Anemia PDF
Anemia PDF
Definisi
Anemia didefinisikan sebagai sebuah penurunan jumlah sel darah merah (RBC) dalam sirkulasi;
kriteria umumnya ialah kadar hemoglobin (Hb) < 12 g/dL atau hematokrit (Hct) < 36% untuk
wanita dan Hb < 14 g/dL atau Hct < 36% untuk pria.
Klasifikasi
Anemia secara umum dapat diklasifikasikan kedalam 3 kelompok etiologi: kehilangan darah (akut
atau kronis), penurunan produksi sel darah merah, dan peningkatan penghancuran sel darah merah
(hemolisis).
Diagnosis
Anamnesa
Berdasarkan gejala, satu dengan yang lainnya dapat dibedakan berdasarkan waktunya (akut, atau
kronis), beratnya, dan kemungkinan etiologi yang mendasarinya.
• Anemia akut. Pasien dengan onset anemia yang mendadak mengalami penurunan sel
darah merah yang berat. Pasien menunjukkan gejala kelelahan, lemas, pusing, pingsan,
atau angina yang berhubungan dengan anemia ringan (misalnya Hct >30%).
• Kehilangan darah akut paling banyak muncul pada saluran pencernaan (gastritis karena
alkohol atau obat anti inflamasi non steroid (NSAID), diverticulosis, atau penyakit
ulkus peptik atau ulkus gaster) dan dapat juga bersamaan dengan gejala epigastrik,
mual dan muntah, diare, hematemesis, dan hematoskezia.
• Anemia kronis. Berkebalikan dengan anemia akut, pasien dengan anemia kronis
biasanya memiliki gejala yang lebih sedikit, terutama jika anemia memiliki onset yang
tersembunyi dan atau muncul setelah waktu yang lama. Bagaimanapun, pasien
seringnya mengalami gejala ketika Hb <7.5 g/dL.
Pemeriksaan Fisik
Tanda dan gejala yang umum dari anemia ialah pucat, takikardi, hipotensi, pusing, tinnitus, nyeri
kepala, penurunan konsentrasi, lelah, dan lemas. Atrofi glositis, angular keilosis, koilonikia (kuku
sendok), dan kuku yang rapuh lebih sering terjadi pada anemia berat. Pasien dapat juga mengalami
penurunan toleransi olahraga, dyspnea on exertion, dan gagal jantung. Gagal jantung pengeluaran
tinggi dan syok tampak pada anemia yang berat.
Uji diagnosis
Laboratorium
1. Hitung darah lengkap/ complete blood count (CBC) menilai sel darah putih (WBC), Hb, Hct,
trombosit, juga menilai indeks sel darah merah
2. Kadar Hb ialah menilai konsentrasi Hb dalan darah yang digambarkan dalam gram per desiliter
(g/dL), dimana kadar Hct merupakan persentase RBC yang ada dalam darah. Hb dan Hct
merupakan indikator yang tidak dapat diandalkan dari sel darah merah dalam pergeseran
volume intravaskuler (misalnya: perdarahan akut).
3. Penilaian sel darah merah yang paling bermanfaat termasuk didalamnya Mean Cellular Volume
(MCV), Red Cel Distribution Width (RDW), dan Mean Cellular Hb (MCH).
• MCV: rerata volume sel darah merah. kisaran normalnya: 80-100 femtoliter (fL)
o Mikrositik: MCV <80 fl
o Normositik: MCV antara 80-100 fL
o Makrositik: MCV > 100 fL
• RDW: menggambarkan variasi ukuran sel darah merah dan menggambarkan deviasi
standart MCV. Peningkatan RDW mengindikasikan peningkatan variabilitas ukuran
RBC.
• MCH: menggambarkan konsentrasi Hb dalam tiap sel dan setiap peningkatan seringkali
menggambarkan sfrerositas atau hemoglobinopati.
• MCHC adalah menggambarkan kadar Hb dibagi dengan hematokrit. Penurunan MCHC
timbul pada anemia defisiensi anemia, defek pada sintesis porfirin, anemia hemolitik.
4. Jumlah retikulosit mengukur persentase sel darah merah immature dalam darah dan
menggambarkan produksi sel darah merah dari sumsum tulang belakang.
