Anda di halaman 1dari 10

Kelompok Dakwah Islam

Harakah
Kata harakah menurut etimologi bahasa Arab, diambil dari akar kata at taharruk yang artinya
bergerak. Istilah tersebut kemudian menjadi populer dengan arti "Sekelompok orang atau suatu gerakan
yang mempunyai suatu target tertentu, dan mereka berusaha bergerak serta berupaya untuk
mencapainya". Makna istilah ini masih termasuk dalam kategori makna lughawi untuk kata tersebut.
Aktifitas suatu gerakan dapat dilakukan oleh satu individu walaupun belum mempunyai suatu
kelompok da'wah yang berjuang bersamanya. Jamaluddin Al Afghani misalnya, walaupun yang bergerak
hanyalah seorang individu saja --bukan orang banyak, namun gerakannya dapat dianggap sebagai salah
satu macam harakah yang pernah ada di dunia Islam.
Aktifitas gerakan dapat juga dilakukan oleh suatu jama'ah, yaitu sekumpulan orang yang
mempunyai pemimpin dan memiliki metode/ strategi da'wah tertentu. Misalnya Jama'ah Tabligh di India
dan Pakistan, Ikhwanul Muslimin dan Tanzhimul Jihad di Mesir, serta yang sejenisnya.
Gerakan da'wah dapat pula dilakukan oleh suatu organisasi, seperti Muhammadiyah, NU, Persis,
dan yang sejenisnya. Aktifitas gerakan dapat pula dilakukan suatu partai politik, baik partai tersebut
memiliki ideologi tertentu sehingga dapat dikategorikan sebagai partai politik yang sebenarnya, misalnya
Hizbut Tahrir di Yordania, Front Penyelamat Islam (FIS) di Al Jazair; atau partai yang hanya sekedar
nama tanpa memiliki ideologi tertentu, seperti yang ada pada puluhan bahkan ratusan jumlahnya yang
tersebar di seluruh dunia Islam. Seluruh perkumpulan semacam ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu
harakah, asalkan mereka bergerak untuk mencapai tujuan tertentu.
Diantara harakah-harakah tersebut ada yang bersifat islami dan menjadikan Islam sebagai asas,
seperti yang disebutkan di atas. Namun ada juga yang tidak islami, bahkan memusuhi Islam, seperti partai
Komunis, partai Wafd di Mesir, partai Ba'ath di Syiria dan Irak, gerakan Ahmadiyah di India dan
Pakistan, dan sebagainya.
Melihat keadaan berbagai gerakan yang ada, dapatlah ditentukan tiga aspek yang menunjukkan identitas
sebuah gerakan, yaitu:

1. Mempunyai target tujuan yang diusahakan dan hendak dicapai oleh sebuah harakah,
2. Mempunyai bentuk pemikiran yang telah ditentukan oleh harakah dalam aktifitas perjuangannya, dan
3. Mempunyai arah dan kecenderungan tertentu pada orang-orang yang tergabung di dalam harakah
tersebut.
Untuk menentukan identitas suatu harakah agar dapat dikategorikan sebagai Harakah Islam,
maka ketiga aspek dia atas harus terpenuhi. Dengan kata lain, tidak cukup hanya mempunyai target tujuan
yang disahkan dan diakui oleh Islam, tetapi juga harus ditujukan untuk melayani dan mengembangkan
Islam. Sebagai contoh, Islam mengakui keberadaan suatu harakah yang bergerak dalam bidang olahraga.
Sebab, target semacam ini hukumnya mubah. Tetapi harakah yang bergerak di bidang olahraga seperti ini
tidak dapat disebut sebagai harakah Islamiyah, karena keberadaannya tidak sampai melayani dan
mengembangkan Islam.
Begitu pula halnya dengan aneka ragam harakah Islam yang aktifitasnya menitikberatkan pada
usaha pemeliharaan/penerbitan Al Qurâan dan terjemahannya atau penerbitan buku-buku Islam;
pembangunan proyek dan perusahaan Islam, seperti Bank Islam, Koperasi Islam, masjid-masjid dan
sekolah Islam, serta lembaga pendidikan yang sejenisnya; menyalurkan dana kepada fakir-miskin, anak-
anak yatim, orang-orang cacat; melakukan amar ma'ruf nahi munkar, menyampaikan nasehat kepada
penguasa; dan sebagainya. Satu atau lebih dari berbagai macam aktifitas yang telah disebutkan di atas
dapat dijadikan target tujuan untuk sebuah harakah Islam. Namun demikian, perlu diingat bahwa target-
target tersebut belum cukup mampu melayani dan mengembangkan Islam hingga seluruh aktivitas
harakah terkait erat dengan hukum-hukum Islam. Dengan kata lain, metode yang digunakan harus sesuai
dan terikat dengan ide maupun hukum Islam.
Selain ketiga persyaratan di atas, agar suatu gerakan da'wah dapat disebut sebagai harakah
Islamiyah, maka keanggotaannya harus pula dari kalangan kaum Muslimin saja. Jika suatu harakah
terbentuk dari kalangan non muslim, seperti para orientalis yang mengkaji dan mempelajari khazanah
Islam lalu mengeluarkan dan menyebarkan hasil kajiannnya setelah terlebih dahulu meneliti dan
menganalisisnya, maka harakah semacam itu tidak dapat dinamakan harakah Islam.
Akan halnya mengapa kita boleh menamakan harakah Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad
Abduh sebagai harakah Islam, walaupun keduanya merupakan tokoh Free Masonry di negeri-negeri
Islam, ini disebabkan karena label Free Masonry bukanlah bagian dari gerakan keislaman mereka. Oleh
karena itu, gerakannya masih dapat dikategorikan sebagai harakah Islamiyah.
Kita juga dapat mengkategorikan Jama'ah Tabligh, Jama'ah Salafiyah, Islam Jama'ah,
Jama'atul Muslimin Hizbullah sebagai harakah Islamiyah, sekalipun pada gerakan-gerakan tersebut
terdapat kekurangan, atau bahkan kadang-kadang terdapat langkah atau pemikiran yang tidak islami.
Jama'ah Tabligh misalnya, mereka mengambil Islam secara parsial dengan menolak membicarakan
masalah politik atau menempuh jalan politik dalam berda'wah. Sedangkan Jama'ah Salafiyah lebih
banyak memfokuskan masalah aqidah, ibadah dan akhlaq. Islam Jama'ah suka mengkafir-kafirkan
sesama kaum Muslimin yang tidak berbai'at kepada imam mereka, menolak shalat di masjid yang
imamnya bukan dari golongan mereka. Sementara Jama'atul Muslimin Hizbullah menolak mengakui
Rasulullah SAW sebagai figur politik, bahkan menurut mereka, di dalam Islam tidak dikenal adanya
aktifitas politik.
Diantara berbagai harakah Islam yang bersifat politik dan bergerak di kawasan Timur Tengah
serta dunia Islam lainnya, tercatat nama-nama antara lain Jama'ah Ikhwanul Muslimin (di Mesir),
Hizbullah (di Libanon), Hizbut Tahrir (di Yordania), Gerakan Jihad Islam (di Mesir), Jabhatul Ingadz Al
Islami FIS (di Aljazair), Partai Islam PAS (di Malaysia), dan masih banyak lagi harakah Islam yang
tersebar di Pakistan, India, Afghanistan, Turki dan tempat-tempat lain di negeri-negeri Islam.
Adapun kelompok Al Liqaâ Al Islamiy (di Beirut) yang merupakan perkumpulan sekuler, tidak
bisa dikelompokkan ke dalam harakah Islamiyah. Begitu pula Majlis Syi'i Tertinggi (di Beirut) yang juga
merupakan perkumpulan sekuler, bukanlah merupakan harakah Islam. Contoh lain yang sama adalah
harakah Al Ittijahul Islamiy di Tunisia (Harakah Nahdlah sekarang). Sebab, kelompok-kelompok seperti
Al Liqaâ Al Islamiy, Majlis Syi'i Tertinggi, dan harakah Al Ittijahul Islamiy, semuanya menyerukan dan
menyebarluaskan sekulerisme secara terang-terangan dan tujuannya bukan untuk melayani Islam.
Tambahan lagi, metodanya tidak terikat dengan hukum-hukum Islam.

