Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

KEJANG DEMAM

I. Konsep Penyakit
1.1 Definisi
Istilah kejang demam digunakan untuk bangkitan kejang yg timbul akibat
kenaikan suhu tubuh. “Kejang demam ialah bangkitan kejang yg terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal 38C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium (Hasan, 1995).

Banyak pernyataan yang dikemukakan mengenai kejang demam, salah satu


diantaranya adalah : “Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau
anak, biasanya terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun, berhubungan
dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau
penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur
kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dapat dibedakan
dengan epilepsi, yaitu ditandai dengan kejang berulang tanpa demam
(Mansjoer, 2000).

Menurut Ngastiyah (2005), klasifikasi kejang demam adalah


a. Kejang demam sederhana
Yaitu kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum. Adapun
pedoman untuk mendiagnosa kejang demam sederhana dapat diketahui
melalui criteria Livingstone, yaitu :
1) Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun
2) Kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
3) Kejang bersifat umum
4) Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
5) Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6) Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu
normal tidak menunjukan kelainan.
7) Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
b. Kejang kompleks
Kejang kompleks adalah tidak memenuhi salah satu lebih dari ketujuh
criteria Livingstone. Menurut Mansjoer (2000: 434) biasanya dari kejang

1
2

kompleks diandai dengan kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit,


fokal atau multiple (lebih dari 1 kali dalam 24jam). Di sini anak
sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology atau riwayat kejang
dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga.

Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan


dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik,
kejang tonik dan kejang mioklonik.
1) Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan
rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi
dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu
berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum
dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau
ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan
dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat
karena infeksi selaput otak atau kernikterus.
2) Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis
kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik,
tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati
metabolik.
3) Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi
lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya
cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini
merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan
hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.
3

1.2 Etiologi
Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum diketahui dengan Pasti,
demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu
tinbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi
dapat menyebabkan kejang (Mansjoer, 2000).

Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia


(penurunan oksigen dalam darah) berat, hipoglikemia, asodemia, alkalemia,
dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi. Kejang yang disebabkan oleh
gangguan metabolik bersifat reversibel apabila stimulus pencetusnya
dihilangkan (Corwin, 2001).

1.3 Tanda Gejala


Secara teoritis pada klien dengan Kejang Demam didapatkan data-data antara
lain klien kurang selera makan (anoreksia), klien tampak gelisah, badan klien
panas dan berkeringat, mukosa bibir kering (Ngastiyah, 1997).
1.4 Patofisiologi
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran. Dalam keadaan normal membran
sel neuron dapat dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit
dilalui oleh ion natrium dan ion lain, kecuali ion clorida. Akibatnya
konsentrasi natrium menurun sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan
sebaliknya.

Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dan ini dapat dirubah
dengan adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
b. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
4

Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun
ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga meluas ke seluruh
sel maupun ke membran sel tetangganya sehingga terjadi kejang.Tiap anak
mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung dari tinggi rendahnya
ambang kejang tersebut. Pada anak dengan ambang kejang rendah, kejang
dapat terjadi pada suhu 38 C, sedang pada ambang kejang tinggi baru terjadi
pada suhu 40 C atau lebih.

1.5 Pemeriksaan Penunjang


1.5.1 Fungsi lumbar
Fungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada
di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan
meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama
pada bayi
 Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
 Mengalami complex partial seizure
 Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam
48 jam sebelumnya)
 Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
 Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk
hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
 Kejang pertama setelah usia 3 tahun
 Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika
tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang
menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak
dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik
sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus
seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
1.5.2 EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti
ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk
dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya
5

defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan


bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya
atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa
demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran
gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut
tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau
risiko epilepsi.
1.5.3 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium,
fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang
demam pertama. Apalagi dalam penggalian riawayat penyakit
sebelumnya tidak dicurigai peristiwa yang menunjukkan penyebab
gangguan elektrolit dn gangguan guila darah pemeriksaan terebut hanya
menghamburkan biaya. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk
mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
1.5.4 Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-
scan dan MRI kepala. Secara umum penderita kejang demam tidak
memerlukan pemeriksaan CT scan atau MRI. Pemeriksaan tersebut
dianjurkan bila anak menunjukkan kelainan saraf yang jelas, misalnya
ada kelumpuhan, gamngguan kesadaran, gangguan keseimbangan, sakit
kepala yang berlebihan atau lingkar kepala kecil.