• RBC normal memiliki massa hidup sekitar 120 hari; sehingga nilai normal retikulosit
ialah 1-2%
• Dalam keadaan anemia atau kehilangan darah, sumsum tulang belakang akan
meningkatkan produksi sel darah merah sesuai dengan sel darah merah yang hilang
sehingga 1% nilai retikulosit dalam keadaan anemia tidaklah sesuai
• Indeks retikulosit (RI) dihitung sebagai % retikulosit/ koreksi maturasi (Tabel 1) x Hct
aktual/ nilai normal Hct (normalnya 45) dan hal ini penting dalam menetapkan apakah
sumsum tulang belakang pasien berespon baik terhadap tingkat anemia.
Tabel 1 koreksi maturasi berdasarkan hematokrit
Riwayat
Menanyakan riwayat menstruasi yang sering dan durasi yang lama, begitu juga perdarahan saluran
cerna (melena, hematochezia, hematemesis) merupakan hal yang penting.
Pemeriksaan fisik
Splenomegali, koilonikia (kuku sendok), dan sindrom Plummer- Vinson (glositis, disfagia, dan
esophageal web) jarang ditemukan. Adanya teleangiektasis atau adanya darah dalam feses dapat
membantu mengidentifikasi sumber hilangnya darah.
Uji Diagnosis
Laboratorium
1. Ferritin merupakan cadangan utama besi dalam hepar dan sumsum tulang belakang dan
merupakan penanda terbaik dari cadangan besi.
• Nilai ferritin ialah < 10 ng/mL pada wanita atau < 20 mg/mL pada pria merupakan penanda
spesifik dari rendahnya cadangan besi
• Ferritin merupakan reaktan fase akut, sehingga nilai normalnya dapat dilihat dalam
keadaan adanya inflamasi meskipun cadangan besi rendah. Kadar serum ferritin >200
ng/mL secara umum mengeklusikan defisiensi besi; bagaimanapun, pasien dengan dialisis
renal, akan tampak defisiensi besi fungsional dengan nilai ferritin hingga 500 ng/mL.
2. Besi, Total Iron Binding Capacity (TIBC), transferrin, dan saturasi transferrin sering digunakan
dalam kombinasi dengan ferritin untuk mendiagnosa anemia defisiensi besi dan
membedakannya dengan anemia akibat penyakit kronis (Tabel 21-2). Nilai serum besi sendiri
seringkali tidak dapat diandalkan mengingat fluktuasi yang signifikan berdasarkan makanan
pasien.
Tabel 2 Perbedaan panel besi pada anemia defisiensi besi dan anemia penyakit kronik
3. Dengan pemantauan yang adekuat, anemia mikrositik pada wanita yang menstruasi
membutuhkan hanya nilai Hb/Hct yang diulang 2 hingga 4 bulan setelah inisiasi pemberian
terapi besi oral.
4. Wanita postmenopause dan pria membutuhkan evaluasi lebih rinci, termasuk evaluasi
kehilangan sel darah merah potensial, seringnya melalui saluran cerna (misalnya penyakit ulkus
peptic, karsinoma colon), atau yang lebih jarang, saluran kencing (misalnya: paroksismal
nocturnal hemoglobinuria).
Prosedur diagnosis
Biopsi sumsum tulang belakang yang menunjukan tidak ada pewarnaan untuk besi merupakan uji
definitive untuk mendiagnosa anemia defisiensi besi dan sangat menolong ketika uji serum gagal
untuk menegakkan diagnose.
Terapi
1. Terapi besi oral. Diberikan pada pasien yang stabil dengan gejala yang ringan. Beberapa
preparat yang tersedia (Tabel 3).
• Besi sangat baik diserap ketika perut kosong, dan 3-10 mg besi elemental dapat diserap
setiap hari.
• Menelan besi oral dapat menginduksi sejumlah efek samping pada saluran pencernaan,
termasuk dalamnya gangguan epigastrik, kembung, dan konstipasi. Efek samping ini bisa
dikurangi dengan pemberian awal obat dengan makan atau sekali per hari dan
meningkatkan dosis yang ditoleransi
• Pemberian vitamin C beserta dengan besi akan memperbaiki penyerapan.
II. Thalassemia
Definisi
Sindrom thalassemia merupakan kelaianan yang diturunkan yang dikarakteristikkan dengan
adanya penurunan Hb sintesis yang berhubungan dengan mutasi rantai α atau β (Tabel 21-5).
Epidemiologi
Individu yang paling banyak terkena ialah Mediterania, Timur tengah, Indian, Afrika, atau
keturunan Asia.
Etiologi
1. Thalassemia β terjadi karena adanya penurunan produksi globin- β dan kelebihan resultan α -
globin, membentuk α -tetramer yang tidak larut dan menyebabkan eritropoiesis yang tidak
efektif.
• Thalassemia β minor (trait) terjadi dengan satu kelainan gen dengan penurunan produksi
globin rantai β. Pasien asimtomatik, dengan mikrositik, hipokromik sel darah merah, dan
kadar Hb >10 g/dL.
• Thalassemia β intermedia terjadi dengan disfungsi pada gen globin β sehingga anemia lebih
parah (Hb, 7-10 g/dL).
• Thalassemia β mayor (Cooley anemia) disebabkan oleh kelainan yang parah pada kedua
gen yang tidak menghasilkan globin β dan membutuhkan transfusi seumur hidup.
2. Thalassemia α muncul dengan adanya delesi satu atau lebih dari 4 gen globin α, menyebabkan
kelebihan globin β
• Anemia mikrositik ringan dan hipokromik ringan (Hb >10 g/dL) tampak dengan hilangnya
satu atau dua gen (pembawa dan sifat thal- α), dimana penyakit Hb H (delesi 3 gen globin
α) mengakibatkan splenomegali dan anemia hemolitik
• Pada pasien dengan penyakit Hb H (tetramer- β), transfusi atau splenektomi seringnya tidak
dibutuhkan. Sebagai tambahan, obat- obat oksidan yang memperburuk defisiensi glukosa-
6-fosfat dehidrogenase (G6PD) harus dihindari karena meningkatkan kemungkinan
munculnya hemolisis.
• Hidrops fetalis muncul dengan kehilangan seluruh gen globin- α dan tak mampu hidup.
Diagnosis
Pemeriksaan sumsum tulang belakang termasuk sitogenetik dibutuhkan untuk mengevaluasi
adanya cincin sideroblast atau bentuk abnormal sumsum lainnya.
Terapi
1. Hilangkan semua penyebab yang mungkin
2. Piridoksin 50-200 mg setiap hari dapat digunakan untuk mengobati anemia sideroblastik
herediter.
B. ANEMIA MAKROSITIK
Definisi
Anemia megaloblastik merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan gangguan
sintesis DNA dalam sel hematopoietic tetapi memengaruhi proliferasi sel.
Etiologi
1. Hampir semua aksus disebabkan defisiensi asam folat atau vitamin B12
2. Defisiensi folat disebabkan dari kurangnya keseimbangan folat dalam bentuk malnutrisi,
malabsorbsi, atau peningkatan kebutuhan (hamil, anemia hemolisis).
• Pasien dalam usaha menurunkan berat badan, alkohol, usia tua, dan pasien psikiatri berisiko
terhadap kemungkinan defisiensi asam folat
• Wanita hamil dan laktasi membutuhkan peningkatan kebutuhan 3-4 kali folat harian dan
umunya berhubungan dengan perubahan megaloblastik pada sel hematopoietic maternal,
yang mengakibatkan anemia dimorfik (kombinasi folat dengan defisiensi besi).
• Malabsorbsi folat dapat terlihat pada penyakit celiac.
• Obat-obatan dapat mengganggu absorbsi folat, misal etanol, trimethoprim, pyrimethamin,
difenilhidantoin, barbiturat, dan sulfasalazin.
• Pasien yang memerlukan dialisis membutuhkan intake folat karena adanya peningkatan
buangan folat saat dialisa.
• Pasien dengan anemia hemolitik, seperti anemia sel sabit, membutuhkan tambahan folat
untuk meningkatkan eritropoiesis dan pada krisis aplastik (hasil hitung darah cepat sekali
turun) dengan defisiensi folat.
3. Defisiensi vitamin B12 diam-diam terjadi dalam 3 tahun atau lebih oleh karena kebutuhan
vitamin B12 hariannya rendah (6-9 µg/hari), dimana cadangan total tubuh sekitar 2-5 mg.
• Oleh karena saat ini multivitamin, roti, dan sereal sudah mengandung asam folat,
manifestasi hematologi dari defisiensi vitamin B12 kadang tidak tampak, dan gejala
neurologis dapat menjadi satu-satunya yang dapat diamati.
• Penyebab defisiensi vitamin B12 termasuk pasien gastrektomi parsial (20% pasien yang
dalam 8 tahun terakhir menjalani operasi) atau total dan anemia pernisiosa (AP). Pasien
lanjut usia dengan atrofi gaster dapat mengalami defisiensi vitamin B12 terkait makanan
oleh karena gangguan absorbsi vitamin B12.
• AP terjadi pada pasien berusia lebih dari 40 tahun (onset rerata usia 60 tahun). Sekitar 30%
pasien memiliki riwayat keluarga dengan AP. AP dihubungkan dengan penyakit autoimun
lainnya (30% penyakit Graves, 11% tiroiditis Hashimoto, dan penyakit Addison 5-10%).
Pada pasien AP, 90% memiliki sel antiparietal imunoglobulin (Ig)G antibodi dan 60%
memiliki faktor antibodi anti-intrinsik.
• Etiologi lainnya termasuk insufisiensi pankreas, bakteri, dan parasit pada gastrointestinal
(Diphyllobothrium latum).
DIAGNOSIS
Tampilan Klinis
1. Pasien dengan defisiensi folat mengalami kekurangan tidur, kelelahan, dan manifestasi
depresi, iritabel, serta pelupa.
2. Anemia defisiensi vitamin B12 secara klinis tampak, manifestasi umum berupa gejala
neurologis seperti neuropati perifer, parestesia, letargi, hipotonia, dan kejang.
3. Temuan fisik penting termasuk tanda nutrisi yang buruk, pigmentasi pada lipatan kulit dan
kuku, atau glositis. Ikterik atau splenomegali dapat menandakan hematopoiesis ekstramedular
dan tidak efektif. Defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan penurunan persepsi getar dan
posisional, ataksia, parestesia, konfusi, dan demensia. Komplikasi neurologis dapat terjadi
bahkan tanpa adanya anemia serta mungkin tidak dapat ditangani meskipun dengan
pengobatan yang adekuat. Defisiensi asam folat tidak menyebabkan penyakit neurologis.
Uji Diagnostik
Laboratorium
1. Anemia makrositik biasanya muncul, dapat juga tampak leukopenia dan trombositopenia.
2. Apusan darah tepi dapat menunjukkan anisositosis, poikilositosis, dan makro-ovalosit;
sering didapatkan netrofil hipersegmentasi (mengandung lebih dari 6 lobus inti).
3. Laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin indirek seringkali meningkat, menunjukkan
eritropoiesis yang tidak efektif dan destruksi prematur dari sel darah merah.
4. Kadar serum vitamin B12 dan folat sel darah merah harus dinilai.
5. Folat sel darah merah merupakan indikator cadangan badan folat yang lebih akurat
daripada serum folat, terutama apabila diukur setelah terapi folat atau perbaikan nutrisi
telah dilakukan.
6. Serum methylmalonic acid (MMA) dan homocysteine (HC) dapat bermanfaat bila hasil
kadar folat atau vitamin B12 samar-samar. MMA dan HC meningkat pada defisiensi
vitamin B12; hanya HC yang meningkat pada defisiensi folat.
7. Test Schilling dapat berguna untuk diagnosis AP oleh karena defisiensi vitamin B12,
namun jarang sekali mempengaruhi pendekatan terapinya. Oleh karena itu, sekarang tes ini
jarang dilakukan.
8. Mendeteksi antibodi terhadap faktor intrinsik spesifik untuk diagnosis AP.
Prosedur Diagnostik
Biopsi sumsum tulang dapat diperlukan untuk menentukan MDS atau leukemia akut oleh
karena kedua penyakit ini mungkin menunjukkan temuan yang mirip dengan anemia
megaloblastik.
PENGOBATAN
C. ANEMIA NORMOSITIK
I. ANEMIA PENYAKIT GINJAL KRONIS
Anemia karena penyakit ginjal kronis terjadi karena penurunan produksi eritropoietin endogen
(EPO) dan dapat terjadi saat bersihan kreatinin dibawah 50 mL/menit. Penyebab lain termasuk
adalah defisiensi besi (lihat pada deksripsi sebelumnya).
DIAGNOSIS
a) Terapi untuk adalah secara langsung mengobati penyakit penyebabnya serta menghilangkan
faktor eksaserbasi seperti defisiensi nutrisi dan obat yang menyupresi sumsum.
b) Terapi Erythropoietin-stimulating agent (ESA) sebaiknya dipertimbangkan apabila pasien
selalu butuh transfusi atau memiliki anemia yang simptomatik.
• Dosis efektif ESA lebih tinggi daripada yang dilaporkan pada anemia insufisiensi ginjal.
• Jika tidak ada respons pada 900 U/kg/minggu, peningkatan dosis selanjutnya tidak efektif.
c) Transfusi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan hematokrit <24% atau bergejala.
Anemia aplastik merupakan abnormalitas didapat pada stem sel hematopoiesis yang biasanya
secara klinis tampak sebagai pansitopenia. Sebagian besar kasus adalah idiopatik. Sekitar 20%
kasus berhubungan dengan paparan obat atau bahan kimia. Sekitar 10% kasus berhubungan
dengan virus (misal hepatitis viral, virus Epstein-Barr, cytomegalovirus [CMV]). Terdapat bukti
yang menunjukkan kegagalan sumsum tulang pada anemia aplastik terjadi karena destruksi
imunologis stem hematopoietik dan sel progenitor
DIAGNOSIS
Tampilan Klinis
Pasien biasanya pansitopenia, gejala umum berupa anemia (kelelahan, malaise, dispnea) atau
trombositopenia (perdarahan mukosa, memar), meskipun beberapa pasien hanya menunjukkan
demam dan leukopenia.
Kriteria Diagnostik
Biopsi sumsum tulang diperlukan untuk diagnosis. Morfologi sumsum tulang kadang sulit
dibedakan antara MDS hiposelular dan paroxysmal nocturnal hemoglobinuria.
PENGOBATAN
1. Obat yang diduga sebagai pemicu harus segara dihentikan serta memperbaiki faktor
eksaserbasi.
2. Apabila diagnosis telah ditegakkan, perawatan sebaiknya dilakukan di pusat kesehatan yang
berpengalaman menangani anemia aplastik.
3. Pengobatan imunosupresif dengan siklosporin, glukokortikoid, dan globulin antitimosit
sebaiknya dipertimbangkan pada pasien yang tidak menjalani SCT
4. SCT. Apabila memungkinkan, SCT dari saudara yang HLA-nya identik pada umumnya
dianjurkan dan dapat meningkatkan harapan hidup 60 hingga 70 persen.
5. Transfusi pada anemia aplastik. Transfusi dengan sel darah merah sebaiknya diminimalkan.
Transfusi platelet profilaksis umumnya direkomendasikan apabila hitung platelet dibawah
10000/mm3.
BAB III ANEMIA HEMOLITIK
Definisi
Etiologi
a) Kehilangan darah. Jika tidak ada sumber yang jelas, curigai kehilangan darah pada saluran
gastrointestinal, retroperitoneum, thoraks, atau kompartemen pada paha (pemasangan alat,
trauma, fraktur, koagulopati).
b) Hemolisis dibagi ke dalam dua kelompok besar berdasarkan penyebab destruksinya: intrinsik
(disebabkan oleh defisit yang diwaris dari sel darah merah) dan ekstrinsik (disebabkan faktor
diluar sel darah merah).
• Gangguan intrinsik merupakan akibat dari defek pada membran sel darah merah (misal
sferositosis herediter), komposisi Hb (sickle cell disease), atau defisiensi enzim (G6PD).
• Gangguan ekstrinsik terjadi akibat antibodi, agen infeksi (misal malaria), trauma, agen
kimiawi (bisa/racun), atau penyakit liver.
• Gangguan hemolisis juga dapat dikategorikan berdasar lokasi destruksi sel darah merah;
intravaskular (didalam sirkulasi) atau ekstravaskular (didalam sistem makrofag-monosit
terutama di liver dan limpa).
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS
Test Diagnostik
1. Gambaran klinis sickle cell disease (SCD) bersifat heterogen dan bergantung pada tipe dan
derajat dari hemoglobinopati Manifestasi klinis hasil SCD yang paling umum adalah
hemolisis dan / atau oklusi vaskular.
2. Oklusi vaskular meliputi peningkatan rasa sakit, nekrosis avaskular, priapismus, dan acute
chest syndrome, sementara komplikasi hemolitik meliputi hipertensi pulmonal, cholelithiasis,
dan ulkus tungkai. Stroke dan dan infark medulla renalis merupakan komplikasi keduanya.
• sickle cell pain crisis adalah VOC dan manifestasi SCD yang paling sering.
• Nyeri biasanya di tulang panjang, punggung, dada, dan perut.
• Faktor pemicu dapat mencakup stres, infeksi, dehidrasi, alkohol, dan cuaca.
Namun, sebagian besar kasus tidak memiliki pemicu yang dapat diidentifikasi.
• Durasi awal episode adalah 2 sampai 6 hari.
• Kadar Hb F yang lebih tinggi mungkin bersifat protektif terhadap VOC.
b) Acute chest syndrome adalah keadaan darurat yang mengancam jiwa yang terjadi saat
menurunnya saturasi oksigen ( 90%) menyebabkan peningkatan peningkatan sel sabit
intravaskuler dan oklusi ireversibel dari mikrovaskuler sirkulasi pulmoner. Ini bisa dipicu
oleh infeksi, emboli paru, atau emboli lemak. Pengobatan terdiri dari perawatan suportif,
pengobatan penyebab yang mendasarinya, dan mungkin memerlukan terapi pertukaran
eritrosit untuk mengurangi beban Hb S.
c) Priapismus sering muncul pada masa remaja dan bisa berakibat pada impotensi.
d) Retinopati disebabkan oleh vaso-oklusi retina kronis, yang menyebabkan retinopati
proliferatif dan dapat menyebabkan komplikasi termasuk perdarahan vitreus dan ablasio
retina.
e) Asplenia fungsional dihasilkan dari infark limpa rekuren karena proses pembentukan sel
sabit dan akhirnya mengakibatkan hilangnya fungsi limpa. Mayoritas kasus
terjadimsebelum usia 1 tahun. Asplenia fungsional menyebabkan pasien memiliki risiko
lebih tinggi terjadi infeksi, terutama organisme yang enkapsulasi.
f) Avascular necrosis (AVN) disebabkan infark trabekula tulang dan terjadi paling sering
di caput femoral dan humerus. Hampir 50% orang dewasa yang terkena SCD dapat
bermanifestasi AVN, yang menyebabkan rasa sakit yang signifikan.
4. Komplikasi hemolitik
a) Cholelitiasis terjadi pada >80% pasien dan biasanya karena pengendapan bilirubin. Hal ini
dapat memicu terjadinya cholecystitis akut atau kolik bilier
b) Ulkus tungkai biasamya terjadi di ankle dan sifatnya berulang dan kronis
c) Hipertensi pulmonal (PH) dapat terjadi pada kurang lebih 60% pasien dengan SCD.
Patofisiologinya masih belum jelas tetapi bisa terjadi karena kekurangan nitrit oksida
5. Infarct medulla renalis merupakan oklusi berulang dari kapiler medulla renalis, biasanya
menyebabkan terjadinya CKD, juga menyebabkan terjadinya isosthenuria (ketidakmampuan
mengkonsentrasikan urin) dan hematuria, menyebabkan pasien mengalami dehidrasi dan
meningkatkan risiko VOC
6. Komplikasi neurologis terjadi pada 25% pasien dengan SCD mulai usia 45 tahun dan
komplikasi ini berupa CVA (TIA, infark, perdarahan serebral), kejang, dan pendengaran
berkurang. Stroke iskemik yag terjadi karena cedera endotel yang berulang daring hemolysis
dan vaso-oklusi, menyebabkan hyperplasia dengan arteriopati arteri besar. Tingginya cerebral
flow rate (>200cm/s) yang terdeteksi menggunakan Doppler transcranial (TCD) dinilai
berhubungan dnegan meningkatnya risiko stroke. Risiko ini dapat diturunkan dengan
transfuse rutin atau terapi tukar.
7. Infeksi biasanya terjadi pada jaringan yang dieprkirakan mengalami infark vaso-oklusif (paru,
tulang, ginjal). Organisme yang paling sering menyebabkan infeksi adalah Streptococcus
pneumonia, Staphylocccus aureus, Salmonella spp., Mycoplasma pneumonia, atau
H.influenzae. Vaksinasi adalah mekanisme pencegahan kunci
8. Kehamilan dengan SCD memiliki risiko tiggi dan meningkatkan risiko abortus spontan atau
persalinan preterm, disertai dengan meningkatnya kejadian krisis vaso-oklusif.
TATA LAKSANA
1. Episode nyeri akut. Tatalaksana episode nyeri akut terdiri dari rehidrasi (3-4 liter per hari),
evaluasi dan manajemen infeksi, analegesik, dan bila diperlukan diberikan antipiretik, dan
terapi antibiotik empiris.
2. Acute chest syndrome. Kemungkinan acute chest syndrome harus diatasi dengan terapi
transfuse agresif, termasuk terapi tukar eritrosit segera. Manifestasi acute chest syndrome
biasanya sulit dibedakan dari pneumonia, oleh karena itu perlu dilakukan pemberian antibiotic
empiris spectrum luas
3. Priapismus awalnya ditangai dengan hidrasi dan analgesia. Ereksi persisten lebih dari 24 jam
memerlukan terapi transfuse atau drainase bedah
4. AVN ditatalaksana dengan pemanasan local, analgesic, dan menghindari mengangkat berat
5. Cholelithiasis. Cholelithiasis akut seharusnya segera ditangani dengan antibiotic diikuti
dengan cholecystectomy setelah serangan mereda. Cholecystectomy elektif untuk batu empedu
masih kontroversial
6. Ulkus tungkai seharusnya diatasi dengan istirahat, elevasi tungkai, dan perawatan lokak
intensif. Dressing basah hingga kering seharusnya dilakukan 4 kali per hari.
7. Hipertensi pulmonal pada SCD, ditangani dengan sildenafil namun masih diperdebatkan.
8. CVA akut: transfusi jangka panjang untuk mempertahankan konsenstrasi HbS < 50% untuk
paling tidak 5 tahun secara signifikan mengurangi rekurensi.
9. Pasien yang diduga mengalami krisis aplastic membutuhkan perawatan di rumah sakit. Terapi
meliputi asam folat 5mg per hari, diserati dengan transfusi eritrosit
10. Terapi kelasi besi bisa digunakan untuk mencegah kelebihan besi pada pasien dengan
kebutuhan transfusi tinggi
MODIFIKASI RISIKO
1. Menghindari dehidrasi dan hipoksia
2. Asam folat (2mg per oral per hari)
3. Hidroksiurea (15-35mg/kg per oral per hari) telah menujukkan peningkatan kadar HbF dan
secara signifikan mengurangi frekuensi VOC dan acute chest syndrome pada dewasa dengan
SCD
4. Profilaksi antimikrobia dengan penisilin VK, 125mg per oral 2 kali sehari smapai usisa 3
tahun dan 250mg per oral dua kali sehari sampai usia 5 tahun, efektif menurunkan risiko
infeksi. Pasien yang alergi penisilin dapat diberikan eritromisin 10mg/kg per oral dua kali
sehari. Profilaksis harus distop pada usia 5 tahun untuk mencegah terjadinya resistensi
organisme
5. Imunisasi sebaiknya diberikan pada pasien SCD untuk mencegah terjadinya infeksi yang
sering terjadi pada masa anak-anak, termasuk vaksin hepatitis B. setelah 2 tahun, vaksin
pneumonia polivalen dapat diberikan. Vaksin influenza tahunan juga diberika
6. Pemeriksaan mata direkomendasikan dilakukan tiap tahun pada dewasa karena tingginya
insidens retinopati proliferatif
7. Anestesia lokal dan regional dapat dilakukan tanpa pengawasan khsus. Perawatan perlu
dilakukan untuk menghindari terjadinya deplesi volume, hipoksia, dan hipernatremia. Ntuk
bedah mayor, transfusi eritrosit untuk meningkatkan Hb sampai 10g/dL atau lebih.
Klasifikasi
Terdapat 2 jenis utama AIHA: dingin dan hangat. Antibodi AIHA hangat berinteraksi paling baik
dengan eritrosit pada suhu 37 0 C, sedangkan antibodi AIHA dingin paling aktif pada temperatur
di bawah 37 0 C
Etiologi
1. Antibodi AIHA hangat biasanya disebabkan oleh autoantibodi IgG. Ini bisa terjadi karena
idiopatik atau sekunder dari proses tambahan (limfoma, leukemia limfositik kronis [CLL],
kelainan vaskuler kolagen atau obat-obatan [Tabel 21-7])
2. Antibodi AIHA dingin biasanya disebabkan oleh autoantibodi IgM (pada penyakit aglutinasi-
dingin)
• Bentuk akut biasanya sekunder isebabkan karena infeksi (Mycoplasma, Eipsteom-Barr
virus)
• Bentuk kronis biasanya disebabkan karena paraprotein yang berhubungan dengan
limfoma, CLL, atau makroglobulinemia Waldenstorm pada kira-kira separuh kasus, dan
ini biasanya idiopatik
DIAGNOSIS
Manifestasi klinis
• Manifestasi klinis bervariasi tergantung dari derajat hemolisis dan tipe AIHA
• Pada AIHA, kasus ringan bisa saja asimptomatol dan hanya data laboratorium yang
menunjukkan diagnosis. Padakasus fulminan, penurun Hb cepat bisa bahaya karena tidak
dikompensai dengan eritropoiesis dengan adekuat, memicu terjadinya demam, dispnea, dan
ketidakstabilan hemodinamik. Jaundice, sklera ikterik, dan urine gelap dapat terjadi karena
hiperbilinrubinemia indirek.