Aktivitas Harakah

‫ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤ ْﻔﻠِ ُﺤﻮ َن‬ ِ


َ ِ‫اﳋَِْﲑ َوﻳَﺄْ ُﻣُﺮو َن ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌُﺮوف َوﻳـَْﻨـ َﻬ ْﻮ َن َﻋ ِﻦ اﻟْ ُﻤﻨ َﻜ ِﺮ َوأ ُْوﻟَـﺌ‬
ْ ‫ﻣﺔٌ ﻳَ ْﺪ ُﻋﻮ َن إِ َﱃ‬ُ‫ﻣﻨ ُﻜ ْﻢ أ‬ ‫َوﻟْﺘَ ُﻜﻦ‬
"(Dan) Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada Al Khair (Islam),
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan merekalah orang-orang
yang beruntung." (QS. Ali Imran 104)
Ayat yang mulia ini merupakan seruan yang sangat jelas kepada umat Islam untuk membentuk
suatu jama'ah, kelompok da'wah atau sebuah partai politik Islam, sekaligus membatasi aktivitasnya ke
dalam dua kegiatan: pertama, berda'wah kepada Islam (terhadap pengikut agama lain); dan kedua,
melakukan amar ma'ruf dan nahyi munkar di tengah-tengah kaum Muslimin.
Kita mengetahui bahwasanya pelaksanaan hukum syari'at Islam telah dibebankan kepada
individu, juga kepada ulil amri (penguasa) yang tanggung jawabnya lebih berat dibandingkan tanggung
jawab yang dibebankan kepada individu, tetapi yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah syari'at
Islam membolehkan adanya jama'ah/kelompok da'wah atau partai politik Islam untuk melakukan aktifitas
yang pembebanan pelaksanaan hukumnya ditujukan bagi individu atau ulil amri? Mengapa syariat Islam
membebankan berbagai hukum tertentu kepada jama'ah, kelompok da'wah, maupun partai politik Islam
secara khusus, yang tidak diperuntukan bagi individu dan atau ulil amri?
Memang benar bahwa keberadaan suatu jama'ah, kelompok da'wah atau partai Islam merupakan
fardlu kifayah, yakni suatu kewajiban yang dibebankan atas seluruh kaum Muslimin. Sebab, perintah
tersebut ditujukan kepada kaum Muslimin di setiap wilayah Islam, yaitu dengan firmanNya:

... ٌ‫ﻣﺔ‬ُ‫ﻣﻨ ُﻜ ْﻢ أ‬ ‫َوﻟْﺘَ ُﻜﻦ‬


"..Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat.." (QS. Ali Imran 104)
Ayat tersebut juga membatasi aktivitas jama'ah dalam dua hal seperti yang telah disebut di muka.
Dalam hal ini, syari'at Islam tidak hanya membatasi pembahasannya tentang urusan penguasa ataupun
individu, tetapi juga membahas pula masalah gerakan. Bahkan, syari'at Islam mengharuskan adanya
jama'ah, kelompok da'wah atau partai-partai Islam pada setiap masa secara terus menerus, khususnya
pada saat daulah Islam masih ada. Kalaupun tidak ada daulah Islam untuk seluruh kaum Muslimin di
dunia seperti keadaan saat ini, maka dalam hal ini terdapat dalil lain yang tetap mengharuskan adanya
gerakan Islam, yaitu dengan berpedoman kepada kaidah syara' yang mengatakan:

"Apabila suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan suatu perbuatan,


maka perbuatan itu wajib pula hukumnya."

Sebab daulah Islam tidak akan tegak berdiri tanpa adanya suatu gerakan Islam yang berupaya untuk
menegakkannya.
Kita juga mengetahui bahwa mencegah kemungkaran dengan ''tangan'' yang merupakan aktivitas
fisik seperti mengangkat senjata, tindakan kekerasan dan lain sebagainya, bukanlah kegiatan amar ma'ruf
nahi munkar (yang biasanya dalam bentuk aktivitas non-fisik, atau menyeru dengan menggunakan lisan)
dan ayat 104 Surat Ali Imran yang telah disebutkan di atas, membatasi aktivitas gerakan hanya untuk
berda'wah saja, baik da'wah yang berupa ajakan untuk memeluk agam Islam, ataupun da'wah yang berupa
ajakan untuk melaksanakan Islam dengan cara amar ma'ruf nahi munkar, yang kesemuanya merupakan
aktifitas fikriyah (mengajak berpikir dan menentukan sikap). Ayat itu tidak dapat dijadikan alasan atau
dalil penggunaan ''tangan'' oleh gerakan dalam mencegah kemunkaran, walaupun bagi individu telah ada
perintah yang membolehkan seseorang mencegah kemunkaran dengan ''tangan'' sesuai dengan
kemampuannya. Berdasarkan pemahaman dari sabda Rasulullah SAW:

"Siapa saja di antara kalian melihat (suatu) kemungkaran, maka hendaklah ia berusaha mencegahnya
dengan tangannya ..."

