Anda di halaman 1dari 26

BAB I PENDAHULUAN ANEMIA

Definisi
Anemia didefinisikan sebagai sebuah penurunan jumlah sel darah merah (RBC) dalam sirkulasi;
kriteria umumnya ialah kadar hemoglobin (Hb) < 12 g/dL atau hematokrit (Hct) < 36% untuk
wanita dan Hb < 14 g/dL atau Hct < 36% untuk pria.
Klasifikasi
Anemia secara umum dapat diklasifikasikan kedalam 3 kelompok etiologi: kehilangan darah (akut
atau kronis), penurunan produksi sel darah merah, dan peningkatan penghancuran sel darah merah
(hemolisis).
Diagnosis
Anamnesa
Berdasarkan gejala, satu dengan yang lainnya dapat dibedakan berdasarkan waktunya (akut, atau
kronis), beratnya, dan kemungkinan etiologi yang mendasarinya.
• Anemia akut. Pasien dengan onset anemia yang mendadak mengalami penurunan sel
darah merah yang berat. Pasien menunjukkan gejala kelelahan, lemas, pusing, pingsan,
atau angina yang berhubungan dengan anemia ringan (misalnya Hct >30%).
• Kehilangan darah akut paling banyak muncul pada saluran pencernaan (gastritis karena
alkohol atau obat anti inflamasi non steroid (NSAID), diverticulosis, atau penyakit
ulkus peptik atau ulkus gaster) dan dapat juga bersamaan dengan gejala epigastrik,
mual dan muntah, diare, hematemesis, dan hematoskezia.
• Anemia kronis. Berkebalikan dengan anemia akut, pasien dengan anemia kronis
biasanya memiliki gejala yang lebih sedikit, terutama jika anemia memiliki onset yang
tersembunyi dan atau muncul setelah waktu yang lama. Bagaimanapun, pasien
seringnya mengalami gejala ketika Hb <7.5 g/dL.
Pemeriksaan Fisik
Tanda dan gejala yang umum dari anemia ialah pucat, takikardi, hipotensi, pusing, tinnitus, nyeri
kepala, penurunan konsentrasi, lelah, dan lemas. Atrofi glositis, angular keilosis, koilonikia (kuku
sendok), dan kuku yang rapuh lebih sering terjadi pada anemia berat. Pasien dapat juga mengalami
penurunan toleransi olahraga, dyspnea on exertion, dan gagal jantung. Gagal jantung pengeluaran
tinggi dan syok tampak pada anemia yang berat.
Uji diagnosis
Laboratorium
1. Hitung darah lengkap/ complete blood count (CBC) menilai sel darah putih (WBC), Hb, Hct,
trombosit, juga menilai indeks sel darah merah
2. Kadar Hb ialah menilai konsentrasi Hb dalan darah yang digambarkan dalam gram per desiliter
(g/dL), dimana kadar Hct merupakan persentase RBC yang ada dalam darah. Hb dan Hct
merupakan indikator yang tidak dapat diandalkan dari sel darah merah dalam pergeseran
volume intravaskuler (misalnya: perdarahan akut).
3. Penilaian sel darah merah yang paling bermanfaat termasuk didalamnya Mean Cellular Volume
(MCV), Red Cel Distribution Width (RDW), dan Mean Cellular Hb (MCH).
• MCV: rerata volume sel darah merah. kisaran normalnya: 80-100 femtoliter (fL)
o Mikrositik: MCV <80 fl
o Normositik: MCV antara 80-100 fL
o Makrositik: MCV > 100 fL
• RDW: menggambarkan variasi ukuran sel darah merah dan menggambarkan deviasi
standart MCV. Peningkatan RDW mengindikasikan peningkatan variabilitas ukuran
RBC.
• MCH: menggambarkan konsentrasi Hb dalam tiap sel dan setiap peningkatan seringkali
menggambarkan sfrerositas atau hemoglobinopati.
• MCHC adalah menggambarkan kadar Hb dibagi dengan hematokrit. Penurunan MCHC
timbul pada anemia defisiensi anemia, defek pada sintesis porfirin, anemia hemolitik.
4. Jumlah retikulosit mengukur persentase sel darah merah immature dalam darah dan
menggambarkan produksi sel darah merah dari sumsum tulang belakang.
• RBC normal memiliki massa hidup sekitar 120 hari; sehingga nilai normal retikulosit
ialah 1-2%
• Dalam keadaan anemia atau kehilangan darah, sumsum tulang belakang akan
meningkatkan produksi sel darah merah sesuai dengan sel darah merah yang hilang
sehingga 1% nilai retikulosit dalam keadaan anemia tidaklah sesuai
• Indeks retikulosit (RI) dihitung sebagai % retikulosit/ koreksi maturasi (Tabel 1) x Hct
aktual/ nilai normal Hct (normalnya 45) dan hal ini penting dalam menetapkan apakah
sumsum tulang belakang pasien berespon baik terhadap tingkat anemia.
Tabel 1 koreksi maturasi berdasarkan hematokrit

• Pada Individu normal, diharapkan RI 1 hingga 2; bagaimanapun, RI <2 dengan anemia


mengindikasikan penurunan produksi sel darah merah (anemia hipoproliveratif). RI >2
dengan anemia mungkin saja mengindikasikan hemolisis atau perdarahan menyebabkan
kompensasi peningkatan produksi retikulosit (anemia hiperploriveratif).
5. Pewarnaan morfologi darah tepi: merupakan komponen esensial sebagai evaluasi anemia.
Satu yang perlu mendapat perhatian dari sel darah merah ialah bentuk, ukuran, adanya
inklusi, dan orientasi sel dalam hubungannya satu sama lain. Sel darah merah dapat tampak
dalam banyak bentuk, seperti akantosit, skistosit, spherosit, atau sel tetesan air mata (teardrop
cells), dan orientasi abnormal seperti formasi Rouleaux. Tiap- tiap bentuk dihubungkan
dengan beberapa proses penyakit spesifik.
6. Coombs test direk dan indirek:
• Coombs test direk adalah untuk mendeteksi antibodi pada sel darah merah. Pemeriksaan
ini positif pada anemia hemolitik autoimun dan drug-induced hemolytic anemia.
• Coombs test indirek adalah untuk mendeteksi antibodi dalam serum. Digunakan untuk
mengecek kompatibilitas sebelum transfusi.
7. Biopsi sumsum tulang belakang dapat diindikasikan dalam kasus anemia normositik dengan
nilai retikulosit rendah tanpa penyebab yang tak diketahi atau anemia berhubungan dengan
sitopenia lainnya. Biopsi dapat menegakkan proses mieloptisis (misalnya: adanya sel teardrop
atau sel fragmented, normoblast, atau sel darah putih immature dalam pewarnaan darah tepi)
dalam keadaaan pansitopenia.
BAB II ANEMIA TERKAIT PENGURANGAN PRODUKSI SEL DARAH MERAH
Anemia terkait pengurangan produksi sel darah merah dapat diklasifikasikan menurut ukuran
sel darah merah yaitu: anemia mikrositik, anemia makrositik, dan anemia normositik.
A. ANEMIA MIKROSITIK
I. Anemia defisiensi besi
Defisiensi besi merupakan penyebab paling banyak anemia dalam perawatan rawat jalan
Etiologi
1. Kehilangan darah saat menstruasi atau kehamilan merupakan etiologi tersering dari kekurangan
besi pada wanita premenopause.
2. Perdarahan saluran cerna diduga menjadi penyebab terbanyak pada pasien, dan radiografi yang
sesuai dan prosedur endoskopi harus dilakukan untuk identifikasi sumber dan mengeksklusikan
adanya malignansi.
3. Penyakit pada perut dan usus halus proksimal (misalnya: infeksi Helicobacter pylori,
achlorhydria, penyakit celiac, dan operasi bariatric) seringnya mengakibatkan gangguan
absorbsi besi .
4. Penyebab lain dari anemia mikrositik termasuk dalamnya anemia sideroblastik, keracunan,
thalassemia, dan anemia akibat penyakit kronis (ACD), walaupun hal ini seringnya muncul
dalam keadaan anemia normositik.
Diagnosis
Gambaran klinis
Pasien mungkin tampak lelah atau tidak enak badan, dimana hal ini berhubungan dengan
pentingnya besi dalam metabolisme seluler dan memainkan peran dalam pengantaran oksigen,
seperti pada penderita pica (mengkonsumsi benda- benda seperti es, tepung, tanah liat). Defisiensi
besi banyak berhubungan dengan sindrom restless leg.