1.6 Komplikasi
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya terjadi
hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula –
mula kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis
di otak sehingga terjadi epilepsy.

Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan kejang
demam :

a. Pneumonia aspirasi
b. Asfiksia
c. Retardasi mental
6

1.7 Penatalaksaan
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :

a. Memberantas kejang secepat mungkin


Bila penderita datang dalam keadaan status convulsion, obat pilihan
utama adalah diazepam secara intravena. Apabila diazepam tidak tersedia
dapat diberikan fenobarbital secara intramuskulus.
b. Pengobatan Penunjang
Semua pakaian yang ketat dibuka. Posisi kepala sebaiknya miring untuk
mencegah aspirasi isi lambung, usahakan jalan nafas bebas agar oksigen
terjamin, penghisapan lendir secara teratur dan pengobatan ditambah
dengan pemberian oksigen. Tanda – tanda vital diobservasi secara ketat,
cairan intravena diberikan dengan monitoring.
c. Pengobatan di rumah
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumah. Pengobatan
ini dibagi atas 2 golongan yaitu :
1) Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari diberikan obat
campuran anti konvulsan dan anti piretik yang harus diberikan pada
anak bila menderita demam lagi
2) Profilaksis jangka panjang
Gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang stabil dan
cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang di
kemudian hari.
d. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun epilepsy yang
diprovokasi oleh demam, biasanya infeksi traktus respiratorius bagian
atas dan otitis media akut.
7

1.8 Pathway

II. Rencana Asuhan Klien dengan Diare


2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
Hal – hal yang perlu dikaji antara lain :
a. Identitas pasien dan keluarga
Nama Pasien (initial), umur, jenis kelamin,agama, suku bangsa dan
alamat
Nama Ayah (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan
bangsa
Nama Ibu (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan
bangsa.
8

b. Kesehatan fisik

1) Pola nutrisi

Tidak ada nafsu makan (anoreksia), mual dan bahkan dapat

disertai muntah. Perlu dikaji pola nutrisi sebelum sakit, porsi

makan sehari – hari, jam makan, pemberian makan oleh siapa,

frekuensi makan, nafsu makan, serta alergi terhadap makanan.

2) Pola eliminasi

3) Pola tidur

Yang perlu dikaji meliputi jam tidur, waktu tidur dan lamanya

tidur serta kebiasaan sebelum tidur

4) Pola hygiene tubuh

Mengkaji mengenai kebiasaan mandi, cuci rambut, potong kuku

dan rambut

5) Pola aktifitas

Anak tampak lemah, gelisah atau cengeng.

c. Riwayat kesehatan yang lalu

1) Riwayat prenatal

Dikaji mengenai kehamilan ke berapa, tempat pemeriksaan

kehamilan, keluhan ibu saat hamil, kelainan kehamilan dan obat –

obatan yang diminum saat hamil.

2) Riwayat kelahiran

Kelahiran spontan atau dengan bantuan – bantuan, aterm atau

premature. Perlu juga ditanyakan berat badan lahir, panjang

badan, ditolong oleh siapa dan melahirkan di mana.

3) Riwayat yang berhubungan dengan hospitalisasi

Pernahkah dirawat di rumah sakit, berapa kali, sakit apa,

pernahkah menderita penyakit yang gawat.


9

Riwayat kesehatan dalam keluarga perlu dikaji kemungkinan ada

keluarga yang pernah menderita kejang.

4) Tumbuh kembang

Mengkaji mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai

dengan tingkat usia, baik perkembangan emosi dan sosial.

5) Imunisasi

Yang perlu dikaji adalah jenis imunisasi dan umur pemberiannya.

Apakah imunisasi lengkap, jika belum apa alasannya.

d. Riwayat penyakit sekarang

1) Awal serangan : Sejak timbul demam, apakah kejang timbul

setelah 24 jam pertama setelah demam

2) Keluhan utama : Timbul kejang (tonik, klonik, tonik klonik), suhu

badan meningkat

3) Pengobatan : Pada saat kejang segera diberi obat anti konvulsan

dan apabila pasien berada di rumah, tiindakan apa yang dilakukan

untuk mengatasi kejang.

e. Riwayat sosial ekonomi keluarga

Pendapatan keluarga setiap bulan, hubungan sosial antara anggota

keluarga dan masyarakat sekitarnya.

f. Riwayat psikologis

Reaksi pasien terhadap penyakit, kecemasan pasien dan orang tua

sehubungan dengan penyakit dan hospitalisasi.