Para ulama sepakat bahwa kemungkaran itu tidak boleh dicegah dengan senjata. Seorang
individu tidak wajib mencegah kemungkaran apabila tindakannya justru akan menimbulkan kemungkaran
yang lebih besar lagi. Inilah dalil yang membolehkan bagi individu untuk melakukan aktivitas yang tidak
boleh dilakukan oleh suatu gerakan.
Contoh lain dari perbedaan antara aktivitas gerakan dengan individu adalah tindakan Abu Bakar
ra tatkala membebaskan Bilal ra, yang ketika itu masih berstatus budak milik Umayyah bin Khalaf.
Setelah mengetahui Bilal ra masuk Islam, Umayyah mulai menyiksanya dengan cara menjemurnya di
siang hari yang terik dan ditindih batu besar, dengan tujuan agar ia meninggalkan Islam dan kembali
kepada kemusyrikan. Namun
Bilal ra tetap sabar menahan siksaan dan hanya mengucapkan kata "ahad" berkali-kali. Padahal
sesuatu yang mudah bagi Nabi SAW, sebagai pemimpin gerakan Islam pertama di dunia, untuk
mengumpulkan dana dari para Shahabatnya guna menebus dan membebaskan Bilal ra serta Shahabat
lainnya yang disiksa setelah masuk Islam. Namun demikian, beliau tidak melakukannya!
Kita memahami bahwa apabila perbuatan seperti itu merupakan suatu keharusan untuk
dilakukan, tentulah harus segera dilaksanakan. Namun ternyata Nabi SAW, sebagai pemimpin gerakan
Islam, tidak melakukannya walaupun beliau mampu. Dari sini dapat dipahami bahwa aktivitas seperti itu
atau yang serupa dengannya bukanlah kegiatan dan tanggung jawab gerakan. Dalil tersebut sekaligus
membuktikan bahwa ada aktivitas yang individu boleh melakukan apa yang tidak boleh dilakukan oleh
suatu gerakan.
Di antara hal-hal lain yang membedakan secara nyata antara aktivitas inidividu dengan aktifitas
gerakan adalah sebagaimana yang dicantumkan dalam kitab-kitab Sirah Nabi SAW, bahwasanya
Abdurrahman bin Auf ra dan beberapa orang Shahabat lainnya mendatangi Rasulullah SAW seraya
berkata:

"Ya Nabiyullah. Dahulu, tatkala kami masih musyrik, kami dimuliakan. Tetapi tatkala kami telah
beriman, kami dihinakan". Rasulullah SAW menjawab: 'Aku telah diperintahkan untuk menjadi orang
pemaaf. Karena itu, janganlah kalian memerangi mereka (Quraisy).' (HR An Nasa'i)

Namun demikian dalam catatan sejarah, Saad bin Abi Waqash ra atas nama pribadinya pernah
melakukan tindakan yang bersifat fisik, sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Sirah Nabi
SAW.
Diceritakan bahwa sekelompok Shahabat termasuk di dalamnya Sa'ad bin Abi Waqash sedang
melakukan shalat di salah satu lembah kota Makkah. Mereka menyembunyikan aktifitas itu dari orang-
orang kafir. Tetapi, sekelompok orang Musyrik melihat perbuatan tersebut dan mulai mengganggu serta
mencaci-maki mereka. Akhirnya terjadi perkelahian antara kedua kelompok itu. Keadaan tersebut
mendorong Sa'ad bin Abi Waqash memukul salah seorang musyrik dengan rahang unta sehingga
berlumuran darah (lalu mati). Peristiwa ini merupakan pertumpahan darah yang pertama di dalam Islam.
Berita ini kemudian sampai kepada Rasulullah SAW, tetapi beliau mendiamkannya (membolehkannya).
Dari pengaduan Abdurrahman bin Auf ra dan kemudian Rasulullah SAW menjawab agar
bersifat pemaaf dan tidak membolehkan mereka memerangi orang-orang Quraisy atau yang lainnya, maka
kita dapat memahami bahwasanya Rasulullah SAW tidak membolehkan gerakan melakukan reaksi
terhadap tindakan kekerasan dengan cara membalasnya. Yang beliau lakukan adalah menyuruh para
Shahabat untuk bersabar (menahan diri). Padahal ketika itu, Rasulullah SAW mampu mengerahkan kaum
Muslimin untuk bereaksi membalas kekerasan yang dilakukan orang-orang kafir itu dengan perbuatan
yang setimpal dalam setiap peristiwa/ kejadian yang menyakiti dan membahayakan kaum Muslimin.
Namun ternyata, beliau tidak melakukannya meskipun tindakan itu dibutuhkan, dan walaupun ada
pengaduan dari Shahabat agar Rasulullah SAW mau melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa beliau
melarang kaum Muslimin melakukan tindakan kekerasan/fisik atas nama gerakan, namun dibolehkan bagi
individu atau anggota gerakan melakukannya atas nama pribadi mereka apabila diancam atau dianiaya
dan disiksa.
Dalil-dalil lain yang lebih memperkuat pemahaman ini adalah tindakan dan aktifitas da'wah
Rasulullah SAW di Makkah yang berlasung selama 13 tahun. Beliau melakukan aktivitas da'wah dan
meminta pertolongan kepada orang-orang terkemuka dari seluruh Jazirah Arab dengan tujuan agar da'wah
beliau berhasil dalam menegakkan daulah Islam. Rasulullah SAW dalam hal ini telah membatasi
kegiatannya dalam aktivitas-aktivitas yang bersifat non fisik (fikriyah). Beliau tidak pernah melakukan
aktivitas apapun yang bersifat fisik, sebagaimana yang dikatakannya kepada para Shahabatnya setelah
Bai'at Aqabah II:

"Kita belum diperintahkan melakukan hal itu (tindakan kekerasan)".

Beliau menolak tawaran para pemimpin Madinah untuk memerangi penduduk Mina (jama'ah
haji dari seluruh Jazirah Arab) dengan pedang. Beliau tidak mengatakan kepada mereka: "Kita belum
mampu", tetapi beliau mengatakan: "Kita belum diperintahkan melakukan hal itu". Dan Rasulullah SAW
baru mengizinkan mereka melakukan perang, setelah beliau bersama kaum Muhajirin hijrah ke Madinah
dan setelah berdirinya daulah Islam di sana. Saat itulah diturunkan firman Allah SWT yang berbunyi:

‫ﺼ ِﺮِﻫ ْﻢ ﻟََﻘ ِﺪ ٌﻳﺮ‬ ِ


ْ َ‫ﻪَ َﻋﻠَﻰ ﻧ‬‫ن اﻟﻠ‬ ِ‫ﻬ ْﻢ ﻇُﻠ ُﻤﻮا َوإ‬ُ ‫ﻳﻦ ﻳـُ َﻘﺎﺗَـﻠُﻮ َن ﺑِﺄَﻧـ‬
ِِ ِ
َ ‫ﺬ‬‫أُذ َن ﻟﻠ‬
"Telah diberi izin (untuk berperang) bagi orang-orang yang telah diperangi, karena mereka telah
dizhalimi" (QS. Al-Hajj: 39)

"Mafhum Mukhalafah" dari ayat ini menjelaskan bahwa sebelum hijrah, kaum Muslimin tidak diizinkan
untuk berperang. Mafhum Mukhalafah ini merupakan hujjah yang wajib dilaksanakan serta dijadikan
pedoman bagi setiap gerakan Islam. Lebih dari itu, Allah SWT berfirman:

ِ ِ ِ ‫ ِﺬ‬‫أَ َﱂ ﺗَـﺮ إِ َﱃ اﻟ‬


َ‫ﺼﻼَة‬ ُ ‫ﻔﻮاْ أَﻳْﺪﻳَ ُﻜ ْﻢ َوأَﻗ‬ ‫ﻴﻞ َﳍُ ْﻢ ُﻛ‬
 ‫ﻴﻤﻮاْ اﻟ‬ َ ‫ﻳﻦ ﻗ‬
َ َ ْ
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: 'Tahanlah tanganmu (dari
berperang), dan dirikanlah shalat." (QS. An Nisa 77)

Ayat ini diturunkan pada saat daulah Islam belum terwujud, sementara telah ada satu gerakan
yang dipimpin Rasulallah SAW yang anggotanya adalah individu-individu Muslim (kaum Muhajirin),
yang berupaya keras untuk mendirikan daulah Islam dengan menghabiskan waktu 13 tahun lamanya.
Setelah itu timbul kebutuhan untuk melakukan aktivitas fisik. Akan tetapi sebelumnya kaum Muslimin
sebagai sebuah kesatuan gerakan, telah dilarang melakukan aktivitas fisik tersebut. Malah, mereka
diperintahkan untuk bersabar dan menahan emosi. Bahkan, sebagian besar dari mereka diizinkan
berhijrah ke Habsyah demi menghindarkan diri dari fitnah (paksaan untuk meninggalkan Islam).
Tidak diturunkannya izin yang membolehkan tindakan kekerasan pada saat itu, menunjukkan
adanya larangan keras melakukan tindakan kekerasan tersebut dalam usaha mendirikan daulah Islam pada
setiap masa. Sedangkan diturunkannya izin melakukan tindakan kekerasan muncul setelah tegaknya
daulah Islam, menunjukkan bahwa aktifitas fisik merupakan salah satu hal yang tidak termasuk langkah-
langkah suatu gerakan. Melainkan hal tersebut termasuk aktivitas dan tanggung jawab daulah Islam, dan
sebagian tercakup pula ke dalam aktivitas individu.
Dari sini kita dapat memahami bahwasanya syari'at Islam telah membedakan antara hukum yang
dibebankan kepada gerakan dengan hukum yang dibebankan kepada individu dan penguasa. Namun perlu
diingat pula bahwa perbedaan hukum-hukum terhadap jama'ah, kelompok da'wah dan partai politik Islam
dengan hukum-hukum yang menyangkut individu di dalam suatu gerakan, hanya terbatas pada gerakan
yang mengemban da'wah Islam yang bertujuan mendirikan daulah Islam saja. Atau dengan kata lain
hanya pada kelompok da'wah yang aktifitasnya bersifat politis yang melakukan aktifitas berdasarkan apa
yang telah diserukan dalam surat Ali Imran ayat 104, meneladani cara kelompok da'wah pertama dalam
sejarah umat Islam, yaitu kelompok Shahabat yang dipimpin Rasulullah SAW.
Adapun kelompok-kelompok kaum Muslimin lainnya (selain gerakan politik), terhadap mereka
hanya dapat diterapkan hukum-hukum syara' yang menyangkut masalah individu. Sama halnya dengan
suatu jama'ah (sekelompok orang) yang sedang bepergian. Status hukum yang menyangkut mereka, sama
dengan hukum-hukum yang barkaitan dengan individu, baik mereka mempunyai pemimpin lebih dari
satu, ataupun tanpa pemimpin. Demikian pula halnya dengan suatu kelompok masyarakat yang
membentuk suatu lingkungan, atau organisasi-organisasi sosial yang bergerak di tengah-tengah
masyarakat; semua kelompok ini dan yang serupa dengannya, terhadap mereka diberlakukan hukum-
hukum yang berkaitan dengan individu, walaupun aktifitas sosial kemasyarakatan itu mereka laksanakan
secara bersama-sama serta tolong menolong. Dengan kata lain, mereka dianggap sebagai sebuah
organisasi/sekelompok orang, namun tidak dapat dikategorikan sebagai gerakan politik atau sebagai
gerakan da'wah Islam.

Penentuan Target dan Metode Da'wah Harakah Islamiyah


Sesungguhnya berbagai organisasi, kelompok da'wah, dan partai politik Islam, didirikan untuk
mencapai target tertentu yang telah digariskan oleh masing-masing. Ketiga macam golongan ini
menentukan tata cara dan metode tertentu untuk mencapai target yang telah digariskan dan tentu saja
menjadi suatu keyakinan bagi mereka. Ini adalah fakta mengenai keberadaan setiap golongan tersebut.
Tidak ada suatu perkumpulan pun diantara ketiga macam golongan tersebut yang akan menyimpang dari
kaidah ini. Dengan demikian, dapatlah diringkas masalah ini ke dalam tiga topik pembahasan:

(1) Pembentukan bangunan suatu organisasi/kelompok da'wah


(2) Target yang hendak dicapai
(3) Metode untuk meraih target

Pertama: Pembentukan suatu organisasi/kelompok da'wah

Ketika suatu organisasi atau partai didirikan oleh seorang pendirinya, tentu saja orang yang
mendirikan tersebut telah mengusahakan untuk menentukan suatu gambaran tertentu mengenai individu-
individu yang akan menjadi bagian dari organisasi atau partai tersebut. Begitu pula halnya bagi
kelompok da'wah. Gambaran tersebut antara lain meliputi syarat-syarat keanggotaan, sifat-sifat dan
keahlian minimal yang harus dimiliki individu agar dapat menjadi anggota golongan tersebut. Namun,
syarat-syarat, sifat-sifat dan keahlian itupun bagi setiap individu tergantung pada jenis dan ketetapan dari
golongan. Misalnya saja ada organisasi profesi yang menjadikan pemilikan ijazah seseorang, menentukan
keanggotaannya. Ada pula organisasi sosial yang menentukan syarat, sifat dan keahlian tertentu, yang
berbeda dengan organisasi profesi. Contohnya, ada organisasi pemelihara seni Islam, atau lembaga sosial
semisal Badan Pembangunan Masjid atau Rumah Sakit Islam, Panti Asuhan, Kepanduan Islam, dan lain-
lain. Masing-masing organisasi ini menentukan syarat-syarat, sifat-sifat dan keahlian yang berbeda
dengan organisasi palang merah, misalnya; atau Organisasi Kesetiakawanan Nasional, dan lain
sebagainya.
Begitu pula halnya dengan suatu harakah Islamiyah atau pun partai politik Islam. Masing-masing
menentukan syarat dan sifat yang berbeda terhadap individu-individu yang ingin menjadi anggotanya.
Setiap harakah Islamiyah atau pun partai politik Islam menentukan batas minimum terhadap
setiap orang yang ingin menjadi anggota, kemudian dibina dan disiapkan agar mampu meraih suatu
kedudukan tertentu berdasarkan kemampuan dan keahliannya. Syarat dan sifat yang dikenakan agar
seseorang dapat menjadi anggotanya, tergantung pada asas harakah atau partai tersebut. Misalnya saja
harakah Islamiyah atau partai politik Islam tidak akan menerima siapa pun menjadi anggota serta tidak
menawarkan keanggotaannya kecuali jika individu-individu tersebut beraqidah Islam, rajin menjalankan
ibadahnya, mempunyai akhlaq yang islami, dan tolok ukurnya dalam berinteraksi dengan masyarakat
adalah hanya halal dan haram, bukan maslahat. Ini merupakan batas-batas minimum yang harus dimiliki
oleh orang yang menawarkan dirinya menjadi anggota dalam suatu harakah Islamiyah ataupun partai
politik Islam.
Kelompok da'wah Islam manapun tentunya tidak mungkin akan menerima orang-orang kafir
menjadi anggotanya, dan tidak akan setuju (tidak berdiam diri) apabila terdapat salah seorang di antara
pengikutnya orang munafiq atau fasiq yang secara terang-terangan berbuat maksiat. Juga, tidak akan
mengizinkan para anggotanya untuk melakukan perbuatan apapun tidak sesuai dengan akhlaq seorang
muslim, khususnya bagi "hamilud da'wah". Inilah batas minimum yang diperlukan. Akan tetapi masing-
masing anggota tentu saja berbeda-beda tingkatannya. Ada yang hanya melakukan fardlu saja, ada pula
yang melakukan fardlu dan sunnah muâkkadah. Begitu juga ada yang melakukan fardlu, sunnah-sunnah
nawafil serta menjauhkan diri dari perbuatan yang syubhaat (yang belum diketahui status hukumnya).
Juga akan terdapat banyak perbedaan dari setiap anggotanya, baik dalam kemampuan, semangat, maupun
wawasan tentang target yang berusaha untuk dicapai.
Inilah landasan yang membangun suatu harakah Islamiyah ataupun partai politik Islam. Oleh
karena itu, tidak dibolehkan sama sekali saling menuduh dan menyalahkan salah satu harakah Islamiyah
atau partai politik Islam dengan mengatakan bahwa di antara pengikut-pengikutnya ada yang belum
menjalankan hukum-hukum yang telah diwajibkan Islam, walaupun hal ini didasarkan kepada
pendapat/faham fiqih tertentu.
Adapun organisasi-organisasi atau partai-partai yang menonjolkan syiar-syiar Islam dengan
maksud menyembunyikan kekufurannya, mereka juga memiliki pandangan, syarat-syarat dan sifat-sifat
tertentu terhadap setiap anggotanya. Bisa jadi, misalnya, mereka hanya mengambil dan memperhatikan
masalah-masalah kerohanian, seperti aliran (sekte) Subud, tetapi tidak berlandaskan kepada aqidah Islam.
Sama halnya dengan aliran-aliran kebatinan yang ajaran-ajarannya bertentang dengan aqidah Islam.
Begitu juga organisasi-organisasi dan partai-partai yang sekuler ataupun materialis, masing-
masing memiliki asas, tolok ukur serta nilai-nilai tertentu yang berbeda-beda untuk menerima maupun
menolak seseorang menjadi anggota. Juga untuk organisasi-organisasi profesi, serikat buruh, masing-
masing mempunyai tolok ukur dan penilaian berlainan terhadap setiap orang yang ingin menjadi
anggotanya. Akan tetapi, jenis-jenis organisasi dan partai tersebut di atas tidak termasuk ke dalam
pembahasan kita.

Kedua: Target yang hendak Dicapai

Jika pandangan terhadap pembentukan wadah gerakan berbeda antara satu dengan lainnya, maka
pandangan mengenai target yang ingin dicapai tentu akan berbeda-beda pula. Berbagai macam gerakan
dapat saja mencapai titik-titik temu mengenai target, namun dalam faktanya tidak sedikit yang saling
berselisih. Apa yang diperselisihkan bisa saja menyangkut persoalan yang mendasar, bisa pula persoalan
yang furu'. Sekalipun demikian, semua sepakat bahwa setiap gerakan menghendaki adanya perbaikan di
dalam masyarakat.
Apabila kita mendalami setiap gerakan yang melakukan perbaikan di dalam masyarakat,
walaupun secara sederhana, akan kita dapatkan dua macam kelompok. Pertama, kelompok yang
memperbaiki masyarakat berdasarkan agama; dan yang kedua, kelompok yang ingin memperbaiki
masyarakat tidak berdasarkan agama. Kelompok yang terakhir ini tidak perlu kita bahas. Karena itu, topik
yang dibahas di sini adalah kelompok yang memperbaiki masyarakat dengan berdasarkan agama dan
aqidah Islam.
Setiap kelompok, organisasi dan partai yang berasaskan aqidah Islam dan tegak di atas dasar
perbaikan, biasanya menentukan persyaratan-persyaratan tertentu bagi orang-orang yang ingin menjadi
anggota, misalnya harus terikat dengan Islam secara totalitas. Dalam hal ini, tentu saja ketiga macam
golongan tersebut tidak akan menerima anggota yang tidak terikat dengan Islam atau tidak memiliki
akhlaq Islam. Dan apabila kita arahkan pandangan secara lebih mendalam terhadap semua kelompok ini,
maka mereka akan terbagi ke dalam tiga macam arah/target:

(a) Target yang hanya memperhatikan kepentingan individu

Sebagian perkumpulan, seperti Tarekat (sufisme) dan berbagai organisasi Islam semacamnya,
menjadikan keselamatan dan kemenangan di akhirat sebagai target untuk mereka, dimana target itu --
menurut mereka-- hanya dapat dilakukan melalui aktifitas kerohanian dan sikap beruzlah (mengurangi
aktifitas bermasyarakat). Pandangan ini mereka dasarkan pada firman Allah SWT:
...‫ﻞ إِذَا ْاﻫﺘَ َﺪﻳْـﺘُ ْﻢ‬ ‫ﺿ‬ ِ
َ ‫ﻣﻦ‬ ‫ﺮُﻛﻢ‬‫ﻀ‬
ُ َ‫ﻳﻦ َآﻣﻨُﻮاْ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ أَﻧ ُﻔ َﺴ ُﻜ ْﻢ ﻻَ ﻳ‬
َ ‫ َﻬﺎ اﻟﺬ‬‫ﻳَﺎ أَﻳـ‬
"Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tidaklah orang sesat itu akan memberi mudharat
kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk..." (QS. Al Maidah: 105)

Maksud mereka dengan istilah "mencari keselamatan" adalah menjauhkan diri dari masyarakat serta
menghindari krisis-krisis yang ada di dalam masyarakat. Bahkan jika perlu dengan cara menggigit
akar pohon, mereka pun mau melakukannya, asalkan bisa menyelamatkan diri sendiri.

(b) Target Memperbaiki Aqidah dan Akhlaq Individu

Sebagian organisasi/gerakan Islam berpendapat bahwa masyarakat terdiri atas kumpulan individu,
sehingga dianggap bahwa apabila individu-individu itu baik, tentu masyarakatnya akan menjadi baik.
Sebaliknya, apabila individu-individu itu rusak akhlaqnya, rusak pula akhlaq masyarakat tersebut.

Atas dasar pandangan yang keliru ini, mereka menjadikan perubahan individu sebagai dasar untuk
mengubah keadaan masyarakat. Mereka bertolak dari pandangan ilmu sosiologi Barat tentang definisi
masyarakat. Padahal pendapat tersebut tidak sesuai dengan fakta pembentukan suatu masyarakat.
Sebab, sekelompok individu seperti itu hanya akan menghasilkan suatu jama'ah (perhimpunan), bukan
masyarakat. Sedangkan yang membentuk masyarakat adalah interaksi antar-anggota masyarakat
berdasarkan adanya kepentingan bersama. Interaksi yang dimaksud adalah bahwa kepentingan
tersebut harus berdasarkan kepada pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama.

(c) Target Memperbaiki Masyarakat

Sebagian organisasi Islam lainnya berpendapat bahwa masyarakat itu sebenarnya merupakan
interaksi-interaksi yang berlangsung terus-menerus antar-individu masyarakat. Di dalamnya terdapat
sistem politik yang melibatkan negara untuk mengatur hubungan tersebut. Sedangkan usaha individu
dalam menjalankan hubungan antarsesamanya bertolak dari kesatuan pandangan dan perasaan
terhadap ukuran/nilai maslahat yang menjadi obyek interaksi tersebut. Oleh karena itu, kerusakan
masyarakat yang terjadi adalah karena rusaknya interaksi antar-mereka ini, yakni rusaknya pemikiran
dan perasaan masyarakat, serta rusaknya sistem yang mengatur interaksi antarindividu masyarakat.
Inilah tiga macam arah orientasi perbaikan masyarakat dan upaya mengembalikan kaum muslimin ke
masa jayanya. Masing-masing kelompok memilih salah satu arah sebagai metode khususnya untuk
mencapai target dan masing-masing mengaku "inilah metode Rasulallah SAW dalam da'wah!".

Ketiga: Metode untuk Meraih Target

Untuk mencapai tujuan da'wah, maka metode da'wah yang digunakan harus selalu dikaitkan
dengan target, membuat rencana-rencana untuk pelaksanaan da'wah, termasuk sarana-sarana yang
diperlukan untuk mencapainya. Bagi kelompok da'wah yang meyakini bahwa masyarakat terbentuk dari
individu, mereka akan membahas mengenai pembentukan pribadi individu, termasuk juga membuat
strategi da'wah yang disertai sarana-sarana tertentu yang dapat menarik perhatian individu, serta berusaha
untuk mengadakan perbaikan yang hanya terbatas pada individu belaka. Misalnya hal-hal yang dianggap
sebagai dasar dalam usaha perbaikan individu, seperti aqidah, akhlaq, muamalah, dan ibadah. Jika
individu-individu tersebut telah diperbaiki, maka ia harus berusaha memperbaiki keluarganya secara
individual, disebabkan pandangan mereka bahwa keluarga dan masyarakat terbentuk dari individu. Dari
sini perhatian kelompok da'wah yang bertolak dari pandangan tersebut akan terfokus pada individu dan
bagaimana memperbaiki perjalanan hidupnya.
Dalam aspek aqidah, misalnya, mereka menjelaskan rukun-rukun aqidah, tolok ukur untuk
mengetahui kebenaran aqidah, dan sebagainya, dengan cara menanamkan keyakinan yang memuaskan
akal, serta sesuai dengan fithrah manusia (naluri beragama). Sebab, Islam adalah diinul fithrah. Dari segi
ibadah, mereka menjelaskan bahwa di dalam ibadah terdapat kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan, dan sunnah-sunnah nafilah, sehingga setiap Muslim mampu meninggikan derajatnya
dengan bertaqarrub kepada Allah. Begitu pula dengan akhlaq; mereka mengajarkan individu tentang
kewajiban memiliki sifat-sifat yang terpuji, dan bahwasanya ia harus senantiasa menjauhi setiap
perbuatan haram ataupun perbuatan keji (kriminal) dan sebagainya. Pada saat yang sama, ia harus selalu
berperilaku baik dan tidak berani melanggar aqidah. Sedangkan dalam hal urusan muamalah (interaksi,
transaksi), ia harus selalu terikat dengan nila halal dan haram. Semua hal ini akan menghasilkan individu
dan masyarakat yang berakhlaq mulia.
Berdasarkan hal ini, mereka mendidik setiap individu untuk menghasilkan perbaikan terhadap
diri pribadi, kemudian terhadap keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan demikian, menurut mereka,
dengan aktifitas individu yang melakukan perbaikan, maka umat akan meraih kemuliaannya, serta panji-
panji La ilaaha illallah dapat ditegakkan kembali. Tetapi bagaimana langkah-langkah kongkretnya, serta
tahapan-tahapannya? Ini yang belum bisa mereka jelaskan!.
Sedangkan kelompok da'wah berikutnya, yang memandang bahwa masyarakat terdiri atas
kelompok individu yang di dalamnya terdapat interaksi yang berkembang secara terus-menerus; dan
bahwasanya baik rusaknya masyarakat bergantung pada bentuk hubungan-hubungan tersebut --apakah
didasarkan kepada ide-ide dan sistem Islam, serta perasaan masyarakatnya pada etika Islam dalam
pergaulan sehari-hari, atau didasarkan kepada sistem selain Islam--, maka kelompok ini haruslah
memiliki suatu pandangan yang paripurna terhadap segala bentuk interaksi di dalam masyarakat, dan
gambaran yang sempurna terhadap sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial (pergaulan pria
dengan wanita), sistem pendidikan, politik luar negeri atau tata hubungan internasional. Selain itu,
kelompok ini haruslah mempersiapkan rancangan konstitusi dan perundang-undangan yang lengkap
untuk sebuah pemerintahan Islam pada masa akan datang, yang mampu menjelaskan bentuk dan struktur
daulah, serta wewenang dalam setiap bagian strukturnya. Konstitusi tersebut harus mampu menjelaskan
hubungan antarsesama masyarakat, hubungan dengan daulah, serta hubungan daulah dan umat Islam
dengan bangsa-bangsa atau negara-negara lain.
Kelompok da'wah ini hendaklah berusaha untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat secara
keseluruhan terhadap ide-ide dan sistem yang dikembangkannya dalam masyarakat serta kepercayaan dan
dukungan masyarakat terhadap kelompok gerakan da'wah tersebut, tanpa memperhatikan jumlah dan
suara mayoritas. Sebab, umat Islam pasti menerima ide-ide dan tunduk kepada hukum-hukum Islam, serta
suatu saat mau berjuang untuk Islam bersama-sama dengan kelompok-kelompok da'wah ini.
Wajar saja apabila pada mulanya jumlah yang mendukung adalah sangat sedikit. Tetapi
yakinlah, bahwa nanti jumlahnya akan bertambah dan menjadi banyak. Perkembangan ini pasti dialami
oleh setiap gerakan, walaupun masing-masing mempunyai metode yang berbeda-beda.
Jika tujuan ini tercapai, maka penguasa yang berpengaruh di dalam masyarakat akan
menyerahkan kekuasaannya kepada umat, bila mereka melihat bahwa mayoritas mendukung tegaknya
daulah Islam. Akan tetapi sikap penguasa tersebut tidak mungkin terjadi, kecuali setelah dikerahkannya
kekuatan senjata/militer untuk melawan rakyatnya. Lalu militer gagal dalam mengatasi keadaan atau
malah bergabung dengan rakyat, maka barulah kelompok da'wah tadi dapat melaksanakan apa yang telah
digariskan sebelumnya tentang peraturan daulah Islam, serta panji-panji Islam "Laa ilaaha illallah
Muhammadur Rasulullah" dapat ditegakkan, dan kemuliaan kaum muslimin dapat dicapai.
Adapun kelompok da'wah yang arahnya terbatas kepada perbaikan terhadap pribadi sendiri
untuk mensucikan dan menyelamatkan dirinya, maka sebagian dari mereka walaupun berda'wah di
tengah-tengah masyarakat, akan tetapi da'wahnya hanya bersifat ajakan kepada masyarakat untuk kembali
kepada Allah tanpa menentukan caranya. Mereka katakan bahwa yang penting kembali kepada Allah dan
hidup sebagaimana hidupnya shahabat Rasulallah SAW. Adapun masalah perubahan masyarakat dan
negara, itu adalah pemberian dari Allah SWT, yakni tidak perlu kaum Muslimin mengantisipasi
perubahan tersebut.

Kesimpulan dari bentuk aktifitas ketiga macam kelompok di atas adalah:

Pertama, bahwasanya titik sentral aktivitas kelompok yang pertama dan yang ketiga adalah
individu. Mereka membatasi geraknya dengan hal-hal yang berkaitan dengan individu. Hal ini
menunjukkan bahwa tujuan kelompok da'wah seperti ini hanyalah berusaha memperbaiki tingkah laku
individu saja, serta mengembangkan wawasan anggotanya dengan tsaqafah (kebudayaan) Islam yang
berkaitan dengan individu. Sedangkan bagian tsaqafah Islam yang berkaitan dengan masyarakat dan
yang menjadi dasar bagi suatu negara, serta yang berhubungan dengan bentuk-bentuk interaksi antara
individu-individu rakyat, maka hal ini bukanlah suatu hal yang patut mendapat perhatian. Sebab, hal
tersebut tidak berkaitan dengan individu, dan lagi tidak ada pengaruhnya terhadap baik buruknya akhlaq
(budi pekerti) individu.
Tentu saja, apa yang mereka lakukan adalah suatu kekeliruan. Mari kita ambil suatu masyarakat
yang terdiri atas 10 juta orang (penduduk) untuk dijadikan contoh. Apabila di tengah-tengah masyarakat
tersebut terdapat suatu gerakan Islam atau suatu partai politik yang menjadikan perbaikan individu
sebagai langkah awal untuk memperbaiki masyarakat secara keseluruhan, maka pastilah kelompok
da'wah ini akan memulai usaha perbaikan total dari individu-individu tertentu, sampai terdapat sejumlah
orang yang memiliki suatu keyakinan, wajibnya mengadakan perbaikan di dalam masyarakat. Jumlah
mereka semakin hari semakin bertambah terus hingga mencapai ratusan orang. Lalu aktivitas mereka
dilanjutkan dengan memperbaiki individu masyarakat lainnya secara terus-menerus sehingga berhasil
mengubah ribuan orang, walaupun jumlah tersebut tidak seluruhnya menjadi bagian dari gerakan Islam
tersebut (sebagian hanya sebagai pendukung). Tentu saja kelompok da'wah atau pun partai politik Islam
seperti ini akan merancang program pembinaan dengan kadar yang intensif dan titik perhatiannya adalah
perbaikan individu, baik aspek-aspek aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalah, termasuk juga
mempersiapkan program latihan kepemimpinan sesuai dengan strategi da'wah yang telah digariskan oleh
pimpinan gerakan.
Apabila jumlah orang yang berhasil diperbaiki telah mencapai misalnya 6 juta orang, ditambah 2
juta orang yang telah menjadi anggota, berarti dari jumlah masyarakat yang 10 juta itu tinggal sisanya
yang 2 juta belum diperbaiki. Maka, apakah dengan keadaan seperti ini masyarakat dapat berubah secara
otomatis jika pemerintahannya masih menganut sistem yang tidak Islami? plus konstitusi (UUD)
negaranya bersifat sekuler, dan sistem ekonominya masih berlandaskan kapitalis Barat, serta peraturan
peradilannya masih menjadikan perundang-undangan Barat sebagai sumber setiap perkara peradilan?
Lalu siapa yang akan mengubahnya? Sebab masalah sistem dalam hal ini telah dipisahkan (oleh
kelompok da'wah ini) dari unsur individu.
Kemudian apabila tahapan ini telah dicapai oleh suatu gerakan misalnya, maka langkah yang
kedua adalah merealisasikan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan masyarakat dan negara.
Walaupun semua hukum tersebut dapat dicari dalam kitab-kitab fiqih yang memperkaya khazanah Islam.
Namun kelak akan timbul pertanyaan, siapa yang akan menggalinya? Padahal masalah ini tidak termasuk
urusan individu dan tidak ada kaitannya dengan perbaikan individu. Sebab, individu-individu yang telah
diperbaiki tidak pernah dididik tentang hukum-hukum yang menyangkut urusan-urusan kenegaraan dan
hubungan internasional. Oleh karena itu, siapa yang akan mempersiapkan dan menerapkannya?
Mereka, para pengikut kelompok ini, sama sekali belum pernah mendapatkan gambaran
mengenai sistem Islam. Oleh karena itu, walaupun prosentase perbaikan individu itu mencapai 100% di
kalangan masyarakat, tetapi jika hal-hal yang membentuk masyarakat tidak diperhatikan maka kerusakan
masysrakat tetap ada. Karena yang menjadi penyebabnya adalah kerusakan sistem/peraturan masyarakat,
padahal hal ini tidak ada kaitannya dengan individu. Oleh karena itu metode da'wah semacam ini tidak
akan mampu memperbaiki masyarakat dan hanya sebatas memperbaiki individu belaka.
Kedua, kelompok yang memperhatikan perbaikan masyarakat. Kelompok ini bergerak sesuai
dengan keadaan dan perkembangan. Mereka meyakini bahwa kerusakan masyarakat disebabkan oleh
rusaknya pemikiran umat, serta rusaknya sistem pemerintahan yang pada gilirannya memperngaruhi
kehidupan masyarakat ke arah yang tidak islami. Oleh karena itu, sistemnyalah yang harus diperbaiki
setelah sebelumnya pemikiran dan jiwa umat diperbaiki dan diobati. Tujuannya tidak lain adalah
bagaimana mengubah sistem pemerintahan yang biasanya mempengaruhi pemikiran dan jiwa umat,
sehingga masyarakat dapat berubah secara totalitas. Untuk melakukan perubahan semacam ini dibutuhkan
strategi da'wah sebagai berikut:

(1) Hendaklah kelompok da'wah memiliki gambaran yang jelas tentang target yang akan dicapai, perlu
mempersiapkan sistem pemerintahan yang ingin diterapkan, kemudian diperkenalkan dan dijelaskan
kepada masyarakat agar mereka dapat mengembalikan kepercayaannya terhadap sistem pemerintahan
tersebut.

(2) Hendaklah kelompok da'wah ini menjelaskan bahwa sistem yang diterapkan sekarang ini di seluruh
dunia Islam adalah sistem yang bathil/rusak dan agar setiap kelompok masyarakat kaum Muslimin tidak
mempercayainya lagi atau berlepas diri darinya.

(3) Adalah suatu keharusan bagi kelompok da'wah untuk berdiri di hadapan penguasa yang menerapkan
sistem kufur (selain Islam), serta menentukan sikap dan menghendaki agar sistem tersebut diganti dengan
sistem Islam apabila mereka masih mengakui dirinya seba gai Muslim. Jika penguasa memerangi mereka,
berarti yang sebenarnya diperangi oleh mereka adalah Islam itu sendiri. Tetapi perlu diingat bahwa
kelompok da'wah dalam menentukan sikap terhadap penguasa tidak boleh melakukan unjuk rasa dengan
cara kekerasan walaupun pihak militer memerangi gerakan dengan cara bengis. Tentu, dalam hal ini
umat tidak akan diam. Mereka akan melakukan reaksi baik dengan cara demonstrasi, mogok kerja,
memboikot pemerintah, maupun cara-cara lain sampai penguasa mau tunduk kepada Islam dan
kepercayaan masyarakat terhadap mereka hilang.
(4) Hendaklah kelompok da'wah tersebut mengembangkan bangunan tubuhnya dengan jalan menambah
jumlah anggotanya walaupun dengan resiko yang sangat besar.

Apabila kelompok da'wah tersebut mampu melaksanakan tanggungjawabnya kemudian berhasil


mendapatkan kepercayaan umat serta berhasil mencabut dukungan umat terhadap penguasa, maka ia akan
berusaha mendorong sekelompok orang dari kalangan pejabat pemerintah yang ghirah Islamnya masih
hidup untuk menyingkirkan penguasa. Saat itulah kelompok da'wah tersebut mendapatkan peluang untuk
menerapkan sistem daulah Islam yang sebelumnya telah mereka persiapkan. Jika seluruh hukum syariat
Islam dapat diterapkan melalui negara, maka akan terbentuklah masyarakat Islam. Inilah yang akan
mewarnai individu, keluarga, dan lingkungan serta akan dipertahankan kualitas Islamnya. Islam akan
tetap menjadi gaya, cara, dan sikap hidup bagi sistem tersebut.
Mungkin saja dari segi kuantitas, jumlah kelompok da'wah ini tidak lebih dari ribuan orang atau
bahkan hanya ratusan orang saja. Tetapi jika umat yang dalam kondisi lemah ini telah memberikan
kepercayaan kepada kelompok da'wah tersebut yang telah membuktikan kemampuannya dalam
memimpin umat dan lagi umat rela mengorbankan segalanya untuk meraih tujuan tersebut yang tidak lain
adalah tujuan umat juga, maka cita-cita seperti itu yakni tegaknya pemerintahan Islam dan terbentuknya
masyarakat Islam akan mudah sekali diraih.
Bukan suatu yang mustahil bahwa dengan ratusan orang saja yang terdapat di dalam suatu
masyarakat yang berjumlah 10 juta orang, disertai dengan semangat mereka untuk mengorbankan harta
benda, diri, bahkan segalanya lalu diiringi dengan pandangan yang luas dan jelas terhadap tujuannya,
dibarengi kesadaran politik internasional, maka ratusan orang ini bisa berhasil mendapatkan kepercayaan
dan dukungan umat secara mutlak. Kemudian dengan semangat yang tinggi, umat dan atau beserta pihak
militer mendukung mereka untuk menegakkan negara khilafah Islam, yang pada akhirnya kekuasaan
tersebut diserahkan kepada kelompok da'wah yang jumlahnya sedikit tadi. Dari sini jelaslah bahwa dasar-
dasar terbentuknya masyarakat adalah terbentuknya opini yang didasarkan oleh kesadaran umat, militer
maupun pejabat negara.

Anda mungkin juga menyukai