Riwayat
Menanyakan riwayat menstruasi yang sering dan durasi yang lama, begitu juga perdarahan saluran
cerna (melena, hematochezia, hematemesis) merupakan hal yang penting.

Pemeriksaan fisik
Splenomegali, koilonikia (kuku sendok), dan sindrom Plummer- Vinson (glositis, disfagia, dan
esophageal web) jarang ditemukan. Adanya teleangiektasis atau adanya darah dalam feses dapat
membantu mengidentifikasi sumber hilangnya darah.

Uji Diagnosis
Laboratorium
1. Ferritin merupakan cadangan utama besi dalam hepar dan sumsum tulang belakang dan
merupakan penanda terbaik dari cadangan besi.
• Nilai ferritin ialah < 10 ng/mL pada wanita atau < 20 mg/mL pada pria merupakan penanda
spesifik dari rendahnya cadangan besi
• Ferritin merupakan reaktan fase akut, sehingga nilai normalnya dapat dilihat dalam
keadaan adanya inflamasi meskipun cadangan besi rendah. Kadar serum ferritin >200
ng/mL secara umum mengeklusikan defisiensi besi; bagaimanapun, pasien dengan dialisis
renal, akan tampak defisiensi besi fungsional dengan nilai ferritin hingga 500 ng/mL.
2. Besi, Total Iron Binding Capacity (TIBC), transferrin, dan saturasi transferrin sering digunakan
dalam kombinasi dengan ferritin untuk mendiagnosa anemia defisiensi besi dan
membedakannya dengan anemia akibat penyakit kronis (Tabel 21-2). Nilai serum besi sendiri
seringkali tidak dapat diandalkan mengingat fluktuasi yang signifikan berdasarkan makanan
pasien.

Tabel 2 Perbedaan panel besi pada anemia defisiensi besi dan anemia penyakit kronik
3. Dengan pemantauan yang adekuat, anemia mikrositik pada wanita yang menstruasi
membutuhkan hanya nilai Hb/Hct yang diulang 2 hingga 4 bulan setelah inisiasi pemberian
terapi besi oral.
4. Wanita postmenopause dan pria membutuhkan evaluasi lebih rinci, termasuk evaluasi
kehilangan sel darah merah potensial, seringnya melalui saluran cerna (misalnya penyakit ulkus
peptic, karsinoma colon), atau yang lebih jarang, saluran kencing (misalnya: paroksismal
nocturnal hemoglobinuria).

Prosedur diagnosis
Biopsi sumsum tulang belakang yang menunjukan tidak ada pewarnaan untuk besi merupakan uji
definitive untuk mendiagnosa anemia defisiensi besi dan sangat menolong ketika uji serum gagal
untuk menegakkan diagnose.

Terapi
1. Terapi besi oral. Diberikan pada pasien yang stabil dengan gejala yang ringan. Beberapa
preparat yang tersedia (Tabel 3).
• Besi sangat baik diserap ketika perut kosong, dan 3-10 mg besi elemental dapat diserap
setiap hari.
• Menelan besi oral dapat menginduksi sejumlah efek samping pada saluran pencernaan,
termasuk dalamnya gangguan epigastrik, kembung, dan konstipasi. Efek samping ini bisa
dikurangi dengan pemberian awal obat dengan makan atau sekali per hari dan
meningkatkan dosis yang ditoleransi
• Pemberian vitamin C beserta dengan besi akan memperbaiki penyerapan.

Tabel 3 Sediaan besi oral


2. Indikasi pemberian besi parenteral T:
• Penyerapan yang buruk (missal: penyakit inflamasi usus, malabsorbsi)
• Kebutuhan besi yang sangat tinggi yang tak dapat ditemukan dengan suplemen oral
(missal: perdarahan yang sedang terjadi)
• Intoleransi terhadap sediaan oral
• Defisiensi besi pada penderita penyakit ginjal kronis (CKD)
• Besi dextran (INFeD, Dexferrum)
o Pemberian melalui infus menimbulkan anafilaksis, sehingga uji dosis IV 0,5 mL harus
diberikan selama 5-10 menit pada 30-60 menit sebelum dosis penuh. Metilprednisolon,
diphenhidrinat, dan epinefrin 1: 1000 1mg ampul (untuk pemberian subkutan) harus
harus segera tersedia setiap saat selama infus.
o Reaksi lambat untuk besi IV, seperti arthralgia, myalgia, demam, pruritus, dan
limfadenopati dapat terlihat dalam 3 hari terapi dan umumnya dapat membaik sendiri
atau dengan NSAID
3. Alternative untuk besi dextran ialah natrium ferit glukonas dan besi sukrosa.

II. Thalassemia
Definisi
Sindrom thalassemia merupakan kelaianan yang diturunkan yang dikarakteristikkan dengan
adanya penurunan Hb sintesis yang berhubungan dengan mutasi rantai α atau β (Tabel 21-5).

Epidemiologi
Individu yang paling banyak terkena ialah Mediterania, Timur tengah, Indian, Afrika, atau
keturunan Asia.

Etiologi
1. Thalassemia β terjadi karena adanya penurunan produksi globin- β dan kelebihan resultan α -
globin, membentuk α -tetramer yang tidak larut dan menyebabkan eritropoiesis yang tidak
efektif.
• Thalassemia β minor (trait) terjadi dengan satu kelainan gen dengan penurunan produksi
globin rantai β. Pasien asimtomatik, dengan mikrositik, hipokromik sel darah merah, dan
kadar Hb >10 g/dL.
• Thalassemia β intermedia terjadi dengan disfungsi pada gen globin β sehingga anemia lebih
parah (Hb, 7-10 g/dL).
• Thalassemia β mayor (Cooley anemia) disebabkan oleh kelainan yang parah pada kedua
gen yang tidak menghasilkan globin β dan membutuhkan transfusi seumur hidup.
2. Thalassemia α muncul dengan adanya delesi satu atau lebih dari 4 gen globin α, menyebabkan
kelebihan globin β
• Anemia mikrositik ringan dan hipokromik ringan (Hb >10 g/dL) tampak dengan hilangnya
satu atau dua gen (pembawa dan sifat thal- α), dimana penyakit Hb H (delesi 3 gen globin
α) mengakibatkan splenomegali dan anemia hemolitik
• Pada pasien dengan penyakit Hb H (tetramer- β), transfusi atau splenektomi seringnya tidak
dibutuhkan. Sebagai tambahan, obat- obat oksidan yang memperburuk defisiensi glukosa-
6-fosfat dehidrogenase (G6PD) harus dihindari karena meningkatkan kemungkinan
munculnya hemolisis.
• Hidrops fetalis muncul dengan kehilangan seluruh gen globin- α dan tak mampu hidup.

Tabel 4 Jenis-jenis Thalasemia


Diagnosis
Gejala klinis
1. Riwayat keluarga dengan anemia mikrositik atau mikrositosis sangat membantu
2. Splenomegali dapat menjadi satu- satunya manifestasi yang timbul dari pemeriksaan fisik
3. Deformitas tulang dan hematopoetik dari hematopoiesis extramedular dapat menandakan
adanya thalassemia β mayor.
Uji diagnostik
1. Sel darah merah mikrositik hipokromik, juga dengan poikilositosis dan RBC berinti
2. Pada thalassemia trait, kadar besi normal, RDW dapat membantu untuk membedakannya
dengan anemia defisiensi besi
3. Hb elektroforesis merupakan diagnosis untuk thalassemia β tampak dengan peningkatan
persentase Hb A2 (α2δ2) dan Hb F (α2γ2)
4. Pembawa dengan kehilangan satu rantai α memilki elektropoesis yang normal. Pasien dengan
penyakit Hb H memiliki peningkatan Hb H (β-tetramer). Diagnosis thalassemia α dibuat
dengan analisa gen globin-α
Terapi
1. Pasien dengan thalassemia trait tidak membutuhkan terapi yang spesifik
2. Pada pasien dengan penyakit yang lebih berat, transfusi sel darah merah untuk pemeliharaan
kadar Hb 9-10 g/dL dibutuhkan untuk mencegah deformitas tulang yang terjadi akibat
percepatan eritropoiesis.
3. Dalam bentuk thalassemia beta, pemberian transfusi berulang tampak dengan adanya
penumpukan besi dimana dapat mengakibatkan congestive heart failure (CHF), disfungsi
hepar, intoleransi glukosa, dan hipognadisme sekunder. Terapi kelasi besi menunda atau
mencegah komplikasi ini. Sekali deteriorasi organ mulai, maka mungkin tak dapat diperbaiki.
4. Terapi kelasi diindikasikan untuk transfusi yang berhubungan dengan kelebihan besi oleh
karena berbagai sebab. Hal ini diindikasikan pada pasien dengan infus besi >20 U paket sel
darah merah dan ferritin >1000 ng/mL
5. Deferoxamine, 40 mg/kg secara subkutan (SC) atau intravena (IV) 8-12 jam melalui infus
secara berkelanjutan.
6. Deferasirox 20-3- mg/kg/hari (hingga 40 mg/kg/hari) merupakan pilihan lainnya. Dosis dapat
dititrasi setiap 3-6 bulan berdasarkan kadar ferritin. Efek samping deferasirox termasuk
dalamnya gangguan saluran cerna ringan hingga sedang dan ruam dikulit. Efikasinya sama
dengan deferoxamin.
7. Hidroxiurea (1535 mg/kg/hari) untuk meningkatkan Hb F bermanfaat pada beberapa pasien
dengan thalassemia β
8. Transplantasi stem sel merupakan satu- satunya terapi kuratif dan harus dipertimbangkan pada
pasien muda dengan thalassemia mayor dimana human leukocyte antigen (HLA) identik
dengan donor
Terapi operasi
Splenektomi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kebutuhan transfusi (>2U/mos). Untuk
menurunkan resiko sepsis setelah splenektomi, imunisasi melawan Pneumococcus, Haemophilus
influenza, dan Neisseria meningitis harus diberikan minimal 2 minggu sebelum operasi jika
sebelumnya tidak divaksinasi. Splenektomi tidak direkomendasikan jika pasien lebih muda dari
usia 5-6 tahun karena resiko sepsis.

III. ANEMIA SIDEROBLASTIK


Definisi
Anemia sideroblastik merupakan gangguan sel darah merah yang diturunkan atau didapat yang
dikarakteristikkan dengan metabolisme besi yang abnormal dan dihubungkan dengan adanya
cincin sideroblast dalam aspirasi sumsum tulang belakang dan normal sitogenetik.
Etiologi
1. Didapat
• Anemia sideroblastik primer (sindrom mielodisplasia (MDS))
• Anemia sideroblastik sekunder karena obat (misalnya: kloramfenikol, sikloserin, etanol,
isoniazid, pirazinamid), toksisitas zink, penggunaan ethanol jangka panjang, atau defisiensi
tembaga
2. Diturunkan
• X-linked
• Autosomal
• Mitokondrial

Diagnosis
Pemeriksaan sumsum tulang belakang termasuk sitogenetik dibutuhkan untuk mengevaluasi
adanya cincin sideroblast atau bentuk abnormal sumsum lainnya.

Terapi
1. Hilangkan semua penyebab yang mungkin
2. Piridoksin 50-200 mg setiap hari dapat digunakan untuk mengobati anemia sideroblastik
herediter.

B. ANEMIA MAKROSITIK
Definisi
Anemia megaloblastik merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan gangguan
sintesis DNA dalam sel hematopoietic tetapi memengaruhi proliferasi sel.
Etiologi
1. Hampir semua aksus disebabkan defisiensi asam folat atau vitamin B12
2. Defisiensi folat disebabkan dari kurangnya keseimbangan folat dalam bentuk malnutrisi,
malabsorbsi, atau peningkatan kebutuhan (hamil, anemia hemolisis).
• Pasien dalam usaha menurunkan berat badan, alkohol, usia tua, dan pasien psikiatri berisiko
terhadap kemungkinan defisiensi asam folat
• Wanita hamil dan laktasi membutuhkan peningkatan kebutuhan 3-4 kali folat harian dan
umunya berhubungan dengan perubahan megaloblastik pada sel hematopoietic maternal,
yang mengakibatkan anemia dimorfik (kombinasi folat dengan defisiensi besi).
• Malabsorbsi folat dapat terlihat pada penyakit celiac.
• Obat-obatan dapat mengganggu absorbsi folat, misal etanol, trimethoprim, pyrimethamin,
difenilhidantoin, barbiturat, dan sulfasalazin.
• Pasien yang memerlukan dialisis membutuhkan intake folat karena adanya peningkatan
buangan folat saat dialisa.
• Pasien dengan anemia hemolitik, seperti anemia sel sabit, membutuhkan tambahan folat
untuk meningkatkan eritropoiesis dan pada krisis aplastik (hasil hitung darah cepat sekali
turun) dengan defisiensi folat.
3. Defisiensi vitamin B12 diam-diam terjadi dalam 3 tahun atau lebih oleh karena kebutuhan
vitamin B12 hariannya rendah (6-9 µg/hari), dimana cadangan total tubuh sekitar 2-5 mg.
• Oleh karena saat ini multivitamin, roti, dan sereal sudah mengandung asam folat,
manifestasi hematologi dari defisiensi vitamin B12 kadang tidak tampak, dan gejala
neurologis dapat menjadi satu-satunya yang dapat diamati.
• Penyebab defisiensi vitamin B12 termasuk pasien gastrektomi parsial (20% pasien yang
dalam 8 tahun terakhir menjalani operasi) atau total dan anemia pernisiosa (AP). Pasien
lanjut usia dengan atrofi gaster dapat mengalami defisiensi vitamin B12 terkait makanan
oleh karena gangguan absorbsi vitamin B12.
• AP terjadi pada pasien berusia lebih dari 40 tahun (onset rerata usia 60 tahun). Sekitar 30%
pasien memiliki riwayat keluarga dengan AP. AP dihubungkan dengan penyakit autoimun
lainnya (30% penyakit Graves, 11% tiroiditis Hashimoto, dan penyakit Addison 5-10%).
Pada pasien AP, 90% memiliki sel antiparietal imunoglobulin (Ig)G antibodi dan 60%
memiliki faktor antibodi anti-intrinsik.
• Etiologi lainnya termasuk insufisiensi pankreas, bakteri, dan parasit pada gastrointestinal
(Diphyllobothrium latum).
DIAGNOSIS

Tampilan Klinis

1. Pasien dengan defisiensi folat mengalami kekurangan tidur, kelelahan, dan manifestasi
depresi, iritabel, serta pelupa.
2. Anemia defisiensi vitamin B12 secara klinis tampak, manifestasi umum berupa gejala
neurologis seperti neuropati perifer, parestesia, letargi, hipotonia, dan kejang.
3. Temuan fisik penting termasuk tanda nutrisi yang buruk, pigmentasi pada lipatan kulit dan
kuku, atau glositis. Ikterik atau splenomegali dapat menandakan hematopoiesis ekstramedular
dan tidak efektif. Defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan penurunan persepsi getar dan
posisional, ataksia, parestesia, konfusi, dan demensia. Komplikasi neurologis dapat terjadi
bahkan tanpa adanya anemia serta mungkin tidak dapat ditangani meskipun dengan
pengobatan yang adekuat. Defisiensi asam folat tidak menyebabkan penyakit neurologis.
Uji Diagnostik

Laboratorium

1. Anemia makrositik biasanya muncul, dapat juga tampak leukopenia dan trombositopenia.
2. Apusan darah tepi dapat menunjukkan anisositosis, poikilositosis, dan makro-ovalosit;
sering didapatkan netrofil hipersegmentasi (mengandung lebih dari 6 lobus inti).
3. Laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin indirek seringkali meningkat, menunjukkan
eritropoiesis yang tidak efektif dan destruksi prematur dari sel darah merah.
4. Kadar serum vitamin B12 dan folat sel darah merah harus dinilai.
5. Folat sel darah merah merupakan indikator cadangan badan folat yang lebih akurat
daripada serum folat, terutama apabila diukur setelah terapi folat atau perbaikan nutrisi
telah dilakukan.
6. Serum methylmalonic acid (MMA) dan homocysteine (HC) dapat bermanfaat bila hasil
kadar folat atau vitamin B12 samar-samar. MMA dan HC meningkat pada defisiensi
vitamin B12; hanya HC yang meningkat pada defisiensi folat.
7. Test Schilling dapat berguna untuk diagnosis AP oleh karena defisiensi vitamin B12,
namun jarang sekali mempengaruhi pendekatan terapinya. Oleh karena itu, sekarang tes ini
jarang dilakukan.
8. Mendeteksi antibodi terhadap faktor intrinsik spesifik untuk diagnosis AP.
Prosedur Diagnostik

Biopsi sumsum tulang dapat diperlukan untuk menentukan MDS atau leukemia akut oleh
karena kedua penyakit ini mungkin menunjukkan temuan yang mirip dengan anemia
megaloblastik.

PENGOBATAN

1. Terapi ditujukan untuk mengganti faktor defisiensi.


2. Suplementasi kalium mungkin dibutuhkan saat pengobatan dimulai untuk mencegah potensi
aritmia oleh karena hipokalemia akibat peningkatan hematopoiesis.
3. Retikulositosis harus dimulai dalam 1 minggu terapi, diikuti dengan peningkatan Hb selama
6-8 minggu.
4. Defisiensi besi seringkali turut menyertai pada sepertiga pasien dan menjadi penyebab umum
tidak adekuatnya respon terapi.
5. Pemberian 1 mg asam folat dilakukan setiap hari hingga defisiensi terkoreksi. Dosis tinggi
asam folat (5 mg perhari) mungkin dibutuhkan pada pasien dengan sindrom malabsorpsi.
6. Defisiensi vitamin B12 dikoreksi dengan pemberian sianokobalamin. Kecuali pasien tampak
sangat sakit (gagal jantung kronis dekompensata oleh karena anemia, disfungsi neurologis
tingkat lanjut), pengobatan dengan dosis penuh sianokobalamin (1 mg/hari intramuskular
[IM]) sebaiknya menunggu diagnosis laboratorium.
7. Setalah 1 minggu terapi harian, dilanjutkan dengan 4 minggu dosis 1 mg/minggu dan 1
mg/bulan sepanjang hidup.
8. Pasien yang menolak atau tidak dapat menerima terapi parenteral dapat diberikan resep tablet
oral atau sirup 50 mg/hari sepanjang hidup.

C. ANEMIA NORMOSITIK
I. ANEMIA PENYAKIT GINJAL KRONIS

Anemia karena penyakit ginjal kronis terjadi karena penurunan produksi eritropoietin endogen
(EPO) dan dapat terjadi saat bersihan kreatinin dibawah 50 mL/menit. Penyebab lain termasuk
adalah defisiensi besi (lihat pada deksripsi sebelumnya).

DIAGNOSIS

a. Evaluasi laboratorium menunjukkan MCV normal.


b. Apusan darah tepi: sel darah merah biasanya hipokromik, kadang tampak ekinosit (sel burr).
c. Apabila kadar kreatinin pasien > 1.8 mg/dL, penyebab utama anemia dapat disebabkan oleh
karena defisiensi EPO dan/atau defisiensi besi, sehingga kadar EPO tidak perlu diperiksa.
d. Status besi harus dievaluasi pada pasien yang menjalani dialisa dengan mengukur kadar feritin
dan saturasi transferin. Suplementasi besi oral tidak efektif pada pasien CKD, sehingga
direkomendasikan menggunakan besi parenteral untuk menjaga kadar feritin >500 ng/mL
TERAPI

1. Pengobatan telah berkembang dengan menggunakan agen stimulan eritropoiesis (ESA)


termasuk epoetin alfa dan darbepoetin alfa.
2. Terapi dimulai pada pasien predialisa yang simptomatis.
3. Manfaat objektif saat mengobati anemia termasuk meningkatkan kapasitas gerak badan,
meningkatkan fungsi kognitif, eliminasi transfusi sel darah merah, dan mengurangi kelebihan
besi. Manfaat subyektif termasuk meningkatkan energi, meningkatkan nafsu makan, pola
tidur yang lebih baik, dan meningkatkan aktivitas seksual.
4. Pemberian ESA bisa dilakukan lewat IV (pasien hemodialisis) maupun SC (pasien predialisis
atau dialisis peritoneal). Pada pasien dialisis dan predialisis dengan CKD, target hemoglobin
harus berada antara 11 dan 12 g/dL serta tidak melebihi 12 g/dL. Hemoglobin dan
hematokrit dihitung setidaknya setiap bulan saat menerima ESA. Penyesuaian dosis sebaiknya
dilakukan untuk menjaga target Hb.
5. Efek samping ESA: menargetkan kadar Hb yang lebih tinggi dan/atau paparan ESA dosis
tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko komplikasi kardiovaskular dan kematian.
Sebagai tambahan, kadar hematokrit yang lebih tinggi karena ESA meningkatkan risiko
stroke, gagal jantung, hipertensi, dan trombosis vena dalam
6. Respon suboptimal terapi ESA merupakan fenomena umum oleh karena defisiensi besi,
inflamasi, perdarahan, infeksi, keganasan, malnutrisi, dan keracunan alumunium.
• Oleh karena anemia merupakan determinan besar harapan hidup pada pasien dialisis,
pemberian besi IV menjadi standar terapi pada banyak pasien yang menerima terapi ESA
dan yang terbukti mengalami defisiensi besi. Pemberian ini juga menurunkan dosis ESA
yang dibutuhkan untuk mengoreksi anemia.
• Saturasi transferin dan feritin harus diukur setidaknya setiap bulan selama pengobatan
dengan ESA dengan target kadar feritin >200 ng/mL dan saturasi transferin >20% pada
pasien dialisis; serta kadar feritin >100 ng/mL dan saturasi transferin >20% pada pasien
predialisis dan peritoneal dialisis.
• Terapi besi tidak bermanfaat pada kadar feritin >500 ng/mL.
• Dapat timbul hiperparatiroidisme sekunder yang menyebabkan fibrosis BM dan resistensi
relatif ESA.

II. ANEMIA of CHRONIC DISEASE


Anemia of chronic disease (ACD) sering terjadi pada pasien dengan penyakit inflamasi kronis,
keganasan, penyakit autoimun, dan infeksi kronis. Etiologinya multifaktor, termasuk defek
mobilisasi besi selama eritropoiesis, supresi eritropoiesis akibat inflamasi yang dimediasi sitokin,
dan gangguan respon EPO terhadap anemia. Anemia ini juga merupakan komplikasi umum terapi
pada beberapa penyakit (kemoterapi keganasan, zidovudine pada infeksi HIV).
TERAPI

a) Terapi untuk adalah secara langsung mengobati penyakit penyebabnya serta menghilangkan
faktor eksaserbasi seperti defisiensi nutrisi dan obat yang menyupresi sumsum.
b) Terapi Erythropoietin-stimulating agent (ESA) sebaiknya dipertimbangkan apabila pasien
selalu butuh transfusi atau memiliki anemia yang simptomatik.
• Dosis efektif ESA lebih tinggi daripada yang dilaporkan pada anemia insufisiensi ginjal.
• Jika tidak ada respons pada 900 U/kg/minggu, peningkatan dosis selanjutnya tidak efektif.
c) Transfusi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan hematokrit <24% atau bergejala.

III. ANEMIA APLASTIK

Anemia aplastik merupakan abnormalitas didapat pada stem sel hematopoiesis yang biasanya
secara klinis tampak sebagai pansitopenia. Sebagian besar kasus adalah idiopatik. Sekitar 20%
kasus berhubungan dengan paparan obat atau bahan kimia. Sekitar 10% kasus berhubungan
dengan virus (misal hepatitis viral, virus Epstein-Barr, cytomegalovirus [CMV]). Terdapat bukti
yang menunjukkan kegagalan sumsum tulang pada anemia aplastik terjadi karena destruksi
imunologis stem hematopoietik dan sel progenitor
DIAGNOSIS
Tampilan Klinis

Pasien biasanya pansitopenia, gejala umum berupa anemia (kelelahan, malaise, dispnea) atau
trombositopenia (perdarahan mukosa, memar), meskipun beberapa pasien hanya menunjukkan
demam dan leukopenia.

Kriteria Diagnostik

1. Anemia aplatik sedang


• Selularitas sumsum tulang <30%
• Kriteria anemia aplastik berat tidak terpenuhi
• Sedikitnya dua dari tiga unsur hitung darah turun dari nilai normal
2. Anemia aplastik berat
• Selularitas sumsum tulang <25% dengan sitogenetik normal; ATAU
• Selularitas sumsum tulang <50% dengan sitogenetik normal, dan <30% berupa
hematopoietik, DAN dua dari tiga kriteria darah tepi berikut:
a. Absolute neutrophil count (ANC) <500/mm3
b. Platelet <20000/mm3
c. Hitung retikulosit absolut <40000/mm3
• Tidak ada penyakit hematologis lain
3. Anemia aplastik sangat berat
• Kriteria anemia berat terpenuhi, DAN
• ANC <200/mm3
Test Diagnosis

Biopsi sumsum tulang diperlukan untuk diagnosis. Morfologi sumsum tulang kadang sulit
dibedakan antara MDS hiposelular dan paroxysmal nocturnal hemoglobinuria.

PENGOBATAN

1. Obat yang diduga sebagai pemicu harus segara dihentikan serta memperbaiki faktor
eksaserbasi.
2. Apabila diagnosis telah ditegakkan, perawatan sebaiknya dilakukan di pusat kesehatan yang
berpengalaman menangani anemia aplastik.
3. Pengobatan imunosupresif dengan siklosporin, glukokortikoid, dan globulin antitimosit
sebaiknya dipertimbangkan pada pasien yang tidak menjalani SCT
4. SCT. Apabila memungkinkan, SCT dari saudara yang HLA-nya identik pada umumnya
dianjurkan dan dapat meningkatkan harapan hidup 60 hingga 70 persen.
5. Transfusi pada anemia aplastik. Transfusi dengan sel darah merah sebaiknya diminimalkan.
Transfusi platelet profilaksis umumnya direkomendasikan apabila hitung platelet dibawah
10000/mm3.
BAB III ANEMIA HEMOLITIK

I. Anemia dengan Peningkatan Eritropoiesis

Definisi

Anemia dengan peningkatan eritropoiesis (yaitu peningkatan hitung retikulosit) disebabkan


oleh karena perdarahan atau destruksi sel darah merah (hemolisis) dan dapat melampaui kapasitas
normal sumsum tulang dalam menjaga Hb. Perdarahan lebih sering terjadi dibandingkan
hemolisis.

Etiologi

a) Kehilangan darah. Jika tidak ada sumber yang jelas, curigai kehilangan darah pada saluran
gastrointestinal, retroperitoneum, thoraks, atau kompartemen pada paha (pemasangan alat,
trauma, fraktur, koagulopati).
b) Hemolisis dibagi ke dalam dua kelompok besar berdasarkan penyebab destruksinya: intrinsik
(disebabkan oleh defisit yang diwaris dari sel darah merah) dan ekstrinsik (disebabkan faktor
diluar sel darah merah).
• Gangguan intrinsik merupakan akibat dari defek pada membran sel darah merah (misal
sferositosis herediter), komposisi Hb (sickle cell disease), atau defisiensi enzim (G6PD).
• Gangguan ekstrinsik terjadi akibat antibodi, agen infeksi (misal malaria), trauma, agen
kimiawi (bisa/racun), atau penyakit liver.
• Gangguan hemolisis juga dapat dikategorikan berdasar lokasi destruksi sel darah merah;
intravaskular (didalam sirkulasi) atau ekstravaskular (didalam sistem makrofag-monosit
terutama di liver dan limpa).
DIAGNOSIS

Asesmen laboratorium pasien curiga hemolisis antara lain:

1. Penurunan Hb dan Hct.


2. Peningkatan hitung retikulosit (terjadi antara 3 hingga 5 hari sejak onset).
3. Peningkatan LDH dan hiperbilirubinemia indirek menandakan peningkatan perputaran
siklus sel darah merah.
4. Penurunan haptoglobin oleh karena binding pada Hb intravaskular.
5. Uji Coombs direk (direct antibody testing [DAT]) merupakan indikator adanya antibodi yang
menempel pada sel darah merah.
6. Uji Coombs indirek menandakan adanya antibodi bebas pada plasma.
7. Apusan darah tepi merupakan hal penting yang dapat membantu menentukan etiologi dari
hemolisis. Hemolisis intravaskular dapat menunjukkan fragmentasi sel darah merah (misal
skistosit, sel helm), dimana sferosit menunjukkan hemolisis ekstravaskular. Polikromasia dan
sel darah merah berinti merupakan indikator peningkatan eritropoiesis.

II. Sickle Cell Disease

Sickle Cell Disease (SCD) merupakan kelompok gangguan Hb herediter dimana Hb


menunjukkan transformasi berbentuk sabit pada kondisi deoksigenasi. Bentuk umumnya berupa
homozygous sickle cell anemia (Hb SS) atau bentuk heterozygous lain (Hb Sc, Hb S-ß thalasemia).
Hb S terjadi akibat pertukaran valine menjadi asam glutamat pada rantai ß-globin ke-6. Program
skrining bayi baru lahir untuk hemoglobinopati dapat mengidentifikasi sebagian besar pasien bayi.
Di Amerika Serikat, insidensi PSS sekitar 1 dalam 625 kelahiran. Sifat pembawa sel sabit ada
pada 8 hingga 10 persen ras Afrika Amerika

DIAGNOSIS
Test Diagnostik

a) Hb elektroforesis dapat menentukan adanya hemoglobinopati.


b) Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan: anemia (rata-rata 8 g/dL), retikulositosis (3-15%),
hiperbilirubinemia indirek, peningkatan LDH, dan penurunan atau hilangnya haptoglobin.
Leukositosis (10000-20000/mm3) dan trombositosis (>450000/mm3) umum terjadi oleh karena
peningkatan stimulasi kompartemen sumsum dan autosplenektomi.
c) Apusan darah tepi menunjukkan sel darah merah bentuk sabit, sel target (biasanya pada Hb SC
dan Hb S-ß thalasemia), dan Howell-Jolly bodies, indikasi dari asplenisme fungsional.
Gambaran klinis

1. Gambaran klinis sickle cell disease (SCD) bersifat heterogen dan bergantung pada tipe dan
derajat dari hemoglobinopati Manifestasi klinis hasil SCD yang paling umum adalah
hemolisis dan / atau oklusi vaskular.
2. Oklusi vaskular meliputi peningkatan rasa sakit, nekrosis avaskular, priapismus, dan acute
chest syndrome, sementara komplikasi hemolitik meliputi hipertensi pulmonal, cholelithiasis,
dan ulkus tungkai. Stroke dan dan infark medulla renalis merupakan komplikasi keduanya.

3. Vaso-occlusion complication (VOC) terjadi karena polimerisasi HbS yang deoksigenasi.


Eritrosit terpolimerisasi berbentuk sabit klasik dan menyebabkan deformabilitas yang nyata
yang nantinya menyebabkan vaso-oklusi

a) Episode nyeri akut ("sickle cell pain crisis")

• sickle cell pain crisis adalah VOC dan manifestasi SCD yang paling sering.
• Nyeri biasanya di tulang panjang, punggung, dada, dan perut.
• Faktor pemicu dapat mencakup stres, infeksi, dehidrasi, alkohol, dan cuaca.
Namun, sebagian besar kasus tidak memiliki pemicu yang dapat diidentifikasi.
• Durasi awal episode adalah 2 sampai 6 hari.
• Kadar Hb F yang lebih tinggi mungkin bersifat protektif terhadap VOC.
b) Acute chest syndrome adalah keadaan darurat yang mengancam jiwa yang terjadi saat
menurunnya saturasi oksigen ( 90%) menyebabkan peningkatan peningkatan sel sabit
intravaskuler dan oklusi ireversibel dari mikrovaskuler sirkulasi pulmoner. Ini bisa dipicu
oleh infeksi, emboli paru, atau emboli lemak. Pengobatan terdiri dari perawatan suportif,
pengobatan penyebab yang mendasarinya, dan mungkin memerlukan terapi pertukaran
eritrosit untuk mengurangi beban Hb S.
c) Priapismus sering muncul pada masa remaja dan bisa berakibat pada impotensi.
d) Retinopati disebabkan oleh vaso-oklusi retina kronis, yang menyebabkan retinopati
proliferatif dan dapat menyebabkan komplikasi termasuk perdarahan vitreus dan ablasio
retina.
e) Asplenia fungsional dihasilkan dari infark limpa rekuren karena proses pembentukan sel
sabit dan akhirnya mengakibatkan hilangnya fungsi limpa. Mayoritas kasus
terjadimsebelum usia 1 tahun. Asplenia fungsional menyebabkan pasien memiliki risiko
lebih tinggi terjadi infeksi, terutama organisme yang enkapsulasi.
f) Avascular necrosis (AVN) disebabkan infark trabekula tulang dan terjadi paling sering
di caput femoral dan humerus. Hampir 50% orang dewasa yang terkena SCD dapat
bermanifestasi AVN, yang menyebabkan rasa sakit yang signifikan.
4. Komplikasi hemolitik
a) Cholelitiasis terjadi pada >80% pasien dan biasanya karena pengendapan bilirubin. Hal ini
dapat memicu terjadinya cholecystitis akut atau kolik bilier
b) Ulkus tungkai biasamya terjadi di ankle dan sifatnya berulang dan kronis
c) Hipertensi pulmonal (PH) dapat terjadi pada kurang lebih 60% pasien dengan SCD.
Patofisiologinya masih belum jelas tetapi bisa terjadi karena kekurangan nitrit oksida
5. Infarct medulla renalis merupakan oklusi berulang dari kapiler medulla renalis, biasanya
menyebabkan terjadinya CKD, juga menyebabkan terjadinya isosthenuria (ketidakmampuan
mengkonsentrasikan urin) dan hematuria, menyebabkan pasien mengalami dehidrasi dan
meningkatkan risiko VOC
6. Komplikasi neurologis terjadi pada 25% pasien dengan SCD mulai usia 45 tahun dan
komplikasi ini berupa CVA (TIA, infark, perdarahan serebral), kejang, dan pendengaran
berkurang. Stroke iskemik yag terjadi karena cedera endotel yang berulang daring hemolysis
dan vaso-oklusi, menyebabkan hyperplasia dengan arteriopati arteri besar. Tingginya cerebral
flow rate (>200cm/s) yang terdeteksi menggunakan Doppler transcranial (TCD) dinilai
berhubungan dnegan meningkatnya risiko stroke. Risiko ini dapat diturunkan dengan
transfuse rutin atau terapi tukar.
7. Infeksi biasanya terjadi pada jaringan yang dieprkirakan mengalami infark vaso-oklusif (paru,
tulang, ginjal). Organisme yang paling sering menyebabkan infeksi adalah Streptococcus
pneumonia, Staphylocccus aureus, Salmonella spp., Mycoplasma pneumonia, atau
H.influenzae. Vaksinasi adalah mekanisme pencegahan kunci
8. Kehamilan dengan SCD memiliki risiko tiggi dan meningkatkan risiko abortus spontan atau
persalinan preterm, disertai dengan meningkatnya kejadian krisis vaso-oklusif.

TATA LAKSANA
1. Episode nyeri akut. Tatalaksana episode nyeri akut terdiri dari rehidrasi (3-4 liter per hari),
evaluasi dan manajemen infeksi, analegesik, dan bila diperlukan diberikan antipiretik, dan
terapi antibiotik empiris.
2. Acute chest syndrome. Kemungkinan acute chest syndrome harus diatasi dengan terapi
transfuse agresif, termasuk terapi tukar eritrosit segera. Manifestasi acute chest syndrome
biasanya sulit dibedakan dari pneumonia, oleh karena itu perlu dilakukan pemberian antibiotic
empiris spectrum luas
3. Priapismus awalnya ditangai dengan hidrasi dan analgesia. Ereksi persisten lebih dari 24 jam
memerlukan terapi transfuse atau drainase bedah
4. AVN ditatalaksana dengan pemanasan local, analgesic, dan menghindari mengangkat berat
5. Cholelithiasis. Cholelithiasis akut seharusnya segera ditangani dengan antibiotic diikuti
dengan cholecystectomy setelah serangan mereda. Cholecystectomy elektif untuk batu empedu
masih kontroversial
6. Ulkus tungkai seharusnya diatasi dengan istirahat, elevasi tungkai, dan perawatan lokak
intensif. Dressing basah hingga kering seharusnya dilakukan 4 kali per hari.
7. Hipertensi pulmonal pada SCD, ditangani dengan sildenafil namun masih diperdebatkan.
8. CVA akut: transfusi jangka panjang untuk mempertahankan konsenstrasi HbS < 50% untuk
paling tidak 5 tahun secara signifikan mengurangi rekurensi.
9. Pasien yang diduga mengalami krisis aplastic membutuhkan perawatan di rumah sakit. Terapi
meliputi asam folat 5mg per hari, diserati dengan transfusi eritrosit
10. Terapi kelasi besi bisa digunakan untuk mencegah kelebihan besi pada pasien dengan
kebutuhan transfusi tinggi

MODIFIKASI RISIKO
1. Menghindari dehidrasi dan hipoksia
2. Asam folat (2mg per oral per hari)
3. Hidroksiurea (15-35mg/kg per oral per hari) telah menujukkan peningkatan kadar HbF dan
secara signifikan mengurangi frekuensi VOC dan acute chest syndrome pada dewasa dengan
SCD
4. Profilaksi antimikrobia dengan penisilin VK, 125mg per oral 2 kali sehari smapai usisa 3
tahun dan 250mg per oral dua kali sehari sampai usia 5 tahun, efektif menurunkan risiko
infeksi. Pasien yang alergi penisilin dapat diberikan eritromisin 10mg/kg per oral dua kali
sehari. Profilaksis harus distop pada usia 5 tahun untuk mencegah terjadinya resistensi
organisme
5. Imunisasi sebaiknya diberikan pada pasien SCD untuk mencegah terjadinya infeksi yang
sering terjadi pada masa anak-anak, termasuk vaksin hepatitis B. setelah 2 tahun, vaksin
pneumonia polivalen dapat diberikan. Vaksin influenza tahunan juga diberika
6. Pemeriksaan mata direkomendasikan dilakukan tiap tahun pada dewasa karena tingginya
insidens retinopati proliferatif
7. Anestesia lokal dan regional dapat dilakukan tanpa pengawasan khsus. Perawatan perlu
dilakukan untuk menghindari terjadinya deplesi volume, hipoksia, dan hipernatremia. Ntuk
bedah mayor, transfusi eritrosit untuk meningkatkan Hb sampai 10g/dL atau lebih.

III. AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA)


Definisi
AIHA terjadi karena autoantibodi menyerang antigen yang berada di eritrosit pasien,
menyebabkan terjadinya hemolsiis ekstravaskuler (dimakannya eristrosit oleh makrofag jaringan
di liver atau limpa)

Klasifikasi
Terdapat 2 jenis utama AIHA: dingin dan hangat. Antibodi AIHA hangat berinteraksi paling baik
dengan eritrosit pada suhu 37 0 C, sedangkan antibodi AIHA dingin paling aktif pada temperatur
di bawah 37 0 C

Etiologi
1. Antibodi AIHA hangat biasanya disebabkan oleh autoantibodi IgG. Ini bisa terjadi karena
idiopatik atau sekunder dari proses tambahan (limfoma, leukemia limfositik kronis [CLL],
kelainan vaskuler kolagen atau obat-obatan [Tabel 21-7])
2. Antibodi AIHA dingin biasanya disebabkan oleh autoantibodi IgM (pada penyakit aglutinasi-
dingin)
• Bentuk akut biasanya sekunder isebabkan karena infeksi (Mycoplasma, Eipsteom-Barr
virus)
• Bentuk kronis biasanya disebabkan karena paraprotein yang berhubungan dengan
limfoma, CLL, atau makroglobulinemia Waldenstorm pada kira-kira separuh kasus, dan
ini biasanya idiopatik
DIAGNOSIS
Manifestasi klinis
• Manifestasi klinis bervariasi tergantung dari derajat hemolisis dan tipe AIHA
• Pada AIHA, kasus ringan bisa saja asimptomatol dan hanya data laboratorium yang
menunjukkan diagnosis. Padakasus fulminan, penurun Hb cepat bisa bahaya karena tidak
dikompensai dengan eritropoiesis dengan adekuat, memicu terjadinya demam, dispnea, dan
ketidakstabilan hemodinamik. Jaundice, sklera ikterik, dan urine gelap dapat terjadi karena
hiperbilinrubinemia indirek.

Tes diagnosis
1. Data laboratorium dasar sebaiknya membuktikan adanya hemolisis dengan: anemia,
retikulosis, LDH meningkat, haptoglobin menurun, dan hiperbilirubinemia indirek
2. Apusan darah tepi dapat menunjukkan spherosit, fragmentasi eritrosit okasional,
polikromasia, dan eritrosit nukleasi
3. Kunci utama diagnosis adalah DAT positif (Combs direk). DAT mendeteksi keberadaan igG
atau kompelemen yang berikatan dengan eritrosit dan bisa saja negatif palsi pada kasus IgM-
memediasi hemolisis
• AIHA hangat : IgG dan atau C3+
• AIHA dingin: IgG- dan C3+
4. Tes antiglobulin indirek (Combs indirek) mendeteksi keberadaan autoantibodi di dalam serum
etteapo juga bisa mendeteksi alloantibodi dalam serum yang bisa saja terjadi karena transfusi
atau inkompatibilitas maternal-fetal
5. Meningkatnya titer aglutinin dingin pada AIHA dingin
6. Jika AIHA sekunder dicurigai, kausa yang mendasari harus segera dicari
TATA LAKSANA
1. Terapi awal sebaiknya bertujuan untuk mengoreksi komplikasi dari anemia hemolitik. Terapi
definitf sebainya meliputi identifikasi dan tata laksana dari kausa yang mendasari
2. Transfusi eritrosit dapat memicu hemolisiskarena terjadinya hemolisis dari sel yang
ditranssfusi. Eritrosit sebaiknya hanya ditransfusi bila pasien simptomatik atau terdapat
penurunan kapaistas mengikat oksigen (Hb, 6g/dL). Autoantibodi dapat merancukan skrining
antibodi plamsa dan cross-match konvensional, dan sehingga alloantibodis bisa jadi tidak
terdeteksi
3. AIHA hangat
• Glukokortikoid, seperti prednison 1mg/kg/hari sebagai lini pertamaterapi AIHA tipe
hangat. Prednison mengurangsi klirens makrofag terhadap antibodi yang menempel di
eritrosit. Respon biasanya nampak di hari ke 7 hingga 10. Ketika hemolisis sudah
membaik, glukokortikoid dapat ditappering off selama 2-3 bilan. Tappering off steroid
yang terlalu cepat dapat menyebabkan relaps
• IVIG kurang efektif pada AIHA jika dibandingkan pada ITP dengan angka respon 40%.
IgG dari IVIG berikatan dengan makrofag liver dan limpa dan mencegah ikatan dan
klirens dengan eritrosit yang dilapiss antibodi
• Splenektomi sebaikanya dipertimbangkna pada IAHA yang resisten steroid
• Rituximab 375mg/m2 setiap minggu sebanyak 4 dosis menunjukkan efikasi pada sedikit
kasus AIHA
4. AIHA dingin
• Menghindari paparan dingin dpaat meminimalkan eksaserbasi. Transfusi eritrosit pada
suhu 370C dan menjaga supaya ruangan tetap hangat dapat mencegah hemolisis
• Glukokortikodi dan splenektomi memiliki nilai efikasi rendah
• Pertukaran plasma mengganti paling tidak 80% IgM sehingga bisa menjadi slaah satu cara
efektif mengontrol penyakit
• Rixutimad dikatakan bermanfaat pada sebagian kecil kasus

IV. MICROANGIOPATHY HEMOLYTIC ANEMIA (MAHA)


Definisi
Anemia hemolitik mikroangiopati (MAHA) adalah sindrom hemolisis intravskuler traumatic
(mikroangiopatik). MAHA adalah klasifikasi morfologis dimana eritrosit terfragmentasi (skistosit)
yang nampak pada pemeriksaan apusan darah tepi. Ini buka diagnosis spesifik tetapi bisa jadi
diagnosis banding terbatas

Etiologi
Penyebab yang mungkin dari MAHA adalaha katup jantung mekanik, hipertensi maligna,
vaskulitis, adenokarsinoma, preeklampsia/eklampsia, Disseminated Intravascular Coagulopathy
(DIC), thrombotic thromobocytopenia purpura (TTP), dan Hemolytic Uremic Syndrome
(HUS)/HUS atipikal

Diagnosis
MAHA bitegakkan dengan adanya konfirmasi adanyanya hemolisis pada data laboratorium dan
identifikasi fragmen eritrosit (skistosit) pada pemeriksaan darah tepi.

Tata laksana
Tergantung dari etiologi yang mendasari terjadinya mikroangiopati

Anda mungkin juga menyukai