2.1.2 Pemeriksaan fisik


a. Pengukuran pertumbuhan : Berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala
b. Pengukuran fisiologis : Suhu biasanya di atas 38 C, nadi cepat,
pernafasan (mungkin dyspnea nafas pendek, nafas cepat, sianosis)
c. Keadaan umum : Pasien tampak lemah, malaise
10

d. Kulit : Turgor kulit dan kebersihan kulit


e. Kepala : Bagaimana kebersihan kulit kepala dan warna rambut serta
kebersihannya
f. Mata : Konjungtiva, sklera pucat / tidak, pupil dan palpebra
g. Telinga : Kotor / tidak, mungkin ditemukan adanya Otitis Media
Akut / Kronis
h. Hidung umumnya tidak ada kelainan
i. Mulut dan tenggorokan : Bisa dijumpai adanya tonsillitis
j. Dada : Simetris / tidak, pergerakan dada
k. Paru – paru : Bronchitis kemungkinan ditemukan
l. Jantung : Umumnya normal
m. Abdomen : Mual – mual dan muntah
n. Genetalia dan anus : Ada kelainan / tidak
o. Ekstremitas : Ada kelainan / tidak.
2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa 1: Risiko cedera
2.2.1 Definisi
Berisiko mengalami cedera sebgai akibat dari kondisi lingkungan yang
berinteraksi dengan sumber-sumber adaptif dan pertahanan individu
2.2.2 Faktor risiko
Internal
Profil darah yang tidak normal
Disfungsi biokimiawi
Usia perkembangan
Disfungsi efektor
Hipoksia jaringan
Eksternal
Biologis
Tingkat imunitas komunitas
Mikroorganisme
Kimia
Obat-obatan
Racun
Polutan
11

Diagnosa 2: hipertemia
2.2.3 Definisi
Peningkatan suhu tubuh diatas rentang normal
2.2.4 Batasan karakteristik
Objektif
Kulit merah
Suhu tubuh meningkat diatas rentang normal
Kejang atau konvusi
Teraba hangat
Takikardia
Takipnea
2.2.5 Faktor yang berhubungan
Dehidrasi
Penyakit atau trauma
Ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk berkeringat
Pakaian yang tidak tepat
Peningkatan laju metabolisme
Obat atau anestesia
Terpajan pada lingkungan yang panas
Aktivitas yang berlebihan

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Risiko cedera
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil
Pengendalian risiko cedera:
Keluarga akan mempersiapkan lingkungan yang aman
Keluarga akan menghindari cedera fisik
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional
Vital signs monitoring:
Monitor adanya hipertermia.
Catat tren dan fluktuasi peningkatan suhu.
Monitor nadi dan respirasi.
Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan
fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
12

Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.


Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
Identifikasi pengetahuan keluarga.
Diskusikan dengan keluarga tentang tatalaksana post hospital.
Diskusikan dengan keluarga untuk melakukan rujukan ke pelayanan
kesehatan sehubungan perawatan klien.

Diagnosa 2: Hipertermia
2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil
Pasien akan menunjukkan termoregulasi
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional
- Pantau suhu tubuh
Rasional : Suhu 38,9-41,1 menunjukkan adanya proses infeksius
akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis
- Pantau suhu lingkungan, batasi / tambahkan penggunaan seprai di
tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan / jumlah selimut harus dirubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal
- Berikan kompres hangat

Rasional : Membantu menurunkan demam dengan efek vasodilatasi

air hangat melalui proses evaporase

- Kolaborasi : Berikan antipiretik

Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi

sentranya pada hipotalamus meskipun demam mungkin dapat

berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme dan

meningkatkan autodekstruksi sel-sel yang terinfeksi


13

III. Daftar Pustaka


Hasan, Dr. Rusepno (1995).Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta
Mansjoer, A. (2000).Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2.Jakarta: Media
Aesculapius.
Ngastiyah. (1997).Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
Wilkinson, J.M. & Ahern, N.R. (2009). Buku Saku Diagnosis Keperawatan.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai