berupa hyperestetis, anastetis, dan hipestetik.
1. Uji propiosepsi (sensasi letak)

Uji ini dilakukan dengan menggenggam sisi jari pada kedua tungkai yang disejajarkan dan
menggerakkannya ke arah gerakan jari. Namun yang perlu diperhatikan adalah menghindari
menggenggam ujung dan pangkal jari atau menyentuh jari yang berdekatan karena lokasi
sensasinya mudah ditebak (memberikan isyarat sentuh). Pasien yang dalam keadaan mata
terpejam diminta untuk menentukan lokasi jari yang digerakkan.
Selain itu, uji ini juga dapat dilakukan dengan menguji posisi sensasi di sendi metakarpalia
palangeal untuk telapak kaki besar. Orang muda normal memiliki derajat diskriminasi sebesar
1 sampai 2 derajat untuk gerakan sendi distal jari dan 3 sampai 5 derajat untuk kaki besar.
1. Uji sensasi vibrasi (pallestesia)

Uji sensasi vibrasi dilakukan menggunakan garpu tala frekuensi rendah (128 atau 256 Hertz)
yang diletakkan pada bagian tulang yang menonjol pada tubuh pasien. Kemudian pasien
diminta untuk merasakan sensasi yang ada dengan memberikan tanda bahwa ia dapat
merasakan sensasi getaran. Apabila pasien masih tidak bisa merasakan sensasi getaran, maka
perawat menaikkan frekuensi garputala sampai pasien dapat merasakan sensasi getaran
tersebut. Pasien muda dapat merasakan getaran selama 15 detik di ibu jari kaki dan 25 deti di
sendi distal jari. Sedangkan pasien usia 70 tahun-an merasakan sensasi getaran masing-
masing selama 10 detik dan 15 detik.
1. Uji sensasi tekanan
Uji sensasi tekanan menerapkan kemampuan pasien dalam membedakan tekanan dar sebuah
objek pada ujung jari. Uji ini dilakukan dengan cara menekan aspek tulang sendi dan
subkutan untuk mempersepsikan tekanan. Rekomendasi untuk uji tekanan ini diutamakan
pada penderita diabetes dan dilakukan minimal sekali setahun.
1. Testing higher integrative functions(uji fungsi integratif tertinggi)
1. Stereognosis

Stereognosis merupakan kemampuan untuk mengenali objek dengan perasaan. Uji ini
merupakan identifikasi benda yang dikenal dan diletakkan di atas tangan pasien sehingga
pasien dapat mengidentifikasi benda yang berada di tangannya. Adanya kesulitan identifikasi
benda (gangguan stereognosis) mengindikasikan adanya lesi pada kolumna posterior atau
korteks sensori.
1. Diskriminasi 2 titik

Diskriminasi 2 titik merupakan metode identifikasi sensasi 2 titk dari penekanan 2 titik pin
yang berada pada permukaan kulit. Uji ini terus dilakukan berulang hingga pasien tidak dapat
mengidentifikasi sensasi 2 titik yang terpisah. Lokasi yang sering digunakan untuk uji ini
adalah ujung jari, lengan atas, paha, dan punggung. Adanya gangguan identifikasi 2 titik
mengindikasikan adanya lesi pada kolumna posterior atau korteks sensori.
1. Identifikasi angka (grafitesia)

Grafitesia merupakan metode penggambaran angka di mana nantinya pasien diminta untuk
mengidentifikasi angka yang tergambar pada telapak tangan. Metode grafitesia dapat
menggunakan ujung tumpul pulpen sebagai media stimuli. Kesulitan pada identifikasi angka
menunjukkan adanya glesi pada kolumna posterior atau korteks sensori.
1. Ekstinksi

Ekstinksi merupakan salah satu uji sensori yang menggunakan metode sentuhan pada kedua
sisi tubuh. Uji ini dilakukan pada saat yang sama dan lokasi yang sama pada kedua sisi tubuh,
misalnya lengan bawah pada kanan dan kiri lengan. Apabila pasien tidak bisa
menggambarkan jumlah titik lokasi sentuhan (biasanya psien hanya merasakan satu sensasi),
maka dapat dipastikan pasien teridentifikasi adanya lesi sensoris.
1. Lokalisasi titik

Lokalisasi titik merupakan metode didentifikasi letak lokasi sensasi stimulus. Metode ini
dilakukan dengan cara memberikan sensasi sentuhan ringan pada permukaan kulit dan
meminta pasien untuk menyebutkan atau menunjukkan letak sensasi yang dirasakan. Adanya
penurunan sensasi sensori dibuktikan dengan adanya ketidak-akuratan identifikasi lokalisasi.
Hal ini disebabkan adanya lesi pada korteks sensori sehingga terjadi penurunan maupun
hilangnya sensasi sentuhan pada sisi tersebut.

2.2.5 pemeriksaan Fisik Indra Penciuman


Indra penciuman merupakan penentu dalam identifikasi aroma dan cita rasa makanan-
minuman yang dihubungkan oleh saraf trigeminus sebagai pemantau zat kimia yang terhirup.
Indra penciuman dianggap salah satu sistem kemosensorik karena sebagian besar zat kimia
menghasilkan persepsi olfaktorius, trigeminus, dan pengecapan. Hal ini dikarenakan sensasi
kualitatif penciuman ditangkap neuroepitelium olfaktorius sehingga menimbulkan sensibilitas
somatic berupa rasa dingin, hangat, dan iritasi melalui serabut saraf aferen trigeminus,
glosofaringeus, dan vagus dalam hidung, kavum oris, lidah, faring, dan laring.
Adanya gangguan penciuman (osmia) dapat diakibatkan oleh proses patologis sepanjang
olfaktorius yang hampir serupa dengan gangguan pendengaran berupa defek konduktif
maupun defek sensorineural. Defek konduktif (transport) terjadi akibat adanya gangguan
transisi stimulus bau menuju neuroepitel, sedangkan defek sensorineural cenderung
melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Namun penyebab utama dari gangguan
penciuman, yaitu penyakit rongga hidung maupun sinus, sebelum terjadi infeksi saluran nafas
atas, dan trauma kepala (Kris, 2006).
Gangguan penciuman (osmia) memiliki sifat total (seluruh bau), parsial (sejumlah bau), atau
spesifik (satu atau sejumlah kecil bau). Jenis-jenis gangguan penciuman, yaitu:
1. Anosmia merupakan ketidak-mampuan mendeteksi bau

2. Hiposmia merupakan penurunan kemampuan mendeteksi bau

3. Disosmia merupakan distorsi identifikasi bau (tidak bisa membedakan bau)

4. Parosmia merupakan perubahan persepsi pembauan

5. Phantosmia merupakan persepsi bau tanpa adanya sumber bau

6. Agnosia merupakan ketidakmampuan menyebutkan maupun membedakan bau, meski


pasien dapat mendeteksi bau.

Etiologi dari gangguan penciuman adalah sebagai berikut.


1. Defek konduktif

1. Proses inflamasi
Proses inflamasi dapat menyebabkan gangguan pembauan akibat rintitis dan sinus kronik.
Rintitis dan sinus kronik mengakibatkan inflamasi mukosa nasal sehingga terjadi
abnormalitas sekresi mucus. Sekreai mucus yang berlebihan mengakibatkan silia olfaktorius
tertutup mucus sehingga sensitivitas olfaktorius menurun/menghilang.
1. Massa/tumor

Adanya massa pada rongga hidung mengakibatkan perubahan structural dalam kavum nasi
berupa polip, neoplasma, maupun deviasi septum nasi sehingga dapat menghalangi aliran
odoran (zat yang menimbulkan bau) ke epitel olfaktorius.
1. Abnormalitas developmental

Amnormalitas developmental dapat berupa ensefalokel maupun kista dermoid yang


mengakibatkan obstruksi pada roingga hidung sehingga menghalangi aliran odoran ke epitel
olfaktori.

1. Defek sensorineural

1. Proses inflamasi

Proses inflamasi dapat diakibatkan infeksi virus yang merusak neuroepitel, sarkoidosis yang
mempengaruhi struktur saraf, maupun sklerosis multiple. Inflamasi ini berakibat pada
destruksi neuroepitelium olfaktorius yang dapat mengganggu transmisi sinyal (stimulus
odoran) ke epitel olfaktorius.
1. Penyebab congenital

Congenital dapat menjadi faktor penentu gangguan penciuman. Hal ini dikarenakan kelainan
yang bersifat congenital berakibat pada hilangnya struktur saraf. Misalnya, Kallman
syndrome mengakibatkan anosmia akibat gagalnya ontogenesis struktur olfaktorius dan
hipogonadisme hipogonadotropik.
1. Gangguan endokrin

Gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, hipotiroidisme, maupun hipoadrenalisme dapat


mempengaruhi fungsi pembauan berupa gangguan persepsi bau.
1. Trauma kepala

Trauma kepala pada basis fossa kranii anterior atau lamina kribiformis maupun akibat proses
pembedahan kepala atau saraf dapat menyebabkan regangan, kerusakan, maupun terputusnya
fila olfaktori halus sehingga menyebabkan anosmia.
1. Toksisitas obat sistemik

Obat-obatan yang dapat mengubah sensitivitas bau yaitu obat neurotoksik (etanol, amfetamin,
kokain tropical, aminoglikosida, tetrasiklin, asap rokok).
1. Defisiensi gizi

Defisiensi gizi berupa vitamin A, thiamin, maupun zink terbukti dapat mempengaruhi fungsi
pembauan.
1. Penurunan jumlah serabut bulbus olfaktorius

Penurunan serabut bulbus olfaktorius sebesar 1% per tahun akibat penurunan sel-sel sensorik
pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi kognitif di susunan saraf pusat.
1. Proses degenerative.

Proses degenerative pada sistem saraf pusat berupa penyakit Parkinson, Alzheimer, dan
proses penuaan normal dapat mengakibatkan hiposmia. Pada Alzheimer, hilangnya fungsi
pembauan merupakan gejala pertama proses penyakitnya. Sedangkan proses penuaan, terjadi
penurunan penciuman yang lebih pesat daripada pengecapan dan penurunan paling pesat
terjadi pada usia 70an.

Untuk mengidentifikasi adanya gangguan penciuman diperlukan pemeriksaan fisik untuk


menentukan sensasi kualitatif dan ambang batas deteksi.
1. Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif

Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif yang paling sederhana dapat
menggunakan bahan-bahan odoran berbeda. Contohnya kopi, vanilla, selai kacang, jeruk,
limun, coklat, dan lemon. Pasien diminta untuk mengidentifikasi bau dengan mata tertutup
dan kemudian mencium aroma dari bahan-bahan odoran tersebut.

Sedangkan saat ini terdapat beberapa metode yang tersedia untuk pemeriksaan penciuman,
yaitu:
1. Tes odor stix
Uji ini menggunakan pena penghasil bau-bauan. Penba ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6
inci dari hidung pasien untuk mengkaji persepsi bau pasien secara kasar.
1. Tes alkhohol 12 inci

Merupakan metode pemeriksaan persepsi bau secara kasar dengan menggunakan paket
alkhohol isopropil yang dipegang pada jarak 12 inci.
1. Scratch and sniff card

Metode ini menggunakan kartu yang memiliki 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar
1. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT)

Merupakan metode paling baik untuk menguji penciuman dan paling direkomendasikan. Uji
ini menggunakan 40 item pilihan ganda berisi bau-bauan berbentuk kapsul mikro. Orang
yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya memiliki skor kisaran 1-7 dari skor maksimal
40. Untuk anosmia total, skor yang dihasilkan lebih tinggi karena terdapat adanya sejumlah
bau-bauan yang bereaksi terhadap rangsangan terminal.
1. Pemeriksaan fisik untuk emenentukan ambang batas

Penentuan ambang deteksi bau menggunakan alkhohol feniletil yang ditetapkan dengan
menggunakan rangsangan bertingkat. Masing-masing lubang hidung harus diuji
sensitivitasnya melalui ambang deteksi untuk fenil-etil metil etil karbinol.

BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Sistem sensori berperan penting dalam hantaran informasi ke sistem saraf pusat mengenai
lingkungan sekitarnya. Pemeriksaan fisik pada sistem sensori ini sangat kompleks karena
harus melibatkan pemeriksaan pada kelima sistem indra tubuh yaitu penglihatan,
pendengaran, pengecap, pembau, dan peraba.
Gangguan pada sistem sensori disebabkan oleh adanya lesi pada saraf yang mengatur sensori
tubuh. Lesi-lesi tersebut dapat menghambat hantaran impuls saraf. Pemeriksaan fisik sensori
dapat dilakukan pada berbagai usia dan dilakukan untuk dapat menentukan atau mengetahui
apakan pasien tersebut mengalami gangguan pada saraf sensorinya.
4.2 Saran
Perawat hendaknya dapat mempraktikkan dan menguasai teknik dalam pemeriksaan fisik
sistem sensori agar dapat menentukan tindakan asuhan keperawatan secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2006. Critical Care Concept: Neuro Assesment Handout.


Brickley, Linn S. 2007. Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat
Kesehatan Bates.Edisi 5.Terjemahan oleh Esty Wahyuningsih. 2008. Jakarta: EGC.
Engel, Joyce. 1998. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Horison. 1995. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol I. Edisi 13. Jakarta: EGC.
Juwono, T. 1996. Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. Jakarta: EGC.
Kris. 2005. Info Kesehatan THT-Bedah Kepala Leher: Gangguan
Penciuman/Penghidu. http://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-
penciumanpenghindu/ [13 Februari 2012].
Nasution, Siti saidah. 2003. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Perubahan Persepsi
Sensori: Halusinasi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Price, Sylvia A. & Wilson, Lorraine M. 2002. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6.Volume 2. Jakarta: EGC.
Pudjiastuti, Sri Surini & Utomo, Budi. 2002. Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta: EGC.
Sarwono, Djoko. 1982. Penilaian Daya Penglihatan Anak Di Bawah Umur 1 Tahun. Jakarta:
Cermin Dunia Kedokteran.
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth.Edisi 8.Volume 3.Terjemahan oleh Andry Hartono. 2002. Jakarta: EGC.
http://www.scribd.com/doc/45883660/SGD-1-Pemeriksaan-fisik

Anda mungkin juga menyukai