Tes diagnosis
1. Data laboratorium dasar sebaiknya membuktikan adanya hemolisis dengan: anemia,
retikulosis, LDH meningkat, haptoglobin menurun, dan hiperbilirubinemia indirek
2. Apusan darah tepi dapat menunjukkan spherosit, fragmentasi eritrosit okasional,
polikromasia, dan eritrosit nukleasi
3. Kunci utama diagnosis adalah DAT positif (Combs direk). DAT mendeteksi keberadaan igG
atau kompelemen yang berikatan dengan eritrosit dan bisa saja negatif palsi pada kasus IgM-
memediasi hemolisis
• AIHA hangat : IgG dan atau C3+
• AIHA dingin: IgG- dan C3+
4. Tes antiglobulin indirek (Combs indirek) mendeteksi keberadaan autoantibodi di dalam serum
etteapo juga bisa mendeteksi alloantibodi dalam serum yang bisa saja terjadi karena transfusi
atau inkompatibilitas maternal-fetal
5. Meningkatnya titer aglutinin dingin pada AIHA dingin
6. Jika AIHA sekunder dicurigai, kausa yang mendasari harus segera dicari
TATA LAKSANA
1. Terapi awal sebaiknya bertujuan untuk mengoreksi komplikasi dari anemia hemolitik. Terapi
definitf sebainya meliputi identifikasi dan tata laksana dari kausa yang mendasari
2. Transfusi eritrosit dapat memicu hemolisiskarena terjadinya hemolisis dari sel yang
ditranssfusi. Eritrosit sebaiknya hanya ditransfusi bila pasien simptomatik atau terdapat
penurunan kapaistas mengikat oksigen (Hb, 6g/dL). Autoantibodi dapat merancukan skrining
antibodi plamsa dan cross-match konvensional, dan sehingga alloantibodis bisa jadi tidak
terdeteksi
3. AIHA hangat
• Glukokortikoid, seperti prednison 1mg/kg/hari sebagai lini pertamaterapi AIHA tipe
hangat. Prednison mengurangsi klirens makrofag terhadap antibodi yang menempel di
eritrosit. Respon biasanya nampak di hari ke 7 hingga 10. Ketika hemolisis sudah
membaik, glukokortikoid dapat ditappering off selama 2-3 bilan. Tappering off steroid
yang terlalu cepat dapat menyebabkan relaps
• IVIG kurang efektif pada AIHA jika dibandingkan pada ITP dengan angka respon 40%.
IgG dari IVIG berikatan dengan makrofag liver dan limpa dan mencegah ikatan dan
klirens dengan eritrosit yang dilapiss antibodi
• Splenektomi sebaikanya dipertimbangkna pada IAHA yang resisten steroid
• Rituximab 375mg/m2 setiap minggu sebanyak 4 dosis menunjukkan efikasi pada sedikit
kasus AIHA
4. AIHA dingin
• Menghindari paparan dingin dpaat meminimalkan eksaserbasi. Transfusi eritrosit pada
suhu 370C dan menjaga supaya ruangan tetap hangat dapat mencegah hemolisis
• Glukokortikodi dan splenektomi memiliki nilai efikasi rendah
• Pertukaran plasma mengganti paling tidak 80% IgM sehingga bisa menjadi slaah satu cara
efektif mengontrol penyakit
• Rixutimad dikatakan bermanfaat pada sebagian kecil kasus
Etiologi
Penyebab yang mungkin dari MAHA adalaha katup jantung mekanik, hipertensi maligna,
vaskulitis, adenokarsinoma, preeklampsia/eklampsia, Disseminated Intravascular Coagulopathy
(DIC), thrombotic thromobocytopenia purpura (TTP), dan Hemolytic Uremic Syndrome
(HUS)/HUS atipikal
Diagnosis
MAHA bitegakkan dengan adanya konfirmasi adanyanya hemolisis pada data laboratorium dan
identifikasi fragmen eritrosit (skistosit) pada pemeriksaan darah tepi.
Tata laksana
Tergantung dari etiologi yang mendasari terjadinya mikroangiopati